BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Wanita Tuna Susila Prositusi termasuk salah satu penyakit masyarakat
karena banyak wanita melakukan perbuatan tersebut sebagai mata pencaharian yaitu menerima bayaran terhadap layanan hubungan badan yang diberikannya kepada
langganannya.
1
Dewasa ini tampaknya Prositusi marak dilakukan di kota-kota besar pada hiburan malam seperti bar, pojok kota, warung – warung kecil, losmen, hotel café dan
tempat-tempat yang menyediakan penjaja cinta, dan mereka ini dikenal dengan istilah Pekerja Seks Komersial PSK.
Masalah Wanita tuna Susila Prostitusi sudah ada sebelum Islam datang pada abad ke tujuh masehi. Dan hingga sekarang pelacuran terdapat pada masyarakat
tingkat rendah sampai ke tingkat tinggi dengan berbagai macam cara, mulai daripinggir jalan sampai ke hotel berbintang.
Kenyataan sosial ini diakibatkan antara lain oleh keadaan ekonomi, pergaulan dan pengaruh budaya asing terhadap kehidupan di Indonesia, peranan agama kurang
di indahkan, karena jiwa mereka yang kosong terhadap keyakinan agama yang dianutnya.
1
Kartini Kartono, Patologi Sosial Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2001, Cet VII, h. 182
Ajaran agama membimbing penganutnya kepada kehidupan yang patuh kepada Tuhan Yang Maha Esa, melakukan kebajikan serta mempunyai akhlak
karimah. Seseorang yang mengetahui dan memahami secara luas ajaran-ajaran agama yang dianutnya dan menjalankannya, tentu ia menjadi manusia yang berakhlak
terpuji, terhindar dari berbagai perbuatan kemungkaran dan kemaksiatan. Hanya kondisi lingkungan yang tidak baik dapat membelokkan manusia kepada jalan
kesesatan yang mengarah kepada prilaku yang tidak baik.
Pelacuran merupakan masalah sosial yang paling kuno dan telah dikenal atau diketahui sejak adanya peradaban manusia. Pelacuran seperti tersebut ternyata masih
tetap menjadi masalah social yang hampir selalu diwarnai kehidupan masyarakat modern dewasa ini. Oleh karenanya banyak pandangan pesimis yang mengemukakan
bahwa masalah pelacuran ini sulit untuk diberantas atau ditiadakan, meskipun semua agama dan norma masyarakat melarang perbuatan a-susila tersebut.
Masalah pelacuran selalu dihubungkan dengan eksistensi wanita, meskipun praktek pelacuran melibatkan baik wanita maupun pria. Masalah ini lebih
menempatkan wanita sebagai obyek dari pada sebagai subyek. Wanita sebagai obyek pemuas nafsu kaum pria, sekaligus sebagai obyek bisnis segolongan orang yang
memanfaatkan wanita pelacur sebagai sarana mencari keuntungan dan kekayaan pribadi. Wanita sebagai subyek pelaku memanfaatkan dunia pelacuran sebagai lahan
pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan diri dan keluarga. Di Indonesia pelacuran dianggap sebagi suatu masalah social, karena di samping merendahkan harkat dan
martabat wanita juga dapat memberikan dampak yang luas terhadap kehidupan
bangsa dan negara antara lain gangguan ketertiban, keamanan dan mempengaruhi serta membahayakan kehidupan generasi muda.
Menurut cacatan pada Direktorat Tuna Sosial, Direktorat Jendral Bina Rehabilitasi Sosial, pada tahun 1990 tercatat sekitar 48.931 orang wanita tuna susila
WTS. Jumlah tersebut masih jauh dari perkiraan karena pendtaan dilakukan terbatas pada mereka yang ada di lokalisasi yang biasanya dihuni oleh WTS “kelas bawah”.
Pendataan tersebut belum mencakup “kelas menengah” dan apalagi “kelas atas”, mengingat dua kelompok tersebut sulit untuk didata.
2
Sementara itu menurut catatan yang ada selama Repelita IV, wanita tuna susila yang telah mendapatkan pelayanan rehabilitasi sosial oleh pemerintah
Departemen Sosial baru sekitar 5.040 orang atau rata-trata 1.260 orang setiap tahun. Sehingga untuk merehabilitasi 48.931 orang WTS diperlukan waktu kira-kira 36
tahun, dengan asumsi bahwa jumlah WTS tidak bertambah dan upaya penanganannya sama seperti yang dilakukan sekarang.
Upaya penanganan masalah wanita tuna susila tersebut dilakukan oleh pemerintah antara lain melalui pelayanan rehabilitasi sosial dalam panti yang
jumlahnya mancapai 23 buah dan tersebar pada 27 propinsi di Indonesia. Pelayanan rehabilitasi sosial melalui panti dilakukan dengan menggunakan pendekatan profesi
pekerjaan sosial, melalui empat kegiatan yakni: rehabilitasi sosial, bimbingan sosial dan ketrampilan, resosialisasi, dan bimbingan lanjut. Keberhasilan pelayanan dalam
panti antara lain ditentukan oleh tenaga pelaksana, system rehabilitasi, dan kurikulum
2
Laporan Hasil Penalitian Badan Litbang Sosial, Maret 1993.
latihan serta sarana lembaga pelayanan. Selain ditentukan oleh lembaga pelayanan juga banyak dipengaruhi oleh sasaran garapan penerima pelayanan yang dalam hal
ini adalah WTS. Dari penerima pelayanan factor yang mempengaruhi proses rehabilitasi antara lain adalah kondisi atau karakteristik WTS klien, harapan-
harapannya, dan kebutukan dasarnya sebagai penerima pelayanan.
3
Dari beberapa kasus yang ada banyak ditemukan eks penerima pelayanan WTS yang kembali lagi ke dunia pelacuran dengan berbagai alasan, antara lain
kebutuhan ekonomi yang mendesak, tidak dapat memanfaatkan ketrampilan yang telah diperoleh melalui panti, dan kurangnya penerimaan masyarakat. Diantara
mereka ada beberapa yang terjaring kembali oleh Tim Penertiban dan masuk kembali kedalam panti rehabilitasi. Banyak faktor yang mungkin menyebabkan adanya kasus-
kasus tersebut, antara lain Peranan Pekerja Sosial dalam merehabilitasi belum sesuai dengan harapan dan belum menjawab kebutuhan penerima pelayanan WTS klien.
B. Perumusan Masalah