Tujuan Penulisan Manfaat Penulisan Kajian Pustaka

6 Tahun 2005, mulai banyak berdiri tempat untuk berjualan sembako di Melawi sampai di kecamatan bagian dalam. Hal ini bertujuan untuk memudahkan penjualan barang-barang yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari, dan orang- orang Tionghoa juga banyak yang pindah ke setiap kecamatan tersebut. Tahun 2006, penjualan sembako juga dilakukan melalui jalur sungai Melawi menggunakan kapal bandong untuk membawa barang-barang sembako. Orang Tionghoa merupakan pelaku utama dalam penjualan menggunakan kapal bandong ini. Tahun 2007, perdagangan sembako yang dilakukan oleh orang Tionghoa mulai menyebar sampai di pedalaman, dan untuk menjual barang sembako dipedalaman mereka menggunakan motor yang diberi keranjang agar dapat mengakses ke tempat tersebut. Tahun 2008, penyebaran masyarakat Tionghoa yang berprofesi sebagai pedagang sembako sudah mulai banyak dan hampir di setiap kecamatan dapat dijumpai masyarakat Tionghoa yang berasal dari berbagai daerah seperti Sintang, Sepauk, Singkawang, dan Nanga Pinoh. Lokasi yang digunakan untuk penelitian ini adalah Kabupaten Melawi, Kalimantan Barat. Untuk observasi, wawancara dan studi pustaka dilakukan di Kota Nanga Pinoh dan Pontianak untuk melakukan studi arsip.

I.3. Tujuan Penulisan

Penelitian ini, bertujuan untuk mendeskripsikan dan menjelaskan bagaimana “Perdagangan Sembako Masyarakat Tionghoa di Kabupaten Melawi Kalimantan Barat 2004- 2008” terbentuk sebagai salah satu perubahan dan bersosialisasi 7 dengan masyarakat di Kabupaten Melawi. Jika diuraikan lebih detail, maka penelitian ini bertujuan untuk: a. Secara akademis, penelitian ini menjelaskan bagaimana relasi sosial- ekonomi yang terjadi didalam bidang ekonomi. b. Secara praktis, penelitian ini menjelaskan bagaimana hubungan timbal balik yang terjadi antara masyarakat Tionghoa dengan masyarakat Kabupaten Melawi.

I.4. Manfaat Penulisan

Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya kajian sejarah ekonomi Indonesia, khususnya yang dilakukan oleh masyarakat Tionghoa di daerah kalimantan dan memberikan sumbangan informasi tentang tradisi dan kebudayaan masyarakat Tionghoa di Indonesia. Memberi informasi bagi masyarakat Tionghoa itu sendiri, masyarakat daerah setempat dan untuk para pedagang mengenai cara berdagang sembako masyarakat Tionghoa.

