BAHASA SEBAGAI PENCIRI BUDAYA KAJIAN WACANA POLITIK.

(1)

i

LAPORAN KEMAJUAN

HIBAH PENELITIAN DOSEN MUDA

Tahun ke-1 dari rencana 1 tahun

BAHASA SEBAGAI PENCIRI BUDAYA:

KAJIAN WACANA POLITIK

TIM PENELITI

I GUSTI NGURAH PARTHAMA, S.S., M.HUM. NIDN. 0008017704

I NYOMAN TRI EDIWAN, S.S., M.HUM. NIDN. 0020067508

JURUSAN SASTRA INGGRIS

FAKULTAS SASTRA DAN BUDAYA

UNIVERSITAS UDAYANA

JULI 2015


(2)

(3)

iii RINGKASAN

Bahasa mempunyai fungsi yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Peran penting tersebut juga sekaligus menunjukkan adanya relasi antara manusia dengan budaya yang melingkupinya. Dengan berbahasa maka seseorang dapat diketahui latar belakang budayanya. Dengan adanya hubungan yang erat maka bahasa sangat mempengaruhi seluruh aspek kehidupan. Sehingga dalam politik pun bahasa mempunyai fungsi yang penting. Dalam politik, bahasa digunakan sebagai upaya untuk memberikan informasi dan tentunya berkaitan dengan bentuk persuasi atau ajakan jika digunakan dalam wacana politis bersifat kampanye. Karena itu, bahasa dalam wacana politik dikenal sangat lugas dan jelas mengingat kepentingan – kepentingan yang terdapat di dalamnya kepadad sejumlah pembaca atau pendengarnya. Penelitian ini akan mendeskripsikan bahasa sebagai penciri budaya yang digunakan pada wacana politik saat pelaksanaan pemilu 2014 lalu. Sumber data diambil dari media – media kampanye para calon anggota legislatif di beberapa kabupaten di Bali. Metode yang digunakan adalah metode simak dengan menerapkan teknik rekam, teknik membaca dengan rinci, dan teknik pencatatan. Sedangkan untuk metode analisa data menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan mengaplikasikan teori yang berkaitan dengan wacana dan tindak tutur.


(4)

iv PRAKATA

Puji syukur kami haturkan ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa / Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkah dan rahmat-Nya kami dapat mengerjakan dan menyelesaikan penelitian yang berjudul Bahasa Sebagai Penciri Budaya: Refleksi Wacana Politik.

Penelitian ini masih memiliki keterkaitan dengan media kampanye politik pada pemilihan calon anggota legislatif pada tahun 2014. Sebagai sebuah refleksi, penelitian ini lebih bertujuan pada upaya mendeskripsikan bahasa – bahasa yang digunakan oleh para calon anggota parlemen dalam mempromosikan dirinya kepada para pemilih. Menjadi penting untuk dapat memahami makna – makna yang terdapat pada wacana – wacana di media kampanye tersebut.

Kami dari tim peneliti mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang selama ini sudah membantu pelaksanaan penelitian dari proses pengajuan proposal hingga penyelesaian laporan akhir penelitian. Kami menyampaikan terima kasih kepada Dr. Ni Luh Ketut Mas Indrawati, M.A. selaku ketua program studi Sastra Inggris Universitas Udayana yang telah mendorong dan memotivasi kami sebagai anggota termuda di prodi Sastra Inggris untuk ikut berpartisipasi dalam penelitian dosen muda tahun 2015 ini. Kami juga menyampaikan penghargaan terhadap Prof. Dr. I Wayan Cika, M.S., sebagai dekan Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Udayana atas tuntunannya selama proses penyelesaian penelitian ini. Tidak lupa kami menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada pihak Universitas Udayana khususnya Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) melalui Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp. PD (KEMD)., sebagai rektor Universitas Udayana dan Prof. Dr. Ir. I Nyoman Gde Antara, M.Eng., sebagai ketua LPPM atas kesempatan penelitian yang diberikan kepada peneliti Universitas Udayana terutama dosen – dosen muda melalui skema PNBP (Penghasilan Negara Bukan Pajak) tahun anggaran 2015.

Kami mengakui jika penelitian ini masih memiliki kekurangan mengingat keterbatasan yang kami miliki sebagai peneliti. Untuk itu saran dan masukan menjadi hal yang paling kami harapkan guna penyempurnaan penelitian ini di masa mendatang.

Denpasar, Juli 2015 Tim Peneliti


(5)

v DAFTAR ISI

Hal.

HALAMAN SAMPUL i

HALAMAN PENGESAHAN ii

RINGKASAN iii

PRAKATA iv

DAFTAR ISI v

BAB 1. PENDAHULUAN 1

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 3

BAB 3. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN 9

3.1 Tujuan Penelitian 9

3.2 Manfaat Penelitian 9

BAB 4. METODE PENELITIAN 11

4.1 Sumber Data 11

4.2 Metode dan Teknik Pengumpulan Data 11

4.3 Metode dan Teknik Analisa Data 11

BAB 5. HASIL DAN PEMBAHASAN 14

5.1 Penggunaan Bahasa Indonesia dan Makna Teks 14

5.2 Penggunaan Bahasa Inggris dan Makna Teks 19

5.3 Penggunaan Bahasa Bali dan Makna Teks 22

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN 29

6.1 Kesimpulan 29

6.2 Saran 30

DAFTAR PUSTAKA 31


(6)

1 BAB I

PENDAHULUAN

Bahasa mempunyai fungsi penting dalam kehidupan ini. Dengan bahasa, seseorang dapat berkomunikasi. Bahkan dengan memahami suatu bahasa, seseorang juga dapat belajar budaya yang melingkupi suatu bahasa. Dengan bahasa pula seseorang dapat mengemukakan ide – ide, pendapat, pandangan, pertanyaan, sanggahan, maupun berbagai variasi komunikasi. Bahasa menjembatani komunikasi yang terjadi antar manusia dan hal tersebut berlangsung melalui bahasa lisan atau bahasa tulisan. Bahkan, kini muncul pula komunikasi dengan bahasa isyarat yang memungkinkan orang – orang dengan keterbatasan tertentu berkomunikasi dengan orang lain. Beragamnya fungsi bahasa menjadi bahasa sebagai prioritas dalam segala sendi kehidupan manusia.

Bahasa juga memasuki ranah – ranah komunikasi yang tidak biasa. Bahasa digunakan pada bidang – bidang khusus seperti politik, ekonomi, sosial budaya, dan bahkan pertahanan keamanan. Dalam bidang politik, bahasa menjadi sesuatu yang penting. Seorang pemimpin yang mampu menguasai bahasa maka secara langsung mampu menguasai para pengikutnya. Dengan bahasa, seorang pemimpin dapat menyampaikan program – program kerjanya maupun kebijakan publik lainnya. Bahasa juga memungkinkan seorang pemimpin baik itu di tingkat legislatif, eksekutif, maupun yudikatif dapat dinilai kepribadian maupun kemampuannya dalam hal berkomunikasi.

Kepribadian dan kemampuan berkomunikasi serta memanfaatkan bahasa menjadi tujuan utama pada saat pemilihan umum legislatif 2014 lalu. Bahasa memungkinkan para kandidat anggota parlemen atau dewan perwakilan rakyat berkomunikasi dengan para pemilihnya. Bahasa menjadi penting mewakili hal – hal yang hendak dikomunikasikan oleh para calon anggota parlemen. Bahasa menjadi media untuk dapat mengenalkan diri, menginformasikan program kerja, dan pada akhirnya mengajak para pemilihnya untuk memilih calon anggota parlemen tertentu. Kemampuan mengolah bahasa menjadikan para kandidat anggota parlemen berlomba menarik perhatian melalui permainan kata, kalimat, bahkan wacana. Dalam ranah politik, pemilihan bahasa dengan ekspresi tertentu maupun pemilihan penggunaan bahasa dengan bahasa ibu maupun bahasa asing menjadi menarik. Penelitian ini akan mendeskripsikan pemilihan bahasa dan ekspresi tertentu yang muncul pada komunikasi politik kandidat anggota parlemen pada pemilihan umum legislatif yang lalu. Dengan


(7)

2 pemilihan bahasa maupun ekspresi tertentu nantinya akan dibahasa mengenai makna – makna yang terkandung pada setiap tuturannya. Meski secara sederhana dikatakan bahwa bahasa politik adalah bahasa yang lugas dan jelas, namun masih terdapat kandidat yang menggunakan ekspresi tertentu sehingga menimbulkan interpretasi berbeda.

Dari pembahasan di atas maka dapat diformulasikan permasalahan penelitian. Permasalahan yang muncul adalah apa saja variasi bahasa yang digunakan pada media kampanye 2014 dan bagaimana sesungguhnya makna dari penggunaan bahasa tersebut pada media kampanye? Secara sederhana, penggunaan bahasa dalam konteks – konteks tertentu memunculkan makna – makna yang juga berbeda. Hal tersebut berkaitan dengan penggunaan bahasa yang terjadi pada konteks tertentu dengan peserta bicara yang juga bervariasi.


(8)

3 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Rahayu (2005) dalam hasil penelitiannya mengenai karakteristik pemakaian bahasa dalam spanduk kampanye pemilihan kepala daerah di Yogyakarta mengungkapkan bahwa makna yang muncul lebih pada aspek makna dengan kecenderungan bermakna positif. Lebih lanjut dijelaskan bahwa pemakaian bahasa dalam spanduk kampanye mempunyai pemilihan kata dalam tiga kelompok yaitu verba aksi dengan perwujudan, nomina yang berkonotasi kejahatan, dan adjektiva yang berkonotasi positif. Dengan tiga pengelompokan kata tersebut maka dapat disimpulkan bahwa spanduk kampanye mempunyai dua fungsi yaitu fungsi informasi dan fungsi persuasi. Bahasa yang digunakan menjadi media untuk memberi informasi dan melakukan persuasi terhadap para pemilih. Sehingga faktor yang juga dapat dilihat dari penggunaan bahasa dalam spanduk kampanye cenderung pada adalah adanya faktor fungsi sebagai ‘iklan’ dengan tujuan ‘menawarkan’ sesuatu. Secara pragmatis dapat disimpulkan jika karakteristik bahasa pada spanduk kampanye lebih pada fungsi persuasif dan fungsi komisif.

Searle dalam Wijana dan Rohmadi (2009: 20) menjelaskan secara garis besar tindak tutur secara pragmatik dapat dibedakan menjadi tiga. Ketiga tindakan penutur tersebut adalah tindak lokusi, tindak ilokusi, dan tindak perlokusi. Masing – masing tindak tuturan memiliki karakteristik yang saling membedakan.

Tindak tutur lokusi secara singkat dapat didefinisikan sebagai tuturan biasa. Tuturan lokusi oleh Wijana dan Rohmadi (2009: 20) sering juga disebut dengan the act of saying atau tindak tuturan biasa. Dari ketiga jenis tindak tutur maka tindak tutur lokusi merupakan tindak tutur yang justru tidak memiliki peran penting. Sehingga seringkali hanya dianggap sebagai suatu bentuk informasi semata. Adapun contoh tindak tutur lokusi adalah seperti berikut;

(1) Singa adalah binatang yang buas.

