commit to user
BAB II IDENTIFIKASI DATA
A. Data Produk
1. Pengertian Kampanye dan Budaya
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia pengertian Kampanye adalah salah satu kegiatan pemasaran yang dilakukan untuk memperkenalkan suatu
barang atau jasa dengan tujuan menjual produk atau jasa tersebut. Sedangkan Kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta, yaitu buddhayah yang merupakan
bentuk jamak dari buddhi budi atau akal diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan dengan budi dan akal. Kebudayaan didefinisikan sebagai
sistem pengetahuan yang meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu
bersifat abstrak. Menurut E.B Taylor, tokoh antropologi modern, budaya adalah
keseluruhan yang kompleks yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, kesusilaan, hukum, adat, dan setiap kemampun dan kebiasaan lainnya yang
sebagai anggota masyarakat. Dan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, budaya diartikan sebagai sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan yang sudah
sukar diubah. Sebenarnya definisi masing-masing tokoh terhadap budaya atau kebudayaan berbeda-beda. Hal ini mungkin disebabkan karena adanya
perbedaan pandangan tiap-tiap ahli. Namun dari sekian definisi yang muncul, sebenarnya ada beberapa titik yang menjadi variabel dominan dan disebut
5
commit to user
hampir di setiap definisi budaya, antara lain unsur kebiasaan, nilai anutan, karya cipta manusia, dan jati diri komunitas tertentu.
2. Perkembangan Budaya Jawa pada Generasi Muda Kota Surakarta
Di Kota Surakarta sendiri kebudayaan Jawa cukup memprihatinkan, dalam perkembangannya selalu kalah oleh kebudayaan modern yaitu
kebudayaan barat yang lebih dianggap keren dan nyaman untuk dikonsumsi oleh masyarakat terutama para remaja kota Surakarta.
Apabila mencermati perkembangan remaja akhir-akhir ini di Kota Surakarta, memang patut untuk mengelus dada. Remaja Surakarta telah hilang
Solo-nya. Segala bentuk modernisasi mereka telan mentah-mentah tanpa filterisasi. Hal ini terlihat jelas dari gaya hidup mereka yang semakin jauh
meninggalkan budaya luhur masyarakat Jawa. Semakin lama, semakin kecil saja persentase remaja yang masih memperhatikan tata krama Jawa yang
tercermin dari tutur kata dan perilaku mereka. Ini baru sebatas kasat mata. Jika digali lebih dalam, akan semakin miris
dengan “kebutaan” remaja Solo akan khazanah budaya daerahnya sendiri. Coba saja cari beberapa remaja asli Solo, kemudian minta untuk membaca
aksara Jawa, atau coba untuk berbicara dengan bahasa krama inggil, juga mungkin menyanyikan salah satu langgam Jawa, bisa dipastikan yang
melakukannya dengan baik dan benar dapat dihitung. Ironis memang, di tengah gencar-gencarnya Pemerintah kota Surakarta
mendengungkan jargon Solo The Spirit of Java, para remaja Kota Surakarta
commit to user
justru berbangga dengan Western Culture yang mereka tunjukkan di kehidupan sehari-hari. Mereka lebih bangga berbicara dengan bahasa bahasa
gaul daripada berbahasa Jawa. Bahkan banyak remaja yang gagap berbicara bahasa Jawa halus krama inggil untuk berkomunikasi dengan orang yang
lebih tua. Remaja Solo juga lebih gemar menonton di bioskop menyaksikan ketoprak atau pagelaran seni tradisional lainnya. Mereka malu menunjukkan
kalau mereka orang Jawa. Kenyataan-kenyataan pahit yang menimpa remaja Kota Surakarta ini tak
bisa dibiarkan berlarut-larut, harus ada langkah-langkah nyata yang diambil, baik oleh pemerintah, lembaga pendidikan dan masyarakat untuk memecahkan
masalah ini, sebab masuknya budaya asing dalam suatu daerah harus diimbangi dengan pelestarian budaya lokal oleh semua komponen masyarakat,
termasuk di dalamnya generasi muda. Akar dari permasalahan ini sebenarnya adalah remaja Kota Surakarta
mayoritas merasa malu apabila mereka mengenakan atribut dan berperilaku dengan budaya Jawa. Mereka takut dianggap tidak gaul serta ketinggalan
zaman. Maka, solusi yang tepat adalah bagaimana mengemas budaya Solo dalam konteks kekinian atau modern serta selaras dengan dunia remaja.
Budaya harus fleksibel, namun tetap tak kehilangan esensi serta substansi pokok budaya itu sendiri. Dalam mengemas batik contohnya, remaja
semestinya mulai dikenalkan dengan batik-batik yang bercorak sesuai dengan selera mereka. Jika mereka terbiasa mengenakan batik semacam ini dalam
acara-acara resmi, niscaya budaya berbusana batik dapat tertanam dalam diri
commit to user
mereka. Serta dapat menghapus kesan bahwa batik selalu identik dengan kalangan tua.
Kebijakan beberapa sekolah menengah di Solo untuk mewajibkan siswa- siswinya berseragam batik di hari-hari tertentu juga merupakan terobosan
efisien untuk mempopulerkan batik di kalangan remaja. Demikian juga dalam pertunjukan-pertunjukan seni tradisional seperti ketoprak, wayang dan
pagelaran tari, sudah saatnya kesenian-kesenian seperti itu bisa lebih fleksibel, agar memasuki dunia kerja. Lakon-lakon dalam ketoprak tidak melulu
mengangkat cerita pewayangan. Sekali-kali kisah zaman sekarang mulai dipentaskan, agar ketoprak tidak lagi terkesan ndeso dan membuat remaja
enggan menontonnya. Konsep seperti ini juga dapat diaplikasikan pada kesenian lainnya.
Lepas dari itu semua yang tak kalah penting adalah bagaimana mengarahkan remaja berperilaku njawani. Mengenai hal ini Dr Santosa S.Kar
MA M Mus, dosen ISI Solo, menegaskan bahwa budaya itu bukan saja sebatas pada bidang kesenian. Namun di segala aspek kehidupan juga mesti memakai
budaya. Selama ini ada penilaian bahwa berbudaya itu untuk kalangan seniman atau kalangan tertentu saja. Sehingga menyebabkan keengganan
mengenal budaya lebih dalam bagi remaja. Dalam hal ini peran keluarga dan lembaga pendidikan sangatlah vital.
Orangtua dalam mendidik anak selain memberikan pelajaran moral, juga harus memberikan contoh berperilaku yang njawani. Sebab teladan yang diberikan
lebih mudah tertanam dan dihayati daripada sekedar nasehat. Sekolah pun
commit to user
dalam memberikan pelajaran Bahasa Jawa diharapkan tidak sebatas mengenalkan aksara Jawa serta gramatikal bahasanya. Namun lebih dari itu
pelajaran tata krama yang berlandaskan nilai-nilai budaya Jawa yang adiluhung harus lebih ditekankan. Semoga kampanye ini juga bisa menjadi
sebuah alternatif agar remaja Kota Surakarta lebih memahami budaya. Karena bagaimanapun juga mereka yang kelak akan mewarisi budaya Jawa dan
melestarikannya.
3. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Surakarta