PENDEKATAN PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL UNTUK PENINGKATAN KEMAMPUAN PENALARAN DAN APLIKASI KONSEP MATEMATIS SISWA SMP.

(1)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Pendidikan (Sekolah) berperan penting dalam kehidupan masyarakat. Orang yang mengalami pendidikan akan lebih berpengetahuan, terampil, inovatif dan produktif dibandingkan mereka yang tidak berpendidikan. Bahkan pendidikan diyakini sebagai salah satu wadah dalam membentuk peningkatan sumber daya manusia yang mandiri, kreatif, dan kritis. (Rusffendi, 1992). Wadah tersebut adalah belajar, dimana belajar merupakan suatu usaha yang dilakukan secara terbuka untuk memperoleh suatu pengetahuan, yang akan diperoleh peserta didik dalam penguasaan bahan pelajaran yang telah dipelajarinya.

Menurut Lunchins, dan Lunchins, (Suherman, 2003: 15), tentang pertanyaan mengenai "Apakah matematika itu ?”, ada yang menyebut bahwa matematika itu merupakan bahasa simbol, matematika adalah bahasa numerik; matematika merupakan metode berpikir logis; matematika adalah ilmu tentang bilangan dan ruang; matematika adalah ilmu yang mempelajari hubungan pola, bentuk dan struktur, dari jawaban-jawaban ini memberikan kesan bahwa, pembelajaran matematika hendaknya tidak dimulai dari definisi, teorema atau sifat-sifat kemudian dilanjutkan dengan pembahasan contoh-contoh, seperti yang selama ini dilaksanakan pada sekolah- sekolah. Namun sifat-sifat, definisi, cara, prinsip, dan teorema diharapkan seolah-olah ditemukan sendiri oleh siswa melalui penyelesaian pendekatan kontekstual yang diberikan guru pada awal pembelajaran. Dengan demikian siswa didorong atau ditantang untuk aktif


(2)

bekerja, bahkan diharapkan dapat merencanakan, mengkonstruksi ataupun membangun sendiri pengetahuan yang diperolehnya (Dalyana, 2003:17).

Sejalan dengan hal tersebut Hadi (2007) menyebutkan pengetahuan matematik sebagai salah satu mata pelajaran di sekolah dinilai sangat memegang peranan penting karena matematika dapat meningkatkan pengetahuan siswa dalam berpikir secara logis, rasional, kritis, cermat, efektif, dan efisien. Oleh karena itu, pengetahuan matematika harus dikuasai sedini mungkin oleh para siswa.

Rendahnya kemampuan penalaran dan aplikasi konsep matematis siswa akan mempengaruhi kualitas belajar siswa yang berdampak pada rendahnya prestasi belajar siswa di sekolah. Salah satu upaya yang dapat dilakukan dalam menyikapinya adalah melalui pemilihan pendekatan yang tepat. Salah satu alternatif pendekatan pembelajaran yang memungkinkan untuk dapat meningkatkan aktifitas siswa dan mengembangkan kemampuan berpikir matematis siswa, seperti mengembangkan kemampuan penalaran dan aplikasi konsep matematis yaitu dengan pendekatan pembelajaran kontekstual, karena dalam pembelajaran dengan kontekstual siswa diberi keleluasan untuk mengumpulkan bahkan mengembangkan informasi, melakukan pengamatan, menginvestigasi, membuat perkiraan, berpikir kritis dan inovatif, menganalisis fakta, berusaha menemukan penyelesaian, dan menantang kesimpulan yang dikemukakan orang lain (Hersunardo, 1973: 3).

Kebanyakan proses pembelajaran di kelas berlangsung secara konvensional, dimana dalam pembelajaran ini guru lebih menguasai jalannya proses pembelajaran. Kegiatan dominan dengan guru memberikan ceramah, tanya


(3)

jawab dan pemberian tugas, tanpa melibatkan siswa dalam mengembangkan kreatifitasnya. Siswa cenderung pasif mencatat apa yang disampaikan gurunya. Pembelajaran dengan cara ini mengakibatkan rendahnya kemampuam penalaran siswa dalam memecahkan persoalan matematika dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-harinya. Sebagaimana hasil observasi langsung di lapangan yang dilakukan oleh Hadi, (2007) yang menunjukkan data, rata-rata prestasi belajar matematika siswa Kelas VII SMP Negeri 8 Kendari semester 1 tahun 2006 yaitu 5,2. Ini berarti belum mencapai standar minimal nasional yaitu 6,00. Lebih lanjut Hadi mengungkapkan penyebab terjadinya prestasi belajara siswa adalah diakibatkan karena kurang aktifnya siswa dalam proses belajar mengajar, dimana pendekatan pembelajaran yang digunakan adalah pendekatan pembelajaran konvensional. Dalam hal ini, proses belajar-mengajar didominasi oleh guru; sedangkan siswa pasif dan tidak tahu apa yang hendak diperoleh dari hasil dominasinya, akhirnya sirnalah sudah pengembangan kemampuan siswa untuk memiliki seperangkat pengetahuan demi masa depannya. Belajar akan lebih bermakna jika siswa menemukan sendiri apa yang dialaminya, bukan mengetahui apa yang dipelajarinya, sebab pembelajaran yang berorientasi pada penguasaan materi terbukti berhasil dalam evaluasi akhir proses pembelajaran tetapi gagal dalam membekali anak memecahkan persoalan dalam kehidupan jangka panjang, karena guru lebih proaktif sedangkan anak pasif dan tidak proaktif dan hanya mengikuti apa kata gurunya. Itulah yang terjadi disekolah-sekolah kita. ( Depdiknas, 2002: 1 )


(4)

Menurut Sudrajat, (2007 : 3); upaya mengatasi berbagai model pembelajaran matematika senantiasa dilakukan para peneliti dan pengguna matematik. Upaya tersebut dilakukan sebagai upaya melibatkan matematika dalam membentuk manusia yang berkualitas, yaitu tidak hanya membekali peserta didik dengan keterampilan menggunakan matematika, tetapi juga menumbuhkan kemampuan yang transferable untuk memiliki daya pikir kritis, dalam hal ini kemampuan yang berupa : 1). Untuk tingkat dasar, kemampuan dasar reading literacy, pengetahuan bilangan (numeracy), dan pemecahan masalah sederahana. 2). Untuk tingkat menengah, menerapkan matematika di berbagai bidang (contextual mathematics) dan kemampuan mengaplikasikan konsep matematika pada persoalan sehari-hari.

Menurut Sudrajat, (2007 : 4); Usaha mensikapi berbagai problematika pembelajaran matematika berujung pada munculnya inovasi-inovasi dalam pembelajaran matematika. Inovasi pembelajaran matematika yang paling menonjol adalah rekonstruksi pemahaman matematika (mathematical meaning re-construction) melalui berbagai model pembelajaran dan sistem penilaian, diharapkan dapat mengembangkan rekontruksi kemampuan penalaran dan kemampuan mengaplikasikan konsep metematis siswa diberbagai bidang pengetahuan, dalam persoalan sehari-hari.

Trend model pembelajaran yang dikembangkan saat ini secara formal mengikuti rekomendasi dari NCTM (National Council of Teacher of Mathematics) di Amerika, misalnya dalam wujud NCTM Standard for Curriculum and Evaluation, NCTM Standard for Instruction, dan NCTM


(5)

Standard for Assessment. Dimana bentuk konstruksi pemahaman matematika yang saat ini dikembangkan bahkan cenderung menjadi sebuah “gerakan” studi model pembelajaran matematika di antaranya: constructivism. Menurut faham constructivis pengetahuan merupakan konstruksi (bentukan) dari orang yang mengenal sesuatu (skemata). Sebab pengetahuan tidak bisa di transfer dari guru kepada orang lain tanpa mempertimbangkan skema yang terkandung dalam pemahaman siswa mengkontruksi pengetahuannya, karena setiap orang mempunyai skema tersendiri tentang apa yang diketahuinya. Prinsip-prinsip konstruktivisme banyak digunakan dalam pembelajaran sains dan matematika. Prinsip - prinsip yang di ambil adalah: (1) Pengetahuan di bangun oleh siswa sendiri, baik secara personal maupun sosial; (2) Pengetahuan tidak dapat di pindahkan dari guru ke siswa, kecuali hanya dengan keaktifan siswa sendiri untuk bernalar; (3) Murid aktif mengkonstruksikan terus-menerus, sehingga terjadi perubahan konsep menuju konsep yang lebih rinci, lengkap, serta sesuai dengan konsep ilmiah; (4) Guru sekedar membantu menyediakan sarana dan situasi agar proses konstruksi siswa berjalan mulus (Suparno,1997). Dari penjelasan tersebut maka peneliti melakukan penelitian dengan menggunakan pendekatan pembelajaran kontekstual apakah dengan pendekatan tersebut dapat meningkatkan kemampuan penalaran dan aplikasi konsep matematik ?

Pendekatan kontekstual dalam pembelajaran matematika, berusaha untuk mengubah kondisi di atas, yaitu dengan membuat skenario pembelajaran yang dimulai dari konteks kehidupan nyata siswa (daily life), selanjutnya guru memfasilitasi siswa untuk mengangkat objek dalam kehidupan nyata itu ke dalam


(6)

konsep matematika, dengan melalui tanya-jawab, diskusi, inkuiri, sehingga siswa dapat mengkonstruksi konsep tersebut dalam pikirannya. Karena pengetahuan matematika anak tumbuh dan berkembang bukan melalui pemberitahuan, akan tetapi melalui proses inkuiri, proses konstruktivisme, proses tanya-jawab, dan semacamnya yang dimulai dari pengamatan pada kehidupan sehari-hari yang dialami secara nyata.

Suatu proses akan berjalan secara alami melalui tahap demi tahap menuju ke arah yang lebih baik, kesalahan adalah bagian dari proses pembelajaran. Dengan demikian dalam pembelajaran peristiwa salah yang dilakukan oleh siswa adalah suatu hal alami, tidak perlu disalahkan, justru seharusnya guru memberikan atensi karena ia telah melakukan (terlibat) aktif dalam proses pembelajaran. Guru jangan selalu berharap kepada siswa mengemukakan hal yang benar saja, selama proses pembelajaran berlangsung, tetapi guru harus mengharakan agar para siswa terbuka menyampaikan apa yang terkandung didalam pikiran anak. Dengan membuka toleransi dan menghargai setiap usaha siswa dalam belajar siswa tidak akan takut berbuat salah malahan akan tumbuh semangat untuk mencoba karena tidak takut lagi disalahkan. Karena belajar adalah suatu proses, belajar bukan sekedar menghapal konsep yang sudah jadi, akan tetapi belajar haruslah mengalami sendiri. Siswa mengkontruksi sendiri konsep secara bertahap, kemudian memberi makna konsep tersebut melalui penerapanya pada konsep lain, bidang studi lain, atau bahkan dalam kehidupan nyata yang dihadapinya.