(2) Kegiatan lokakarya diselenggarakan di Fakultas Sastra dan Budaya, Unud.


(9)

4 Jika dilihat contoh (1) dan (2) di atas maka dapat diperhatikan jika keduanya merupakan bentuk tindak lokusi biasa. Artinya, jika disampaikan maka hanya menjadi suatu bentuk informasi yang sifatnya umum. Pada contoh (1) hanya menyampaikan bahwa singa merupakan binatang buas yang secara umum semua orang sudah mengerti hal itu. Sedangkan pada contoh (2) juga merupakan informasi yang berkaitan dengan kegiatan yang diselenggaran oleh suatu lembaga atau institusi pendidikan.

Tindak tutur kedua adalah tindak tutur ilokusi. Tindak tutur ilokusi oleh Wijana dan Rohmadi (2009: 22) sering disebut dengan the act of doing something. Penyebutan itu berkaitan dengan adanya suatu tindakan yang muncul karena tuturan yang disampaikan oleh seseorang. Selain mengharapkan seseorang melakukan sesuatu, tindak tutur ilokusi juga mempunyai peran sebagai tuturan untuk mengatakan atau menyampaikan informasi tertentu. Contoh dari tindak tutur ilokusi adalah sebagai berikut;

(3) Ada anjing galak. (4) Kuku tanganmu hitam.

Jika diperhatikan secara seksama maka contoh (3) dan (4) di atas memiliki peran informasi dan tindakan tertentu. Seperti pada contoh (3) merupakan bentuk informasi yang disampaikan kepada semua orang bahwa ada anjing galak. Sebagai bentuk informasi, tuturan itu juga memiliki tindakan tertentu. Umumnya, tuturan itu ditulis di depan pintu gerbang rumah seseorang. Sehingga hal tersebut menjadi sebuah peringatan atau himbauan bagi yang akan berkunjung untuk berhati – hati. Bahkan, menjadi peringatan bagi mereka yang hendak berbuat iseng atau tidak baik. Dalam hal ini si pemilik rumah sudah memberikan informasi dan juga peringatan melalui tanda ada anjing galak.

Sementara itu contoh (4) juga mempunyai peran sebagai tuturan yang menginformasikan atau mengatakan bahwa seseorang memiliki kuku tangan hitam. Tuturan itu juga tidak hanya sebatas memberikan informasi. Tuturan kuku tanganmu hitam mengandung makna peringatan jika disampaikan seorang dokter kepada pasiennya. Dokter mengingatkan pasien agar menjaga kebersihan dengan memotong kuku – kuku tangannya yang hitam. Makna peringatan juga dapat diartikan melalui contoh (4) jika disampaikan oleh seorang guru kepada siswanya. Jika dalam pemeriksaan kebersihan seorang siswa dikatakan kuku tanganmu hitam oleh gurunya


(10)

5 maka dapat diartikan jika siswa bersangkutan tidak menjaga kebersihan. Padahal dengan kebersihan seperti memotong kuku sebagai hal yang sederhana justru dapat meningkatkan konsentrasi belajar seorang siswa.

Bagian ketiga dari tindak tutur secara pragmatis adalah tindak tutur perlokusi. Tindak tutur perlokusi menurut Wijana dan Rohmadi (2009: 23) merupakan tindak tutur yang disampaikan dengan efek atau daya pengaruh yang disengaja atau tidak sengaja oleh penutur. Dalam hal ini seseorang yang menyampaikan suatu tuturan berbentuk perlokusi mengharapkan adanya suatu tindakan yang berkaitan dengan tuturannya. Karena itulah tindak tutur perlokusi dianggap sebagai the act of affecting someone. Adapun contoh dari tuturan perlokusi adalah sebagai berikut;

(5) Ruangan ini panas. (6) Kamarmu bersih sekali.

Memperhatikan contoh (5) dan (6) di atas seperti suatu tuturan yang biasa saja. Pada contoh (5) apabila disampaikan seseorang namun tidak memiliki daya mempengaruhi orang lain maka tuturan tersebut hanya sebuah informasi biasa. Tuturan

ruangan ini panas tidak mempunyai kekuatan perlokusi jika tidak ada tindakan yang mengikutinya. Namun, jika tuturan itu disampaikan oleh seorang guru di kelas dan selanjutnya ketua kelas membuka jendela atau menghidupkan pendingin ruangan maka tuturan itu memiliki kekuatan perlokusi. Sehingga tuturan ruangan ini panas yang dikatakan oleh guru secara sengaja merupakan bentuk memerintah agar salah seorang siswa membuka jendela atau menghidupkan pendingin ruangan. Dengan begitu ruangan kelas tidak lagi panas.

Begitu pula dengan contoh (6) di atas yang hanya akan menjadi tuturan informatif semata jika diucapkan seseorang tanpa diikuti tindakan tertentu. Akan sangat berbeda apabila hal itu disampaikan seorang ibu kepada anaknya. Apalagi ketika sang ibu melihat mainan anaknya masih berantakan di lantai kamar. Tuturan kamarmu bersih sekali justru menjadi tuturan yang implisit bagi si anak. Tuturan itu menjadi peringatan bagi anak untuk sesegera mungkin membersihkan ruangannya. Jika setelah tuturan disampaikan si anak membersihkan ruangannya maka tuturan kamarmu bersih sekali

mempunyai kekuatan perlokusi.

Kajian tindak tutur sesungguhnya menekankan pada maksud atau daya dari suatu tuturan. Sehingga tidak semata – mata hanya menekankan pada tuturannya saja.


(11)

6 Untuk itulah maka Searle dalam Leech (1983: 327) membagi maksud atau daya suatu tuturan ke dalam lima bagian yaitu representatif atau asertif, direktif, ekspresif, komisif, dan deklaratif. Pembagian secara lebih terinci tersebut berkaitan dengan maksud atau daya dari suatu tuturan ilokusi.

Tindak tutur representatif atau asertif merupakan tindak tutur yang mengikat penuturnya terhadap kebenaran atas apa yang dikatakannya. Untuk itu tindak tutur representatif atau asertif diwakili dengan kata – kata seperti; menyatakan, melapor, menunjukkan, dan menyebutkan. Tindak tutur direktif adalah tindak tutur yang dilakukan oleh seorang penutur dengan maksud agar pendengar melakukan tindakan dalam ujarannya. Tindak tutur ini biasanya diwakili dengan kata – kata seperti; menyuruh, memohon, menyarankan, dan menantang. Sedangkan tindak tutur ekspresif menekankan pada ujaran yang dilakukan penutur sebagai bentuk evaluasi terhadap sesuatu dan bentuk evaluasi itu terwakili dengan kata – kata seperti; memuji, mengkritik, dan mengeluh. Sementara itu tindak tutur komisif lebih menekankan pada pelaksanaan terhadap apa yang terdapat dalam ujaran seorang penutur dan hal itu mengikat seorang penutur untuk dapat melaksanakannya. Tindak tutur komisif diwakili oleh kata – kata seperti; mengancam, berjanji, dan bersumpah. Tindak tutur yang terakhir adalah tindak tutur deklaratif. Tindak tutur deklaratif merupakan tindak tutur yang dilakukan penutur dengan maksud untuk menciptakan sesuatu yang baru. Karena itu kata – kata yang sering digunakan dalam tuturan ini antara lain; memutuskan, membatalkan, dan mengizinkan.

Harus diakui juga bahwa maksud atau daya (force) dari suatu tuturan ilokusi maupun tuturan perlokusi dapat berubah berdasarkan konteks saat tuturan dilakukan. Konteks itulah yang selanjutnya menjadi penentu untuk mengetahui maksud yang hendak dicapai. Parker (1986: 16) mengatakan bahwa konteks penggunaan tuturan serta orang – orang yang terlibat di dalamnya sangat menentukan maksud dari suatu ujaran. Contohnya jika muncul ujaran You’d better do your homework maka penafsiran yang muncul dapat berbeda – beda. Parker menambahkan apabila konteks disampaikan oleh orangtua kepada anaknya maka hal itu dianggap sebagai perintah. Ujaran itu juga bisa dianggap mengganggu secara perlokusi terhadap si anak jika disampaikan setiap hari. Sedangkan jika ujaran di atas disampaikan oleh mahasiswa kepada rekannya yang merupakan rekan satu kelas serta satu kamar kos maka hal itu dianggap sebagai bentuk persuasi. Bentuk persuasi untuk menyelesaikan tugas – tugas perkuliahan sebelum


(12)

7 diumumkan untuk dikumpulkan oleh dosen. Apabila disampaikan oleh guru sekolah menengah umum (SMU) kepada siswanya maka hal itu dapat dianggap sebagai ancaman. Dalam hal ini siswa diwajibkan untuk menyelesaikan tugas – tugas dari dosen. Selain itu ujaran seperti itu sesungguhnya merupakan bentuk yang memalukan apabila disampaikan di depan kelas yang didengar oleh seluruh siswa.

Dari penyampaian itu dapat dilihat jika konteks maksud dan daya (force) dari suatu ujaran sangat dipengaruhi oleh kondisi saat percakapan berlangsung dan para penutur yang terlibat di dalamnya. Secara umum Austin dalam Parker (1986: 13) mengungkapkan sesungguhnya terdapat tiga hal penting dalam suatu ujaran atau tindak tutur yang dianggap sebagai tindak yang valid. Ketiga hal tersebut adalah penutur dan kondisi tuturan harus sesuai; tindak tutur harus disampaikan secara utuh dan menyeluruh oleh penutur; dan penutur harus menunjukkan perhatian yang sepantasnya. Austin mengatakan jika suatu tuturan tidak memenuhi kriteria yang dimaksud maka dianggap tidak sesuai atau invalid.

Leech (1977: 10) membagi makna dari suatu tuturan menjadi tujuh makna. Ketujuh makna tersebut adalah makna konseptual, makna konotatif, makna stilistik dan afektif, makna reflektif dan kolokatif, makna asosiatif, makna tematik, dan makna intensi dan tafsiran. Masing – masing makna mempunyai karakteristik yang membedakan antara satu makna dan lainnya. Sehingga makna – makna itu nantinya akan membantu saat melakukan analisa tindak tutur.

Makna konseptual merupakan makna sesungguhnya yang dimaksud oleh penutur. Dalam hal ini makna konseptual mengacu pada referensi suatu tindakan, barang, orang, atau lainnya. Makna konseptual menurut Leech (1977: 10) dikatakan sebagai makna paling sentral dalam komunikasi manusia. Selanjutnya makna konotatif lebih menekankan pada makna yang berbeda dengan ujaran sesungguhnya atau seringkali disebut makna figuratif. Makna konotatif secara umum dianggap sebagai makna yang tidak sebenarnya dan tidak memiliki acuan seperti halnya makna konseptual. Poin penting yang diperhatikan Leech (1977: 11) saat mengkaji makna konotatif adalah makna konotatif tidak selalu stabil dikarenakan makna tersebut berdasarkan pada budaya, periode sejarah, dan pengalaman dari masing – masing penutur.

