Latar Belakang PENDEKATAN PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL UNTUK PENINGKATAN KEMAMPUAN PENALARAN DAN APLIKASI KONSEP MATEMATIS SISWA SMP.

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pendidikan Sekolah berperan penting dalam kehidupan masyarakat. Orang yang mengalami pendidikan akan lebih berpengetahuan, terampil, inovatif dan produktif dibandingkan mereka yang tidak berpendidikan. Bahkan pendidikan diyakini sebagai salah satu wadah dalam membentuk peningkatan sumber daya manusia yang mandiri, kreatif, dan kritis. Rusffendi, 1992. Wadah tersebut adalah belajar, dimana belajar merupakan suatu usaha yang dilakukan secara terbuka untuk memperoleh suatu pengetahuan, yang akan diperoleh peserta didik dalam penguasaan bahan pelajaran yang telah dipelajarinya. Menurut Lunchins, dan Lunchins, Suherman, 2003: 15, tentang pertanyaan mengenai Apakah matematika itu ? ” , ada yang menyebut bahwa matematika itu merupakan bahasa simbol, matematika adalah bahasa numerik; matematika merupakan metode berpikir logis; matematika adalah ilmu tentang bilangan dan ruang; matematika adalah ilmu yang mempelajari hubungan pola, bentuk dan struktur, dari jawaban-jawaban ini memberikan kesan bahwa, pembelajaran matematika hendaknya tidak dimulai dari definisi, teorema atau sifat-sifat kemudian dilanjutkan dengan pembahasan contoh-contoh, seperti yang selama ini dilaksanakan pada sekolah- sekolah. Namun sifat-sifat, definisi, cara, prinsip, dan teorema diharapkan seolah-olah ditemukan sendiri oleh siswa melalui penyelesaian pendekatan kontekstual yang diberikan guru pada awal pembelajaran. Dengan demikian siswa didorong atau ditantang untuk aktif bekerja, bahkan diharapkan dapat merencanakan, mengkonstruksi ataupun membangun sendiri pengetahuan yang diperolehnya Dalyana, 2003:17. Sejalan dengan hal tersebut Hadi 2007 menyebutkan pengetahuan matematik sebagai salah satu mata pelajaran di sekolah dinilai sangat memegang peranan penting karena matematika dapat meningkatkan pengetahuan siswa dalam berpikir secara logis, rasional, kritis, cermat, efektif, dan efisien. Oleh karena itu, pengetahuan matematika harus dikuasai sedini mungkin oleh para siswa. Rendahnya kemampuan penalaran dan aplikasi konsep matematis siswa akan mempengaruhi kualitas belajar siswa yang berdampak pada rendahnya prestasi belajar siswa di sekolah. Salah satu upaya yang dapat dilakukan dalam menyikapinya adalah melalui pemilihan pendekatan yang tepat. Salah satu alternatif pendekatan pembelajaran yang memungkinkan untuk dapat meningkatkan aktifitas siswa dan mengembangkan kemampuan berpikir matematis siswa, seperti mengembangkan kemampuan penalaran dan aplikasi konsep matematis yaitu dengan pendekatan pembelajaran kontekstual, karena dalam pembelajaran dengan kontekstual siswa diberi keleluasan untuk mengumpulkan bahkan mengembangkan informasi, melakukan pengamatan, menginvestigasi, membuat perkiraan, berpikir kritis dan inovatif, menganalisis fakta, berusaha menemukan penyelesaian, dan menantang kesimpulan yang dikemukakan orang lain Hersunardo, 1973: 3. Kebanyakan proses pembelajaran di kelas berlangsung secara konvensional, dimana dalam pembelajaran ini guru lebih menguasai jalannya proses pembelajaran. Kegiatan dominan dengan guru memberikan ceramah, tanya jawab dan pemberian tugas, tanpa melibatkan siswa dalam mengembangkan kreatifitasnya. Siswa cenderung pasif mencatat apa yang disampaikan gurunya. Pembelajaran dengan cara ini mengakibatkan rendahnya kemampuam penalaran siswa dalam memecahkan persoalan matematika dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-harinya. Sebagaimana