Dalam pelaksanaan pembelajaran lupakanlah tradisi; guru pemain dan siswa penonton; ubahlah ke dalam situasi; siswa pemain dan guru menjadi


(7)

sutradara. Biarkanlah siswa mengembangkan potensinya (intelektual, minat, bakat) secara alamiah, atau bahkan berbuat kesalahan. Guru jangan pernah menyalahkan siswa, buanglah jauh-jauh prilaku tersebut, berusahalah agar siswa menyadari kesalahannya akan lebih baik dampaknya.

Pendekatan kontektual (Contextual Teaching and Learning/ CTL) merupakan pendekatan pembelajaran yang mengaitkan materi dengan situasi dunia nyata siswa, sehingga mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Dengan konsep itulah, diharapkan hasil pembelajaran siswa lebih bermakna dalam peningkatan kemampuan penalaran siswa dalam mengaplikasikan konsep pengetahuan yang telah dimilikinya.

Proses pembelajaran melibatkan siswa melalui kegiatan-kegiatan siswa bekerja dan siswa mengalami, bukan semata-mata guru mentransfer pengetahuan ke siswa. Proses pembelajaran lebih dipentingkan dari pada hasil. Dalam kelas kontektual, tugas guru adalah membantu menciptakan suatu perubahan tingka laku siswa mencapai tujuannya , maksudnya, guru lebih banyak berurusan dengan strategi proses pembelajaran daripada memberi informasi dalam proses pembelajaran. Tugas guru mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja bersama untuk menemukan sesuatu yang baru bagi anggota kelas (siswa). Sesuatu yang baru datang dari menemukan sendiri bukan dari apa kata guru. Begitulah peran guru di kelas yang dikelola dengan pendekatan kontekstual (Depdiknas: 2006) .


(8)

Ada tujuh komponen utama pembelajaran yang mendasari penerapan pembelajaran kontekstual dikelas. Ketujuh komponen itu adalah konstruktivisme (constructivism), bertanya (questioning), menemukan (inquiry), masyarakat belajar (learning community), pemodelan (modeling), dan penilaian sebenarnya (authentic assessment).

Sebuah kelas dikatakan menggunakan pembelajaan kontekstual jika ketujuh komponen tersebut dimunculkan dalam proses pembelajarannya secara baik dan benar. Namun kenyataan dilapangan menunjukan bahwa, siswa masih mengalami kesulitan saat harus mengaplikasi konsep matematika kedalam masalah yang ditemuinya. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan mengaplikasikan konsep matematik siswa pada sekolah-sekolah belum melaksanakan ketujuh komponen tersebut dalam memenuhi standar kompetensi kurikulum pendidikan nasional. Depdiknas, (2003: 8) menyampaikan bahwa siswa setelah pembelajaran harus memiliki seperangkat kompetensi matematika yang harus ditunjukkan pada hasil belajarnya dalam mata pelajaran matematika (standar kompetensi). Pada prosesnya, pembelajaran belum sepenuhnya melaksanakan hakekat pendidikan secara sempurna, yaitu pendidikan yang menjadikan siswa sebagai manusia yang memiliki kemampuan belajar untuk mengembangkan potensi dirinya dan mengembangkan pengetahuan lebih lanjut untuk kepentingan dirinya sendiri.

Akibatnya keadaan di atas membuat rendahnya prestasi belajar siswa seperti terlihat pada data sebagai berikut : Menurut Hutagalung (2008: 1) mengatakan bahwa :


(9)

1. UN SMA thn 2005/2006: 14.296 siswa dibawah 4,25 (gagal)

2. TIMMS 2003 (usia 9 – 13 thn): kita hanya mampu berada pada posisi ke 34 dari 38 negara peserta.

3. PISA 2006 (usia < 15 thn): peringkat turun dari 38/40 (2003) menjadi 52/57 (2006), skor rata-rata turun dari 411 (2003) menjadi 391 (2006)

4. Data UAN yang diterima dari kepalah SMP negeri 2 Serui Papua Yohanes Saroi,S.Pd mengatakan bahwa: rata-rata UAN matematika tahun pelajaran 2005 sampai dengan 2008 SMP Negeri 2 Serui dibawah rata-rata 6,0.

Rendahnya hasil belajar merupakan suatu hal yang bisa terjadi karena dalam pelaksanan pembelajaran terjadi hal-hal sebagai berikut :

1. Aktivitas pembelajaran di kelas berupa penyampaian informasi (metode pembelajaran) dimana guru aktif sementara siswa pasif mendengarkan dan mencatat sesekali guru bertanya dan sesekali siswa menjawab.

2. Guru memberi contoh soal dilanjutkan dengan soal latihan yang sifatnya rutin kurang melatih daya nalar.

3. Pembelajaran konvensional yang berlangsung selama ini mengakibatkan terjadinya proses penghafalan konsep atau prosedur belaka, pemahaman konsep- konsep rendah siswa tidak dapat menggunakannya jika diberikan permasalahan yang agak kompleks.

Menurut Hutagalung (2008: 2) mengatakan bahwa : Secara umum prestasi belajar siswa di Indonesia ditentukan oleh kemampuan kognitifnya dalam memahami sebaran materi pelajaran yang telah ditentukan di dalam kurikulum.


(10)

Soemanto (1984:120-121) menyatakan bahwa tingkah laku kognitif merupakan tindakan mengenal atau memikirkan situasi di mana tingkah laku terjadi. Tingkah laku tergantung pada insight (pengamatan atau pemahaman) terhadap hubungan yang ada dalam situasi. Kondisi ini juga dihadapi oleh Rusgianto ( 2002 : 1 ) yang mengungkapkan bahwa, meskipun ada siswa yang memperoleh prestasi tinggi dalam matematika tetapi pada kenyataannya mereka tidak benar-benar mengerti tentang materi yang dipelajarinya. hal ini menunjukkan bahwa kemampuan penalaran siswa dalam mengaplikasikan konsep-konsep matematika yang belum memadai.

Untuk mampu mengaplikasikan suatu konsep matematika dalam kehidupan sehari-hari, siswa dituntut menguasai beberapa aspek yang terdapat dalam kemampuan dasar matematika. Menurut NCTM (1989) menyebutkan kemampuan dasar matematika meliputi kemampuan pemahaman, kemampuan pemecahan masalah, kemampuan penalaran, kemampuan koneksi, dan kemampuan komunikasi.

Kesulitan mengaplikasikan konsep matematika yang dihadapi siswa kemungkinan disebabkan oleh banyaknya hal yang harus dikuasai agar dapat mengaplikasikan konsep yang dimilikinya. (Kusumah. 2008) mengatakan bahwa:

”Kemampuan menggunakan matematika sebagai cara bernalar yang dapat dialih gunakan dalam setiap keadaan, seperti berfikir kritis, logis, sistematis, bersifat obyektif, jujur, dan disiplin dalam memandang dan menyelesaikan sesuatu masalah. Dengan demikian maka tujuan pembelajaran matematika adalah mangacu pada : Melatih cara berpikir dan bernalar dalam menarik kesimpulan, misalnya melalui kegiatan penyelidikan, eksplorasi, eksperimen, menunjukkan kesamaaan perbedaan, konsistensi, dan inkonsistensi. Mengembangkan kreatifitas kreatif yang melibatkan imajinasi, intuisi, dan penemuan dengan mengembangkan pemikiran


(11)

divergen, orisinil, rasa ingin tahu membuat prediksi dan dugaan, serta mencoba-coba, mengembangkan kemampuan memecahkan masalah. Mengembangkan kemampuan menyampaikan informasi atau mengkomunikasikan gagasan antara lain melalui pembicaraan lisan, grafik, peta, diagram, dalam menjelaskan gagasan.

Dalam kaitannya dengan harapan dan tuntutan matematika di atas, Sumarmo (2002a : 2) mengatakan ”Pendidikan matematika pada hakekatnya mempunyai dua arah pengembangan yaitu pengembangan pendidikan matematika diharapkan dapat memenuhi kebutuhan masa kini dan dapat memenuhi kebutuhan masa datang”. Pendapat tersebut memuat dua visi, yaitu visi pertama untuk kebutuhan masa kini, pembelajaran matematika mengarah pada pemahaman konsep-konsep yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah matematika dan ilmu pengetahuan lainnya.

Visi kedua kebutuhan dimasa yang akan datang atau mengarah kemasa depan, arti pembelajaran matematika memberikan kemampuan nalar yang logis, sistematis, kritis, dan cermat serta berpikir obyektif dan terbuka yang sangat diperlukan untuk menghadapi masa depan.

Menurut Depdikbud (1994) proses bernalar perlu dikembangkan dalam pembelajaran matematika sebagai mana tertera dalam kurikulum pendidikan dasar. Diharapkan setiap siswa mencapai hasil belajar yang optimal yang dituntut dalam kurikulum matematika. Kusumah (2008: 16) menyatakan indikator penalaran diantaranya adalah menarik kesimpulan logis, mengikuti aturan inferensi, dan memberikan penjelasan dengan menggunakan model, fakta, sifat-sifat, dan hubungan dalam menyelesaikan soal-soal non rutin. Bernalar perlu


(12)

dikembangkan dalam pembelajaran matematika sebagai mana terterah dalam kurikulum pendidikan dasar.

Tujuan umum pendidikan matematika persekolahan adalah memberi tekanan pada penataan nalar, dan pembentukan sikap siswa serta juga dalam rangka memberikan penekanan pada ketrampilan dalam penerapan matematika. Melalui proses pembelajaran matematika diharapkan tujuan pendidikan matematika akan tercapai yang ditandai dengan perubahan sikap, ketrampilan, dan meningkatkannya kemampuan berpikir siswa.