Makna stilistik dan afektif mengacu pada situasi komunikasi ketika tuturan berlangsung. Makna stilistik mengacu pada adanya perbedaan penggunaan suatu kata


(13)

8 yang dikarenakan pertimbangan dialek maupun latar belakang kelompok penutur. Perbedaan itu yang pada akhirnya menandai adanya perbedaan penafsiran suatu kata dari kelompok – kelompok masyarakat yang lain. Sementara itu makna afektif lebih mengacu pada situasi penutur yang berkaitan dengan emosional atau perasaan serta sikapnya terhadap pendengar. Dalam hal ini seseorang dapat menyampaikan suatu tuturan dalam situasi yang emosional sehingga secara eksplisit kata – kata yang muncul tidak menyenangkan atau mengenakkan didengar oleh penutur lainnya.

Selanjutnya makna reflektif dan kolokatif lebih mengkhususkan pada hubungan interkoneksi antar tingkatan leksikal suatu bahasa. Makna refleksi menurut Leech (1977: 19) mengungkapkan sebagai makna yang muncul sebagai hasil pemaknaan konseptual yang berulang kali. Makna refleksi umumnya terjadi pada istilah – istilah yang berkaitan dengan keagamaan dengan tujuan untuk menghaluskan makna konseptual yang sebenarnya. Makna kolokatif lebih menekankan pada adanya asosiasi terhadap sejumlah kata yang berasal dari satu makna konseptual yang umum dalam suatu lingkungan tuturan. Seperti misalnya kata cantik dan ganteng yang sesungguhnya berasal dari satu makna konseptual berpenampilan menarik. Hanya, penggunaan kata

cantik dan ganteng lebih banyak menyesuaikan dengan lingkungan saat tuturan berlangsung.

Makna asosiatif bagi Leech (1977: 21) merupakan makna yang sifatnya lebih luas dibandingkan makna refleksi dan makna kolokasi serta makna afektif dan makna stilistik. Leech mengungkapkan parameter makna asosiatif cenderung berdasarkan pada hubungan antara asosiasi antara teori yang terdapat pada pikiran penutur yang didasarkan pada pengalaman kognitifnya. Kerumitan itu yang menjadikan makna asosiatif justru sulit untuk dapat dipahami penggunaannya serta mempunyai kelebihan dibandingkan dengan makna konseptual.

Makna tematik lebih mengkhususkan pada organisasi penutur saat tuturan berlangsung. Dalam hal ini menurut Leech (1977: 22) seorang penutur harus mampu mengorganisir suatu ujaran ketika berkomunikasi. Sebagai contoh seorang penutur tentunya harus mengorganisir adanya perintah, fokus, dan penekanan saat mengirimkan suatu pesan. Dengan begitu dalam berbagai konteks tuturan akan diperoleh respon yang berbeda terhadap suatu tuturan yang justru sesungguhnya memiliki kesamaan. Makna tematik sesungguhnya lebih menekankan pada adanya alternatif lain penggunaan konstruksi gramatika terhadap satu ujaran yang sama. Misalnya seorang pria menunggu


(14)

9

di aula kampus mempunyai makna tematik yang sama dengan ada seorang pria menunggu di aula. Padahal secara konstruksi gramatika hanya terdapat perubahan yang kecil.

Makna yang terakhir adalah makna intensi dan makna tafsiran. Leech (1977: 24) menjelaskan bahwa makna intensi dan makna tafsiran lebih menekankan pada istilah ‘komunikasi’ dan ‘akibat komunikasi’. Makna intensi merupakan makna yang muncul pada pikiran seorang penutur ketika dia menyusun suatu pesan. Sedangkan makna tafsir lebih pada pendengar yang menyusun pemahaman atau penafsiran dalam pikirannya terhadap tuturan yang diujarkan. Sehingga Leech (1977: 24) menambahkan suatu komunikasi dianggap berlangsung apabila hal yang ada dalam pemikiran penutur A sudah ditransfer atau dikopi pada pikiran penutur B.


(15)

10 BAB III

TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

Bagian ini membahas mengenai tujuan dan manfaat penelitian yang berkaitan dengan kajian wacana pada media kampanye. Masing – masing dibahas secara mendetail pada bagian di bawah ini.

3.1 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini dibedakan menjadi dua bagian. Tujuan pertama adalah untuk mengetahui variasi – variasi bahasa yang digunakan pada media kampanye legislatif 2014 yang lalu. Variasi – variasi bahasa tentunya mempunyai latar belakang yang berbeda terutama berkaitan dengan kedekatan kultur budaya maupun adanya suatu gengsi terhadap kemampuan penggunaan suatu bahasa. Sehingga dalam tujuan ini nantinya dapat dilihat variasi – variasi bahasa yang digunakan pada media kampanye.

Tujuan kedua lebih menekankan pada makna – makna yang muncul pada wacana verbal di media kampanye. Dalam hal ini wacana verbal merupakan suatu hasil dari pemakaian suatu bahasa. Sehingga bahasa dengan olahan sedemikian rupa menjadikan wacana verbal memiliki sejumlah penafsiran bagi para pembacanya. Untuk itu kajian daya ilokusi menjadi hal yang penting untuk memahami suatu wacana yang muncul dalam media kampanye.

3.2 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini ditekankan pada dua manfaat utama yaitu manfaat teoritis dan manfaat umum. Manfaat teoritis lebih banyak mengkaitkan hubungan antara penggunaan bahasa dengan wacana – wacana yang terdapat pada media kampanye. Mengingat media kampanye juga sebagai representasi promosi bagi seorang kandidat


(16)

11 maupun partai politik, maka menjadi menarik untuk dapat melihat keterkaitan antara peran media kampanye sebagai media promosi dalam lingkup spesifik yaitu dunia politik.

Sedangkan manfaat kedua lebih pada memberikan kontribusi terhadap penafsiran – penafsiran umum para pemilih yang mengamati wacana – wacana media kampanye dengan berbagai variasi bahasa. Harus diakui jika media kampanye khususnya media kampanye kandidat anggota parlemen lebih menekankan pada penyampaian ide secara langsung dan jelas. Namun hal tersebut tentunya masih memungkinkan adanya penafsiran yang berbeda pada kalangan yang berbeda latar belakang pula. Sehingga terdapat persepsi – persepsi maupun penafsiran yang tentunya sangat bervariasi. Untuk itulah kontribusi penelitian ini muncul sebagai salah satu bagian yang memberi pemahaman mengenai penggunaan bahasa dan wacana pada media kampanye pada publik khususnya akademisi dan kalangan terpelajar.


(17)

12 BAB IV

METODE PENELITIAN

Metode penelitian merupakan langkah – langkah yang diambil dalam sebuah penelitian ilmiah. Untuk melaksanakan penelitian ini maka metode penelitian yang akan diterapkan dibagi menjadi tiga bagian yaitu sumber data, metode dan teknik pengumpulan data, serta metode dan teknik analisa data.

3.1 Sumber Data

Sumber data penelitian ini adalah media – media kampanye yang digunakan para caleg saat kegiatan kampanye calon legislatif 2014. Masa kampanye berlangsung selama hampir dua bulan terhitung mulai dari Januari hingga Februari. Adapun media – media kampanye yang digunakan pada penelitian ini adalah baliho, spanduk, dan stiker. Media – media kampanye caleg tersebut diambil dari empat daerah yaitu Denpasar, Badung, Tabanan, dan Gianyar.

3.2 Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan pada penelitian ini adalah metode simak. Pelaksanaan metode simak didukung dengan sejumlah teknik pengumpulan data. Dalam pengumpulan data dilakukan teknik purposive random sampling yang artinya data – data yang dipilih merupakan data acak dengan tujuan penelitian yang hendak dilakukan. Teknik rekam dilakukan dengan cara memfoto media – media kampanye yang akan digunakan sebagai data. Selanjutnya teknik pemilahan dilakukan untuk memilah data penelitian yang sesuai dan data yang tidak sesuai. Setelah itu proses


(18)

13 pengumpulan data dilanjutkan dengan teknik membaca rinci dan teknik mencatat. Kedua teknik berlangsung secara bersamaan dimana saat membaca rinci bahasa – bahasa pada media kampanye maka saat itu juga dilakukan proses pencatatan. Teknik terakhir yang akan dilaksanakan adalah teknik klasifikasi yang bertujuan untuk menempatkan data – data berdasarkan klasifikasi jenis tindak tutur dan makna yang dimilikinya.

3.3 Metode dan Teknik Analisa Data

Metode yang akan digunakan saat analisa data adalah metode deskriptif kualitatif. Metode deskriptif kualitatif menerapkan teknik deskripsi saat dilakukan analisa data berdasarkan kajian tindak tutur dan kajian makna. Teknik deskripsi yang berkualitas akan mengacu pada teori – teori mengenai kajian tindak tutur dan kajian makna. Dengan begitu akan terlihat pengaruh bahasa pada media kampanye caleg melalui tindak tutur dan pemaknaannya.


(19)

14 BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

Bagian ini membahas mengenai dua hal yang berkaitan dengan bahasa sebagai penciri budaya yang dihubungkan dengan kajian wacana politik. Pertama, membahas mengenai variasi bahasa – bahasa yang digunakan dalam wacana politik oleh calon anggota dewan perwakilan rakyat. Dari variasi penggunaan bahasa dapat diketahui bahasa yang digunakan seperti bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan bahasa Bali. Kedua, kajian berikutnya adalah makna yang dimiliki oleh penggunaan bahasa dalam wacana politik. Dalam hal ini dibahas mengenai makna – makna yang terkandung dalam tuturan berdasarkan teori makna dari Leech (1977).

5.1 Penggunaan Bahasa Indonesia dan Makna Teks

Secara keseluruhan, bahasa yang digunakan pada media kampanye calon anggota legislatif 2014 lalu adalah bahasa Indonesia. Penggunaan bahasa Indonesia tentunya berkaitan dengan bahasa nasional yang dimengerti dan dipahami oleh seluruh masyarakat Indonesia. Sehingga, seluruh masyarakat memiliki pemahaman yang sama terhadap bahasa Indonesia yang digunakan pada media kampanye. Apalagi jika dikaitkan bahwa bahasa pada media kampanye khususnya mempunyai peran untuk berbagai informasi. Sehingga lebih mudah untuk menyampaikan ide – ide, pendapat, pandangan, atau lainnya dari seorang kandidat calon anggota legislatif.


(20)

15 Dengan dominannya penggunaan bahasa Indonesia, maka penelitian ini memilih tiga media kampanye yang menggunakan bahasa Indonesia. Pemilihan ketiga media kampanye tersebut berkaitan dengan penggunaan bahasa Indonesia yang justru menarik untuk dicermati mengingat terdapat makna – makna tertentu di dalamnya. Keseluruhan materi media kampanye berbahasa Indonesia tersebut dipaparkan secara mendetail sebagai berikut.

KITA TINGKATKAN KESEJAHTERAAN

MASYARAKAT DAN PERJUANGAN ASPIRASI PROGRAM

MASYARAKAT PERUBAHAN MEMBUTUHKAN

SEMANGAT DAN KEBERSAMAAN

MARI BERGABUNG BERSAMA PARTAI NASDEM

(data 1)

Data 1 di atas menggunakan media bahasa Indonesia sebagai materi kampanye. Kandidat calon anggota legislatif menggunakan bahasa Indonesia dengan tiga bagian yang penting. Bagian pertama terdiri dari kalimat kita tingkatkan kesejahteraan masyarakat dan perjuangan aspirasi program masyarakat. Sedangkan bagian kedua terdiri dari pernyataan perubahan membutuhkan semangat dan kebersamaan. Pada bagian ketiga terdapat kalimat mari bergabung bersama partai Nasdem.


