Pengolahan Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit Dari Unit Deoiling Ponds Menggunakan Membran Mikrofiltrasi

(1)

PENGOLAHAN LIMBAH CAIR PABRIK KELAPA SAWIT DARI

UNIT DEOILING PONDS MENGGUNAKAN MEMBRAN

MIKROFILTRASI

T E S I S

Oleh

FARIDA HANUM

057022002/TK

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009

S

E K O L A H

P A

S C

A S A R JA NA


(2)

PENGOLAHAN LIMBAH CAIR PABRIK KELAPA SAWIT DARI

UNIT DEOILING PONDS MENGGUNAKAN MEMBRAN

MIKROFILTRASI

T E S I S

Untuk Memperoleh Gelar Magister Teknik dalam Program Studi Teknik Kimia

pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

FARIDA HANUM

057022002/TK

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009


(3)

Judul Tesis : PENGOLAHAN LIMBAH CAIR PABRIK KELAPA SAWIT DARI UNIT DEOILING PONDS

MENGGUNAKAN MEMBRAN MIKROFILTRASI

Nama Mahasiswa : Farida Hanum Nomor Pokok : 057022002 Program Studi : Teknik Kimia

Menyetujui, Komisi Pembimbing

(Dr. Ir. Tjahjono Herawan, M.Sc) Ketua

(Dr. Sutarman, M.Sc) (Dr.Ir. Irvan, MSi) Anggota Anggota

Ketua Program Studi, Direktur,

(Prof. Dr. Ir. Setiaty Pandia) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., M.Sc)


(4)

Telah diuji pada :

Tanggal 27 Januari 2009

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. Ir. Tjahjono Herawan, MSc Anggota : 1. Dr. Sutarman, MSc

2. Dr. Ir. Irvan, MSi

3. Prof. Dr. Ir. Setiaty Pandia 4. Dr. Halimatuddahliana, ST, MSc 5. Zuhrina Masyithah, ST, MSc 6. Mersi Suriani Sinaga, ST, MT


(5)

ABSTRAK

Produksi minyak sawit mentah (crude palm oil, CPO) di Indonesia terus meningkat sehingga akan menambah jumlah limbah cair yang dihasilkan. Oleh karena itu dilakukan penelitian skala laboratorium yang bertujuan untuk mengetahui unjuk kerja proses mikrofiltrasi menggunakan bahan keramik dalam pengolahan limbah cair pabrik kelapa sawit dari unit deoiling ponds serta menyusun model yang sesuai untuk karakteristik proses mikrofiltrasi . Sedangkan manfaat penelitian adalah untuk memberikan alternatif pengolahan limbah cair yang lebih baik bagi pabrik kelapa sawit. Penelitian dilakukan dalam tiga tahapan, pertama penentuan trans membrane pressure (TMP) optimum, kedua nilai TMP optimum tersebut digunakan untuk mengoperasikan membran untuk memperoleh permeat dengan kualitas analisis terbaik, ketiga proses pemekatan retentat untuk mengutip total padatan terlarut. Selanjutnya penelitian diakhiri dengan menyusun model untuk memperkirakan fluks permeat pada proses mikrofiltrasi dan model untuk memprediksi nilai COD permeat. Disamping itu juga dihitung konstanta pembentukan cake dan koefisien rejeksi. Hasil penelitian menunjukkan membran mikrofiltrasi dapat merejeksi COD dari limbah deoiling ponds sebesar 67,94 %, rejeksi total padatan (TS) sebesar 46,26 %, rejeksi total padatan melayang (TSS) sebesar 96 %, kenaikan pH dari 4,6-5,9.Model yang diperoleh J=76,64 ∆P, sedangkan model untuk prediksi COD = -0,006t3+2,788t2 -392,3t+35847. Nilai konstanta pembentukan cake diperoleh 6.10-6 dan koefisien rejeksi sebesar 47,19 %.

Kata kunci : Limbah deoiling ponds, membran mikrofiltrasi, rejeksi COD, rejeksi TS, rejeksi TSS, kenaikan pH


(6)

ABSTRACT

Crude palm oil (CPO) production would be increased in Indonesia, so it could create the amount of liquid waste. Therefore conducted by research in laboratory scale to know performance microfiltration ceramic membrane to process of liquid waste of oil palm factory from deoiling ponds and also compile the appropriate model for the characteristic of microfiltration processing. While research benefit the better liquid waste processing alternative for oil palm factory. Research done in three step, first determination of trans membrane pressure (TMP) optimum, second using the optimum TMP to operate membrane to get permeate with the best analysis quality, third condensed process of retentate to taking solid total. Research terminate by compiling model to estimate the flux permeate at microfiltration process and model for predicted assess the COD permeate. Beside that also calculated forming of cake constant and coefficient rejection. Result of research show the membrane microfiltration earn the rejection COD from waste of deoiling ponds equal to 67,94 %, total solid rejection equal 46,26 %, total suspended solid rejection equal 96 %, increase pH from 4,6-5,9. Model obtained by J=76,64 ∆P, while model to predicted COD=-0,006t3+2,788t2-392,3t+35847. Value of forming cake constant by 6.10-6 and rejection coefficient equal 47,19 %.

Keyword : Deoiling ponds waste, microfiltration membrane, rejection COD, rejection total solid, rejection total suspended solid, increase pH


(7)

KATA PENGANTAR

Segala puji berhak disampaikan kepada Allah SWT seiring dengan ucapan Alhamdulillahi Rabbil’alamin atas segala karunia-Nya sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Tesis ini berjudul “ Pengolahan Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit Dari Unit Deoiling Ponds Menggunakan Membran Mikrofiltrasi”. Tesis ini disusun setelah melalui tahapan penelitian yang dilakukan di Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) Medan. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya atas segala bantuan dan fasilitas yang telah diterima. Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang tinggi kepada dosen pembimbing Dr.Ir. Tjahjono Herawan, MSc ; Dr. Sutarman, MSc ; Dr. Ir. Irvan, MSi atas bantuan, bimbingan, curahan ilmu, serta asih dan asuh yang telah diberikan dari penelitian sampai penyusunan tesis. Pada kesempatan ini disampaikan pula ucapan terima kasih kepada yang terhormat :

1. Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp.A(K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara atas kesempatan untuk mengikuti Pendidikan Program Magister

2. Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, MSc selaku Direktur Sekolah Pascasarjana USU atas kesempatan menjadi mahasiswa Magister Teknik Kimia USU

3. Prof. Dr. Ir. Setiaty Pandia selaku Ketua Program Studi Magister Teknik Kimia SPs USU sekaligus sebagai tim pembanding tesis

4. Dr. Halimatuddahliana, ST, MSc selaku sekretaris Program Studi Magister Teknik Kimia SPs USU sekaligus sebagai tim pembanding tesis

5. Zuhrina Masyithah, ST, MSc dan Mersi Suriani Sinaga, ST, MT selaku tim pembanding tesis

6. Kedua Orang tua, Muchtar Ibrahim dan Dra. Nurhafifah, serta abangandaku Safri Hadi


(8)

7. Suamiku tercinta Suwandi serta anak-anakku tersayang Zulfikri Anwar dan Rafie Maulana

8. Staf pengajar Magister Teknik Kimia USU 9. Staf pengajar Departemen Teknik Kimia USU 10. Pegawai administrasi Magister Teknik Kimia USU 11. Para Peneliti di PPKS beserta para teknisinya

12. Seluruh rekan-rekan mahasiswa Magister Teknik Kimia USU

Akhir kata saya memohon kritik dan saran untuk perkembangan penelitian selanjutnya.

Medan, Januari 2009


(9)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Farida Hanum

Tempat/Tgl lahir : Banda Aceh/ 10 Juni 1978 Agama : Islam

Pekerjaan : Staf Pengajar Departemen Teknik Kimia USU (thn 2001-sekarang)

Pendidikan : 1. SDN 060814 Medan (thn 1984-1990) 2. MTsN Medan (thn 1990-1993)

3. MAN 1 Medan (thn 1993-1996)

4. Program Studi Teknik Kimia USU (thn 1996-2001)

Status Keluarga : Menikah

Nama suami : Suwandi

Nama anak : 1. Zulfikri Anwar


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... v

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

TATA NAMA ... xii

I.PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 5

1.3. Tujuan Penelitian ... 6

1.4. Manfaat Penelitian ... 6

1.5. Lingkup Penelitian ... 7

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 9

2.1. Pengolahan Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit ... 9

2.2. Proses Pemisahan Dengan Membran ... 14

2.2.1. Proses Perpindahan Pada Membran ... 15

2.2.2. Proses Pembuatan Membran ... 19

2.2.3. Aplikasi Industri dari Membran ... 23

2.3. Proses Mikrofiltrasi ... 25

2.4. Pola Aliran Dalam Membran ... 29

2.5. Penyusunan Model ... 33

2.5.1. Model Untuk Memperkirakan Fluks Permeat ... 33

2.5.2. Model Untuk memperkirakan Rejeksi COD Limbah ... 37

III. METODOLOGI PENELITIAN ... 39

3.1. Lokasi dan Waktu ... 39

3.2. Bahan dan Metoda ... 39


(11)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 49

4.1. Karakterisasi Membran ... 49

4.2.Pengolahan Limbah Dari Unit Deoiling Ponds ... 51

4.2.1. Hubungan Antara Fluks Permeat Dengan Beda Tekanan (TMP) ... 51

4.2.2. Rejeksi COD Terhadap Waktu Operasi Pada TMP 0,6 Bar ... 53

4.2.3. Rejeksi Total Solid (TS) Terhadap Waktu Operasi Pada TMP 0,6 Bar ... 55

4.2.4. Rejeksi Total Suspended Solid (TSS) Terhadap Waktu Operasi Pada TMP 0,6 Bar ... 57

4.2.5. Kenaikan pH ... 59

4.2.6. Profil Penentuan VCR (Volume Concentration Ratio) ... 60

4.3. Penyusunan Model Untuk Proses Mikrofiltrasi ... 62

4.3.1. Model Untuk Memperkirakan Fluks Permeat ……… 62

4.3.2. Model untuk Memperkirakan Rejeksi COD Limbah ... 69

4.4. Menghitung Konstanta Pembentukan Cake ... 70

4.5. Menghitung Selektifitas Membran ... 72

V. PENUTUP ... 74

5.1. Kesimpulan ... 74

5.2. Saran ... 76


(12)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

1. Komposisi Limbah Awal ………... 12

2. Komposisi Zat Nutrien Serat Buah, Padatan Terlarut/Tersuspensi, Daun Pelepah, Bungkil Inti Sawit, dan Dedak Padi ………. 13

3. Klasifikasi Proses Pemisahan Dengan Membran Berdasarkan Gaya Dorongnya ... 17

4. Porositas dan Distribusi Ukuran Pori Membran ... 19

5. Karakteristik Beberapa Modul Membran ... 22

6. Aplikasi Industri Dari Membran ... 24

7. Aplikasi Industri Membran Mikrofiltrasi ... 25

8. Karakteristik Membran yang Digunakan ... 50

9. Perbandingan Data Hasil Percobaan Dengan Model 1... 64

10. Perbandingan Data Hasil Percobaan Dengan Model 2 (menggunakan faktor koreksi 0,9) ... 66

11. Perbandingan Data Hasil Percobaan Dengan Model 3 ... 67

12. Data Koefisien Rejeksi Membran ... 72


(13)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

1. Skema Proses Pemisahan Dengan Membran ... 16

2. Beberapa Jenis Modul Membran ... 21

3. Modul Membran Mikrofiltrasi Keramik dan Housingnya ... 27

4. Bentuk Geometri Pori Membran Mikrofiltrasi ... 28

5. Ukuran Pori Membran Mikrofiltrasi, Ultrafiltrasi, dan Reverse Osmosis ... 29

6. Pola Aliran Dalam Membran ... 30

7. Model Hubungan Fluks Terhadap Waktu ... 31

8. Hubungan Antara Fluks Dengan ∆P Pada Mikrofiltrasi dan Ultrafiltrasi . 35 9. Skema Proses Aliran Fluida Melalui Pori Membran ... 36

