Perancangan Media Buku Dan Kartu Peraga Untuk Meningkatkan Kemmapuan Bahasa Reseptif Pada Anak Tunarungu Di Mata Pelajaran Matematika

(1)

(2)

Laporan Pengantar Tugas Akhir

PERANCANGAN MEDIA BUKU DAN KARTU PERAGA UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN BAHASA RESEPTIF PADA ANAK TUNARUNGU DI MATA PELAJARAN MATEMATIKA

DK 38315/Tugas Akhir Semester I 2015-2016

Oleh:

Refal Kidung Devana 51911020

Program Studi Desain Komunikasi Visual

FAKULTAS DESAIN

UNIVERSITAS KOMPUTER INDONESIA

BANDUNG


(3)

i

sssss


(4)

(5)

iii KATA PENGANTAR

Alhamdulillah segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan Tugas Akhir yang berjudul “PERANCANGAN BUKU DAN KARTU PERAGA UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN BAHASA RESEPTIF PADA ANAK TUNARUNGU DI MATA PELAJARAN MATEMATIKA”. Tugas Akhir ini disusun sebagai persyaratan kelulusan pada Program Studi Desain Komunikasi Visual Sarjana (S1) Fakultas Desain Universitas Komputer Indonesia Bandung. Dalam penyusunan Tugas Akhir ini penulis banyak mendapat saran, dorongan, bimbingan serta keterangan-keterangan dari berbagai pihak yang merupakan pengalaman yang tidak dapat diukur secara materi, namun dapat membukakan mata penulis bahwa sesungguhnya pengalaman dan pengetahuan tersebut adalah guru yang terbaik bagi penulis. Oleh karena itu dengan segala hormat dan kerendahan hati perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Ir. Eddy Soeryanto Soegoto, selaku Rektor Universitas Komputer Indonesia, Bapak Kankan Kasmana M.Ds. selaku Dosen Pembimbing Tugas Akhir, Dosen Wali, dan sebagai motivator. Kedua orang tua dan adik yang selalu memberikan dukungan dan doanya serta semua pihak yang tidak mungkin penulis sebutkan satu persatu yang telah terlibat banyak membantu sehingga tugas akhir ini dapat diselesaikan.

Akhir kata semoga dapat bermanfaat bagi penulis sendiri, institusi pendidikan dan masyarakat luas. Aamiin!

Bandung, Januari 2016


(6)

vi DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN . ... i

LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS . ... ii

KATA PENGANTAR . ... iii

ABSTRAK . ... iv

ABSTRACT . ... v

DAFTAR ISI . ... vi

DAFTAR GAMBAR . ... ix

DAFTAR TABEL . ... xi

DAFTAR LAMPIRAN. ... xii

DAFTAR KOSAKATA/GLOSARY. ... xiii

BAB I PENDAHULUAN . ... 1

I.1 Latar Belakang Masalah . ... 1

I.2 Identifikasi Masalah . ... 3

I.3 Rumusan Masalah . ... 4

I.4 Batasan Masalah . ... 4

I.5 Tujuan Perancangan . ... 4

BAB II BAHASA RESEPTIF PADA ANAK TUNARUNGU . ... 5

II.1 Pengertian Bahasa Reseptif ... 5

II.2 Gangguan Bahasa Reseptif . ... 5

II.3 Gejala Gangguan Bahasa Reseptif . ... 6

II.4 Pengertian Anak Tunarungu . ... 7

II.5 Pelajaran Matematika ... 9

II.6 Laporan Hasil Analisis Bahasa Reseptif ………. 11

II.7 Target Audiens ……… 13


(7)

vii

BAB III STRATEGI PERANCANGAN DAN KONSEP VISUAL ... 14

III.1 Strategi Perancangan ... 14

III.1.1 Tujuan Komunikasi ... 14

III.1.2 Pendekatan Komunikasi... 14

III.1.3 Materi Pesan... 15

III.1.4 Gaya Bahasa... 15

III.1.5 Khalayak Sasaran Perancangan ... 16

III.1.6 Strategi Kreatif ... 16

III.1.7 Strategi Media ... 17

III.1.7.1 Copywriting... 18

III.1.8 Strategi Distribusi ... 18

III.2 Konsep Visual ... 18

III.2.1 Format Desain ... 19

III.2.2 Layout ... 19

III.2.3 Huruf ... 21

III.2.4 Ilustrasi ... 21

III.2.5 Warna ... 23

BAB IV TEKNIS PRODUKSI DAN APLIKASI MEDIA ... 24

IV.1 Teknis Produksi ... 24

IV.2 Aplikasi Media ... 27

IV.2.1 Aplikasi Media Pendukung ... 27

DAFTAR PUSTAKA ... 29


(8)

1 BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang Masalah

Anak tunarungu adalah anak yang mengalami kehilangan fungsi pendengaran, baik sebagian maupun seluruhnya yang berdampak kompleks dalam kehidupannya. (Intan Mara, 2013, h.1) Anak tunarungu secara fisik terlihat seperti anak normal, tetapi bila diajak berkomunikasi barulah terlihat bahwa anak mengalami gangguan pendengaran. Anak tunarungu tidak berarti anak itu tunawicara, akan tetapi pada umumnya anak tunarungu mengalami ketunaan sekunder yaitu tunawicara. Penyebabnya adalah anak sangat sedikit memiliki kosakata dalam sistem otak dan anak tidak terbiasa berbicara.

Anak tunarungu memiliki tingkat intelegensi bervariasi dari yang rendah hingga jenius. Anak tunarungu yang memiliki intelegensi normal pada umumnya tingkat prestasinya di sekolah rendah. Hal ini disebabkan oleh perolehan informasi dan pemahaman bahasa lebih sedikit bila dibanding dengan anak mampu dengar. Anak tunarungu mendapatkan informasi dari indera yang masih berfungsi, seperti indera penglihatan, perabaan, pengecapan dan penciuman.

Karena anak tunarungu kesulitan dalam memperoleh informasi dan pemahaman bahasa, anak tunarungu mendapat pendidikan khusus di lembaga informal dan formal. Pendidikan informal yang menangani anak tunarungu yaitu LSM, organisasi penyandang cacat, posyandu dan klinik-klinik anak berkebutuhan khusus. Lembaga pendidikan formal yang menangani anak tunarungu adalah home schooling, sekolah inklusi, dan Sekolah Luar Biasa (SLB).

Bahasa adalah alat berfikir dan sarana utama untuk berkomunikasi, untuk saling menyampaikan ide, konsep dan perasaannya, serta termasuk didalamnya kemampuan untuk mengetahui makna kata serta aturan atau kaidah bahasa serta penerapannya. (Somad dan Heryati, 1995, h.36). Pada dasarnya bahasa dibedakan menjadi dua tipe, yaitu bahasa reseptif dan bahasa ekspresif.


(9)

2 Bahasa Reseptif adalah kemampuan berbahasa anak untuk mengenal dan bereaksi terhadap seseorang, terhadap kejadian lingkungan sekitarnya, mengerti maksud mimik dan nada suara dan akhirnya mengerti kata-kata. Fungsi ekspresif adalah kemampuan anak mengutarakan pikirannya, dimulai dari komunikasi praverbal (sebelum anak dapat berbicara), komunikasi dengan ekpresi wajah, gerakan tubuh, dan akhirnya dengan menggunakan kata-kata atau komunikasi verbal (seperti dikutip Somad dan Heryati, 1995, h.36).

