TINJAUAN PUSTAKA BAHASA SEBAGAI PENCIRI BUDAYA KAJIAN WACANA POLITIK.

3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Rahayu 2005 dalam hasil penelitiannya mengenai karakteristik pemakaian bahasa dalam spanduk kampanye pemilihan kepala daerah di Yogyakarta mengungkapkan bahwa makna yang muncul lebih pada aspek makna dengan kecenderungan bermakna positif. Lebih lanjut dijelaskan bahwa pemakaian bahasa dalam spanduk kampanye mempunyai pemilihan kata dalam tiga kelompok yaitu verba aksi dengan perwujudan, nomina yang berkonotasi kejahatan, dan adjektiva yang berkonotasi positif. Dengan tiga pengelompokan kata tersebut maka dapat disimpulkan bahwa spanduk kampanye mempunyai dua fungsi yaitu fungsi informasi dan fungsi persuasi. Bahasa yang digunakan menjadi media untuk memberi informasi dan melakukan persuasi terhadap para pemilih. Sehingga faktor yang juga dapat dilihat dari penggunaan bahasa dalam spanduk kampanye cenderung pada adalah adanya faktor fungsi sebagai ‘iklan’ dengan tujuan ‘menawarkan’ sesuatu. Secara pragmatis dapat disimpulkan jika karakteristik bahasa pada spanduk kampanye lebih pada fungsi persuasif dan fungsi komisif. Searle dalam Wijana dan Rohmadi 2009: 20 menjelaskan secara garis besar tindak tutur secara pragmatik dapat dibedakan menjadi tiga. Ketiga tindakan penutur tersebut adalah tindak lokusi, tindak ilokusi, dan tindak perlokusi. Masing – masing tindak tuturan memiliki karakteristik yang saling membedakan. Tindak tutur lokusi secara singkat dapat didefinisikan sebagai tuturan biasa. Tuturan lokusi oleh Wijana dan Rohmadi 2009: 20 sering juga disebut dengan the act of saying atau tindak tuturan biasa. Dari ketiga jenis tindak tutur maka tindak tutur lokusi merupakan tindak tutur yang justru tidak memiliki peran penting. Sehingga seringkali hanya dianggap sebagai suatu bentuk informasi semata. Adapun contoh tindak tutur lokusi adalah seperti berikut; 1 Singa adalah binatang yang buas. 2 Kegiatan lokakarya diselenggarakan di Fakultas Sastra dan Budaya, Unud. 4 Jika dilihat contoh 1 dan 2 di atas maka dapat diperhatikan jika keduanya merupakan bentuk tindak lokusi biasa. Artinya, jika disampaikan maka hanya menjadi suatu bentuk informasi yang sifatnya umum. Pada contoh 1 hanya menyampaikan bahwa singa merupakan binatang buas yang secara umum semua orang sudah mengerti hal itu. Sedangkan pada contoh 2 juga merupakan informasi yang berkaitan dengan kegiatan yang diselenggaran oleh suatu lembaga atau institusi pendidikan. Tindak tutur kedua adalah tindak tutur ilokusi. Tindak tutur ilokusi oleh Wijana dan Rohmadi 2009: 22 sering disebut dengan the act of doing something. Penyebutan itu berkaitan dengan adanya suatu tindakan yang muncul karena tuturan yang disampaikan oleh seseorang. Selain mengharapkan seseorang melakukan sesuatu, tindak tutur ilokusi juga mempunyai peran sebagai tuturan untuk mengatakan atau menyampaikan informasi tertentu. Contoh dari tindak tutur ilokusi adalah sebagai berikut; 3 Ada anjing galak. 4 Kuku tanganmu hitam. Jika diperhatikan secara seksama maka contoh 3 dan 4 di atas memiliki peran informasi dan tindakan tertentu. Seperti pada contoh 3 merupakan bentuk informasi yang disampaikan kepada semua orang bahwa ada anjing galak. Sebagai bentuk informasi, tuturan itu juga memiliki tindakan tertentu. Umumnya, tuturan itu ditulis di depan pintu gerbang rumah seseorang. Sehingga hal tersebut menjadi sebuah peringatan atau himbauan bagi yang akan berkunjung untuk berhati – hati. Bahkan, menjadi peringatan bagi mereka yang hendak berbuat iseng atau tidak baik. Dalam hal ini si pemilik rumah sudah memberikan informasi dan juga peringatan melalui tanda ada anjing galak. Sementara itu contoh 4 juga mempunyai peran sebagai tuturan