Persoalan Di Sekitar Perkawinan Beda Agama

14 Berdasarkan data dalam Kartu Keluarga dari suami yang berbeda agama, jumlah keseluruhan anak keluarga beda agama sebanyak 39 orang yang rerdiri dari laki-laki 17 orang dan perempuan 22 orang. Dari keluarga beda agama yang ada tidak semuanya mempunyai anak, ada 4 keluarga yang tidakbelum mempunyai anak. Seperempat dari suami menamatkan sekolah lanjutan pertama 25 dan SLTA 25, sedangkan isteri justru lebih banyak yang menamatkan SLTA 30, dan SLTP 25. Selain itu, 35 dari suami telah mengenyam pendidikan tinggi, sementara pada isteri hanya mencapai 20 yang mengenyam pendidikan tinggi. Di sisi lain tidak ada suami yang hanya tamat SD, sedangkan pada pihak isteri ada yang hanya tamat SD sebanyak 5. Dari segi pekerjaan, kebanyakan suami 40 sebagai pegawai negeri, sementara pada isteri hampir separuhnya menjaid ibu rumah tangga. Dari data yang ada seperti menunjukkan tidak ada suami-isteri yang bekerja di sektor tradisional atau petani. Secara lebih terinci, kebanyakan 40 suami bekerja sebagai PNSpensiunan, disusul oleh mereka yang bekerja sebagai wiraswasta 35, karyawan swasta 10, pedagang, pesuruh sekolah, dan ABRI masing-masing 5. Sementara di pihak isteri hampir separuh 45 sebagai ibu rumah tangga, selanjutnya ada yang berwiraswasta 35, PNSpensiunan 15, dan karyawan swasta 5. Dengan demikian jika digabung pekerjaan suami-isteri, maka secara berurutan pasangan keluarga beda agama tersebut kebanyakan sebagai wiraswasta 35, ibu rumah tangga 22, PNSpensiunan 28, karyawan swasta 7, pedagang, pesuruh, dan ABRI 8.