hasil observasi langsung di lapangan yang dilakukan oleh Hadi, 2007 yang menunjukkan data, rata-rata prestasi belajar matematika siswa Kelas VII SMP Negeri 8 Kendari semester 1 tahun 2006 yaitu 5,2. Ini berarti belum mencapai standar minimal nasional yaitu 6,00. Lebih lanjut Hadi mengungkapkan penyebab terjadinya prestasi belajara siswa adalah diakibatkan karena kurang aktifnya siswa dalam proses belajar mengajar, dimana pendekatan pembelajaran yang digunakan adalah pendekatan pembelajaran konvensional. Dalam hal ini, proses belajar-mengajar didominasi oleh guru; sedangkan siswa pasif dan tidak tahu apa yang hendak diperoleh dari hasil dominasinya, akhirnya sirnalah sudah pengembangan kemampuan siswa untuk memiliki seperangkat pengetahuan demi masa depannya. Belajar akan lebih bermakna jika siswa menemukan sendiri apa yang dialaminya, bukan mengetahui apa yang dipelajarinya, sebab pembelajaran yang berorientasi pada penguasaan materi terbukti berhasil dalam evaluasi akhir proses pembelajaran tetapi gagal dalam membekali anak memecahkan persoalan dalam kehidupan jangka panjang, karena guru lebih proaktif sedangkan anak pasif dan tidak proaktif dan hanya mengikuti apa kata gurunya. Itulah yang terjadi disekolah-sekolah kita. Depdiknas, 2002: 1 Menurut Sudrajat, 2007 : 3; upaya mengatasi berbagai model pembelajaran matematika senantiasa dilakukan para peneliti dan pengguna matematik. Upaya tersebut dilakukan sebagai upaya melibatkan matematika dalam membentuk manusia yang berkualitas, yaitu tidak hanya membekali peserta didik dengan keterampilan menggunakan matematika, tetapi juga menumbuhkan kemampuan yang transferable untuk memiliki daya pikir kritis, dalam hal ini kemampuan yang berupa : 1. Untuk tingkat dasar, kemampuan dasar reading literacy, pengetahuan bilangan numeracy, dan pemecahan masalah sederahana. 2. Untuk tingkat menengah, menerapkan matematika di berbagai bidang contextual mathematics dan kemampuan mengaplikasikan konsep matematika pada persoalan sehari-hari. Menurut Sudrajat, 2007 : 4; Usaha mensikapi berbagai problematika pembelajaran matematika berujung pada munculnya inovasi-inovasi dalam pembelajaran matematika. Inovasi pembelajaran matematika yang paling menonjol adalah rekonstruksi pemahaman matematika mathematical meaning re- construction melalui berbagai model pembelajaran dan sistem penilaian, diharapkan dapat mengembangkan rekontruksi kemampuan penalaran dan kemampuan mengaplikasikan konsep metematis siswa diberbagai bidang pengetahuan, dalam persoalan sehari-hari. Trend model pembelajaran yang dikembangkan saat ini secara formal mengikuti rekomendasi dari NCTM National Council of Teacher of Mathematics di Amerika, misalnya dalam wujud NCTM Standard for Curriculum and Evaluation, NCTM Standard for Instruction, dan NCTM Standard for Assessment. Dimana bentuk konstruksi pemahaman matematika yang saat ini dikembangkan bahkan cenderung menjadi sebuah “gerakan” studi model pembelajaran matematika di antaranya: constructivism. Menurut faham constructivis pengetahuan merupakan konstruksi bentukan dari orang yang mengenal sesuatu skemata. Sebab pengetahuan tidak bisa di transfer dari guru kepada orang lain tanpa mempertimbangkan skema yang terkandung dalam pemahaman siswa mengkontruksi pengetahuannya, karena setiap orang mempunyai skema tersendiri tentang apa yang diketahuinya. Prinsip-prinsip konstruktivisme banyak digunakan dalam pembelajaran sains dan matematika. Prinsip - prinsip yang di ambil adalah: 1 Pengetahuan di bangun oleh siswa sendiri, baik secara personal maupun sosial; 2 Pengetahuan tidak dapat di