yang menginformasikan atau mengatakan bahwa seseorang memiliki kuku tangan hitam. Tuturan itu juga tidak hanya sebatas memberikan informasi. Tuturan kuku tanganmu hitam mengandung makna peringatan jika disampaikan seorang dokter kepada pasiennya. Dokter mengingatkan pasien agar menjaga kebersihan dengan memotong kuku – kuku tangannya yang hitam. Makna peringatan juga dapat diartikan melalui contoh 4 jika disampaikan oleh seorang guru kepada siswanya. Jika dalam pemeriksaan kebersihan seorang siswa dikatakan kuku tanganmu hitam oleh gurunya 5 maka dapat diartikan jika siswa bersangkutan tidak menjaga kebersihan. Padahal dengan kebersihan seperti memotong kuku sebagai hal yang sederhana justru dapat meningkatkan konsentrasi belajar seorang siswa. Bagian ketiga dari tindak tutur secara pragmatis adalah tindak tutur perlokusi. Tindak tutur perlokusi menurut Wijana dan Rohmadi 2009: 23 merupakan tindak tutur yang disampaikan dengan efek atau daya pengaruh yang disengaja atau tidak sengaja oleh penutur. Dalam hal ini seseorang yang menyampaikan suatu tuturan berbentuk perlokusi mengharapkan adanya suatu tindakan yang berkaitan dengan tuturannya. Karena itulah tindak tutur perlokusi dianggap sebagai the act of affecting someone. Adapun contoh dari tuturan perlokusi adalah sebagai berikut; 5 Ruangan ini panas. 6 Kamarmu bersih sekali. Memperhatikan contoh 5 dan 6 di atas seperti suatu tuturan yang biasa saja. Pada contoh 5 apabila disampaikan seseorang namun tidak memiliki daya mempengaruhi orang lain maka tuturan tersebut hanya sebuah informasi biasa. Tuturan ruangan ini panas tidak mempunyai kekuatan perlokusi jika tidak ada tindakan yang mengikutinya. Namun, jika tuturan itu disampaikan oleh seorang guru di kelas dan selanjutnya ketua kelas membuka jendela atau menghidupkan pendingin ruangan maka tuturan itu memiliki kekuatan perlokusi. Sehingga tuturan ruangan ini panas yang dikatakan oleh guru secara sengaja merupakan bentuk memerintah agar salah seorang siswa membuka jendela atau menghidupkan pendingin ruangan. Dengan begitu ruangan kelas tidak lagi panas. Begitu pula dengan contoh 6 di atas yang hanya akan menjadi tuturan informatif semata jika diucapkan seseorang tanpa diikuti tindakan tertentu. Akan sangat berbeda apabila hal itu disampaikan seorang ibu kepada anaknya. Apalagi ketika sang ibu melihat mainan anaknya masih berantakan di lantai kamar. Tuturan kamarmu bersih sekali justru menjadi tuturan yang implisit bagi si anak. Tuturan itu menjadi peringatan bagi anak untuk sesegera mungkin membersihkan ruangannya. Jika setelah tuturan disampaikan si anak membersihkan ruangannya maka tuturan kamarmu bersih sekali mempunyai kekuatan perlokusi. Kajian tindak tutur sesungguhnya menekankan pada maksud atau daya dari suatu tuturan. Sehingga tidak semata – mata hanya menekankan pada tuturannya saja. 6 Untuk itulah maka Searle dalam Leech 1983: 327 membagi maksud atau daya suatu tuturan ke dalam lima bagian yaitu representatif atau asertif, direktif, ekspresif, komisif, dan deklaratif. Pembagian secara lebih terinci tersebut berkaitan dengan maksud atau daya dari suatu tuturan ilokusi. Tindak tutur representatif atau asertif merupakan tindak tutur yang mengikat penuturnya terhadap kebenaran atas apa yang dikatakannya. Untuk itu tindak tutur representatif atau asertif diwakili dengan kata – kata seperti; menyatakan, melapor, menunjukkan, dan menyebutkan. Tindak tutur direktif adalah tindak tutur yang dilakukan oleh seorang penutur dengan maksud agar pendengar melakukan tindakan dalam ujarannya. Tindak tutur ini biasanya diwakili dengan kata – kata seperti; menyuruh, memohon, menyarankan, dan menantang. Sedangkan tindak tutur ekspresif menekankan pada ujaran yang dilakukan