10. Rangkaian Peralatan Membran Mikrofiltrasi Keramik ... 40

11 Membran Mikrofiltrasi Keramik ... ... 41

12. Hubungan Antara Fluks Permeat Dengan Beda Tekanan ... ... 52

13. Rejeksi COD Terhadap Waktu Operasi Pada TMP 0,6 Bar ... 54

14. Rejeksi Total Solid (TS) Terhadap Waktu Operasi Pada TMP 0,6 Bar ... 56

15. Rejeksi Total Suspended Solid (TSS) Terhadap Waktu Operasi Pada TMP 0,6 Bar ... 57


(14)

17. Hubungan VCR Dengan TS ... 61

18. Perbandingan Data Hasil Penelitian Dengan Model 1... ... 65

19. Perbandingan Model 1 dan 2 Dengan Variasi TMP ... 68

20. Model Untuk Memperkirakan Rejeksi COD Limbah ... 69


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

 

Nomor Judul Halaman

1. Spesifikasi Peralatan Membran Mikrofiltrasi Keramik ... 80

2. Data Hasil Penelitian ... 84

3. Perhitungan Nilai Residu ... 90

4. Prosedur Percobaan ... 114


(16)

TATA NAMA

J fluks permeat, L/m2jam atau LMH r Jari-jari saluran atau pori, m

∆P Beda tekanan (trans membrane pressure), bar Viskositas cairan, PaS

Tortuosity

∆X Tebal membrane, m

Porositas permukaan membrane k Konstanta pembentukan cake

t Waktu, jam dan menit R Koefisien rejeksi

Cp Konsentrasi zat terlarut dalam permeat, mg/l Cf Konsentarsi zat terlarut dalam umpan, mg/l dp Diameter pori rata-rata


(17)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Minyak sawit mentah (Crude Palm Oil, CPO) merupakan komoditas andalan penghasil devisa bagi Indonesia dari sektor industri agro. Indonesia memegang peranan penting dalam penguasaan pasar CPO dunia dimana sekitar 80 % minyak kelapa sawit yang beredar di pasaran dunia dihasilkan oleh Indonesia dan Malaysia. Selain itu dinyatakan juga bahwa kontribusi minyak sawit terhadap ekspor nasional mencapai 6 % sehingga membuat komoditas ini menjadi nomor satu dari produksi Indonesia. Sejak tahun 2005 minyak sawit telah menjadi minyak makan terbesar di dunia. Konsumsi minyak sawit dunia mencapai 26 % dari total konsumsi minyak makan dunia. Pasokan CPO untuk produksi dalam negeri juga meningkat menjadi 12,8 juta ton pada tahun 2005, bila dibandingkan dengan tahun 2004 yang hanya mencapai 12,5 juta ton. Diperkirakan pada tahun 2010 perkebunan kelapa sawit dapat menyerap hingga 500 ribu tenaga kerja dan menghasilkan 2,7 juta TBS (tandan buah segar) per tahun dan dipekirakan Indonesia akan menjadi produsen minyak sawit terbesar di dunia (Ditjenbun, 2006). Hal ini dimungkinkan karena ketersediaaan lahan maupun tenaga kerja yang lebih kompetitif. Untuk bersaing di pasar global,


(18)

perkembangan dan persyaratan perdagangan Internasional perlu diantisipasi (Ditjenbun, 2006).

Dengan bertambahnya produksi CPO berarti akan semakin bertambah pula jumlah limbah yang dihasilkan. Baik limbah cair, limbah padat, maupun gas. Limbah yang dihasilkan PKS termasuk kategori limbah berat dengan kuantitas yang tinggi dan kandungan kontaminan mencapai hingga 20.000-60.000 mg/l untuk BOD (biochemical oxygen demand) dan 40.000-120.000 mg/l untuk COD (chemical oxygen demand). Kadar air 95%, padatan terlarut/tersuspensi 4,5%, serta sisa minyak dan lemak emulsi 0,5 -1% (Buku panduan Teknologi Pengendalian Dampak Lingkungan Industri Minyak Kelapa Sawit Di Indonesia). Limbah terutama dihasilkan dari tahap perebusan, pengendapan, dekantasi, dan sentrifugasi yang dilakukan selama proses klarifikasi CPO. Kapasitas limbah cair menurut pusat penelitian kelapa sawit (1992-1993) berkisar 1-1,3 m3/ton tandan buah segar atau 2-3 ton limbah cair /ton minyak.

Pengolahan limbah cair industri kelapa sawit yang ada saat ini di Indonesia umumnya menggunakan unit pengumpul (fatpit) biasanya berupa parit yang kemudian dialirkan ke deoiling ponds (kolam pengutipan minyak) untuk diambil minyaknya serta diturunkan suhunya, setelah itu dialirkan ke kolam anaerobik atau aerobik dengan memanfaatkan mikroba sebagai perombakan BOD dan menetralisir keasaman cairan limbah. Hal ini dilakukan karena pengolahan limbah dengan


(19)

menggunakan teknik tersebut cukup sederhana dan dianggap murah. Namun pengolahan dengan sistem kolam mempunyai banyak kelemahan, antara lain :

1. Lahan yang diperlukan untuk pengolahan limbah sangat luas, yaitu sekitar 7 ha untuk pabrik kelapa sawit (PKS) dengan kapasitas 30 ton tandan buah segar (TBS)/jam. Kebutuhan lahan yang cukup luas pada teknik pengolahan limbah dengan menggunakan sistem kolam dapat mengurangi ketersediaan lahan untuk kebun kelapa sawit.

2. Efisiensi perombakan limbah cair PKS dengan sistem kolam hanya 60 – 70%. 3. Sering mengalami pendangkalan sehingga masa retensi menjadi lebih singkat

dan baku mutu limbah tidak dapat tercapai.

4. Sistem dengan kolam tertutup pada temperatur ambient yang tinggi menghasilkan produksi gas metana dan karbondioksida yang tidak terkendali, yang mana keduanya merupakan gas rumah kaca.

Permasalahan utama yang dihadapi adalah kendala teknologi dimana pengolahan limbah yang ada saat ini sulit untuk menghasilkan keluaran yang mengarah pada PKS yang bebas limbah (Penelitian Kelapa Sawit, 2005, ekonomis karena setelah diolah limbah langsung dibuang ke badan air.

Adapun alternatif yang dipilih untuk menjawab kedua permasalahan tersebut adalah dengan mengolah limbah cair PKS dari unit deoiling ponds dengan


(20)

menggunakan teknologi membran mikrofiltrasi berbahan keramik yang memiliki ukuran pori 0,2 µm sehingga mudah diaplikasikan untuk limbah dengan kandungan kontaminan yang tinggi seperti limbah cair PKS. Sedangkan dasar pemilihan material keramik adalah agar mudah dalam pengoperasian dan pencucian (backwash) karena material ini bertekstur licin sehingga partikel yang menempel padanya mudah dibersihkan sehingga tidak merusak tekstur dari membran. Disamping itu pengolahan limbah cair dengan teknologi membran tidak menggunakan energi yang besar dan tidak membutuhkan lahan yang luas seperti pengolahan limbah cair PKS secara konvensional yang menggunakan kolam. Keunggulan lainnya hasil pengolahannya dapat digunakan kembali yaitu produk utama (permeat) dapat diolah lebih lanjut menjadi air proses serta hasil samping (retentat) digunakan untuk pakan ternak. Jadi tidak hanya mengolah limbah cair untuk dibuang ke badan air saja seperti pengolahan limbah cair secara konvensional, tapi hasil pengolahan tersebut dapat direuse (digunakan kembali) sehingga mempunyai nilai ekonomis.

Pengolahan limbah cair PKS menggunakan membran mikrofiltrasi belum pernah dilakukan sebelumnya. Biasanya membran mikrofiltrasi digunakan untuk mengolah limbah cair tekstil yang dilakukan oleh Fitrijani anggraini tahun 1999, serta untuk pengolahan limbah pulp yang dilakukan oleh Natalia soeseno dkk tahun 2001. Dalam penelitian ini dipilih membran mikrofiltrasi karena limbah cair PKS termasuk limbah dengan kategori heavy phase yang masih banyak mengandung lumpur (cake), sedangkan untuk membran ultrafiltrasi biasanya digunakan untuk limbah cair


(21)

kategori light phase seperti limbah cair industri tekstil, limbah cair emulsi minyak, limbah cair ekstraksi metanol, dan penurunan zat organik dan kekeruhan pada air sungai dan waduk. Sedangkan proses reverse osmosis biasanya digunakan untuk desalinasi air laut.

Setelah melihat beberapa aspek tersebut peneliti mencoba untuk mengolah limbah cair pabrik kelapa sawit dari unit deoiling ponds dengan menggunakan membran mikrofiltrasi, dimana permeat diproses lebih lanjut dengan water treatment menjadi air proses, sedangkan retentat digunakan untuk pakan ternak. Sebelum dioperasikan limbah dipre-filter (penyaringan awal) dengan menggunakan kain kasa yang berukuran mesh 200 atau 75-100 m. Hal ini bertujuan untuk mengurangi beban membran, meningkatkan fluks dan diharapkan dapat memperpanjang waktu operasi (runnimg time) dari membran.

1.2. Perumusan Masalah

Pengolahan limbah cair PKS secara konvensional memiliki banyak kekurangan, sehingga peneliti mencoba untuk mengolah limbah cair PKS dari unit deoiling ponds menggunakan proses mikrofiltrasi dengan membran berukuran 0,2 m. Untuk itu perlu dicari kondisi operasi membran mikrofiltrasi yang optimum, lalu disusun pemodelannya berdasarkan penelitian yang dilakukan.


(22)

1.3. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Mengetahui unjuk kerja proses mikrofiltrasi menggunakan bahan keramik dalam pengolahan limbah cair pabrik kelapa sawit dari unit deoiling ponds.

2. Menyusun model yang sesuai untuk karakteristik proses mikrofiltrasi, kemudian membandingkan hasil yang diperoleh dari penelitian dengan model yang disusun.

1.4. Manfaat Penelitian

Adapun beberapa manfaat penelitian ini adalah :

1. Meningkatkan nilai ekonomis dari limbah cair pabrik kelapa sawit menjadi air proses yang selama ini terbuang begitu saja, sehingga akan mengurangi pemakaian air tanah atau air sungai dan juga pemanfaatan padatan terlarut untuk pakan ternak


(23)

1.5. Lingkup Penelitian

Setiap memulai percobaan terlebih dahulu dilakukan pre-filter dengan menggunakan kain kassa berukuran mesh 200 atau 75-100 m terhadap limbah deoiling ponds. Penelitian dilakukan dalam tiga tahap, yaitu :

1. Penentuan Trans Membrane Pressure (TMP) yang memberikan fluks maksimum

2. Nilai TMP tersebut digunakan dalam mengoperasikan membran untuk memperoleh permeat (produk) dengan kualitas terbaik.

3. Penelitian selanjutnya pemekatkan retentat (hasil samping) dengan berbagai perbandingan volume (Volume Concentration Ratio, VCR). Pemekatan ini bertujuan mengutip seluruh solid atau padatan terlarut untuk pakan ternak. Penelitian diakhiri dengan menyusun model untuk :

A. memperkirakan harga fluks permeat pada proses mikrofiltrasi B. memperkirakan rejeksi COD terhadap waktu

Selanjutnya dilakukan perhitungan untuk :

1) menghitung konstanta pembentukan cake (k) 2) menghitung koefisien rejeksi (R)


(24)

Fluks (liter/m2jam atau LMH)

Variabel bebas : 1. Waktu (menit)

Penentuan TMP optimum = 10; 20; 30; 40; 50; 60; 70; 80; 90; 100; 110; 120 (menit)

Penentuan fluks optimum dengan parameter analisis = 20; 40; 60; 80; 100; 120; 140; 160; 180; 200; 220; 240 (menit)

2. TMP (Trans Membrane Pressure) = 0,2 ; 0,4; 0,6 ; 0,8 bar 3. VCR (Volume Concentration Ratio) = 2; 3; 4; 5; 6

Analisis yang dilakukan adalah :

A. Analisis COD (Chemical Oxygen Demand) B. Analisis TS (Total Solid )

C. Analisis TSS (Total Suspended Solid) D. Analisis pH


(25)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengolahan Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit

Limbah cair pabrik kelapa sawit (PKS) dihasilkan dari 3 tahap proses, yaitu : 1. Proses sterilisasi (pengukusan) untuk mempermudah perontokan buah dari

tandannya, mengurangi kadar air, dan untuk inaktifasi enzim lipase dan oksidase. 2. Proses ekstraksi minyak untuk memisahkan minyak daging buah dari bagian

lainnya.