(21)

16 Secara keseluruhan, penggunaan bahasa Indonesia pada data 1 merupakan bentuk informasi dan ajakan. Informasi yang dimunculkan pada bagian pertama berkaitan dengan dua kata yaitu kesejahteraan dan program masyarakat. Dua hal yang paling sering muncul selama masa kampanye yang berkaitan dengan kondisi bangsa serta masyarakat secara umum. Sedangkan pada bagian kedua merupakan informasi yang bersifat umum dan berkaitan dengan jargon partai, perubahan. Hanya, untuk menekankan adanya peran serta masyarakat dan komponen bangsa lainnya, si calon kandidat menambahkan kata semangat dan kebersamaan. Sementara pada bagian ketiga lebih menekankan pada informasi tentang partai si calon. Pada bagian ketiga serta bagian pertama sesungguhnya mempunyai fungsi sebagai ajakan. Hal tersebut terlihat dari penggunaan kata tingkatkan dan mari bergabung. Dengan penggunaan kedua kata itu dapat terlihat jika si calon anggota legislatif mengajak semua masyarakat untuk sejahtera dan melakukan program masyarakat. Apalagi pada bagian ketiga terdapat pronomina kita yang mengacu pada si calon kandidat serta orang – orang lain di sekitarnya. Hal itu berhubungan erat dengan kebersamaan yang muncul pada bagian kedua materi kampanyenya.

Secara keseluruhan, makna yang muncul pada materi verbal kampanye di data 1 mengacu pada makna konseptual. Leech (1977) mendeskripsikan makna konseptual sebagai makna yang sebenarnya. Pada data 1 di atas, keseluruhan pernyataan memunculkan makna yang pasti dan denotatif. Dalam hal ini, orang lain dengan mudah dapat memahami informasi yang disampaikan si calon kandidat. Orang lain dapat mengerti mengenai poin – poin seperti kesejahteraan, program masyarakat, kebersamaan, dan ajakan untuk bergabung ke partainya. Makna – makna konseptual di sini sesungguhnya sejalan dengan makna yang umumnya terdapat pada materi – materi kampanye. Dalam materi kampanye, seseorang yang mengkampanyekan dirinya sesungguhnya tidak perlu menggunakan bahasa yang menimbulkan makna berbeda. Karena hal itu justru merugikan si calon kandidat. Persepsi atau pandangan yang berbeda dari pembaca malah akan menurunkan harapan si calon kandidat.

Selanjutnya data 2 juga menggunakan bahasa Indonesia. Penggunaan bahasa Indonesia pada data ini justru lebih singkat dan padat. Si calon kandidat hanya memaparkan poin – poin penting dari harapannya. Tetap terdapat bagian – bagian yang


(22)

17 hampir sama dengan data 1 di atas. Secara mendetail, data 2 dideskripsikan seperti di bawah ini.

Satukan Pilihan, Demi Kebersamaan

Satukan Suara, Demi Kesederhanaan & Kejujuran

Untuk Berjuang Demi Kepentingan

Masyarakat

(data 2)

Data 2 mempunyai materi penggunaan bahasa Indonesia yang lebih ringkas. Hal itu terlihat dari tiga bagian bahasa Indonesia yang saling terkait dengan kalimat sederhana. Misal pada bagian pertama satukan pilihan, demi kebersamaan. Sementara bagian kedua mempunyai pernyataan satukan suara, demi kesederhanaan dan kejujuran. Sedangkan bagian terakhir berupa kalimat untuk berjuang demi kepentingan masyarakat.

Dari keseluruhan penggunaan bahasa Indonesia pada data 2, hanya informasi yang disampaikan oleh si calon kandidat. Dalam hal ini informasi – informasi penting yang muncul antara lain satukan pilihan, kebersamaan, kesederhanaan, kejujuran, dan

kepentingan masyarakat. Informasi tersebut hampir sama dengan informasi yang terdapat pada data 1 sebelumnya. Dalam hal ini si calon kandidat setidaknya mempunyai visi atau keinginan untuk kebersamaan, kesederhanaan, dan kepentingan rakyat. Yang menarik pada data 2 adalah kemampuan si calon kandidat untuk mengolah bahasa Indonesia menjadi bentuk yang mirip seperti puisi, contohnya satukan pilihan, demi kebersamaan dan satukan suara, demi kesederhanaan dan kejujuran. Selain serupa puisi, pilihan bahasa Indonesia yang digunakan juga ringkas. Pesan yang diberikan melalui penggunaan bahasa Indonesia juga dapat dipahami dengan mudah.


(23)

18 Makna yang terkandung di dalam pernyataan pada data 2 adalah makna konseptual. Makna yang berdasarkan pada apa yang terjadi dan menjadi referensi bagi seseorang, barang, maupun tindakan. Dalam hal ini, si calon kandidat menyampaikan makna – makna yang memang terjadi pada keseharian masyarakat Indonesia. Hal itu terlihat dari penggunaan kata kebersamaan, kesederhanaan, dan kejujuran. Makna ketiga kata tersebut tentunya sangat mudah dipahami oleh masyarakat Indonesia terutamanya masyarakat yang akan memilih si calon kandidat. Selain itu, makna pada pernyataan yang lain juga dapat dipahami dengan baik tanpa menimbulkan perspektif yang berbeda. Seperti pada bagian ketiga yang berisikan pernyataan untuk berjuang demi kepentingan rakyat. Makna itu dapat dipahami sebagai upaya dari si calon kandidat untuk melakukan sesuatu atau tindakan yang mengutamakan kepentingan rakyat.

Data 3 berisikan penggunaan bahasa Indonesia dalam materi verbal kampanye calon legislatif. Yang membedakan dengan dua data sebelumnya adalah materi bahasa Indonesia yang singkat. Selain singkat, informasi yang disampaikan juga bersifat umum yang tentunya setiap orang dapat memahami pesan yang disampaikan. Hal tersebut dapat terlihat pada bagian di bawah ini.

PENINGKATAN KINERJA DPRD DALAM MENJALANKAN FUNGSI LEGISLASI, ANGGARAN DAN PENGAWASAN

(data 3)

Pada data 3 terdapat pernyataan dari si calon kandidat dengan peningkatan kinerja DPRD dalam menjalankan fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan.


(24)

19 Program kampanye itu menjadi cerminan dari keinginan si calon kandidat jika terpilih pada kampanye legislatif. Bahasa Indonesia yang digunakan untuk menyampaikan programnya menjadi lebih singkat dan ringkas. Si calon kandidat hanya menyampaikan poin penting dalam kampanye dengan kata peningkatan. Sedangkan fungsi – fungsi anggota dewan perwakilan rakyat secara umum telah diketahui sebagai pembuat undang – undang, penganggaran, serta pengawasan. Pemakaian kata peningkatan menjadi poin penting dari kampanye si kandidat mengingat hal tersebut berarti mengupayakan untuk melakukan sesuatu menjadi lebih baik dari kondisi sekarang.

Makna yang terkandung pada pernyataan kampanye si calon kandidat di atas merupakan makna konseptual atau makna sesungguhnya. Makna konseptual yang memang bener – benar si calon untuk berupaya meningkatkan peran dewan perwakilan rakyat terhadap fungsi – fungsi yang ada pada setiap anggota dewan. Hal itu juga menunjukkan kondisi sebenarnya saat ini masih belum sesuai dengan harapan si calon kandidat. Dalam hal ini dapat dilihat keterkaitan referensi makna konseptual terhadap orang, barang, atau situasi yang terjadi (Leech, 1977). Dalam hal ini, si calon kandidat lebih mengutamakan pada situasi perbandingan. Si calon kandidat membandingkan keinginannya jika menjadi anggota dewan dan kondisi saat ini yang dilakukan oleh anggota dewan masih belum memadai atau sesuai harapan.

5.2 Penggunaan Bahasa Inggris dan Makna Teks

Meskipun penggunaan bahasa Indonesia dan bahasa Bali begitu dominan saat kampanye legislatif 2014 lalu, masih ada calon kandidat yang juga menyelipkan dan menggunakan bahasa Inggris. Tentunya hal tersebut sangat menggembirakan mengingat Pulau Bali sebagai daerah tujuan wisata internasional. Sehingga penggunaan bahasa Inggris juga dapat menarik perhatian orang asing yang sedang berkunjung ke Bali. Selain itu, penggunaan bahasa Inggris juga menunjukkan kualitas pemahaman dan komunikasi orang Bali secara umum meningkat. Penggunaan bahasa Inggris menunjukkan tingkat pendidikan pemilih yang dianggap tinggi. Dengan memahami bahasa asing, maka masyarakat dianggap mempunyai pengetahuan dan pemahaman yang luas tentang bahasa asing. Hal tersebut tentunya menjadi harapan si calon kandidat yang menggunakan bahasa Inggris pada media kampanyenya.

Terdapat dua media kampanye calon kandidat legislatif yang menggunakan bahasa Inggris untuk menyampaikan pesannya. Yang membedakan dari keduanya


(25)

20 adalah materi bahasa Inggris yang digunakan. Pada data 4, materi yang digunakan adalah materi yang panjang dan lengkap untuk menyampaikan pesan kepada calon pemilih. Sementara pada data 5 justru penggunaan bahasa Inggris bersifat singkat. Bahkan, penggunaan bahasa Inggris pada data 5 dapat menimbulkan beragam makna bagi para calon pemilih.

TOGETHER BUILDING BANGLI FOR BETTER FUTURE

THANKS BROTHERS

(data 4)

Data 4 berisikan materi bahasa Inggris together building Bangli for better future

dan thanks brothers. Kedua bagian bahasa Inggris si calon kandidat sesungguhnya berisikan ajakan dan ucapan terima kasih. Ajakan dapat dilihat melalui bagian pertama dari isi kampanyenya dengan together building Bangli for better future yang diartikan dalam bahasa Indonesia adalah bersama membangun Bangli untuk masa depan lebih


(26)

21 baik. Tentunya pernyataan tersebut berupa ajakan dari si calon kandidat kepada para pemilihnya. Sedangkan bagian kedua lebih menyoroti ucapan terima kasih dengan

thanks brothers. Yang menarik dari pernyataan thanks brothers itu adalah penggunaan kata brothers yang menjadi bahasa Inggris pergaulan. Umumnya penggunaan brothers

ditujukan pada mereka yang merasa senasib dan sepenanggungan, sehingga nantinya muncul istilah brotherhood.