penutur sebagai bentuk evaluasi terhadap sesuatu dan bentuk evaluasi itu terwakili dengan kata – kata seperti; memuji, mengkritik, dan mengeluh. Sementara itu tindak tutur komisif lebih menekankan pada pelaksanaan terhadap apa yang terdapat dalam ujaran seorang penutur dan hal itu mengikat seorang penutur untuk dapat melaksanakannya. Tindak tutur komisif diwakili oleh kata – kata seperti; mengancam, berjanji, dan bersumpah. Tindak tutur yang terakhir adalah tindak tutur deklaratif. Tindak tutur deklaratif merupakan tindak tutur yang dilakukan penutur dengan maksud untuk menciptakan sesuatu yang baru. Karena itu kata – kata yang sering digunakan dalam tuturan ini antara lain; memutuskan, membatalkan, dan mengizinkan. Harus diakui juga bahwa maksud atau daya force dari suatu tuturan ilokusi maupun tuturan perlokusi dapat berubah berdasarkan konteks saat tuturan dilakukan. Konteks itulah yang selanjutnya menjadi penentu untuk mengetahui maksud yang hendak dicapai. Parker 1986: 16 mengatakan bahwa konteks penggunaan tuturan serta orang – orang yang terlibat di dalamnya sangat menentukan maksud dari suatu ujaran. Contohnya jika muncul ujaran You’d better do your homework maka penafsiran yang muncul dapat berbeda – beda. Parker menambahkan apabila konteks disampaikan oleh orangtua kepada anaknya maka hal itu dianggap sebagai perintah. Ujaran itu juga bisa dianggap mengganggu secara perlokusi terhadap si anak jika disampaikan setiap hari. Sedangkan jika ujaran di atas disampaikan oleh mahasiswa kepada rekannya yang merupakan rekan satu kelas serta satu kamar kos maka hal itu dianggap sebagai bentuk persuasi. Bentuk persuasi untuk menyelesaikan tugas – tugas perkuliahan sebelum 7 diumumkan untuk dikumpulkan oleh dosen. Apabila disampaikan oleh guru sekolah menengah umum SMU kepada siswanya maka hal itu dapat dianggap sebagai ancaman. Dalam hal ini siswa diwajibkan untuk menyelesaikan tugas – tugas dari dosen. Selain itu ujaran seperti itu sesungguhnya merupakan bentuk yang memalukan apabila disampaikan di depan kelas yang didengar oleh seluruh siswa. Dari penyampaian itu dapat dilihat jika konteks maksud dan daya force dari suatu ujaran sangat dipengaruhi oleh kondisi saat percakapan berlangsung dan para penutur yang terlibat di dalamnya. Secara umum Austin dalam Parker 1986: 13 mengungkapkan sesungguhnya terdapat tiga hal penting dalam suatu ujaran atau tindak tutur yang dianggap sebagai tindak yang valid. Ketiga hal tersebut adalah penutur dan kondisi tuturan harus sesuai; tindak tutur harus disampaikan secara utuh dan menyeluruh oleh penutur; dan penutur harus menunjukkan perhatian yang sepantasnya. Austin mengatakan jika suatu tuturan tidak memenuhi kriteria yang dimaksud maka dianggap tidak sesuai atau invalid. Leech 1977: 10 membagi makna dari suatu tuturan menjadi tujuh makna. Ketujuh makna tersebut adalah makna konseptual, makna konotatif, makna stilistik dan afektif, makna reflektif dan kolokatif, makna asosiatif, makna tematik, dan makna intensi dan tafsiran. Masing – masing makna mempunyai karakteristik yang membedakan antara satu makna dan lainnya. Sehingga makna – makna itu nantinya akan membantu saat melakukan analisa tindak tutur. Makna konseptual merupakan makna sesungguhnya yang dimaksud oleh penutur. Dalam hal ini makna konseptual mengacu pada referensi suatu tindakan, barang, orang, atau lainnya. Makna konseptual menurut Leech 1977: 10 dikatakan sebagai makna paling sentral dalam komunikasi manusia. Selanjutnya makna konotatif lebih menekankan pada makna yang berbeda dengan ujaran sesungguhnya atau seringkali disebut makna figuratif. Makna konotatif secara umum dianggap sebagai makna yang tidak sebenarnya dan tidak memiliki acuan seperti halnya makna konseptual. Poin