Gaya Pengasuhan Perkembangan Sosial Emosi

1 Miskin, jika pengeluaran per kapita per bulan ≤Rp193.834,00. 2 Tidak miskin, jika pengeluaran per kapita per bulan Rp193.834,00. b. Berdasarkan indikator keluarga sejahtera BKKBN, keluarga dikelompokkan menjadi: 1 Keluarga prasejahtera PraKS, jika tidak memenuhi kriteria KS I 2 Keluarga sejahtera I KS I, jika memenuhi enam kriteria KS I 3 Keluarga sejahtera II KS II, jika memenuhi enam kriteria KS I dan delapan kriteria KS II 4 Keluarga sejahtera III KS III, jika memenuhi 14 kriteria KS II dan lima kriteria KS III 5 Keluarga sejahtera plus KS III Plus, jika memenuhi 19 kriteria KS III dan dua kriteria KS III Plus Lampiran 2 Berdasarkan pengelompokan tersebut, keluarga dibedakan menjadi dua kategori, yaitu: 1 Miskin, jika termasuk dalam keluarga PraKS dan KS I. 2 Tidak miskin, jika termasuk dalam keluarga KS II, KS III, dan KS III Plus.

c. Indikator a simple poverty scorecard for Indonesia terdiri atas sepuluh

pertanyaan dan masing-masing pilihan jawaban memiliki skor yang berbeda satu sama lain Lampiran 3. Skor yang diperoleh dijumlahkan sehingga diperoleh skor minimum adalah nol kemungkinan besar berada di bawah garis kemiskinan dan skor maksimum adalah 100 kecil kemungkinan berada di bawah garis kemiskinan Chen Schreiner 2009.

D. Gaya Pengasuhan

Gaya pengasuhan diukur dengan menggunakan instrumen yang disusun oleh Gottman dan DeClaire 1997. Instrumen Gottman dan DeClaire 1997 menggunakan 81 pernyataan yang terdiri atas 25 pernyataan untuk gaya pengasuhan pengabai emosi, 23 pernyataan untuk gaya pengasuhan tidak menyetujui, 10 pernyataan untuk gaya pengasuhan laissez faire, dan 23 pernyataan untuk gaya pengasuhan pelatih emosi. Berdasarkan uji cronbach alpha, ada sebelas pernyataan yang tidak digunakan dalam mengukur gaya pengasuhan orangtua keluarga contoh. Oleh karenanya, jumlah pernyataan yang digunakan dalam penelitian ini adalah 70 pernyataan dengan koefisien cronbach alpha sebesar 0,746. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas 19 pernyataan untuk gaya pengasuhan pengabai emosi, 20 pernyataan untuk gaya pengasuhan tidak menyetujui, 9 pernyataan untuk gaya pengasuhan laissez faire, dan 22 pernyataan untuk gaya pengasuhan pelatih emosi. Jawaban pernyataan yang terdapat dalam instrumen ini terdiri atas dua pilihan yaitu benar B dan salah S. Jawaban “benar” diberi skor satu dan jawaban “salah” diberi skor nol untuk melihat kecenderungan gaya pengasuhan yang diterapkan orangtua. Kemudian, skor yang diperoleh dijumlahkan sehingga menghasilkan skor minimum dan skor maksimum. Skor minimum adalah nol dan skor maksimum adalah 19 gaya pengasuhan pengabai emosi, 20 gaya pengasuhan tidak menyetujui, sembilan gaya pengasuhan laissez faire, dan 22 gaya pengasuhan pelatih emosi. Skor yang diperoleh distandarisasi sehingga diperoleh skor minimum adalah nol dan skor maksimum adalah 100. Semakin tinggi skor gaya pengasuhan tertentu, semakin kuat kecenderungan orangtua terhadap gaya pengasuhan tersebut.

E. Perkembangan Sosial Emosi

Perkembangan sosial emosi anak diukur dengan menggunakan instrumen Social Emotional Assets and Resiliency Scales SEARS Cohn et al. 2009. Instrumen SEARS yang digunakan adalah instrumen SEARS A yakni SEARS untuk mengukur perkembangan sosial emosi anak usia 7-12 tahun dengan menggunakan teknik laporan diri self report. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini memiliki koefisien cronbach alpha sebesar 0,888 dengan jumlah pernyataan yang digunakan adalah 53 pernyataan. Jawaban pernyataan menggunakan skala Likert, yaitu: 1 tidak pernah, 2 jarang, 3 kadang-kadang, dan 4 hampir selalu. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas 11 pernyataan untuk kompetensi emosional dan konsep diri, 13 pernyataan untuk pengaturan diri, keterampilan dalam memecahkan masalah, dan ketahanan sosial emosi, delapan pernyataan untuk strategi kognitif, delapan pernyataan untuk dukungan, kematangan, dan kemerdekaan sosial, tujuh pernyataan untuk empati, dan enam pernyataan untuk keterampilan interpersonalbergaul. Pernyataan yang digunakan dalam instrumen ini adalah pernyataan positif. Jawaban “selalu” diberi nilai tiga, “kadang-kadang” diberi nilai dua, “jarang” diberi nilai satu, dan jawaban “tidak pernah” diberi nilai nol. Skor yang diperoleh dijumlahkan sehingga diperoleh skor terendah adalah nol dan skor tertinggi adalah 159. Selanjutnya, skor dibuat indeks sehingga diperoleh indeks minimum nol dan maksimum 100. Skor yang diperoleh juga dihitung berdasarkan dimensinya. Berdasarkan skor per dimensi akan diperoleh dimensi yang dominan untuk masing-masing anak contoh. Pengolahan dan Analisis Data Data yang diperoleh diolah dan dianalisis secara deskriptif dan inferensial. Proses pengolahan data diawali dengan proses editing, coding, entrying, skoring, dan cleaning data. Selanjutnya data dianalisis sesuai dengan tujuan penelitian. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Analisis deskriptif. Analisis ini digunakan untuk menjelaskan karakteristik keluarga tipe keluarga, besar keluarga, usia ayah ibu, pendidikan ayah ibu, pendapatan keluarga, pekerjaan ibu, pengeluaran keluarga, dan kepemilikan aset, karakteristik anak usia anak, jenis kelamin, dan urutan kelahiran, kecenderungan gaya pengasuhan orangtua, serta kategori perkembangan sosial emosi anak usia sekolah pada keluarga petani kayu manis. 2. Analisis regresi linear berganda digunakan untuk menganalisis pengaruh karakteristik keluarga, karakteristik anak, kesejahteraan keluarga, dan gaya pengasuhan terhadap perkembangan sosial emosi anak usia sekolah pada keluarga petani kayu manis. Y = α + 1 X 1 + 2 X 2 + 3 X 3 + 4 X 4 + 5 X 5 + 6 X 6 + 1 D 1 + 2 D 2 + 3 D 3 + ε Keterangan: Y = Indeks perkembangan sosial emosi α = Konstanta 1-5 = Koefisien regresi X 1 = Besar keluarga orang X 2 = Usia ibu tahun X 3 = Pendidikan ibu tahun X 4 = Pendapatan keluarga Rpbulan X 5 = Usia anak tahun 1-4 = Koefisien dummy D 1 = Kesejahteraan keluarga 0=miskin; 1=tidak miskin D 2 = Pekerjaan ibu 0=tidak bekerja; 1=bekerja D 3 = Jenis kelamin anak 0=anak laki-laki; 1=anak perempuan D 4 = Jenis gaya pengasuhan 0=pengabai emosi, tidak menyetujui, dan laissez faire; 1=pelatih emosi ε = Error 3. Analisis regresi logistik digunakan untuk menganalisis: a. Pengaruh karakteristik keluarga terhadap kesejahteraan keluarga berdasarkan indikator BPS dan BKKBN. = 1 X 1 + 2 X 2 + 3 X 3 + 4 X 4 + 5 X 5 + ε Keterangan: p = Peluang untuk sejahtera 0=tidak sejahtera, 1=sejahtera 1-5 = Koefisien regresi X 1 = Besar keluarga orang X 2 = Usia ayah tahun X 3 = Pendidikan ibu tahun X 4 = Pendapatan keluarga Rpbulan X 5 = Luas ladang kayu manis hektar ε = Error b. Pengaruh karakteristik keluarga, karakteristik anak, dan kesejahteraan keluarga terhadap gaya pengasuhan orangtua. = α + 1 X 1 + 2 X 2 + 3 X 3 + 4 X 4 + 5 X 5 + 1 D 1 + 2 D 2 + 3 D 3 + 4 D 4 + ε Keterangan: p = Peluang untuk pelatih emosi 0=pengabai emosi, tidak menyetujui, dan laissez faire; 1=pelatih emosi α = Konstanta 1-5 = Koefisien regresi X 1 = Besar keluarga orang X 2 = Usia ibu tahun X 3 = Pendidikan ibu tahun X 4 = Pendapatan keluarga Rpbulan X 5 = Usia anak tahun 1-3 = Koefisien dummy D 1 = Kesejahteraan keluarga 0=miskin; 1= tidak miskin D 2 = Pekerjaan ibu 0=tidak bekerja; 1=bekerja D 3 = Jenis kelamin anak 0=anak laki-laki; 1=anak perempuan ε = Error Definisi Operasional Anak usia sekolah adalah anak usia 6-12 tahun yang saat ini berada di kelas IV, V, dan VI Sekolah Dasar. Keluarga petani kayu manis adalah keluarga yang kepala keluarganya bekerja sebagai petani kayu manis. Besar keluarga adalah ukuran keluarga berdasarkan jumlah anggota keluarga yang dinyatakan dalam orang. Pendidikan orangtua adalah tingkat pendidikan ayah dan ibu yang diukur berdasarkan lama pendidikan formal tahun yang pernah diikuti. Pendapatan keluarga adalah penjumlahan dari pendapatan seluruh anggota keluarga yang dinyatakan dalam rupiah per bulan. Pendapatan per kapita adalah pendapatan keluarga dibagi dengan besar keluarga yang dinyatakan dalam rupiah per kapita per bulan. Pengeluaran keluarga adalah penjumlahan dari seluruh pengeluaran baik pangan maupun bukan pangan yang dikeluarkan oleh rumah tangga selama satu bulan yang dinyatakan dalam rupiah per bulan. Pengeluaran per kapita adalah rata-rata pengeluaran untuk setiap anggota rumah tangga yang dinyatakan dalam rupiah per kapita per bulan. Pengeluaran untuk pangan adalah proporsi pengeluaran yang digunakan untuk mengkonsumsi pangan makanan pokok, protein hewani, protein nabati, sayur mayur, buah-buahan, minyak, bahan minuman, bumbu, tembakau dan sirih, dan kebutuhan pangan lainnya yang dinyatakan dalam rupiah per bulan. Pengeluaran untuk bukan pangan adalah proporsi pengeluaran yang digunakan untuk kesehatan, pendidikan, sandang, energi, perumahan, pajak, komunikasi, dan tabungan yang dinyatakan dalam rupiah per bulan. Kepemilikan aset adalah jumlah aset yang dimiliki oleh keluarga dilihat dari kepemilikan rumah, kendaraan, alat elektronik, mebel, alat rumah tangga, dan lain-lain. Kesejahteraan keluarga adalah kondisi keluarga dibandingkan dengan indikator kesejahteraan dan atau kemiskinan yang sudah ditentukan BPS, BKKBN, dan a simple poverty scorecard for Indonesia. Kategori kesejahteraan mengikuti aturan dari indikator tersebut. Indikator BPS adalah indikator yang digunakan untuk mengklasifikasikan keluarga miskin berdasarkan garis kemiskinan perdesaan Provinsi Jambi Tahun 2010 yaitu Rp193.834,00. Indikator BKKBN adalah indikator yang digunakan untuk mengklasifikasian keluarga sejahtera berdasarkan kemampuan dalam memenuhi 21 indikator keluarga sejahtera. Indikator a simple poverty scorecard for Indonesia adalah indikator yang digunakan untuk memperkirakan tingkat kemiskinan berdasarkan skor yang diperoleh keluarga. Gaya pengasuhan orangtua adalah cara yang dominan dari orang tua dalam mengarahkan beragam emosi anaknya khususnya emosi negatif. Gaya pengasuhan pengabai emosi dismissing adalah gaya pengasuhan yang orangtua mengabaikan emosi negatif anak. Gaya pengasuhan tidak menyetujui disapproving adalah gaya pengasuhan yang orangtua memberikan sedikit empati ketika anak menunjukkan emosi negatifnya, namun mereka mengabaikan, menolak, tidak menyetujui, dan menegurmenghukum anak atas ekspresi emosinya. Gaya pengasuhan laissez faire adalah gaya pengasuhan yang orangtua yang menerimaempati dengan emosi anak tetapi tidak membimbing tingkah laku anak. Gaya pengasuhan pelatih emosi emotion coaching adalah gaya pengasuhan yang orangtua melatih emosi anak sehingga anak memiliki rasa percaya diri yang tinggi, belajar dengan baik, dan dapat bergaul dengan baik. Perkembangan sosial emosi adalah perkembangan sosial emosi anak usia sekolah yang dilihat dari keterampilan bergaul, empati, keterampilan interpersonal, dukungan sosial, keterampilan dalam memecahkan masalah, kompetensi emosional, kematangan sosial, konsep diri, pengelolaan diri, kemerdekaan sosial, strategi kognitif, dan ketahanan sosial emosi. HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian Secara administratif, Desa Tamiai termasuk dalam wilayah Kecamatan Batang Merangin, Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi. Kabupaten Kerinci secara geografis terletak di antara 1 o 40 ’ LS - 2 o 26 ’ LS dan 101 o 08 ’ BT - 101 o 50 ’ BT BPS 2011. Wilayah ini berbatasan dengan Provinsi Sumatera Barat di sebelah utara, Kabupaten Merangin di sebelah selatan, Kabupaten Bungo di sebelah timur, dan di sebelah barat berbatasan dengan Provinsi Bengkulu dan Provinsi Sumatera Barat. Secara administratif, Kabupaten Kerinci terdiri atas 12 kecamatan, 207 desa, dan dua kelurahan. Jumlah penduduk Kabupaten Kerinci pada Tahun 2010 adalah 229.495 jiwa. Sebagian besar penduduk 61,3 di Kabupaten Kerinci bekerja di bidang pertanian. Salah satu komoditas utama dari Kabupaten Kerinci adalah kayu manis Cinnamomum burmannii. Kayu manis ini ditanam pada lahan seluas 40.775 Ha dan dapat ditemukan di semua kecamatan yang ada di Kabupaten Kerinci. Kecamatan yang memiliki jumlah keluarga petani kayu manis terbanyak adalah Kecamatan Batang Merangin. Jumlah keluarga petani kayu manis di Kecamatan Batang Merangin adalah 2.378 KK dengan lahan seluas 10.692 Ha. Kecamatan Batang Merangin menempati urutan kedua jika dilihat dari luas ladang kayu manis. Urutan pertama ditempati oleh Kecamatan Gunung Raya yang memiliki ladang kayu manis seluas 11.196 Ha dengan jumlah keluarga petani kayu manis sebanyak 2.189 KK. Kecamatan Batang Merangin terdiri atas 14 desa dengan pusat pemerintahan kecamatan adalah Desa Tamiai. Desa Tamiai dipimpin oleh seorang kepala desa dan dibantu oleh seorang sekretaris desa, tiga orang kepala urusan yakni bidang kemasyarakatan, pembangunan, dan pemerintahan, serta tujuh kepala dusun. Desa Tamiai memiliki tujuh dusun, yaitu Dusun Lamo, Sako Tengah, Sako Jauh, Kampung Lereng, Kampung Dalam, Koto Ipuh, dan Pintu Rimbo. Desa Tamiai memiliki luas sebesar 7.650 Ha. Lebih dari tiga per empat luas wilayah Desa Tamiai merupakan lahan pertanian dan perkebunan yang meliputi 5.000 Ha ditanami kayu manis, 325 Ha ditanami kopi, 850 Ha ditanami padi dan palawija, 17 Ha ditanami sayur mayur, 0,9 Ha ditanami buah-buahan, empat hektar ditanami tembakau, dan 0,5 Ha ditanami kelapa. Penduduk Desa Tamiai berjumlah 3.131 jiwa yang terdiri atas 1.400 jiwa penduduk laki-laki dan 1.731 jiwa penduduk perempuan. Jumlah rumah tanggaKK di Desa Tamiai sebanyak 716 KK. Sebanyak 1.024 jiwa penduduk Desa Tamiai bermata pencaharian sebagai petani, 542 jiwa sebagai buruh tani, 31 jiwa sebagai pegawai negeri sipil, dan penduduk lainnya bekerja sebagai wiraswasta, tukang, dan juga bekerja di bidang jasa. Seluruh penduduk yang ada di Desa Tamiai beragama Islam. Sarana untuk ibadah yang dimiliki Desa Tamiai adalah tiga buah masjid, lima buah langgar, dan tiga buah Taman Pendidikan Alqur’an TPA. Selain itu, Desa Tamiai juga memiliki tiga kelompok majlis ta’lim dan satu kelompok remaja masjid. Kelompok ini biasanya mengadakan kegiatan setiap satu kali dalam seminggu. Sarana lain yang dimiliki oleh Desa Tamiai adalah sarana pendidikan TK, SD, SMP, dan SMA dan sarana kesehatan puskesmas, pos KB, posyandu. Karakteristik Contoh Karakteristik Keluarga Contoh Tipe Keluarga. Berdasarkan tipenya, keluarga dibedakan menjadi keluarga inti nuclear family dan keluarga luas extended family Berns 1997. Keluarga inti adalah keluarga yang terdiri atas ayah, ibu, dan anak. Keluarga luas adalah keluarga yang terdiri atas ayah, ibu, dan anak, ditambah juga dengan kakek, nenek, paman, bibi, dan saudara lainnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar keluarga contoh 86 merupakan keluarga inti yang terdiri atas ayah, ibu, dan anak. Adapun sisanya yaitu kurang dari seperlima keluarga contoh 14 merupakan keluarga luas Tabel 2. Keluarga contoh ini dikatakan keluarga luas karena masih tinggal dengan kakek dan nenek dalam satu rumah. Tabel 2 Sebaran keluarga contoh berdasarkan tipe keluarga Tipe keluarga n Keluarga inti nuclear family 43 86,00 Keluarga luas extended family 7 14,00 Total 50 100,00 Besar keluarga. Besar keluarga diukur berdasarkan jumlah anggota keluarga. Keluarga dikategorikan menjadi keluarga kecil jumlah anggota keluarga kurang dari atau sama dengan empat orang, keluarga sedang jumlah anggota keluarga lima sampai dengan enam orang, dan keluarga besar jumlah anggota keluarga lebih dari atau sama dengan tujuh orang. Jumlah anggota keluarga contoh berada pada selang 3-9 orang. Rata-rata jumlah anggota keluarga contoh adalah 5,04 orang dengan standar deviasi sebesar 1,39 orang. Berdasarkan besar keluarga, lebih dari separuh keluarga contoh 54 merupakan keluarga sedang Tabel 3. Jumlah anak terbanyak dalam keluarga contoh adalah enam orang. Kecenderungan keluarga contoh adalah ingin memiliki anak laki-laki dan perempuan. Jika anak pertama, kedua, ketiga, atau keempat berjenis kelamin laki- laki semuanya maka keluarga akan tetap menambah jumlah anak sampai dengan anak perempuan lahir. Demikian juga halnya jika anak pertama, kedua, ketiga, atau keempat berjenis kelamin perempuan semuanya maka keluarga akan tetap menambah jumlah anak sampai dengan anak laki-laki lahir. Tabel 3 Sebaran keluarga contoh berdasarkan besar keluarga Besar keluarga n Keluarga kecil ≤ 4 orang 17 34,00 Keluarga sedang 5-6 orang 27 54,00 Keluarga besar ≥ 7 orang 6 12,00 Total 50 100,00 Usia Ayah dan Ibu. Menurut Papalia et al. 2009, usia ayah dan ibu dapat dikategorikan menjadi dewasa muda 20-40 tahun, dewasa madya 41-65 tahun, dan dewasa lanjut ≥65 tahun. Berdasarkan kategori usia, lebih dari dua per tiga ayah pada keluarga contoh 68 merupakan dewasa madya Tabel 4. Usia ayah berada pada selang 31-55 tahun. Rata-rata usia ayah pada keluarga contoh adalah 43,74 tahun dengan standar deviasi sebesar 6,56 tahun. Tabel 4 juga menunjukkan bahwa lebih dari dua per tiga ibu pada keluarga contoh 68 tergolong dalam usia dewasa muda. Usia ibu berada pada selang 28-53 tahun. Rata-rata usia ibu pada keluarga contoh adalah 38,82 tahun dengan standar deviasi sebesar 5,76 tahun. Rata-rata usia ayah lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata usia ibu, artinya usia ibu lebih muda dibandingkan dengan usia ayah. Tabel 4 Sebaran keluarga contoh berdasarkan usia ayah dan ibu Kategori usia Ayah Ibu n n Dewasa muda 20-40 tahun 16 32,00 34 68,00 Dewasa madya 41-65 tahun 34 68,00 16 32,00 Dewasa lanjut 65 tahun 0,00 0,00 Total 50 100,00 50 100,00 Pendidikan Ayah dan Ibu. Pendidikan akan menentukan penguasan wawasan dan cara berfikir seseorang. Penelitian ini mengukur pendidikan berdasarkan pendidikan formal yaitu sekolah dasar SD, sekolah menengah pertama SMP, sekolah menengah atas SMA, dan perguruan tinggi. Secara umum, ayah pada keluarga contoh telah menempuh pendidikan selama enam hingga 14 tahun dengan pendidikan tertinggi adalah diploma tiga D3. Ibu pada keluarga contoh juga telah menempuh pendidikan selama enam hingga 16 tahun dengan pendidikan tertinggi adalah strata satu S1. Lama sekolah terendah pada keluarga contoh baik ayah maupun ibu adalah enam tahun. Artinya, seluruh ayah dan ibu pada keluarga contoh telah menamatkan sekolah dasar SD. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa lebih dari sepertiga ayah pada keluarga contoh 38 telah menempuh pendidikan selama 12 tahun atau setara dengan SMA Tabel 5. Rata-rata lama pendidikan ayah pada keluarga contoh adalah 9,40 tahun dengan standar deviasi sebesar 2,53 tahun. Tabel 5 juga menunjukkan bahwa lebih dari sepertiga ibu pada keluarga contoh 36 menempuh pendidikan selama enam tahun atau setara dengan sekolah dasar SD. Rata-rata lama pendidikan ibu pada keluarga contoh adalah 8,96 tahun dengan standar deviasi sebesar 2,66 tahun. Berdasarkan rata-rata, lama pendidikan ayah pada keluarga contoh sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan lama pendidikan ibu. Tabel 5 Sebaran keluarga contoh berdasarkan pendidikan ayah dan ibu Pendidikan Ayah Ibu n n SDsederajat 0-6 tahun 14 28,00 18 36,00 SMPsederajat 7-9 tahun 16 32,00 16 32,00 SMAsederajat 10-12 tahun 19 38,00 15 30,00 Perguruan tinggi 12 tahun 1 2,00 1 2,00 Total 50 100,00 50 100,00 Pekerjaan Ayah dan Ibu. Pekerjaan merupakan kegiatan yang dilakukan oleh seorang individu dalam mencari nafkah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa seluruh ayah pada keluarga contoh bekerja sebagai petani. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa empat per lima ibu dalam keluarga contoh 80 bekerja sebagai petani. Keluarga contoh terdiri atas tiga jenis petani yaitu petani ladang, petani sawah, dan buruh tani. Jenis pekerjaan lain yang dilakukan oleh ibu pada keluarga contoh adalah pedagang. Ibu pada keluarga contoh membuka warung yang menjual kebutuhan rumah tangga, lontong, dan buah. Hasil penelitian juga menunjukkan adanya ibu pada keluarga contoh 4 yang tidak bekerja Tabel 6. Alasannya adalah sakit dan kondisi fisik yang belum siap untuk bekerja setelah melahirkan. Tabel 6 Sebaran keluarga contoh berdasarkan pekerjaan utama ayah dan ibu Jenis pekerjaan Ayah Ibu n n Tidak bekerja 0,00 2 4,00 Petani kayu manis 50 100,00 40 80,00 Pedagang 0 0,00 8 16,00 Total 50 100,00 50 100,00 Pendapatan Keluarga. Pendapatan adalah imbalan yang diterima oleh seseorang dari pekerjaan yang dilakukannya. Pendapatan keluarga merupakan penjumlahan dari pendapatan setiap anggota keluarga. Data mengenai pendapatan keluarga sulit untuk diperoleh karena sebagian besar keluarga contoh bekerja sebagai petani. Seorang petani memiliki pendapatan yang tidak tetap setiap bulannya. Contohnya adalah petani kayu manis, petani sawah, dan buruh tani. Cara pengambilan data pendapatan keluarga yang bekerja sebagai petani kayu manis dilakukan dengan menanyakan jumlah hasil panen kulit kayu manis yang biasa diterima petani dalam satu masa panen. Setelah itu, jumlah hasil panen Kg dikalikan dengan harga kulit kayu manis Rp6.000,00Kg dan dibagi dengan lama panen tahun. Cara yang sama juga digunakan untuk menghitung pendapatan keluarga yang bekerja sebagai petani sawah. Data dihitung dengan menanyakan jumlah hasil panen kaleng padi dalam satu kali panen. Selanjutnya, jumlah hasil panen dikalikan dengan harga padi Rp40.000,00kaleng dan dibagi dengan lama panen bulan. Data pendapatan keluarga contoh yang bekerja sebagai buruh tani dihitung berdasarkan jumlah hari kerja dan selanjutnya dikalikan dengan upah buruh tani Rp25.000,00hari. Sebagian besar contoh menggunakan uang hasil bekerja sebagai buruh tani untuk membeli kebutuahan keluarga. Keluarga contoh suami dan istri biasanya bekerja sebagai buruh tani sebanyak empat sampai enam kali dalam satu minggu, sehingga dalam satu minggu keluarga contoh mendapatkan upah sebesar dua ratus ribu hingga tiga ratus ribu per minggu. Rata-rata pendapatan keluarga contoh adalah Rp1.011.517,00bulan dengan standar deviasi Rp277.189,00. Pendapatan terendah keluarga contoh adalah Rp550.000,00 per bulan sedangkan pendapatan tertinggi keluarga contoh adalah Rp2.243.000,00 per bulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih dari separuh keluarga contoh 58 memiliki pendapatan keluarga yang berada pada rentang Rp500.000,00 hingga Rp999.999,00 per bulan Tabel 7. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa hanya ada satu keluarga contoh yang memiliki pendapatan di atas dua juta rupiah. Tabel 7 Sebaran keluarga contoh berdasarkan pendapatan keluarga per bulan Pendapatan keluarga Rpbulan n Rp500.000,00 0 0,00 Rp500.000,00 – Rp999.999,00 29 58,00 Rp1.000.000,00 – Rp1.999.999,00 20 40,00 Rp2.000.000,00 1 2,00 Total 50 100,00 Pendapatan keluarga per bulan belum mencerminkan kemampuan konsumsi setiap anggota keluarga. Kemampuan konsumsi setiap anggota keluarga dapat digambarkan melalui pendapatan per kapita per bulan. Pendapatan keluarga per kapita per bulan diperoleh dari hasil pembagian antara pendapatan keluarga per bulan dengan jumlah anggota keluarga. Pendapatan keluarga per kapita per bulan dikategorikan berdasarkan garis kemiskinan Provinsi Jambi pada Tahun 2010 yaitu Rp193.834,00. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendapatan keluarga per kapita per bulan keluarga contoh berada pada selang Rp124.537,00– Rp448.750,00. Rata-rata pendapatan keluarga contoh adalah Rp207.936,45kapita dengan standar deviasi sebesar Rp58.204,68. Berdasarkan pendapatan keluarga per kapita per bulan, lebih dari separuh keluarga contoh 56 memiliki pendapatan keluarga per kapita per bulan kurang dari Rp193.834,00 Tabel 8. Tabel 8 Sebaran keluarga contoh berdasarkan pendapatan keluarga per kapita per bulan Pendapatan keluarga Rpkapitabulan N ≤Rp193.834,00 28 56,0 Rp193.834,00 22 44,0 Total 50 100,0 Berdasarkan pekerjaan yang dilakukan oleh keluarga contoh diketahui bahwa pendapatan keluarga contoh bersumber dari hasil ladang kayu manis, sawah, upah buruh tani, keuntungan dagang, dan pekerjaan lainnya kepala desa, petugas kebersihan, dan “ojek”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih dari separuh pendapatan keluarga contoh 50,37 bersumber dari buruh tani. Keluarga contoh merupakan keluarga petani kayu manis, namun hasil penelitian menunjukkan bahwa kontribusi kayu manis dalam pendapatan keluarga contoh masih rendah yaitu sebesar 8,86 persen Tabel 9. Rendahnya kontribusi kayu manis ini dalam pendapatan keluarga akibat dari kayu manis merupakan tanaman tahunan yang dipanen dalam waktu lama dan lahan yang dimiliki petani juga sempit sehingga jumlah hasil panen sedikit. Selain itu, harga jual kulit kayu manis murah sehingga pendapatan keluarga yang berasal dari kayu manis rendah. Tabel 9 Rataan pendapatan keluarga contoh per bulan berdasarkan sumber nafkah dan persentase kontribusi masing-masing sumber nafkah terhadap pendapatan total Sumber nafkah Minimum Rpbulan Maksimum Rpbulan Rata-rata pendapatan keluarga Rpbulan Kontribusi terhadap pendapatan total Ladang kayu manis 30.000,00 343.750,00 89.650,00 8,86 Sawah 0,00 566.666,67 223.666,67 22,11 Upah buruh tani 0,00 1.000.000,00 509.500,00 50,37 Berdagang 0,00 1.000.000,00 128.700,00 12,72 Lain-lain 0,00 1.400.000,00 60.000,00 5,93 Total 1.011.516,67 100,00 Pengeluaran Keluarga. Pengeluaran keluarga adalah besarnya biaya yang dikeluarkan oleh keluarga untuk memenuhi kebutuhannya. Kebutuhan keluarga sehari-hari dibeli di pasar tradisional, warung, dan pedagang keliling. Pasar tradisional berlangsung hanya sekali dalam satu minggu yaitu pada hari kamis. Pengeluaran keluarga contoh berada pada selang Rp547.667,00-Rp2.235.500,00 per bulan dengan rata-rata sebesar Rp1.005.098,00bulan dan standar deviasi sebesar Rp276.387,00bulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tiga per lima keluarga contoh 60 memiliki pengeluaran keluarga pada selang Rp500.000,00 hingga Rp999.999,00 per bulan Tabel 10. Tabel 10 Sebaran keluarga contoh berdasarkan pengeluaran keluarga per bulan Pengeluaran keluarga Rpbulan n Rp500.000,00 0 0,00 Rp500.000,00 – Rp999.999,00 30 60,00 Rp1.000.000,00 – Rp1.999.999,00 19 38,00 ≥Rp2.000.000,00 1 2,00 Total 50 100,00 Pengeluaran keluarga per bulan juga belum mencerminkan konsumsi untuk masing-masing anggota keluarga. Keluarga yang memiliki pengeluaran keluarga yang tinggi belum tentu memiliki pengeluaran per kapita yang tinggi. Hal ini bergantung pada jumlah anggota keluarga. Pengeluaran keluarga yang tinggi jika dibagi dengan jumlah anggota keluarga yang banyak akan menghasilkan pengeluaran per kapita yang rendah. Ukuran yang mencerminkan kondisi pengeluaran keluarga adalah pengeluaran keluarga per kapita. Pengeluaran keluarga per kapita dapat dihitung dengan cara membagi jumlah pengeluaran keluarga dengan jumlah anggota keluarga. Pengeluaran keluarga Rpkapitabulan dikategorikan berdasarkan garis kemiskinan Provinsi Jambi pada Tahun 2010 yaitu Rp193.834,00. Pengeluaran keluarga Rpkapitabulan berada pada selang Rp124.083,00–Rp447.100,00 dengan rata-rata sebesar Rp206.589,36 dan standar deviasi sebesar Rp57.916,36. Berdasarkan pengeluaran keluarga per kapita per bulan, lebih dari separuh keluarga contoh 56 memiliki pengeluaran keluarga per kapita per bulan kurang dari Rp193.834,00 Tabel 11. Tabel 11 Sebaran keluarga contoh berdasarkan pengeluaran keluarga per kapita per bulan Pengeluaran keluarga Rpkapitabulan n ≤Rp193.834,00 28 56,00 Rp193.834,00 22 44,00 Total 50 100,00 Pengeluaran keluarga dapat dibedakan menjadi pengeluaran pangan dan pengeluaran bukan pangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih dari separuh pengeluaran keluarga contoh 55,69 dialokasikan untuk pengeluaran pangan, sedangkan sisanya 44,31 dialokasikan untuk pengeluaran bukan pangan Tabel 12. Artinya, pengeluaran untuk kebutuhan pangan pada keluarga contoh lebih besar dibandingkan dengan pengeluaran untuk kebutuhan bukan pangan. Pengeluaran pangan adalah pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan pangan, seperti makanan pokok, protein hewani, protein nabati, sayur mayur, buah-buahan, minyak dan lemak, bahan minuman, bumbu-bumbu, tembakau dan sirih, dan kebutuhan pangan lainnya. Rataan pengeluaran pangan keluarga contoh Rpkapitabulan adalah Rp115.041,13. Sebagian besar pengeluaran pangan keluarga contoh dialokasikan untuk pembelian makanan pokok beras yakni sebesar 27,29 persen Tabel 12. Proporsi pengeluaran untuk pangan terendah dialokasikan untuk sayur mayur dan buah-buahan. Buah dan sayur yang biasa dikonsumsi diperoleh dari pasar tradisional dan hasil pemanfaatan pekarangan rumah dan ladang. Buah yang biasa dikonsumsi oleh keluarga contoh adalah pisang, pepaya, jambu, mangga, sirsak, cempedak, nanas, jeruk, durian, dan belimbing. Keluarga contoh juga mengkonsumsi sayuran, seperti kacang panjang, talas, terong, kangkung, labu siam, nangka, pare, rebung, selada, tekokak, genjer, dan jenis sayuran lainnya. Pendapatan keluarga yang cukup rendah menyebabkan keluarga harus melakukan koping dalam mengkonsumsi pangan. Contohnya adalah bahan minuman dan rokok. Sebagian besar keluarga contoh memilih untuk mengkonsumsi “air kawa” sebagai pengganti teh dan kopi. “Air kawa” merupakan minuman yang terbuat dari rebusan daun kopi kering. “Air kawa” dibuat tanpa menggunakan gula pasir sehingga dengan mengganti teh dan kopi, keluarga contoh juga dapat menurunkan konsumsi gula pasir. Selain bahan minuman, koping juga dilakukan keluarga contoh pada rokok. Sebagian besar keluarga contoh mengkonsumsi rokok namun rokok yang dikonsumsi adalah rokok yang harganya murah. Ada juga keluarga contoh yang memilih untuk mengkonsumsi rokok nipah. Pengeluaran bukan pangan adalah pengeluaran keluarga untuk memenuhi kebutuhan bukan pangan, seperti pengeluaran untuk kesehatan, pendidikan, sandang, energi, perumahan, pajak, komunikasi, dan tabungan. Rataan pengeluaran bukan pangan keluarga contoh per kapita per bulan adalah sebesar Rp91.548,51. Proporsi terbesar pengeluaran bukan pangan pada keluarga contoh 16,85 dialokasikan untuk pendidikan seperti SPPBP3, transportasi anak, bukualat tulis, seragam sekolah, dan uang saku Tabel 12. Proporsi terbesar pengeluaran bukan pangan kedua adalah untuk energi listrik, bensin, minyak tanah, dan gas yaitu sebesar 8,02 persen. Tabel 12 Rataan alokasi pengeluaran pangan dan bukan pangan per kapita per bulan dan persentase setiap komponen terhadap total pengeluaran Pengeluaran keluarga Rpbulan Pangan 1. Makanan pokok 56.368,10 27,29 2. Protein hewani 10.581,15 5,12 3. Protein nabati 8.225,46 3,98 4. Sayur mayur 1.141,62 0,55 5. Buah-buahan 2.816,95 1,36 6. Minyak goreng 10.107,74 4,89 7. Bahan minuman 4.678,17 2,26 8. Jajan 3.685,24 1,78 9. Rokok 6.913,06 3,35 10. Pangan lain 10.523,65 5,09 Total pangan 115.041,13 55,69 Bukan pangan 11. Kesehatan 4.377,58 2,12 12. Pendidikan 34.809,87 16,85 13. Sandang 13.754,73 6,66 14. Energi 16.564,33 8,02 15. Perumahan 1.291,56 0,63 16. Pajak 76,32 0,04 17. Komunikasi 4.862,86 2,35 18. Tabungan 15.811,27 7,65 Total bukan pangan 91.548,51 44,31 Total pengeluaran keluarga 206.589,64 100,00 Kepemilikan Aset. Aset adalah sumber daya keluarga yang bernilai ekonomi. Aset dapat dilihat melalui keadaan tempat tinggal, salah satunya adalah rumah yang ditempati oleh keluarga contoh. Rumah berdasarkan statusnya dapat dibedakan menjadi rumah milik sendiri, rumah kontraksewa, dan rumah milik orang tua. Hampir seluruh keluarga contoh 90 telah memiliki rumah sendiri Tabel 13. Ada beberapa keluarga contoh yang masih tinggal di rumah orang tua dan rumah kontraksewa. Rumah berdasarkan tipenya dapat dibedakan menjadi rumah permanen, rumah semipermanen, dan rumah nonpermanen. Keluarga contoh memiliki rumah yang cukup beragam. Berdasarkan tipe rumah, dua per lima keluarga contoh 42 telah memiliki rumah permanen, namun masih ada seperempat keluarga contoh 26 yang masih tinggal di rumah nonpermanen Tabel 13. Penerangan juga memiliki peranan penting dalam kehidupan keluarga. Sumber penerangan dari rumah dapat berasal dari listrik maupun bukan listrik. Listrik telah ada di Desa Tamiai, namun tidak semua masyarakat dapat menikmati listrik sebagai sumber penerangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa seperlima keluarga contoh 20 tidak menggunakan listrik sebagai sumber penerangan di rumahnya Tabel 13. Tabel 13 Sebaran keluarga contoh berdasarkan status kepemilikan rumah, tipe rumah, sumber penerangan, dan bahan bakar untuk memasak Kondisi rumah n Status kepemilikan rumah Rumah sendiri 45 90,00 Rumah kontrak 1 2,00 Rumah milik orang tua 4 8,00 Tipe rumah Permanen 21 42,00 Semipermanen 16 32,00 Nonpermanen 13 26,00 Sumber penerangan Listrik 40 80,00 Bukan listrik 10 20,00 Bahan bakar untuk memasak Kayu bakar 43 86,00 Minyak tanah 5 10,00 Gas 2 4,00 Total 50 100,00 Bahan bakar untuk memasak yang digunakan oleh keluarga contoh adalah kayu bakar, minyak tanah, dan gas. Sebagian besar keluarga contoh 86 memanfaatkan kayu bakar sebagai bahan bakar untuk memasak Tabel 13. Kayu bakar ini tidak dibeli namun dicari di ladang dan hutan. Keluarga contoh masih belum siap untuk menggunakan kompor gas dan kompor minyak. Keluarga contoh lebih memilih untuk menggunakan kayu bakar dibandingkan dengan gas dan minyak tanah karena tidak perlu mengeluarkan uang untuk memperolehnya. Selain itu, keberadaan kayu bakar juga masih banyak seperti kayu dari pohon kayu manis yang telah diambil kulitnya. Sebagian keluarga contoh yang telah menggunakan kompor minyak juga masih menggunakan kayu bakar. Kayu bakar digunakan untuk memasak air. Selain rumah, aset lain yang diukur dalam penelitian ini adalah kepemilikan ladang kayu manis. Sebagai seorang petani kayu manis, kepemilikan ladang kayu manis berperan penting. Seluruh keluarga contoh memiliki ladang kayu manis dengan luas yang berbeda. Luas ladang kayu manis keluarga contoh berada pada selang 0,50-5,50 Ha. Hasil penelitian menunjukkan bahwa separuh keluarga contoh 50 memiliki ladang kayu manis yang luasnya adalah satu hingga tiga hektar Tabel 14 dengan rata-rata luas ladang kayu manis adalah 1,23 Ha. Keluarga contoh yang memiliki ladang yang luasnya lebih dari tiga hektar sangat sedikit yakni hanya empat persen. Luas ladang kayu manis ini berkaitan dengan hasil yang diperoleh petani. Hasil panen juga sedikit jika luas lahan yang dimiliki sempit. Jenis aset lain yang dimiliki oleh keluarga contoh adalah ternak. Jenis ternak yang dimiliki oleh keluarga contoh adalah sapi, ayam, dan itik. Keluarga contoh yang memiliki ternak sangat sedikit yakni kurang dari sepuluh persen Tabel 14. Sebagian keluarga contoh juga memiliki kendaraan, seperti motor dan mobil. Keluarga contoh yang memiliki mobil sangat sedikit yakni hanya ada satu keluarga 2, sedangkan motor dimiliki oleh seperlima keluarga contoh 22 Tabel 14. Berbeda halnya dengan kepemilikan ternak dan kendaraan, sebagian besar keluarga contoh telah memiliki alat elektronik seperti radiotape, videoCD, handphone, dan televisi. Alat elektronik ini telah dimiliki oleh lebih dari dua per tiga keluarga contoh Tabel 14. Keluarga contoh juga memiliki mebel, seperti kursi tamu, meja makan, tempat tidur, lemari pakaian, dan lemari hias Tabel 14. Hampir seluruh keluarga contoh 98 telah memiliki tempat tidur dan lemari pakaian, sedangkan kursi tamu dan meja makan dimiliki hampir separuh keluarga contoh. Jenis mebel lain yang dimiliki oleh keluarga contoh adalah lemari hias. Lemari hias ini dimiliki oleh lebih dari seperempat keluarga contoh 26. Hasil penelitian juga menunjukkan ada satu keluarga contoh yang tidak memiliki tempat tidur dan lemari pakaian. Keluarga contoh ini tidur di atas papan yang dibuat seperti tempat tidur dan posisinya lebih tinggi dari lantai. Papan tersebut hanya dilapisi oleh anyaman tikar tanpa kasur. Tabel 14 Sebaran keluarga contoh berdasarkan kepemilikan aset Kepemilikan aset n Luas ladang kayu manis - 1 Ha 23 46,00 - 1-3 Ha 25 50,00 - 3 Ha 2 4,00 Sub total 50 100,00 Jenis ternak - Sapi 1 2,00 - Ayam 5 10,00 - Itik 2 4,00 Jenis kendaraan - Mobil 1 2,00 - Motor 11 22,00 Jenis alat elektronik - Radiotape 35 70,00 - VideoCD 35 70,00 - TeleponHandphone 37 74,00 - Televisi 38 76,00 Jenis mebel - Kursi tamu 24 48,00 - Meja makan 22 44,00 - Tempat tidur 49 98,00 - Lemari pakaian 49 98,00 - Lemari hias 13 26,00 Jenis alat rumah tangga - Lemari makan 13 26,00 - Rice cooker 10 20,00 - Oven 2 4,00 - Kulkas 2 4,00 - Kompor gas 2 4,00 - Kompor minyak 5 10,00 Keluarga contoh juga memiliki alat rumah tangga seperti lemari makan, rice cooker, oven, kulkas, kompor gas, dan kompor minyak Tabel 14. Lemari makan telah dimiliki lebih dari seperempat keluarga contoh, sedangkan rice cooker telah dimiliki seperlima keluarga contoh. Alat rumah tangga yang sangat sedikit dimiliki adalah oven, kulkas, dan kompor gas. Alat rumah tangga ini hanya dimiliki oleh dua persen keluarga contoh. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa sebagian besar keluarga contoh tidak menggunakan kompor gas dan kompor minyak untuk memasak. Keluarga contoh cenderung memilih untuk menggunakan kayu bakar untuk memasak. Alasan inilah yang menyebabkan sedikitnya keluarga contoh yang memiliki kompor gas dan kompor minyak untuk memasak. Karakteristik Anak Jenis Kelamin. Salah satu karakteristik anak yang diamati adalah jenis kelamin. Lebih dari separuh keluarga contoh 56 memiliki anak yang berjenis kelamin laki-laki Tabel 15. Artinya, jumlah keluarga contoh yang memiliki anak berjenis kelamin laki-laki lebih banyak dibandingkan dengan keluarga contoh yang memiliki anak berjenis kelamin perempuan. Usia Anak. Karakteristik lain yang diamati pada anak adalah usia. Anak contoh berusia antara sepuluh hingga 12 tahun. Rata-rata usia anak contoh adalah 11 tahun. Hasil penelitian menunjukkan hampir dua per lima anak contoh 38 berusia 12 tahun. Urutan Kelahiran. Berdasarkan urutan kelahiran, anak dapat dibedakan menjadi anak tunggal, anak sulung, anak tengah, dan anak bungsu. Hasil penelitian menunjukkan hampir separuh anak contoh 48 merupakan anak bungsu Tabel 15. Hasil penelitian juga menunjukkan terdapat keluarga contoh yang memiliki anak tunggal yakni sebesar enam persen. Tabel 15 Sebaran keluarga contoh berdasarkan karakteristik anak Karakteristik anak n Jenis kelamin - Laki-laki 28 56,00 - Perempuan 22 44,00 Usia anak - 10 tahun 16 32,00 - 11 tahun 15 30,00 - 12 tahun 19 38,00 Urutan kelahiran - Anak tunggal 3 6,00 - Anak sulung 7 14,00 - Anak tengah 16 32,00 - Anak bungsu 24 48,00 Total 50 100,00 Kesejahteraan Keluarga Indikator Garis Kemiskinan BPS BPS mengukur kesejahteraan keluarga berdasarkan kemampuan dalam memenuhi kebutuhan dasar. Ketidakmampuan keluarga untuk memenuhi kebutuhan dasar mengindikasikan bahwa keluarga tersebut mengalami masalah kemiskinan. Kemampuan keluarga dalam memenuhi kebutuhan dasar tercermin dari pengeluaran per kapita per bulan. Selanjutnya, pengeluaran keluarga per kapita per bulan dibandingkan dengan garis kemiskinan. Garis kemiskinan di setiap daerah berbeda berdasarkan lokasi dan indeks harga konsumen yang berlaku di daerah tersebut. Garis kemiskinan dibedakan menjadi garis kemiskinan perdesaan dan garis kemiskinan perkotaan. Garis kemiskinan yang digunakan dalam penelitian ini adalah garis kemiskinan perdesaan Provinsi Jambi Tahun 2010 adalah sebesar Rp193.834,00 per kapita per bulan. Berdasarkan indikator BPS, keluarga dikatakan miskin jika memiliki pengeluaran kurang dari atau sama dengan Rp193.834,00 per kapita per bulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir tiga per lima keluarga contoh 56 tergolong dalam keluarga miskin yang memiliki pengeluaran keluarga kurang dari Rp193.834,00 per kapita per bulan. Tabel 16 Sebaran keluarga contoh berdasarkan kategori miskin menurut indikator garis kemiskinan BPS Kategori n Miskin pengeluaran per kapita per bulan ≤ Rp 193.834,00 28 56,00 Tidak miskin pengeluaran per kapita per bulan Rp 193.834,00 22 44,00 Jumlah 50 100,00 Indikator Keluarga Sejahtera BKKBN BKKBN menggolongkan keluarga berdasarkan tahapan keluarga sejahtera. Berdasarkan tahapan keluarga sejahtera, keluarga digolongkan menjadi lima kategori yaitu Keluarga Prasejahtera PraKS, Keluarga Sejahtera I KS I, Keluarga Sejahtera II KS II, Keluarga Sejahtera III KS III, dan Keluarga Sejahtera III Plus KS III Plus Lampiran 2. Kategori keluarga sejahtera ini juga dapat dibedakan menjadi keluarga miskin dan tidak miskin. Keluarga miskin adalah keluarga yang berada pada tahapan Keluarga Prasejahtera PraKS dan Keluarga Sejahtera I KS I, sedangkan keluarga tidak miskin adalah keluarga yang berada pada tahapan Keluarga Sejahtera II KS II, Keluarga Sejahtera III KS III, dan Keluarga Sejahtera III Plus KS III Plus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa separuh keluarga contoh 50 merupakan Keluarga Prasejahtera PraKS Tabel 17. Semua keluarga contoh yang tergolong Keluarga Prasejahtera PraKS tidak memiliki atap, lantai, dan dinding rumah yang baik. Kondisi ini menyebabkan keluarga contoh tidak dapat memenuhi kriteria keluarga sejahtera I KS I. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa sebagian kecil keluarga contoh 10 tergolong dalam keluarga sejahtera I KS I Tabel 17. Seluruh keluarga contoh yang tergolong KS I memiliki luas lantai rumah kurang dari 8 m 2 untuk setiap penghuni rumah. Total keluarga contoh yang tergolong dalam PraKS dan KS I adalah 60 persen. Artinya, tiga per lima keluarga contoh termasuk dalam kategori miskin. Tabel 17 Sebaran keluarga contoh berdasarkan kategori keluarga sejahtera berdasarkan indikator BKKBN Kategori n Keluarga prasejahtera PraKS 25 50,00 Keluarga sejahtera I KSI 5 10,00 Keluarga sejahtera II KSII 1 2,00 Keluarga sejahtera III KSIII 19 38,00 Keluarga sejahtera III plus KSIIIPlus 0,00 Jumlah 50 100,00 Hasil penelitian juga menunjukkan adanya keluarga contoh yang tergolong keluarga sejahtera II KS II yakni satu keluarga 2 Tabel 17. Keluarga contoh yang tergolong KS II ini tidak mampu memenuhi indikator KS III yaitu keluarga memperoleh informasi dari surat kabarmajalahradiotelevisi. Sebanyak satu keluarga contoh tidak menjadikan surat kabarmajalahradiotelevisi sebagai sumber informasi keluarga. Sisanya sebesar 38 persen keluarga contoh tergolong dalam KS III. Hampir seluruh keluarga contoh yang tergolong KS III tidak dapat memenuhi kriteria KS III Plus yaitu: 1 keluarga secara teratur dengan sukarela memberikan sumbangan materil untuk kegiatan sosial 100, dan 2 Ada anggota keluarga yang aktif sebagai pengurus perkumpulan sosialyayasaninstitusi masyarakat 94,73. Total keluarga contoh yang tergolong dalam KS II dan KS III adalah 40 persen. Artinya, dua per lima keluarga contoh termasuk dalam kategori tidak miskin. Berdasarkan indikator keluarga sejahtera BKKBN, jumlah keluarga keluarga contoh yang tergolong miskin lebih banyak dibandingkan dengan keluarga tidak miskin. Indikator a simple poverty scorecard for Indonesia Indikator a simple poverty scorecard for Indonesia menggunakan sepuluh pertanyaan. Setiap pertanyaan memiliki skor yang berbeda. Jumlah skor yang semakin kecil mengindikasikan bahwa kemungkinan besar keluarga tersebut mengalami masalah kemiskinan. Pertanyaan pertama berkaitan dengan jumlah anggota keluarga. Hampir separuh keluarga contoh 44 memiliki jumlah anggota keluarga sebanyak lima orang Tabel 18. Jumlah anggota keluarga ini berkaitan dengan persentase perkiraan tingkat kemiskinan. Jumlah anggota keluarga yang sedikit akan menaikkan skor pada indikator a simple poverty scorecard for Indonesia sehingga kemungkinan keluarga mengalami kemiskinan akan menurun. Pertanyaan kedua berkaitan dengan jumlah anggota keluarga yang berusia 5-18 tahun dan masih sekolah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa anggota keluarga yang berusia 5-18 tahun pada keluarga contoh semuanya sekolah sedang menempuh pendidikan Tabel 18. Anggota keluarga yang berusia 5-18 tahun yang sedang menempuh pendidikan akan menaikkan skor dalam indikator a simple poverty scorecard for Indonesia sehingga kemungkinan keluarga mengalami kemiskinan akan menurun. Pertanyaan ketiga berkaitan dengan jumlah anggota keluarga yang telah memiliki pekerjaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa seluruh keluarga contoh memiliki satu atau dua anggota keluarga yang bekerja Tabel 18. Semakin banyak jumlah anggota keluarga yang bekerja akan menaikkan skor pada indikator a simple poverty scorecard for Indonesia sehingga kemungkinan keluarga mengalami kemiskinan akan menurun. Pertanyaan keempat berkaitan dengan sumber air minum keluarga. Sumber air minum dua per tiga keluarga contoh 66 berasal dari sumur timba. Keluarga contoh yang menggunakan air PAMPDAM sebagai sumber air minum keluarga masih tergolong sedikit 22 Tabel 18. Penggunakan air PAMPDAM sebagai sumber air minum akan menaikkan skor pada indikator a simple poverty scorecard for Indonesia sehingga kemungkinan keluarga mengalami kemiskinan akan menurun. Pertanyaan kelima berkaitan dengan tipe toilet. Lebih dari tiga per empat keluarga contoh 76 memiliki toilet dan sisanya sebesar 24 persen tidak memiliki toilet Tabel 18. Jenis toilet yang dimiliki adalah toilet jongkok padahal dalam indikator a simple poverty scorecard for Indonesia jenis toilet yang mendapatkan skor adalah toilet duduk sitting toilet. Tidak adanya keluarga contoh yang memiliki toilet duduk akan menurunkan skor pada indikator a simple poverty scorecard for Indonesia sehingga kemungkinan keluarga mengalami masalah kemiskinan akan meningkat. Pertanyaan keenam berkaitan dengan lantai rumah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir tiga per empat keluarga contoh memiliki lantai rumah yang terbuat dari semen. Hasil penelitian juga menunjukkan adanya keluarga contoh yang memiliki rumah yang lantainya terbuat dari tanah. Rumah keluarga contoh yang lantainya terbuat dari tanah dilapisi dengan terpal terlebih dahulu, setelah itu bagian atas terpal diletakkan tikar. Selain itu, seperlima keluarga contoh memiliki lantai rumah yang terbuat dari papan karena rumahnya adalah rumah panggung Tabel 18. Kepemilikan lantai rumah yang terbuat dari bukan tanah akan menaikkan skor pada indikator a simple poverty scorecard for Indonesia sehingga kemungkinan keluarga mengalami masalah kemiskinan akan menurun. Pertanyaan ketujuh berkaitan dengan langit-langit rumah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih dari separuh keluarga contoh 54 tidak memiliki langit-langit rumah loteng. Keluarga contoh yang memiliki loteng rumah berjumlah 46 persen. Loteng rumah yang dimiliki oleh keluarga contoh adalah loteng rumah yang terbuat dari kayu triplek. Kepemilikan langit-langit rumah akan menaikkan skor pada indikator a simple poverty scorecard for Indonesia sehingga kemungkinan keluarga mengalami masalah kemiskinan akan menurun. Pertanyaan kedelapan, kesembilan, dan kesepuluh berkaitan dengan kepemilikan kulkas, kendaraan bermotor, dan televisi. Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar keluarga contoh tidak memiliki kulkas. Keluarga contoh yang memiliki kulkas berjumlah empat persen. Kulkas digunakan untuk menjual minuman dingin. Selain kulkas, kendaraan bermotor juga dimiliki oleh lebih dari seperlima keluarga contoh 22. Berbeda halnya dengan kepemilikan televisi. Lebih dari tiga per empat keluarga contoh 76 memiliki televisi. Rendahnya kepemilikan kulkas, kendaraan bermotor, dan televisi akan menurunkan jumlah skor pada indikator a simple poverty scorecard for Indonesia sehingga persentase keluarga berada di tingkat kemiskinan akan meningkat. Tabel 18 Sebaran keluarga contoh berdasarkan pertanyaan dalam indikator a simple poverty scorecard for Indonesia No Indikator a simple poverty scorecard for Indonesia n 1 Jumlah anggota keluarga - 3 orang 5 10,00 - 4 orang 12 24,00 - 5 orang 22 44,00 - ≥ 6 orang 11 22,00 2 Jumlah anggota keluarga yang masih sekolah - Tidak semuatidak ada anak usia 5-18 tahun 0,00 - Semua 50 100,00 3 Jumlah anggota keluarga yang memiliki pekerjaan - Tidak ada 0,00 - Satu atau dua 50 100,00 - Tiga 0 0,00 - Empat atau lebih 0,00 4 Sumber air minum - PAMPDAM 11 22,00 - Sumur timba 33 66,00 - Sumur pompa 6 12,00 - Sungai 0 0,00 5 Kepemilikan toilet - Ada, toilet jongkok 38 76,00 - Ada, toilet duduk 0,00 - Tidak ada 12 24,00 6 Lantai rumah - Tanah 2 4,00 - Semen 37 74,00 - Keramik 1 2,00 - Papan 10 20,00 7 Langit-langit rumah - Bambutidak ada 27 54,0 - Beton, kayu, gips, asbes 23 46,0 8 Kepemilikan kulkas 2 4,00 9 Kepemilikan kendaraan bermotor 11 22,00 10 Kepemilikan televisi 38 76,00 Total 50 100,00 Indikator a simple poverty scorecard for Indonesia mengukur kesejahteraan keluarga berdasarkan jumlah skor yang diperoleh keluarga. Chen dan Schreiner 2009 mengklasifikasikan skor a simple poverty scorecard for Indonesia menjadi 20 kategori yaitu skor 0-4, 5-9, 10-14, 15-19, 20-24, 25-29, 30- 34, 35-39, 40-44, 45-49, 50-54, 55-59, 60-64, 65-69, 70-74, 75-79, 80-84, 85-89, 90-94, dan 95-100. Hasil penelitian menunjukkan bahwa skor minimum yang diperoleh keluarga contoh adalah 16, sedangkan skor maksimum yang diperoleh keluarga contoh adalah 66 dengan rata-rata sebesar 32,90 dan standar deviasi sebesar 10,601. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir seluruh keluarga contoh 94 memperoleh skor kurang dari 50, hanya ada sebagian kecil keluarga contoh 6 yang memperoleh skor lebih dari 50 Tabel 19. Skor yang rendah mengindikasikan bahwa besar kemungkinan keluarga contoh untuk mengalami masalah kemiskinan. Tabel 19 Sebaran keluarga contoh berdasarkan indikator a simple poverty scorecard for Indonesia Skor a simple poverty scorecard for Indonesia n 15-19 3 6,00 20-24 10 20,00 25-29 8 16,00 30-34 10 20,00 35-39 5 10,00 40-44 6 12,00 45-49 5 10,00 50-54 2 4,00 55-59 0 0,00 60-64 0 0,00 65-69 1 2,00 Jumlah 50 100,00 Kesejahteraan keluarga contoh diukur dengan menggunakan indikator BPS, BKKBN, dan a simple poverty scorecard for Indonesia. Indikator a simple poverty scorecard for Indonesia tidak dapat mengklasifikasikan keluarga menjadi miskin dan tidak miskin. Hasil analisis dengan menggunakan indikator a simple poverty scorecard for Indonesia dihubungkan dengan hasil analisis dengan menggunakan indikator BPS dan BKKBN. Hasil uji korelasi menunjukkan ada hubungan yang signifikan positif antara kesejahteraan keluarga berdasarkan indikator a simple poverty scorecard for Indonesia dengan kesejahteraan keluarga berdasarkan indikator BPS r=0,672, α=0,01 dan BKKBN r=0,535, α=0,01. Artinya, jumlah skor yang semakin tinggi dapat meningkatkan kesejahteraan keluarga. Sebagian besar keluarga miskin berdasarkan indikator BPS dan BKKBN memiliki skor yang rendah skor kurang dari 50 pada indikator a simple poverty scorecard for Indonesia Tabel 20. Tabel 20 Sebaran keluarga contoh berdasarkan indikator BPS, BKKBN, dan a simple poverty scorecard for Indonesia Skor Scorecard BPS BKKBN Total Miskin Tidak miskin Miskin Tidak miskin n n n n n 15-19 3 10,72 0,00 3 10,00 0,00 3 6,00 20-24 8 28,57 2 9,09 10 33,33 0,00 10 20,00 25-29 7 25,00 1 4,55 5 16,67 3 15,00 8 16,00 30-34 8 28,57 2 9,09 5 16,67 5 25,00 10 20,00 35-39 2 7,14 3 13,64 4 13,33 1 5,00 5 10,00 40-44 0 0,00 6 27,27 1 3,33 5 25,00 6 12,00 45-49 0 0,00 5 22,72 2 6,67 3 15,00 5 10,00 50-54 0 0,00 2 9,09 0,00 2 10,00 2 4,00 55-59 0 0,00 0,00 0,00 0,00 0 0,00 60-64 0 0,00 0,00 0,00 0,00 0 0,00 65-69 0 0,00 1 4,55 0,00 1 5,00 1 2,00 Jumlah 28 100,00 22 100,00 30 100,00 20 100,00 50 100,00 Analisis Sensitivitas dan Spesifisitas Hasil analisis tingkat kesejahteraan keluarga berbeda sesuai dengan indikator yang digunakan sehingga perlu dilakukan analisis sensitivitas dan spesifisitas indikator. Sensitivitas merupakan kemampuan untuk mengidentifikasi keluarga yang memang benar-benar miskin, sedangkan spesifisitas adalah kemampuan mengklasifikasi keluarga yang memang benar-benar tidak miskin. Proporsi keluarga yang termasuk tidak miskin berdasarkan indikator keluarga sejahtera BKKBN diverifikasi dengan keluarga yang tidak miskin berdasarkan indikator BPS. Begitu pula sebaliknya dengan keluarga yang dikatakan miskin. Indikator yang dijadikan sebagai gold standard dalam analisis ini adalah indikator BPS. Hasil analisis korelasi menunjukkan bahwa indikator BKKBN berhubungan signifikan dengan indikator BPS r=0,456, α=0,01. Hasil pengujian menunjukkan bahwa sebanyak 78,57 persen keluarga contoh dikatakan miskin berdasarkan indikator BPS dan BKKBN dan 63,64 persen keluarga contoh dikatakan tidak miskin berdasarkan indikator BPS dan BKKBN Tabel 21. Indikator BPS dan BKKBN memiliki nilai sensitivitas sebesar 78,57 persen, sedangkan nilai spesifitas sebesar 63,64 persen. Hal ini menunjukkan terjadi perbedaan pengukuran keluarga miskin berdasarkan indikator BKKBN dengan indikator BPS sebesar 21,43 persen. Selain itu, hasil uji spesifitas menunjukkan bahwa terjadi perbedaan pengukuran keluarga tidak miskin berdasarkan indikator BKKBN dengan indikator BPS sebesar 36,36 persen. Tabel 21 Sebaran keluarga contoh berdasarkan status kemiskinan menurut indikator BKKBN dengan gold standard indikator BPS Indikator Status kemiskinan BPS Miskin Tidak miskin Total n n n BKKBN Miskin 22 78,57 8 36,36 30 60,00 Tidak miskin 6 21,43 14 63,64 20 40,00 Total 28 100,00 22 100,00 50 100,00 Pengaruh Karakteristik Keluarga terhadap Kesejahteraan Keluarga Dalam penelitian ini, karakteristik keluarga diduga berpengaruh terhadap kesejahteraan keluarga. Pengaruh karakteristik keluarga terhadap kesejahteraan keluarga berdasarkan indikator BPS dianalisis dengan menggunakan regresi logistik. Model persamaan regresi yang disusun memiliki koefisien determinasi nagelkerke R 2 sebesar 0,367. Artinya, 36,7 persen varian kesejahteraan keluarga berdasarkan indikator BPS dapat dijelaskan oleh perubahan variabel yang ada dalam model. Variabel yang dimasukkan dalam model adalah besar keluarga X 1 , usia ayah X 2 , pendidikan ibu X 3 , dan luas ladang kayu manis X 4 . Hasil analisis regresi logistik menunjukkan bahwa dari empat variabel yang diduga berpengaruh pada kesejahteraan keluarga berdasarkan indikator BPS, hanya ada satu variabel yang berpengaruh signifikan yaitu besar keluarga = -0,955, α=0,01. Variabel besar keluarga berpengaruh secara signifikan negatif terhadap kesejahteraan keluarga berdasarkan indikator BPS. Keluarga kecil memiliki peluang sejahtera yang lebih besar dibandingkan dengan keluarga besar. Pengaruh karakteristik keluarga terhadap kesejahteraan keluarga berdasarkan indikator BKKBN juga dianalisis dengan menggunakan regresi logistik. Model persamaan regresi yang disusun memiliki koefisien determinasi nagelkerke R 2 sebesar 0,373. Artinya, 37,3 persen varian kesejahteraan keluarga berdasarkan indikator BKKBN dapat dijelaskan oleh perubahan variabel yang ada dalam model. Variabel yang dimasukkan dalam model adalah besar keluarga X 1 , usia ayah X 2 , pendidikan ibu X 3 , pendapatan keluarga per bulan X 4 , dan luas ladang kayu manis X 5 . Hasil analisis regresi logistik menunjukkan bahwa dari lima variabel yang diduga berpengaruh pada kesejahteraan keluarga berdasarkan indikator BKKBN, hanya ada tiga variabel yang berpengaruh signifikan yaitu besar keluarga, usia ayah, dan pendapatan keluarga per bulan Tabel 22. Variabel besar keluarga berpengaruh secara signifikan negatif terhadap kesejahteraan keluarga berdasarkan indikator BKKBN. Artinya, keluarga kecil memiliki peluang sejahtera yang lebih besar dibandingkan dengan keluarga besar. Usia ayah juga berpengaruh signifikan negatif terhadap kesejahteraan keluarga berdasarkan indikator BKKBN. Keluarga dengan usia ayah yang lebih muda memiliki peluang sejahtera yang lebih besar dibandingkan keluarga dengan usia ayah yang sudah memasuki usia pertengahan dewasa madya. Variabel lain yang juga berpengaruh signifikan terhadap kesejahteraan keluarga berdasarkan indikator BKKBN adalah pendapatan keluarga. Pendapatan keluarga berpengaruh signifikan positif dengan kesejahteraan keluarga berdasarkan indikator BKKBN. Keluarga dengan pendapatan yang tinggi memiliki peluang sejahtera yang lebih besar dibandingkan keluarga dengan pendapatan yang rendah. Tabel 22 Koefisien regresi karakteristik keluarga terhadap kesejahteraan keluarga berdasarkan indikator BPS dan BKKBN Variabel bebas BPS BKKBN B Exp B Sig B Exp B Sig Besar keluarga orang -0,955 0,385 0,009 -0,710 0,492 0,038 Usia ayah tahun -0,098 0,907 0,083 -0,128 0,880 0,032 Pendidikan ibu tahun -0,029 0,972 0,836 -0,012 0.988 0,932 Pendapatan keluarga Rpbulan - - - 0,000 1,000 0,037 Luas ladang kayu manis Ha 0,570 1,768 0,114 -0,072 0,931 0,874 Chi-square 16,006 16,159 Df 4 5 Sig 0,003 0,006 Nagelkerke R 2 0,367 0,373 Keterangan: = Signifikan pada selang kepercayaan 95 = Signifikan pada selang kepercayaan 99 Gaya Pengasuhan Menurut Gottman dan DeClaire 1997, gaya pengasuhan orang tua dibedakan menjadi pelatih emosi emotion coaching dan bukan pelatih emosi emotion dismissing. Ada tiga jenis gaya pengasuhan yang tergolong dalam gaya pengasuhan bukan pelatih emosi, yaitu gaya pengasuhan pengabai emosi dismissing, gaya pengasuhan tidak menyetujui disapproving, dan gaya pengasuhan laissez faire. Orang tua secara tidak sadar dapat menerapkan lebih dari satu jenis gaya pengasuhan. Penilaian gaya pengasuhan orang tua dapat dilakukan dengan melihat kecenderungan gaya pengasuhan yang diterapkan orang tua. Kecenderungan ini dilihat dari jenis gaya pengasuhan yang dominan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa gaya pengasuhan yang dominan diterapkan keluarga contoh adalah gaya pengasuhan tidak menyetujui disapproving. Orang tua pada keluarga contoh mengabaikan, menolak, tidak menyetujui, menegurmenghukum anak atas ekspresi emosi negatifnya marah dan sedih. Gaya pengasuhan ini diterapkan oleh lebih dari sepertiga keluarga contoh 34, artinya lebih dari separuh keluarga contoh tidak menyetujui emosi negatif anak Tabel 23. Hasil penelitian juga menunjukkan adanya keluarga contoh yang menerapkan gaya pengasuhan bukan pelatih emosi lainnya seperti gaya pengasuhan pengabai emosi dan laissez faire. Gaya pengasuhan pengabai emosi diterapkan oleh hampir sepertiga keluarga contoh 28, sedangkan gaya pengasuhan laissez faire diterapkan oleh sepersepuluh keluarga contoh yakni sebesar sepuluh persen. Berdasarkan klasifikasi pelatih emosi dan bukan pelatih emosi, hampir tiga per empat keluarga contoh 72 menerapkan gaya pengasuhan bukan pelatih emosi. Gaya pengasuhan pelatih emosi diterapkan oleh hampir sepertiga keluarga contoh 28 Tabel 23 Sebaran keluarga contoh berdasarkan kecenderungan gaya pengasuhan Gaya pengasuhan n Pengabai emosi dismissing 14 28,00 Tidak menyetujui disapproving 17 34,00 Laissez faire 5 10,00 Pelatih emosi emotion coaching 14 28,00 Jumlah 50 100,00 Gaya Pengasuhan dan Kesejahteraan Keluarga Hasil penelitian menunjukkan bahwa gaya pengasuhan tidak berhubungan signifikan dengan kesejahteraan keluarga baik diukur berdasarkan indikator garis kemiskinan BPS, keluarga sejahtera BKKBN, maupun a simple poverty scorecard for Indonesia. Keluarga miskin berdasarkan indikator BPS 75 dan BKKBN 68,2 cenderung menerapkan gaya pengasuhan bukan pelatih emosi pengabai emosi, tidak menyetujui, dan laissez faire. Meskipun keluarga contoh tergolong miskin berdasarkan indikator BPS dan BKKBN, namun terdapat juga keluarga contoh yang menerapkan gaya pengasuhan pelatih emosi. Hal ini menunjukkan bahwa masih terdapat orang tua pada keluarga miskin yang memperhatikan emosi negatif anak marah dan sedih. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa hanya sebagian keluarga tidak miskin berdasarkan indikator BPS 31,8 dan BKKBN 35 yang menerapkan gaya pengasuhan pelatih emosi. Sebagian besar lainnya cenderung menerapkan gaya pengasuhan bukan pelatih emosi pengabai emosi, tidak menyetujui, dan laissez faire Tabel 24. Tabel 24 Sebaran contoh berdasarkan jenis gaya pengasuhan dan kesejahteraan keluarga indikator BPS dan BKKBN Gaya pengasuhan BPS BKKBN Total Miskin Tidak miskin Miskin Tidak miskin n n n n n Pengabai emosi 8 28,6 6 27,3 7 23,3 7 35,0 14 28,0 Tidak menyetujui 10 35,7 7 31,8 12 40,0 5 25,0 17 34,0 Laissez faire 3 10,7 2 9,1 4 13,3 1 5,0 5 10,0 Pelatih emosi 7 25,0 7 31,8 7 23,3 7 35,0 14 28,0 Total 28 100,0 22 100,0 30 100,0 20 100,0 50 100,0 Pengaruh Karakteristik Keluarga, Karakteristik Anak, dan Kesejahteraan Keluarga terhadap Gaya Pengasuhan Berdasarkan indikator BPS, BKKBN, dan a simple poverty scorecard for Indonesia, lebih dari separuh keluarga contoh tergolong dalam kategori miskin. Artinya, lebih dari separuh keluarga contoh mengalami masalah kemiskinan. Masalah kemiskinan akan berdampak pada gaya pengasuhan orang tua. Variabel lain yang diduga berpengaruh terhadap gaya pengasuhan adalah karakteristik anak dan karakteristik keluarga. Pengaruh karakteristik keluarga, karakteristik anak, dan kesejahteraan keluarga terhadap gaya pengasuhan dianalisis dengan menggunakan regresi logistik. Model persamaan regresi yang disusun memiliki koefisien determinasi nagelkerke R 2 sebesar 0,724. Artinya, 72,4 persen varian gaya pengasuhan dapat dijelaskan oleh perubahan variabel yang ada dalam model. Gaya pengasuhan merupakan variabel dummy yaitu 0 untuk gaya pengasuhan bukan pelatih emosi pengabai emosi, tidak menyetujui, dan laissez faire dan 1 untuk gaya pengasuhan pelatih emosi. Variabel yang dimasukkan dalam model adalah besar keluarga X 1 , usia ibu X 2 , pendidikan ibu X 3 , pendapatan keluarga per bulan X 4 , usia anak X 5 , kesejahteraan keluarga berdasarkan indikator BPS D 1 , pekerjaan ibu D 2 , dan jenis kelamin anak D 3 . Hasil analisis regresi logistik menunjukkan bahwa dari delapan variabel yang diduga berpengaruh pada gaya pengasuhan orang tua, hanya ada satu variabel yang berpengaruh signifikan yaitu pendidikan ibu Tabel 25. Variabel pendidikan ibu berpengaruh signifikan positif terhadap gaya pengasuhan orang tua. Keluarga dengan ibu yang berpendidikan tinggi memiliki peluang yang lebih besar untuk menerapkan gaya pengasuhan pelatih emosi dibandingkan keluarga dengan ibu yang berpendidikan rendah. Tabel 25 Koefisien regresi logistik karakteristik keluarga, karakteristik anak, dan kesejahteraan keluarga terhadap gaya pengasuhan Variabel independen Jenis Gaya Pengasuhan B Exp B Sig Besar keluarga orang 0,445 1,560 0,557 Usia ibu tahun -0,161 0,852 0,248 Pendidikan ibu tahun 1,228 3,416 0,003 Pendapatan keluarga Rpbulan 0,000 1,000 0,376 Usia anak tahun 0,690 1,993 0,385 Kesejahteraan keluarga berdasarkan indikator a simple poverty scorecard for Indonesia 2,171 8,766 0,214 Pekerjaan ibu 0=tidak bekerja, 1=bekerja 0,569 1,766 0,849 Jenis kelamin anak 0=laki-laki, 1=perempuan -0,723 0,485 0,535 Chi-square 34,943 Df 8 Sig 0,000 Nagelkerke R 2 0,724 Keterangan: = Signifikan pada selang kepercayaan 95 = Signifikan pada selang kepercayaan 99 Perkembangan Sosial Emosi Anak Usia Sekolah Perkembangan sosial emosi dinilai dari indeks perkembangan sosial emosi anak. Indeks minimum perkembangan sosial emosi anak adalah 43, sedangkan indeks maksimumnya adalah 92 dengan rata-rata sebesar 71,30 dan standar deviasi sebesar 10,35. Berdasarkan dimensinya, perkembangan sosial emosi dibedakan menjadi 1 kompetensi emosional dan konsep diri secara umum, 2 pengaturan diri, keterampilan memecahkan masalah, dan ketahanan sosial emosi, 3 strategi kognitif, 4 dukungan, kematangan, dan kemerdekaan sosial, 5 empati, dan 6 keterampilan interpersonal dan keterampilan dalam bergaul. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perkembangan sosial emosi yang dominan pada anak contoh adalah keterampilan interpersonal dan keterampilan dalam bergaul 34 Tabel 26. Anak contoh mudah berteman dan mudah memulai percakapan dengan orang lain. Anak contoh juga merasa nyamansenang berada dalam kelompok besar. Selain itu, anak contoh dapat bekerja baik dengan siswa lain dalam mengerjakan tugas sekolah. Tabel 26 Sebaran keluarga contoh berdasarkan dimensi perkembangan sosial emosi anak No Dimensi perkembangan sosial emosi n 1 Kompetensi emosional dan konsep diri secara umum 6 12 2 Pengaturan diri, keterampilan memecahkan masalah, dan ketahanan sosial emosi 1 2 3 Strategi kognitif 9 18 4 Dukungan, kematangan, dan kemerdekaan sosial 11 22 5 Empati 6 12 6 Keterampilan interpersonal dan keterampilan dalam bergaul 17 34 Jumlah 50 100,00 Perkembangan Sosial Emosi Anak dan Kesejahteraan Keluarga Menurut Aber et al. 1997, kesejahteraan keluarga berhubungan dengan perkembangan sosial emosi anak, namun penelitian ini tidak menemukan adanya hubungan yang signifikan antara perkembangan sosial emosi anak dengan kesejahteraan keluarga. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 1 kompetensi emosional dan konsep diri secara umum, 2 dukungan, kematangan, dan kemerdekaan sosial, dan 3 keterampilan interpersonalbergaul dominan dijumpai pada anak contoh yang miskin BPS dan BKKBN dibandingkan dengan anak contoh yang tidak miskin. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa dimensi strategi kognitif dominan dijumpai pada anak contoh yang tidak miskin BPS dan miskin BKKBN, sedangkan dimensi pengaturan diri, keterampilan memecahkan masalah, dan ketahanan sosial emosi dominan ditemukan pada keluarga tidak miskin BPS dan BKKBN. Dimensi perkembangan sosial emosi lainnya adalah empati. Dimensi ini dapat dimiliki oleh anak miskin dan tidak miskin BPS dan BKKBN. Tabel 27 Sebaran keluarga contoh berdasarkan dimensi perkembangan sosial emosi dan kesejahteraan keluarga indikator BPS dan BKKBN Perkembangan sosial emosi BPS BKKBN Total Miskin Tidak miskin Miskin Tidak miskin n n n n n - Kompetensi emosional 4 14,3 2 9,1 6 20,0 0 0,0 6 12,0 - Pengaturan diri 0 0,0 1 4,5 0 0,0 1 5,0 1 2,0 - Strategi kognitif 4 14,3 5 22,7 5 16,7 4 20,0 9 18,0 - Dukungan sosial 7 25,0 4 18,2 6 20,0 5 25,0 11 22,0 - Empati 3 10,7 3 13,6 3 10,0 3 15,0 6 12,0 - Keterampilan bergaul 10 35,7 7 31,8 10 33,3 7 35,0 17 34,0 Total 28 100,0 22 100,0 30 100,0 20 100,0 50 100,0 Perkembangan Sosial Emosi Anak dengan Gaya Pengasuhan Secara umum, gaya pengasuhan tidak berhubungan dengan perkembangan sosial emosi anak. Perkembangan sosial emosi berhubungan signifikan dengan gaya pengasuhan apabila dilihat dari jenisnya. Gaya pengasuhan yang berhubungan signifikan dengan perkembangan sosial emosi anak adalah gaya pengasuhan laissez faire r=-0,914, α=0,01. Tabel 28 Koefisien korelasi antara jenis gaya pengasuhan dan perkembangan sosial emosi Jenis gaya pengasuhan Perkembangan sosial emosi anak Pengabai emosi 0,005 Tidak menyetujui -0,184 Laissez faire -0,914 Pelatih emosi 0,138 Keterangan: = Signifikan pada selang kepercayaan 95 = Signifikan pada selang kepercayaan 99 Hasil penelitian menunjukkan bahwa kompetensi emosional dan konsep diri secara umum dimiliki oleh anak contoh yang berasal dari keluarga yang menerapkan gaya pengasuhan pengabai emosi dan tidak menyetujui. Orang tua yang menerapkan gaya pengasuhan tidak menyetujui juga menghasilkan anak dengan 1 pengaturan diri, keterampilan pemecahan masalah, dan ketahanan sosial emosi, 2 dukungan, kematangan, dan kemerdekaan sosial, dan 3 empati yang dominan Tabel 29. Tabel 29 juga menunjukkan bahwa orang tua yang mengabaikan emosi anak memiliki anak contoh dengan keterampilan interpersonalbergaul yang dominan. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa orang tua yang menerapkan gaya pengasuhan pengabai emosi dan pelatih emosi menghasilkan anak yang memiliki strategi kognitif. Tabel 29 Sebaran keluarga contoh berdasarkan dimensi perkembangan sosial emosi dan gaya pengasuhan Perkembangan sosial emosi Pengabai emosi Tidak menyetujui Laissez faire Pelatih emosi Total n n n n n - Kompetensi emosional 2 33,3 2 33,3 1 16,7 1 16,7 6 100 - Pengaturan diri 0 0,0 1 100,0 0,0 0,0 1 100 - Strategi kognitif 4 44,4 0 0,0 1 11,2 4 44,4 9 100 - Dukungan sosial 2 18,2 6 54,5 1 9,1 2 18,2 11 100 - Empati 1 16,7 4 66,66 1 16,7 0,0 6 100 - Keterampilan bergaul 5 29,4 4 23,5 1 5,9 7 41,2 17 100 Total 14 28,0 17 34,0 5 10,0 14 28,0 50 100 Pengaruh Karakteristik Keluarga, Karakteristik Anak, Kesejahteraan Keluarga, dan Gaya Pengasuhan terhadap Perkembangan Sosial Emosi Anak Usia Sekolah Pengaruh karakteristik keluarga, karakteristik anak, kesejahteraan keluarga, dan gaya pengasuhan terhadap perkembangan sosial emosi anak dianalisis dengan menggunakan regresi linear berganda. Model persamaan regresi yang disusun memiliki koefisien determinasi adjusted R Square sebesar 0,268. Artinya, 26,8 persen varian perkembangan sosial emosi anak dapat dijelaskan oleh perubahan dalam variabel-variabel yang ada di dalam model. Variabel yang dimasukkan dalam model adalah besar keluarga X 1 , usia ibu X 2 , pendidikan ibu X 3 , pendapatan keluarga X 4 , usia anak X 5 , kesejahteraan keluarga berdasarkan indikator BPS D 1 , pekerjaan ibu D 2 , jenis kelamin anak D 3 , dan jenis gaya pengasuhan orang tua D 4 . Hasil analisis regresi linear berganda menunjukkan bahwa dari sembilan variabel yang diduga berpengaruh pada perkembangan anak, hanya ada satu variabel yang berpengaruh signifikan yaitu usia anak Tabel 30. Usia anak berpengaruh signifikan positif terhadap perkembangan sosial emosi anak. Artinya, perkembangan anak akan semakin baik dengan meningkatnya usia anak. Tabel 30 Koefisien regresi karakteristik keluarga, karakteristik anak, kesejahtera- an keluarga, dan gaya pengasuhan terhadap perkembangan sosial emosi anak No Variabel independen Koefisien Sig Tidak terstandarisasi Terstan- darisasi 1 Besar keluarga orang 8,462 -0,100 0,602 2 Usia ibu tahun -0,743 0,013 0,930 3 Pendidikan ibu tahun 0,023 0,097 0,601 4 Pendapatan keluarga Rpbulan -3,539E-6 -0,095 0,628 5 Usia anak tahun 6,409 0,522 0,000 6 Kesejahteraan keluarga berdasarkan indikator BPS 1,651 0,080 0,677 7 Pekerjaan ibu 0=tidak bekerja, 1=bekerja -6,860 -0,131 0,346 8 Jenis kelamin anak 0=laki-laki, 1=perempuan 1,367 0,066 0,619 9 Jenis gaya pengasuhan 0=pengabai emosi, tidak menyetujui, dan laissez faire, 1=pelatih emosi 0,915 0,040 0,826 F 2,993 Sig 0,008 R 0,634 Adjusted R Square 0,268 Keterangan: = Signifikan pada selang kepercayaan 95 = Signifikan pada selang kepercayaan 99 Pembahasan Populasi dalam penelitian ini adalah keluarga petani kayu manis yang memiliki anak usia sekolah di Desa Tamiai, Kecamatan Batang Merangin, Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi. Anak usia sekolah menghabiskan lebih banyak waktu luang mereka di luar rumah dibandingkan ketika mereka masih berusia lebih muda. Anak usia sekolah akan berkunjung dan bersosialisasi dengan teman sebayanya. Anak usia sekolah juga menghabiskan lebih banyak waktu di sekolah dan belajar. Namun, rumah dan orang-orang yang tinggal di dalamnya tetap merupakan bagian penting bagi kehidupan anak. Mempelajari lingkungan anak penting dilakukan untuk memahami anak di dalam keluarga. Perkembangan anak harus dipahami dalam konteks sosialnya. Bronfenbrenner 1979, diacu dalam Parke dan Gauvain 2009 mengemukakan sebuah teori ekologi yang mengidentifikasi lima sistem kontekstual yaitu mikrosistem rumah dan sekolah, mesosistem interaksi dualebih mikrosistem, seperti orang tua-guru, eksosistem tempat kerja orang tua, makrosistem budaya, dan kronosistem yang merepresentasikan kadar stabilitas atau perubahan dalam dunia seseorang. Hal ini dapat mencakup berbagai perubahan dalam komposisi keluarga, tempat tinggal, atau pekerjaan orang tua Papalia et al. 2009. Teori ekologi menjelaskan bahwa perkembangan anak dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satunya adalah keluarga. Parke dan Gauvain 2009 menjelaskan bahwa keluarga berperan penting dalam mengoptimalisasi perkembangan sosial emosi anak melalui sosialisasi. Perkembangan sosial emosi merupakan salah satu aspek perkembangan yang penting pada anak. Anak diharapkan dapat mengatur emosi, memecahkan masalah, dan bergaul. Pada penelitian ini, perkembangan sosial emosi diduga dipengaruhi oleh kesejahteraan keluarga dan gaya pengasuhan. Hal ini didasarkan pada hasil penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa perkembangan sosial emosi anak dipengaruhi oleh kesejahteraan keluarga Aber et al. 1997; Eamon 2001 dan gaya pengasuhan Nurrohmaningtyas 2008; Holden 2010. Keluarga contoh merupakan keluarga yang bekerja sebagai petani kayu manis. Kayu manis merupakan salah satu komoditas ekspor Indonesia. Sampai saat ini Indonesia hanya mengekspor produk kayu manis dalam bentuk kulit kayu cassiavera. Sebagian besar cassiavera yang diekspor diperoleh dari hasil perkebunan rakyat di Kabupaten Kerinci. Meskipun Kabupaten Kerinci merupakan pemasok kulit kayu manis terbesar di Indonesia, namun penelitian ini menunjukkan bahwa kayu manis hanya menyumbang sebesar 8,86 persen terhadap pendapatan keluarga petani kayu manis di Desa Tamiai, Kecamatan Batang Merangin, Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi. Kontribusi kayu manis yang rendah terhadap pendapatan keluarga disebabkan oleh waktu panen yang lama, luas ladang yang sempit, dan harga jual kulit kayu manis yang murah. Kayu manis dipanen sebanyak tiga kali dalam satu musim tanam, yaitu pada saat tanaman berumur enam tahun panen 1, sepuluh tahun panen 2, dan 15 tahun panen 3. Selain itu, luas ladang yang dimiliki oleh petani kayu manis juga sempit sehingga jumlah hasil panen sedikit. Rata-rata luas ladang yang dimiliki oleh keluarga petani kayu manis adalah 1,23 Ha. Masalah lain yang dihadapi keluarga petani kayu manis adalah harga jual kulit kayu manis yang murah. Waktu panen yang lama, luas lahan yang sempit, hasil panen yang sedikit, dan harga jual kuli kayu manis yang murah menyebabkan keluarga petani kayu manis memiliki pendapatan yang rendah. Hal ini sejalan dengan penelitian Wangsa dan Nuryati 2007 yang menyatakan bahwa harga jual kulit kayu manis di dalam negeri masih belum memuaskan, ditambah lagi kondisi pasar yang tidak begitu baik karena daya tampung pasar yang sangat kecil membuat kayu manis terasa semakin pahit bagi petani. Kontribusi kayu manis yang rendah terhadap pendapatan keluarga menyebabkan keluarga petani kayu manis mencari alternatif sumber pendapatan lain untuk menopang hidup keluarga. Alternatif sumber pendapatan keluarga ini dilakukan pada saat menunggu musim panen kayu manis. Salah satu alternatif sumber pendapatan yang dipilih adalah buruh tani. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar pendapatan keluarga petani kayu manis contoh bersumber dari hasil bekerja sebagai buruh tani. Upah yang diterima dari hasil bekerja sebagai buruh tani adalah Rp25.000,00hari. Akan tetapi, pekerjaan sebagai buruh tani tidak tersedia setiap hari sehingga beresiko tinggi jika pendapatan keluarga mengandalkan upah buruh tani. Berkurangnya jumlah hari kerja sebagai buruh tani dapat menurunkan pendapatan keluarga dan berdampak pada rendahnya kesejahteraan keluarga. Pada penelitian ini, kesejahteraan keluarga diukur secara objektif dengan menggunakan indikator garis kemiskinan BPS, keluarga sejahtera BKKBN, dan a simple poverty scorecard for Indonesia. BPS mengukur kesejahteraan keluarga dengan menggunakan garis kemiskinan mengacu pada pengeluaran per kapita per bulan. Pengeluaran keluarga dianggap sebagai cerminan konsumsi keluarga dalam memenuhi kebutuhan keluarga baik pangan maupun bukan pangan. Keluarga dikatakan miskin jika pengeluaran per kapita per bulan kurang dari atau sama dengan garis kemiskinan. Garis kemiskinan yang digunakan dalam penelitian ini adalah garis kemiskinan perdesaan Provinsi Jambi Tahun 2010 yaitu sebesar Rp193.834,00 per kapita per bulan. Berdasarkan garis kemiskinan BPS, lebih dari separuh keluarga contoh 56 merupakan keluarga miskin. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa kesejahteraan keluarga contoh berdasarkan indikator BPS dipengaruhi oleh besar keluarga = -0,955, α=0,01. Besar keluarga berpengaruh signifikan negatif terhadap kesejahteraan keluarga. Keluarga kecil cenderung memiliki pengeluaran per kapita per bulan yang lebih tinggi dibandingkan keluarga besar, dengan kata lain tingkat kesejahteraan pada keluarga kecil berdasarkan indikator BPS lebih baik dibandingkan tingkat kesejahteraan pada keluarga besar. Hal ini sejalan dengan Lewin dan Maurin 2005 yang mengemukakan bahwa besar keluarga merupakan faktor penting yang menentukan kesejahteraan keluarga dan menjadi alat ukur untuk memprediksi tingkat kemiskinan keluarga. Indikator kedua yang digunakan untuk mengukur kesejahteraan keluarga contoh adalah indikator keluarga sejahtera BKKBN. Hasil penelitian menunjuk- kan bahwa keluarga contoh tergolong Keluarga Prasejahtera 50, Keluarga Sejahtera I 10, Keluarga Sejahtera II 2, dan Keluarga Sejahtera III 38. Berdasarkan indikator BKKBN, keluarga dikatakan miskin jika tergolong dalam keluarga prasejahtera dan keluarga sejahtera I. Dengan demikian, tiga per lima keluarga contoh 60 tergolong keluarga miskin berdasarkan indikator BKKBN. Seperti halnya kesejahteraan keluarga berdasarkan indikator BPS, kesejahteraan keluarga berdasarkan indikator keluarga sejahtera BKKBN juga dipengaruhi oleh besar keluarga =-0,710, α=0,05. Besar keluarga juga berpengaruh signifikan negatif terhadap kesejahteraan keluarga berdasarkan indikator keluarga sejahtera BKKBN. Jumlah anggota keluarga berpengaruh pada luas rumah yang menjadi salah satu indikator BKKBN. Menurut BKKBN, luas rumah sekurang-kurangnya 8 m 2 kapita. Jumlah anggota keluarga yang banyak menyebabkan luas rumah per kapita semakin kecil sehingga keluarga berpeluang besar untuk masuk dalam kategori miskin pada indikator BKKBN. Indikator lain yang sulit dipenuhi keluarga contoh adalah terkait keadaan rumah yang ditempati oleh keluarga contoh. Pendapatan keluarga yang rendah menyebabkan keluarga contoh lebih memprioritaskan pengeluaran keluarga untuk memenuhi kebutuhan pangan dibandingkan dengan kebutuhan bukan pangan sehingga keluarga contoh kurang memperhatikan kondisi rumahnya. Akibatnya, rumah yang ditempati keluarga contoh sebagian besar tidak memiliki atap, lantai dan dinding yang baik. Kondisi ini menyebabkan keluarga contoh tidak dapat memenuhi salah satu indikator BKKBN. Sebagian besar proporsi pengeluaran keluarga miskin digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan dibandingkan dengan kebutuhan bukan pangan. Jika pengeluaran untuk pengan lebih besar maka pengeluaran untuk pemenuhan kebutuhan bukan pangan akan semakin kecil. Rendahnya proporsi pengeluaran bukan pangan mengindikasikan bahwa pengeluaran keluarga untuk merawat rumah, membeli aset, dan kebutuhan bukan pangan lainnya sedikit. Hal ini sejalan dengan penelitian Alfiasari 2007 yang menyatakan bahwa semakin sejahtera seseorang maka semakin sedikit alokasi pengeluaran untuk pangan. Sebaliknya, pengeluaran pangan yang semakin besar menunjukkan bahwa keluarga semakin tidak sejahtera. Faktor lain yang juga berpengaruh terhadap kesejahteraan keluarga berdasarkan indikator BKKBN adalah usia ayah =-0,128, α=0,05 dan pendapatan keluarga = 0,000, α=0,05. Keluarga dengan usia ayah yang masih muda memiliki peluang sejahtera lebih besar dibandingkan keluarga dengan usia ayah yang sudah memasuki usia pertengahan dewasa madya. Demikian juga halnya dengan pendapatan keluarga. Keluarga dengan pendapatan yang tinggi memiliki peluang sejahtera yang lebih besar dibandingkan dengan keluarga yang berpendapatan rendah. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Iskandar 2007 yang menyatakan bahwa usia ayah dan pendapatan keluarga berpengaruh signifikan terhadap kesejahteraan keluarga berdasarkan indikator BKKBN. Indikator ketiga yang digunakan untuk mengukur kesejahteraan keluarga adalah indikator a simple poverty scorecard for Indonesia. Indikator ini mengukur kesejahteraan keluarga berdasarkan jumlah skor yang diperoleh keluarga. Rata- rata skor yang diperoleh keluarga contoh adalah 32,90. Hampir seluruh keluarga contoh 94 memperoleh skor kurang dari 50, hanya ada sebagian kecil keluarga contoh 6 yang memperoleh skor lebih dari 50. Hal ini mengindikasikan bahwa keluarga contoh memperoleh skor yang rendah sehingga kemungkinan besar keluarga contoh mengalami masalah kemiskinan. Indikator a simple poverty scorecard for Indonesia tidak dapat mengklasifikasikan keluarga contoh menjadi miskin atau tidak miskin. Hasil dari indikator ini hanya berupa perkiraan keluarga contoh dalam mengalami masalah kemiskinan. Hasil analisis dengan menggunakan indikator a simple poverty scorecard for Indonesia selanjutnya dihubungkan dengan hasil analisis kesejahteraan keluarga berdasarkan indikator BPS dan BKKBN. Hasil uji korelasi menunjukkan ada hubungan yang signifikan positif antara kesejahteraan keluarga berdasarkan indikator a simple poverty scorecard for Indonesia dengan kesejahteraan keluarga berdasarkan indikator BPS r=0,676, α=0,01 dan BKKBN r=0,535, α=0,01. Artinya, jumlah skor yang semakin tinggi dapat meningkatkan kesejahteraan keluarga. Selain itu, penelitian ini juga menunjukkan bahwa sebagian besar keluarga miskin berdasarkan indikator BPS dan BKKBN memiliki skor yang rendah pada indikator a simple poverty scorecard for Indonesia. Hal ini sejalan dengan Chen dan Schreiner 2009 yang menyatakan bahwa keluarga yang memiliki skor tinggi pada indikator a simple poverty scorecard for Indonesia cenderung lebih sejahtera dibandingkan keluarga dengan skor yang rendah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih dari separuh keluarga contoh tergolong dalam kategori miskin berdasarkan pengukuran dengan menggunakan indikator BPS 56 dan BKKBN 60. Hal ini juga didukung oleh hasil analisis dari indikator a simple poverty scorecard for Indonesia yang menyatakan bahwa hampir seluruh keluarga contoh 94 kemungkinan besar mengalami masalah kemiskinan. Artinya, lebih dari separuh keluarga contoh mengalami masalah kemiskinan. Kemiskinan menjadi akar permasalahan dalam keluarga, kemiskinan berpengaruh pada gaya pengasuhan. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa keluarga miskin cenderung menerapkan gaya pengasuhan yang negatif dan kurang efektif Papalia et al. 2009; Berns 1997. Beberapa pendekatan yang dapat digunakan untuk menganalisis gaya pengasuhan telah dikemukakan oleh beberapa tokoh seperti Baumrind 2008, Rohner 1986, serta Gottman dan DeClaire 1997. Penelitian ini menggunakan gaya pengasuhan yang dikemukakan oleh Gottman dan DeClaire 1997. Gottman dan DeClaire 1997 mengemukakan dua jenis gaya pengasuhan yaitu gaya pengasuhan pelatih emosi emotional coaching dan bukan pelatih emosi emotional dismissing. Gaya pengasuhan bukan pelatih emosi terdiri atas gaya pengasuhan pengabai emosi dismissing, tidak menyetujui disapproving, dan laissez faire. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar keluarga contoh cenderung menerapkan gaya pengasuhan tidak menyetujui. Orang tua mengabaikan, tidak menyetujui, dan menegurmenghukum anak atas ekspresi emosinya terutama marah dan sedih. Orang tua yang menerapkan gaya pengasuhan tidak menyetujui menganggap kemarahan sebagai sebuah perlawanan dan perilaku yang tidak hormat sehingga orang tua memberi batasan kepada anak. Selain itu, orang tua juga menganggap kesedihan anak sebagai cara anak untuk mendapatkan perhatian orang tua. Orang tua khawatir kemarahan dan kesedihan anak akan membentuk tabiatperilaku buruk. Gaya pengasuhan bukan pelatih emosi lain yang juga diterapkan oleh orang tua adalah gaya pengasuhan pengabai emosi dan laissez faire. Apabila dijumlahkan, lebih dari dua per tiga keluarga contoh 72 menerapkan gaya pengasuhan bukan pelatih emosi pengabai emosi, tidak menyetujui, dan laissez faire. Temuan ini tentu saja mengindikasikan masih rendahnya pengetahuan orang tua dalam menerapkan gaya pengasuhan yang baik, khususnya dalam pengelolaan emosi negatif anak. Gottman dan DeClaire 1997 menyebutkan bahwa orang tua yang baik seharusnya menerapkan gaya pengasuhan pelatih emosi emotional coaching. Orang tua yang menerapkan gaya pengasuhan pelatih emosi akan menerima emosi negatif yang diperlihatkan anak. Orang tua pelatih emosi akan memanfaatkan emosi negatif anak untuk mengakrabkan diri dengan anak Lagacé-séguin d’Entremont 2006. Sebaliknya, orang tua yang menerapkan gaya pengasuhan bukan pelatih emosi akan membiarkan anak untuk mengatasi emosinya sendiri. Akibatnya, anak tidak belajar mengelola emosi dengan baik dari orang tuanya sehingga orang tua dikatakan gagal dalam mengajarkan kecerdasan emosi pada anak. Hasil analisis regresi logistik menunjukkan bahwa gaya pengasuhan orang tua pada keluarga contoh dipengaruhi oleh pendidikan ibu =1,318, α=0,01. Ibu yang berpendidikan tinggi berpeluang untuk menerapkan gaya pengasuhan yang lebih baik yaitu gaya pengasuhan pelatih emosi. Pendidikan akan meningkatkan pengetahuan ibu dalam mengasuh anak-anaknya. Penelitian sebelumnya menjelaskan bahwa gaya pengasuhan berpengaruh pada perkembangan sosial emosi anak Holden 2010. Perkembangan sosial emosi anak dinilai dari indeks perkembangan sosial emosi. Indeks perkembangan sosial emosi anak contoh berada pada selang 43-92 dengan rata-rata sebesar 71,30 dan standar deviasi 10,35. Rata-rata indeks mengindikasikan bahwa perkembangan sosial emosi anak contoh tidak optimal. Berdasarkan dimensinya, perkembangan sosial emosi dibedakan menjadi 1 kompetensi emosional dan konsep diri, 2 pengaturan diri, keterampilan memecahkan masalah, dan ketahanan sosial emosi, 3 strategi kognitif, 4 dukungan, kematangan, dan kemerdekaan sosial, 5 empati, dan 6 keterampilan interpersonal dan keterampilan dalam bergaul. Jika dilihat dari dimensinya, perkembangan sosial emosi yang dominan pada anak contoh adalah keterampilan interpersonal dan keterampilan dalam bergaul 34. Anak contoh mudah berteman dan mudah memulai percakapan dengan orang lain. Anak contoh juga merasa nyamansenang berada dalam kelompok besar. Selain itu, anak contoh dapat bekerja sama dengan siswa lain dalam mengerjakan tugas sekolah. Penelitian ini menduga bahwa perkembangan sosial emosi dipengaruhi oleh karakteristik keluarga, karakteristik anak, kesejahteraan keluarga, dan gaya pengasuhan. Pengaruh karakteristik keluarga, karakteristik anak, kesejahteraan keluarga, dan gaya pengasuhan terhadap perkembangan sosial emosi dianalisis dengan menggunakan regresi linear berganda. Hasil analisis regresi linear berganda menunjukkan bahwa perkembangan sosial emosi anak dipengaruhi oleh usia anak =6,409, α=0,01. Anak yang usianya semakin besar akan memiliki perkembangan sosial emosi yang lebih baik. Hal ini sejalan dengan Cohn et al. 2009 yang menyatakan bahwa usia berpengaruh signifikan terhadap perkembangan sosial emosi anak. Holden 2010 juga mengemukakan bahwa usia berpengaruh terhadap perkembangan anak. Alasannya, bertambahnya usia menyebabkan terjadinya perubahan pada anak seperti perubahan ukuran fisik tubuh, kemampuan kognitif dan bahasa, kematangan emosi, dan keterampilan sosial. Penelitian sebelumnya juga menunjukkan bahwa perkembangan sosial emosi anak berkaitan dengan kemiskinan. Menurut Aber et al. 1997, kemiskinan berpengaruh pada perkembangan kognitif dan sosial emosi anak. Kemiskinan dapat menghambat keluarga dalam menyediakan fasilitas untuk menstimulasi anak. Anak yang hidup dalam kemiskinan memiliki resiko yang lebih tinggi untuk mengalami masalah perkembangan sosial emosi Eamon 2001. Berns 1997 juga mengemukakan bahwa orang tua pada keluarga miskin lebih fokus pada perilaku anak dibandingkan dengan motivasi, padahal motivasi merupakan salah satu bagian dalam perkembangan emosi anak. Akan tetapi, hasil analisis regresi tidak menemukan adanya pengaruh kesejahteraan keluarga terhadap perkembangan sosial emosi anak. Meskipun hasil analisis regresi tidak menemukan adanya pengaruh gaya pengasuhan terhadap perkembangan sosial emosi anak, namun hasil analisis korelasi menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara gaya pengasuhan laissez faire dengan perkembangan sosial emosi anak r= -0,914, α=0,05. Perkembangan sosial emosi anak pada orang tua laissez faire akan cenderung kurang baik. Hal ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa gaya pengasuhan yang negatif dapat menghambat perkembangan sosial dan emosi anak Alegre dan Benson tahun terbit tidak diketahui; Rude 2002; Grusec 2006; Holden 2010. Penerapan gaya pengasuhan yang baik dapat mengoptimalkan perkembangan anak dan menunjang keberhasilan anak di sekolah Kordi Baharudin 2010. Gottman dan DeClaire 1997 juga menjelaskan bahwa orang tua yang memperhatikan anak dengan baik khususnya emosi negatif marah, sedih, dan lain-lain dapat menghasilkan anak yang percaya diri, belajar dengan baik, dan dapat bergaul dengan orang lain. Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa kemiskinan dan gaya pengasuhan tidak berpengaruh pada perkembangan sosial emosi anak. Hal ini disebabkan oleh anak contoh merupakan anak usia sekolah yang telah memasuki lingkungan yang lebih luas. Anak tidak hanya berada di lingkungan keluarga saja, akan tetapi anak telah mengenal lingkungan lain seperti sekolah, tetangga, teman sebaya peer group, media massa, dan lain-lain. Lingkungan yang ada di sekitar anak ini dapat mempengaruhi pemikiran, perasaan, dan perilaku anak. Anak akan melakukan sesuatu yang dapat diterima oleh lingkungannya. Menurut Bronfenbrenner, lingkungan memiliki peranan yang penting dalam perkembangan kepribadian seorang anak Brooks 2001. Erikson menempatkan anak usia sekolah pada tahapan industry versus inferiority. Pada tahapan ini, anak mulai berinteraksi dengan lingkungan yang lebih luas yaitu tetangga dan sekolah Santrock 2003. Hal ini sesuai dengan hasil pengamatan, anak contoh tidak hanya mengenal lingkungan keluarga namun juga mengenal lingkungan sekolah, teman sebaya, dan lain-lain. Anak contoh lebih banyak menghabiskan waktu di lingkungannya. Pagi dan siang hari anak contoh menghabiskan waktunya di sekolah, sedangkan di sore hari anak contoh mengaji di Taman Pendidikan Alqur’an TPA dan bermain bersama teman-temannya. Hasil pengamatan memperlihatkan bahwa interaksi antara anak contoh dan orang tua juga sedikit karena anak sibuk dengan aktivitasnya sekolah, mengaji, dan bermain dengan teman sebaya, sedangkan orang tua sibuk dengan pekerjaannya dalam mencari nafkah keluarga. Interaksi yang singkat dan lingkungan anak yang semakin luas menyebabkan orang tua bukan lagi satu- satunya teladan role model bagi anak. Ketergantungan anak dengan orang tua semakin menurun. Selain itu, anak juga belajar berbagai hal dari lingkungannya seperti anak belajar dengan guru di sekolah dan TPA, teman sebaya, media massa, dan lingkungan lainnya. Hal ini sejalan dengan Rude 2002 yang memaparkan bahwa selain orang tua, teman sebaya, orang dewasa yang lain, genetik, media, dan lain-lain juga memiliki peranan yang penting dalam perkembangan anak. Lingkungan yang ada di sekitar anak akan mempengaruhi pemikiran, perasaan, dan perilaku anak. Anak akan melakukan sesuatu yang dapat diterima oleh lingkungannya. Dengan demikian, terdapat banyak faktor yang berpengaruh pada perkembangan sosial emosi anak sehingga gaya pengasuhan orang tua tidak berpengaruh signifikan terhadap perkembangan sosial emosi anak. Kemiskinan merupakan akar permasalahan utama dalam keluarga. Masalah kemiskinan berdampak pada gaya pengasuhan dan perkembangan sosial emosi anak. Keluarga yang miskin cenderung menerapkan gaya pengasuhan yang negatif pengabai emosi, tidak menyetujui, dan laissez faire. Selain itu, kemiskinan juga menghambat orang tua dalam memberikan stimulus sehingga perkembangan anak tidak optimal. Penerapan gaya pengasuhan yang negatif menyebabkan orang tua tidak dapat membimbing anak untuk mengatasi emosi negatifnya marah dan sedih. Dengan demikian, kemiskinan membentuk sebuah lingkaran setan yang sulit terputus. Perkembangan sosial emosi anak yang tidak optimal pada masa usia sekolah akan menghambat kesuksesan anak pada tahapan selanjutnya. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Brisbane dan Riker 1965 bahwa setiap tahapan pertumbuhan dan perkembangan yang telah dilalui akan mempengaruhi tahapan selanjutnya. Perkembangan sosial emosi anak yang tidak optimal mengindikasikan bahwa anak belum optimal dalam mengatur emosi dan bergaul dengan orang lain sehingga anak mengalami kesulitan dalam mencapai perkembangan di tahap berikutnya. Perkembangan sosial emosi anak yang optimal diharapkan dapat menghasilkan individu yang memiliki keterampilan bergaul, empati, keterampilan interpersonal, dukungan sosial, keterampilan dalam memecahkan masalah, kompetensi emosional, kematangan sosial, konsep diri secara umum, pengelolaan diri, kemerdekaan sosial, strategi kognitif, dan ketahanan sosial emosi Cohn et al. 2009. Apabila perkembangan sosial emosi tidak optimal maka individu yang dihasilkan juga akan memiliki kualitas yang rendah. Individu yang berkualitas rendah memiliki kemampuan yang terbatas dan pada akhirnya menyebabkan keluarga tetap miskin. Siklus seperti ini akan terus terbentuk jika masalah kemiskinan belum teratasi dengan baik. Keterbatasan Penelitian Pada penelitian ini, peneliti menjumpai keterbatasan yang menjadi kelemahan dalam penelitian ini. Keterbatasan tersebut adalah jumlah sampel yang terbatas sehingga hasil penelitian tidak dapat merepresentasikan keluarga petani kayu manis. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Keluarga petani kayu manis contoh memiliki tingkat kesejahteraan yang rendah. Kesejahteraan keluarga petani kayu manis contoh dipengaruhi oleh besar keluarga, usia ayah, dan pendapatan keluarga per bulan. Besar keluarga berpengaruh signifikan negatif terhadap kesejahteraan keluarga. Keluarga kecil memiliki pengeluaran per kapita yang lebih tinggi dibandingkan dengan keluarga besar sehingga keluarga kecil memiliki peluang sejahtera yang lebih besar dibandingkan dengan keluarga besar. Usia ayah juga berpengaruh signifikan negatif terhadap kesejahteraan keluarga. Keluarga dengan ayah pada usia dewasa awal memiliki peluang sejahtera yang lebih besar dibandingkan keluarga dengan ayah yang sudah memasuki usia pertengahan dewasa madya. Berbeda dengan besar keluarga dan usia ayah, pendapatan keluarga per bulan berpengaruh signifikan positif terhadap kesejahteraan keluarga. Keluarga dengan pendapatan yang tinggi memiliki peluang sejahtera yang lebih besar dibandingkan keluarga dengan pendapatan yang rendah. Keluarga petani kayu manis contoh cenderung menerapkan gaya pengasuhan tidak menyetujui. Orangtua cenderung menolak, tidak menyetujui, dan menegurmenghukum anak atas ekspresi emosi negatifnya marah dan sedih. Gaya pengasuhan orangtua contoh ini tidak dipengaruhi oleh karakteristik anak dan kesejahteraan keluarga. Namun, gaya pengasuhan dipengaruhi oleh pendidikan ibu. Keluarga dengan pendidikan ibu yang tinggi memiliki peluang yang lebih besar untuk menerapkan gaya pengasuhan pelatih emosi dibandingkan keluarga dengan pendidikan ibu yang rendah. Anak contoh memiliki perkembangan sosial emosi yang dominan pada dimensi keterampilan interpersonal keterampilan dalam bergaul. Berdasarkan indeks, anak contoh memperoleh indeks sebesar 71,30±10,35. Hal ini mengindikasikan bahwa per-kembangan sosial emosi anak contoh tidak optimal. Karakteristik keluarga, kesejahteraan keluarga, dan gaya pengasuhan orangtua tidak berpengaruh signifikan pada perkembangan sosial emosi anak. Perkembangan sosial emosi anak dipengaruhi oleh usia anak. Anak yang usianya lebih tua memiliki perkembangan sosial emosi yang lebih baik dibandingkan dengan anak yang usianya lebih muda. Meskipun gaya pengasuhan tidak berpengaruh signifikan terhadap perkembangan sosial emosi anak, namun gaya pengasuhan laissez faire berhubungan signifikan negatif dengan perkembangan sosial emosi anak. Orangtua yang menerapkan gaya pengasuhan laissez faire memiliki anak dengan perkembangan sosial emosi yang rendah. Saran Berdasarkan simpulan yang diambil maka disarankan beberapa hal sebagai berikut: 1. Optimalisasi program keluarga berencana dengan cara meningkatkan pendidikan anak perempuan untuk meningkatkan usia menikah. 2. Meningkatkan keterampilan sebagai alternatif mata pencaharian untuk meningkatkan pendapatan keluarga. 3. Meningkatkan pengetahuan orangtua tentang gaya pengasuhan melalui kegiatan penyuluhan dan pelatihan. Orangtua juga perlu menghindari penerapan gaya pengasuhan laissez faire. 4. Bagi penelitian lebih lanjut agar menghasilkan analisis yang lebih baik, maka: a. Lokasi dan jumlah contoh yang diambil lebih banyak dan beragam sehingga dapat merepresentasikan kondisi keluarga petani kayu manis. b. Penelitian selanjutnya diharapkan juga mengukur mekanisme koping keluarga, gender, beban kerja ibu, alokasi waktu pengasuhan, dan pengaruh faktor eksternal sekolah, teman sebaya, dan budaya terhadap perkembangan sosial emosi. DAFTAR PUSTAKA Aber JL, Bennet NG, Conley DC, Li J. 1997. The effects of poverty on child health and development. Annual Reviews Inc. 18 4: 63-83. Alegre A, Benson M. [tahun terbit tidak diketahui]. The effects of parenting practices in development of children’s emotional intelligence. Blaksburg, VA. Alfiasari. 2007. Analisis ketahanan pangan rumah tangga miskin dan peranan modal sosial: Studi kasus pada rumah tangga miskin di Kecamatan Tanah Sereal dan Kecamatan Bogor Timur, Kota Bogor. [Tesis]. Bogor ID: Institut Pertanian Bogor. Aniri NB. 2008. Analisis tingkat faktor yang berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan keluarga pembudidaya dan nonpembudidaya ikan di Kabupaten Bogor. [Skripsi]. Bogor ID: Institut Pertanian Bogor. Arisandi R, Latifah M. 2008. Analisis persepsi anak terhadap gaya pengasuhan orang tua, kecerdasan emosional, aktivitas, dan prestasi belajar siswa kelas XI di SMAN 3 Sukabumi. JIKK. 1 2: 46-58. Baumrind D. 2008. Parenting for moral growth. The counsil for spiritual and ethical education. 12: 1-6 Behnke A, MacDermid. 2004. Family Well-Being. United States of America US: Purdue University Berns RM. 1997. Child, Family, School, Community: Socialization and Support. United States of America US: Rinehart and Winston, Inc. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2010a. Jumlah dan persentase penduduk miskin menurut provinsi. Jakarta ID: BPS. ________________________. 