Secara umum, makna yang muncul dari penggunaan bahasa Inggris itu adalah makna konseptual. Makna sesungguhnya atau makna denotasi terhadap keinginan untuk menjadi daerah Bangli lebih baik di masa depan. Terdapat referensi daerah dan kondisi daerah yang menjadi acuan dari si calon kandidat saat menyampaikan pesan sehingga memunculkan nama daerah Bangli pada pesan bahasa Inggrisnya. Selain referensi terhadap daerah, makna konseptual yang muncul juga dapat dilihat dari keseluruhan kalimat berbahasa Inggris yang digunakan. Seperti pada bagian pertama together building Bangli for better future berisikan makna konseptual yang dapat dimengerti oleh setiap orang. Arti bersama membangun Bangli untuk masa depan lebih baik tidak mempunyai penafsiran makna yang berbeda. Makna yang muncul adalah makna yang sudah jelas dimengerti dan memang mempunyai arti yang sudah pasti. Karenanya, pemaknaan konseptual pada materi kampanye data 4 dapat dipahami dengan baik. Hanya memahami materi kampanye dalam bahasa Inggris tentunya memerlukan penafsiran dalam bahasa Indonesia terlebih dahulu.

Sementara itu, data 5 juga mempunyai materi bahasa Inggris pada media kampanyenya. Data 5 menampilkan penggunaan bahasa Inggris yang sangat singkat yaitu dalam bentuk frasa The ONE. Secara mendetail pembahasan mengenai penggunaan bahasa Inggris dan makna dari materi tersebut dipaparkan di bawah ini.

The ONE

(data 5)


(27)

(28)

23 Penggunaan frasa The ONE pada materi kampanye data 5 merupakan penggunaan bahasa Inggris yang singkat. Meskipun secara umum terdapat materi yang menggunakan bahasa lain, namun pada posisi yang mudah dilihat adalah penggunaan

The ONE. Hornby (2010: 1059) menjelaskan arti dari kata one sebagai satu – satunya dan hanya satu baik berkaitan dengan orang maupun barang. Dalam hal ini, si calon kandidat juga memastikan frasa The ONE menjadi penting dengan memberikan penekanan pada kata ONE yang ditulis keseluruhannya dengan huruf kapital.

Dengan pemahaman itu, maka dapat dilihat makna dari penggunaan frasa the ONE merupakan makna konseptual. Makna denotasi yang berkaitan dengan keadaan si calon kandidat. Untuk itu, penggunaan bahasa Inggris The ONE tersebut diartikan dalam beberapa hal. Pertama, si calon kandidat menjadi satu – satunya kandidat yang pantas sebagai anggota dewan dari partai yang mencalonkannya. Meskipun para pemilih mengetahui jika dari partai itu terdapat sejumlah calon kandidat yang diusulkan untuk dapat bersaing menjadi calon anggota dewan. Kedua, si calon kandidat memberikan kepastian bahwa penggunaan The ONE berkaitan dengan nomor urut yang diperolehnya menjelang pemilihan umum calon legislatif. Hal itu dapat terlihat pada nomor urut si calon kandidat yang terdapat pada baliho kampanyenya. Ketiga, pemaknaan konseptual yang dapat ditafsirkan dari penggunaan frasa The ONE adalah si calon kandidat menjadi satu – satunya calon yang berkampanye dengan menggunakan bahasa Inggris. Hal ini tentunya menjadi pembeda yang sangat jelas dimana banyak calon anggota dewan yang berpromosi menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa Bali, justru hanya beberapa calon saja yang menggunakan bahasa Inggris pada media kampanyenya.

5.3 Penggunaan Bahasa Bali dan Makna Teks

Penggunaan bahasa Bali dalam media kampanye juga dilakukan sejumlah calon kandidat anggota dewan saat pemilihan umum legislatif 2014. Pemilihan penggunaan bahasa Bali menjadi pertimbangan untuk mendekatkan diri dengan masyarakat Bali yang mayoritas memahami bahasa Bali. Kedekatan kultur tentunya menjadi pertimbangan utama dalam pemakaian bahasa Bali di media kampanye. Dengan pendekatan kultur tersebut, para kandidat setidaknya merasa mempunyai keterkaitan dan kedekatan dengan para pemilihnya.


(29)

24 Data 6 berisikan materi kampanye yang menggunakan bahasa Bali. Materi kampanye si calon kandidat berisikan niki sane nyandang pilih sampun mebukti. Bahasa Bali yang digunakan mempunyai pesan yang sangat jelas. Jika dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia maka akan berarti ini yang pantas dipilih sudah terbukti. Tidak ada penafsiran atau makna lain yang muncul dari penggunaan bahasa Bali tersebut.

Niki Sane Nyandang Pilih Sampun Mebukti

(data 6)

Sehingga, makna konseptual yang ada pada materi kampanye itu dengan mudah dapat dimengerti. Sebagai makna yang paling sentral menurut Leech (1977), makna konseptual merupakan makna yang berhubungan dengan kondisi sesungguhnya dari suatu pernyataan. Dalam hal ini keterkaitan dengan materi kampanye di data 6 menjadi


(30)

25 sangat kuat. Keterkaitan tersebut muncul dari adanya dua bagian penting dari penggunaan bahasa Bali yang dapat dipahami satu persatu dan menjadi satu kesatuan. Bagian pertama niki sane nyandang pilih memberikan makna kepastian terhadap pilihan masyarakat. Penegasan itu dapat dilihat dari penggunaan frasa niki sane nyandang pilih. Sehingga secara makna, tidak ada kandidat lain yang pantas untuk dipilih. Hal lain yang juga menguatkan adalah pernyataan bagian kedua sampun mebukti. Dengan pernyataan

sampun mebukti menunjukkan secara denotatif bahwa si calon kandidat telah melakukan berbagai hal di masyarakat. Dengan begitu sudah terbukti ada sumbangsih dari si calon kandidat kepada masyarakat. Pada bagian ini juga terdapat hal yang sifatnya eksklusif yang tidak dapat ditafsir oleh orang lain di luar dari lingkungan si calon kandidat. Pernyataan sampun mebukti sesungguhnya hanya dapat dipahami oleh orang – orang atau masyarakat di sekitar lingkungan si calon kandidat yang mengetahui seperti apa sumbangan yang diberikannya. Untuk itu, secara umum materi niki sane nyandang pilih sampun mebukti masih memungkinkan adanya penjelasan lebih lanjut.

Materi kampanye calon kandidat legislatif pada data 7 juga menggunakan bahasa Bali. Materi bahasa Bali yang digunakan termasuk panjang mengingat adanya penjelasan terhadap keinginan si calon kandidat. Untuk itu si calon kandidat menggunakan bahasa Bali yang berbunyi saking manah tulus titian ngaturan “sanggup

pacang ngemargian aspirasi rakyat Bali ring DPR RI, ngayah lan nindihin gumi”. Jika diartikan ke dalam bahasa Indonesia dari hati yang paling tulus saya berjanji

“melaksanakan aspirasi rakyat Bali di DPR RI, bekerja tanpa pamrih dan menjaga kesatuan negara”. Pesan yang disampaikan dalam bahasa Bali sudah jelas dengan poin pentingnya adalah ngemargian aspirasi rakyat Bali, ngayah, dan nindihin gumi. Sehingga si calon kandidat dengan materi bahasa Bali menyampaikan setidaknya tiga hal yang menjadi fokus perhatiannya jika terpilih sebagai anggota dewan perwakilan rakyat di tingkat nasional.


(31)

26

Saking Manah Tulus Titiang Ngaturan

Sanggup Pacang Ngemargiang Aspirasi Rakyat Bali Ring DPR RI, Ngayah lan Nindihin

Gumi . (data 7)


(32)

27 Tentunya makna yang muncul dari data 7 di atas merupakan makna konseptual. Makna sesungguhnya dari si calon kandidat yang memberikan janji atau jaminan kegiatan yang hendak dilakukan apabila terpilih sebagai anggota dewan. Makna tersebut tentunya sejalan dengan peran utama seorang anggota dewan yang melaksanakan dan menyampaikan aspirasi rakyat. Peran itu menjadi bertambah dengan adanya kata

ngayah dan nindihin gumi. Kata ngayah dalam bahasa Bali berarti bekerja tanpa pamrih atau tanpa mendapatkan imbalan. Secara makna konseptual hal itu tentunya tidak sesuai mengingat anggota dewan juga mendapatkan gaji dari pekerjaannya. Sedangkan frasa

nindihin gumi dalam bahasa Bali dapat diartikan menjaga kesatuan atau kedaulatan negara. Makna konseptual yang muncul tentunya berkaitan dengan kesatuan negara Republik Indonesia. Hal tersebut merupakan tugas yang berat mengingat negara Indonesia terdiri dari wilayah yang luas. Sedangkan yang disampaikan oleh si calon


(33)

28 kandidat sesungguhnya lebih banyak mewakili rakyat Bali. Dalam hal ini pemahaman yang muncul menjadi tidak sesuai mengingat peran si calon kandidat justru lebih banyak berkiprah untuk kepentingan masyarakat Bali.

Data 8 juga menggunakan bahasa Bali sebagai materi kampanye. Secara umum, bahasa Bali yang digunakan pada media kampanye terbagi menjadi dua bagian. Bagian pertama nunas doa lan dukungan semeton Karangasem sami. Selanjutnya bagian kedua

5 thn sampun mebukti becik boya ja janji. Jika diartikan dalam bahasa Indonesia menjadi mohon doa dan dukungan seluruh warga Karangasem dan 5 thn sudah terbukti bagus tidak hanya janji. Terdapat keterkaitan yang jelas antara bagian pertama dan kedua materi berbahasa Bali di media kampanye. Pesan yang disampaikan si calon kandidat dengan bahasa Bali dapat dipahami dengan mudah. Kejelasan dan kepastian dari materi berbahasa Bali tersebut memastikan jika si calon kandidat ingin menegaskan posisinya sebagai calon anggota dewan.


(34)

29

Nunas Doa lan Dukungan Semeton Karangasem Sami,

5 Thn Sampun Mebukti Becik Boya Ja Janji

(data 8)

Secara makna, keseluruhan materi kampanye dalam bahasa Bali menunjukkan adanya makna konseptual. Dalam hal ini makna yang disampaikan jelas dan tidak menimbulkan penafsiran ganda. Ketegasan tersebut setidaknya terlihat pada bagian kedua materi kampanye yang berisikan 5 thn sampun mebukti becik boya ja janji. Dengan pernyataan itu, si calon kandidat menegaskan bahwa pada lima tahun sebelumnya sebagai anggota dewan dirinya telah bekerja untuk masyarakat. Tentunya kerja si calon kandidat menjadi bukti nyata pengabdiannya sebagai anggota dewan. Penegasan itu secara konseptual dapat dipahami oleh calon pemilih. Setidaknya mereka mendapatkan referensi orang serta tindakan yang telah dilakukan sehingga pantas untuk dipilih kembali. Sehingga keterkaitan penegasan bagian kedua menjadi terlihat jelas untuk mendukung pernyataan bagian pertama nunas doa lan dukungan semeton Karangasem sami. Bagian pertama ini lebih banyak memiliki makna konseptual yang umum dimengerti masyarakat pemilih. Secara konseptual, pernyataan tersebut mencirikan adanya ajakan atau permohonan untuk dapat berkiprah sebagai anggota dewan.