3. Proses pemurnian (klarifikasi) untuk membersihkan minyak dari kotoran lain (Buku panduan Teknologi Pengendalian Dampak Lingkungan Industri Minyak Kelapa Sawit Di Indonesia, 2001).

Sedangkan teknik pengolahan limbah cair yang biasanya diterapkan di PKS adalah :

1. Kolam pengumpul (fatfit)

Kolam ini berguna untuk menampung cairan-cairan yang masih mengandung minyak yang berasal dari air kondensat dan stasiun klarifikasi.

2. Kemudian dimasukkan ke unit deoiling ponds untuk dikutip minyaknya dan diturunkan suhunya dari 70 – 80 0C menjadi 40-45 0C melalui menara atau bak pendingin.


(26)

3. Kolam Pengasaman

Pada proses ini digunakan mikroba untuk menetralisir keasaman cairan limbah. Pengasaman bertujuan agar limbah cair yang mengandung bahan organik lebih mudah mengalami biodegradasi dalam suasana anaerobik. Limbah cair dalam kolam ini mengalami asidifikasi yaitu terjadinya kenaikan konsentrasi asam-asam yang mudah menguap. Waktu penahanan hidrolisis (WPH) limbah cair dalam kolam pengasaman ini selama 5 hari. Kemudian sebelum diolah di unit pengolahan limbah kolam anaerobik, limbah dinetralkan terlebih dahulu dengan menambahkan kapur tohor hingga mencapai pH antara 7,0-7,5.

4. Kolam Anaerobik Primer

Pada proses ini memanfaatkan mikroba dalam suasana anaerobik atau aerobik untuk merombak BOD dan biodegradasi bahan organik menjadi senyawa asam dan gas. WPH dalam kolam ini mencapai 40 hari.

5. Kolam Anaerobik Sekunder

Adapun WPH limbah dalam kolam ini mencapai 20 hari. Kebutuhan lahan untuk kolam anaerobik primer dan sekunder mencapai 7 hektar untuk PKS dengan kapasitas 30 ton TBS/jam.


(27)

Kolam pengendapan ini bertujuan untuk mengendapkan lumpur-lumpur yang terdapat dalam limbah cair. WPH limbah dalam kolam ini berkisar 2 hari. Biasanya ini merupakan pengolahan terakhir sebelum limbah dialirkan ke badan air dan diharapkan pada kolam ini limbah sudah memenuhi standar baku mutu air sungai (Pedoman Pengolahan Limbah Industri Kelapa Sawit, 2006).

Dari uraian di atas terlihat bahwa pengolahan limbah cair PKS konvensional memiliki banyak kekurangan diantaranya kebutuhan lahan yang sangat luas dan WPH yang berkisar 67 hari. Oleh karena itu dikembangkan pengolahan limbah cair PKS dengan sistem reaktor atau tangki yang dikenal dengan reaktor anaerobik unggun tetap (RANUT) . Teknik pengohan limbah cair dengan sistem RANUT ini adalah salah satu sistem pengolahan limbah yang dilakukan secara anaerobik dengan kecepatan tinggi dan masa retensi relatif singkat. Prinsip kerjanya adalah degradasi bahan organik oleh bakteri secara anaerobik. Metode yang diterapkan adalah sistem tangki biofilter kecepatan tinggi (Highrate Biofilter Tank). WPH dalam RANUT adalah 10 hari dan perombakan COD sebesar 80,8 %. Jika dibandingkan dengan sistem kolam konvensional, RANUT dapat mengurangi WPH dari 50 hari menjadi 10 hari atau sebesar 80 % dan mengurangi kebutuhan lahan untuk kolam anaerobik (http://www.IOPRI.com/DDarnoko, Penelitian Kelapa Sawit, 2007).


(28)

Selain itu ada alternatif lain untuk pengolahan limbah cair PKS yaitu dengan proses membran. Membran yang biasa dipakai untuk pengolahan limbah cair adalah membran mikrofiltrasi, ultrafiltrasi, dan reverse osmosis. Namun untuk kategori heavy phase lebih baik digunakan membran mikrofiltrasi.

Komposisi limbah awal yang digunakan sebagai umpan pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 1 berikut ini :

Tabel 1. Komposisi Limbah Awal

Sumber Limbah COD (mg/l) TS (mg/l) TSS (mg/l) pH Deoiling Ponds 39.117 21.960 875 4,6

Data yang terdapat dalam Tabel 1 merupakan hasil analisis yang dilakukan terhadap limbah segar. Dari Tabel terlihat bahwa limbah deoiling ponds kadar kontaminannya masih sangat tinggi, hal ini disebabkan karena limbah deoiling ponds merupakan limbah cair yang belum diolah hanya kadar minyaknya sudah berkisar 1 % serta penurunan suhu dari 65 0C menjadi 30 0C. Daya saing suatu industri tidak hanya ditentukan oleh jumlah, kualitas, dan harga produk yang dihasilkan, tetapi juga ditentukan oleh proses produksi yang digunakan terutama untuk produk berorientasi ekspor. Beranjak dari permasalahan yang dijumpai di lapangan, solusi terpadu program zero waste effluent dan integrasi kebun-ternak dalam PKS merupakan alternatif yang sangat atraktif untuk menyelesaikan persoalan limbah industri tersebut. Program zero waste effluent diterapkan PKS dengan memanfaatkan


(29)

semua hasil samping dan limbah yang dihasilkan agar dapat meningkatkan nilai ekonomis dan menjaga kelestarian lingkungan. Sedangkan integrasi kebun-ternak dapat diterapkan dengan mengolah limbah PKS berupa serat buah sawit, padatan terlarut/tersuspensi, dan bungkil inti sawit menjadi pakan ternak.

Tabel 2. Komposisi Zat Nutrien Serat Buah, Padatan Terlarut/Tersuspensi, Daun Pelepah, Bungkil Inti Sawit, dan Dedak Padi

Zat nutrien (%) Serat buah sawit padatan terlarut Bungkil inti sawit Daun pelepah sawit Dedak padi

Bahan kering 91,69 94,00 91,11 86,2 87,70 Protein 5,90 13,25 15,40 5,8 13,00 Lemak 5,20 13,00 7,71 5,8 8,64 Serat 40,80 16,00 10,50 48,6 13,90 Calcium 0,54 0,30 0,30 0,32 0,09 Phosphor 0,13 0,19 0,19 0,27 1,39 Energi

(kkal/kg)

1776 2840 2810 2412 2670

Sumber : Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian USU (2000)


(30)

Padatan terlarut/tersuspensi adalah larutan terbuang yang dihasilkan selama proses pemerasan dan ekstraksi minyak. Bahan ini merupakan emulsi yang mengandung sekitar 4-5% padatan, 0,5-1% sisa minyak, dan sekitar 94% air. Di PKS larutan ini langsung dialirkan ke kolam pengumpul (fatfit) untuk diproses lebih lanjut. Padatan terlarut/tersuspensi dapat digunakan sebagai pengganti dedak padi sampai 100% pada sapi perah. Pemberiannya dalam bentuk kering. Pengeringannya dilakukan menggunakan sludge dryer yang juga terdapat di pabrik pengolahan kelapa sawit (Hasnudi, 2005).

2.2. Proses Pemisahan Dengan Membran

Teknologi membran telah tumbuh dan berkembang secara dinamis sejak pertama kali dikomersilkan oleh Sartorius-Werke di Jerman pada tahun 1927, khususnya untuk membran mikrofiltrasi. Pengembangan dan aplikasi teknologi ini semakin beragam dan penemuan-penemuan baru pun semakin banyak dipublikasikan. Teknologi membran pada akhirnya menjadi salah satu teknologi alternatif yang paling kompetitif saat ini akibat adanya permintaan yang sangat besar terutama untuk aplikasi proses desalinasi.

Saat ini teknologi pemisahan menggunakan membran sedang menjadi topik menarik baik kalangan industri maupun di lembaga riset dan pengembangan. Teknologi ini berkembang sejalan dengan perkembangan ilmu polimer dan penemuan Scanning electron microscope (SEM). Perkembangan teknologi membran


(31)

berlangsung cepat dimulai ketika beberapa ilmuwan dan insinyur kimia menemukan kemungkinan penggunaan reverse osmosis (RO) untuk proses desalinasi air laut dan air payau dengan tujuan hemat energi. Program ini meraih sukses dan diikuti sukses lain ketika proses ini juga berhasil diaplikasikan untuk proses pemisahan dengan skala yang lebih besar yaitu untuk pengolahan limbah cair industri (Cheryan, 1986).

Teknologi pemisahan menggunakan membran memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan proses pemisahan konvensional lain seperti distilasi dan evaporasi. Keunggulan yang dimilikinya antara lain :

1. Pemisahan berdasarkan ukuran molekul, sehingga pemisahan dapat beroperasi pada temperatur rendah (temperatur ambient). Hal ini dapat menghindari kerusakan zat pelarut maupun partikel terlarut yang sensitif terhadap panas. 2. Pemakaian energi yang relatif lebih rendah, karena biasanya pemisahan

menggunakan membran tidak melibatkan perubahan fasa. Meskipun terjadi perubahan fasa seperti pada distilasi membran, namun temperatur yang dibutuhkan jauh lebih rendah daipada titik didih larutan yang akan dipisahkan. 3. Tidak menggunakan zat bantu kimia dan tidak ada tambahan produk buangan. 4. Bersifat modular, artinya di scale-up dengan memperbanyak unitnya.

5. Dapat digabungkan dengan jenis operasi lainnya (Wenten, 2001).


(32)

Mulder (1996) mendefinisikan membran sebagai penghalang atau pembatas selektif yang diletakkan diantara dua fasa. Membran memiliki kemampuan untuk melewatkan suatu komponen dengan mudah dan cepat daripada komponen lain. Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan sifat fisik atau kimia diantara komponen yang tertahan (retentat) dengan komponen yang berpermeasi (permeat). Perpindahan melalui membran dapat berlangsung apabila ada gaya dorong (driving force) yang bekerja pada komponen yang berada di fasa 1. Driving force bisa dalam bentuk beda tekanan (∆P), beda konsentrasi (∆C), beda temperatur (∆T), ataupun beda potensial listrik (∆E). Menurut Nakao (1994) adanya gaya dorong yang menyebabkan suatu komponen berpindah dari fasa 1 ke fasa 2. Pada fasa 1 masih banyak terdapat partikel-partikel yang kemudian padanya diberikan gaya dorong sehingga partikel yang memiliki ukuran molekul yang lebih kecil dari ukuran pori membran akan masuk dan melewati pori membran, sedangkan partikel dengan ukuran molekul yang lebih besar akan tertahan dan menempel di permukaan pori membran.