Menurut Nasution, (2001 : 4) salah satu manfaat melakukan penataan nalar dalam pembelajaran matematika adalah membantu siswa meningkatkan kemampuan dalam matematika yaitu dari hanya sekedar mengingat fakta, aturan dan prosedur. Pentingnya penalaran juga telah di rekomendasikan oleh NCTM (dalam Wlle, 1994 : 3) bahwa penalaran merupakan bagian dari kegiatan matematika dan dapat mulai diberikan pada sejak awal persekolahan.

Selanjutnya, The Third International Mathematics and sciences Study (TIMSS) (Mullis.at al, 2003) sebagai lembaga internasional yang melakukan assesmen terhadap kemampuan penalaran, menyatakan bahwa komponen penalaran matematik yang di ukur terdiri dari: membuat hipotesis/konjektur/prediksi; menganalisis mengefaluasi, menggeneralisasi; menghubungkan; mensintesis/ mengintegrasikan; menyelesaikan masalah nonrutin; dan menjustifikasi membuktikan. Oleh karena itu, kajian mengenai penalaran matematik yang dilaksanakan di sekolah, sebaiknya sesuai dengan yang


(13)

diukur oleh TIMSS tersebut.Wahyudin (1999 : 191) mengemukakan dalam studinya bahwa,

salah satu kecenderungan yang menyebabkan sejumlah siswa gagal menguasai pokok-pokok bahasan matematika, akibat mereka kurang menggunakan nalar yang logis dalam menyelesaikan soal atau persoalan matematika yang diberikan.

Ini berarti bahwa kemampuan penalaran diperlukan untuk mencapai hasil yang lebih baik dalam menyelesaikan persoalan matematik, sebab rendahnya kemampuan penalaran akan berdambak pada kurangnya penguasaan terhadap materi matematika, dan akibatnya hasil belajar siswa menjadi rendah .

Menyadari bahwa upaya untuk meningkatkan kemampuan penalaran, perlu dilakukan berbagai upaya perbaikannya, misalnya penyempurnaan kurikulum, penyesuaian materi pelajaran, pengembangan model pembelajaran termasuk metode dan pendekatannya, maksudnya dengan upaya ini siswa diharapkan mengalami perubahan peningkatan kemampuan berpikir logis, kritis, efektif, dan efisien dalam menghadapi persoalan matematis pada kehidupan sehari-hari. Sumarmo (2004: 1) mengatakan bahwa beberapa kemampuan yang tergolong dalam penalaran matematik diantaranya adalah: 1). Menarik kesimpulan logis. 2). Memberi penjelasan terhadap model, fakta, sifat, hubungan, atau pola yang ada. 3). Memperkirakan jawaban dan proses solusi. 4). Menggunakan pola hubungan untuk menganalisis situasi, atau membuat analogi, generalisasi, dan menyusun konjektur. 5). Mengajukan lawan contoh. 6). Mengikuti aturan inferensi, memeriksa validitas argumen, membuktikan, dan menyusun argumen yang valid.


(14)

Kemampuan yang tergolong dalam penalaran matematik dapat terwujud melalui suatu bentuk model pembelajaran yang dirancang guru sehingga memancing keterlibatan siswa secara aktif. Menurut faham konstruktivis pengetahuan merupakan konstruksi (bentukan) dari orang yang mengenal sesuatu (skemata). Pengetahuan tidak bisa di transfer dari guru kepada orang lain, karena setiap orang mempunyai skema tersendiri tentang apa yang diketahuinya. Prinsip-prinsip konstruktivisme banyak digunakan dalam pembelajaran sains dan matematika. Prinsip - prinsip yang di ambil adalah (1) pengetahuan di bangun oleh siswa sendiri, baik secara personal maupun sosial, (2) pengetahuan tidak dapat di pindahkan dari guru ke siswa, kecuali hanya dengan keaktifan siswa sendiri untuk bernalar, (3) murid aktif mengkonstruksikan terus-menerus, sehingga terjadi perubahan konsep menuju konsep yang lebih rinci, lengkap, serta sesuai dengan konsep ilmiah, (4) guru sekedar membantu menyediakan sarana dan situasi agar proses konstruksi siswa berjalan mulus (Suparno, 1997).

Namun kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa, siswa masih mengalami kesulitan pada saat harus mengaplikasikan konsep matematika kedalam permasalahan yang ditemuinya. Hal ini terlihat saat siswa diberi permasalahan dalam bentuk soal cerita yang berkaitan dengan permasalahan kontruksi. Sebagai contoh pada saat guru mengajarkan materi jaring-jaring kubus, diberikan permasalahan sebagai berikut, ”Berapakah panjang kawat yang dibutukan untuk membuat balok yang ukurannya 12 cm x 6 cm x 4 cm ? Berdasarkan pengalaman, siswa sering mengalami kesulitan untuk menetapkan konsep apa yang akan digunakan untuk menyelesaikan persoalan tersebut.


(15)

Kondisi ini juga dihadapi oleh Rusgianto ( 2002 : 1 ) yang mengungkapkan bahwa, meskipun ada siswa yang memperoleh prestasi tinggi dalam matematika tetapi pada kenyataannya mereka tidak benar-benar mengerti tentang materi yang dipelajarinya. Untuk mampu mengaplikasikan suatu konsep matematika dalam kehidupan sehari-hari, siswa dituntut menguasai beberapa aspek yang terdapat dalam kemampuan dasar matematka. NCTM (1989) menyebutkan kemampuan dasar matematika meliputih kemampuan pemahaman, kemampuan pemecahan masalah, kemampuan penalaran, kemampuan koneksi, dan kemampuan komunikasi. Hull dan Souders (ATEEC, 2000) mengemukakan bahwa dalam pembelajaran kontekstual siswa dapat menemukan hubungan yang bermakna antara ide-ide abstrak dengan aplikasinya dalam konteks kehidupan nyata. Universify of Georgia (UGA) CTL Project (2001) mengungkapkan bahwa pembelajaran kontekstual merupakan pembelajaran bermakna yang beranggapan bahwa situasi dalam konteks pembelajaran sebagai dasar dalam menemukan dan mengembangkan hal-hal yang abstrak.

Pada hakekatnya pembelajaran kontekstual menurut Wilson (2001) dapat membantu guru dalam mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata yang dikenal siswa dan dapat mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimiliki siswa dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari. Karena proses pembelajaran diawali dengan pemberian masalah, diharapkan siswa terbiasa untuk menganalisa, mengaplikasikan dan mengaitkan suatu konsep.


(16)

Pendekatan pembelajaran kontekstual dengan tujuh komponennya diperkirakan dapat memberi kontribusi tehadap peningkatan kemampuan panalaran dan aplikasi konsep matematika. Mungkinkah pendekatan pembelajaran kontekstual ini mampu memberi suatu solusi terhadap rendahnya kemampuan penalaran dan aplikasi konsep matematika ? Hal ini menarik perhatian penulis untuk meneliti apakah pendekatan pembelajaran kontekstual dapat meningkatkan kemampuan penalaran dan aplikasi konsep matematik ?

Oleh karena itu penulis mengajukan studi dengan judul :

” Pendekatan Pembelajaran Kontekstual untuk Meningkatkan Kemampuan Penalaran dan Aplikasi Konsep Matematis siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) ”.

1.2 Rumusan Masalah

Sesuai dengan uraian pada latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut :

1. Apakah kemampuan penalaran matematika siswa yang belajar dengan pendekatan pembelajaran kontekstual lebih baik dibandingkan siswa yang belajar dengan pembelajaran biasa (konvensional) ?

2. Apakah kemampuan aplikasi konsep matematika siswa yang belajar dengan pendekatan pembelajaran kontekstual lebih baik dibandingkan siswa yang belajar dengan pembelajaran biasa (konvensional) ?

3. Bagaimana kualitas peningkatan kemampuan penalaran matematis siswa yang belajar dengan pendekatan pembelajaran kontekstual lebih baik dibandingkan siswa yang belajar dengan pendekatan pembelajaran biasa (konvensional).


(17)

4. Bagaimana kualitas peningkatan kemampuan aplikasi konsep matematis siswa yang belajar dengan pendekatan pembelajaran kontekstual lebih baik dibandingkan siswa yang belajar dengan pendekatan pembelajaran biasa (konvensional).

1.3 Tujuan Penelitian

Rencana penelitian ini secara umum bertujuan untuk memperoleh informasi mengenai kemampuan penalaran dan kemampuan aplikasi konsep matematis siswa SMP melalui pedekatan pembelajaran kontekstual. Secara rinci tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :

1. Mengkaji peningkatan kemampuan penalaran matematik siswa yang belajar denga pendekatan pembelajaran kontekstual dan siswa yang belajar dengan pembelajaran biasa (konvensional).

2. Mengkaji peningkatan kemampuan aplikasi konsep matematik siswa yang belajar denga pendekatan pembelajaran kontekstual dan siswa yang belajar dengan pembelajaran biasa (konvensional).

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan berguna memberi contoh penggunaan pendekatan pembelajaran yang lebih bervariasi bagi guru, memberikan pengalaman belajar baru bagi siswa, mampu meningkatkan potensi dirinya dalam peningkatan kemampuan penalaran dan aplikasi konsep matematik dengan pelajaran produktifnya. Diharapkan melalui pendekatan pembelajaran kontekstual


(18)

dapat memberikan masukan bagi guru dalam rangka peningkatan kualitas mutu pendidikan matematika.

1.5 Definisi Operasional

Agar tidak terjadi perbedaan pemahaman tentang istilah - istilah yang digunakan dalam penelitian ini, maka beberapa istilah perlu didefinisikan secara operasional.

1.5.1 Pendekatan pembelajaran kontekstual dalam penelitian ini adalah pendekatan yang mengaitkan materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata atau pengalaman siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari, ataupun dengan pelajaran produktifnya. Proses pembelajaran diawali dengan permasalahan yang dikenal siswa, kemudian dikembangkan hingga siswa menemukan sendiri bagian terpenting dari materi yang harus dimiliki siswa.

1.5.2 Landasan pembelajaran kontekstual ( contextual teaching and learning) adalah kontruktivistik, yaitu filosofi yang menekankan bahwa belajar itu tidak hanya menghafal. Contextual Teaching and Learning ( CTL ) helps us relate subject matter content to real world situations and motivate students to make connections between knowledge and its applications to their lives as family members, citizens, and workers and engage in the hard work that learning requires. Pembelajaran kontekstual berangkat dari suatu kenyakinan bahwa seseorang tertarik untuk belajar apabila ia melihat makna dari apa yang dipelajarinya.