Bahasa Bali juga terdapat pada materi kampanye data 9. Pada data 9 pernyataan yang digunakan oleh si calon kandidat adalah paswecan ida dane sane banget aptiang titiang. Dalam bahasa Indonesia, pernyataan itu dapat diartikan sebagai doa dari anda semua yang sangat saya harapkan. Secara umum, dalam sebuah materi kampanye seperti itu, penggunaan kata paswecan dapat diartikan berbagai hal yang berkaitan dengan kampanye seperti doa restu, dukungan, dan pilihan. Penggunaan bahasa Bali pada data 9 hampir serupa dengan data 6 sebelumnya. Materi kampanye bahasa Bali


(35)

30 bersifat ringkas, jelas, dan padat. Hanya mengharapkan doa restu, dukungan, serta pilihan yang dimunculkan dari penggunaan kata paswecan.

Paswecan Ida Dane Sane Banget Aptiang Titiang

(data 9)

Makna dari materi kampanye data 9 paswecan ida dane sane banget aptiang titiang merupakan makna konseptual. Makna sebenarnya yang tidak menimbulkan makna – makna konotasi lain. Makna yang terjadi adalah makna sebenarnya. Seperti juga makna sebenarnya yang mereferensikan si calon kandidat untuk lebih menghormati para pemilihnya. Hal itu dapat dilihat pada penggunaan kata paswecan dan frasa banget aptiang titiang. Makna yang muncul dari keduanya merupakan makna sesungguhnya yaitu makna yang berhubungan dengan doa restu, dukungan, dan pilihan. Begitu juga dengan frasa banget aptiang titiang mengacu pada hal yang bersifat menurunkan posisi si calon kandidat dengan tujuan menghormati para pemilihnya.


(36)

31 BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

Bagian ini membahas mengenai kesimpulan dan saran terkait dengan penelitian bahasa sebagai penciri budaya dalam kaitannya dengan wacana politik. Kesimpulan dan saran dibahas secara lebih terinci pada bagian di bawah ini.

5.1 Kesimpulan

Terdapat dua kesimpulan yang berkaitan dengan materi analisis pada bagian terdahulu. Kedua kesimpulan itu berhubungan dengan materi permasalahan yang muncul pada penelitian ini.

Bahasa sebagai penciri budaya menjadi salah satu hal paling penting terutama dalam mengkomunikasikan informasi maupun hal – hal khusus lainnya. Kemampuan berkomunikasi dengan pilihan bahasa – bahasa tertentu menjadi sarana yang utama pada wacana politik. Apalagi dalam wacana politik, hal yang sering kali menjadi perhatian adalah usaha untuk memperkenalkan, menginformasikan, dan mengajak para pemilih untuk memilih si calon kandidat. Karena itu, bahasa Indonesia menjadi bahasa yang paling umum digunakan mengingat predikatnya sebagai bahasa nasional dan dipahami oleh semua orang dari berbagai latar belakang. Selain bahasa Indonesia, bahasa Inggris dan bahasa Bali juga menjadi media bahasa untuk menyampaikan informasi pada saat kampanye. Pemakaian bahasa Bali mengingat kedekatan budaya antara si calon kandidat dan masyarakat pemilih yang sebagian besar berlatar belakang budaya Bali, sedangkan penggunaan bahasa Inggris lebih pada tujuan prestise dan gengsi serta pertimbangan sebagai daerah wisata internasional.

Makna yang paling sering muncul pada wacana politik adalah makna konseptual. Makna konseptual merupakan makna sebenarnya dan makna sentral dari suatu wacana terutamanya wacana politik. Dalam wacana politik, penggunaan bahasa dengan tujuan makna konseptual berusaha menghindarkan persepsi atau penafsiran ganda. Makna konseptual memastikan pemahaman dan penafsiran para calon pemilih terhadap si calon kandidat adalah sama. Dengan begitu tujuan untuk memberikan informasi yang penting dan akurat menjadi tercapai dengan penggunaan makna konseptual. Sehingga secara umum, makna konseptual tetap menjadi makna utama


(37)

32 meskipun dalam penyampaikan ide, informasi, atau gagasan, si calon kandidat menggunakan bahasa Indonesia, Inggris, atau Bali.

5.2 Saran

Penggunaan bahasa dalam media yang digunakan sebagai wacana politik memerlukan suatu strategi yang khusus. Hal tersebut berkaitan dengan upaya untuk memberikan informasi yang akurat namun tetap efektif dan efisien. Apalagi jika dikaitkan dengan media – media kampanye yang ditempatkan pada tempat – tempat strategis seperti jalan raya, pusat pertokoan, dan sentra – sentra keramaian, maka diperlukan bahasa yang ringkas dan padat. Sehingga dalam waktu beberapa detik, seseorang yang lewat dapat memperhatikan dan memahami pesan yang disampaikan. Terlalu padatnya informasi dari si calon kandidat seringkali membuat seseorang yang melewati media kampanyenya hanya memperoleh sepenggal pesan dan bukan keseluruhannya. Untuk itu diperlukan strategi yang baik dalam menyampaikan pesan dalam berbagai bahasa.


(38)

33 DAFTAR PUSTAKA

Tarigan, Henry Guntur. 1986. Pengajaran Pragmatik. Bandung: Penerbit Angkasa.

Leech, Geoffrey. 1983. The Principles of Pragmatics. New York: Longman. Leech, Geoffrey. 1977. Semantics. New York: Penguin Books Ltd.

Parker, Frank. 1986. Linguistics for Non-Linguists. Boston: Little, Brown and Company (Inc.).

Rahayu, Yayuk Eny. 2005. Karakteristik Pemakaian Bahasa dalam Spanduk Kampanye Pemilihan Kepala Daerah di Yogyakarta. Hasil penelitian. Yogyakarta: Fakultas Budaya dan Sastra Universitas Negeri Yogyakarta. Diunduh dari laman staff.uny.ac.id pada tanggal 2 September 2013.

Wijana, I Dewa Putu dan Muhammad Rohmadi. 2009. Analisis Wacana Pragmatik Kajian Teori dan Analisis. Surakarta: Yuma Pustaka.


(39)

1

LAMPIRAN


(40)

2

BAHASA DAN MAKNA DALAM WACANA POLITIK

I Gusti Ngurah Parthama1), I Nyoman Tri Ediwan2) 1

Program Studi Sastra Inggris, Fakultas Sastra dan Budaya, Universitas Udayana, Jln. Pulau Nias no 13 Denpasar, 80114,

Telp/Fax: (0361) 257415, ngrpart77@yahoo.com / parthama@fs.unud.ac.id. 2

Program Studi Sastra Inggris, Fakultas Sastra dan Budaya, Universitas Udayana, Jln. Pulau Nias no. 13, Denpasar, 80114

Abstrak

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan bahasa – bahasa yang digunakan dalam

media kampanye khususnya media di luar ruang. Media kampanye yang dimaksud adalah

baliho, spanduk, banner, dan lainnya. Dalam penelitian ini dikaji pilihan – pilihan bahasa yang

digunakan oleh seorang kandidat anggota legislatif dalam melakukan kampanye. Selain itu, makna yang dapat ditafsirkan dari penggunaan bahasa tersebut juga menjadi kajian pada penelitian ini. Penelitian ini menggunakan metode purposive random sampling pada pengumpulan data dan metode deskriptif kualitatif pada analisa data. Metode deskriptif

kualitatif diaplikasikan berdasarkan pada teori mengenai makna – makna yang dikembangkan

oleh Leech (1977). Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah terdapat tiga bahasa yang digunakan pada media kampanye yaitu bahasa Indonesia, bahasa Bali, dan bahasa Inggris. Paling dominan adalah bahasa Indonesia mengingat hampir sebagian besar masyarakat memahami bahasa nasional tersebut. Sementara itu, makna yang terdapat pada penggunaan bahasa media kampanye adalah makna konseptual. Dimana makna konseptual merupakan makna denotasi atau makna utama yang tidak dapat ditafsirkan dengan penafsiran berbeda. Sehingga pemahaman semua orang yang melihat dan membaca suatu media kampanye mempunyai pemaknaan dan penafsiran yang sama.

Kata kunci: bahasa, media kampanye, makna

1. PENDAHULUAN

Bahasa juga memasuki ranah – ranah komunikasi yang tidak biasa. Bahasa digunakan pada bidang – bidang khusus seperti politik, ekonomi, sosial budaya, dan bahkan pertahanan keamanan. Dalam bidang politik, bahasa menjadi sesuatu yang penting. Seorang pemimpin yang mampu menguasai bahasa maka secara langsung mampu menguasai para pengikutnya. Dengan bahasa, seorang pemimpin dapat menyampaikan program – program kerjanya maupun kebijakan publik lainnya. Bahasa juga memungkinkan seorang pemimpin baik itu di tingkat legislatif, eksekutif, maupun yudikatif dapat dinilai kepribadian maupun kemampuannya dalam hal berkomunikasi.


(41)

3 Kepribadian dan kemampuan berkomunikasi serta memanfaatkan bahasa menjadi tujuan utama pada saat pemilihan umum legislatif 2014 lalu. Bahasa memungkinkan para kandidat anggota parlemen atau dewan perwakilan rakyat berkomunikasi dengan para pemilihnya. Bahasa menjadi penting mewakili hal – hal yang hendak dikomunikasikan oleh para calon anggota parlemen. Bahasa menjadi media untuk dapat mengenalkan diri, menginformasikan program kerja, dan pada akhirnya mengajak para pemilihnya untuk memilih calon anggota parlemen tertentu. Kemampuan mengolah bahasa menjadikan para kandidat anggota parlemen berlomba menarik perhatian melalui permainan kata, kalimat, bahkan wacana. Dalam ranah politik, pemilihan bahasa dengan ekspresi tertentu maupun pemilihan penggunaan bahasa dengan bahasa ibu maupun bahasa asing menjadi menarik. Penelitian ini akan mendeskripsikan pemilihan bahasa dan ekspresi tertentu yang muncul pada komunikasi politik kandidat anggota parlemen pada pemilihan umum legislatif yang lalu. Dengan pemilihan bahasa maupun ekspresi tertentu nantinya akan dibahasa mengenai makna – makna yang terkandung pada setiap tuturannya. Meski secara sederhana dikatakan bahwa bahasa politik adalah bahasa yang lugas dan jelas, namun masih terdapat kandidat yang menggunakan ekspresi tertentu sehingga menimbulkan interpretasi berbeda.

Rahayu (2005) dalam hasil penelitiannya mengenai karakteristik pemakaian bahasa dalam spanduk kampanye pemilihan kepala daerah di Yogyakarta mengungkapkan bahwa makna yang muncul lebih pada aspek makna dengan kecenderungan bermakna positif. Lebih lanjut dijelaskan bahwa pemakaian bahasa dalam spanduk kampanye mempunyai pemilihan kata dalam tiga kelompok yaitu verba aksi dengan perwujudan, nomina yang berkonotasi kejahatan, dan adjektiva yang berkonotasi positif. Dengan tiga pengelompokan kata tersebut maka dapat disimpulkan bahwa spanduk kampanye mempunyai dua fungsi yaitu fungsi informasi dan fungsi persuasi. Bahasa yang digunakan menjadi media untuk memberi informasi dan melakukan persuasi terhadap para pemilih. Sehingga faktor yang juga dapat dilihat dari penggunaan bahasa dalam spanduk kampanye cenderung pada adalah adanya faktor fungsi sebagai ‘iklan’ dengan tujuan ‘menawarkan’ sesuatu. Secara pragmatis dapat disimpulkan jika karakteristik bahasa pada spanduk kampanye lebih pada fungsi persuasif dan fungsi komisif.