Skematik proses pemisahan dengan membran terlihat pada Gambar 1 di bawah ini :


(33)

Gambar 1. Skema Proses Pemisahan Dengan Membran

Proses pemisahan dengan membran berdasarkan gaya dorongnya dibagi dalam tiga kelas utama, yaitu : kelas pertama terdiri dari mikrofiltrasi (MF) , ultrafiltrasi (UF), dan reverse osmosis (RO) dengan beda tekanan (∆P) atau yang lebih dikenal dengan TMP (trans membrane pressure) sebagai gaya dorongnya. Kelas kedua adalah dialisis dengan beda konsentrasi (∆C )sebagai gaya dorong. Kelas terakhir adalah elektrodialisis dengan gaya dorong adalah beda potensial listrik (∆E). Mulder (1996) menambahkan perbedaan temperatur sebagai kelas keempat. Klasifikasi proses pemisahan dengan membran berdasarkan gaya dorongnya dapat dilihat pada Tabel 3 berikut ini :

Tabel 3. Klasifikasi Proses Pemisahan Dengan Membran Berdasarkan Gaya Dorongnya

Beda Tekanan Beda Konsentrasi Beda Potensial Listrik

Beda

Temperatur


(34)

Mikrofiltrasi Pervaporasi Elektrodialisis Termo-osmosis Ultrafiltrasi Pemisahan Gas Elektro-osmosis Distilasi

Membran Nanofiltrasi Difusi Dialisis Membran

Elektrolisis

--

Reversa Osmosis

Perpindahan melalui media pembawa

-- --

Piezodialisis -- -- --

Sumber : Mulder (1996)

Proses membran dengan driving force berdasarkan beda tekanan dapat digunakan untuk memekatkan atau memurnikan suatu larutan. Ukuran partikel dan besaran kimia dari zat yang terlarut menentukan struktur (ukuran pori dan distribusi pori) dari membran yang digunakan. Perbandingan dari beberapa proses dengan driving force berdasarkan beda tekanan adalah sebagai berikut :

1. Mikrofiltrasi : digunakan untuk pemisahan partikel (bakteri, jamur), tekanan osmotik dapat diabaikan, tekanan rendah (< 2 bar), membran yang digunakan mempunyai struktur simetrik, ketebalan lapisan pemisah 10 – 150 m, proses pemisahan berdasarkan ukuran partikel.

2. Ultrafiltrasi : digunakan untuk pemisahan makromolekul (protein), tekanan osmotik dapat diabaikan, tekanan operasi rendah ( 1-10 bar), membran yang


(35)

digunakan berstruktur asimetrik, ketebalan lapisan membran 0,1 – 10 m, proses pemisahan didasarkan pada perbedaan solubilitas dan difusifitas.

3. Nanofiltrasi : digunakan untuk pemisahan zat terlarut dengan berat molekul rendah (garam, glukosa, laktosa), tekanan osmotik tinggi (5-25 bar), tekanan operasi tinggi (10-60 bar), membran yang digunakan berstruktur asimetrik, ketebalan lapisan pemisah 0,1 – 1,0 m, proses pemisahan didasarkan perbedaan solubilitas dan difusifitas.

2.2.2. Proses Pembuatan Membran

Membran dapat dibuat dari sejumlah besar material yang berbeda-beda dan dengan bermacam-macam teknik pembuatan antara lain sintering, track etching, stretching, dan inversi fasa. Membran mikrofiltrasi dapat dibuat dari berbagai macam material baik organik maupun anorganik Hal ini memungkinkan untuk membuat membran dengan konfigurasi dan ukuran seperti yang diinginkan. Membran mikrofiltrasi yang digunakan pada penelitian ini dibuat dengan cara sintering. Pada proses sintering ini material ditekan dan dipanaskan hingga melewati titik didihnya.

Tabel 4 berikut ini akan menyajikan pengaruh metoda preparasi terhadap porositas dan distribusi ukuran pori.


(36)

Proses Porositas Distribusi ukuran pori

Sintering Rendah/sedang Sempit/luas Streatching Sedang/tinggi Sempit/luas Track etching Rendah Sempit

Inversi fasa tinggi Sempit/luas Sumber : Wenten (2001)

Saat ini terdapat sejumlah rancangan modul yang semuanya didasarkan oleh dua tipe konfigurasi membran, yaitu konfigurasi datar (flat) dan tubular. Membran datar merupakan konfigurasi pertama yang ada dipasaran umumnya digunakan pada modul plate and frame dan modul spiral wound, sedangkan membran tubular digunakan pada modul shell and tube.. Berdasarkan ukuran diameter tubular membran yang dipakai, modul shell and tube digolongkan atas tiga modul yaitu modul tubular dengan ukuran tubular lebih besar dari 10 mm, modul kapiler yang berukuran antara 0,5 hingga 10 mm, dan modul hollow fiber yang berukuran lebih kecil dari 0,5 mm (Mulder 1996).

Konfigurasi spiral wound merupakan salah satu rancangan yang menghasilkan modul yang kompak. Modul ini terdiri atas dua lembaran membran datar yang dipisahkan oleh penyangga berpori yang direkatkan diantara kedua lembaran tersebut. Salah satu dari tepi ketiga lembaran yang telah menjadi satu itu ditautkan dengan


(37)

perekat yang tahan terhadap tekanan tinggi ke dinding pipa berlekuk yang berfungsi untuk mengumpulkan permeat. Kemudian pipa ini dibungkus dengan gabungan ketiga lembaran tersebut sehingga berada tepat di tengah-tengah bungkusan membran. Umpan mengalir secara aksial (paralel sepanjang pipa tengah) melalui modul, sedangkan permeat mengalir secara radial menuju pipa tengah. Modul spiral wound biasanya diterapkan pada proses desalinasi air payau dan air laut untuk dijadikan sebagai air minum dan air industri. Dibandingkan dengan bentuk modul lainnya, membran hollow fiber merupakan rancangan modul membran yang relatif lebih baru. Membran ini mempunyai kisaran diameter tubular 0,19-1,25 mm dan ketebalan sekitar 200 mikron. Setiap modul biasanya berisi 50-3.000 buah hollow fiber, tergantung pada diameter hollow fiber dan shell. Sedangkan pada penelitian ini digunakan membran modul tubular, karena menghasilkan fluks permeat yang tinggi dan sangat baik untuk menahan padatan. Membran mikrofiltrasi keramik secara umum dipabrikasi dalam bentuk tubular.

Gambar 2 berikut ini menampilkan beberapa modul membran yang sering digunakan untuk berbagai aplikasi industri:


(38)

a. Modul plate and frame b. Modul hollow fiber

c. Modul spiral wound

Sumber :. Proses perpindahan pada membran, I Gede Wenten, 2007) Gambar 2. Beberapa Jenis Modul Membran

Pemilihan konfigurasi membran dan penyusunan modul di dalam sistem biasanya didasarkan pada pertimbangan ekonomi agar biaya yang dikeluarkan sekecil mungkin. Untuk mendukung hal tersebut, beberapa aspek mestinya turut juga dipertimbangkan, seperti tipe pemisahan yang akan dilakukan, kemudahan operasional, kekompakan sistem, kemungkinan scale-up, penggantian membran, kemudahan pembersihan serta pemeliharaan membran. Rincian karakteristik beberapa modul membran diperlihatkan pada Tabel 5 di bawah ini :

Tabel 5. Karakteristik Beberapa Modul Membran Karakteristik Plat and

Frame

Spiral Wound


(39)

Densitas Packing (m2/m3) Sedang (200-400) Sedang (300-900) Rendah (<300) Agak Tinggi (600-1200) Tinggi (9000-30.000) Kemampuan menahan padatan tersuspensi

Sedang Jelek Baik Baik Baik

Pembersihan Mudah Mudah Mudah Sedang Sukar

Instalasi Sedang Sedang Tinggi Sedang Rendah Scale up Agak sukar Mudah Sukar Sukar Mudah

Fluks Permeat Tinggi Sedang Tinggi Tinggi Rendah Sumber : Wenten (2001)

Adapun membran yang digunakan pada penelitian ini memiliki modul tubular. Modul tubular ini memiliki beberapa keunggulan yang antara lain : mudah dalam pembersihan atau backwash, bekerja efektif dalam penahanan padatan, dan memiliki fluks permeat yang tinggi.

2.2.3. Aplikasi Industri Dari Membran

Aplikasi industri dari membran terus berkembang dengan pesat. Namun yang masih menjadi primadona adalah pengolahan air minum dengan reverse osmosis. Teknologi membran banyak dipilih karena tidak menggunakan proses kimia sehingga tidak merusak struktur molekul dari larutan yang dipisahkan, disamping pemakaian


(40)

energi yang relatif lebih rendah jika dibandingkan teknik pemisahan lainnya, serta biaya maintenance peralatan lebih murah.

Tabel 6 menampilkan berbagai aplikasi industri dari proses membran. Tabel 6. Aplikasi Industri Dari Membran

1.Reverse Osmosis - Desalinasi air laut

- Pengolahan air permukaan dan air tanah - Pemisahan alkohol dari bir dan anggur 2. Dialisis - Pemisahan nikel sulfat dari asam sulfat 3. Elektrodialisis - Produksi garam meja dari air laut

- Pengolahan air buangan dari proses elektroplating -Produksi air ultra-murni untuk industri semikonduktor 4. MF - Sterilisasi obat-obatan


(41)

- Pengolahan Limbah Cair

5. UF -Pemisahan warna dari lindi hitam (kraft) pada pembuatan kertas

-Pemulihan vaksin dari antibiotik dari kaldu fermentasi 6. Gas permeation -Pemisahan CO2 atau H2 dari metana dan hidrokarbon

- Pemilihan metan dari biogas

7. Pervaporation - Dehidrasi sistem azeotrop ethanol-air - Pemisahan zat-zat organik dari air 8.Distilasi

Membran

-Desalinasi air payau dan air laut

-Pemekatan larutan elektrolit (NaCl) dan larutan non elektrolit (glukosa)

-Pemekatan darah manusia -Pemekatan sari buah Sumber : Mulder (1996)

2.3. Proses Mikrofiltrasi

Proses mikrofiltrasi merupakan salah satu proses berbasis membran yang berkembang sangat pesat di awal perkembangan teknologi membran. Pertumbuhan dan perkembangannya pada tahun-tahun terakhir hanya mampu disaingi oleh reverse osmosis, akibat adanya permintaan yang sangat besar terutama untuk aplikasi proses desalinasi. Secara umum, mikrofiltrasi diaplikasikan dalam proses pemisahan unsur-unsur partikulat dari larutannya. Membran ini dapat menahan koloid,


(42)

mikroorganisme, dan padatan tersuspensi. Beberapa aplikasi industri membran mikrofiltrasi dapat dilihat pada Tabel 7 di bawah ini :

Tabel 7. Aplikasi Industri Membran Mikrofiltrasi

No. Kegunaan membran mikrofiltrasi

1 Industri sterilisasi dan klarifikasi 2 industri makanan dan obat-obatan 3 klarifikasi juice

4 recovery logam dalam bentuk kolid 5 pengolahan limbah cair

6 fermentasi kontinue 7 pemisahan emulsi minyak-air

8 memisahkan partikel selama proses pembuatan air ultramurni pada industri semi konduktor

9 pengambilan sel dan bioreaktor membran, serta teknologi biomedik yaitu pemisahan plasma dari sel darah

Sumber : Wenten (2001)

Membran mikrofiltrasi memiliki ukuran pori antara 0,02 sampai 10 µm dan tebal antara 10 sampai 150 µm. Dalam aplikasinya membran digunakan dalam betuk modul-modul yang ditempatkan dalam suatu housing. Satu modul membran keramik untuk aplikasi industri biasanya terdiri dari 19 saluran. Dimensi dan konfigurasi housing sangat bervariasi. Untuk aplikasi skala industrial, satu buah housing dapat menampung sampai dengan 19 buah modul membran keramik dengan dimensi


(43)

diameter 30 mm dan panjang 1 meter. Jumlah ini setara dengan luasan membran sekitar 4,5m2.