(19)

1.5.3 Pembelajaran Biasa (Konvensional) yang sering dipakai pada pengajaran matematika menurut Ruseffendi (1991: 290) diawali dengan pemberian informasi (ceramah). Guru memulai degan merangka suatu konsep, menemostrasi ketrampilannya mengenai pola/aturan/dalil tentang konsep itu, kemudian siswa bertanya, guru memeriksa atau mengecek apakah siswa sudah menerti atau belum. Kegiatan selanjutnya guru memerikan contoh-contoh soal aplikasi konsep itu, selanjutnya memintah murid-murid menyelesaikan soal-soal dipapan tulis atau dimejanya.

1.5.4. Kemampuan penalaran matematik adalah kemampuan yang muncul dalam bentuk: 1) menarik kesimpulan secara logik, 2) menyusun dan menguji konjektur, menyusun pembuktian langsung, tak langsung, dan menggunakan induksi matematik, 3) merumuskan lawan contoh (counter examples), dan 4) menyusun argumen yang valid. Kemampuan koneksi matematik misalnya muncul dalam bentuk: memahami representasi ekuivalen konsep yang sama. 1.5.5. Kemampuan mengaplikasikan konsep matematika pada penelitian ini adalah

kemampuan siswa untuk memilih, menggunakan, menerapkan dan bila perlu memodifikasi suatu teori, rumus atau cara pada permasalahan yang terkait dengan masalah produktif atau dengan kehidupan sehari-hari, dengan mempertimbangkan indikator kemampuan :

a. Mengidentifikasikan kecukupan data dan bisa memanfaatkan untuk menyelesaikan persoalan.


(20)

b. Menyatakan situasi yang ada dalam permasalahan kedalam model matematika.

c. Memperkirakan proses solusi.

d. Memilih dan menerakan strategi dan rumus atau konsep untuk menyelesaikan masalah.

1.6 Keterbatasan

Dalam penelitian ini terdapat keterbatasan-keterbatasan sebagai berikut: 1. Penelitian ini hanya dilaksanakan dalam rentang waktu kurang lebih dari tiga

bulan, termasuk untuk mempersiapkan instrumen dan kelengkapan penelitian lainnya. Sehingga waktu yang digunakan untuk pendalaman materi hanya terbatas pada materi yang diberikan pada saat penelitian.

2. Populasi dalam penelitian ini juga terbatas, hanya siswa kelas VII yang terdiri dari lima kelas dengan subjek sampelnya dipilih dua kelas.

3. Materi yang dibahas dalam penelitian ini juga terbatas, hanya pada pengertian bangun segi empat, sifat-sifat bangun segi empat, keliling dan luas bangun datar segi empat.

1.7 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang dikemukakan diatas maka hipotesis penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Kemampuan penalaran siswa yang menggunakan pembelajaran kontekstual lebih baik dari pembelajaran biasa (konvensional).


(21)

2. Kemampuan aplikasi konsep matematis siswa menggunakan Pembelajaran Kontekstual lebih baik dari pembelajaran biasa (konvensional)

3. Peningkatan kemampuan penalaran matematis siswa yang belajar dengan pendekatan pembelajaran kontekstual lebih baik dibandingkan siswa yang belajar dengan pendekatan pembelajaran biasa (konvensional).

4. Peningkatan kemampuan aplikasi konsep matematis siswa yang belajar dengan pendekatan pembelajaran kontekstual lebih baik dibandingkan siswa yang belajar dengan pendekatan pembelajaran biasa (konvensional).


(22)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menelah kemampuan penalaran dan aplikasi

konsep matematis antara siswa yang memperoleh pembelajaran kontektual dengan

siswa yang memperoleh pembelajaran konvesional (biasa). Karena dalam penelitian

ini terdapat unsur pemanipulasian perlakuan, yaitu pembelajaran mengguakan

pendekatan kontekstual maka metode penelitian yang digunakan adalah metode

eksperimen. Dalam penelitian pengukuran kemampuan penalaran dan aplikasi konsep

matematis dilakukan sebelum dan sesudah perlakuan. Tujuan diberikannya

pengukuran sebelum perlakuan (pretes) adalah untuk melihat kesetaraan kemampuan

awal kedua kelompok.

Penelitian dilakukan pada dua kelas yang memiliki kemampuan setara

dengan pendekatan pembelajaran yang berbeda. Kepada kelompok pertama diberikan

pembelajaran dengan menggunakan pendekatan pembelajaran kontekstual. Kelompok

pertama ini merupakan kelompok eksperimen, sedangkan kelompok kedua

merupakan kelompok kontrol yang memperoleh pembelajaran biasa (konvensional),

Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Pre-tes

Pos-tes Control Group Design. Kelompok eksperimen memperoleh pembelajaran

menggunakan pendekatan kontekstual dan kelompok kontrol memperoleh

pembelajaran biasa.


(23)

Dalam penelitian ini diambil dua kelas yang homogen dengan pembelajaran

berbeda. Kelompok I, diberi pembelajaran kontekstual, dan kelompok II, merupakan

kelompok kontrol dengan pembelajaran biasa. Adapun desain penelitiannya sebagai

berikut :

A O X O

A O O

Dimana : A : Pemilihan sampel secara acak

O : Pretes / Postes

X : Perlakuan menggunakan pembelajaran kontekstual

3.2 Populasi dan Sampel

Panelitian dilakukan pada siswa SMP Negeri 2 Serui Propinsi Papua dengan

populasi siswa kelas VII, atas dasar pertimbangan sebagai berikut (1). Siswa kelas

VII adalah siswa menengah yang sudah dapat menyesuaikan diri dengan keadaan

lingkungan; (2). Terdapat materi yang dianggap tepat disampaikan dengan

pembelajaran kontekstual yaitu materi pada pokok bahasan bangun datar; (3). Siswa

telah menerima cukup banyak meteri prasyarat yang mendukung materi yang dipilih

sebagai bahan ajar pada penelitian.

Kelas VII SMP Negeri 2 Serui terdiri dari 8 kelas sebagai anggota populasi,

akan dipilih dua kelas sampel dalam penelitian ini. Untuk memilih sampel (kelas

eksperimen dan kelas kontrol) dipilih dari kelas yang telah ada .karena desain


(24)

sampel dilakukan dengan menggunakan teknik ”Purposive Sampling”, yaitu teknik

pengambilan sampel berdasarkan pertimbangan tertentu (Sugiyono, 2005: 54).

Informasi awal dalam pemilihan sampel dilakukan berdasarkan pertimbangan dari

guru bidang studi matematika sebelumnya.

Setiap anggota populasi diberi nomor, kemudian diundi untuk mendapatkan

anggota sampel yang diharapkan. Hasil pengundian terambil siswa kelas VII A dan

VII C yang selanjutnya kelas-kelas ini sebagai sampel pada penelitian. Penentuan

kelas eksperimen dan kelas kontrol dilakukan secara acak juga, yang terpilih kelas

VII A sebagai kelas eksperimen dan kelas VII C sebagai kelas kontrol. Jumlah siswa

kelas VII A sebanyak 30 siswa dan kelas VII C sebanyak 30 siswa.

3.3 Variabel Penelitian

Variabel dalam penelitian ini terdiri dari variabel bebas dan variabel terikat.

Adapun variabel bebas dalam penelitian ini adalah pembelajaran matematika dengan

menggunakan pendekatan pembelajaran kontekstual, dan variabel terikatnya adalah

kemampuan penalaran dan kemampuan aplikasi konsep matematis

3.4 Instrumen Penelitian dan Pengembangannya

Penelitian ini menggunakan dua jenis instrumen, yaitu jenis tes dan non tes.

Instrumen jenis tes adalah instrumen kemampuan penalaran matematis dan

kemampuan aplikasi konsep matematis. Instrumen jenis non tes adalah skala sikap

siswa. Jenis-jenis instrumen tersebut diatas dapat dilihat pada lampiran.


(25)

3.4.1 Instrumen Penelitian

3.4.1.1 Tes kemampuan penalaran dan aplikasi konsep matematis

Tes kemampuan penalaran dan aplikasi konsep matematis terdiri dari 10

item soal bentuk uraian. Instrumen tes diklasifikasikan dalam dua bagian yaitu 6 item

soal untuk mengukur kemampuan penalaran matematis dan 4 item soal untuk

mengukur kemampuan aplikasi konsep matematis. Alokasi waktu untuk

menyelesaikan tes ini ialah 120 menit. Perangkat soal dapat dilihat pada Lampiran C

halaman 149, dan 159. Tes ini diberikan sebelum dan sesuda perlakuan terhadap

kelas kontrol dan kelas eksprerimen. Pemilihan bentuk tes uraian ini bertujuan untuk

dapat mengungkapkan kemampuan siswa pada kedua kelompok.

Dalam tes kemampuan penalaran dan aplikasi konsep matematis, terlebih

dahulu disusun kisi-kisi soal, yang dilanjutkan dengan menyusun soal beserta kunci

jawaban. Kemudian menyusun pedoman pemberian skor tiap item soal tes penaaran

dan apliksi konsep matematis, dimana setiap item mempunyai bobot nilai maksimal

4(empat) dan inimum 0(nol).

3.4.1.2 Pedoman Pensekoran Tes Kemampuan Penalaran dan Aplikasi Konsep Matematis

Pedoman pensekoran tes kemampuan penalaran dan aplikasi konsep

matematis disajikan pada Tabel 3.1 berikut. Pedoman ini diadaptasi dari panduan


(26)

hasil tes berupa jawaban-jawaban siswa terhadap tipe soal uraian berjenis open-ended

(Erman H.S: 2006: 16) Dalam melaksanakan evaluasi mengembangkan rencana

pembelajaran dengan pendekatan open ended perlu memperhatikan aspek fluenci

(banyak solusi), flexibility (variasi ide siswa), dan originality (kemurnian solusi dan

temuan siswa).