penting yang diperhatikan Leech 1977: 11 saat mengkaji makna konotatif adalah makna konotatif tidak selalu stabil dikarenakan makna tersebut berdasarkan pada budaya, periode sejarah, dan pengalaman dari masing – masing penutur. Makna stilistik dan afektif mengacu pada situasi komunikasi ketika tuturan berlangsung. Makna stilistik mengacu pada adanya perbedaan penggunaan suatu kata 8 yang dikarenakan pertimbangan dialek maupun latar belakang kelompok penutur. Perbedaan itu yang pada akhirnya menandai adanya perbedaan penafsiran suatu kata dari kelompok – kelompok masyarakat yang lain. Sementara itu makna afektif lebih mengacu pada situasi penutur yang berkaitan dengan emosional atau perasaan serta sikapnya terhadap pendengar. Dalam hal ini seseorang dapat menyampaikan suatu tuturan dalam situasi yang emosional sehingga secara eksplisit kata – kata yang muncul tidak menyenangkan atau mengenakkan didengar oleh penutur lainnya. Selanjutnya makna reflektif dan kolokatif lebih mengkhususkan pada hubungan interkoneksi antar tingkatan leksikal suatu bahasa. Makna refleksi menurut Leech 1977: 19 mengungkapkan sebagai makna yang muncul sebagai hasil pemaknaan konseptual yang berulang kali. Makna refleksi umumnya terjadi pada istilah – istilah yang berkaitan dengan keagamaan dengan tujuan untuk menghaluskan makna konseptual yang sebenarnya. Makna kolokatif lebih menekankan pada adanya asosiasi terhadap sejumlah kata yang berasal dari satu makna konseptual yang umum dalam suatu lingkungan tuturan. Seperti misalnya kata cantik dan ganteng yang sesungguhnya berasal dari satu makna konseptual berpenampilan menarik. Hanya, penggunaan kata cantik dan ganteng lebih banyak menyesuaikan dengan lingkungan saat tuturan berlangsung. Makna asosiatif bagi Leech 1977: 21 merupakan makna yang sifatnya lebih luas dibandingkan makna refleksi dan makna kolokasi serta makna afektif dan makna stilistik. Leech mengungkapkan parameter makna asosiatif cenderung berdasarkan pada hubungan antara asosiasi antara teori yang terdapat pada pikiran penutur yang didasarkan pada pengalaman kognitifnya. Kerumitan itu yang menjadikan makna asosiatif justru sulit untuk dapat dipahami penggunaannya serta mempunyai kelebihan dibandingkan dengan makna konseptual. Makna tematik lebih mengkhususkan pada organisasi penutur saat tuturan berlangsung. Dalam hal ini menurut Leech 1977: 22 seorang penutur harus mampu mengorganisir suatu ujaran ketika berkomunikasi. Sebagai contoh seorang penutur tentunya harus mengorganisir adanya perintah, fokus, dan penekanan saat mengirimkan suatu pesan. Dengan begitu dalam berbagai konteks tuturan akan diperoleh respon yang berbeda terhadap suatu tuturan yang justru sesungguhnya memiliki kesamaan. Makna tematik sesungguhnya lebih menekankan pada adanya alternatif lain penggunaan konstruksi gramatika terhadap satu ujaran yang sama. Misalnya seorang pria menunggu 9 di aula kampus mempunyai makna tematik yang sama dengan ada seorang pria menunggu di aula. Padahal secara konstruksi gramatika hanya terdapat perubahan yang kecil. Makna yang terakhir adalah makna intensi dan makna tafsiran. Leech 1977: 24 menjelaskan bahwa makna intensi dan makna tafsiran lebih menekankan pada istilah ‘komunikasi’ dan ‘akibat komunikasi’. Makna intensi merupakan makna yang muncul pada pikiran seorang penutur ketika dia menyusun suatu pesan. Sedangkan makna tafsir lebih pada pendengar yang menyusun pemahaman atau penafsiran dalam pikirannya terhadap tuturan yang diujarkan. Sehingga Leech 1977: 24 menambahkan suatu komunikasi dianggap berlangsung apabila hal yang ada dalam pemikiran penutur A sudah ditransfer atau dikopi pada pikiran penutur B. 10

BAB III TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN