1
BAB I MENELISIK KEBERADAAN KELUARGA BEDA AGAMA
A. Posisi Keluarga, Urgensi, dan Fokus Kajian
Masyarakat Indonesia bersifat pluralis, baik dari segi agama maupun suku. Karena itu adanya toleransi dan pengakuan terhadap pluralisme akan menghindarkan kelompok-
kelompok masyarakat bersikap eksklusif, sehingga memudahkan terjadinya integrasi. Apalagi memasuki millenium ketiga, ketika perubahan sosial-budaya terus berlanjut
dengan akselarasi yang lebih cepat, seiring dengan proses globalisasi yang menjadikan masyarakat berada dalam satu jaringan desa-dunia. Dunia yang seperti desa menjadi
tempat bertemunya berbagai aspek sosial-budaya Becford Kuhn, 1991: 11, sehingga memudarkan sekat-sekat geografis antar negara dan berimplikasi juga kepada
meretasnya sekat-sekat sosial, keagamaan, etnisitas dan keluarga. Proses perubahan sosial budaya telah mempengaruhi pula berbagai institusi dalam
masyarakat termasuk keluarga. Bentuk perubahan itu antara lain terdapat pada aspek tipe atau bentuk keluarga, struktur dan pola interaksinya, fungsi sosial dan intrinsik,
pluralisme latar belakang sosial dan agama keluarga. Perubahan itu terjadi selain karena gencarnya arus informasi yang mengglobal, juga karena adanya gerakan wanita
yang secara langsung menyebabkan banyaknya wanita yang bekerja di sektor publik Collins, 1987: 24, sekaligus mempengaruhi pembagian kerja secara seksual.
Keluarga sebagai institusi sosial terkecil dari masyarakat mempunyai peran yang sangat penting dalam proses alih kebudayaan antar generasi, termasuk dalam pengalihan
nilai-nilai moral, toleransi dan pengakuan terhadap perbedaan. Keluarga juga dapat berposisi sebagai struktur mediasi penting dalam proses sosialisasi nilai-nilai dan ide-ide
dari institusi negara pemerintah atau masyarakat kepada individu anggota keluarga. Dalam arus perubahan sosial-budaya tersebut keluarga moderen juga ditandai dengan
pluralisme latar-belakang sosial-budaya anggota keluarga, misalnya perbedaan agama. Keluarga beda agama walaupun belum ada data resmi dari hasil sensus, ternyata
jumlahnya cukup banyak terutama di perkotaan. Sebagai contoh Ikatan Keluarga Lintas Agama dan Suku Indonesia IKLAS-Indonesia, menurut ketuanya, Ir. Sigit Susilo,
dalam Kedaulatan Rakyat, 24 Januari 2000, telah mempunyai anggota sebanyak 200 KK khusus sebagian yang berada di Bali, Yogyakarta dan Jakarta. Keluarga beda agama
2
dapat dilihat dari jumlah perkembangan keluarga dari perkawinan beda agama. Di Jakarta misalnya, pada tahun 1970 hanya ada 10 pasangan keluarga beda agama, tahun 1979 ada
80 pasangan dan tahun 1986 melonjak menjadi 491 pasangan Tempo, No.28 Th. XXIII, 11 September 1983: 44. Sementara di Daerah Istimewa Yogyakarta berdasarkan data
hasil sensus SUSENAS tahun 1980 yang diolah Aini 1999 ada sekitaar 320 pasangan keluarga beda agama.
Keluarga beda agama, sebagaimana institusi keluarga pada umumnya, merupakan pusat pembinaan kebudayaan awal individu, baik kebudayaan yang bersumber dari tradisi
suku kebudayaan-suku maupun kebudayaan yang bersumber dari agama kebudayaan-agama atau kebudayaan campuran. Sebagai suatu sistem simbol yang
mempunyai makna bagi penganut dan pendukungnya, agama tentu akan berpengaruh terhadap sikap, perilaku dan pola hidup suami-isteri dan anggota keluarga. Sebab seperti
kerangka pikir sibernika Parsons bahwa, sistem budaya berpengaruh kepada sistem
sosial Bachtiar dalam Suparlan, 19811982:70. Hal ini mengandaikan bahwa, agama sebagai sebuah kebudayaan, dalam intensitas seberapapun dapat menjadi faktor
independen dalam hubungannya dengan struktur dan fungsi keluarga beda agama. Kajian ini menarik karena dalam keluarga beda agama dimungkinkan terjadinya tarik-
menarik kekuatan antar-kebudayaan yang dilakukan orang tua yang berbeda agama terhadap anak-anaknya. Selain itu keberadaan keluarga beda agam sering menimbulkan
kontroversi di kalangan masyarakat dan sering dilihat hanya dari sisi yuridis-formalnya. Berdasarkan uraian tersebut, inti kajian ini adalah berusaha menganalisis
hubungaan kebudayaan suku dan agama dengan proses struktur sosial dan sosialiasasi nilai dalam keluarga beda agama. Adapun fokusnya adalah: 1 Apakah setelah suami
isteri yang berbeda agama bersatu dalam sebuah keluarga mempengaruhi kualitas kerberagamaan masing-masing pihak. 2 Sejauhmana agama dapat menjadi faktor
penyebab terjadinya perkawinan dan harmonisasi keluarga beda agama. 3 Kebudayaan yang lebih dominan antara kebudayaan agama dan suku dalam proses
sosialisasi nilai-nilai dan penerapan kewarisan dalam keluarga beda agama.
Adapun ruang
lingkup kajian meliputi: a Faktor-faktor penyebab terjadinya perkawinan beda agama. b Penyebab terjadinya integrasi keluarga beda agama. 3 Keberagamaan sebelum dan
sesudah suami-isteri kawin. 4 Peran suami-isteri yang berbeda agama dalam proses
3
sosialisasi nilai-nilai, khususnya dalam pembinan agama dan tradisi dan afiliasi agama anak. 5 Kewarisan yang akan diterapkan
Dalam menjawab masalah tersebut penelitian ini akan dilakukan dengan pendekatan struktural fungsional. Adapun asumsi dari penelitian ini adalah bahwa,
hubungan antara sistem budaya agama dan kesukuan dengan sistem sosial struktur dalam keluarga merupakan hubungan timbali-balik. Agama ssebagai sistem budaya
mempengaruhi dan dipengaruhi realitas. Untuk itu dapat dikemukakan hipotesis kerja dari penelitian ini: 1 Agama sebagai sistem budaya dapat menjadi faktor pengintegrasi sosial
antara pasangan kawin yang berbeda agama karena adanya ciri-ciri subbudaya abangan. 2 Agama yang telah dipahami menurut subbudaya abangan misalnya toleransi yang
tinggi, sinkritis oleh keluarga beda agama akan mempengaruhi pola peran suami-isteri dalam proses sosialisasi nilai terhadap anak dan penerapan kewarisan. Peran dari orang
tua akan lebih banyak dipengaruhi kebudayaan suku daripada kebudayaan agama. 3 Oleh karena sejak awal suami-isteri yang berbeda agama bersifat abangan, maka ketika
mereka bersatu dalam keluarga, dimungkinkan kualitas keberagamaannya menjadi rendah.
A. Kajian Terdahulu dan Kerangka Konseptual