8
2.2 Landasan Teori
Dalam penelitian ini digunakan teori sosiologi sastra. Menurut pandangan Wolf dalam Faruk, 1994:3 Sosiologi sastra merupakan disiplin yang tanpa
bentuk, tidak terdefenisikan dengan baik, terdiri dari sejumlah studi-studi empiris dan berbagai percobaan pada teori yang agak lebih general, yang masing-
masingnya hanya mempunyai kesamaan dalam hal bahwa semuanya berurusan dengan hubungan sastra dengan masyarakat.
Sosiologi sastra adalah cabang penelitian sastra yang bersifat reflektif. Penelitian ini banyak diminati oleh peneliti yang ingin melihat sastra sebagai
cermin kehidupan masyarakat. Karenanya, asumsi dasar penelitian sosiologi sastra adalah kelahiran sastra tidak dalam kekosongan sosial. Kehidupan sosial akan
menjadi picu lahirnya karya sastra. Karya sastra yang berhasil atau sukses yaitu yang mampu merefleksikan zamannya. Endraswara, 2008:77.
Hal penting dalam sosiologi sastra adalah konsep cermin
mirror
. Dalam kaitan ini, sastra dianggap sebagai
mimesis
tiruan masyarakat. Kendati demikian, sastra tetap diakui sebagai sebuah ilusi atau khayalan dari kenyataan.
Dari sini, tentu sastra tidak akan semata-mata menyodorkan fakta secara mentah. Endraswara, 2008:78.
Selain teori sosiologi sastra, peneliti juga menggunakan sosiologi keluarga. Saat ini sosiologi keluarga telah merupakan ilmu yang banyak dibahas
secara tersendiri, karena banyak aspek-aspek sosiologis yang timbul dari hubungan-hubungan di dalam dan antar keluarga. Dalam hubungannya dengan
keluarga, sosiologi sebagai ilmu yang mempelajari hubungan antara manusia
Universitas Sumatera Utara
9
dengan manusia lainnya, meletakkan titik berat hubungan ini dalam hubungan antar anggota keluarga, dan akibat-akibat yang di timbulkan oleh adanya
hubungan tersebut. Sosiologi keluarga adalah ilmu yang mempelajari hubungan antar individu
di dalam keluarga, hubungan keluarga dengan keluarga lainnya, serta segala aspek-aspek yang timbul dari hubungan-hubungan tersebut. Khairuddin, 1997:4.
Jika keluarga tidak dapat menjaga keutuhannya, maka keluarga yang bersangkutan akan mengalami apa yang dinamakan
broken home
. Dimaksud dengan keutuhan keluarga, yaitu keutuhan struktur dalam keluarga. Di samping
adanya seorang ayah, juga adanya seorang ibu beserta anak-anaknya. Selain itu, juga adanya keharmonisan dalam keluarga. Dalam keluarga yang
broken home,
sering terjadi percekcokan di antara orang tua dan sikap saling bermusuhan disertai tindakan-tindakan yang agresif, maka dengan sendirinya keluarga yang
bersangkutan akan mengalami kegagalan dalam menjalankan fungsi-fungsi keluarga yang sebenarnya.
Menurut Setiadi dan Kolip 2010:312 kegagalan dalam menjalankan fungsi keluarga dapat disebabkan karena beberapa faktor diantaranya:
1. Faktor pribadi. Suami istri kurang menyadari akan arti dan fungsi
perkawinan yang sebenarnya. Misalnya, sifat egoisme, kurang adanya toleran, kurang adanya kepercayaan satu sama lain.
2. Faktor situasi khusus dalam keluarga. Beberapa di antaranya:
a. Kehadiran terus-menerus dari salah satu orang tua baik dari pihak
suami atau istri mereka. b.
Karena istri bekerja dan mendambakan kedudukan yang lebih tinggi dari suaminya.
c. Tinggal bersama keluarga lain dalam satu rumah.
d. Suami istri sering meninggalkan rumah karena kesibukan di luar.
Faktor-faktor yang telah disebutkan di atas inilah yang menyebabkan fungsi keluarga tidak dapat berjalan semestinya, antara lain:
Universitas Sumatera Utara
10
1. Fungsi kebutuhan seks dan reproduksi, yaitu suami istri tidak kerasan
tinggal di rumah serta timbul sikap dingin dan masa bodoh dari pihak istri dalam memenuhi kebutuhan seksual;
2. Fungsi pemeliharaan. Orang tua kehilangan atau kurang menjadi
kebutuhan psikologis anak; 3.
Fungsi sosialisasi, anak-anak menjadi terlantar akibat kurang mendapat perhatian orang tua; serta
4. Fungsi-fungsi keluarga lainnya yang tidak dapat dijalankan dengan baik.
2.3 Tinjauan Pustaka