2.3. Objektifitas Berita
Media massa senantiasa dituntut mempunyai kesesuaian dengan realisasi dunia yang benar-benar terjadi, agar gambar realitas yang ada di benak khalayak
– the world outside and the pictures in our head, tidaklah bias dikarenakan informasi media massa tidak kontekstual dengan realitas. Secara ideal, setiap
berita yang disajikan dalam suatu media harus memenuhi unsure objektifitas. Media massa yang sarat dengan informasi adalah pers. Pers merupakan
cermin realitas karena pers pada dasarnya lebih menekankan fungsi sebagai sarana pemberitaan. Isi pers yang utama adalah berita. Fakta dan realitas adalah
bagian yang tidak dapat dipisahkan dari konsep objektifitas. Oleh karena itu jika terdapat sebuah paradigma yang berkaitan dengan ilmu jurnalistik, pasti
ditemukan sebuah paradigma yang mensyaratkan adanya konsep objektifitas dalam penyajian berita.
Pers senantiasa dituntut mengembangkan pemberitaan yang obyektif, yaitu “reporting format that generally spates fact from pinion present an emotionally
detached view of the news, and strives for fairness and balanced” DeFleur,1994:635.
Dalam jurnalisme, kebenaran tidaklah bisa diklaim oleh satu pihak, namun
harus dikonfirmasikan menurut kebenaran dari pihak lain. Inilah mengapa pemberitaan di surat kabar selalu dituntut untuk mengungkapkan kebenaran
secara fairness. Yaitu salah satu syarat objektifitas yang juga sering disebut sebagai pemberitaan cover both side, dimana pers menyajikan semua pihak yang
terlibat sehingga pers mempermudah pembaca menemukan kebenaran. Selain fairness, pers juga dituntut melakukan pemberitaan yang akurat, tidak bohong,
menyatakan fakta bila itu memang fakta, dan pendapat bila itu memang pendapat, dikutip dari Siebert tahun 1986 Bungin, 2003 : 153 – 154.
Jurgen Westerstahl menjabarkan konsep objektifitas pada bagan berikut : Westerstahl mengajukan komponen utama objektifitas berita dalam
observasinya “maintaining objectivity in the dissemination of news can, it seems to me, most easily be defined as” adherence to certain norm or standards”
Charllote, 2006 : 7 – 8 yang dikutip dari Westerstahl, 1983 : 403.
Objectivity
Faktuality Impartiality
Balance non partisanship
Neutral Presentation
Truth Relevance
Gambar 2.2. Konsep Obyektivitas Westerstahl Westerstahl, 1983 : 405
Kefaktualan dikaitkan dengan bentuk penyajian laporan tentang peristiwa atau pernyataan yang dapat dicek kebenarannya pada sumber dan disajikan tanpa
komentar. Impartialitas dihubungkan dengan sikap netral wartawanreporter, suatu sikap yang menjauhkan setiap penilaian pribadi dan subyektif demi
pencapaian sasaran yang diinginkan. Hanya saja, ada jurnalis yang
menempatkan objektifitas sebagai simbol keyakinan di dalam pekerjaannya, dan ada pula jurnalis yang mengoperasionalisasikan objektifitas dalam rutinitas tugas
serta tanggungjawabnya sehari-hari Charilote, 2006 : 3. Objektifitas merupakan nilai etika dan moral yang harus dipegang teguh
oleh media dalam menjalankan profesi jurnalistik. Dalam pasal 3, Kode Etik Jurnalistik yang dikeluarkan oleh AJI 14 Maret 2006 dikatakan “wartawan
Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi serta menetapkan azas
praduga tak bersalah”. Rachma Ida, membuat sebuah kategorisasi yang mengukur objektifitas
pers sebuah surat kabar dengan tiras minimal 100.000 eksemplar. Dengan obyek penelitian berita politik dengan skala nasional yang menjadi berita utama
Kriyantono, 2006 : 224. Rachma Ida disini mencoba untuk mengukur Objektifitas pemberitaan surat kabar dengan mengoperasionalisasikan dalam
dimensi-dimensi objektifitas yang terdiri dari aktualitas, fainess dan validitas pemberitaan, berikut kategorisasi objektifitas menurut Rachma Ida Kriyantono,
2006 : 244 dan juga dalam Bungin, 2003 : 154-155. a.
Akurasi pemberitaan, yaitu menyangkut kejujuran dalam pemberitaan yang meliputi:
1 Kesesuaian judul berita dengan isi berita.
2 Pencantuman waktu terjadinya suatu peristiwa.
3 Penggunaan data pendukung atau kelengkapan informasi atas
kejadian yang ditampilkan.
4 Faktualitas berita, yaitu menyangkut ada tidaknya pencampuran
fakta dengan opini wartawan yang menulis berita. b.
Fainess atau ketidakberpihakan pemberitaan, yaitu yang menyangkut keseimbangan penulisan berita yang meliputi :
1 Ketidakberpihakan, dilihat dari sumber berita yang digunakan.
2 Ketidahberpihakan dilihat dari ukuran fisik luas kolom.
c. Validitas keabsahan pemberitaan, diukur dari :
1 Atribusi, yaitu pencantuman sumber berita secara jelas baik
identitas maupun dalam upaya konfirmasi atau check dan re check. 2
Kompetensi pihak yang dijadikan sumber berita yang mendapatkan informasi yang digunakan untuk mengetahui validitas suatu
kronologi peristiwa berita yang menyangkut peristiwa dengan kronologi kejadiannya, apakah berasal dari apa yang dilihat, atau
hanya sekedar kedekatannya dengan media yang bersangkutan atau karena jabatannya. Kategori ini dibagi menjadi : wartawan, pelaku
langsung dan bukan pelaku langsung. Objektifitas, betapapun sulitnya harus diupayakan oleh insan pers.
Objektifitas berkaitan erat dengan kemandirian pers sebagai institusi sosial, hal ini penting mengingat signifikasi efek media terhadap khalayak.
2.4 Konsep Penyajian Berita