Fungsi reseptif terlihat dengan adanya reaksi terhadap suara. Hal ini pada mulanya bersifat refleks. Kemudian ia memperlihatkan respons motorik berupa terdiam ketika mendengar suara, mengedip, atau seperti gerak terkejut. Fungsi ekspresif muncul berupa mengeluarkan suara tenggorok misalnya berdahak, batuk dan menangis. Seperti hal nya yang banyak dialami oleh anak tunarungu.

Anak tunarungu mengalami kesulitan dalam pembelajaran yang bersifat abstrak. Salah satu pembelajaran utama di SLB tingkat dasar adalah pelajaran matematika. Matematika adalah sebuah ilmu dengan objek kajian yang bersifat abstrak. Dalam bahasa Indonesia ‘abstrak’ diartikan sebagai sesuatu yang tak berwujud atau hanya gambaran pikiran. Makna dari penjelasan tersebut adalah sesuatu yang abstrak, tidak berwujud dalam bentuk konkret atau nyata, hanya dapat dibayangkan dalam pikiran saja (R Soedjadi, 2000, h.15).

Pelajaran matematika adalah mata pelajaran ilmu pasti. Melalui matematika dapat diamati gejala-gejala alam dan digeneralisasikan dalam berbagai pola, hubungan ataupun aksioma. Hasil generalisasi kemudian dituliskan dalam bahasa simbol. Pelajaran matematika dianggap sebagian siswa sebagai pelajaran sulit dan menakutkan. Saat pembelajaran siswa terlihat kurang semangat. Bila ditanya apa sebab tidak tenang, maka anak akan menjawab pelajaran berhitung susah. Siswa lebih senang belajar keterampilan atau olahraga yang tidak berhubungan dengan bilangan. Mata pelajaran matematika masih menjadi mata pelajaran momok bagi siswa. Penjumlahan merupakan kemampuan dasar yang harus dikuasai siswa, karena matematika adalah pelajaran maju bersyarat. Bila siswa belum menguasai kemampuan dasar maka tidaklah mungkin siswa dapat menguasai materi


(10)

3 selanjutnya. Permasalahan rendahnya kemampuan operasi penjumlahan pada siswa tunarungu kelas III disinyalir karena siswa kurang memahami konsep bilangan, nilai tempat bilangan, dan penjumlahan.

Kompetensi dasar mata pelajaran matematika yang mendasar adalah siswa dapat melakukan operasi penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian. Penjumlahan merupakan operasi penggabungan antara bilangan satu dengan bilangan yang lain. Angka adalah sebuah simbol abstrak dari bahasa matematika, yaitu konversi dari simbol bilangan. Pembelajaran dengan sifat abstrak ini sulit diterima anak tunarungu yang cenderung memiliki daya abstrak rendah. Untuk itu dibutuhkan media untuk menjembatani pemikiran anak tunarungu dalam mempelajari konsep penjumlahan.

Kemampuan siswa kelas III dasar seharusnya sudah menguasai materi pecahan sederhana, tetapi kondisi di lapangan siswa masih mempelajari penjumlahan dua angka atau penjumlahan hingga angka 90. Penjumlahan dua angka merupakan kompetensi dasar yang seharusnya telah dikuasai siswa pada kelas I semester II. Meskipun siswa belum menguasai kompetensi yang diajarkan tetapi siswa akan terus naik kelas setiap tahunnya. Sistem kenaikan kelas di yayasan ini adalah maju berkelanjutan.

I.2 Identifikasi Masalah

Dari penjelasan diatas yang telah dipaparkan sebelumnya, maka dapat ditemukan beberapa masalah sebagai berikut:

 Terhambatnya perkembangan bahasa reseptif anak tunarungu.  Keterlambatan anak tunarungu dalam memperoleh informasi.

 Anak tunarungu sulit memahami kalimat perintah dan kesulitan dalam menjawab pertanyaan.

 Kemampuan pemahaman bilangan pada anak tunarungu kurang berkembang.  Terhambatnya kemampuan anak tunarungu dalam mata pelajaran


(11)

4 I.3 Rumusan Masalah

Setelah identifikasi masalah diatas diketahui, maka terdapat rumusan dari masalah tersebut, yaitu:

 Bagaimana cara meningkatkan kemampuan bahasa reseptif anak tunarungu pada mata pelajaran matematika kelas III tingkat dasar di Yayasan Penyelenggara Pendidikan dan Pengajaran Anak Tuna Rungu (YP3ATR) II Cicendo Bandung?

I.4 Batasan Masalah

Agar pembahasan masalah lebih terarah, maka terdapat batasan dari masalah tersebut, yaitu:

 Penggunaan media komunikasi visual berupa tulisan, angka dan gambar pada mata pelajaran matematika.

 Kategori anak tunarungu kelas III sekolah dasar pada usia 7-10 tahun.

 Difokuskan mengenai masalah rendahnya kemampuan operasi penjumlahan dan pengurangan pada siswa tunarungu kelas III tingkat dasar.

 Gangguan Pendengaran sedang (moderate) 56 dB - 70 dB

 Penggunaan media kartu peraga harus diajarkan terlebih dahulu oleh pihak pengajar atau orang tua sebelum diberikan langsung kepada target audien

I.5 Tujuan Perancangan

Adapun tujuan dari pentingnya memberikan pengetahuan mengenai bahasa reseptif anak tunarungu, yaitu sebagai berikut:

 Mengetahui kemampuan bahasa reseptif anak tunarungu sebelum dan sesudah dilakukan pembelajaran.

 Menciptakan pengembangan media pembelajaran bagi anak tunarungu.  Meningkatkan kemampuan bahasa reseptif anak tunarungu dalam

mempelajari dan memahami agar anak lebih senang dan menyukai mata pelajaran matematika.


(12)

5 BAB II

BAHASA RESEPTIF PADA ANAK TUNARUNGU

II.1 Pengertian Bahasa Reseptif

Bahasa Reseptif adalah kemampuan berbahasa anak untuk mengenal dan bereaksi terhadap seseorang, terhadap kejadian lingkungan sekitarnya,mengerti maksud mimik dan nada suara dan akhirnya mengerti kata-kata. Fungsi ekspresif adalah kemampuan anak mengutarakan pikirannya, dimulai dari komunikasi preverbal (sebelum anak dapat berbicara), komunikasi dengan ekpresi wajah, gerakan tubuh, dan akhirnya dengan menggunakan kata-kata atau komunikasi verbal (Efendi, 2008, h.73). Fungsi reseptif terlihat dengan adanya reaksi terhadap suara. Hal ini pada mulanya bersifat refleks. Kemudian ia memperlihatkan respons motorik berupa terdiam kalau mendengar suara, mengedip, atau seperti gerak terkejut. Fungsi ekspresif muncul berupa mengeluarkan suara tenggorok misalnya berdahak, batuk dan menangis. Seperti hal nya yang banyak dialami oleh anak tunarungu.

II.2 Gangguan Bahasa Reseptif

Menurut Soetjiningsih (1995, h.1) gangguan bahasa reseptif merupakan keterlambatan dalam sektor bahasa yang dialami oleh anak tunarungu. Kemampuan berbahasa merupakan suatu indikator seluruh perkembangan anak. Jika seorang anak tidak mampu berbicara maka dapat menimbulkan kesulitan dalam berkomunikasi dan mengungkapkan perasaannya kelak. Dalam artikel “Frequently Asked Question”, Jeniffer Fusco (2002, h.28) mengungkapkan bahwa gangguan bahasa reseptif merupakan suatu keterlambatan dalam berbahasa ataupun bicara dimana jika dilakukan penanganan dini akan sangat menolong anak dalam masalah bahasa. Penyebab kelainan berbahasa bermacam-macam yang melibatkan berbagai faktor yang dapat saling mempengaruhi, antara lain kemampuan lingkungan, pendengaran, kognitif, fungsi saraf, emosi, psikologis dan lain sebagainya.