Teks dianalisis setiap jawaban secara cermat dengan berpatokan pada

system Holistic Scoring Rubrics. Adapun skoring yang digunakan adalah 0, 1, 2, 3,

dan 4 dengan kriteria seperti terdapat pada tabel berikut:

Tabel 3.1

Pedoman Penskoran Kemampuan Penalaran dan Aplikasi Konsep Matematis

Level 0 Level 1 Level 2 Level 3 Level 4

Jawaban salah, tanpa alasan. Tidak ada jawaban

Jawaban salah tapi ada alasan

Jawaban hampir benar:

•Kesimpulan tidak ada

•Rumus benar tapi kesimpulan salah •Jawaban benar tapi

alasan salah Jawaban benar tapi alasan tidak lengkap. Jawaban minimal. Jawaban benar dan alasan benar

Sebelum digunakan dalam penelitian, semua perangkat tes diestimasi oleh

pembimbing, untuk mengetahui validitas isinya. Validitas isi ini ditetapkan

berdasarkan kesesuaian antara kisi-kisi soal dengan butir soal. Untuk instrumen yang

validitas isinya memadai diuji cobakan kepada siswa yang berada di luar subyek

sampel. Dalam hal ini ujicoba instrumen kemampuan penalaran dan aplikasi konsep


(27)

dengan pertimbangan bahwa siswa kelas VII telah memperoleh materi yang akan

disampaikan. Ujicoba instrumen dilakukan untuk melihat validitas butir soal,

reliablitas tes, daya pembeda butir soal, dan tingkat kesukaran butir soal. Data hasil

uji coba instrumen dianalisis dengan menggunakan program komputer Microsoft

Office Excel 2003.

3.4.1.3 Validitas Instrumen

Kriteria yang mendasar dari suatu tes yang tangguh adalah tes mengukur

hasil-hasil yang konsisten sesuai dengan tujuan dari tes itu sendiri. Menurut Arikunto

(2005: 65) sebuah tes dikatakan valid apabila tes tersebut mengukur apa yang hendak

diukur. Karena ujicoba dilaksanakan satu kali (single test) maka validasi instrumen

tes dilakukan dengan menghitung korelasi antara skor item dengan skor total butir tes

dengan menggunakan rumus Koefisien Korelasi Pearson:

∑ ∑ ∑

∑ ∑ ∑ ∑ (Arikunto, 2005: 72)

Keterangan:

rxy= koefisien validitas

N = banyaknya peserta tes

X = Skor iem soal

Y= Skor total

N = banyaknya peserta tes


(28)

(Arikunto, 2005: 75) adalah sebagai berikut:

Kalsifikasi Koefisien Validitas

Nilai rx y Interpretasi 0,80 < rx y 1,00 Sangat tinggi (sangat baik)

0,60 <rxy≤0 , 8 0 tinggi (baik)

0,40 <rxy0 , 6 0 sedang(cukup)

0,20 <rxy 0,40 rendah

0,00 < r 0,20 sangat rendah

Setelah dilakukan perhitungan menggunakan SPSS (Perhitungan Output

SPSS pada lampiran D halaman 160) maka diperoleh koefisien validitas untuk setiap

butir soal tes kemampuan penalaran matematis seperti tampak pada tabel:

Tabel 3.2

Validitas Butir Soal Tes Kemampuan Penalaran Matematis

No. Soal

N

Korelasi Pearson

Item Terhadap Skor Total Uji-t

rxy Sig. (2-t) Interpretasi t Sig. (2-t) Validitas

1 34 0,711 0,000 Tinggi 5,651 0,000 valid

2 34 0,675 0,000 Sedang 3,400 0,003 valid

3 34 0,720 0,000 Tinggi 4,867 0,000 valid

4 34 0,768 0,000 Tinggi 8,148 0,000 valid

5 34 0,818 0,000 Tinggi 12,279 0,000 valid

6 34 0,830 0,000 Tinggi 8,083 0,000 valid

Berdasarkan data tes kemampuan penalaran matematis yang terkumpul dari

34 responden yang ditunjukkan dalam tabel 3.2, maka terdapat 6 koefisien korelasi


(29)

butir 1 sampai 6 dengan skor total rxy nya diantara 0,675 – 0,830, dan Uji-t nya

diantara 3,400 – 12,279, ternyata koefisien korelasi semua butir dengan skor totalnya

berada pada interprestasi tinggi, sehingga semua butir istrumen kemampuan

penalaran matematis dinyatakan valid. Butir yang mempunyai validitas tertinggi

adalah butir enam dengan koefisien korelasi 0,830 dan paling renda adalah butir

nomor dua dengan koefisien korelasi 0,675.

Hasil perhitungan untuk butir soal tes kemampuan aplikasi konsep

matematis terlihat pada tabel:

Tabel 3.3

Validitas Butir Soal Tes Kemampuan Aplikasi Konsep

Item N

Korelasi Pearson

Item Terhadap Skor Total Uji-t

r Sig. (2-t) Interpretasi t Sig. (2-t) Validitas

1 34 0,851 0,000 Tinggi 11,389 0,000 valid

2 34 0,880 0,000 Tinggi 11,000 0,000 valid

3 34 0,887 0,000 Tinggi 15,274 0,000 valid

4 34 0,721 0,000 Tinggi 4,271 0,000 valid

Dari data tes kemampuan aplikasi konsep matematis yang terkumpul dari 34

responden yang ditunjukkan dalam tabel 3.3, maka terdapat 4 koefisien korelasi

pearson (jumlah butir soal 4). Dari tabel 3.3 dapat dibaca bahwa, korelasi antar skor

butir 1 sampai 4 dengan skor total rxy nya diantara 0,851 – 0,721, dan Uji-t nya

diantara 11,389 – 4,271, ternyata koefisien korelasi semua butir dengan skor totalnya


(30)

konsep matematis dinyatakan valid. Butir yang mempunyai validitas tertinggi adalah

butir tiga dengan koefisien korelasi 0,887 dan paling renda adalah butir nomor empat

dengan koefisien korelasi 0,721

3.4.1.4 Reliabilitas Instrumen

Reliabilitas suatu instrumen evaluasi adalah keajegan/kekonsistenan

instrumen tersebut bila diberikan kepada subyek yang sama meskipun oleh orang

yang berbeda, waktu yang berbeda, maka akan memberikan hasil yang sama atau

relatif sama, untuk penelitian ini kerena soal bentuk uraian maka digunakan rumus

alpha, sebagai berikut:

        −       − =

σ

σ

2 2 11 1 1 i n n

r

(Arikunto, 2005: 109)

Keterangan:

r11 = reliabilitas yang dicari

σ

2= jumlah varians skor tiap-iap item

σ

2

i = variansi total

Selanjutnya untuk menginterpretasikan harga koefisien reliabilitas tersebut

digunakan katagori Guilford dalam Ruseffendi (1991, h. 197), dengan kriteria


(31)

Klasifikasi Koefisien Reliabilitas

Reliabilitas Interpretasi

Antara 0,00 ≤ r 0,20 reliabilitas sangat rendah

Ant ara0,20≤ r 0 ,40 rel ia bilit as renda h

Ant ara0,40 ≤ r 0 ,70 rel ia bilit as sedan g

Ant ara 0,70 ≤ r 0,9 0 rel iabilit as tin ggi

Antara 0,90 ≤ r 1,00 reliabilitas sangat tinggi

Perhitungan varians item dan varians total skor siswa pada tes kemampuan

penalaran dan kemampuan aplikasi konsep matematis siswa dapat disajikan

masing-masing pada tabel berikut:

Tabel 3.4

Perhitungan Varians Instrumen Penalaran Matematis

No. ∑ ∑ 2 ∑ 2 ∑ ∑

2

∑ 2 ∑

2

2

1 54 2.916 186 34 85,76 100,235 2,9481

2 87 7.569 279 34 222,62 56,382 1,6583

3 95 9.025 331 34 265,44 65,559 1,9282

4 72 5.184 230 34 152,47 77,529 2,2803

5 64 4.096 208 34 120,47 87,529 2,5744

6 72 5.184 236 34 152,47 83,529 2,4567

∑ 2 13,8460

Varians skor total dengan 34 ; ∑ 444 ; ∑ 7400 dan

∑ 197.136 adalah 47.114. Selanjutnya dengan rumus alpha untuk k =


(32)

Berpedoman pada tolok ukur J.P. Guilford maka reliabilitas instrumen

penalaran dikategorikan tinggi.

Perhitungan varians item dan varians total skor siswa pada tes kemampuan

aplikasi konsep matematis disajikan pada Tabel 3.5 berikut:

Tabel 3.5

Perhitungan Varians Instrumen Aplikasi konsep Matematis

No. ∑ ∑ 2 ∑ 2 ∑ ∑

2

∑ 2 ∑

2

2

1 48 2.304 164 34 67,76 96,235 2,8304

2 63 3.969 189 34 116,74 72,265 2,1254

3 82 6.724 276 34 197,76 78,235 2,3010

4 58 3.364 168 34 98,94 69,059 2,0311

∑ 9,2881

Varians skor total tes untuk 34; ∑ 251 ; ∑ 2.733 dan

∑ 63.001 adalah 25.883. Selanjutnya dengan rumus alpha untuk k = 4 item didapat $$ 0,8549.

Berpedoman pada tolok ukur J.P. Guilford maka instrumen aplikasi konsep

matematis memiliki derajat reliabilitas tinggi. Jadi reliabilitas instrumen kemampuan

penalaran matematis = 0,8473., dan kemampuan aplikasi konsep matematis = 0,8549.

Karena berdasarkan uji coba instrumen ini sudah valid dan reliabel seluruh butirnya,


(33)

3.4.1.4 Analisis Daya Pembeda

Daya pembeda butir soal adalah kemampuan butir soal tersebut untuk

membedakan antara siswa yang pandai dengan siswa yang tidak pandai atau antara

siswa yang berkemampuan tinggi dengan siswa yang berkemampuan rendah.

Daya pembeda tes dihitung dengan rumus:

%& '()* +(,-./-+ ) )0 .()* +(,-./-+ 1)2)30+-4 .)+0 .5. 0-), (Depdiknas, 2006:45)

Klasifikasi daya pembeda (DP) soal adalah sebagai berikut:

Kriteria daya pembeda Klasifikasi daya pembeda

%& 6 0,40 0,30 7 %& 8 0,40 0,20 7 %& 8 0,30

%& 8 0,20

Daya Pembeda soal sangat baik Daya Pembeda soal baik Daya Pembeda soal kurang baik Daya Pembeda soal tidak baik

Untuk data dalam jumlah yang banyak (kelas besar) dengan n > 30, maka

sebanyak 27% siswa yang memperoleh skor tertinggi dikategorikan kedalam

kelompok atas (higher group) dan sebanyak 27% siswa yang memperoleh skor

terendah dikategorikan kelompok bawah (lower group).