Leech (1977: 10) membagi makna dari suatu tuturan menjadi tujuh makna. Ketujuh makna tersebut adalah makna konseptual, makna konotatif, makna stilistik dan afektif, makna reflektif dan kolokatif, makna asosiatif, makna tematik, dan makna intensi dan tafsiran. Masing – masing makna mempunyai karakteristik yang membedakan antara satu makna dan lainnya. Sehingga makna – makna itu nantinya akan membantu saat melakukan analisa tindak tutur. Makna konseptual merupakan makna sesungguhnya yang dimaksud oleh penutur. Dalam hal ini makna konseptual mengacu pada referensi suatu tindakan, barang, orang, atau lainnya. Selanjutnya makna konotatif lebih menekankan pada makna yang berbeda dengan ujaran sesungguhnya atau seringkali disebut makna figuratif. Makna stilistik dan afektif mengacu pada situasi komunikasi ketika tuturan berlangsung. makna reflektif dan kolokatif lebih mengkhususkan pada hubungan interkoneksi antar tingkatan leksikal suatu bahasa. Makna asosiatif bagi Leech (1977: 21) merupakan makna yang sifatnya lebih luas dibandingkan makna refleksi dan makna kolokasi serta makna afektif dan makna stilistik. Leech mengungkapkan parameter makna asosiatif cenderung berdasarkan pada hubungan antara asosiasi antara teori yang terdapat pada pikiran penutur yang didasarkan pada pengalaman kognitifnya. Makna tematik lebih mengkhususkan pada organisasi penutur saat tuturan berlangsung.


(42)

4 Dari pembahasan di atas maka dapat diformulasikan permasalahan penelitian. Permasalahan yang muncul adalah apa saja variasi bahasa yang digunakan pada media kampanye 2014 dan bagaimana sesungguhnya makna dari penggunaan bahasa tersebut pada media kampanye? Secara sederhana, penggunaan bahasa dalam konteks – konteks tertentu memunculkan makna – makna yang juga berbeda. Hal tersebut berkaitan dengan penggunaan bahasa yang terjadi pada konteks tertentu dengan peserta bicara yang juga bervariasi.

2. METODELOGI PENELITIAN

Sumber data penelitian ini adalah media – media kampanye yang digunakan para caleg saat kegiatan kampanye calon legislatif 2014. Masa kampanye berlangsung selama hampir dua bulan terhitung mulai dari Januari hingga Februari.

Metode pengumpulan data yang digunakan pada penelitian ini adalah metode simak. Pelaksanaan metode simak didukung dengan sejumlah teknik pengumpulan data. Dalam pengumpulan data dilakukan teknik purposive random sampling yang artinya data – data yang dipilih merupakan data acak dengan tujuan penelitian yang hendak dilakukan. Teknik rekam dilakukan dengan cara memfoto media – media kampanye yang akan digunakan sebagai data. Selanjutnya teknik pemilahan dilakukan untuk memilah data penelitian yang sesuai dan data yang tidak sesuai. Setelah itu proses pengumpulan data dilanjutkan dengan teknik membaca rinci dan teknik mencatat.

Metode yang akan digunakan saat analisa data adalah metode deskriptif kualitatif. Metode deskriptif kualitatif menerapkan teknik deskripsi saat dilakukan analisa data berdasarkan kajian tindak tutur dan kajian makna. Teknik deskripsi yang berkualitas akan mengacu pada teori – teori mengenai kajian tindak tutur dan kajian makna.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Bagian ini membahas mengenai dua hal yang berkaitan dengan bahasa sebagai penciri budaya yang dihubungkan dengan kajian wacana politik. Pertama, membahas mengenai variasi bahasa – bahasa yang digunakan dalam wacana politik oleh calon anggota dewan perwakilan rakyat. Kedua, kajian berikutnya adalah makna yang dimiliki oleh penggunaan bahasa dalam wacana politik. Dalam hal ini dibahas mengenai makna – makna yang terkandung dalam tuturan berdasarkan teori makna dari Leech (1977).

3.1 Penggunaan Bahasa Indonesia dan Makna Teks

Data 1 di atas menggunakan media bahasa Indonesia sebagai materi kampanye. Kandidat calon anggota legislatif menggunakan bahasa Indonesia dengan tiga bagian yang penting. Bagian pertama terdiri dari kalimat kita tingkatkan kesejahteraan masyarakat dan perjuangan aspirasi


(43)

5

semangat dan kebersamaan. Pada bagian ketiga terdapat kalimat mari bergabung bersama

partai Nasdem.

Secara keseluruhan, penggunaan bahasa Indonesia pada data 1 merupakan bentuk informasi dan ajakan. Informasi yang dimunculkan pada bagian pertama berkaitan dengan dua kata yaitu kesejahteraan dan program masyarakat. Dua hal yang paling sering muncul selama masa kampanye yang berkaitan dengan kondisi bangsa serta masyarakat secara umum. Sedangkan pada bagian kedua merupakan informasi yang bersifat umum dan berkaitan dengan jargon partai, perubahan. Hanya, untuk menekankan adanya peran serta masyarakat dan komponen bangsa lainnya, si calon kandidat menambahkan kata semangat dan kebersamaan. Sementara pada bagian ketiga lebih menekankan pada informasi tentang partai si calon. Pada bagian ketiga serta bagian pertama sesungguhnya mempunyai fungsi sebagai ajakan. Hal tersebut terlihat dari penggunaan kata tingkatkan dan mari bergabung. Dengan penggunaan kedua kata itu dapat terlihat jika si calon anggota legislatif mengajak semua masyarakat untuk sejahtera dan melakukan program masyarakat. Apalagi pada bagian ketiga terdapat pronomina kita yang mengacu pada si calon kandidat serta orang – orang lain di sekitarnya. Hal itu berhubungan erat dengan kebersamaan yang muncul pada bagian kedua materi kampanyenya.

Secara keseluruhan, makna yang muncul pada materi verbal kampanye di data 1 mengacu pada makna konseptual. Leech (1977) mendeskripsikan makna konseptual sebagai makna yang sebenarnya. Pada data 1 di atas, keseluruhan pernyataan memunculkan makna yang pasti dan denotatif. Dalam hal ini, orang lain dengan mudah dapat memahami informasi yang disampaikan si calon kandidat. Orang lain dapat mengerti mengenai poin – poin seperti

kesejahteraan, program masyarakat, kebersamaan, dan ajakan untuk bergabung ke partainya.

Makna – makna konseptual di sini sesungguhnya sejalan dengan makna yang umumnya terdapat pada materi – materi kampanye. Dalam materi kampanye, seseorang yang mengkampanyekan dirinya sesungguhnya tidak perlu menggunakan bahasa yang menimbulkan makna berbeda. Karena hal itu justru merugikan si calon kandidat. Persepsi atau pandangan yang berbeda dari pembaca malah akan menurunkan harapan si calon kandidat.

3.2 Penggunaan Bahasa Inggris dan Makna Teks

Data 2 berisikan materi bahasa Inggris together building Bangli for better future dan thanks

brothers. Kedua bagian bahasa Inggris si calon kandidat sesungguhnya berisikan ajakan dan

ucapan terima kasih. Ajakan dapat dilihat melalui bagian pertama dari isi kampanyenya dengan

together building Bangli for better future yang diartikan dalam bahasa Indonesia adalah

bersama membangun Bangli untuk masa depan lebih baik.

Tentunya pernyataan tersebut berupa ajakan dari si calon kandidat kepada para pemilihnya. Sedangkan bagian kedua lebih menyoroti ucapan terima kasih dengan thanks

brothers. Yang menarik dari pernyataan thanks brothers itu adalah penggunaan kata brothers

yang menjadi bahasa Inggris pergaulan. Umumnya penggunaan brothers ditujukan pada mereka yang merasa senasib dan sepenanggungan, sehingga nantinya muncul istilah brotherhood.

Secara umum, makna yang muncul dari penggunaan bahasa Inggris itu adalah makna konseptual. Makna sesungguhnya atau makna denotasi terhadap keinginan untuk menjadi daerah Bangli lebih baik di masa depan. Terdapat referensi daerah dan kondisi daerah yang


(1)

3 Kepribadian dan kemampuan berkomunikasi serta memanfaatkan bahasa menjadi tujuan utama pada saat pemilihan umum legislatif 2014 lalu. Bahasa memungkinkan para kandidat anggota parlemen atau dewan perwakilan rakyat berkomunikasi dengan para pemilihnya. Bahasa menjadi penting mewakili hal – hal yang hendak dikomunikasikan oleh para calon anggota parlemen. Bahasa menjadi media untuk dapat mengenalkan diri, menginformasikan program kerja, dan pada akhirnya mengajak para pemilihnya untuk memilih calon anggota parlemen tertentu. Kemampuan mengolah bahasa menjadikan para kandidat anggota parlemen berlomba menarik perhatian melalui permainan kata, kalimat, bahkan wacana. Dalam ranah politik, pemilihan bahasa dengan ekspresi tertentu maupun pemilihan penggunaan bahasa dengan bahasa ibu maupun bahasa asing menjadi menarik. Penelitian ini akan mendeskripsikan pemilihan bahasa dan ekspresi tertentu yang muncul pada komunikasi politik kandidat anggota parlemen pada pemilihan umum legislatif yang lalu. Dengan pemilihan bahasa maupun ekspresi tertentu nantinya akan dibahasa mengenai makna – makna yang terkandung pada setiap tuturannya. Meski secara sederhana dikatakan bahwa bahasa politik adalah bahasa yang lugas dan jelas, namun masih terdapat kandidat yang menggunakan ekspresi tertentu sehingga menimbulkan interpretasi berbeda.

Rahayu (2005) dalam hasil penelitiannya mengenai karakteristik pemakaian bahasa dalam spanduk kampanye pemilihan kepala daerah di Yogyakarta mengungkapkan bahwa makna yang muncul lebih pada aspek makna dengan kecenderungan bermakna positif. Lebih lanjut dijelaskan bahwa pemakaian bahasa dalam spanduk kampanye mempunyai pemilihan kata dalam tiga kelompok yaitu verba aksi dengan perwujudan, nomina yang berkonotasi kejahatan, dan adjektiva yang berkonotasi positif. Dengan tiga pengelompokan kata tersebut maka dapat disimpulkan bahwa spanduk kampanye mempunyai dua fungsi yaitu fungsi informasi dan fungsi persuasi. Bahasa yang digunakan menjadi media untuk memberi informasi dan melakukan persuasi terhadap para pemilih. Sehingga faktor yang juga dapat dilihat dari penggunaan bahasa dalam spanduk kampanye cenderung pada adalah adanya faktor fungsi sebagai ‘iklan’ dengan tujuan ‘menawarkan’ sesuatu. Secara pragmatis dapat disimpulkan jika karakteristik bahasa pada spanduk kampanye lebih pada fungsi persuasif dan fungsi komisif.