2010b. Profil kemiskinan Indonesia Maret 2010. Jakarta ID: BPS. [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Kerinci. 2011. Jumlah penduduk Kabupaten Kerinci menurut kecamatan. Kerinci ID: BPS. [BKKBN] Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional. 2009. Profil hasil pendataan keluarga. Jakarta ID: BKKBN Brisbane HE, Riker AP. 1965. The Developing Child. United States of America US: Chas A Bennett Co. Inc. Brooks JB. 2001. Parenting. United States of America US: Mayfield Publishing Company. Burgess EW, Locke HJ. 1960. The Family. Ed ke-2. New York US: American Book Company. Chen S, Schreiner M. 2009. A Simple Poverty Scorecard for Indonesia [internet]. [diunduh 2010 Okt 12]. Tersedia pada: http:www.microfinance. com Indonesia Chon B, Merrell KW, Grant JF, Tom K, Endrulat NR. 2009. Strength-based assessment of social and emotional functioning: SEARS-C and SEARS- A. Annual Meeting of the National Association of School Psychologists. 2009 Feb 27. Boston US . [Disbun] Dinas Perkebunan Kabupaten Kerinci. 2011. Luas areal dan produksi perkebunan Cassiavera Tahun 2010. Kerinci ID: Dinas Perkebunan. Eamon MK. 2001. The effects of poverty on children’s socioemotional development: An ecological systems analysis. Social work. 463: 256- 266. Friedman MM, Bowden VR, Jones EG. 2003. Family Nursing: Research, Theory, and Practice. New Jersey US: Pearson Education, Inc. Goleman D. 2007. Kecerdasan Emosional: Mengapa EI Lebih Penting dari IQ. Hermaya T, penerjemah. Jakarta ID: Gramedia Pustaka Utama. Gottman J, DeClaire J. 1997. The Heart of Parenting: How to Raise an Emotionally Intelligent Child. New York US: Simon and Schuster. Grusec JE. 2006. Parent’s attitudes and beliefs: Their impact on children development. Encyclopedia on early childhood development. Holden GW. 2010. Parenting: A Dynamic Perspective. United States of America US: Sage Publications, Inc. Hoghughi M. 2004. Parenting. Hoghughi M, Long N, editor. Handbook of Parenting. London GB: Sage Publications, Inc. Hurlock EB. 1980. Psikologi perkembangan anak: suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan. Istiwidayanti, Soedjarwo, penerjemah; Silabat RM, editor. Ed ke-5. Jakarta ID: Erlangga Iskandar A. 2007. Analisis praktek manajemen sumberdaya keluarga dan dampaknya terhadap kesejahteraan keluarga di Kabupaten dan Kota Bogor. [Disertasi]. Bogor ID: Institut Pertanian Bogor. Ibung D. 2008. Stress pada Anak 6-12 tahun: Panduan bagi Orang Tua dalam Memahami dan Membimbing Anak. Jakarta ID: PT Elex Media Komputindo. Klein DM, White JM. 1996. Family Theories: An Introduction. United States of America US: Sage Publications, Inc. Kordi A, Baharudin R. 2010. Parenting attitude and style and its effect on children’s school achievements. International Journal of Psychological studies. 22: 217-222. Lagacé-séguin DG, d’Entremont MRL. 2006. The role of child negative affect in the relations between parenting styles and play. Early child development and care. 176 5: 461-477. Lewin AC, Maurin E. 2005. The effect of family size on incentive effects of welfare transfers in two parent families. Sage Publications 629: 507- 529. Muflikhati I. 2010. Analisis dan pengembangan model peningkatan kualitas sumberdaya manusia dan kesejahteraan keluarga di wilayah pesisir Provinsi Jawa Barat. [Disertasi]. Bogor ID: Institut Pertanian Bogor. Megawangi R. 1999. Membiarkan Berbeda? Sudut Pandang Baru tentang Relasi Gender. Bandung ID: Mizan Pustaka. Nurrohmaningtyas S. 2008. Pengaruh gaya pengasuhan dan model sekolah terhadap kecerdasan emosional dan motivasi belajar siswa sekolah dasar. [Skripsi]. Bogor ID: Institut Pertanian Bogor. Papalia DE, Olds SW, Feldman RD. 2009. Human Development Perkembangan Manusia. Marswendy B, penerjemah; Widyaningrum R, editor. Ed ke- 10. Jakarta ID: Salemba Humanika. Parke RD, Gauvain M. 2009. Child Psychology: A Contemporary Viewpoint. New York US: Mc Graw Hill Companies, Inc. Priatini W, Latifah M, Guhardja S. 2008. Pengaruh tipe gaya pengasuhan, lingkungan sekolah, dan peran teman sebaya terhadap kecerdasan emosional remaja. JIKK 11: 43-53. Rambe A, Hartoyo, Karsin ES. 2008. Analisis alokasi pengeluaran dan tingkat kesejahteraan keluarga Studi di Kecamatan Medan Kota, Sumatera Utara. JIKK. 11: 16-27. Rohner R P. 1986. The Warmth Dimention: Foundations of Parental Acceptance Rejection Theory. United States of America US: Sage Publications. Rude SP. 2002. The influence of parents on children’s thoughts, feelings, and behaviors. YMCA. [volume, edisi, dan halaman tidak diketahui]. Safaria T, Saputra N E. 2009. Manajemen Emosi: Sebuah Panduan Cerdas Bagaimana Mengelola Emosi Positif dalam Hidup Anda. Jakarta ID: PT Bumi Aksara. Santrock JW. 2007. Perkembangan Anak. Rachmawati M, Kuswanti A, penerjemah; Hardani W, editor. Edisi ke-11. Jakarta ID: Erlangga. Saarni C, Mumme DL, Campos JJ. 1998. Emotional Development: Action, communication, and understanding dalam buku Handbook of Child Psychology. Damon W, editor. United States of America US: John Wiley Sons, Inc. Setiawati EH. 2007. Analisis gaya pengasuhan, kecerdasan emosional, aktivitas ekstrakurikuler, dan prestasi belajar siswa di SMA Muhammadiyah Cirebon. [Skripsi]. Bogor ID: Institut Pertanian Bogor. Turner JS, Helms DB. 1991. Life Span Development. United States of America US: Holt, Rinehart, and Winston, Inc. Wangsa R, Nuryati S. 2007. Status dan Potensi Pasar Kayu Manis Organik Nasional dan Internasional. [Laporan Penelitian]. Bogor ID: Aliansi Organis Indonesia. Zanden JWV. 1986. Sociology: The core. United States of America US: Alfred A Knope, Inc. Zeitlin MF, Megawangi R, Kramer EM, Colletta ND, Babatunde ED, Garman D. 1995. Strengthening The Family: Implications for International Development. Jepang JP: United Nations University Press. LAMPIRAN Lampiran 1 Peta Lokasi Penelitian Keterangan: 1. Kecamatan Batang Merangin 1 Lampiran 2 Kriteria keluarga sejahtera BKKBN A. Keluarga Prasejahtera adalah keluarga yang belum dapat memenuhi salah satu indikator tahapan keluarga sejahtera I B. Keluarga Sejahtera I adalah keluarga yang dapat memenuhi indikator- indikator berikut: 1. Pada umumnya anggota keluarga makan dua kali sehari atau lebih. 2. Anggota keluarga memiliki pakaian yang berbeda untuk di rumah, bekerjasekolah, dan bepergian. 3. Rumah yang ditempati keluarga memiliki atap, lantai, dan dinding yang baik. 4. Bila ada anggota keluarga yang sakit dibawa ke sarana kesehatan. 5. Bila pasangan usia subur ingin ber KB pergi ke sarana pelayanan kontrasepsi. 6. Semua anak umur 7-15 tahun dalam keluarga bersekolah. C. Keluarga Sejahtera II adalah keluarga yang sudah dapat memenuhi indikator tahapan keluarga sejahtera I indikator 1 sd 6 dan indikator berikut: 7. Pada umumnya anggota keluarga melaksanakan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya. 8. Paling kurang sekali seminggu seluruh anggota keluarga makan dagingikantelur. 9. Seluruh anggota keluarga memperoleh paling kurang satu stel pakaian dalam setahun. 10. Luas lantai rumah paling kurang 8m 2 untuk setiap penghuni satu rumah. 11. Tiga bulan terakhir keluarga dalam keadaan sehat sehingga dapat menjalankan tugas dan fungsi masing-masing. 12. Ada seorang atau lebih anggota keluarga yang bekerja untuk memperoleh penghasilan. 13. Seluruh anggota keluarga umur 10-60 tahun bisa baca tulis latin. 14. Pasangan usia subur dengan anak dua atau lebih menggunakan alat atau obet kontrasepsi. D. Keluarga Sejahtera III adalah keluarga yang sudah memenuhi indikator tahapan keluarga sejahtera II indikator 1 sd 14 dan indikator berikut: 15. Keluarga berupaya untuk meningkatkan pengetahuan agama. 16. Sebagian penghasilan keluarga ditabung dalam bentuk uang maupun barang. 17. Kebiasaan keluarga makan bersama paling kurang seminggu sekali dimanfaatkan untuk berkomunikasi. 18. Keluarga sering ikut dalam kegiatan masyarakat di lingkungan tempat tinggal. 19. Keluarga memperoleh informasi dari surat kabarmajalahradio televisi. E. Keluarga Sejahtera III Plus adalah keluarga yang memenuhi indikator keluarga sejahtera III indikator 1 sd 19 dan indikator berikut: 20. Keluarga secara teratur dengan sukarela memberikan sumbangan materil untuk kegiatan sosial. 21. Ada anggota keluarga yang aktif sebagai pengurus perkumpulan sosialyayasaninstitusi masyarakat. Sumber: BKKBN 2009 Lampiran 3 Kesejahteraan keluarga Indikator a simple poverty scorecard for Indonesia 1. Jumlah anggota keluarga a. Enam orang atau lebih b. Lima orang c. Empat orang d. Tiga orang e. Dua orang f. Satu orang 2. Jumlah anggota keluarga yang berusia 5-18 tahun dan masih sekolah a. Tidak semua, atau tidak ada anak usia 5-18 tahun b. Semua 3. Minggu lalu, jumlah anggota keluarga yang berusia 11 tahun atau lebih yang bekerja a. Tidak ada b. Satu atau dua orang c. Tiga orang d. Empat orang atau lebih 4. Sumber air minum keluarga a. Sumber air minum umum, sungai, air hujan, dan lainnya. b. Fasilitas umum, pipa, atau sumur bor. c. Perusahaan Air minum. 5. Tipe toilet yang dimiliki keluarga a. Lainnya b. Toilet duduk 6. Lantai rumah a. Tanah b. Bukan tanah 7. Langit-langitloteng rumah a. Bambu, lainnya, atau tidak ada loteng b. Beton, kayu, gips, atau asbes 8. Kepemilikan kulkas a. Tidak ada b. Ada 9. Kepemilikan kendaraan bermotor a. Tidak ada b. Ada 10. Kepemilikan televisi a. Tidak ada b. Ada Sumber: Chen dan Schreiner 2009 Lampiran 4 Teori ekologi keluarga Bronfenbrenner Sumber: Santrock 2007 Lampiran 5 Koefisien korelasi antara karakteristik keluarga dengan kesejahteraan keluarga VAR TIPE BSR UMKK UMIST KRJIST PDDKK PDDIST PDBLN PDKPT PGBLN PGKPT ASET BPS BKKBN SCRD TIPE 1 BSR 0.294 1 UMKK -0.170 0.130 1 UMIST -0.241 0.202 0.823 1 KRJIST 0.082 -0.043 -0.170 -0,241 1 PDDKK 0.070 0.129 -0.397 -0.255 -0.217 1 PDDIST 0.011 0.125 -0.200 -0.147 -0.131 0.667 1 PDBLN 0.068 0.417 -0.081 -0.017 0.035 0.362 0.256 1 PDKPT -0.250 -0.414 -0.184 -0.164 0.106 0.326 0.259 0.592 1 PGBLN 0.066 0.419 -0.081 -0.018 0.028 0.364 0.259 1.000 0.591 1 PGKPT -0.250 -0.411 -0.186 -0.166 0.085 0.329 0.261 0.594 1.000 0.594 1 ASET 0,137 0,210 0,039 0,046 0,235 0,287 0,336 0,514 0,365 0,515 0,366 1 BPS -0.242 -0.450 -0.275 -0.255 0.181 0.228 0.075 0.369 0.747 0.365 0.744 0,139 1 BKKBN -0.015 -0.132 -0.359 -0.257 0.078 0.487 0.128 0.282 0.449 0.284 0.452 0,080 0.456 1 SCRD -0.002 -0.458 -0.256 -0.216 0.032 0.357 0.179 0.236 0.751 0.235 0.749 0,127 0.676 0.535 1 Keterangan: = Signifikan pada selang kepercayaan 95 = Signifikan pada selang kepercayaan 99 TIPE : Tipe keluarga 0=keluarga inti, 1=keluarga luas BSR : Besar keluarga orang UMKK : Umur ayah tahun UMIST : Umur ibu tahun KRJIST : Pekerjaan ibu 0=tidak bekerja, 1=bekerja PDDKK : Pendidikan ayah tahun PDDIST : Pendidikan ibu tahun PDBLN : Pendapatan keluarga Rpbln PDKPT : Pendapatan keluarga Rpkptbln PGBLN : Pengeluaran keluarga Rpbln PGKPT : Pengeluaran keluarga Rpkptbln ASET : Luas ladang kayu manis Ha BPS : Indikator BPS 0=miskin, 1=tidak miskin BKKBN : Indikator BKKBN 1=PraKS, 2=KSI, 3=KSII, 4=KSIII, 5=KSIIIPlus SCRD : Indikator A simple poverty scorecard for Indonesia Lampiran 6 Koefisien korelasi antara karakteristik keluarga dengan gaya pengasuhan dan perkembangan sosial emosi VAR TIPE BSR UMKK UMIST KRJIST PDDKK PDDIST PDBLN PDKPT PGBLN PGKPT ASET JNGP SOSEM KSOSEM TIPE 1 BSR 0.294 1 UMKK -0.170 0.130 1 UMIST -0.241 0.202 0.823 1 KRJIST 0.082 -0.043 -0.170 -0,241 1 PDDKK 0.070 0.129 -0.397 -0.255 -0.217 1 PDDIST 0.011 0.125 -0.200 -0.147 -0.131 0.667 1 PDBLN 0.068 0.417 -0.081 -0.017 0.035 0.362 0.256 1 PDKPT -0.250 -0.414 -0.184 -0.164 0.106 0.326 0.259 0.592 1 PGBLN 0.066 0.419 -0.081 -0.018 0.028 0.364 0.259 1.000 0.591 1 PGKPT -0.250 -0.411 -0.186 -0.166 0.085 0.329 0.261 0.594 1.000 0.594 1 ASET 0,137 0,210 0,039 0,046 0,235 0,287 0,336 0,514 0,365 0,515 0,366 1 JNGP 0.005 0.076 -0.252 -0.245 -0.100 0.492 0.679 0.131 0.123 0.123 0.133 0,294 1 SOSEM -0.310 -0.266 0.104 0.057 -0.198 0.084 0.096 -0.186 0.035 -0.188 0.031 -0,023 0.188 1 KSOSEM -0.255 -0.249 0.157 0.107 -0.167 0.026 0.002 -0.135 0.059 -0.136 0.056 -0,055 0.013 0.848 1 Keterangan: = Signifikan pada selang kepercayaan 95 = Signifikan pada selang kepercayaan 99 TIPE : Tipe keluarga 0=keluarga inti, 1=keluarga luas BSR : Besar keluarga tahun UMKK : Umur ayah tahun UMIST : Umur ibu tahun KRJIST : Pekerjaan ibu 0=tidak bekerja, 1=bekerja PDDKK : Pendidikan ayah tahun PDDIST : Pendidikan ibu PDBLN : Pendapatan keluarga Rpbln PDKPT : Pendapatan keluarga Rpkptbln PGBLN : Pengeluaran keluarga Rpbln PGKPT : Pengeluaran keluarga Rpkptbln ASET : Luas ladang kayu manis Ha JNGP : Jenis gaya pengasuhan 0=bukan pelatih emosi, 1=pelatih emosi SOSEM : Indeks perkembangan sosial emosi KSOSEM : Kategori sosial emosi 1=rendah, 2=sedang, 3=tinggi Lampiran 7 Koefisisen korelasi antara karakteristik anak dengan gaya pengasuhan dan perkembangan sosial emosi Var Umank Gender Urtlhr Jngp Sosem Umank 1 Gender 0.122 1 Urtlhr -0.155 0.054 1 Jngp 0.007 -0.194 -0.207 1 Sosem 0.582 0.106 -0.102 0.188 1 Keterangan: = Signifikan pada selang kepercayaan 95 = Signifikan pada selang kepercayaan 99 Umank : Usia anak tahun Gender : Jenis kelamin anak 0=laki-laki, 1=perempuan Urtlhr : Urutan kelahiran anak 1= anak sulung, 2=anak tengah, 3=anak bungsu Jngp : Jenis gaya pengasuhan 0=pengabai emosi, tidak menyetujui, dan laissez faire, 1=pelatih emosi Sosem : Indeks perkembangan sosial emosi Lampiran 8 Koefisisen korelasi antara kesejahteraan keluarga, gaya pengasuhan, dan perkembangan sosial emosi anak Var BPS BKKBN SCRD Jngp Sosem BPS 1 BKKBN 0.456 1 SCRD 0.676 0.535 1 Jngp 0.075 0.038 0.121 1 Sosem 0.018 -0.162 0.109 0.188 1 Keterangan: = Signifikan pada selang kepercayaan 95 = Signifikan pada selang kepercayaan 99 BPS : Indikator BPS 0=miskin, 1=tidak miskin BKKBN : Indikator BKKBN 1=PraKS, 2=KSI, 3=KSII, 4=KSIII, 5=KSIIIPlus SCRD : Indikator a simple poverty scorecard for Indonesia Jngp : Jenis gaya pengasuhan 0=pengabai emosi, tidak menyetujui, dan laissez faire, 1=pelatih emosi Sosem : Indeks perkembangan sosial emosi RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Tanah Kampung, Kota Sungai Penuh, Provinsi Jambi pada tanggal 8 Maret 1990. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara pasangan Suryani, S.Pd dan Suryalis, S.Pdi. Pada Tahun 2007, penulis menamat- kan sekolah menengah atas di SMA Negeri 4 Sungai Penuh, Jambi. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan strata satu ke Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Beasiswa Utusan Daerah BUD Provinsi Jambi. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam berbagai organisasi di kampus seperti Staf pada Departemen Politik, Kebijakan Strategis, dan Advokasi Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor BEM I periode 20082009, Staf pada Kementerian Kebijakan Daerah Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa Institut Pertanian Bogor BEM KM IPB periode 20092010, dan Staf pada Divisi Human Resources Himpunan Mahasiswa Ilmu keluarga dan Konsumen HIMAIKO periode 20092010. Selain itu, penulis juga aktif dalam organisasi mahasiswa daerah yakni Ikatan Mahasiswa Kerinci Bogor IMKB dan Himpunan Mahasiswa Jambi HIMAJA. ABSTRACT ELMANORA. Family welfare, parenting style, and school-aged children’s social emotional development of cinnamon farmer at Tamiai, Kerinci, Jambi. Supervised by ISTIQLALIYAH MUFLIKHATI and ALFIASARI. The aim of the research was to analyze the influence of family and child characteristics, family welfare, and parenting style toward school-aged children’s social emotional development in cinnamon farmer families at Tamiai, Kerinci District, Jambi. This research involved 50 families that were selected randomly. The samples were chosen from families of cinnamon farmer in study site who had school-aged children fourth, fifth, and sixth grade in elementary school. Data collected by interview and self report with questionnaire. Family welfare was indicated by using three indicators those were BPS, BKKBN, and a simple poverty scorecard for Indonesia. Parenting style were measured by emotional coaching instrument. Children’s social emotional development were measured by Social Emotional Assets and Resiliency Scales A SEARS A. Data was analyzed by descriptive and regression analysis. The results showed that the families had low welfare based on the third indicators. Mostly parent in this research applied disapproving parenting style 34. Persentage of children’s social emotional development scores were 71,30±10,35. Family welfare was influenced by family size, father’s age, and family income. Parenting style was influenced by mother’s education. Laissez faire style correlated negative significant with children’s social emotional development. Children’s social emotional development were influenced by their age. Keywords: family welfare, parenting style, social emotional development ABSTRAK ELMANORA. Kesejahteraan keluarga, gaya pengasuhan, dan perkembangan sosial emosi anak usia sekolah pada keluarga petani kayu manis di Tamiai, Kerinci, Jambi. Dibimbing oleh ISTIQLALIYAH MUFLIKHATI dan ALFIASARI. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh karakteristik keluarga, karakteristik anak, kesejahteraan keluarga, dan gaya pengasuhan terhadap perkembangan sosial emosi anak usia sekolah pada keluarga petani kayu manis di Tamiai, Kabupaten Kerinci, Jambi. Penelitian ini melibatkan 50 keluarga yang dipilih secara acak. Contoh adalah keluarga petani kayu manis yang memiliki anak usia sekolah kelas IV, V, dan VI sekolah dasar. Pengambilan data dilakukan dengan teknik wawancara dan laporan diri dengan menggunakan kuesioner. Kesejahteraan keluarga diukur dengan menggunakan tiga indikator yaitu BPS, BKKBN, dan a simple poverty scorecard for Indonesia. Gaya pengasuhan diukur dengan instrumen emotional coaching. Perkembangan sosial emosi anak diukur dengan Social Emotional Assets and Resiliency Scales A SEARS A. Data dianalisis dengan analisis deskriptif dan regresi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keluarga contoh memiliki tingkat kesejahteraan yang rendah berdasarkan tiga indikator yang digunakan. Sebagian besar orangtua dalam penelitian ini menerapkan gaya pengasuhan tidak menyetujui 34. Persentase skor perkembangan sosial emosi anak adalah 71,30±10,35. Kesejahteraan keluarga dipengaruhi oleh besar keluarga, usia ayah, dan pendapatan keluarga. Gaya pengasuhan dipengaruhi oleh pendidikan ibu. Gaya pengasuhan laissez faire berhubungan signifikan negatif dengan perkembangan sosial emosi anak. Perkembangan sosial emosi anak dipengaruhi oleh usia. Kata kunci: kesejahteraan keluarga, gaya pengasuhan, perkembangan sosial emosi PENDAHULUAN Latar Belakang Kemiskinan merupakan fenomena sosial yang telah menarik perhatian masyarakat internasional dan belum ada solusi yang tepat untuk mengatasinya. Pembangunan bangsa dikatakan berhasil jika dapat menurunkan jumlah penduduk miskin. Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Tahun 2010 adalah 31 juta jiwa atau sebesar 13 persen BPS 2010a. Penduduk miskin ini tersebar di berbagai provinsi, salah satunya adalah Provinsi Jambi. Jumlah penduduk miskin yang berada di Provinsi Jambi adalah 241.600 Jiwa atau 0,78 persen BPS 2010a. Penduduk miskin ini lebih banyak hidup di perdesaan dibandingkan di perkotaan. Penduduk miskin di Provinsi Jambi yang tinggal di perdesaan berjumlah 130.800 jiwa 11,80, sedangkan di perkotaan berjumlah 110.800 jiwa 6,67 BPS 2010a. Penduduk miskin yang hidup di perdesaan ini sebagian besar bermata- pencaharian sebagai petani. Salah satu contohnya adalah petani kayu manis yang berada di Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi. Petani kayu manis merupakan petani tanaman tahunan dengan penghasilan yang rendah. Hasil dari tanaman kayu manis berupa kulit kayu cassiavera yang dapat dimanfaatkan untuk bahan makanan, minuman, dan obat-obatan. Kulit kayu manis merupakan salah satu komoditas ekspor Indonesia. Ironisnya, harga jual kulit kayu manis saat ini masih tergolong murah. Harga jual kulit kayu manis yang murah berdampak pada rendahnya pendapatan keluarga petani kayu manis. Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa pendapatan yang rendah dapat menyebabkan tingkat kesejahteraan keluarga yang rendah Iskandar 2007; Muflikhati 2010. Menurut Behnke dan Macdermid 2004, tidak ada indikator yang sempurna dalam mengukur kesejahteraan keluarga. Hingga saat ini telah banyak indikator yang digunakan untuk mengukur kesejahteraan keluarga, seperti indikator Bank Dunia, Sajogyo, BPS, BKKBN, dan indikator kesejahteraan lainnya. Bank Dunia menggunakan ukuran pendapatan. Keluarga dikatakan miskin jika memiliki pendapatan kurang dari 50 dolar per tahun desa atau 75 dolar per tahun kota. Sajogyo menggunakan pendekatan pengeluaran per kapita per tahun yang disetarakan dengan 240 Kg beras bagi penduduk perdesaan dan 300 Kg beras bagi penduduk perkotaan. Indikator lain yang dapat digunakan untuk mengukur kesejahteraan keluarga adalah garis kemiskinan BPS dan keluarga sejahtera BKKBN. BPS mengukur kesejahteraan keluarga berdasarkan pengeluaran keluarga per kapita per bulan yang dibandingkan dengan garis kemiskinan. Keluarga miskin adalah keluarga yang memiliki pengeluaran per kapita per bulan kurang dari atau sama dengan garis kemiskinan. BKKBN mengukur kesejahteraan pada dimensi yang lebih luas mencakup kemampuan keluarga dalam memenuhi kebutuhan dasar, sosial psikologis, dan pengembangan dengan menggunakan 21 indikator keluarga sejahtera. Selanjutnya, Chen dan Schreiner 2009 mengemukakan cara lain yang dapat digunakan untuk memantau masalah kemiskinan yakni a simple poverty scorecard for Indonesia. Scorecard menggunakan sepuluh indikator yang dapat dikumpulkan dengan mudah dan cepat. Seperti halnya tanggung jawab yang dimiliki oleh sebuah keluarga, keluarga petani kayu manis juga mempunyai tanggung jawab yang sama untuk mendidik dan mengasuh anak menjadi individu yang berkualitas. Masalah kemiskinan akan mempengaruhi keluarga dalam menjalankan tanggung jawabnya. Kemiskinan menyebabkan keluarga kurang memperhatikan tumbuh kembang anak. Keluarga yang miskin akan cenderung menerapkan gaya pengasuhan yang negatif dan kurang efektif Papalia et al. 2009. Apabila keluarga menerapkan gaya pengasuhan yang kurang efektif maka kemungkinan terjadinya ketidak- optimalan perkembangan anak tinggi. Kemiskinan juga berpengaruh pada perkembangan anak. Menurut Aber et al. 1997, kemiskinan berpengaruh pada perkembangan kognitif dan sosial emosi anak. Kemiskinan akan menghambat keluarga dalam menyediakan fasilitas untuk menstimulasi anak. Anak yang hidup dalam kemiskinan memiliki resiko yang lebih tinggi untuk mengalami masalah perkembangan sosial emosi Eamon 2001. Berns 1997 juga mengemukakan bahwa orangtua pada keluarga miskin lebih fokus pada perilaku anak dibandingkan dengan motivasi, padahal motivasi merupakan salah satu bagian dalam perkembangan emosi anak. Perkembangan sosial emosi merupakan salah satu aspek perkembangan yang penting bagi anak. Orangtua berperan penting dalam mengoptimalkan perkembangan sosial emosi anak melalui kegiatan pengasuhan. Menurut Bradley, diacu dalam Holden 2010, salah satu tugas dasar dalam pengasuhan adalah memberikan dukungan sosial emosional. Gaya pengasuhan yang berkaitan dengan perkembangan sosial emosi anak adalah gaya pengasuhan yang dikemukakan oleh Gottman dan DeClaire 1997. Gottman dan DeClaire 1997 mengklasifikasikan gaya pengasuhan menjadi gaya pengasuhan pengabai emosi, tidak menyetujui, laissez faire, dan pelatih emosi. Penelitian sebelumnya menunjukkan ada hubungan yang signifikan positif antara gaya pengasuhan orangtua dengan perkembangan emosi Setiawati 2007; Arisandi et al. 2008; Nurrohmaningtyas 2008. Gaya pengasuhan yang dianggap baik untuk meningkatkan perkembangan sosial emosi anak adalah gaya pengasuhan pelatih emosi. Penelitian lain juga menunjukkan bahwa gaya pengasuhan pelatih emosi berpengaruh signifikan positif terhadap perkembangan emosi Priatini et al. 2008. Menurut Ibung 2008, perkembangan sosial emosi anak rentan pada usia sekolah. Kemampuan bergaul dan mengatur emosi yang baik akan menjadi bekal yang cukup bagi anak untuk berinteraksi dengan lingkungannya. Perkembangan sosial emosi pada usia sekolah akan berdampak pada perkembangan anak pada tahapan berikutnya. Setiap tahapan pertumbuhan dan perkembangan yang telah dilalui akan mempengaruhi tahapan berikutnya Brisbane Riker 1965. Perkembangan sosial emosi merupakan aspek penting dalam perkembangan anak. Pemaparan di atas menjelaskan perkembangan sosial emosi anak berkaitan dengan kesejahteraan keluarga dan gaya pengasuhan. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian untuk menganalisis kesejahteraan keluarga, gaya pengasuhan, dan perkembangan sosial emosi anak petani kayu manis. Perumusan Masalah Kayu manis merupakan tanaman tahunan yang dipanen pada umur enam tahun, sepuluh tahun, dan 15 tahun. Hasil dari tanaman kayu manis berupa kulit kayu casiavera. Satu batang pohon kayu manis akan menghasilkan sekitar 20 Kg kulit kayu Wangsa Nuryati 2007. Harga jual kulit kayu masih tergolong murah. Sejak Tahun 1999 sampai dengan Tahun 2008, harga jual kulit kayu manis berkisar antara Rp2.500,00-Rp5.000,00Kg. Saat ini harga kulit kayu manis berkisar antara Rp3.000,00 sampai dengan Rp6.500,00Kg. Harga kulit kayu manis yang diterima oleh petani disesuaikan dengan jenis kulit yang dihasilkan. Sebagian besar petani kayu manis memiliki lahan yang sempit. Lahan yang sempit akan menurunkan jumlah hasil panen. Hasil panen yang sedikit dan waktu panen yang lama, serta harga jual kulit kayu manis yang murah akan menyebabkan keluarga petani kayu manis berpenghasilan rendah. Pendapatan yang rendah akan memicu terjadinya masalah kemiskinan. Kemiskinan merupakan masalah yang multidimensi. Menurut Bank Dunia 2000, diacu dalam Alfiasari 2007, kemiskinan mencakup empat dimensi yaitu kurangnya kesempatan lack of opportunity, rendahnya kemampuan low capabilities, rendahnya tingkat ketahanan low level of security, dan pemberdayaan empowerment. Kemiskinan menjadi akar permasalahan dalam keluarga. Masalah kemiskinan ini membentuk sebuah lingkaran setan yang sulit terputus. Hal ini disebabkan oleh rendahnya kualitas sumberdaya manusia. Rendahnya kualitas sumberdaya manusia akan menyebabkan terbatasnya kemampuan dalam meningkatkan kesejahteraan yang pada akhirnya menyebabkan manusia tetap miskin Alfiasari 2007. Upaya peningkatan kesejahteraan keluarga sangat diperlukan untuk mengurangi angka kemiskinan. Dengan demikian pemahaman mengenai penyebab kemiskinan penting untuk merumuskan strategi pengentasan kemiskinan. Pengukuran kesejahteraan keluarga pada penelitian ini menggunakan tiga indikator yaitu indikator garis kemiskinan BPS, keluarga sejahtera BKKBN, dan a simple poverty scorecard for Indonesia. Kemiskinan berdampak pada kehidupan keluarga, salah satunya pada pengasuhan. Orangtua yang hidup dalam kemiskinan akan menerapkan pengasuhan yang negatif, seperti mudah marah, kasar, sewenang-wenang, penerapan disiplin yang tidak konsisten, dan lainnya Papalia et al. 2009. Sikap mudah marah yang diperlihatkan orangtua menunjukkan bahwa orangtua tidak memiliki kemampuan mengatur emosi yang baik. Hal ini akan berpengaruh pada anak karena anak belajar berbagai hal dari ucapan dan tingkah laku orangtuanya. Selain berdampak pada gaya pengasuhan, kemiskinan juga akan berdampak pada perkembangan anak. Masalah kemiskinan akan menghambat keluarga dalam memberikan stimulus untuk mengoptimalkan perkembangan anak. Salah satu aspek penting dalam perkembangan anak adalah perkembangan sosial emosi anak. Perkembangan sosial emosi anak penting untuk menunjang kesuksesan anak. Anak yang memiliki perkembangan sosial emosi yang baik akan memiliki keterampilan bergaul, empati, keterampilan interpersonal, dukungan sosial, keterampilan dalam memecahkan masalah, kompetensi emosional, kematangan sosial, konsep diri secara umum, pengelolaan diri, kemerdekaan sosial, strategi kognitif, dan ketahanan sosial emosi Cohn et al. 2009. Berdasarkan uraian tersebut, ada beberapa permasalahan yang akan dianalisis dalam penelitian ini, yaitu: 1. Bagaimana kesejahteraan keluarga petani kayu manis? 2. Bagaimana gaya pengasuhan orangtua pada petani kayu manis? 3. Bagaimana perkembangan sosial emosi anak usia sekolah pada keluarga petani kayu manis? 4. Bagaimana pengaruh karakteristik keluarga terhadap kesejahteraan keluarga petani kayu manis? 5. Bagaimana pengaruh karakteristik keluarga, karakteristik anak, dan kesejahteraan keluarga terhadap gaya pengasuhan orangtua pada keluarga petani kayu manis? 6. Bagaimana pengaruh karakteristik keluarga, karakteristik anak, kesejahteraan keluarga, dan gaya pengasuhan terhadap perkembangan sosial emosi anak usia sekolah pada keluarga petani kayu manis? Tujuan Penelitian Tujuan umum penelitian ini adalah untuk menganalisis kesejahteraan keluarga, gaya pengasuhan, dan perkembangan sosial emosi anak usia sekolah pada keluarga petani kayu manis. Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk: 1. Menganalisis kesejahteraan keluarga contoh. 2. Menganalisis gaya pengasuhan keluarga contoh. 3. Menganalisis perkembangan sosial emosi anak usia sekolah pada keluarga contoh. 4. Menganalisis pengaruh karakteristik keluarga terhadap kesejahteraan keluarga contoh. 5. Menganalisis pengaruh karakteristik keluarga, karakteristik anak, dan kesejahteraan keluarga terhadap gaya pengasuhan pada keluarga contoh. 6. Menganalisis pengaruh karakteristik keluarga, karakteristik anak, kesejahteraan keluarga, dan gaya pengasuhan terhadap perkembangan sosial emosi anak usia sekolah pada keluarga contoh. Kegunaan Penelitian Penelitian ini berguna bagi berbagai pihak seperti peneliti, institusi, dan pemerintah. Melalui penelitian ini, peneliti dapat mengasah kemampuan berfikir logissistematik dan mengembangkan wawasan mengenai permasalahan yang dihadapi oleh keluarga di masyarakat, khususnya keluarga petani kayu manis. Hasil penelitian ini dapat memperkaya literatur tentang kesejahteraan keluarga, gaya pengasuhan, dan perkembangan sosial emosi anak, serta dapat dijadikan referensi literatur untuk penelitian selanjutnya. Hasil penelitian ini juga dapat digunakan oleh pemerintah sebagai acuanmasukan untuk mengambil kebijakan dalam meningkatkan kesejahteraan keluarga dan kualitas perkembangan sosial emosi anak. TINJAUAN PUSTAKA Keluarga Konsep Keluarga Menurut Undang-undang Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri atas suami isteri; suami isteri dan anaknya; ayah dan anaknya; atau ibu dan anaknya. Menurut U. S. Bureau of the Census, keluarga adalah dua atau lebih individu yang hidup bersama dan dihubungkan oleh kelahiran, perkawinan, atau adopsi Berns 1997; Friedman et al. 2003. Keluarga juga dapat diartikan sebagai sekelompok orang yang dihubungkan oleh ikatan darah, adopsi, perkawinan, atau secara ekonomi bekerja sama Zanden 1986. Burgess dan Locke 1960 mengemukakan empat karakteristik keluarga antara lain: 1 keluarga disatukan oleh ikatan perkawinan, darah, atau adopsi; 2 anggota keluarga hidup bersama di bawah satu atap; 3 saling berinteraksi dan berkomunikasi sehingga menghasilkan peran-peranan sosial; dan 4 keluarga sebagai pemelihara kebudayaan bersama yang diperoleh dari kebudayaan umum. Keluarga menjalankan berbagai fungsi untuk bertahan dalam masyarakat. Fungsi yang dijalankan keluarga sangat beragam. Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1994 menjelaskan bahwa ada delapan fungsi keluarga yaitu keagamaan, sosial budaya, cinta kasih, melindungi, sosialisasi dan pendidikan, reproduksi, ekonomi, dan pembinaan lingkungan. Menurut Berns 1997, keluarga memiliki fungsi ekonomi, sosialisasipendidikan, peran sosial, dan reproduksi. Mattessich dan Hill, diacu dalam Zeitlin et al. 1995 mengemukakan bahwa keluarga berfungsi dalam pemeliharaan fisik, sosialisasi dan pendidikan, mengontrol perilaku sosial dan seksual, memelihara moral keluarga dan memberi motivasi, mengakuisisi anggota keluarga baru melalui prokreasi atau adopsi, serta melepas anggota keluarga dewasa. Keluarga dalam Kerangka Teori Struktural Fungsional Pendekatan struktural fungsional adalah salah satu pendekatan teori sosiologi yang diterapkan dalam institusi keluarga. Selain pendekatan ini, ada beberapa pendekatan lain seperti teori interaksi simbolik, teori pertukaran sosial, teori ekologi keluarga, teori sistem, teori konflik sosial, dan teori perkembangan keluarga Klein White 1996. Pendekatan struktural fungsional mengakui segala keragaman dalam kehidupan sosial yang menjadi sumber utama terbentuknya struktur masyarakat. Pendekatan struktural fungsional dapat dilihat dari dua aspek yakni aspek struktural dan aspek fungsional. Aspek fungsional tidak dapat dipisahkan dari aspek struktural karena keduanya saling berkaitan. Fungsi dalam kata fungsional dikaitkan dengan bagaimana sebuah sistem atau subsistem dalam masyarakat dapat saling berhubungan dan dapat menjadi sebuah kesatuan yang solid Megawangi 1999. Ada tiga elemen utama dalam struktur internal keluarga yaitu status, peran, dan norma sosial. Berdasarkan status sosial, keluarga inti dibagi dalam tiga struktur yakni bapaksuami, ibuisteri, dan anak-anak. Struktur ini dapat juga berupa figur-figur seperti pencari nafkah, ibu rumah tangga, anak balita, anak sekolah, anak remaja, dan lain-lain. Keberadaan status sosial penting untuk memberikan identitas kepada individu, memberi tempat dalam sebuah sistem sosial, serta memberikan rasa memiliki Megawangi 1999. Setiap status sosial memiliki peran masing-masing. Peran sosial menggambarkan peran-peran masing-masing individu sesuai dengan status sosialnya. Peran sosial ini sangat dipengaruhi oleh norma-norma budaya dimana kelompok itu berada. Elemen utama struktur yang ketiga adalah norma sosial. Norma sosial adalah peraturan yang mengatur perilaku individu dalam kehidupan sosialnya. Norma sosial merupakan bagian dari kebudayaan setempat yakni berkaitan dengan pandangan hidup secara umum Megawangi 1999. Kesejahteraan Keluarga Kesejahteraan didefinisikan sebagai kualitas hidup seseorang atau unit sosial lain. Kesejahteraan meliputi tiga konteks yaitu ekonomi, sosial, dan komunitas. Berbagai indikator atau cara pengukuran kesejahteraan keluarga telah digunakan, namun tidak ada indikator yang ideal untuk mengukur kesejahteraan keluarga Behnke MacDermid 2004. Penelitian ini menggunakan tiga indikator kesejahteraan, yaitu indikator garis kemiskinan BPS, keluarga sejahtera BKKBN, dan a simple poverty scorecard for Indonesia. Indikator Garis Kemiskinan BPS. BPS mengukur tingkat kemiskinan dengan menggunakan garis kemiskinan. Menurut BPS 2010b, penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan. Penghitungan garis kemiskinan dilakukan secara terpisah untuk daerah perkotaan dan perdesaan. Setiap daerah memiliki garis kemiskinan yang berbeda satu sama lain. Garis kemiskinan yang digunakan dalam penelitian ini adalah garis kemiskinan Provinsi Jambi Tahun 2010 yaitu Rp193.834,00 per kapita per bulan. Indikator Keluarga Sejahtera BKKBN. BKKBN mengukur kesejahteraan keluarga berdasarkan kemampuan keluarga untuk memenuhi kebutuhan dasar, kebutuhan sosial psikologis, dan kebutuhan pengembangan. BKKBN membagi keluarga sejahtera menjadi lima kelompok yakni keluarga prasejahtera PraKS, keluarga sejahtera I KS I, keluarga sejahtera II KS II, keluarga sejahtera III KS III, dan keluarga sejahtera III Plus KS III Plus BKKBN 2009. Keluarga dikatakan prasejahtera jika belum dapat memenuhi kebutuhan dasarnya secara minimal, seperti kebutuhan spiritual, pangan, papan, dan kesehatan. Indikator a Simple Poverty Scorecard for Indonesia. Indikator a simple poverty scorecard for Indonesia digunakan untuk memperkirakan tingkat kemiskinan berdasarkan skor yang diperoleh keluarga Chen Schreiner 2009. Chen dan Schreiner 2009 menyusun sepuluh pertanyaan yang dirumuskan berdasarkan hasil Susenas 2007. Pertanyaan tersebut berkaitan dengan jumlah anggota keluarga, jumlah anggota keluarga yang masih sekolah, jumlah anggota keluarga yang bekerja, sumber air minum keluarga, tipe toilet, lantai rumah, langit-langit rumah, kepemilikan kulkas, kepemilikan kendaraan bermotor, dan kepemilikan televisi. Kelebihan instrumen ini adalah data dapat dikumpulkan dengan cepat dan mudah. Menurut Chen dan Schreiner 2009, a simple poverty scorecard for Indonesia merupakan cara praktis yang dapat digunakan untuk mengukur kemiskinan di Indonesia. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Keluarga Penelitian tentang kesejahteraan keluarga umumnya dilakukan secara parsial dengan menggunakan berbagai indikator. Berdasarkan indikator BPS, kesejahteraan keluarga di Kota dan Kabupaten Bogor dipengaruhi oleh pendidikan isteri, kepemilikan aset, pendapatan, pekerjaan kepala keluarga, dan perencanaan keluarga Iskandar 2007. Pendidikan isteri, kepemilikan aset, dan pendapatan berpengaruh signifikan positif terhadap kesejahteraan keluarga, sedangkan pekerjaan kepala keluarga dan perencanaan keuangan berpengaruh signifikan negatif terhadap kesejahteraan keluarga. Rambe et al. 2008 juga menemukan pengaruh yang signifikan positif pendidikan kepala keluarga terhadap kesejahteraan keluarga di Kecamatan Medan Utara, Sumatera Utara. Aniri 2008 juga menemukan adanya pengaruh besar keluarga dan pendapatan keluarga terhadap kesejahteraan keluarga pembudidaya dan nonpembudidaya ikan di Kabupaten Bogor. Besar keluarga berpengaruh signifikan negatif terhadap kesejahteraan keluarga, sedangkan pendapatan keluarga berpengaruh signifikan positif. Selain menggunakan indikator BPS, penelitian sebelumnya juga menggunakan indikator BKKBN. Berdasarkan indikator BKKBN, kesejahteraan keluarga dipengaruhi oleh variabel demografi jumlah anggota keluarga dan usia, sosial pendidikan kepala keluarga, ekonomi pendapatan, pekerjaan, kepemilikan aset, dan tabungan, manajemen sumberdaya keluarga, dan lokasi tempat tinggal Iskandar 2007. Usia isteri, pendidikan kepala keluarga, pendidikan isteri, pekerjaan isteri, kepemilikan aset, dan kepemilikan tabungan berpengaruh signifikan positif terhadap kesejahteraan keluarga, sedangkan besar keluarga, umur kepala keluarga, perencanaan keuangan, dan keadaan tempat tinggal berpengaruh negatif terhadap kesejahteraan keluarga. Kesejahteraan keluarga juga dipengaruhi oleh pendidikan ibu Aniri 2008. Pendidikan ibu berpengaruh signifikan positif terhadap kesejahteraan keluarga. Keluarga dengan ibu yang berpendidikan tinggi memiliki peluang sejahtera dibandingkan keluarga dengan ibu yang berpendidikan rendah. Penelitian sebelumnya juga menggunakan indikator lain untuk mengukur kesejahteraan keluarga, seperti indikator BPS, BKKBN, World Bank, dan sosial metrik Muflikhati 2010. Hasil penelitian Muflikhati 2010 juga menemukan adanya pengaruh pendapatan keluarga, aset, besar keluarga terhadap kesejahteraan keluarga berdasarkan indikator dan tingkat pendidikan kepala keluarga terhadap kesejahteraan keluarga di wilayah pesisir Provinsi Jawa Barat. Gaya Pengasuhan Menurut Hoghughi 2004, pengasuhan parenting berasal dari bahasa latin yaitu “parere” yang artinya membangunmendidik. Pengasuhan child rearing adalah pengalaman, keterampilan, kualitas, dan tanggung jawab sebagai orangtua dalam mendidik, merawat, dan mengasuh anak. Jerome Kagan, seorang psikolog perkembangan mengartikan pengasuhan sebagai penerapan serangkaian keputusan tentang sosialisasi: mengenai apa yang seharusnya dilakukan orangtua untuk menghasilkan anak yang bertanggung jawab, anak yang dapat berkontribusi dalam masyarakat, serta bagaimana orangtua memberi respon ketika anak menangis, berbohong, marah, dan tidak berprestasi di sekolah Berns 1997. Beberapa pendekatan yang dapat digunakan untuk menganalisis gaya pengasuhan telah dikemukakan oleh beberapa tokoh seperti Baumrind 2008, Rohner 1986, serta Gottman dan DeClaire 1997. Menurut Baumrind 2008, gaya pengasuhan dikategorikan menjadi gaya pengasuhan tak terikat unengaged, serba membolehkan permissive, otoriter authoritarian, dan demokratis authoritative. Berbeda dengan Baumrind, Rohner 1986 mengkategorikan gaya pengasuhan menjadi gaya pengasuhan menerima dan gaya pengasuhan menolak berdasarkan Teori Penolakan dan Penerimaan Orangtua Parental Acceptance- Rejection Theory. Gaya pengasuhan lainnya dikemukakan oleh Gottman dan Declaire 1997. Gottman dan DeClaire 1997 mengkategorikan gaya pengasuhan ke dalam empat kategori yaitu gaya pengasuhan pengabai emosi dismissing, gaya pengasuhan tidak menyetujui disapproving, gaya pengasuhan laissez faire, dan pelatih emosi emotional coaching. Gaya pengasuhan pengabai emosi dismissing adalah gaya pengasuhan pada orangtua yang tidak mengindahkan, tidak mau mengenal, atau mengabaikan emosi negatif anak Gottman DeClaire 1997. Emosi negatif yang dimaksud adalah marah dan sedih. Dampak dari penggunaan gaya pengasuhan pengabai emosi pada anak adalah anak belajar bahwa perasaannya salahtidak pantas dan anak akan mengalami kesulitan dalam mengatur emosi sendiri. Gaya pengasuhan tidak menyetujui disapproving adalah gaya pengasuhan pada orangtua yang memberikan sedikit empati ketika anak menunjukkan emosi negatifnya, namun mereka mengabaikan, menolak, tidak menyetujui, dan menegurmenghukum anak atas ekspresi emosinya Gottman DeClaire 1997. Dampak dari penerapan gaya pengasuhan ini pada anak adalah sama dengan anak yang dihasilkan dari orangtua yang menerapkan gaya pengasuhan pengabai emosi. Gaya pengasuhan laissez faire adalah gaya pengasuhan pada orangtua yang menerima emosi anak dan berempati pada anak, tetapi tidak memberikan bimbingan atau menentukan batas pada tingkah laku anak Gottman DeClaire 1997. Dampak penerapan gaya pengasuhan ini adalah anak tidak belajar mengatur emosi mereka, bermasalah dalam hal konsentrasi, membentuk persahabatan, dan bergaul dengan anak-anak lain. Gaya pengasuhan pelatih emosi emotional coaching adalah gaya pengasuhan pada orangtua yang memperhatikan emosi anak. Dampak penggunaan gaya pengasuhan pelatih emosi pada anak adalah anak belajar untuk mempercayai perasaan mereka, belajar mengatur emosi mereka sendiri, dan belajar menyelesaikan masalah. Anak yang dihasilkan dari gaya pengasuhan pelatih emosi ini adalah anak yang memiliki rasa percaya diri yang tinggi, belajar dengan baik, dan bergaul dengan baik dengan orang lain. Gaya pengasuhan dipengaruhi oleh banyak faktor, baik faktor internal maupun faktor eksternal. Salah satunya adalah pengalaman masa lalu yang menjadi bagian dari sejarah kehidupan manusia. Belksy, diacu dalam Holden 2010 telah membangun sebuah model yang berisi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap gaya pengasuhan Gambar 1. Gaya pengasuhan dipengaruhi oleh sejarah perkembangan, kepribadian, kualitas perkawinan, pekerjaan, jaringan sosial, dan karakteristik anak. Gaya pengasuhan akan berpengaruh pada perkembangan anak. Gambar 1 Faktor penentu pengasuhan Belsky, diacu dalam Holden 2010 Perkembangan Sosial Emosi Anak Usia Sekolah Anak usia sekolah adalah anak yang berada pada usia kelompok gang age dan merupakan periode aktif dalam pembentukan kepribadian dan perkembangan sosial Turner Helms 1991. Anak usia sekolah dalam teori kognitif Piaget termasuk pada tahapan operasional konkret Santrock 2007. Periode ini merupakan awal dari anak berpikir rasional, artinya anak memiliki operasi-operasi logis yang dapat diterapkannya pada masalah-masalah konkret. Teori perkembangan psikososial Erik Erikson menempatkan anak usia sekolah pada tahap kerajinan industry versus inferiority. Pada tahapan ini, imajinasi dan antusias anak meningkat. Anak mengarahkan energinya untuk menguasai pengetahuan dan keterampilan intelektual. Hal yang membahayakan dalam tahapan ini adalah perasaan tidak kompeten dan tidak produktif pada anak Santrock 2007. Setiap tahap perkembangan memiliki tugas yang harus dilakukan. Menurut Havighurst 1976, diacu dalam Hurlock 1980, tugas-tugas perkembangan yang harus diselesaikan individu pada masa kanak-kanak 6-12 tahun, yaitu 1 mempelajari keterampilan fisik yang diperlukan untuk permainan-permainan yang umum, 2 membangun sikap yang sehat mengenai diri sendiri sebagai makhluk yang sedang tumbuh, 3 belajar menyesuaikan diri dengan teman-teman seusianya, 4 mulai mengembangkan peran sosial pria atau wanita yang tepat, 5 mengembangkan keterampilan-keterampilan dasar untuk membaca, menulis, dan berhitung, 6 mengembangkan pengertian-pengertian yang yang diperlukan untuk Pekerjaan Pengasuhan Sejarah Perkembangan Kepribadian Kualitas Perkawinan Jaringan Sosial Karakteristik Anak Perkembang- an anak kehidupan sehari-hari, 7 mengembangkan hati nurani, pengertian moral, dan tata nilai, 8 mengembangkan sikap terhadap kelompok-kelompok sosial dan lembaga-lembaga, dan 9 mencapai kebebasan pribadi. Perkembangan Sosial Emosi Manusia adalah makhluk yang memiliki rasa dan emosi. Menurut Daniel Goleman 2007, emosi berasal dari kata movere bahasa latin yang berarti “menggerakkanbergerak”. Kata ini ditambah dengan awalan “e” yang berarti “bergerak menjauh”. Menurut Safaria dan Saputra 2009, emosi setiap orang akan mencerminkan keadaan jiwanya dan terlihat pada perubahan jasmaninya, seperti emosi marah. Ketika seseorang marah, maka mukanya akan memerah, napasnya menjadi sesak, otot-otot tangannya akan menegang, dan energi tubuhnya memuncak. Emosi merupakan suatu keadaan atau suatu interaksi yang dianggap penting olehnya terutama well-being dirinya yang menyebabkan munculnya suatu perasaan atau afeksi Saarni et al. 1998. Emosi ini diperlihatkan melalui ekspresi yang menunjukkan rasa senang, takut, marah, sedih, dan lain-lain bergantung pada keadaan yang dialaminya. Saarni et al. 1998 menyatakan bahwa untuk bisa dikatakan kompeten secara emosional, seseorang harus mengembangkan beberapa keterampilan yang berhubungan dengan konteks sosial, yaitu 1 pemahaman tentang keadaan emosi yang dialami, 2 mendeteksi emosi orang lain, 3 menggunakan kosakata yang berhubungan dengan emosi secara tepat sesuai dengan konteks dan budaya tertentu, 4 sensitivitas empatik dan simpatik terhadap pengalaman emosional orang lain, 5 memahami bahwa keadaan emosional di dalam tidak harus selalu berhubungan dengan ekspresi yang tampak di luar, 6 menyesuaikan diri terhadap emosi negatif dengan menggunakan metode pengaturan diri untuk mengurangi durasi dan intensitas dari emosi tersebut, 7 menyadari bahwa ekspresi emosi memiliki peranan yang penting dalam hubungan interpersonal, dan 8 memandang bahwa keadaan emosi diri adalah cara seseorang mengatur emosinya. Emosi berperan penting dalam kehidupan anak karena melalui emosi seseorang mengetahui apa yang dirasakan oleh orang lain. Selain itu, emosi juga akan menunjang kesuksesan individu. Menurut Parke dan Gauvain 2009, perkembangan emosi anak dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya adalah genetik, lingkungan, interaksi dalam keluarga, interaksi dengan teman sebaya, dan faktor lainnya. Penelitian ini menganalisis perkembangan sosial emosi pada anak usia sekolah. Anak usia sekolah berada pada periode aktif dalam pembentukan kepribadian dan perkembangan sosial Turner Helms 1991. Pada usia ini, interaksi antara anak dengan lingkungan semakin kompleks, seperti aktivitas dalam keluarga, aktivitas dengan teman sebaya peer group, aktivitas di sekolah, dan lain-lain. Anak berperilaku sesuai dengan yang diharapkan lingkungannya. Hal ini dilakukan untuk membangun hubungan sosial dengan lingkungannya. Perkembangan sosial erat hubungannya dengan perkembangan emosi. Emosi berperan penting dalam kesuksesan hubungan anak dengan teman sebaya. Anak yang memiliki emosi negatif marah, sedih, takut, malu, dan lain-lain akan mengalami penolakan yang lebih besar dari teman sebaya mereka Stocker Dunn 1990, diacu dalam Santrock 2007. Social Emotional Assets and Resiliency Scales SEARS Perkembangan sosial emosi memiliki peranan yang penting dalam interaksi antara anak dan lingkungannya. Anak diharapkan memiliki kemampuan dalam mengatur emosi dan dapat bergaul dengan orang lain. Salah satu instrumen yang dapat digunakan untuk mengukur perkembangan sosial emosi anak adalah Social Emotional Assets and Resiliency Scales SEARS Cohn et al. 2009. SEARS menggunakan teori berbasis kekuatan individu strength based theory. Pendekatan ini mengukur ketrampilan, kemampuan, dan karakteristik positif individu yang akan membimbing individu dalam berinteraksi sosial dengan lingkungannya Epstein Sharma 1998, diacu dalam Cohn et al. 2009. Menurut Epstein et al. 2001, diacu dalam Cohn et al. 2009, ada empat komponen utama dalam pendekatan berbasis kekuatan individu strength based theory, yaitu 1 semua anak dan keluarga memiliki kekuatan, 2 fokus pada sesuatu yang positif dapat memotivasi dan memicu anak untuk melakukan perubahan yang positif, 3 kekurangan adalah kesempatan untuk belajar, dan 4 menggunakan kekuatan dasar dapat meningkatkan keterlibatan anak. SEARS adalah sistem penilaian yang berdasarkan atas kekuatan yang ada pada individu. SEARS bertujuan untuk menilai sosial emosi yang positif pada anak dan remaja, meliputi pengetahuan dan kemampuan sosial emosi, penerimaan dan hubungan dengan teman sebaya, kelentingan dalam menghadapi masalah, kemampuan melakukan strategi koping, kemampuan dalam memecahkan masalah, empati, konsep diri secara umum, dan sifat positif lainnya Cohn et al. 2009. SEARS dapat digunakan untuk mengukur perkembangan sosial emosi anak usia 5-18 tahun. Responden untuk SEARS adalah anak, guru, dan orangtua dengan menggunakan teknik laporan diri self report. SEARS dibagi dalam empat kategori yaitu SEARS C, SEARS A, SEARS T, dan SEARS P. SEARS C digunakan untuk mengukur perkembangan sosial emosi anak usia 3-6 tahun, sedangkan SEARS A digunakan untuk mengukur perkembangan sosial emosi anak pada usia 7-12 tahun. SEARS T digunakan untuk mengukur perkembangan sosial emosi anak berdasarkan penilaian dari guru, sedangkan SEARS P berdasarkan penilaian dari orangtua. Item pertanyaan yang digunakan dalam SEARS ini berkisar antara 52 sampai dengan 54 item. Penilaian SEARS ini menggunakan skala Likert yaitu tidak pernah, jarang, kadang-kadang, dan hampir selalu. KERANGKA PEMIKIRAN Pembangunan nasional pada hakekatnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga. Pemahaman mengenai faktor yang mempengaruhi kesejahteraan keluarga penting untuk merumuskan program peningkatan kesejahteraan keluarga. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa kesejahteraan keluarga dipengaruhi oleh karakteristik keluarga. Keluarga kecil memiliki peluang sejahtera yang lebih besar dibandingkan dengan keluarga besar. Pendidikan akan berpengaruh terhadap pekerjaan seorang individu. Individu yang berpendidikan tinggi memiliki peluang kerja yang lebih baik dibandingkan dengan individu yang berpendidikan rendah. Selain itu, pendidikan dan pekerjaan juga berkaitan dengan pendapatan keluarga. Pendapatan yang tinggi dapat meningkatkan kesejahteraan keluarga. Selain itu, kesejahteraan keluarga dipengaruhi oleh kepemilikan aset. Keluarga dengan aset yang banyak berpeluang sejahtera lebih besar dibandingkan dengan keluarga dengan aset sedikit. Karakteristik keluarga juga berpengaruh terhadap gaya pengasuhan orangtua. Selain dipengaruhi oleh karakteristik keluarga, gaya pengasuhan orangtua juga dipengaruhi oleh karakteristik anak dan kesejahteraan keluarga. Orangtua yang hidup dalam kemiskinan cenderung menerapkan gaya pengasuhan yang negatif. Apabila gaya pengasuhan yang diterapkan negatif maka sulit bagi orangtua untuk mengoptimalkan perkembangan anak terutama perkembangan sosial emosi. Hasil penelitian sebelumnya juga menunjukkan bahwa gaya pengasuhan berpengaruh terhadap perkembangan anak. Selain dipengaruhi oleh gaya pengasuhan, perkembangan sosial emosi anak juga dipengaruhi oleh kemiskinan. Kemiskinan dapat menghambat keluarga dalam menyediakan fasilitas untuk menstimulasi anak. Anak yang hidup dalam kemiskinan memiliki resiko yang lebih tinggi untuk mengalami masalah perkembangan sosial emosi. Berdasarkan uraian penelitian sebelumnya maka penelitian ini menghasilkan hipotesis: 1 karakteristik keluarga akan berpengaruh terhadap kesejahteraan keluarga, 2 karakteristik keluarga, karakteristik anak, dan kesejahteraan keluarga akan berpengaruh terhadap gaya pengasuhan orangtua, 3 karakteristik keluarga, karakteristik anak, kesejahteraan keluarga, dan gaya pengasuhan akan berpengaruh terhadap perkembangan sosial emosi anak. Gambar 1 Kerangka pemikiran konseptual Karakteristik keluarga: 1. Tipe keluarga 2. Besar keluarga 3. Pendidikan ayah ibu 4. Usia ayah ibu 5. Pekerjaan ibu 6. Pendapatan keluarga 7. Pengeluaran keluarga 8. Aset keluarga Karakteristik anak: 1. Umur anak 2. Jenis kelamin 3. Urutan kelahiran Perkembangan sosial emosi 1. Kompetensi emosional 2. Pengaturan diri 3. Keterampilan dalam memecahkan masalah 4. Ketahanan sosial emosi 5. Strategi kognitif 6. Konsep diri secara umum 7. Dukungan sosial 8. Kematangan sosial 9. Kemerdekaan sosial 10. Empati 11. Keterampilan bergaul 12. Keterampilan interpersonal Kesejahteraan keluarga: 1. Indikator garis kemiskinan BPS 2. Indikator keluarga sejahtera BKKBN 3. A simple poverty scorecard for Indonesia Gaya pengasuhan orangtua: 1. Pengabai emosi dismissing 2. Tidak menyetujui disapproving 3. Laissez faire 4. Pelatih emosi emotion coaching METODE PENELITIAN Desain, Lokasi, dan Waktu Penelitian Penelitian ini menggunakan desain cross sectional study, yaitu penelitian yang dilakukan pada satu waktu tertentu. Lokasi penelitian adalah Desa Tamiai, Kecamatan Batang Merangin, Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi. Lokasi penelitian dipilih secara purposive. Desa Tamiai dipilih sebagai lokasi penelitian karena memiliki jumlah penduduk terbanyak di Kecamatan Batang Merangin BPS 2011. Kecamatan Batang Merangin dipilih berdasarkan jumlah keluarga petani kayu manis. Menurut Dinas Perkebunan Kabupaten Kerinci 2011, Kecamatan Batang Merangin merupakan kecamatan yang memiliki jumlah keluarga petani kayu manis terbanyak di Kabupaten Kerinci. Lokasi penelitian dapat dilihat pada Lampiran 1. Kegiatan penelitian terdiri atas penyusunan proposal penelitian, pengambilan data di lapangan, pengolahan data, analisis data, dan penulisan laporan hasil penelitian. Waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan kegiatan penelitian ini adalah delapan bulan terhitung mulai dari Januari 2011 hingga Agustus 2011. Pengambilan data di lapangan dilakukan selama empat minggu yakni sejak minggu kedua bulan Maret 2011 sampai dengan minggu pertama bulan April 2011. Jumlah dan Cara Pengambilan Contoh Populasi dalam penelitian ini adalah keluarga petani kayu manis di Desa Tamiai yang memiliki anak usia sekolah. Desa Tamiai terdiri atas tujuh dusun yang kemudian dipilih dua dusun secara purposive untuk menjadi lokasi penelitian. Dusun yang terpilih adalah Dusun Lamo dan Kampung Dalam. Dua dusun ini dipilih karena memiliki keluarga petani kayu manis terbanyak dibandingkan dengan dusun lainnya. Contoh dalam penelitian ini dipilih secara acak sederhana simple random sampling. Menurut data monografi desa, Desa Tamiai memiliki 217 anak Sekolah Dasar. Data anak usia sekolah yang terdapat di setiap dusun tidak tersedia sehingga perlu dilakukan pendataan keluarga yang memiliki anak usia sekolah khususnya di Dusun Lamo dan Kampung Dalam. Hasil pendataan awal yang dilakukan peneliti menunjukkan bahwa 34 keluarga di Dusun Lamo dan 32 keluarga di Kampung Dalam yang memenuhi syarat untuk menjadi kerangka contoh. Setiap dusun diambil contoh secara acak sebanyak 25 keluarga, sehingga jumlah seluruh contoh adalah 50 keluarga. Alur penentuan lokasi dan contoh penelitian disajikan pada Gambar 2. Gambar 2 Alur penentuan lokasi dan contoh penelitian Jenis dan Cara Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer meliputi karakteristik keluarga tipe keluarga, besar keluarga, usia ayah ibu, pendidikan ayah ibu, pekerjaan ibu, pendapatan keluarga, pengeluaran keluarga, dan kepemilikan aset, karakteristik anak usia, jenis kelamin, dan urutan kelahiran anak, kesejahteraan keluarga, gaya pengasuhan orangtua pengabai emosi, tidak menyetujui, laissez faire, dan pelatih emosi, dan perkembangan sosial emosi anak pada keluarga petani kayu manis. Variabel, dimensi pengukuran, jenis, responden, dan cara pengumpulan data disajikan dalam Tabel 1. Data sekunder diperlukan untuk memperkaya dan menunjang analisis data primer. Data sekunder diperoleh dari instansi terkait, yaitu Kantor Badan Pusat Statistik Kabupaten Kerinci, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kerinci, Kantor Kecamatan Batang Merangin, dan Kantor Desa Tamiai. Adapun data sekunder yang dikumpulkan mencakup data keadaan umum daerah penelitian keadaan geografis, administratif, kependudukan, sarana, dan prasarana serta data luas areal dan produksi perkebunan kayu manis. purposive acak sederhana Desa Tamiai Dusun Lamo 34 KK Kampung Dalam 32 KK 25 KK 25 KK Tabel 1 Variabel, dimensi pengukuran, jenis dan cara pengumpulan data No Variabeldimensi pengukuran Jenis data Responden Cara pengumpulan 1 Karakteristik keluarga - Tipe keluarga 0=keluarga inti, 1=keluarga luas nominal ibu wawancara - Besar keluarga rasio ibu wawancara - Usia ayah ibu rasio ibu wawancara - Pendidikan ayah ibu rasio ibu wawancara - Pekerjaan ibu 0=tidak bekerja, 1=bekerja nominal ibu wawancara - Pendapatan keluarga rasio ibu wawancara - Pengeluaran keluarga rasio ibu wawancara - Kepemilikan aset rasio ibu wawancara 2 Karakteristik anak - Usia anak rasio ibu wawancara - Jenis kelamin 1=laki-laki, 2=perempuan nominal ibu wawancara - Urutan kelahiran 1=anak tunggal, 2=anak sulung, 3=anak tengah, 4=anak bungsu ordinal ibu wawancara 3 Kesejahteraan keluarga - Indikator BPS rasio ibu wawancara - Indikator BKKBN interval ibu wawancara - Indikator a simple poverty scorecard for Indonesia rasio ibu wawancara 4 Gaya pengasuhan orangtua - Pengabai emosi rasio ibu self report - Tidak menyetujui rasio ibu self report - Laissez faire rasio ibu self report - Pelatih emosi rasio ibu self report Jenis gaya pengasuhan 0=bukan pelatih emosi, 1=pelatih emosi ordinal ibu self report 5 Perkembangan sosial emosi anak rasio anak self report Pengukuran dan Penilaian Variabel Penelitian Variabel dalam penelitian ini ditetapkan berdasarkan atas kerangka pemikiran penelitian. Pengukuran variabel penelitian disesuaikan untuk menjawab tujuan penelitian. Variabel dalam penelitian ini adalah karakteristik keluarga, karakteristik anak, kesejahteraan keluarga, gaya pengasuhan, dan perkembangan sosial emosi anak. Pengukuran dan penilaian variabel penelitian dapat dijelaskan sebagai berikut:

A. Karakteristik Keluarga