Konfigurasi modul membran keramik dan housing yang digunakan untuk pengutipan solid dari heavy phase dilihat pada Gambar 3 berikut ini :


(44)

Sumber : GDP Filter (2006)

Gambar 3. Modul Membran Mikrofiltrasi Keramik dan Housingnya

Membran mikrofiltrasi memiliki dua struktur geometri pori, yaitu : simetrik dan asimetrik. Namun umumnya membran mikrofiltrasi berstruktur pori asimetrik. Pada membran asimetrik terdapat lapisan atas yang sangat tipis (skin) dengan tebal


(45)

0,1-1 µm. Untuk memberikan kekuatan mekanik, lapisan skin ini ditunjang oleh lapisan berikutnya yang dikenal sebagai support. Lapisan support memiliki ketebalan antara 50-150 µm dan sangat berpori.

Bentuk geometri pori tersebut dapat dilihat pada Gambar 4 berikut ini (Mulder 1996) :

Gambar 4. Bentuk Geometri Pori Membran Mikrofiltrasi

Membran mikrofiltrasi dapat dibedakan dari membran reverse osmosis dan ultrafiltrasi berdasarkan ukuran partikel yang dipisahkan, seperti tersaji pada Gambar 5 berikut ini:


(46)

0,0001µm 0,001µm 0,01µm 0,1 m

q

Reverse Osmosis

sq

Ultrafiltrasi

sq

Mikrofiltrasi

1A 10A 1000A 100,000A

Gambar 5. Ukuran Pori Membran Mikrofiltrasi, Ultrafiltrasi, dan Reverse Osmosis

2.4. Pola Aliran dalam Membran

Pola aliran dalam membran biasanya dibedakan atas 2 pola yaitu dead-end filtration dan cross flow filtration. Namun pola aliran cross-flow lebih banyak dan lebih baik diaplikasikan pada membran mikrofiltrasi skala industri karena pada pola aliran cross-flow umpan dialirkan dengan arah sejajar dengan permukaan membran. Konsentrat disirkulasikan pada kecepatan yang lebih tinggi dengan tujuan menciptakan turbulensi di permukaan membran. Dengan perlakuan seperti ini, pembentukan lapisan cake terjadi sangat lambat karena tersapu oleh gaya geser yang diakibatkan oleh aliran cross-flow umpan. Pada setiap operasi cross-flow kecepatan aliran umpan sangat menentukan besarnya perpindahan massa dalam modul. Kelebihan sistem ini adalah tendensi fouling dapat dikurangi karena laju cross-flow yang tinggi sehingga akan meminimalisasi ketebalan lapisan cake. Fluks permeat


(47)

akan menurun di awal proses dan akan menuju pada kondisi stabil dalam kurun waktu tertentu ketika ketebalan lapisan foulant dipermukaan membran tidak meningkat lagi. Membran yang baik adalah jika jalannya proses dapat berlangsung lama untuk mendapatkan fluks yang stabil, dengan arti lain proses pembentukan lapisan foulant berlangsung lama. Pola aliran dalam membran ditunjukkan pada Gambar 6 berikut ini (Wenten, 1998) :

Gambar 6. Pola Aliran Dalam Membran

Sedangkan model hubungan fluks terhadap waktu pada kedua pola aliran dalam membran ditunjukkan pada Gambar 7 berikut ini :


(48)

Gambar 7. Model Hubungan Fluks Terhadap Waktu

Permasalahan utama yang terjadi pada proses membran adalah adanya penurunan fluks karena polarisasi konsentrasi dan fouling. Polarisasi konsentrasi disebabkan karena zat terlarut tertahan oleh membran yang akan terakumulasi dan membentuk suatu lapisan di dekat permukaan membran. Polarisasi konsentrasi pada membran menyebabkan penurunan fluks secara terus menerus dan penurunan fluks ini merupakan fungsi waktu. Fouling yaitu perubahan yang bersifat irreversibel yang disebabkan oleh interaksi secara fisik dan kimiawi antara membran dengan partikel yang terdapat dalam proses pemisahan. Membran fouling diidentikkan dengan penurunan fluks permeat dan perubahan selektifitas membran. Perubahan ini dapat berlangsung selama proses dan membutuhkan penanganan yang mahal termasuk


(49)

penggantian membran. Polarisasi konsentrasi dan fouling ini merupakan salah satu faktor yang menyebabkan keterbatasan penggunaan membran berpori. Oleh karena itu pada penelitian ini dipilih pola aliran cross-flow yang bertujuan untuk mengurangi fouling sehingga fluks membran dapat dikurangi laju penurunannya (Geankoplis, 1983).

Untuk menghilangkan fouling pada membran dilakukan back washing, yaitu pencucian membran dengan metoda aliran balik. Metode regenerasi membran dengan pencucian balik (back washing) menggunakan air untuk mengangkat zat pengotor (fouling) yang terakumulasi dipermukaan membran (Wenten, 2001). Dengan perlakuan seperti disebut di atas diharapkan membran mikrofiltrasi yang digunakan untuk pengolahan limbah cair pabrik kelapa sawit dapat dipertahankan kinerjanya untuk proses pengoperasian yang relatif lama. Perlakuan penanganan fouling dilakukan dengan pengaturan tekanan, pencucian balik (back washing) dengan air maupun pencucian dengan larutan asam jika produktivitas membran tidak dapat kembali seperti semula dengan pencucian balik. Bahan kimia yang digunakan adalah asam klorida (HCl) untuk mengatasi fouling akibat garam mineral dan logam-logam (GDP Filter, 2006).


(50)

2.5.1. Model Untuk Memperkirakan Fluks Permeat

Penyusunan model ini bertujuan untuk memperkirakan harga fluks permeat pada tekanan rendah untuk proses mikrofiltrasi berbahan keramik. Model disusun untuk menggambarkan mekanisme perpindahan zat cair melalui membran yang dibentuk berdasarkan data-data yang dilakukan pada penelitian. Hubungan antara fluks permeat terhadap beda tekanan akan menghasilkan persamaan linier untuk air murni, dimana menurut Hagen-Poisseuille fluks merupakan perkalian dari konstanta permeabilitas (k) dengan beda tekanan (∆P).

J = k ∆P (2.1)

Sedangkan nilai k =

r

2 (2.2)

8 ∆X

Pada keadaan ideal membran yang dilewati oleh fluida dengan konsentrasi zat terlarut tertentu mempunyai sifat-sifat antara lain :

1. Distribusi pori yang seragam pada permukaan membran 2. Tidak ada fouling

3. Polarisasi konsentrasi diabaikan

Dari perbandingan literatur diperoleh model yang paling baik untuk menggambarkan aliran fluida melewati membran berpori untuk mikrofiltrasi dengan


(51)

struktur membran asimetrik dan modul tubular didasarkan oleh Hukum Hagen-poiseuille. Model ini digunakan untuk karakterisitik membran tertentu, antara lain :

1. Pori-pori membran berbentuk silinder 2. Memiliki jari-jari yang sama

3. Panjang pori sama dengan tebal membran

Model ini menghubungkan penurunan tekanan (Pressure Drop), viskositas, densitas, dan ukuran saluran terhadap laju alir.

Model tersebut dituliskan :

r

2 ∆P

J = (2.3)

8 ∆X

Dimana : J = fluks fluida yang melalui membran (LMH) r = jari-jari saluran atau pori (m)

∆P = Beda tekanan, Trans Membrane Pressure (bar) = viskositas cairan (pa,S)

= tortuosity ∆X = tebal membran (m)

= porositas permukaan membran

Dalam penelitian ini didapatkan J = k ∆P yang tidak linier, karena parameter pembentuk k dalam penelitian ini tidak tetap seperti halnya pada air murni. Parameter


(52)

pembentuk k yang berubah adalah porositas dan jari-jari pori membran. Perubahan ini disebabkan oleh polarisasi konsentrasi dan fouling pada membran yang akan bergantung pada beda tekanan. Perubahan ini terutama disebabkan karena selama waktu operasi cake atau lumpur yang terdapat pada umpan deoiling ponds menempel pada permukaan pori-pori membran sehingga akan mengurangi ukuran porositas dan jari-jari pori membran tersebut.

Untuk memperkirakan hubungan fluks permeat terhadap beda tekanan (TMP) dapat digunakan model yang diberikan oleh Marcel Mulder dalam buku Basic Principles of Membrane Technology dan Munir Cheryan dalam buku Ultrafiltration Handbook. Keduanya memberikan model yang sama untuk hubungan fluks permeat terhadap beda tekanan (TMP) pada proses mikrofiltrasi dan ultrafiltrasi.

Model tersebut ditunjukkan pada Gambar 8 berikut ini :

Gambar 8. Hubungan Antara Fluks Dengan ∆P Pada Mikrofiltrasi dan Ultrafiltrasi Gambar 8 menerangkan bahwa fluks permeat yang dihasilkan tidak akan sama dengan perkalian antara konstanta permeabilitas (k) yang merupakan besaran intrinsik


(53)

membran dengan ∆P untuk daerah tekanan tinggi. Hal itu terjadi karena adanya polarisasi konsentrasi dan fouling yang disebabkan molekul-molekul padatan yang besar ditahan dan terakumulasi pada permukaan membran. Pada keadaan steady state (tunak) aliran padatan dari larutan ke permukaan membran akan sama dengan aliran difusi balik dari membran ke larutan. Kenaikan selanjutnya dari tekanan tidak akan menaikkan fluks karena tahanan dari lapisan aktif telah mencapai nilai yang memberikan fluks yang konstan. Dari model di atas diperkirakan pada rentang beda tekanan 5 – 10 bar akan tercapai nilai fluks konstan, dimana sebelumnya terlebih dahulu akan terjadi penurunan percepatan fluks.

UMPAN

P

f f

Kulit ∆X

2 r

Membran membran

PERMEAT

P

p p

Gambar 9. Skema Proses Aliran Fluida Melalui Pori Membran

Keterangan gambar :


(54)

f = tekanan osmosis umpan Pp = gradien tekanan permeat

p = tekanan osmosis permeat

Net driving force untuk sebuah proses membran yang ideal (P dalam persamaan 2.3) seharusnya ∆PT - ∆ , dimana ∆PT adalah (PF – PP) dan ∆ adalah ( F -

P) seperti yang terlihat dari gambar diatas. Pada prakteknya untuk hampir seluruh aplikasi proses mikrofiltrasi, tekanan osmotik dari larutan yang tertahan diabaikan karena mempunyai berat molekul yang besar, sehingga menggunakan ∆PT saja sudah cukup seperti pada Persamaan 2.3.

2.5.2. Model Untuk Memperkirakan Rejeksi COD Limbah

COD (chemical oxygen demand) adalah nilai oksien yang dibutuhkan untuk oksidasi seluruh materi baik organic maupun anorganik. COD ini merupakan parameter yang sangat penting untuk menentukan tingkat pencemaran atau mutu air. Jika kandungan senyawa organic dan anorganik cukup besar, maka oksigen terlarut dalam air mencapai nol sehingga tidak memungkinkan hidupnya biota air. Untuk itu perlu dibuat suatu model untuk memprediksi hubungan COD terhadap waktu. Model tersebut diperoleh dengan cara memplotkan grafik hubungan fluks terhadap COD yang diperoleh dari data hasil penelitian. Secara teori menjelaskan bahwa rejeksi


(55)

COD akan meningkat seiring dengan meningkatnya waktu operasi. Dengan kata lain rejeksi COD merupakan fungsi waktu.


(56)

3.1. Lokasi dan Waktu

Penelitian dilakukan di Laboratorium Bioproses Engineering Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) Medan. Jalan Brigjend Katamso No. 51 Kp, Baru Medan. Waktu penelitian selama 9 bulan mulai November 2007 sampai Agustus 2008.