Karena jumlah siswa yang mengikuti tes ujicoba adalah 30 orang, maka 11

orang yang memperoleh skor tertinggi dinyatakan sebagai kelompok atas (higher

group) dan 11 orang yang memperoleh skor terendah dinyatakan sebagai kelompok

bawah (lower group). Perhitungan koefisien daya pembeda tiap item instrumen tes


(34)

Tabel 3.6

Perhitungan Daya Pembeda Tes Penalaran Matematis No.

Item 9:; 9:< 9:; 9:;

Skor

maksimun DP Keterangan

1 3,20 0,30 2,90 4 0,73 Amat Baik

2 3,40 1,70 1,70 4 0,43 Amat Baik

3 4,00 1,70 2,30 4 0,58 Amat Baik

4 3,70 0,70 3,00 4 0,75 Amat Baik

5 3,70 0,40 3,30 4 0,83 Amat Baik

6 3,40 0,60 2,80 4 0,70 Amat Baik

Tabel 3.7

Perhitungan Daya Pembeda Tes Aplikasi konsep Matematis No.

Item 9:; 9:< 9:; 9:;

Skor

maksimun DP Keterangan

1 3,50 0,00 3,50 4 0,88 Amat Baik

2 3,50 0,20 3,30 4 0,83 Amat Baik

3 3,90 0,30 3,60 4 0,90 Amat Baik

4 2,80 0,50 2,30 4 0,58 Amat Baik

3.4.1.6 Analisis Tingkat Kesukaran

Untuk menganalisis tingkat kesukaran dari setiap item soal dihitung berdasarkan

proporsi skor yang dicapai siswa kelompok atas dan kelompok bawah terhadap skor idealnya,

kemudian dinyatakan dengan kriteria mudah, sedang, dan sukar. Rumus yang digunakan untuk

menghitung tingkat kesukaran adalah:

=> CDEFAG HIJ EAIH EDE K@AF L@E?@AB

?@AB M5.,)3 0+-4 0 02) /)N) 0) 5 0-),


(35)

TK= Tingkat kesukaran dengan kategori:

Kriteria kesukaran Kategori

=> P 0,70

0,30 7 => 7 0,70 => 8 0,30

Soal Mudah Soal Sedang Soal Sukar

Berdasarkan skor tes ujicoba perhitungan tingkat kesukaran disajikan pada

Tabel 3.7 dan Tabel 3.8 berikut:

Tabel 3.8

Analisis Tingkat Kesukaran Tes Penalaran Matematis

No.

Item ∑ Mean

Skor maksimum

Tingkat

Kesukaran Interpretasi

1 54 1,588 4 0,40 Sedang

2 87 2,559 4 0,64 Sedang

3 95 2,794 4 0,70 Sedang

4 72 2,118 4 0,53 Sedang

5 64 1,882 4 0,47 Sedang

6 72 2,118 4 0,53 Sedang

Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh TK soal tes kemampuan penalaran

berada pada kisaran 0,40 – 0,70 dengan makna mudah dan sedang dan TK soal tes

kemampuan aplikasi konsep berada pada kisaran 0,353 – 0,603 dengan makna

sedang

.

Hasil analisis tingkat kesukaran tes kemampuan penalaran dan tes


(36)

Tabel 3.9

Analisis Tingkat Kesukaran Tes Aplikasi konsep Matematis No.

Item

∑ Mean Skor

maksimum

Tingkat Kesukaran

Interpretasi

1 48 1,412 4 0,353 Sedang

2 63 1,853 4 0,463 Sedang

3 82 2,412 4 0,603 Sedang

4 58 1,706 4 0,426 Sedang

Perhitungan varians item dan varians total skor siswa pada tes kemampuan

penalaran matematis.

Varians skor total dengan 34 ; ∑ 444 ; ∑ 7400 dan

∑ 197.136 adalah 47.114. Selanjutnya dengan rumus alpha untuk k

= 6 item didapat $$ 0,8473.

Perhitungan varians item dan varians total skor siswa pada tes kemampuan

aplikasi konsep matematis.

Varians skor total tes untuk 34; ∑ 251 ; ∑ 2.733 dan ∑

63.001 adalah 25.883. Selanjutnya dengan rumus alpha untuk k = 4 item didapat

$$ 0,8549.

Berpedoman pada tolok ukur J.P. Guilford maka reliabilitas instrumen

penalaran dan aplikasi konsep matematis siswa dikategorikan tinggi.

Pengajaran biasanya muncul melalui pertanyaan dan fenomena yang rnenarik

dan familiar di lingkungan siswa. Dari analisa tes NAEP 1 9 9 6 data dari dua


(37)

(2001: 6); disebutkan bahwa siswa yang gurunya aktif memberikan pengajaran

melalui proses kerja dalam aktivitas pembelajarannya menghasilkan tingkat

pencapaian matematika lebih dari 70% dan 40% untuk tingkat pencapaian sain.

Becker dan Selter (Suherman, dkk, 2003: 143); menyatakan bahwa dari

suatu penelitian kuantitatif dan kualitatif menunjukkan bahwa siswa yang

memperoleh pembelajaran dengan pendekatan RME mempunyai skor yang lebih

tinggi dibandingkan dengan siswa yang memperoleh pembelajaran dengan

pendekatan tradisional dalam hal keterampilan berhitung, lebih khusus lagi dalam

aplikasi.

3.4.2 Pengembangan Bahan Ajar

Pembelajaran yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi pembelajaran

dengan pendekatan pembelajaran kontekstual pada kelas eksperimen dan pembelajara

konvensional pada kelas kontrol.

Pendekatan pembelajaran kontekstual diberikan melalui lembar kerja siswa

(LKS). Penugasan yang diberikan dalam LKS menfasilitasi siswa untuk dapat

melakukan proses penemuan, mengkontruksi sendiri pengetahuan siswa, melakukan

kegiatan bertanya sehingga dapat menciptakan suasana masyarakat belajar didalam

kelas, dan melakuan kegiatan pemodelan. Untuk melakukan kegiatan refleksi melalui

lembar kerja siswa yang telah disiapkan.

Pembelajaran secara konvensional diberikan meelalui proses pembelajaran


(38)

menerangkan suatu konsep, mendemostrasikan ketrampilannya mengenai pola/

aturan/ sifat-sifat / rumus tentang materi, melalui tanya jawab guru memeriksa

(mengecek) apakah siswa suda mengerti atau belum. Kegiatan selanjutnya ialah guru

memberi contoh-contoh soal aplikasi konsep tersebut, selanjutnya meminta siswa

untuk mengerjakanya di papan tulis atau mejanya.

Materi yang diajarkan pada penelitian ini adalah pada pokok bahasan tentang

bangun datar yang terbagi secara spesifik pada sub pokok bahasan sebagai berikut:

1. Mengidentifikasi sifat-sifat persegi panjang, persegi, jajargenjang,

belahketupat, dan layang-layang. Dengan lingkup pembelajaran meliputi; (1)

pengertian persegi panjang, persegi, jajargenjang, belah ketupat, dan

layang-layang menurut sifatnya, (2) sifat segi empat ditijau dari panjang sisi, sudut, dan

diagonalnya.

2. Menghitung keliling dan luas bangun segi tiga dan segi empat serta

mengunakannya dalam pemecahan masalah. Dengan lingkup pembelajaran

meliputi; (1) Menjelaskan keliling dan garis tinggi bangun segi tiga dan segi

empat, (2) Menurungkan Rumus bangun segi tiga dan segi empat, (3)

Menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan perhitungan keliling dan luas

bangun segi tiga dan segi empat.

Pada setiap sub kompetensi disediakan tugas berupa soal-soal latihan yang

bersifat prosedural untuk mengukur kemampuan penalaran siswa dan soal-soal

latihan yang berbentuk penerapan untuk mengungkap kemampuan siswa


(39)

3.5 Prosedur Penelitian

Langka awal dari prosedur penelitian ini adalah oservasi dilapangan guna

melihat karakteristik dari sampel yang akan diteliti, pemilihan materi pembelajaran,

pembuatan instrument, perumusan silabus dan bahan ajar.

Setelah sampel diperoleh dan instrument telah diujicobakan dan dianalisis baik

validitas, reabilitas, daya pembeda dan derajat kesukarannya baik dan soal dapat

digunakan maka dilakukan pretes pada kedua kelompok. Selanjutnya kedua

kelompok diberi perlakuan, kelompok pertama diberi perlakuan berupa pembelajaran

dengan pendekatan kontekstual dikelas eksperimen, dan kelompok kedua diberi

perlakuan berupa pembelajaran biasa dikelas kontrol. Kemudian setelah pembelajaran

selesai diberikan, dilakukan postes pada kedua kelompok tersebut. Data yang

diperoleh. dianalisis dan dari analisis data tersebut diitarik kesimpulan.

3.5.1 Tahap Persiapan

Tahap persiapan penelitian dimulai dari sejak pembuatan proposal,

kemudian melaksanakan seminar proposal untuk memperoleh koreksi dan masukan

dari tim pembimbing tesis, menyusun instrumen dan rancangan pembelajaran.

Setelah melalui tahapan-tahapan bimbingan dan perbaikan, selanjutnya instrumen

diujicobakan. Hasil ujicoba dianalisis untuk memeriksa validitas, reliabilitas, tingkat


(40)

Prosedur penelitian tersebut penuis dapat menggambarkan sebagai berikut:

Gambar 3.1 Prosedur Penelitian.

Penarikan Kesimpulan

Pemilihan Materi Pembelajaran Pembuatan Instrumen Perumusan Siabus dan Bahan Observasi Lapangan

E: Kelas Eksperimen Pembelajaran Matematika

dengan Pendekatan Kontekstual

K: Kelas Kontrol Pembelajaran Matematika

dengan Pendekatan Konvensional Tugas

Populasi

Sampel E dan K

Instrumen Pembuatan

Ujicoba dan Revisi Instrumen

Postes

Analisis Pretes


(41)

3.5.2 Tahap Pelaksanaan Penelitian

Penelitian dilakukan pada semester akhir/genap kelas VII di SMP Negeri 2

Serui yang implementasinya dilakukan melalui tiga tahapan yaitu diawali dengan

pretes, pelaksanaan pembelajaran di kelas, dan diakhiri dengan postes.

a. Melaksanakan pretes dimaksud untuk mengetahui kemampuan awal siswa

sebelum perlakuan dalam menyelesaikan soal penalaran dan aplikasi konsep

matematis, tes diberikan baik kepada siswa kelompok eksperimen maupun

siswa kelompok kontrol.

b. Melaksanakan pembelajaran matemtika menggunakan pendekatan

pembelajaran kontekstual pada kelompok eksperimen dan pembelajaran biasa

pada kelompok kontrol.

c. Memberikan postes pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol dengan

maksud untuk mengetahui kemampuan penalaran dan kemampuan aplikasi

konsep matematis setelah mengakiri pemberian perlakuan.

