38
daerah serta dapat memberikan sanksi pidana yang diproses sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Dalam konteks UU No. 28 Tahun 2009, bahwa perwujudan pengawasan preventif dan korektif adalah dalam setiap raperda tentang pajak daerah dan
retribusi daerah PDRD sebelum ditetapkan menjadi Perda harus dievaluasi terlebih dahulu oleh Pemerintah. Dalam hal ini, apabila Raperda PDRD Provinsi dievaluasi
oleh Menteri Dalam Negeri, sementara Raperda PDRD kabupatenkota dievaluasi oleh Gubernur di wilayah kabupatenkota yang bersangkutan. Terhadap proses
evaluasi yang sedang dilakukan baik oleh Gubernur maupun Menteri Dalam Negeri berkoordinasi dengan Menteri Keuangan. Selanjutnya, Perda yang sudah ditetapkan
dapat dibatalkan oleh Pemerintah Pusat apabila bertentangan dengan peraturan perundang-undangan danatau kepentingan umum. Selain itu, terhadap daerah yang
melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan dibidang pajak daerah dan retribusi daerah dapat dikenakan sanksi berupa penundaan danatau
pemotongan dana alokasi umum danatau dana bagi hasil atau restitusi. Sejalan dengan adanya pengawasan terhadap eksistensi PDRD termasuk
produk hukum daerah bidang PDRD sebagai landasan operasionalnya, baik dari sisi perancangan, penetapan, maupun pelaksanaannya, kiranya perlu dilakukan secara
efektif agar terpenuhi tujuan, hasil, dan dampak yang diharapkan oleh pembuat kebijakan. Efektifitas dalam pengawasan dapat dikatakan sebagai salah satu tolok
ukur keberhasilan pelaksanaan PDRD sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
B. Close-List System Sebagai Bentuk Pengawasan Terhadap PDRD
Close-list system dalam pengertiannya dapat diartikan sebagai cara pembatasan daftar jumlah terhadap suatu objek yang dipilih. Dalam konteks
pemungutan pajak dan retribusi daerah, dapat diartikan sebagai pembatasan jumlah jenis pajak atau retribusi daerah yang dapat diberlakukan sebagai pungutan dan
dapat dipungut oleh daerah. Pembatasan jenis pajak maupun jenis retribusi ini adalah representasi dari bentuk pengawasan pemerintah terhadap beredarnya jenis
pajak maupun retribusi yang lahir semata-mata sebagai wujud kreatifitas pemerintah daerah dalam menjalankan otonomi nyadiskresi, yang ada kecenderungan salah
39
arah dan menjauh dari konsep perpajakan dan retribusi sesuai dengan ketentuan yang berlaku, dan lebih menonjolkan kepentingan lokal dan kedaerahan.
Berangkat dari pengalaman buruk penerapan diskresi daerah dalam pemungutan pajak dan retribusi daerah, adalah hal sangat tepat dilakukan
pembatasan terhadap jumlah jenis pajak atau retribusi daerah yang dapat dipungut oleh daerah. Adapun kebijakannya diarahkan pada penggunaan potensi perpajakan
dan retribusi yang lebih baik berdasarkan kajian akademis, sederhana dalam pemungutannya, serta dapat diberlakukan di hampir seluruh daerah atau berlaku
secara nasional. Selain itu, pembatasan jenis pajak maupun retribusi ini mengandung maksud untuk memberikan kepastian hukum kepada masyarakat dan
dunia usaha tentang jenis pungutan pajak maupun retribusi yang harus mereka bayar, serta adanya jaminan bahwa tidak akan ada lagi jenis pajak atau retribusi
baru yang akan dipungut selain yang sudah ada. Dalam perumusan ketentuan perpajakan dan retribusi khususnya terhadap
seleksi jenis pajak atau retribusi yang akan diterapkan dalam perundang-undangan, sudah barang tentu dengan menggunakan beberapa pertimbangan dan kajian
akademis. Salah satu konsep perpajakan dan retribusi yang digunakan adalah dengan pendekatan kriteria pajak atau retribusi yang benar. Secara histori, dalam
paradigma UU No. 34 Tahun 2000 bahwa evaluasi represif terhadap suatu Perda tentang pajak atau retribusi salah satunya juga menggunakan pendekatan kriteria
jenis pajak maupun retribusi, sehingga dapat diidentifikasi yang mana Perda yang bermasalah atau yang bukan. Namun pada kenyataannya banyak Perda pajak
maupun retribusi daerah yang bermasalah dan dibatalkan oleh Pemerintah Pusat dikarenakan objek pajak atau retribusi dimaksud bertentangan dengan kriteria pajak
atau retribusi daerah yang benar.
C. Pembatasan jenis pungutan berdasarkan kriteria pajak daerah