3.2. Bahan dan Metoda 3.2.1. Bahan dan Alat

A. Bahan

Bahan baku yang digunakan sebagai umpan adalah limbah cair dari deoiling ponds pabrik kelapa sawit Adolina Perbaungan, Medan. Sedangkan untuk keperluan analisis digunakan bahan-bahan sebagai berikut :

1. Larutan K2Cr2O7

2. Larutan asam sulfat-perak sulfat 3.Indikator feroin

4. Larutan FeSO4

5. kain kassa ukuran 75 -100 m B. Alat


(57)

1 set pilot plant membran mikrofiltrasi keramik

Keterangan gambar : RV = Regulator valve P = Pressure gauge Gambar 10. Rangkaian Peralatan Membran Mikrofiltrasi Keramik


(58)

Gambar 11. Membran Mikrofiltrasi Keramik


(59)

A. Kerja Teoritik

Kerja teoritik meliputi penyusunan model yang diperoleh dari data yang dilakukan di laboratorium Bioproses Engineering Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) Medan. Jalan Brigjend Katamso No. 51 Kp, Baru Medan. Penyusunan model pada penelitian ini, yaitu :

1. Model Untuk Memperkirakan Fluks Permeat

Model tersebut dijelaskan pada bab II pada persamaan 2.3 yang ditulis :

r

2 ∆P

J =

8 ∆X

Dimana : J = fluks fluida yang melalui membran (LMH) r = jari-jari saluran atau pori (m)

∆P = Beda tekanan, Trans Membrane Pressure (bar) = viskositas cairan (pa,S)

= tortuosity ∆X = tebal membran (m)

= porositas permukaan membran

Bebapa asumsi digunakan untuk menurunkan model pada Persamaan 2.3. tersebut, yaitu :


(60)

a) Aliran yang melalui pori adalah Laminar yang mempunyai Bilangan Reynolds kurang dari 1800

b) Densitas ( ) konstan atau cairan bersifat incompressible c) Aliran tidak bergantung pada waktu (dalam keadaan tunak)

d) Fluida termasuk fluida Newtonian yang tidak tergantung pada waktu

2. Model Untuk Memperkirakan Rejeksi COD Limbah

Model ini diperoleh dari persamaan yang diperoleh langsung dari grafik hubungan COD terhadap waktu operasi. Persamaan tersebut dapat digunakan untuk memprediksi nilai COD pada berbagai waktu.

Disamping itu ada 2 perhitungan yang dilakukan dalam penelitian ini, yaitu : 1. Menghitung Konstanta Pembentukan Cake

Konstanta pembentukan cake merupakan parameter untuk memperkirakan fenomena fouling pada membran. Fouling adalah terjadinya deposisi partikel akibat pengoperasian membran. Fouling meliputi penyumbatan pori, presipitasi (pengendapan), dan pembentukan cake. Fouling merupakan faktor utama yang menyebabkan keterbatasan penggunaan membran berpori. Fouling merupakan perubahan yang bersifat irreversibel yang disebabkan oleh interaksi secara fisik dan kimia antara berbagai padatan terlarut dengan membran. Membran fouling diidentikkan dengan penurunan fluks permeat dan perubahan selektifitas pada


(61)

membran. Perubahan ini dapat berlangsung selama proses dan membutuhkan penanganan yang serius dan mahal termasuk penggantian membran (Geankoplis, 1983).

Pendekatan fouling yang digunakan pada penelitian ini yaitu model sederhana dari model pembentukan cake, dimana tahanan cake mengendalikan fluks permeat. Persamaan tersebut dirumuskan (Malleviele, 1996) :

J0 2

J 2 = (3.1)

1 + J0 2 k’t

Dimana :

J = Fluks akhir (L/m2/jam atau LMH) J0 = Fluks awal (L/m2/jam atau LMH) k’ = Konstanta pembentukan cake t = Waktu (jam)

Linierisasi persamaan (1) di atas dapat digunakan untuk mencari nilai konstanta pembentukan cake, ditulis :

1 1

= + k’t (3.2) J2 J0 2


(62)

Harga k’ diperoleh dari kemiringan garis (slope) pada pemetaan linier (1/J2) terhadap waktu (t). Semakin besar nilai k’ menunjukkan semakin cepat laju pembentukan cake pada permukaan membran. Nilai ini dapat dijadikan sebagai acuan dalam menilai terjadinya fouling karena pembentukan cake merupakan kendali bagi terjadinya fouling pada membran (Suprihanto notodarmojo, 2004).

Untuk menghilangkan fouling pada membran dilakukan back washing, yaitu pencucian membran dengan metoda aliran balik. Metode regenerasi membran dengan pencucian balik (back washing) menggunakan air untuk mengangkat zat pengotor (fouling) yang terakumulasi dipermukaan membran (Wenten, 2001). Dengan perlakuan seperti disebut di atas diharapkan membran mikrofiltrasi yang digunakan untuk pengolahan limbah cair pabrik kelapa sawit dapat dipertahankan kinerjanya untuk proses pengoperasian yang relatif lama. Perlakuan penanganan fouling dilakukan dengan pengaturan tekanan, pencucian balik (back washing) dengan air maupun pencucian dengan larutan asam jika produktivitas membran tidak dapat kembali seperti semula dengan pencucian balik. Bahan kimia yang digunakan adalah asam klorida (HCl) untuk mengatasi fouling akibat garam mineral dan logam-logam (GDP Filter, 2006).

2. Menghitung Selektifitas Membran

Selektifitas suatu membran merupakan ukuran kemampuan suatu membran menahan suatu spesi atau melewatkan suatu spesi tertentu lainnya. Selektivitas


(63)

membran tergantung pada interaksi antar muka dengan spesi yang akan melewatinya, ukuran spesi dan ukuran pori permukaan membran.Parameter yang digunakan untuk menggambarkan selektivitas membran adalah koefisien rejeksi (R). Koefisien rejeksi adalah fraksi konsentrasi zat terlarut yang tidak menembus membran dan dirumuskan sebagai berikut (Mulder,1996) :

Cp

R = 1 - x 100 % (3.3)

Cf

Dimana : R = koefisien rejeksi

Cp = konsentrasi zat terlarut dalam permeat (mg/l) Cf = konsentrasi zat terlarut dalam umpan (mg/l)

Dengan nilai R berkisar antara 0 sampai 1. Jika harga R = 0 berarti membran tidak mampu menahan zat kontaminan yang melewatinya, sedangkan jika harga R =1 berarti zat kontaminan ditahan sempurna oleh membran (Suprihanto notodarmojo, 2004).

B. Pelaksanaan Percobaan

Pelaksanaan percobaan adalah untuk mendapatkan data penguji keabsahan model yang telah disusun. Data tersebut meliputi data hubungan fluks dengan beda


(64)

tekanan (TMP), penentuan fluks optimum dengan berbagai parameter analisa, dan profil penentuan VCR.

Sistem operasi yang diterapkan pada penelitian adalah sistem operasi dengan mode looping. Pada mode ini retentat dan permeat yang telah dihasilkan dialirkan kembali ke tangki umpan dengan tujuan untuk mempertahankan konsentrasi umpan agar proses berjalan dengan steady state.

Bahan baku yang telah disaring sebelumnya dengan menggunakan saringan kasar (mesh 200 atau 75-100 m) dimasukkan ke dalam tangki umpan. Umpan dipompakan menggunakan pompa sentrifugal ke dalam modul membran mikrofiltrasi keramik. Umpan masuk dari sisi lumen membran dengan tekanan operasi yang cukup. Permeat akan keluar dari permukaan luar membran (sisi shell), sedangkan konsentrat (retentat) yang direjeksi oleh membran dikeluarkan melalui sisi lumen bagian akhir (atas). Konsentrat (retentat) dalam bentuk yang lebih pekat selanjutnya dikembalikan ke dalam tangki umpan untuk diproses lebih lanjut. Sirkulasi umpan dapat dilakukan berulang kali sampai tingkat kepekatan atau kekentalan material di dalam tangki sesuai dengan yang diharapkan. Dengan konfigurasi dan kondisi operasi yang telah ditentukan diharapkan dapat dihasilkan produk permeat dan retentat dengan kualitas yang memenuhi standar yang telah ditentukan.

Dalam kurun waktu tertentu, proses filtrasi mengakibatkan terjadinya deposisi partikel di atas permukaan membran yang mengakibatkan menurunnya produktifitas


(65)

wash. Proses backwash dilakukan dengan cara mengalirkan air demin panas pada tangki backwash ke dalam unit membran dari sisi permeat (shell side). Hal ini akan mengakibatkan terjadinya aliran balik pada struktur pori-pori membran. Aliran balik ini diharapkan mampu menyeret partikel yang terdeposisi di permukaan dan dalam pori membran sehingga produktifitas membran kembali seperti semula.

1. Variasi Percobaan

Pada penelitian ini dilakukan beberapa variasi percobaan untuk mendapatkan data karakteristik operasi. Beberapa variasu percobaan yang dilakukan antara lain variasi beda tekanan (TMP), variasi VCR (volume concentration ratio). Variasi TMP didapatkan dengan mengatur nilai pressure gauge pada umpan masuk dan permeat sesuai dengan yang diinginkan, sedangkan variasi VCR dilakukan dengan membandingkan nilai volume umpan awal dengan penurunan volume tangki umpan selama proses pemekatan berlangsung.

2. Pengujian Model

Pengujian model dilakukan dengan membuat grafik antara model dengan data hasil percobaan. Kalau grafiknya berbeda maka dicari suatu nilai faktor koreksi ( ). Untuk mengetahui sampai dimana kesesuaian dari faktor koreksi , maka langkah selanjutnya adalah menggunakan faktor koreksi tersebut untuk


(66)

menghitung fluks. Kemudian dilakukan uji verifikasi dengan menghitung nilai residu terkecil dari model yang disusun.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Sistem operasi yang diterapkan pada percobaan adalah sistem operasi dengan mode looping yaitu permeat dan retentat yang telah dihasilkan dialirkan kembali ke tangki umpan dengan tujuan mempertahankan konsentrasi umpan agar proses berjalan dengan steady state. Larutan umpan berupa limbah PKS dari unit Deoiling ponds yang disaring (pre-filter) dengan kain kassa yang berukuran 15-20 µm yang bertujuan agar molekul yang berukuran lebih dari 20 µm tertahan dan tidak ikut masuk ke membran. Perlakuan ini perlu dilakukan untuk mengurangi dan memperlambat terjadinya fouling pada membran mikrofiltrasi yang berukuran mesh 200 atau 75-100 µm.

4.1. Karakterisasi Membran

Material membran yang digunakan dalam kajian eksperimental ini adalah keramik yang dibuat dari oksida logam alumina (Al2O3). Membran keramik dibuat melalui beberapa proses yaitu pemilihan bahan mentah, pengadonana, pembentukan (pencetakan), pengeringan, dan pembakaran (sintering). Setiap tahap pemrosesan


(67)

sangat mempengaruhi porositas membran keramik. Ukuran partikel dan pori cenderung meningkat dengan meningkatnya temperatur sintering dan lamanya waktu sintering. Sedangkan fluks membran keramik secara langsung berhubungan dengan porositas. Membran keramik yang baik adalah membran dengan porositas tinggi tetapi tidak menurunkan kekuatan mekanik membran tersebut. Karakteristik membran pada penelitian ini diperlihatkan dalam tabel 8 berikut ini :

Tabel 8. Karakteristik Membran yang Digunakan Material

membran

Keramik

Bahan Modul Al2O3

Konfigurasi Tubular ceramic, multy channel Diameter Pori 250 A

Ukuran Pori 0,2 m Ketebalan 10 m Luas Permukaan 0,24 m2 Sumber : GDP Filter

Berdasarkan tabel karakterisasi tersebut diperlihatkan bahwa membran yang digunakan dalam penelitian ini termasuk membran mikroporous atau mikrofiltrasi karena ukuran pori berada dalam rentang 0,05 – 10 m. Begitu juga dengan ketebalan membran masih dalam rentang yang disarankan untuk mikrofiltrasi yaitu 10 – 200


(68)

4.2. Pengolahan Limbah Dari Unit Deoiling Ponds

4.2.1. Hubungan Antara Fluks Permeat Dengan Beda Tekanan (TMP)

Fluks permeat adalah laju alir bagian umpan yang menembus membran per satuan luas membran. Fluks permeat merupakan salah satu parameter yang menentukan kehandalan atau efisiensi membran. Fluks akan meningkat seiring dengan naiknya TMP. Adapun variasi beda tekanan atau TMP yang dilakukan adalah 0,2 ; 0,4; 0,6 ; dan 0,8 Bar. Secara teori proses mikrofiltrasi dapat dilakukan pada beda tekanan dibawah 2 bar, dan karena keterbatasan alat yang digunakan pada penelitian ini maka beda tekanan hanya dapat dilakukan sampai 0,8 bar. Membran yang baik adalah apabila mempunyai waktu yang relatif lama mencapai nilai fluks yang konstan. Artinya membutuhkan waktu yang relatif lama untuk terjadinya fouling. Fouling biasanya disebakan oleh polarisasi konsentrasi yang merupakan permasalahan utama pada membran mikrofiltrasi. Hal ini dapat menghambat unjuk kerja membran. Fouling dapat diperlambat dengan melakukan pretreatment atau prefilter pada umpan masuk membran dan dengan pemilihan pola lairan cross-flow pada umpan membran. Pada penelitian ini dilakukan prefilter umpan masuk membran dengan menggunakan kain kassa berukuran mesh 200 atau 75-100 m.


(69)

Berikut ini akan ditampilkan grafik hubungan antara fluks permeat terhadap beda tekanan.


(70)

Gambar 12. Hubungan Antara Fluks Permeat Dengan Beda Tekanan

Pemilihan TMP optimum didasarkan dua syarat yaitu pertama penurunan fluks harus stabil (tidak naik turun), kedua fluks konstan dicapai pada waktu yang relative lebih lama, artinya proses fouling yang lebih lama (Mulder, 1996). Dari Gambar 12. di atas terlihat bahwa pada TMP 0,2 bar dan 0,6 bar diperoleh penurunan fluks yang lebih stabil dari TMP lainnya, namun hanya TMP 0,6 bar yang memiliki fluks yang lebih lama mencapai waktu konstan yaitu pada menit ke-60, sedangkan pada TMP 0,2 bar pada menit ke-40 telah mencapai titik konstan. Oleh karena itu TMP 0,2 bar tidak dapat memenuhi syarat kedua, sehingga TMP optimum adalah 0,6 bar. Penurunan fluks merupakan fungsi waktu. Penurunan fluks ini disebabkan adanya fouling pada membran sehingga proses harus dihentikan. Setelah itu membran harus dibackwash untuk mengembalikan kondisi seperti semula.

4.2.2. Rejeksi COD Terhadap Waktu Operasi Pada TMP 0,6 Bar

Penurunan nilai COD terhadap waktu terlihat menurun secara signifikan. Hal ini terjadi karena pada umpan tersebut kandungan padatan tersuspensi dan padatan terlarut masih tinggi sehingga terjadi penahanan makromolekul pada membran yang menyebabkan deposisi partikel pada membran lebih mudah terbentuk. Deposisi partikel pada permukaan membran akan membentuk lapisan gel dan terbentuknya


(71)

lapisan cake dan secara tidak langsung memberikan efek penyaringan bagi umpan berikutnya yang akan melewati membran, sehingga sejalan bertambahnya waktu maka kualitas permeat yang dihasilkan semakin baik. Namun pada jangka waktu tertentu penurunannya mencapai titik konstan pada kisaran waktu 220 menit.

Grafik penurunan COD terhadap waktu pada TMP optimum ditunjukkan oleh gambar di bawah ini :

10,000 15,000 20,000 25,000 30,000 35,000 40,000

0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 220 240

Waktu (menit) CO D ( m g /l )

Gambar 13. Rejeksi COD Terhadap Waktu Operasi Pada TMP 0,6 Bar

Dari Gambar 13 di atas terlihat bahwa pada awal proses COD terukur sebesar 39.117 mg/l dan pada akhir proses (menit ke 240) kandungan COD sebesar 12.540 mg/l, Persentase penurunan COD adalah 67,94 %. Penurunan COD ini sudah baik untuk membran mikrofiltrasi karena secara teori membran mikrofiltrasi kurang efektif


(72)

untuk menahan soluble COD sehingga persentase penyisihan COD berkisar 60–70 % saja (Wenten, 2001). Hal ini disebabkan karena ukuran pori membran mikrofiltrasi masih relatif lebih besar jika dibandingkan membran lainnya, terutama membran ultrafiltrasi dan nanofiltrasi.

4.2.3.Rejeksi Total Solid (TS) Terhadap Waktu Operasi Pada TMP 0,6 Bar

Total solid (TS) adalah jumlah total padatan yang terkandung dalam suatu sampel, baik berupa padatan tersuspensi, padatan koloidal, maupun padatan terlarut. Padatan tersuspensi (TSS) merupakan padatan dengan ukuran lebih besar dari 1 m yang mampu mengendap sendiri tanpa bantuan zat tambahan (koagulan), meskipun dalam jangka waktu yang agak lama. Padatan koloidal merupakan padatan dengan ukuran 1 milimikron sampai 1 m yang tidak dapat mengendap sendiri tanpa bantuan zat tambahan (koagulan). Sedangkan padatan terlarut merupakan padatan dengan ukuran yang lebih kecil dari 1 milimikron yang terjadi dari senyawa organik atau anorganik, dalam larutan berupa ion-ion. TS juga mengalami penurunan seiring dengan pertambahan waktu.


(73)

Grafik penurunan TS terhadap waktu disajikan pada Gambar 14 di bawah ini :

10,000 12,000 14,000 16,000 18,000 20,000 22,000 24,000

0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 220 240

Waktu (menit)

T

S

(

m

g

/l)

Gambar 14. Rejeksi Total Solid (TS) Terhadap Waktu Operasi Pada TMP 0,6 Bar

Dari Gambar 14 di atas terlihat bahwa pada tahap awal proses total solid terukur sebesar 21.960 mg/l dan pada akhir proses yaitu pada menit ke 240 sebesar 11.800 mg/l. Persentase penurunannya dari menit pertama sampai akhir proses


(74)

berkisar 46,26 %. Pada menit ke 200 penurunan TS sudah mencapai titik konstan, hal ini disebabkan karena permukaan membran seluruhnya sudah hampir tertutupi oleh cake atau padatan terlarut yang terdapat dalam umpan. Membran umumnya lebih mampu menahan padatan tersuspensi (TSS) yang terdapat dalam limbah daripada padatan koloidal dan padatan terlarut. Hal ini disebabkan karena ukuran TSS yang jauh lebih besar daripada ukuran pori membran mikrofiltrasi yang digunakan.

4.2.4. Rejeksi Total Suspended Solid (TSS) Terhadap Waktu Operasi Pada TMP 0,6 Bar

Total suspended solid (TSS) mengalami penurunan yang sangat signifikan terhadap waktu. Grafik penurunan TSS terhadap waktu disajikan pada gambar di bawah ini :

0 100 200 300 400 500 600 700 800 900

0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 220 240

Waktu (menit) TS S ( m g/ l)


(75)

Pada Gambar 15 di atas terlihat bahwa penurunan TSS sangat tajam dari menit pertama ke menit ke 20 yaitu dari 875 mg/l menjadi 35 mg/l. Pada waktu berikutnya penurunannya sangat kecil hingga pada menit ke-240 sebesar 10 mg/l. Persentasi penurunan TSS mencapai 96 %. Penurunan ini terjadi sangat cepat karena pada menit pertama sampai menit ke-20 hampir seluruh padatan melayang dalam umpan tertahan oleh membran. Hal ini sesuai dengan teori yang menerangkan bahwa membran dengan modul tubular dapat bekerja sangat efisien dalam menyisihkan padatan dibandingkan dengan membran modul lainnya (Wenten, 2001). Hal ini disebabkan karena ukuran TSS yang lebih besar dari ukuran pori membran sehingga hampir keseluruhan partikelnya tertahan pada permukaan membran bahkan pada menit ke-0 nilai peyisihan padatan tersuspensi (TSS) sudah mencapai 89,71 %. Namun pada jangka waktu tertentu nilai ini akan mencapai titik konstan yang dalam penelitian ini yaitu pada menit ke-200. Hal ini juga disebabkan karena banyaknya cake atau padatan yang sudah menutupi hampir seluruh permukaan membran sehingga membran tidak mampu lagi memisahkan permeat dan retentatnya.


(76)

4.2.5. Kenaikan pH

Hasil pengukuran pH yang dilakukan terhadap sampel awal dan permeat ditampilkan pada gambar di bawah ini :


(77)

Dari Gambar 16 diatas terlihat bahwa nilai pH tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan, nilainya hanya berkisar antara 4,6 – 5,9. Hal ini disebabkan pori-pori membran mikrofiltrasi yang berukuran 0,2 µm tidak begitu baik dalam menyaring ion-ion yang terdapat dalam limbah. Hal ini disebabkan karena ukuran molekul dari ion-ion yang terdapat dalam limbah umunya lebih kecil dari ukuran pori membran sehingga molekul tersebut akan terbawa bersama aliran permeat.

4.2.6. Profil Penentuan VCR (Volume Concentration Ratio)

VCR atau rasio perbandingan volume ini merupakan nilai perbandingan volume tangki umpan dengan retentat yang dihasilkan dari proses membran. Percobaan penentuan VCR ini bertujuan untuk memekatkan retentat dari membran mikrofiltrasi untuk pakan ternak. VCR yang dapat dilakukan pada penelitian ini hanya VCR 2-6. Hal ini disebabkan karena Membran Mikrofiltrasi sudah mencapai fouling sehingga jika VCR dilanjutkan tidak akan memberikan hasil yang lebih baik karena fluks permeat semakin kecil dan akan membutuhkan waktu operasi yang sangat lama untuk memekatkan limbah sehingga tidak efisien bila ditinjau dari waktu dan energi yang dibutuhkan. Nilai VCR ini dapat dihubungkan dengan kandungan total solid karena pada pemekatan kandungan padatannya akan bertambah dan jumlahnya dapat ditentukan dengan menghitung TS.


(78)

Hubungan antara VCR dengan TS dapat dilihat pada Gambar 17 berikut ini :

0

3

6

9

12

15

18

21

24

27

0

1

2

3

4

5

6

VCR

T

S

(

m

g

/l)

Permeat Retentat

Gambar 17. Hubungan VCR Dengan TS

Dari Gambar 17 di atas terlihat bahwa nilai TS pada permeat semakin menurun terhadap waktu, sedangkan pada retentat nilai TS akan semakin meningkat dan pada VCR 6 nilai TS pada retentat mencapai 22,92 mg/l. Hal ini disebabkan


(79)

karena tujuan penentuan VCR adalah untuk pemekatan limbah sehingga dengan pertambahan VCR maka akan dihasilkan retentat yang lebih pekat dan kandungan TS yang semakin besar, sebaliknya pada permeat kandungan TS akan semakin rendah. Perolehan akhir pada VCR 6 mempunyai volume retentat 33,3 liter dari volume tangki umpan awal 200 liter. Retentat ini dapat langsung dikeringkan dengan rotary dryer untuk dijadikan pakan ternak.

4.3. Penyusunan Model Untuk Proses Mikrofiltrasi 4.3.1. Model untuk memperkirakan fluks permeat

Untuk pemodelan fluks permeat menggunakan Persamaan 3.3. yang telah diuraikan pada bab III kerja teoritik. Persamaan tersebut adalah :

r

2∆P J =

8 ∆X

Sedangkan untuk menurunkan persamaan di atas digunakan data-data penelitian pengolahan limbah cair PKS dengan proses mikrofiltrasi bermaterial keramik dengan konfigurasi tubular ceramic multy Channel dan data-data dari literatur, yaitu :

a) Porositas ( ) diperoleh dari persamaan sebagai berikut : = N /4dp2

Dimana :

N = pori/cm2


(80)

Dari literatur diperoleh N = 2x108 pori/cm2 (Nuclepore, 1978). dan dp adalah 250 A atau setara dengan 250x10-8 cm, sehingga porositas dapat dihitung sebagai berikut :

= 2x108 pori/cm2 x3,14/4x (250.10-8 cm)2 = 9,8125x10-4

b) Jari-jari pori (r), dari data diameter pori rata-rata di atas, maka diperoleh jari-jari pori

adalah sama dengan 125 A atau 125x10-8 cm.

c) Turtoisitas ( ) adalah 1 untuk membran tubular (Mulder, 1996)

d) Tebal lapisan membran (∆X) dari literatur untuk konfigurasi tubular ceramic multy

Channel adalah 10 µm atau 1x10-7 m atau 1x10-5 cm

e) Viskositas ( ) permeat diukur dengan alat Brookfield Digital Viscometer adalah 0,9.10-2

g/cm.sec.