Anak-anak perlu memahami bahasa sebelum mereka dapat menggunakan bahasa secara efektif. Dalam kebanyakan kasus, anak dengan masalah bahasa reseptif


(13)

6 juga memiliki gangguan bahasa ekspresif, yang berarti mereka mengalami kesulitan menggunakan bahasa lisan.

Diperkirakan bahwa antara tiga dan lima persen anak memiliki gangguan bahasa reseptif, atau ekspresif, atau campuran keduanya. Nama lain untuk gangguan bahasa reseptif meliputi gangguan pendengaran dan pusat pengolahan defisit pemahaman. Pilihan pengobatan termasuk terapi wicara-bahasa.

II.3 Gejala Gangguan Bahasa Reseptif

Penyebab gangguan bahasa reseptif seringkali tidak diketahui, tetapi diduga terdiri dari sejumlah faktor yang bekerja dalam kombinasi, seperti kerentanan genetik anak, eksposur anak untuk bahasa, dan pemikiran mereka perkembangan umum dan kognitif (dan pemahaman) kemampuan. gangguan bahasa reseptif yang sering dikaitkan dengan gangguan perkembangan seperti autisme. Dalam kasus lain, gangguan bahasa reseptif disebabkan oleh cedera otak seperti trauma, tumor atau penyakit.

Aram D.M (1987) dan Towne (1983) gejala-gejala anak dengan gangguan bahasa adalah sebagai berikut:

1. Lahir – 9 bulan: anak mulai mendengar dan mengerti, kemudian berkembanglah pengertian konseptual yang sebagian besar nonverbal.

2. Sampai 12 bulan: anak berbahasa reseptif auditorik, belajar mengerti apa yang dikatakan, pada umur 9 bulan belajar meniru kata-kata spesifik misalnya dada, muh, kemudian menjadi mama, papa.

3. Sampai 7 tahun: anak berbahasa ekspresif auditorik termasuk persepsi auditorik kata-kata dan menirukan suara. Pada masa ini terjadi perkembangan bicara dan penguasaan pasif kosa kata sekitar 3000 buah.

4. Umur 6 tahun dan seterusnya: anak berbahasa reseptif visual (membaca). Pada saat masuk sekolah ia belajar membandingkan bentuk tulisan dan bunyi perkataan (mengeja dan menulis).

Gangguan pendengaran pada anak tunarungu dapat diklasifikasikan dari 0 dB-91 dB ke atas. Setiap tingkatan kehilangan pendengaran mempunyai pada kemampuan mendengar suara atau bunyi yang berbeda-beda, sehingga


(14)

7 mempengaruhi kemampauan komunikasi anak tunarungu. Terutama, pada kemampuan anak berbicara dengan artikulasi yang tepat dan jelas. Semakin tinggi kehilangan pendengarannya, maka semakin lemah kemampuan artikulasinya. Berdasarkan tingkat kehilangan ketajaman pendengaran yang diukur dengan satuan desiBell (dB), klasifikasi anak tunarungu menurut Heri Purwanto (1998, h.7)

adalah seperti berikut :

a. Sangat ringan (light) 25 dB - 40 dB

b. Ringan (mild) 41 dB - 55 dB

c. Sedang (moderate) 56 dB - 70 dB

d. Berat (severe) 71 dB - 90 dB

e. Sangat berat (profound) 91 dB – lebih II.4 Pengertian Anak Tunarungu

Secara umum anak tunarungu dapat diartikan anak yang tidak dapat mendengar. Tidak dapat mendengar tersebut dapat dimungkinkan kurang dengar atau tidak mendengar sama sekali. Secara fisik, anak tunarungu tidak berbeda dengan anak dengar pada umumnya, sebab orang akan mengetahui bahwa anak menyandang ketunarunguan pada saat berbicara, anak tersebut berbicara tanpa suara atau dengan suara yang kurang atau tidak jelas artikulasinya, atau bahkan tidak berbicara sama sekali, anak tersebut hanya berisyarat. Agar dapat diperoleh pengertian yang lebih jelas tentang anak tunarungu, berikut ini dikemukakan definisi anak tunarungu oleh beberapa ahli.

Murni Winarsih (2007, h.23) menyatakan tunarungu adalah seseorang yang mengalami kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar baik sebagian atau seluruhnya yang diakibatkan oleh tidak fungsinya sebagian atau seluruh alat pendengaran, sehingga anak tersebut tidak dapat menggunakan alat pendengarannya dalam kehidupan sehari-hari. Hal tersebut berdampak terhadap kehidupannya secara kompleks terutama pada kemampuan berbahasa sebagai alat komunikasi yang sangat penting. Gangguan mendengar yang dialami anak tunarungu menyebabkan terhambatnya perkembangan bahasa anak, karena


(15)

8 perkembangan tersebut, sangat penting untuk berkomunikasi dengan orang lain. Berkomunikasi dengan orang lain membutuhkan bahasa dengan artikulasi atau ucapan yang jelas sehingga pesan yang akan disampaikan dapat tersapaikan dengan baik dan mempunyai satu makna, sehingga tidak ada salah tafsir makna yang dikomunikasikan.

Sedangkan Iwin Suwarman (dalam Edja Sadjaah, 2005, h.75), pakar bidang medik, memiliki pandangan yang sama bahwa anak tunarungu dikategorikan menjadi dua

kelompok. Pertama Hard of hearing adalah seseorang yang masih memiliki sisa pendengaran sedemikian rupa sehingga masih cukup untuk digunakan sebagai alat penangkap proses mendengar sebagai bekal primer penguasaan kemahiran bahasa dan komunikasi dengan yang lain baik dengan maupun tanpa mengguanakan alat bantu dengar. Kedua The Deaf adalah seseorang yang tidak memiliki indera dengar sedemikian rendah sehingga tidak mampu berfungsi sebagi alat penguasaan bahasa dan komunikasi, baik dengan ataupun tanpa menggunakan alat bantu dengar. Kemampuan anak tunarungu yang tergolong kurang dengar akan lebih mudah mendapat informasi sehingga kemampuan bahasanya akan lebih baik. Anak tuli yang sudah tidak mempunyai sisa pendengaran otomatis untuk mendapat informasi sulit sehingga kemampuan bahasanya kurang baik.

Pendapat yang sama dari Permanarian (Somad dan Tati Hernawati, 1995, h.27) menyatakan bahwa anak tunarungu adalah seseorang yang mengalami kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar baik sebagian atau seluruhnya yang diakibatkan karena tidak berfungsinya sebagian atau seluruh alat pendengaran, sehingga ia tidak dapat menggunakan alat pendengarannya dalam kehidupan sehari-hari yang membawa dampak terhadap kehidupananya secara kompleks.


(16)

9 II.5 Pelajaran Matematika

Matematika merupakan mata pelajaran yang dipelajari disetiap jenjang pendidikan mulai dari SD, SMP, SMA sampai jenjang perguruan tinggi. Selain itu matematika sangat membantu dan dibutuhkan pada bidang studi atau ilmu – ilmu yang lain (Samsarif, 2009). Istilah Matematika berasal dari bahasa Yunani, mathein atau manthenien yang artinya mempelajari. Kata matematika diduga erat hubungannya dengan kata Sangsekerta, medha atau widya yang artinya kepandaian, ketahuan atau intelegensia (Sri Subariah, 2006, h.1).

Matematika merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari struktur yang abstrak dan pola hubungan yang ada di dalamnya (Sri Subariah, 2006, h1). Dienes (dalam Ruseffendi, 1988, h.160) mengatakan bahwa matematika adalah ilmu seni kreatif. Oleh karena itu, matematika harus dipelajari dan diajarkan sebagai ilmu seni. Sedangkan Kitcher (dalam Jackson, 1992, h.753) lebih menfokuskan perhatiannya kepada komponen dalam kegiatan matematika. Dia mengklaim bahwa matematika terdiri atas komponen-komponen: (1) bahasa (language) yang dijalankan oleh para matematikawan, (2) pernyataan (statements) yang digunakan oleh para matematikawan, (3) pertanyaan (questions) penting yang hingga saat ini belum terpecahkan, (4) alasan (reasonings) yang digunakan untuk menjelaskan pernyataan, dan (5) ide matematika itu sendiri. Bahkan secara lebih luas matematika dipandang sebagai the science of pattern (Steen dalam Romberg, 1992, h.754). Sejalan dengan kedua pandangan di atas, Sujono (1988, h.5) mengemukakan beberapa pengertian matematika. Di antaranya, matematika diartikan sebagai cabang ilmu pengetahuan yang eksak dan terorganisasi secara sistematik. Selain itu, matematika merupakan ilmu pengetahuan tentang penalaran yang logik dan masalah yang berhubungan dengan bilangan. Bahkan dia mengartikan matematika sebagai ilmu bantu dalam mengiterpretasikan berbagai ide dan kesimpulan. Pengertian matematika sebagai ilmu tentang struktur yang terorganisir juga dikemukakan oleh Ruseffendi (1988, h.261). Dari sisi abstaraksi matematika, Newman (dalam, Jackson, 1992, h.755) melihat tiga ciri utama matematika, yaitu; (1) matematika disajikan dalam pola yang lebih ketat, (2) matematika berkembang dan digunakan lebih luas dari pada ilmu-ilmu lain, dan (3) matematika lebih terkonsentrasi pada konsep.


(17)

10 Matematika diartikan oleh Johnson dan Rising (Erman Suherman, 2003, h.19) sebagai pola berpikir, pola mengorganisasi, pembuktian yang logik, bahasa yang menggunakan istilah yang didefinisikan dengan cermat, jelas, dan akurat representasinya dengan simbol dan padat. Matematika menurut Erman Suherman (2003, h.253) adalah disiplin ilmu tentang tata cara berfikir dan mengolah logika, baik secara kuantitatif maupun secara kualitatif. Menurut Johnson dan Myklebust yang dikutip olah Mulyono Abdurrahman (2002, h.252) matematika adalah bahasa simbiolis yang fungsi praktisnya untuk mengekspresikan hubungan-hubungan kuantitatif dan keruangan sedangkan fungsi teoritisnya adalah untuk memudahkan berfikir.

Dari awal ditemukannya, matematika terus berkembang secara dinamis seiring dengan perubahan zaman. Perkembangannya tidak pernah berhenti karena matematika akan terus dibutuhkan dalam berbagai sisi kehidupan manusia.

Berdasarkan hasil observasi pendahuluan di Yayasan Penyelenggara Pendidikan dan Pengajaran Anak Tuna Rungu (YP3ATR) II Cicendo (Intan Mara Mutiara, 2013), anak tunarungu belum menguasai kemampuan operasi penjumlahan. Pada soal latihan penjumlahan jawaban siswa banyak yang keliru. Soal penjumlahan 34+2=. Jawaban siswa bervariasi. Salah satu siswa tunarungu kelas III 34+2=54. Jawaban ini berasal dari 3 (puluhan) ditambahkan 2 (satuan) hasilnya adalah 5, sedangkan 4 dituliskan di belakang 5. Jadi hasil penjumlahan adalah 54. Seringkali siswa ini menjawab 34 + 2 = 9. Jawaban 9 diperoleh dari penjumlahan semua angka yaitu 3 + 4 + 2 = 9. Dari penjelasan contoh di atas, kekeliruan penjumlahan dikarenakan siswa belum menguasai konsep bilangan dan nilai tempat bilangan (puluhan dan satuan). Operasi penjumlahan yang dilakukan siswa tunarungu tersebut adalah angka dengan nilai puluhan ditambahkan dengan angka dengan nilai satuan. Jawaban dari siswa lain 34+2=37. Siswa tunarungu ini telah menguasai konsep bilangan dan nilai tempat bilangan, akan tetapi hasil penjumlahan keliru dikarenakan proses penjumlahan yang keliru. Siswa tunarungu kelas III tergesa-gesa dalam menjawab soal penjumlahan.


(18)

11 II.6 Laporan Hasil Analisis Bahasa Reseptif

Dalam proses pengambilan data melalui penelitian yang dilakukan di Yayasan Penyelenggara Pendidikan dan Pengajaran Anak Tuna Rungu (YP3ATR) II Cicendo Bandung, responden secara garis besar menunjukan kemampuan anak tunarungu dalam melakukan perintah sederhana dikatakan baik, sedangkan pada kemampuan berhitung anak tunarungu dikatakan kurang baik.

Bentuk tes yang diberikan adalah tes lisan, berhitung dan perbuatan mengenai kemampuan subjek dalam melakukan berbagai kegiatan untuk meningkatkan kemampuan bahasa reseptif anak dalam memahami kata dan kalimat yang nantinya berkembang menjadi bahasa ekspresif. Dimana kegiatan ini di bentuk dalam perintah dan pernyataan yang di berikan.

Dalam penelitian ini, peneliti menyiapkan lembar pencatatan untuk mencatat setiap jawaban yang di kemukakan oleh responden agar lebih terstruktur, penyusunan instrumen penelitian dilakukan dengan membuat tabel tabulasi. Tabel tabulasi berisi tentang instruksi dan pertanyaan yang di berikan berkaitan dengan kegiatan pembelajaran dalam rangka meningkatkan kemampuan bahasa reseptif yang nantinya berkembang menjadi bahasa ekspresif pada anak. Indikator di sesuaikan dengan kebutuhan anak yang mengacu pada kurikulum perkembangan bahasa terapi ABA yang di kembangkan Loovas.


(19)

12

INDIKATOR FREKUENSI % BOBOT SKOR

RATA-RATA SKOR 1. Kemampuan

Mengikuti 5 100 4 20 4

2. Mengenali Bagian Tubuh

1 20 5 5 1

4 80 4 16 3.2

3. Mengenali Benda di Sekitar

1 20 5 5 1

4 80 4 16 3.2

4. Mengenali Gambar-Gambar

2 40 5 10 2

2 40 4 8 1.6

1 20 3 3 0.6

5. Berhitung

1 20 5 5 1

3 60 4 12 2.4

1 20 3 3 0.6

6. Mendengar 1 20 4 2 0.8

4 80 3 12 2.4

7. Cara

Berkomunikasi

2 40 5 10 2

1 20 4 4 0.8

2 40 3 6 1.2

8. Perasaan 3 60 4 12 2.4

2 40 3 6 1.2

9. Interaksi

1 20 5 5 1

3 60 4 12 2.4

1 20 3 3 0.6

10. Pemahaman 3 60 4 12 2.4

2 40 3 6 1.2

TOTAL 193 39

skor tertinggi

skor terendah

Tabel II.1 Tabel Tabulasi Basaha Reseptif Sumber: Data Pribadi (2016)

Berdasarkan tabel II.1 untuk anak tunarungu di Yayasan Penyelenggara Pendidikan dan Pengajaran Anak Tuna Rungu (YP3ATR) II Cicendo Bandung, dari hasil tabulasi menunjukan bahwa untuk indikator kemampuan mengikuti memiliki persentase sebesar 100% dengan bobot 4, skor 20 dan rata-rata skor 4 hal ini menunjukan bahwa kemampuan berbahasa dalam aspek Bahasa reseptif


(20)

13 untuk kemampuan anak tunarungu dalam melakukan perintah sederhana dikatakan baik. Dengan hal itu untuk kemampuan anak dapat mengikuti dapat di contohkan dalam perintah sederhana seperti tepuk tangan dan untuk hasil analisis keseluruhan total skor sebesar 193 dengan rata-rata skor 39 poin.

Kemudian untuk persentase dan rata-rata skor paling rendah terdapat pada indikator mengenali gambar-gambar, berhitung, dan indikator interaksi. Dengan frekuensi 1 dan jumlah persentase sebesar 20 , bobot 3 dengan skor 3 dan rata-rata skor sebesar 0,6. Maka dari itu untuk hasil analisa dari Bahasa reseptif itu sendiri terlihat sangat rendah dan kurang baik pada indikator- indikator tersebut.

II.7 Target Audiens Demografis

Usia: dikhususkan untuk anak tunarungu usia 7-10 tahun Jenis Kelamin: laki-laki dan perempuan

Pendidikan: SLB Tingkat Dasar kelas III Geografis

Penelitian ini ditujukan untuk anak penyandang tunarungu di Bandung. Psikografis

Anak tunarungu usia 7-10 tahun yang masih sangat senang senang bermain, malas belajar, dan berupaya semakin ingin mengenal siapa dirinya dengan membandingkan dirinya dengan teman sebayanya.

II.8 Resume yang Mengarah Pada Solusi Perancangan

Berdasarkan penelitian dari analisa yang diperoleh maka dapat disimpulkan bahwa bahasa reseptif anak tunarungu perlu dikembangkan pada mata pelajaran matematika. Diharapkan dari hasil penelitian ini nantinya bisa diaplikasikan terhadap media pembelajaran. Solusi yang tepat adalah membuat perancangan buku dan kartu peraga untuk penyandang anak tunarungu kelas III tingkat dasar di Bandung,


(21)

14 BAB III

STRATEGI PERANCANGAN DAN KONSEP VISUAL

III.1 Strategi Perancangan

Strategi perancangan terdiri dari dua kata yaitu strategi dan perancangan, yang masing-masing kata mempunyai pengertian tersendiri. Strategi adalah cara yang ditetapkan untuk mencapai sebuah tujuan, sedangkan perancangan adalah suatu aktivitas pembuatan usulan-usulan yang merubah sesuatu yang telah ada menjadi sesuatu yang lebih baik untuk mencapai tujuan.

Dengan menggunakan buku pintar dan alat peraga berupa kartu adalah strategi perancangannya. Kelebihan yang dimiliki oleh media ini adalah adanya ilustrasi berupa bahasa isyarat angka. Diharapkan perancangan media pembelajaran buku dan kartu peraga mengenai meningkatkan kemampuan bahasa reseptif pada anak tunarungu di mata pelajaran matematika dapat dengan efektif mencapai tujuan maka dibutuhkan strategi perancangan yang terkonsep dengan baik.

III.1.1 Tujuan Komunikasi

Memberikan pembelajaran tentang kemampuan bahasa reseptif pada anak tunarungu, sehingga dapat meningkatkan kemampuan bahasa reseptif anak tunarungu pada mata pelajaran matematika.

III.1.2 Pendekatan Komunikasi

Pendekatan komunikasi yang digunakan dalam perancangan media pembelajaran tentang matematika diwakili dengan buku pelajaran matematika disertai dengan kartu peraga adalah pendekatan secara visual. Ada beberapa pendekatan yang dilakukan untuk mendapatkan perhatian dari masyarakat agar tertarik dengan buku dan kartu peraga matematika, antara lain:

 Dengan adanya buku dan kartu peraga bisa mempermudah anak tunarungu dalam menerima informasi dalam bentuk tulisan, angka, maupun visual.  Hal ini dapat tercapai dengan menggunakan dan mempelajari isi dari buku


(22)

15 dengan bahasa isyaratnya sehingga anak tunarungu dapat dengan mudah memahami isi dari buku dan kartu peraga yang telah disediakan.

 Pendekatan Visual

 Pendekatan visual yang digunakan dalam buku dan kartu peraga ini berupa angka, teks, gambar dan bahasa isyarat angka yang menginformasikan tentang masing-masing bentuk angka, beberapa latihan soal dan mewarnainya.

 Pendekatan visual berupa gambar dari masing-masing jumlah angka diharapkan anak tunarungu dapat lebih mengenal bentuk-bentuk angka dan bisa menghitungnya.

 Tampilan visual layout buku dan kartu peraga dilakukan pendekatan dengan ilustrasi sederhana dan penuh warna, agar nuansa atau kesan ceria dari buku dan kartu peraga ini dapat terasa dengan desain yang sederhana diharapkan dapat mempermudah anak tunarungu dalam penggunaan media tersebut.

 Pendekatan Verbal

Penyampaian informasi dalam media buku dan kartu peraga matematika adalah dengan menggunakan bahasa Indonesia. Penggunaan Bahasa Indonesia digunakan sebagai penjelasan dan informasi agar materi pesan yang disampaikan cukup jelas dan mudah dimengerti oleh target sasaran sehingga komunikasi yang disampaikan lebih efektif dan pesan yang disampaikan dapat diterima dengan baik.

III.1.3 Materi Pesan

Menampilkan informasi yang menjelaskan jenis-jenis angka beserta bahasa isyaratnya dan disertai beberapa latihan soal yang memiliki tingkat kesulitan yang bertahap.


(23)

16 III.1.4 Gaya Bahasa

Menggunakan bahasa non formal agar terkesan lebih santai dan bersahabat serta sesuai dengan target audiens.

III.1.5 Khalayak Sasaran Perancangan A. Consumer Insight

Anak tunarungu, laki-laki dan perempuan usia 7-10 tahun, anak tunarungu yang bersekolah tingkat dasar kelas III dengan status sosial menengah yang sangat senang bermain, malas belajar, dan berupaya semakin ingin mengenal siapa dirinya dengan membandingkan dirinya dengan teman sebayanya.

B. Consumer Journey

Waktu Aktivitas Anak

Tunarungu Tempat Point Of Contact

06.00-07.00

Bangun tidur, mandi, pilih baju,

sarapan

Kamar tidur

Kasur, bantal, guling, selimut, lemari baju,

jam, 07.00-07.30 Menuju sekolah Jalan,

sekolah Jalan, kendaraan, orang 08.00-11.00 Belajar, diskusi,

bermain

Sekolah, kelas, taman, kantin

Meja, kursi, alat tulis, teman, guru

12.00-21.00

Bermain, istirahat, pulang, makan,

belajar, tidur

Rumah, kamar Makanan, minuman, kendaraan, orang tua

Tabel III.1 Consumer Journey

Sumber: Data pribadi (2016)

III.1.6 Strategi Kreatif

Agar informasi mencapai tujuan dengan yang diharapkan maka buku dan kartu peraga harus kreatif dan menarik dalam memberikan informasi dan pembelajaran yang efektif, strategi kreatif yang akan dirancang dalam media pembelajaran buku


(24)

17 dan kartu peraga ini adalah menyangkut tentang matematika dasar penjumlahan dan pengurangan yang didalamnya terdapat informasi tentang bentuk angka dan gambar yang dilengkapi dengan beberapa soal latihan.

(a) (b)

Gambar III.1 (a) Cover Depan dan Cover Belakang Buku Matematika (b) Cover Depan dan Cover Kartu Peraga Matematika

Sumber: Data pribadi (2016)

III.1.7 Strategi Media Media Utama

Media adalah salah satu hal terpenting dalam penyampaian sebuah informasi, yaitu sebagai alat penghubung untuk menyampaikan pesan kepada audiens. Maka diperlukan media yang sesuai agar informasi mudah dipahami dengan baik. Media yang akan digunakan dalam perancangan media pembelajaran ini berupa buku dan kartu peraga matematika. Buku dan kartu peraga dipilih karena media tersebut dapat dengan mudah untuk diingat, dipelajari dan diterima oleh target audien, sehingga media ini menjadi media yang efektif dibandingkan dengan media yang lain.

Media Sekunder (Media Pendukung)

Media pendukung merupakan media pelengkap atau tambahan bagi media utama untuk membantu menginformasikan, agar menjadi rangsangan target audiens untuk menggunakan buku dan kartu peraga, media pendukung tersebut antara lain:


(25)

18  Poster: Poster adalah media informasi yang dapat menampung banyak informasi yang singkat dan cepat dipahami. Poster ini diperlukan untuk mempromosikan media aplikasi, karena poster ini sangat mudah untuk disebarkan dan efektif untuk ditempatkan dimana saja, seperti di dinding, kaca, jendela, dan lain-lain. Sehingga dapat dengan mudah dilihat oleh target audiens.

III.1.7.1 Copywriting

Untuk mempermudah serta dapat menarik perhatian audiens, maka dibuatlah copywriting untuk kebutuhan dalam memperkenalkan dengan media pendukung, diantaranya adalah:

Headline:, buku pintar dan kartu pintar, kedua kata tersebut dapat menarik perhatian dan mewakili apa yang ingin disampaikan kepada target audiens.  Subheadline: Menulis angka, Menggambar dan Mewarnai, kalimat tersebut

memperjelas maksud dari apa yang akan disampaikan.

 Ilustrasi: dengan tampilan pada cover penuh warna agar dapat merangsang minat audiens untuk membaca iklan pada poster atau media lainnya.

 Titel Tambah: kalimat tambahan yang merupakan rincian dari kalimat utama, yaitu penjelasan singkat mengenai apa saja yang terdapat pada buku pintar dan kartu pintar.

Seals, Logotype & Signature: Identitas nama penerbit dan nama produk untuk membuat sebuah individualitas produk, dan membantu memberikan nilai jual diantaranya logo penerbit.

III.1.8 Strategi Distribusi

Strategi distribusi merupakan rencana dalam menyebarkan atau menyalurkan produk kepada target sasaran atau audiens. Dalam perancangan ini, produk tersebut adalah buku pintar dan kartu pintar. Media ini akan disebarkan ke sekolah sekolah yang memiliki siswa berkebutuhan khusus, khususnya tunarungu secara gratis. Untuk memperkenalkan media tersebut dilakukan dengan cara menempelkan poster di mading sekolah, mendistribusikan melalui media pendukung yang disebar sesuai dengan kebutuhan serta fungsinya masing-masing.


(26)

19 III.2 Konsep Visual

Buku dan kartu peraga ini terdapat angka 1-90, bahasa isyarat angka 1-90 dan gambar-gambar yang diharapkan memberikan daya tarik terhadap audiens dan memberikan informasi yang jelas. Memiliki gambar dan angka sehingga aplikasi ini terlihat menarik dan mudah dimengerti. Selain tata letak atau layout pada buku dan kartu peraga ini terlihat sederhana, ditambah dengan latihan soal dan mewarnai objek. Selain dari pada itu hal tersebut juga didukung dengan pendekatan warna, penggunaan huruf pada aplikasi dan tata letak yang disesuaikan. Warna yang digunakan dalam aplikasi ini bervariasi dengan tujuan ingin menggambarkan sesuatu hal yang mempunyai kesan senang dan ceria agar audiens tidak bosan dalam mempalajari mata pelajaran matematika.

III.2.1 Format Desain

Aplikasi mengenai buku pintar matematika ini berukuran 14.8x21cm (A5), sedangkan kartu peraga matematika berukuran 9x12cm, ukuran tersebut adalah ukuran yang sesuai dengan standar pocket book pada umumnya. Isi dari aplikasi ini adalah macam-macam gambar, angka, dan bahasa isyarat angka yang menarik beserta latihan soal penjumlahan dan pengurangan.

14.8 cm 9 cm

21. cm 12 cm

Gambar III.2 Format Desain Sumber: Data pribadi (2016)


(27)

20 III.2.2 layout

Layout yang diterapkan pada buku dan kartu peraga ini disesuaikan dengan arah keterbacaan pada umumnya, yaitu dari atas kiri hingga bawah kanan. Diharapkan dengan demikian pengguna buku dan kartu peraga dapat lebih mudah dipahami dan nyaman dalam menggunakan media tersebut. Selain itu, layout yang digunakan tetap mengacu pada prinsip-prinsip desain, diantaranya:

 Keselarasan

Keselarasan merupakan prinsip desain yang diartikan sebagai keteraturan tatanan diantara bagian-bagian suatu karya. Keselarasan dalam desain merupakan pembentukan unsur-unsur keseimbangan, keteraturan, kesatuan, dan perpaduan yang masing-masing saling mengisi dan menimbang. Keselarasan (harmoni) bertindak sebagai faktor pengaman untuk mencapai keserasian seluruh penyajian pada rancangan buku dan kartu peraga matematika.

 Kesebandingan

Kesebandingan (proporsi) merupakan hubungan perbandingan antara bagian dengan bagian lain atau bagian dengan elemen keseluruhan pada rancangan buku dan kartu peraga matematika.

 Keseimbangan

Sebagai media komunikasi visual yang bertujuan untuk mentransfer informasi secara jelas sekaligus estetis memerlukan keadaan keseimbangan pada unsur-unsur yang ada di dalam konten-konten buku dan kartu peraga matematika.

Gambar III.3 Layout Buku Pintar Matematika Sumber: Data pribadi (2016)


(28)

21 III.2.3 Huruf

Jenis Huruf yang digunakan pada aplikasi ini adalah Rumpelstiltskin, merupakan jenis font yang menggambarkan konsep ceria dan Futura Md BT, sebagai font yang memberikan keterbacaan yang jelas bagi pembaca.