I.5. Kajian Pustaka

Sampai penulisan ini dilakukan, tidak ada sebuah buku pun yang menuliskan tentang “Perdagangan Sembako Masyarakat Tionghoa” meski ada banyak kajian sejenis yang dilakukan oleh para peneliti sejarah mengenai etnik Tionghoa di Indonesia seperti buku atau hasil penelitian yang berkaitan dengan perdagangan sembako masyarakat Tionghoa di Indonesia, yang ditulis oleh PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 8 Hendri Gunawan dengan judul Resiprositas dan Patronase: Jejaring Pengusaha Tionghoa di Kabupaten Sitaro Sulawesi Utara 1965-2013. Buku ini memaparkan bagaimana terjadinya relasi antara masyarakat Tionghoa dengan masyarakat SITARO Sulawesi Utara, dikatakan juga bahwa selain menjalin relasi tersebut, mereka juga melakukan pertukaran jasa seperti masyarakat setempat menjual hasil bumi mereka kepada masyarakat Tionghoa yang pada posisi ini sebagai pembeli dan pemborong. Pada bagaian awal buku ini menjelaskan bagaimana latar belakang terjadinya penelitian yang dilakukan oleh Hendri Gunawan mengenai jejaring pengusaha Tionghoa di Kabupaten Sitaro Sulawesi Utara. Banyaknya data-data yang diperlukan untuk penelitian ini dihasilkan melalui berbagai cara yang digunakan dalam penentuan sumber yang dapat dipercaya, mengerti keadaan ditempat tersebut, observasi langsung, kedekatan emosional, serta melakukan wawancara dengan orang-orang yang dianggap dapat membantu dalam penelitian ini. Bagian kedua buku ini menjelaskan bagaimana sejarah kepulauan Siau- Tagulandang dan Biaro SITARO sempat menjadi lintasan perniagaan. Kedatangan masyarakat Tionghoa di kawasan ini membuat warga SITARO bersikap lebih terbuka terhadap kehadiran bangsa-bangsa asing dan masyarakat Tionghoa yang datang ke tempat ini tidak hanya sekedar berdagang saja, ada diantara mereka yang terlibat penuh didalam organisasi-organisasi, serta perkawinan campur antara masyarakat Tionghoa dengan Masyarakat SITARO. 9 Bagian ketiga, menjelaskan aktivitas perekonomian atau perdagangan yang telah ditekuni oleh masyarakat Tionghoa tidak hanya sebatas menyediakan dan menjual kebutuhan pokok saja, melainkan menjadi pembeli dan penampung hasil bumi terutama pala, kopra dan hasil laut. Dari aktivitas perdagangan ini kemudian menciptakan jejaring relasi antara masyarakat Tionghoa dengan masyarakat lokal yang didasarkan pada kebutuhan saling memerlukan satu dengan yang lainnya, serta jejaring ini pula yang memudahkan terjadinya proses pembauran antara mereka. Pada bagian keempat dan kesimpulan buku ini menjelaskan bahwa hubungan antara pengusaha dan pedagang Tionghoa terbentuk dalam relasi resiprositas, urusan dagang tidak hanya sekedar istilah “ada uang ada barang” melainkan juga saling membutuhkan antara satu dengan yang lainnya. Buku yang ditulis oleh Julianto Ibrahim dengan judul OPIUM DAN REVOLUSI: Perdagangan dan Penggunaan Candu di Surakarta Masa Revolusi 1945-1950, Tahun 2013. Buku ini menjelaskan bagaimana usaha orang-orang cina dalam berbisnis candu pada masa Revolusi Indonesia. Selain menkonsumsi sendiri dan dijual, mereka juga menjadikan candu sebagai bisnis yang menguntungkan. Surakarta pada masa itu merupakan salah satu daerah yang banyak sekali terdapat bandar-bandar candu. Buku yang ditulis oleh Mery Somers Heidhues dengan judul Penambang Emas, Petani, dan Pedagang di “Distrik Tionghoa” Kalimantan Barat, tahun 2008. Buku ini menjelaskan bahwa orang Tionghoa di Kalimantan Barat memiliki karateristik yang berbeda dibandingkan masyarakat Tionghoa Indonesia lainnya. 10 Kebanyakan dari mereka bukanlah pedagang yang sukses, melainkan pedagang kecil, pemilik toko, nelayan dan petani. Mary Somers mengatakan , “orang Tionghoa di Kalimantan Barat bukan “penyinggah” atau orang-orang yang hanya tinggal untuk sementara, karena Orang Tionghoa di Kalimantan Barat mempertahankan kebudayaan asli mereka”. Selain itu mereka juga masih menggunakan bahasa Tionghoa secara turun termurun. Hal ini lah yang membuat mereka berbeda dengan etnis Tionghoa lainnya dalam segi penggunaan bahasa sehari-hari. Dikarenakan kebanyakan etnis Tionghoa yang berada di pulau Jawa, menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa daerah di tempat mereka bermukim untuk berkomunikasi dengan sesama etnis Tionghoa. Awal kedatangan orang-orang Tionghoa pada abad ke-18 di Kalimantan Barat dikarenakan paksaan dari pekerjaan menjadi buruh tambang dan perkebunan. Para imigran Tionghoa ini mengatur sendiri jadwal kedatangan mereka sehingga perbedaan antara etnis Tionghoa di Kalimantan Barat dengan Tionghoa yang berada di daerah lainnya berbeda. Kelompok imigran terbanyak di Kalimantan Barat adalah orang Tionghoa bukan dari kalangan suku lain Negara Indonesia. Hampir semua orang Tionghoa yang bermigrasi ke Kalimantan Barat berasal dari provinsi Guangdong, Tiongkok selatan, sisanya orang-orang Hokkien dari propinsi Fujian. Bahasa Tionghoa yang mereka gunakan pun beragam diantaranya ada Hakka, Teochiu, Kanton dan Hainan. Dua kelompok etnis terbesar di Kalimantan Barat adalah Teochiu dan Hakka. Orang-orang Teochiu berasal dari daerah pesisir Timur Laut Guangdong dan orang Hakka berasal dari 11 pedalaman Fujian datang ke Kalimantan Barat dengan penggunaan bahasa yang sama. Kelompok Hakka merupakan kelompok perintis yang tinggal di perkampungan dan daerah pertambangan untuk bekerja sebagai penambang, berladang dan juga menjadi pedagang kecil. Berbeda halnya dengan kelompok Teochiu yang lebih memilih untuk tinggal di perkotaan untuk berdagang, bahkan kini kelompok Teochiu membentuk populasi terbesar etnis Tionghoa di kota Pontianak dan daerah Selatan Pontianak. Kelompok Hakka sendiri menempati daerah Utara kota Pontianak. Sejak tahun 1811 Pontianak merupakan kota transit orang-orang Tionghoa ketika datang ke Kalimantan Barat, yang nantinya akan menyebar ke daerah-daerah pedalaman sekitarnya. Kebanyakan para buruh Tionghoa menghabiskan uangnya untuk membeli makanan-makanan enak, berjudi dan menghisap candu. Hanya sedikit buruh yang menabung hasil kerjanya untuk biaya kepulangan mereka ke Tiongkok atau mengirim uang kepada keluarganya di sana. Etnis Tionghoa membentuk pusat perdagangan di kota yang terletak di tepian sungai Kapuas. Selain sebagai tempat berdagang, pasar yang dibangun itu juga digunakan sebagai tempat tinggal. Pemilihan tempat tinggal juga bagian dari karakteristik para imigran ini. Seperti orang-orang Tionghoa yang tinggal terpisah dengan orang-orang Melayu dan Arab Orang-orang Melayu dan Arab cenderung memilih bermukim dekat dengan istana sultan yang terletak di antara Sungai Kapuas dan Sungai Landak. Hal ini tidak hanya terjadi di kota Pontianak saja, melainkan di kota-kota kecil di Kalimantan Barat. 12 Dari pembacaan yang dilakukan terhadap sumber diatas, dapat dilihat bahwa penulis buku tentang perdagangan etnis Tionghoa di Indonesia berusaha untuk membuktikan bahwa etnis Tionghoa selalu dekat dengan perdagangan.

I.6. Landasan Teori