Dari data-data tersebut, maka berdasarkan persamaan (3.1) dapat disusun sebuah model untuk menyatakan hubungan fluks terhadap beda tekanan (TMP). Nilai r2

= k (konstanta permeabilitas) 8 ∆X


(81)

Nilai ini jika dihitung berdasarkan data karakteristik membran yang digunakan, diperoleh :

9,8125x10-4 (125.10-8 cm)2 k =

8( 0,9x10-2 g/cm.sec)( 1)(10-5 cm)

k = 2,129x10-9 cm2sec/gr atau k = 76,64 Liter/(m2jam.Bar)

Maka model yang dapat digunakan untuk menyatakan fluks permeat pada proses proses Pengolahan limbah cair PKS dengan mikrofiltrasi adalah :

J = 76,64 ∆P (4.1)

Dimana ∆P dalam Bar dan J dalam L/(m2jam) atau LMH.

Model tersebut menerangkan bahwa dengan meningkatnya tekanan maka fluks permeat akan meningkat pula. Pernyataan ini dapat dibuktikan dari data hasil penelitian yang dilakukan. Namun pernyataan ini hanya berlaku untuk proses membran yang bekerja pada tekanan rendah (< 2 Bar). Jika tekanan sudah lebih besar dari 2 Bar maka fluks sudah tidak akan bergantung lagi pada beda tekanan (Sigit purwanto dan Hengky djojo santoso, 1996).

Setelah dilakukan perhitungan dan pengujian kesesuaian data penelitiam dengan model pada persamaan 4.1 diperoleh nilai residu terkecil pada waktu operasi 30 menit (lampiran C). Perhitungan tersebut ditampilkan pada Tabel 9 berikut ini :


(82)

TMP (Bar) Fluks Data Model 1 Residu (e) e2

0,2 32,0183 15,328 16,6903 278,5661 0,4 33,0253 30,656 2,3693 5,613582 0,6 39,0249 45,984 -6,9591 48,42907 0,8 48,1693 61,312 -13,1427 172,7306

Jumlah 505,3393 Sedangkan Grafik perbandingan data hasil percobaan pada menit ke-30 dapat dilihat pada Gambar di bawah ini :

J model = 76.64dP + 4E-14 R2 = 1

J poli orde 3 = -38.496(dP)3 + 108.6(dP)2 - 49.348dP+ 37.852

R2 = 1

10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65

0 0.2 0.4 0.6 0.8

TMP (Bar) Fl uk s (LM H ) Fluks Model Linear (Model)


(83)

Gambar 18. Perbandingan Data Hasil Penelitian Dengan Model 1

Dari Gambar 18 tersebut terlihat bahwa perbandingan data hasil penelitian dengan model yang disusun pada persamaan 4.1. perbedaaannya masih sangat besar. Oleh karena itu perlu dicari suatu faktor koreksi untuk pendekatan kedua grafik tersebut.

Persamaan 4.1. dituliskan menjadi :

J = 76,64 ∆P (4.2)

Selanjutnya Persamaan 4.1. disebut sebagai Model 1, sedangkan Persamaan 4.2. sebagai Model 2. Setelah dihitung menghasilkan suatu nilai faktor koreksi sebesar 0,9. Untuk mengetahui sampai dimana kesesuaian dari faktor koreksi ( ), maka langkah selanjutnya adalah menggunakan faktor tersebut untuk menghitung fluks permeat dengan menvariasikan beda tekanan (TMP). Parameter ini dipilih karena TMP merupakan faktor yang paling berpengaruh dalam meningkatkan fluks membran mikrofiltrasi. Hasil perhitungan fluks menggunakan faktor koreksi ( ) dengan variasi TMP diperlihatkan pada Tabel 10 berikut ini :

Tabel 10. Perbandingan Data Hasil Percobaan Dengan Model 2 (menggunakan faktor koreksi 0,9)

TMP Fluks Data Model 2 Residu (e) e2


(84)

0,4 33,0253 29,72277 3,30253 10,9067 0,6 39,0249 35,12241 3,90249 15,22943 0,8 48,1693 43,35237 4,81693 23,20281

Jumlah 59,59066

Setelah dibandingkan antara tabel 10 dengan tabel 11 maka diketahui bahwa Model 2 yang menggunakan faktor koreksi 0,9 akan menghasilkan nilai yang lebih mendekati data percobaan. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya nilai residu yang jauh lebih kecil dari Model 1 yang tidak menggunakan faktor koreksi. Model yang diperoleh dengan menggunakan statistik grafik dari data hasil percobaan akan menghasilkan persamaan :

J = -38,496(∆P)3 +108,6 (∆P)2 – 49,348 ∆P + 37,852 (4.3)

Model ini dapat mewakili keseluruhan data percobaan yang dilakukan. Sedangkan perhitungan nilai residu terhadap Persamaan 4.3. yang selanjutnya disebut Model 3 ditampilkan pada Tabel 11. berikut ini :

Tabel 11. Perbandingan Data Hasil Percobaan Dengan Model 3 TMP Fluks Data Model 3 Residu (e) e2

0,2 32,0183 32,0184 -0,0001 1,74E-08 0,4 33,0253 33,0250 0,0002 5,95E-08 0,6 39,0249 39,0240 0,0008 6,99E-07


(85)

0,8 48,1693 48,1676 0,0016 2,73E-06 Jumlah 3,5E-06

Grafik perbandingan Model 1 tanpa faktor koreksi dan Model 2 yang menggunakan faktor koreksi serta Model 3 yang diperoleh dari statistik grafik data hasil percobaan dapat dilihat pada Gambar 19 di bawah ini :

12 14 16 18 20 22 24 26 28 30 32 34 36 38 40 42 44 46 48 50 52 54 56 58 60 62 64

0 0.2 0.4 0.6 0.8

TMP (bar) Fl uk s ( LM H ) Fluks data Model 1 Model 2 Model 3


(86)

Dari Gambar 19 tersebut dapat dinyatakan bahwa prediksi fluks permeat menggunakan faktor koreksi (model 2) lebih baik daripada yang diperoleh dari perhitungan sebelumnya tanpa menggunakan faktor koreksi (model 1). Namun model ini hanya berlaku untuk range TMP 0,2 sampai 0,8 bar. Untuk melihat penggunaan model yang lebih luas lagi harus dilakukan penelitian lanjutan dengan variasi TMP yang lebih banyak lagi sampai di bawah 2 bar. Dari pemodelan di atas dapat dinyatakan bahwa model 2 merupakan model yang dapat digunakan karena kesesuaiannya dengan data hasil percobaan. Model ini dapat digunakan untuk karakteristik membran mikrofiltrasi yang sama, akan tetapi nilai viskositasnya berbeda tergantung pada viskositas limbah cair yang digunakan.

4.3.2. Model Untuk Memperkirakan Rejeksi COD Limbah

Model ini disusun untuk memprediksi nilai COD pada rentang waktu 20 sampai 240 menit. Model ini perlu disusun mengingat pada pengolahan limbah COD merupakan parameter yang penting selain BOD. Model tersebut adalah :


(87)

Gambar 20. Model Untuk Memperkirakan Rejeksi COD Limbah Dari Gambar 20 di atas terlihat bahwa model yang dihasilkan merupakan persamaan polynomial orde tiga. Model yang dihasilkan adalah COD=

-0,006t3+2,788t2-392,3t+35847. Dimana COD dalam satuan mg/l dan t atau waktu dalam satuan menit. Model tersebut sudah dapat mewakili data percobaan mengingat nilai residu yang mencapai 0,922.


(88)

4.4. Menghitung Konstanta Pembentukan Cake

Fenomena fouling pada membran biasanya dihitung dengan menentukan konstanta pembentukan cake. Persamaan yang digunakan adalah persamaan 3.5. yang ditulis :

1 1

= + k’t

J0 2 J2

Konstanta pembentukan cake yang dihitung dengan memplotkan 1/J2 (1/(fluks)2 ) terhadap t (waktu operasi) yang disajikan pada Gambar 21 berikut ini.

y = 6 E - 0 6 x + 0 . 0 0 0 8 R2 = 0 . 9 2 7 4

0 0 . 0 0 0 5 0 . 0 0 1 0 . 0 0 1 5 0 . 0 0 2

0 2 0 4 0 6 0 8 0 1 0 0 1 2 0 1 4 0 1 6 0 1 8 0 2 0 0 2 2 0 2 4 0

W a k t u ( m e n i t )

1/

J

2


(1)

(2)

3. Backwash Membran

1. Posisi regulator valve sebagai berikut : RV 1 = tutup penuh

RV 2 = buka penuh RV 3 = buka penuh RV 4 = buka penuh RV 5 = tutup penuh RV 6 = buka penuh RV 7 = tutup penuh RV 8 = buka penuh

2. Pompa dihidupkan agar sebagian air bersirkulasi ke dalam tangki backwash 3. RV 3 diputar agar tekanan backwash tidak lebih dari 1,5 bar

4. Tekanan pada sisi permeat akan mendorong air masuk ke sisi umpan sehingga pengotor-pengotor yang menyumbat pori membran diharapkan lepas terbawa air


(3)

4. Prosedur Analisis

E.1. Analisis COD (chemical oxygen demand) Acuan = Merck (1978) P 78

1. 1 ml contoh dimasukkan ke dalam tabung destruksi yang berisi 1,5 ml K2Cr2O7 dan 3,5 ml larutan asam sulfat-perak sulfat. Contoh didestruksi selama 2 jam, suhu 150 0C. Diangkat dan didinginkan.Dibuat juga blanko.

2. Larutan cintoh dimasukkan ke erlenmeyer sambil dobilas dengan air destilasi. 3. Ditambahkan indikator feroin dan dititrasi dengan larutan FeSO4 sampai larutan

coklat kemerahan.

Perhitungan :

(B-C) x N FeSO4 x 8 x 1000

COD (mg/l) =

Volume contoh (ml)

Dimana :

B = volume FeSO4 yang digunakan untuk titrasi blanko C = volume FeSO4 yang digunakan untuk titrasi contoh


(4)

E.2. Penentuan Total Padatan (Total Solid, TS)

1. 25 ml contoh dimasukkan ke dalam cawan porselen yang sudah dikeringkan dan diketahui beratnya (A), kemudian dipanaskan di atas penangas air sampai kering. 2. Dimasukkan ke oven 2 jam, suhu 105 0C.

3. Didinginkan kurang lebih 30 menit dan ditimbang (B). Perhitungan :

(B-A) x 1.000.000

TS (mg/l) =

Volume contoh (ml)

E.3. Penentuan Total Padatan Melayang Dalam Air Limbah (Total Suspended Solid, TSS)

1. 25 ml disaring dengan pompa vacum yang sudah dipasang kertas saring, Kertas saring yang digunakan harus diketahui dahulu beratnya (A).

2. Kertas saring yang berisi padatannya dikeringkan di dalam oven selama 2 jam pada suhu 105 0C. Didinginkan selama kurang lebih 30 menit, kemudian ditimbang (B).


(5)

E.4. Penentuan pH

1. Tiap sampel dimasukkan ke baker glass


(6)

LAMPIRAN 5 Gambar Limbah Deoiling Ponds

Gambar limbah deoiling ponds sebelum dan sesudah diolah dengan membran mikrofiltrasi