(a) (b) Gambar III.4 (a) Rumpelstiltskin Font (b) Futura Md BT Font

Sumber: Data pribadi (2016)

III.2.4 Ilustrasi

Ilustrasi yang digunakan dalam perancangan buku dan kartu peraga mengacu kepada desain-desain anak yang mengusung konsep bermain dan belajar yang di dalamnya menampilkan desain-desain lucu, dan warna-warna ceria. diantaranya:  Tampilan cover pada buku dan kartu pintar yang mengadaptasi dari anak

yang sedang melukis, dengan demikian dapat memperkuat konsep yang diterapkan pada cover bagian belakang buku:

Gambar III.5 ReferensiAnak Melukis


(29)

22  Wireframe: Tampilan keseluruhan dari layout yang didalamnya terdapat judul, background, konten, gambar, angka, dan teks. Dalam proses perancangan dibutuhkan beberapa referensi agar konsep dapat sesuai dengan apa yang diinginkan dan sesuai dengan konsep yang lebih mengacu pada desain-desain bertemakan ceria dengan tujuan agar media yang menyenangkan dan sesuai fungsi.

Berikut adalah beberapa referensi untuk perancangan buku pintar dan kartu peraga:

(a) (b) Gambar III.6 (a) Buku (b) Smart Card Sumber: http://www.wahyumedia.com/ (Januari 2016)


(30)

23 III.2.5 Warna

Warna merupakan unsur terpenting dalam sebuah desain, setiap warna memiliki kekuatan dan arti yang berbeda-beda warna juga mampu merangsang perilaku dan perasaan seseorang. Pemilihan warna harus sesuai dengan konsep dan pesan yang ingin disampaikan. Dalam perancangan media buku pintar dan kartu peraga, berikut warna-warna yang digunakan dalam perancangan media buku pintar dan kartu peraga sebagai berikut:

Gambar III.7 Warna Sumber: Data pribadi (2016)

Warna yang digunakan dalam buku pintar dan kartu peraga ini adalah warna-warna yang ceria, agar target audiens dapat merasakan suasana yang ceria, nyaman, dan bersahabat.


(31)

24 BAB IV

TEKNIS PRODUKSI DAN APLIKASI MEDIA

IV.1 Teknis Produksi

Dalam pembuatan media pembelajaran tentang buku dan kartu peraga matematika melalui beberapa tahap dalam pengerjaannya, mulai dari, sketsa, layout, sampai media akhir. Dalam perancangan media utama menggunakan aplikasi software desain yaitu Corel Draw X7 sebagai berikut:

A. Sketsa Buku

Sketsa tampilan buku dan kartu peraga yang mengacu kepada konsep yang sudah ditentukan. Pada tahap ini ukuran bentuk objek dan jarak antar objek harus sesuai, agar pada tahap rancangan visual dapat dikerjakan dengan baik.

Gambar IV.1 Sketsa Buku Pintar Sumber: Data pribadi (2016)

Gambar IV.2 Sketsa Kartu Peraga Sumber: Data pribadi (2016)


(32)

25 B. Perancangan Visual

Dalam tahap ini perancangan dilakukan dengan menggunakan software Corel Draw X7 yang mengacu pada sketsa yang telah dibuat.

Gambar IV.3 Perancangan Buku Sumber: Data pribadi (2016)

Setelah selesai pada perancangan buku, kemudian dilanjutkan ke pembuatan kartu peraga dengan menggunakan software Corel Draw X7.

Gambar IV.4 Perancangan Kartu Peraga Sumber: Data pribadi (2016)


(33)

26 C. Printing Buku dan Kartu Peraga

Proses selanjutnya adalah Printing, yaitu proses dimana buku dan kartu peraga tersebut dicetak sebelum dapat digunakan.

Gambar IV.5 Printing Buku dan Kartu Peraga Sumber: http://www.epson.com/ (2016)

D. Packaging Buku dan Kartu Peraga

Tahap selanjutnya adalah proses pembuatan packaging untuk mengemas buku pintar dan kartu peraga agar terlihat lebih menarik.

Gambar IV.6 Proses Pembuatan Packaging


(34)

27 IV.2 Aplikasi Media

Media utama buku pintar dengan ukuran 148x210mm dan kartu peraga berukuran 90x120mm menggunakan kekuatan visual, penekanan pada media pembelajaran ini adalah buku pintar dan kartu peraga dengan visual yang menggambarkan ilustrasi anak melukis dan belajar diantaranya gambar, angka, dan teks dilakukan pendekatan terhadap warna yang ceria, menggunakan ilustrasi gambar pada jumlah angka dan sebaliknya, serta latihan-latihan soal yang memiliki tingkat kesulitan bertahap sekaligus mewarnainya yang diharapkan dapat memberikan informasi yang akurat terhadap audiens.

Gambar IV.7 Aplikasi Media Sumber: Data pribadi (2016)

IV.2.1 Aplikasi Media Pendukung

Dalam pembuatan media pembelajaran buku pintar dan kartu peraga melalui beberapa tahap dalam pengerjaannya, mulai dari sketsa sampai dengan proses akhir. Kemudian dibantu media-media pendukung untuk mengoptimalkan dalam memperkenalkan buku pintar dan kartu peraga, diantaranya:

 Poster  Facebook Twitter


(35)

28  Media Poster

(a) (b)

Gambar IV.8 (a) Media Poster (b) Penempatan Media Poster Sumber: (a) Data pribadi (2016)

(b) www.sekolahtiarakasih.sch.id (Januari 2016)

 Ukuran: A3 (297x420mm)  Bahan : Art Papper  Teknis : Print Digital  Format : Portrait

 Media Facebook & Twitter

Gambar IV.9 Media Facebook & Twitter


(36)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Haenudin. 2013. “Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus Tunarungu” Luxima, Indonesia.

Hernawati, Tati. 2007. “Pengembangan Kemampuan Berbahasa dan Berbicara”, Bandung (Tidak Diterbitkan).

Soemantri, Sutjihati. 2006. “Psikologi Anak Luar Biasa”, Refika Aditama, Bandung.

Tarigan, Henry Guntur. 1980. “Menyimak Sebagai Suatu Keterampilan

Berbahasa”, Angkasa, Bandung.

Tarigan, Henry Guntur. 1987. “Teknik Pengajaran Keterampilan Berbahasa”, Angkasa, Bandung.

B. Internet

Mutiara, Intan Mara. 2013. "Bahasa Reseptif" PLB FIP UPI, Bandung.

Tersedia di: http://repository.upi.edu/operator/upload/s_plb_0607 165_chap- ter1.pdf. (Diakses pada 26 oktober 2015).

Heryati, Euis. 2009. "Investigasi Gangguan Bahasa". PLB FIP UPI, Bandung. Tersedia di: http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PEND._LUA R_BIASA-/19771013200 5012-EUIS_ HERYATI/INVESTIGASI_GANGGUAN_ BAHASA %5BCompatibility_ Mo d%5D.pdf. (Diakses pada 26 oktober 2015).


(37)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama

Tempat, Tanggal Lahir Jenis Kelamin

Agama Pendidikan

Alamat

Email No. HP

: : : : :

:

: :

Refal Kidung Devana

Bandung, 31 Desember 1993 Laki - laki

Islam

- SD Angkasa 2 Lanud Husein Sastranegara, Bandung

- SMP Angkasa Lanud Husein Sastranegara, Bandung

- SMK MedikaCom, Bandung

- Fakultas Desain Komunikasi Visual Universitas Komputer Indonesia

Jl. Industri BLK No.1 RT.12/08

Kec. Cicendo Kel. Arjuna Bandung 40172 kidungbelang@gmail.com


(1)

25 B. Perancangan Visual

Dalam tahap ini perancangan dilakukan dengan menggunakan software Corel Draw X7 yang mengacu pada sketsa yang telah dibuat.