1.5.2.1 Pembelajaran Kontekstual pada Kelas Eksperimen

Pada pertemuan pertama dilaksanakan pretes kelompok eksperimen dan

kelompok kontrol, hasilnya diperiksa untuk mengetahui kemampuan awal mereka

dalam meningkatkan kemampuan penalara dan aplikasi konsep matematis.


(42)

berikutnya mereka akan mengikuti pembelajaran dengan pendekatan pembelajaran

kontekstual.

Sebanyak 30 siswa-siswi dalam kelas eksperimen dikelompokkan menjadi

enam kelompok belajar; masing-masing kelompok terdiri dari lima siswa.

Pengelompokan siswa dilakukan dengan mempedomani hasil ulangan harian

sebelumnya dan hasil pretes yang baru dilaksanakan. Pengelompokan diupayakan

memenuhi syarat heterogen baik kemampuan maupun jenis kelamin. Sehari sebelum

pelaksanaan pembelajaran nama-nama anggota kelompok disampaikan agar ada

kesiapan mereka.

Dalam penilitian ini, peneliti bertindak sebagai guru yang menyajikan

pembelajaran kontekstual di kelas eksperimen. Selama pembelajaran di kelas peneliti

didampingi oleh guru lain yang bertindak sebagai pengamat yang melakukan

pengamatan terhadap pelaksanaan pembelajaran. Pada setiap pertemuan dilaksanakan

pembelajaran kontekstual dengan mengikuti tahapan-tahapan sebagai berikut:

i. Tahap Pendahuluan (Apersepsi)

Tahap apersepsi dilakukan selama 10 menit. Pada tahap apersepsi, guru

memberikan pengarahan dan penjelasan kegiatan yang akan dilakukan siswa

berkaitan dengan pembelajaran yang akan dilaksanakan, menyangkut fase-fase

kegiatan dan langkah-langkahnya, termasuk menjelaskan tujuan pembelajaran


(43)

menggali pengetahuan prasyarat melalui pertanyaan-pertanyaan lisan yang

berkenan dengan indikator yang ingin dicaainya.

ii. Tahap Eksplorasi (Kegiatan inti):

Pada tahap ini siswa melakukan eksplorasi materi melalui membaca dan

mengerjakan LKS kemudian melakukan diskusi kelompok belajar.

iii. Tahap pengembangan, pengujian, penugasan dan penutup

Tahap pengembangan dan pengujian dilaksanakan selama 30 menit. tahap ini

terdiri dari dua fase yaitu fase pengembangan selama 10 menit dan fase

pengujian 20 menit. Fase pengembangan diisi dengan kegiatan tanya jawab

mengenai materi yang telah dibahas. Pada fase pengujian setiap siswa secara

individu mengerjakan soal yang telah dipersiapkan untuk mengetahui kemajuan

belajar siswa dalam pertemuan yang sudah dilaksanakan.

1.5.2.2 Pembelajaran pada Kelas Kontrol

Pembelajaran pada kelas kontrol berlangsung sebagaimana pembelajaran

yang biasa dilakukan selama ini bersama guru. Proses pembelajaran pada kelas

konvensional (biasa) dilaksanakan sesuai jadwal pelajaran yang sudah berjaan

disekolah tersebut, dan peneiti berperang sebagai guru menyajikan pembelajaran

biasa pada kelas kontrol. Dalam kelas kontrol, siswa belajar dan guru mengajar

seperti biasanya, yaitu guru menyampaikan tujuan pembelajara dan materi yang akan


(44)

soal, kemudian guru memberikan tugas kepada kelompok, kepada kelas secara

keseluruhan tanpa memperhatikan siswa secara individu. Dan kegiatan terahkir ialah

siswa mencatat materi yang telah dijelasin dan tugas yang akan dikerjakan dirumah.

Pada kelas kontrol mempelajari materi yang sama yaitu pengertian bangun

segi empat; sifat-sifat bangun segi empat; menentukan garis tinggi sebuah segi tiga.

serta menghitung keliling, luas segi tiga, dan segi empat. Setelah semua kegiatan

penelitian dilaksanakan maka kegiatan selanjutnya ialah pengolahan data dan

penulisan laporan.

3.6 Jadual Pelaksanaan Penelitian di Kelas

Penelitian di lapangan dilaksanakan setelah mendapat izin dan persetujuan

dari Direktur Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia dan persetujuan dari

kedua Dosen pembimbing tesis. Penelitian dimulai sejak tanggal 16 Juni 2009 sampai

dengan tanggal 17 Agustus 2009. Rangkaian kegiatan di kelas, terdiri dari tiga bagian

yaitu pelaksanaan pretes, pelaksanaan pembelajaran dan, pelaksanaan postes. Sesuai

dengan pemilihan yang dilakuan, penelitian dilaksanakan pada kelas VIIA sebagai

kelas eksperimen dan kelas VIIC sebagai kelompok kontrol. Jadual selengkapnya


(45)

Tabel 3.10

Jadual Pelaksanaan Penelitian pada Kelas Eksperimen

No HARI/TANGGAL WAKTU KEGIATAN

1 Senin,20 juli 2009 07.55 - 09.15 Pretes

2 Kamis,23 Juli 2009 07.55 - 09.15 Pembelajaran I

3 Senin,27 Juli 2009 07.55 - 09.15 Pembelajaran II

4 Selasa/ 28 Juli 2009 10.10 – 11.05 Pembelajaran III

5 Kamis/30 Juli 2009 07.55- 09.15 Pembelajaran IV

6 Senin 3 Agustus 2009 10.15-12.05 Postes

3.7 Tehnik Analisis Data

Setelah perlakuan dilaksanakan, diperoleh data sebagai berikut:

1) Data nilai kemampuan penalaran dan kemampuan aplikasi konsep matematis

kelas eksperimen dan kelas kontrol, berasal dari pretes.

2) Data nilai kemampuan penalaran dan kemampuan aplikasi konsep matematis

kelas eksperimen dan kelas kontrol, berasal dari postes.

Analisis data dilakukan secara kuantitatif. Uji statistik yang digunakan

adalah uji kesamaan dua rata-rata, dan perhitungan dilakukan dengan menggunakan

Microsoft Office Excel dan Software SPSS 13,0 for Windows dengan

langkah-langkah sebagai berikut:

1. Menghitung statistik deskriptif skor pretes, skor postes, dan skor N-Gain


(46)

2. Menguji normalitas skor pretes, postes, dan skor N-Gain dengan uji

non-parametrik One-Sample Kolmogorov-Smirnov pada taraf konfidensi 95%.

3. Menguji homogenitas varians dengan uji Levene dalam One-Way Anova atau

dalam Independent sample t- test pada taraf konfidensi 95%.

4. Menguji hipotesis penelitian dengan uji perbedaan rata-rata pada taraf

konfidensi 95%. Jika data normal dan homogen, menggunakan statistik uji-t

dengan Independent sample t- test, apabila data berdistribusi tidak normal,

maka pengujiannya menggunakan uji non-parametrik untuk dua sampel yang

saling bebas pengganti uji-t yaitu uji Mann-Whitney.

5. Untuk melihat peningkatan kemampuan pemecahan masalah dan komunikasi

matematis siswa antara sebelum dan sesudah pembelajaran dihitung dengan

menggunakan rumus gain skor ternormalisasi:

Rumus Gain Skor Ternormalisasi

Q

RSTU RSVW

RXYZU RSVW (Meltzer. 2002) Keterangan:

/4( IJ [ @L@H ;

/-0 IJ [JHL@H ;

.)+0 IJ EAIH EDE K@AF Kategori:

Tinggi : Q 6 0,7 Sedang: 0,3 7 Q 8 0,7 Rendah: < 0,3


(47)

Untuk mengetahui benar tidaknya kemampuan pemecahan masalah dan

komunikasi matematis kelompok eksperimen lebih menyebar dibanding kelompok

kontrol perlu diuji secara statistik.

Uji normalitas data skor pertes, skor postes, dan skor N-Gain kemampuan

pemecahan masalah dan kemampuan komunikasi matematis siswa kelompok

eksperimen dan kelompok kontrol, menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov dengan

rumus hipotesis kerja:

H0 : Data berasal dari populasi berdistribusi normal Ha : Data berasal dari populasi tidak berdistribusi normal

Dengan kriteria: tolak Ho jika Signifikansi (2-tailed) output SPSS < $\ (Trihendradi, 2005:245)

Uji homogenitas antara dua varians pada skor pretes, skor postes, dan skor

N-Gain kelompok eksperimen dan kelompok kontrol, dengan uji Levene dengan

rumusan hipotesis kerja:

H0 : ]$ ] Varians populasi skor kedua kelompok homogen. Ha : ]$ ^ ] Varians populasi skor kedua kelompok tidak homogen.

]$= Varians skor kelompok eksperimen;

] = Varians skor kelompok kontrol

Dengan kriteria: tolak H0 jika Signifikansi output SPSS < \ (Trihendradi, 2005:158).

Uji perbedaan rata-rata skor postes, dan N-Gain antara kelpompok eksperimen

dan kelompok kontrol menggunakan uji satu pihak (pihak kanan) untuk menguji


(48)

H0 : _$ _ : Tidak ada perbedaan rata-rata antara kedua kelompok.