pindahkan dari guru ke siswa, kecuali hanya dengan keaktifan siswa sendiri untuk bernalar; 3 Murid aktif mengkonstruksikan terus-menerus, sehingga terjadi perubahan konsep menuju konsep yang lebih rinci, lengkap, serta sesuai dengan konsep ilmiah; 4 Guru sekedar membantu menyediakan sarana dan situasi agar proses konstruksi siswa berjalan mulus Suparno,1997. Dari penjelasan tersebut maka peneliti melakukan penelitian dengan menggunakan pendekatan pembelajaran kontekstual apakah dengan pendekatan tersebut dapat meningkatkan kemampuan penalaran dan aplikasi konsep matematik ? Pendekatan kontekstual dalam pembelajaran matematika, berusaha untuk mengubah kondisi di atas, yaitu dengan membuat skenario pembelajaran yang dimulai dari konteks kehidupan nyata siswa daily life, selanjutnya guru memfasilitasi siswa untuk mengangkat objek dalam kehidupan nyata itu ke dalam konsep matematika, dengan melalui tanya-jawab, diskusi, inkuiri, sehingga siswa dapat mengkonstruksi konsep tersebut dalam pikirannya. Karena pengetahuan matematika anak tumbuh dan berkembang bukan melalui pemberitahuan, akan tetapi melalui proses inkuiri, proses konstruktivisme, proses tanya-jawab, dan semacamnya yang dimulai dari pengamatan pada kehidupan sehari-hari yang dialami secara nyata. Suatu proses akan berjalan secara alami melalui tahap demi tahap menuju ke arah yang lebih baik, kesalahan adalah bagian dari proses pembelajaran. Dengan demikian dalam pembelajaran peristiwa salah yang dilakukan oleh siswa adalah suatu hal alami, tidak perlu disalahkan, justru seharusnya guru memberikan atensi karena ia telah melakukan terlibat aktif dalam proses pembelajaran. Guru jangan selalu berharap kepada siswa mengemukakan hal yang benar saja, selama proses pembelajaran berlangsung, tetapi guru harus mengharakan agar para siswa terbuka menyampaikan apa yang terkandung didalam pikiran anak. Dengan membuka toleransi dan menghargai setiap usaha siswa dalam belajar siswa tidak akan takut berbuat salah malahan akan tumbuh semangat untuk mencoba karena tidak takut lagi disalahkan. Karena belajar adalah suatu proses, belajar bukan sekedar menghapal konsep yang sudah jadi, akan tetapi belajar haruslah mengalami sendiri. Siswa mengkontruksi sendiri konsep secara bertahap, kemudian memberi makna konsep tersebut melalui penerapanya pada konsep lain, bidang studi lain, atau bahkan dalam kehidupan nyata yang dihadapinya. Dalam pelaksanaan pembelajaran lupakanlah tradisi; guru pemain dan siswa penonton; ubahlah ke dalam situasi; siswa pemain dan guru menjadi sutradara. Biarkanlah siswa mengembangkan potensinya intelektual, minat, bakat secara alamiah, atau bahkan berbuat kesalahan. Guru jangan pernah menyalahkan siswa, buanglah jauh-jauh prilaku tersebut, berusahalah agar siswa menyadari kesalahannya akan lebih baik dampaknya. Pendekatan kontektual Contextual Teaching and Learning CTL merupakan pendekatan pembelajaran yang mengaitkan materi dengan situasi dunia nyata siswa, sehingga mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Dengan konsep itulah, diharapkan hasil pembelajaran siswa lebih bermakna dalam peningkatan kemampuan penalaran siswa dalam mengaplikasikan konsep pengetahuan yang telah dimilikinya. Proses pembelajaran melibatkan siswa melalui kegiatan-kegiatan siswa bekerja dan siswa mengalami, bukan semata-mata guru mentransfer pengetahuan ke siswa. Proses pembelajaran lebih dipentingkan dari pada hasil. Dalam kelas kontektual, tugas guru adalah membantu menciptakan suatu perubahan tingka laku siswa mencapai tujuannya , maksudnya, guru lebih banyak berurusan dengan strategi proses pembelajaran daripada memberi informasi dalam proses pembelajaran. Tugas guru mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja bersama untuk menemukan sesuatu yang baru bagi anggota kelas siswa. Sesuatu yang baru datang dari menemukan sendiri bukan dari apa kata guru. Begitulah peran guru di kelas yang dikelola dengan pendekatan kontekstual Depdiknas: 2006 . Ada tujuh komponen utama pembelajaran yang mendasari penerapan pembelajaran kontekstual dikelas. Ketujuh komponen itu adalah konstruktivisme constructivism, bertanya questioning, menemukan inquiry, masyarakat belajar learning community, pemodelan modeling, dan penilaian sebenarnya authentic assessment. Sebuah kelas dikatakan menggunakan pembelajaan kontekstual jika ketujuh komponen tersebut dimunculkan dalam proses pembelajarannya secara baik dan benar. Namun kenyataan dilapangan menunjukan bahwa, siswa masih mengalami kesulitan saat harus mengaplikasi konsep matematika kedalam masalah yang ditemuinya. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan mengaplikasikan konsep matematik siswa pada sekolah-sekolah belum melaksanakan ketujuh komponen tersebut dalam memenuhi standar kompetensi kurikulum pendidikan nasional. Depdiknas, 2003: 8 menyampaikan bahwa siswa setelah pembelajaran harus memiliki seperangkat kompetensi matematika yang harus ditunjukkan pada hasil belajarnya dalam mata pelajaran matematika standar kompetensi. Pada prosesnya, pembelajaran belum sepenuhnya melaksanakan hakekat pendidikan secara sempurna, yaitu pendidikan yang menjadikan siswa sebagai manusia yang memiliki kemampuan belajar untuk mengembangkan potensi dirinya dan mengembangkan pengetahuan lebih lanjut untuk kepentingan dirinya sendiri. Akibatnya keadaan di atas membuat rendahnya prestasi belajar siswa seperti terlihat pada data sebagai berikut : Menurut Hutagalung 2008: 1 mengatakan bahwa : 1. UN SMA thn 20052006: 14.296 siswa dibawah 4,25 gagal 2. TIMMS 2003 usia 9 – 13 thn: kita hanya mampu berada pada posisi ke 34 dari 38 negara peserta. 3. PISA 2006 usia 15 thn: peringkat turun dari 3840 2003 menjadi 5257 2006, skor rata-rata turun dari 411 2003 menjadi 391 2006 4. Data UAN yang diterima dari kepalah SMP negeri 2 Serui Papua Yohanes Saroi,S.Pd mengatakan bahwa: rata-rata UAN matematika tahun pelajaran 2005 sampai dengan 2008 SMP Negeri 2 Serui dibawah rata-rata 6,0. Rendahnya hasil belajar merupakan suatu hal yang bisa terjadi karena dalam pelaksanan pembelajaran terjadi hal-hal sebagai berikut : 1. Aktivitas pembelajaran di kelas berupa penyampaian informasi metode pembelajaran dimana guru aktif sementara siswa pasif mendengarkan dan mencatat sesekali guru bertanya dan sesekali siswa menjawab. 2. Guru memberi contoh soal dilanjutkan dengan soal latihan yang sifatnya rutin kurang melatih daya nalar. 3. Pembelajaran konvensional yang berlangsung selama ini mengakibatkan terjadinya proses penghafalan konsep atau prosedur belaka, pemahaman konsep- konsep rendah siswa tidak dapat menggunakannya jika diberikan permasalahan yang agak kompleks. Menurut Hutagalung 2008: 2 mengatakan bahwa : Secara umum prestasi belajar siswa di Indonesia ditentukan oleh kemampuan kognitifnya dalam memahami sebaran materi pelajaran yang telah ditentukan di dalam kurikulum. Soemanto 1984:120-121 menyatakan bahwa tingkah laku kognitif merupakan tindakan mengenal atau memikirkan situasi di mana tingkah laku terjadi. Tingkah laku tergantung pada insight pengamatan atau pemahaman terhadap hubungan yang ada dalam situasi. Kondisi ini juga dihadapi oleh Rusgianto 2002 : 1 yang mengungkapkan bahwa, meskipun ada siswa yang memperoleh prestasi tinggi dalam matematika tetapi pada kenyataannya mereka tidak benar-benar mengerti tentang materi yang dipelajarinya. hal ini menunjukkan bahwa kemampuan penalaran siswa dalam mengaplikasikan konsep-konsep matematika yang belum memadai. Untuk mampu mengaplikasikan suatu konsep matematika dalam kehidupan sehari-hari, siswa dituntut menguasai beberapa aspek yang terdapat dalam kemampuan dasar matematika. Menurut NCTM 1989 menyebutkan kemampuan dasar matematika meliputi kemampuan pemahaman, kemampuan pemecahan masalah, kemampuan penalaran, kemampuan koneksi, dan kemampuan komunikasi. Kesulitan mengaplikasikan konsep matematika yang dihadapi siswa kemungkinan disebabkan oleh banyaknya hal yang harus dikuasai agar dapat mengaplikasikan konsep yang dimilikinya. Kusumah. 2008 mengatakan bahwa: ”Kemampuan menggunakan matematika sebagai cara bernalar yang dapat dialih gunakan dalam setiap keadaan, seperti berfikir kritis, logis, sistematis, bersifat obyektif, jujur, dan disiplin dalam memandang dan menyelesaikan sesuatu masalah. Dengan demikian maka tujuan pembelajaran matematika adalah mangacu pada : Melatih cara berpikir dan bernalar dalam menarik kesimpulan, misalnya melalui kegiatan penyelidikan, eksplorasi, eksperimen, menunjukkan kesamaaan perbedaan, konsistensi, dan inkonsistensi. Mengembangkan kreatifitas kreatif yang melibatkan imajinasi, intuisi, dan penemuan dengan mengembangkan pemikiran divergen, orisinil, rasa ingin tahu membuat prediksi dan dugaan, serta mencoba-coba, mengembangkan kemampuan memecahkan masalah. Mengembangkan kemampuan menyampaikan informasi atau mengkomunikasikan gagasan antara lain melalui pembicaraan lisan, grafik, peta, diagram, dalam menjelaskan gagasan. Dalam kaitannya dengan harapan dan tuntutan matematika di atas, Sumarmo 2002a : 2 mengatakan ”Pendidikan matematika pada hakekatnya mempunyai dua arah pengembangan yaitu pengembangan pendidikan matematika diharapkan dapat memenuhi kebutuhan masa kini dan dapat memenuhi kebutuhan masa datang”. Pendapat tersebut memuat dua visi, yaitu visi pertama untuk kebutuhan masa kini, pembelajaran matematika mengarah pada pemahaman konsep-konsep yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah matematika dan ilmu pengetahuan lainnya. Visi kedua kebutuhan dimasa yang akan datang atau mengarah kemasa depan, arti pembelajaran matematika memberikan kemampuan nalar yang logis, sistematis, kritis, dan cermat serta berpikir obyektif dan terbuka yang sangat diperlukan untuk menghadapi masa depan. Menurut Depdikbud 1994 proses bernalar perlu dikembangkan dalam pembelajaran matematika sebagai mana tertera dalam kurikulum pendidikan dasar. Diharapkan setiap siswa mencapai hasil belajar yang optimal yang dituntut dalam kurikulum matematika. Kusumah 2008: 16 menyatakan indikator penalaran diantaranya adalah menarik kesimpulan logis, mengikuti aturan inferensi, dan memberikan penjelasan dengan menggunakan model, fakta, sifat- sifat, dan hubungan dalam menyelesaikan soal-soal non rutin. Bernalar perlu dikembangkan dalam pembelajaran matematika sebagai mana terterah dalam kurikulum pendidikan dasar. Tujuan umum pendidikan matematika persekolahan adalah memberi tekanan pada penataan nalar, dan pembentukan sikap siswa serta juga dalam rangka memberikan penekanan pada ketrampilan dalam penerapan matematika. Melalui proses pembelajaran matematika diharapkan tujuan pendidikan matematika akan tercapai yang ditandai dengan perubahan sikap, ketrampilan, dan meningkatkannya kemampuan berpikir siswa. Menurut Nasution, 2001 : 4 salah satu manfaat melakukan penataan nalar dalam pembelajaran matematika adalah membantu siswa meningkatkan kemampuan dalam matematika yaitu dari hanya sekedar mengingat fakta, aturan dan prosedur. Pentingnya penalaran juga telah di rekomendasikan oleh NCTM dalam Wlle, 1994 : 3 bahwa penalaran merupakan bagian dari kegiatan matematika dan dapat mulai diberikan pada sejak awal persekolahan. Selanjutnya, The Third International Mathematics and sciences Study TIMSS Mullis.at al, 2003 sebagai lembaga internasional yang melakukan assesmen terhadap kemampuan penalaran, menyatakan bahwa komponen penalaran matematik yang di ukur terdiri dari: membuat hipotesiskonjekturprediksi; menganalisis mengefaluasi, menggeneralisasi; menghubungkan; mensintesis mengintegrasikan; menyelesaikan masalah nonrutin; dan menjustifikasi membuktikan. Oleh karena itu, kajian mengenai penalaran matematik yang dilaksanakan di sekolah, sebaiknya sesuai dengan yang diukur oleh TIMSS tersebut.Wahyudin 1999 : 191 mengemukakan dalam studinya bahwa, salah satu kecenderungan yang menyebabkan sejumlah siswa gagal menguasai pokok-pokok bahasan matematika, akibat mereka kurang menggunakan nalar yang logis dalam menyelesaikan soal atau persoalan matematika yang diberikan. Ini berarti bahwa kemampuan penalaran diperlukan untuk mencapai hasil yang lebih baik dalam menyelesaikan persoalan matematik, sebab rendahnya kemampuan penalaran akan berdambak pada kurangnya penguasaan terhadap materi matematika, dan akibatnya hasil belajar siswa menjadi rendah . Menyadari bahwa upaya untuk meningkatkan kemampuan penalaran, perlu dilakukan berbagai upaya perbaikannya, misalnya penyempurnaan kurikulum, penyesuaian materi pelajaran, pengembangan model pembelajaran termasuk metode dan pendekatannya, maksudnya dengan upaya ini siswa diharapkan mengalami perubahan peningkatan kemampuan berpikir logis, kritis, efektif, dan efisien dalam menghadapi persoalan matematis pada kehidupan sehari-hari. Sumarmo 2004: 1 mengatakan bahwa beberapa kemampuan yang tergolong dalam penalaran matematik diantaranya adalah: 1. Menarik kesimpulan logis. 2. Memberi penjelasan terhadap model, fakta, sifat, hubungan, atau pola yang ada. 3. Memperkirakan jawaban dan proses solusi. 4. Menggunakan pola hubungan untuk menganalisis situasi, atau membuat analogi, generalisasi, dan menyusun konjektur. 5. Mengajukan lawan contoh. 6. Mengikuti aturan inferensi, memeriksa validitas argumen, membuktikan, dan menyusun argumen yang valid. Kemampuan yang tergolong dalam penalaran matematik dapat terwujud melalui suatu bentuk model pembelajaran yang dirancang guru sehingga memancing keterlibatan siswa secara aktif. Menurut faham konstruktivis pengetahuan merupakan konstruksi bentukan dari orang yang mengenal sesuatu skemata. Pengetahuan tidak bisa di transfer dari guru kepada orang lain, karena setiap orang mempunyai skema tersendiri tentang apa yang diketahuinya. Prinsip- prinsip konstruktivisme banyak digunakan dalam pembelajaran sains dan matematika. Prinsip - prinsip yang di ambil adalah 1 pengetahuan di bangun oleh siswa sendiri, baik secara personal maupun sosial, 2 pengetahuan tidak dapat di pindahkan dari guru ke siswa, kecuali hanya dengan keaktifan siswa sendiri untuk bernalar, 3 murid aktif mengkonstruksikan terus-menerus, sehingga terjadi perubahan konsep menuju konsep yang lebih rinci, lengkap, serta sesuai dengan konsep ilmiah, 4 guru sekedar membantu menyediakan sarana dan situasi agar proses konstruksi siswa berjalan mulus Suparno, 1997. Namun kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa, siswa masih mengalami kesulitan pada saat harus mengaplikasikan konsep matematika kedalam permasalahan yang ditemuinya. Hal ini terlihat saat siswa diberi permasalahan dalam bentuk soal cerita yang berkaitan dengan permasalahan kontruksi. Sebagai contoh pada saat guru mengajarkan materi jaring-jaring kubus, diberikan permasalahan sebagai berikut, ”Berapakah panjang kawat yang dibutukan untuk membuat balok yang ukurannya 12 cm x 6 cm x 4 cm ? Berdasarkan pengalaman, siswa sering mengalami kesulitan untuk menetapkan konsep apa yang akan digunakan untuk menyelesaikan persoalan tersebut. Kondisi ini juga dihadapi oleh Rusgianto 2002 : 1 yang mengungkapkan bahwa, meskipun ada siswa yang memperoleh prestasi tinggi dalam matematika tetapi pada kenyataannya mereka tidak benar-benar mengerti tentang materi yang dipelajarinya. Untuk mampu mengaplikasikan suatu konsep matematika dalam kehidupan sehari-hari, siswa dituntut menguasai beberapa aspek yang terdapat dalam kemampuan dasar matematka. NCTM 1989 menyebutkan kemampuan dasar matematika meliputih kemampuan pemahaman, kemampuan pemecahan masalah, kemampuan penalaran, kemampuan koneksi, dan kemampuan komunikasi. Hull dan Souders ATEEC, 2000 mengemukakan bahwa dalam pembelajaran kontekstual siswa dapat menemukan hubungan yang bermakna antara ide-ide abstrak dengan aplikasinya dalam konteks kehidupan nyata. Universify of Georgia UGA CTL Project 2001 mengungkapkan bahwa pembelajaran kontekstual merupakan pembelajaran bermakna yang beranggapan bahwa situasi dalam konteks pembelajaran sebagai dasar dalam menemukan dan mengembangkan hal-hal yang abstrak. Pada hakekatnya pembelajaran kontekstual menurut Wilson 2001 dapat membantu guru dalam mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata yang dikenal siswa dan dapat mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimiliki siswa dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari. Karena proses pembelajaran diawali dengan pemberian masalah, diharapkan siswa terbiasa untuk menganalisa, mengaplikasikan dan mengaitkan suatu konsep. Pendekatan pembelajaran kontekstual dengan tujuh komponennya diperkirakan dapat memberi kontribusi tehadap peningkatan kemampuan panalaran dan aplikasi konsep matematika. Mungkinkah pendekatan pembelajaran kontekstual ini mampu memberi suatu solusi terhadap rendahnya kemampuan penalaran dan aplikasi konsep matematika ? Hal ini menarik perhatian penulis untuk meneliti apakah pendekatan pembelajaran kontekstual dapat meningkatkan kemampuan penalaran dan aplikasi konsep matematik ? Oleh karena itu penulis mengajukan studi dengan judul : ” Pendekatan Pembelajaran Kontekstual untuk Meningkatkan Kemampuan Penalaran dan Aplikasi Konsep Matematis siswa Sekolah Menengah Pertama SMP ”. 1.2 Rumusan Masalah Sesuai dengan uraian pada latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut : 1. Apakah kemampuan penalaran matematika siswa yang belajar dengan pendekatan pembelajaran kontekstual lebih baik dibandingkan siswa yang belajar dengan pembelajaran biasa konvensional ? 2. Apakah kemampuan aplikasi konsep matematika siswa yang belajar dengan pendekatan pembelajaran kontekstual lebih baik dibandingkan siswa yang belajar dengan pembelajaran biasa konvensional ? 3. Bagaimana kualitas peningkatan kemampuan penalaran matematis siswa yang belajar dengan pendekatan pembelajaran kontekstual lebih baik dibandingkan siswa yang belajar dengan pendekatan pembelajaran biasa konvensional. 4. Bagaimana kualitas peningkatan kemampuan aplikasi konsep matematis siswa yang belajar dengan pendekatan pembelajaran kontekstual lebih baik dibandingkan siswa yang belajar dengan pendekatan pembelajaran biasa konvensional.

1.3 Tujuan Penelitian