E. Persoalan Di Sekitar Perkawinan Beda Agama

Masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat yang majemuk dalam banyak aspek, khususnya dari segi agama. Setiap umat beragama mempunyai kebudayaan yang berlaku dalam lingkungan komunitasnya, sehingga memunculkan perbedaan antara umat beragama tersebut. Walaupun begitu karena kelompok-kelompok yang berbeda agama dan suku tersebut berada dalam satu wailayah dan kebudayaan nasional Indonesia, maka interaksi antarkelompok tersebut, dalam intensitas seberapun, terus berlangsung, terutama di daerah perkotaan. Seiring dengan terjadinya interaksi dan migrasi, maka sering terjadi perkawinan beda agama dan suku. Hal ini juga terjadi di Sinduadi yang wilayahnya masuk perkotaan Yogyakarta. 15 Di Sinduadi, walaupun umat Islam dan suku Jawa termasuk mayoritas, namun mereka tetap dapat hidup berdampingan dengan tenang dengan umat agama dan suku lain. Banyak suku lain yang menjadi penduduk Sinduadi berasal dari luar Jawa seperti Batak, Sunda, Betawi, Madura, Bugis, bahkan luar Indonesia Amerika Serikat. Mereka bertempat tinggal dan menjadi penduduk tetap di Sinduadi karena banyak faktor seperti mendapat jodoh laki-lakiperempuan asli setempat dan bekerja di berbagai lembaga pemerintah dan swasta. Menurut beberapa informan, Pak. Ahm, Pak Part., Pak Pon. sejak kapan terjadinya perkawinan beda agama dan suku di Sinduadi tidak diketahui. Walaupun begitu, kalau dilacak berdasarkan dokumen kartu keluarga dan data identitas dalam angket, khusus perkawinan beda agama, sebenarnya telah terjadi sejak sebelum disahkannya UU No. 11974 tentang Perkawinan. Misalnya keluarga Fx..Eko, Katolik , yang berusia 71 tahun lahir tahun 1931, dan menikah tahun 1959. Selain itu banyak juga pasangan berbeda agama dan suku yang kawin setelah disahkannya UU Perkawinan tersebut. Misalnya keluarga Part. lahir tahun 1953, Islam dan menikah tahun 1976 dengan Masr., Kristen. Banyaknya perkawinan beda agama setelah berlakunya UU Perkawinan tahun 1974 seiring dengan masih adanya perbedaan pemahaman terhadap pasal yang ada dalam undang-undang tersebut. Menurut Falakh dalam Mimbar Hukum, No.15V1992 ada empat kelompok pandangan mengenai kawin beda agama secara yuridis-formal. Pertama, kawin beda agama dibolebhkan kalau agama yang dipeluknya membolehkan. Kedua, kawin beda agama harus diperbolehkan karena tidak diatur secara tegas dalam UU Perkawinan, dank arena Negara tidak dapat memaksa pemeluk agama untuk menaati ketentuan agama yang dipeluk calon mempelai, beragama merupakan hak asazi manusia. Ketiga, kawin beda agama tetap dapat dilangsungkan di depan dan dicatat oleh pejabat Kantor Catatan Sipil. Sebab UUD 1945 menjamin kebebasan beragama dan negara tidak menghalangi jika pemeluk agama tidak taat terhadap aturan perkawinan agamanya. Pandangan ini dianut oleh Mahkamah Agung. Keempat, pandangan yang setuju dengan pandangan ketiga, namun berbeda pendapat dalam menilai keputusan Mahkamah Agung. Jika kelompok ketiga menilai keputusan Mahkamah Agung sebagai yurisprudensi tetap, maka kelompok keempat ini menilainya berlaku kasuistik. 16 Polemik mengenai berhak-tidaknya Kantor Catatan Sipil mengawinkan pasangan berbeda agama sempat muncul dalam masyarakat. Pertama, pihak yang berpendapat bahwa Kantor Catatan Sipil tidak berhak menerima atau mengawinkan pasangan beda agama. Kedua, pihak yang menyatakan bahwa Kantor Catatan Sipil boleh saja menerima dan mencatat ‘kehendak’ pasangan beda agama yang mau melakukan perjanjian perkawinan. Departemen Agama termasuk kelompok yang pertama. Karena itu tahun 1984 departemen ini melalui Dirjen Pembinaan Agama Islam mengeluarkan surat edaran kepada Kantor Catatan Sipil yang intinya meminta kepada Kantor Catatan Sipil supaya tidak mencatat atau mengawinkan pasangan beda agama. Berdasarkan hal tersebut Kantor Catatan Sipil Kabupaten Sleman sekarang ini sudah tidak lagi mencatat atau mengawinkan pasangan beda agama. Pada saat sekarang dapat dikatakan ada keseragaman sikap yang diambil oleh lembaga pemerintah di Kabupaten Sleman, baik dari Kantor Catatan Sipil KCP maupun Kantor Urusan Agama KUA, yang berada di tingkat kecamatan yaitu tidak melayani perkawinan beda agama. Kantor Catatan Sipil tidak lagi mencatat dan atau mangawinkan pasangan beda agama, sementara Kantor Urusan Agama, khususnya di Kecamatan Mlati, memberi penegasan bahwa KUA hanya dapat mengawinkan pasangan yang satu agama, Islam. Oleh karena itu agar supaya calon pasangan kawin berbeda agama dapat dicatat di KUA, maka salah satunya harus mengalah. Untuk itu KUA Kecamatan Mlati memberikan prosedur bagi calon pasangan beda agama yang maun kawin dengan cara agama Islam. Pertama, Calon pasangan nonmuslim harus membuat pernyataan secara tertulis untuk meninggalkan agama yang dipeluknya. Surat pernyataan ditulis di atas kertas bermaterei, ditandatangani yang bersangkutan dan diketahui oleh Ketua RTRWKepala padukuhan dan kepala Desa. Kedua, settelah itu yang bersangkutan membuat pernyataan masuk agama Islam di atas ‘Akta Masuk Islam’ yang dilakukan dihadapan seorang pembimbing dan dua orang saksi. Ketiga, kemudian administrasi perkawinan secara Islam diproses oleh Pembantu Pegawai Pencatat Nikah P3N ke KUA Mlati. Pembantu Pegawai Pencatat Nikah P3N merupakan institusi baru yang diadakan Departemen Agama melalui Peraturan Menteri Agama RI, No. 2 Tahun 1989. Kebijakan yang diambil oleh lembaga-lembaga pemerintah yang tidak mau mengawinkan atau mencatat perkawinan beda agama ternyata menimbulkan persoalan baru jika dilihat dari segi nilai-nilai keagamaan. Sebab, seperti 17 dikemukakan P. Ahm., sekarang ini banyak calon pasangan kawin beda agama yang menyiasati dengan melakukan ijab-kabul upacara perkawinan dua kali yaitu upacara perkawinan dengan syarat dan rukun menurut agama Islam, dan perkawinan seperti digariskan agama KatolikKristen di gereja. Apa yang dilakukan pasangan beda agama yang ijab sebanyak dua kali ini, menurut Pak Ahm., sebenarnya mempermainkan agama hanya untuk kepentingan diri mereka. Di kalangan masyarakat sendiri, ada perbedaan pandangan dalam menanggapi antara perkawinan beda agama dan perkawinan beda suku. Pertama, mereka yang berpendapat bahwa, perkawinan antar suku itu tidak ada masalah dan tidak terlalu menimbulkan masalah, tapi perkawinan beda agama akan menimbulkan banyak masalah. Oleh karena itu kalau harus memilih antara keduanya, seperti diungkap Pak Ahm. Islam taat-modernis, dan Pak Pon. Islam taat-tradisionalis, mereka akan memilih kawin beda suku. Bagi informan tersebut, jauh lebih baik pasangan kawin satu agama karena tujuannya sudah satu maksudnya sama-sama satu keyakinan, sehingga dimungkinkan tidak ada pertentangan, terutama ketika mendidik anak-anak. Walaupun begitu jika dalam keadaan memaksa, ya apa boleh buat, sebab seperti dalam peribahasa jawa, ‘kesandhunge rata bentuse ngawang-awang’, maksudnya ‘apa yang kita jalankan itu sering tidak sesuai dengan angan-angan atau kehendak’. Kedua, mereka yang berpendapat lebih baik perkawinan beda agama daripada perkawinan beda suku. Menurut kelompok kedua ini, seperti diungkap Pak Part., Islam Penuturan, kalau keluarganya terutama anaknya kawin dengan suku yang lain, maka sang anak nantinya dibawa pergi ke wilayah yang jauh dari oranng tua, anak kemudian tidak mengetahui sehat-sakitnya orang tua, dan sebaliknya. 18

BAB III KEBERAGAMAAN, HARMONISASI,