Ha : _$P _ : Rata-rata kelompok eksperimen lebih besar dari kelompok kontrol

_$ = Rata-rata kelompok eksperimen

_ = Rata-rata kelompok kontrol


(49)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Penelitian ini menganalisis model pembelajaran Kontekstual dalam

upaya peningkatan kemampuan penalaran dan aplikasi konsep matematis siswa

Sekolah Menengah Pertama. Eksperimen dalam penelitian ini dilaksanakan di

SMP Negeri 2 Serui Kabupaten Kepulauan Yapen. Kegiatan belajar siswa yang

dapat perlakuan model pembelajaran Kontekstual berlangsun dalam situasi

yang konduktif, walaupun pada awal – awal pertemuan ada beberapa perubahan

tingkalaku yang terjadi pada diri siswa saat proses perlakuan pembelajaran

dimulai, namun siswa tetap aktif mengikuti proses pembelajaran bahkan

diskusi-diskusi kelompok yang dilakukan dalam proses pembelajaran. Interaksi

yang terjadi pada saat proses pembelajaran berlangsu juga tergolong baik.

Setiap siswa berusaha untuk dapat mengajari temannya yang lain, sebaliknya

setiap siswa terbuka menerima masukan atau temuan yang dijelaskan oleh

teman-temannya.

Berdasarkan analisis data dan temuan dilapangan selama menerapkan

pembelajaran kontekstual dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Kemampuan penalaran matematis siswa yang pembelajarannya

menggunakan pendekatan pembelajaran kontekstual lebih baik dari pada

kemampuan penalaran matematis siswa yang memperoleh pembelajaran

biasa.


(50)

2. Peningkatan kemampuan penalaran matematis siswa yang melaksanakan

pembelajaran kontekstual lebih baik daripada peningkatan kemampuan

penalaran matematis siswa yang melaksanakan pembelajaran biasa.

3. Kemampuan aplikasi konsep matematis siswa yang pembelajarannya

menggunakan pendekatan pembelajaran kontekstual lebih baik dari pada

kemampuan aplikasi konsep matematis siswa yang memperoleh

pembelajaran biasa.

4. Peningkatan kemampuan aplikasi konsep matematis siswa yang

melaksanakan pembelajaran kontekstual lebih baik daripada peningkatan

kemampuan aplikasi konsep matematis siswa yang melaksanakan

pembelajaran biasa.

5.2 Saran – saran i. Kepada Guru

a. Untuk guru bidang studi matematika, pembelajaran dengan pendekatan

kontekstual sebaiknya digunakan sebagai alternatif dalam pembelajaran

matematika untuk meningkatkan kemampuan siswa pada aspek penalaran

dan aplikasi konsep matematis.

b. Untuk guru-guru yang baru mencoba menerapkan model pembelajaran

kontekstual ini, sebaiknya mengantisipasi kendala-kendala yang

dihadapai siswa dalam proses pmbelajaran. Dalam penelitian ini, pada

awalnya siswa dituntun untuk menemukan sendiri apa yang hendak


(51)

mereka kesulitan dalam menyampaikan gambaran ataupun mereka

kesulitan menyampaikan hasil diskusi kelompok keanggotaan kelompok

belajarnya. Dorongan dari guru sebagai fasilitator dan motifator akan

membantu menumbuhkan rasa percaya diri siswa sehingga aktivitas

pembeajaran menjadi efektif.

c. Kebanyakan guru-guru matematika dalam proses bembelajarannya lebih

banyak menggunakan model pembelajaran konvensional dari pada model

pembelajrana yang menggunakan lingkungan sebagai media

pembelajarannya untuk menumbuh kembangkan nalar siswa dalam

mengaplikasikan konsep-konsep matematis siswa.

2. Kepada Lembaga Terkait

Dalam pembelajaran kontektual dapat meningkatkan keaktifan dan

kreatifitas siswa dalam belajar, dan dapat meningkatkan hasil belajar siswa

dalam matematika, maka diperlukan dukungan dari lembaga/instansi terkait

untuk lebih memberikan perhatian dalam mensosialisasikan penggunaan model

pendekatan pembelajaran kontekstual ke sekolah-sekolah melalui

kegiatan-kegiaan, misalanya Kegiatan MGMP, seminar, lokakarya, atau melalui

pelatihan guru-guru.


(52)

Masih banyak sekali kekurangan kami (peneliti) dalam penelitian ini,

maka bagi peneliti yang hendak meakukan penelitian dengan pendekatan

pembelajaran kontekstual, hendaknya melakukan penelitian pada populas yang

lebih besar yang terdiri dari beberapa sekolah agar hasilnya dapat

menggenaralisir penggunaan model pebelajaran yang menggunakan

pendekatan pebelajaran kontekstual secara lebih luas.


(1)

Untuk mengetahui benar tidaknya kemampuan pemecahan masalah dan komunikasi matematis kelompok eksperimen lebih menyebar dibanding kelompok kontrol perlu diuji secara statistik.

Uji normalitas data skor pertes, skor postes, dan skor N-Gain kemampuan pemecahan masalah dan kemampuan komunikasi matematis siswa kelompok eksperimen dan kelompok kontrol, menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov dengan rumus hipotesis kerja:

H0 : Data berasal dari populasi berdistribusi normal Ha : Data berasal dari populasi tidak berdistribusi normal

Dengan kriteria: tolak Ho jika Signifikansi (2-tailed) output SPSS < $\ (Trihendradi, 2005:245)

Uji homogenitas antara dua varians pada skor pretes, skor postes, dan skor N-Gain kelompok eksperimen dan kelompok kontrol, dengan uji Levene dengan rumusan hipotesis kerja:

H0 : ]$ ] Varians populasi skor kedua kelompok homogen. Ha : ]$ ^ ] Varians populasi skor kedua kelompok tidak homogen.

]$= Varians skor kelompok eksperimen;

] = Varians skor kelompok kontrol

Dengan kriteria: tolak H0 jika Signifikansi output SPSS < \ (Trihendradi, 2005:158). Uji perbedaan rata-rata skor postes, dan N-Gain antara kelpompok eksperimen dan kelompok kontrol menggunakan uji satu pihak (pihak kanan) untuk menguji rumusan hipotesis kerja:


(2)

H0 : _$ _ : Tidak ada perbedaan rata-rata antara kedua kelompok.

Ha : _$P _ : Rata-rata kelompok eksperimen lebih besar dari kelompok kontrol

_$ = Rata-rata kelompok eksperimen _ = Rata-rata kelompok kontrol


(3)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan

Penelitian ini menganalisis model pembelajaran Kontekstual dalam upaya peningkatan kemampuan penalaran dan aplikasi konsep matematis siswa Sekolah Menengah Pertama. Eksperimen dalam penelitian ini dilaksanakan di SMP Negeri 2 Serui Kabupaten Kepulauan Yapen. Kegiatan belajar siswa yang dapat perlakuan model pembelajaran Kontekstual berlangsun dalam situasi yang konduktif, walaupun pada awal – awal pertemuan ada beberapa perubahan tingkalaku yang terjadi pada diri siswa saat proses perlakuan pembelajaran dimulai, namun siswa tetap aktif mengikuti proses pembelajaran bahkan diskusi-diskusi kelompok yang dilakukan dalam proses pembelajaran. Interaksi yang terjadi pada saat proses pembelajaran berlangsu juga tergolong baik. Setiap siswa berusaha untuk dapat mengajari temannya yang lain, sebaliknya setiap siswa terbuka menerima masukan atau temuan yang dijelaskan oleh teman-temannya.

Berdasarkan analisis data dan temuan dilapangan selama menerapkan pembelajaran kontekstual dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Kemampuan penalaran matematis siswa yang pembelajarannya menggunakan pendekatan pembelajaran kontekstual lebih baik dari pada kemampuan penalaran matematis siswa yang memperoleh pembelajaran biasa.


(4)

2. Peningkatan kemampuan penalaran matematis siswa yang melaksanakan pembelajaran kontekstual lebih baik daripada peningkatan kemampuan penalaran matematis siswa yang melaksanakan pembelajaran biasa. 3. Kemampuan aplikasi konsep matematis siswa yang pembelajarannya

menggunakan pendekatan pembelajaran kontekstual lebih baik dari pada kemampuan aplikasi konsep matematis siswa yang memperoleh pembelajaran biasa.

4. Peningkatan kemampuan aplikasi konsep matematis siswa yang melaksanakan pembelajaran kontekstual lebih baik daripada peningkatan kemampuan aplikasi konsep matematis siswa yang melaksanakan pembelajaran biasa.

5.2 Saran – saran i. Kepada Guru

a. Untuk guru bidang studi matematika, pembelajaran dengan pendekatan kontekstual sebaiknya digunakan sebagai alternatif dalam pembelajaran matematika untuk meningkatkan kemampuan siswa pada aspek penalaran dan aplikasi konsep matematis.

b. Untuk guru-guru yang baru mencoba menerapkan model pembelajaran kontekstual ini, sebaiknya mengantisipasi kendala-kendala yang dihadapai siswa dalam proses pmbelajaran. Dalam penelitian ini, pada awalnya siswa dituntun untuk menemukan sendiri apa yang hendak ditemuinya. Terutam mereka yang mempunyai kemampuan rendah,


(5)

mereka kesulitan dalam menyampaikan gambaran ataupun mereka kesulitan menyampaikan hasil diskusi kelompok keanggotaan kelompok belajarnya. Dorongan dari guru sebagai fasilitator dan motifator akan membantu menumbuhkan rasa percaya diri siswa sehingga aktivitas pembeajaran menjadi efektif.

c. Kebanyakan guru-guru matematika dalam proses bembelajarannya lebih banyak menggunakan model pembelajaran konvensional dari pada model pembelajrana yang menggunakan lingkungan sebagai media pembelajarannya untuk menumbuh kembangkan nalar siswa dalam mengaplikasikan konsep-konsep matematis siswa.

2. Kepada Lembaga Terkait

Dalam pembelajaran kontektual dapat meningkatkan keaktifan dan kreatifitas siswa dalam belajar, dan dapat meningkatkan hasil belajar siswa dalam matematika, maka diperlukan dukungan dari lembaga/instansi terkait untuk lebih memberikan perhatian dalam mensosialisasikan penggunaan model pendekatan pembelajaran kontekstual ke sekolah-sekolah melalui kegiatan-kegiaan, misalanya Kegiatan MGMP, seminar, lokakarya, atau melalui pelatihan guru-guru.


(6)

Masih banyak sekali kekurangan kami (peneliti) dalam penelitian ini, maka bagi peneliti yang hendak meakukan penelitian dengan pendekatan pembelajaran kontekstual, hendaknya melakukan penelitian pada populas yang lebih besar yang terdiri dari beberapa sekolah agar hasilnya dapat menggenaralisir penggunaan model pebelajaran yang menggunakan pendekatan pebelajaran kontekstual secara lebih luas.