Gambar IV.3 Perancangan Buku Sumber: Data pribadi (2016)

Setelah selesai pada perancangan buku, kemudian dilanjutkan ke pembuatan kartu peraga dengan menggunakan software Corel Draw X7.

Gambar IV.4 Perancangan Kartu Peraga Sumber: Data pribadi (2016)


(2)

26 C. Printing Buku dan Kartu Peraga

Proses selanjutnya adalah Printing, yaitu proses dimana buku dan kartu peraga tersebut dicetak sebelum dapat digunakan.

Gambar IV.5 Printing Buku dan Kartu Peraga Sumber: http://www.epson.com/ (2016)

D. Packaging Buku dan Kartu Peraga

Tahap selanjutnya adalah proses pembuatan packaging untuk mengemas buku pintar dan kartu peraga agar terlihat lebih menarik.

Gambar IV.6 Proses Pembuatan Packaging Sumber: Data pribadi (2016)


(3)

27 IV.2 Aplikasi Media

Media utama buku pintar dengan ukuran 148x210mm dan kartu peraga berukuran 90x120mm menggunakan kekuatan visual, penekanan pada media pembelajaran ini adalah buku pintar dan kartu peraga dengan visual yang menggambarkan ilustrasi anak melukis dan belajar diantaranya gambar, angka, dan teks dilakukan pendekatan terhadap warna yang ceria, menggunakan ilustrasi gambar pada jumlah angka dan sebaliknya, serta latihan-latihan soal yang memiliki tingkat kesulitan bertahap sekaligus mewarnainya yang diharapkan dapat memberikan informasi yang akurat terhadap audiens.

Gambar IV.7 Aplikasi Media Sumber: Data pribadi (2016)

IV.2.1 Aplikasi Media Pendukung

Dalam pembuatan media pembelajaran buku pintar dan kartu peraga melalui beberapa tahap dalam pengerjaannya, mulai dari sketsa sampai dengan proses akhir. Kemudian dibantu media-media pendukung untuk mengoptimalkan dalam memperkenalkan buku pintar dan kartu peraga, diantaranya:

 Poster  Facebook Twitter


(4)

28  Media Poster

(a) (b)

Gambar IV.8 (a) Media Poster (b) Penempatan Media Poster Sumber: (a) Data pribadi (2016)

(b) www.sekolahtiarakasih.sch.id (Januari 2016)

 Ukuran: A3 (297x420mm)  Bahan : Art Papper  Teknis : Print Digital  Format : Portrait  Media Facebook & Twitter

Gambar IV.9 Media Facebook & Twitter Sumber: Data pribadi (2016)


(5)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Haenudin. 2013. “Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus Tunarungu” Luxima,

Indonesia.

Hernawati, Tati. 2007. “Pengembangan Kemampuan Berbahasa dan Berbicara”,

Bandung (Tidak Diterbitkan).

Soemantri, Sutjihati. 2006. “Psikologi Anak Luar Biasa”, Refika Aditama, Bandung.

Tarigan, Henry Guntur. 1980. “Menyimak Sebagai Suatu Keterampilan

Berbahasa”, Angkasa, Bandung.

Tarigan, Henry Guntur. 1987. “Teknik Pengajaran Keterampilan Berbahasa”, Angkasa, Bandung.

B. Internet

Mutiara, Intan Mara. 2013. "Bahasa Reseptif" PLB FIP UPI, Bandung.

Tersedia di: http://repository.upi.edu/operator/upload/s_plb_0607 165_chap- ter1.pdf. (Diakses pada 26 oktober 2015).

Heryati, Euis. 2009. "Investigasi Gangguan Bahasa". PLB FIP UPI, Bandung. Tersedia di: http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PEND._LUA R_BIASA-/19771013200 5012-EUIS_ HERYATI/INVESTIGASI_GANGGUAN_ BAHASA %5BCompatibility_ Mo d%5D.pdf. (Diakses pada 26 oktober 2015).


(6)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama

Tempat, Tanggal Lahir Jenis Kelamin Agama Pendidikan Alamat Email No. HP : : : : : : : :

Refal Kidung Devana

Bandung, 31 Desember 1993 Laki - laki

Islam

- SD Angkasa 2 Lanud Husein Sastranegara, Bandung

- SMP Angkasa Lanud Husein Sastranegara, Bandung

- SMK MedikaCom, Bandung

- Fakultas Desain Komunikasi Visual Universitas Komputer Indonesia

Jl. Industri BLK No.1 RT.12/08

Kec. Cicendo Kel. Arjuna Bandung 40172 kidungbelang@gmail.com


Dokumen yang terkait

Perancangan Media Belajar Sistem Isyarat Bahasa Indonesia Untuk Anak Tunarungu

0 10 1

PENGGUNAAN MEDIA FILM BERTEKS DALAM MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERBAHASA RESEPTIF ANAK TUNARUNGU KELAS IX SMPLB-B SUKAPURA BANDUNG.

0 0 23

PERBANDINGAN MENGGUNAKAN MEDIA KARTU GAMBAR DAN ANIMASI DALAM MENINGKATKAN PENGETAHUAN METAMORFOSIS HEWAN PADA ANAK TUNARUNGU.

0 2 24

PENGEMBANGAN INSTRUMEN ASESMEN BAHASA RESEPTIF DAN BAHASA EKSPRESIF PADA ANAK TUNARUNGU USIA SEKOLAH.

41 126 49

PENGGUNAAN ALAT PERAGA KARTU SHAPE MATA PELAJARANBAHASA INGGRIS GUNA MENINGKATKAN KETRAMPILAN Penggunaan Alat Peraga Kartu Shape Mata Pelajaran Bahasa Inggris Guna Meningkatkan Ketrampilan Berbicara Siswa Kelas VI SD Negeri 03 Jatimulyo Kecamatan Jatipuro

0 1 13

PENGGUNAAN MEDIA KARTU KATA UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN MEMBACA PERMULAAN ANAK TUNARUNGU KELAS III DI SLB B-C FADHILAH.

2 7 24

PENGGUNAAN MEDIA FILM UNTUK MENINGKATKAN MENYIMAK PADA MATA PELAJARAN BAHASA INDONESIA SISWA TUNARUNGU KELAS VII SMPLB B DI SLB YAKALIMU PURWAKARTA.

1 9 39

PENGGUNAAN MEDIA KOMUNIKASI VISUAL DALAM MENINGKATKAN BAHASA RESEPTIF ANAK TUNARUNGU: Penelitian Eksperimen dengan Desain Single Subject Research pada Anak Tunarungu Kelas VIII SLB-B Sukapura.

3 14 34

PERBEDAAN EFEKTIVITAS PENDEKATAN PEMBELAJARAN BERBASIS MATA PELAJARAN DAN TEMATIK TERPADU UNTUK MENINGKATKAN KOMPETENSI PENGETAHUAN DAN KETRAMPILAN PADA MATA PELAJARAN MATEMATIKA ANAK TUNARUNGU KELAS IVB DI SLB B YRTRW SURAKARTA TAHUN AJARAN 2014/2015.

0 1 19

MEDIA KARTU BERGAMBAR UNTUK MENINGKATKAN PENGUASAAN KOSA KATA BAHASA INGGRIS (VOCABULARY) PADA ANAK TUNARUNGU DI SLTPLB WACANA ASIH PADANG

0 1 60