Leech (1977: 10) membagi makna dari suatu tuturan menjadi tujuh makna. Ketujuh makna tersebut adalah makna konseptual, makna konotatif, makna stilistik dan afektif, makna reflektif dan kolokatif, makna asosiatif, makna tematik, dan makna intensi dan tafsiran. Masing – masing makna mempunyai karakteristik yang membedakan antara satu makna dan lainnya. Sehingga makna – makna itu nantinya akan membantu saat melakukan analisa tindak tutur. Makna konseptual merupakan makna sesungguhnya yang dimaksud oleh penutur. Dalam hal ini makna konseptual mengacu pada referensi suatu tindakan, barang, orang, atau lainnya. Selanjutnya makna konotatif lebih menekankan pada makna yang berbeda dengan ujaran sesungguhnya atau seringkali disebut makna figuratif. Makna stilistik dan afektif mengacu pada situasi komunikasi ketika tuturan berlangsung. makna reflektif dan kolokatif lebih mengkhususkan pada hubungan interkoneksi antar tingkatan leksikal suatu bahasa. Makna asosiatif bagi Leech (1977: 21) merupakan makna yang sifatnya lebih luas dibandingkan makna refleksi dan makna kolokasi serta makna afektif dan makna stilistik. Leech mengungkapkan parameter makna asosiatif cenderung berdasarkan pada hubungan antara asosiasi antara teori yang terdapat pada pikiran penutur yang didasarkan pada pengalaman kognitifnya. Makna tematik lebih mengkhususkan pada organisasi penutur saat tuturan berlangsung.


(2)

4 Dari pembahasan di atas maka dapat diformulasikan permasalahan penelitian. Permasalahan yang muncul adalah apa saja variasi bahasa yang digunakan pada media kampanye 2014 dan bagaimana sesungguhnya makna dari penggunaan bahasa tersebut pada media kampanye? Secara sederhana, penggunaan bahasa dalam konteks – konteks tertentu memunculkan makna – makna yang juga berbeda. Hal tersebut berkaitan dengan penggunaan bahasa yang terjadi pada konteks tertentu dengan peserta bicara yang juga bervariasi.

2. METODELOGI PENELITIAN

Sumber data penelitian ini adalah media – media kampanye yang digunakan para caleg saat kegiatan kampanye calon legislatif 2014. Masa kampanye berlangsung selama hampir dua bulan terhitung mulai dari Januari hingga Februari.

Metode pengumpulan data yang digunakan pada penelitian ini adalah metode simak. Pelaksanaan metode simak didukung dengan sejumlah teknik pengumpulan data. Dalam pengumpulan data dilakukan teknik purposive random sampling yang artinya data – data yang dipilih merupakan data acak dengan tujuan penelitian yang hendak dilakukan. Teknik rekam dilakukan dengan cara memfoto media – media kampanye yang akan digunakan sebagai data. Selanjutnya teknik pemilahan dilakukan untuk memilah data penelitian yang sesuai dan data yang tidak sesuai. Setelah itu proses pengumpulan data dilanjutkan dengan teknik membaca rinci dan teknik mencatat.

Metode yang akan digunakan saat analisa data adalah metode deskriptif kualitatif. Metode deskriptif kualitatif menerapkan teknik deskripsi saat dilakukan analisa data berdasarkan kajian tindak tutur dan kajian makna. Teknik deskripsi yang berkualitas akan mengacu pada teori – teori mengenai kajian tindak tutur dan kajian makna.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Bagian ini membahas mengenai dua hal yang berkaitan dengan bahasa sebagai penciri budaya yang dihubungkan dengan kajian wacana politik. Pertama, membahas mengenai variasi bahasa – bahasa yang digunakan dalam wacana politik oleh calon anggota dewan perwakilan rakyat. Kedua, kajian berikutnya adalah makna yang dimiliki oleh penggunaan bahasa dalam wacana politik. Dalam hal ini dibahas mengenai makna – makna yang terkandung dalam tuturan berdasarkan teori makna dari Leech (1977).

3.1 Penggunaan Bahasa Indonesia dan Makna Teks

Data 1 di atas menggunakan media bahasa Indonesia sebagai materi kampanye. Kandidat calon anggota legislatif menggunakan bahasa Indonesia dengan tiga bagian yang penting. Bagian pertama terdiri dari kalimat kita tingkatkan kesejahteraan masyarakat dan perjuangan aspirasi program masyarakat. Sedangkan bagian kedua terdiri dari pernyataan perubahan membutuhkan


(3)

5 semangat dan kebersamaan. Pada bagian ketiga terdapat kalimat mari bergabung bersama partai Nasdem.

Secara keseluruhan, penggunaan bahasa Indonesia pada data 1 merupakan bentuk informasi dan ajakan. Informasi yang dimunculkan pada bagian pertama berkaitan dengan dua kata yaitu kesejahteraan dan program masyarakat. Dua hal yang paling sering muncul selama masa kampanye yang berkaitan dengan kondisi bangsa serta masyarakat secara umum. Sedangkan pada bagian kedua merupakan informasi yang bersifat umum dan berkaitan dengan jargon partai, perubahan. Hanya, untuk menekankan adanya peran serta masyarakat dan komponen bangsa lainnya, si calon kandidat menambahkan kata semangat dan kebersamaan. Sementara pada bagian ketiga lebih menekankan pada informasi tentang partai si calon. Pada bagian ketiga serta bagian pertama sesungguhnya mempunyai fungsi sebagai ajakan. Hal tersebut terlihat dari penggunaan kata tingkatkan dan mari bergabung. Dengan penggunaan kedua kata itu dapat terlihat jika si calon anggota legislatif mengajak semua masyarakat untuk sejahtera dan melakukan program masyarakat. Apalagi pada bagian ketiga terdapat pronomina kita yang mengacu pada si calon kandidat serta orang – orang lain di sekitarnya. Hal itu berhubungan erat dengan kebersamaan yang muncul pada bagian kedua materi kampanyenya.

Secara keseluruhan, makna yang muncul pada materi verbal kampanye di data 1 mengacu pada makna konseptual. Leech (1977) mendeskripsikan makna konseptual sebagai makna yang sebenarnya. Pada data 1 di atas, keseluruhan pernyataan memunculkan makna yang pasti dan denotatif. Dalam hal ini, orang lain dengan mudah dapat memahami informasi yang disampaikan si calon kandidat. Orang lain dapat mengerti mengenai poin – poin seperti kesejahteraan, program masyarakat, kebersamaan, dan ajakan untuk bergabung ke partainya. Makna – makna konseptual di sini sesungguhnya sejalan dengan makna yang umumnya terdapat pada materi – materi kampanye. Dalam materi kampanye, seseorang yang mengkampanyekan dirinya sesungguhnya tidak perlu menggunakan bahasa yang menimbulkan makna berbeda. Karena hal itu justru merugikan si calon kandidat. Persepsi atau pandangan yang berbeda dari pembaca malah akan menurunkan harapan si calon kandidat.

3.2 Penggunaan Bahasa Inggris dan Makna Teks

Data 2 berisikan materi bahasa Inggris together building Bangli for better future dan thanks brothers. Kedua bagian bahasa Inggris si calon kandidat sesungguhnya berisikan ajakan dan ucapan terima kasih. Ajakan dapat dilihat melalui bagian pertama dari isi kampanyenya dengan together building Bangli for better future yang diartikan dalam bahasa Indonesia adalah bersama membangun Bangli untuk masa depan lebih baik.

Tentunya pernyataan tersebut berupa ajakan dari si calon kandidat kepada para pemilihnya. Sedangkan bagian kedua lebih menyoroti ucapan terima kasih dengan thanks brothers. Yang menarik dari pernyataan thanks brothers itu adalah penggunaan kata brothers yang menjadi bahasa Inggris pergaulan. Umumnya penggunaan brothers ditujukan pada mereka yang merasa senasib dan sepenanggungan, sehingga nantinya muncul istilah brotherhood.

Secara umum, makna yang muncul dari penggunaan bahasa Inggris itu adalah makna konseptual. Makna sesungguhnya atau makna denotasi terhadap keinginan untuk menjadi daerah Bangli lebih baik di masa depan. Terdapat referensi daerah dan kondisi daerah yang


(4)

6 menjadi acuan dari si calon kandidat saat menyampaikan pesan sehingga memunculkan nama daerah Bangli pada pesan bahasa Inggrisnya. Selain referensi terhadap daerah, makna konseptual yang muncul juga dapat dilihat dari keseluruhan kalimat berbahasa Inggris yang digunakan. Seperti pada bagian pertama together building Bangli for better future berisikan makna konseptual yang dapat dimengerti oleh setiap orang. Arti bersama membangun Bangli untuk masa depan lebih baik tidak mempunyai penafsiran makna yang berbeda. Makna yang muncul adalah makna yang sudah jelas dimengerti dan memang mempunyai arti yang sudah pasti. Karenanya, pemaknaan konseptual pada materi kampanye data 4 dapat dipahami dengan baik. Hanya memahami materi kampanye dalam bahasa Inggris tentunya memerlukan penafsiran dalam bahasa Indonesia terlebih dahulu.

3.3 Penggunaan Bahasa Bali dan Makna Teks

Data 3 berisikan materi kampanye yang menggunakan bahasa Bali. Materi kampanye si calon kandidat berisikan niki sane nyandang pilih sampun mebukti. Bahasa Bali yang digunakan mempunyai pesan yang sangat jelas. Jika dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia maka akan berarti ini yang pantas dipilih sudah terbukti. Tidak ada penafsiran atau makna lain yang muncul dari penggunaan bahasa Bali tersebut.

Sehingga, makna konseptual yang ada pada materi kampanye itu dengan mudah dapat dimengerti. Sebagai makna yang paling sentral menurut Leech (1977), makna konseptual merupakan makna yang berhubungan dengan kondisi sesungguhnya dari suatu pernyataan. Dalam hal ini keterkaitan dengan materi kampanye di data 6 menjadi sangat kuat. Keterkaitan tersebut muncul dari adanya dua bagian penting dari penggunaan bahasa Bali yang dapat dipahami satu persatu dan menjadi satu kesatuan. Bagian pertama niki sane nyandang pilih memberikan makna kepastian terhadap pilihan masyarakat. Penegasan itu dapat dilihat dari penggunaan frasa niki sane nyandang pilih. Sehingga secara makna, tidak ada kandidat lain yang pantas untuk dipilih.

Hal lain yang juga menguatkan adalah pernyataan bagian kedua sampun mebukti. Dengan pernyataan sampun mebukti menunjukkan secara denotatif bahwa si calon kandidat telah melakukan berbagai hal di masyarakat. Dengan begitu sudah terbukti ada sumbangsih dari si calon kandidat kepada masyarakat. Pada bagian ini juga terdapat hal yang sifatnya eksklusif yang tidak dapat ditafsir oleh orang lain di luar dari lingkungan si calon kandidat. Pernyataan sampun mebukti sesungguhnya hanya dapat dipahami oleh orang – orang atau masyarakat di sekitar lingkungan si calon kandidat yang mengetahui seperti apa sumbangan yang diberikannya. Untuk itu, secara umum materi niki sane nyandang pilih sampun mebukti masih memungkinkan adanya penjelasan lebih lanjut.

4. KESIMPULAN

Bahasa sebagai penciri budaya menjadi salah satu hal paling penting terutama dalam mengkomunikasikan informasi maupun hal – hal khusus lainnya. Kemampuan berkomunikasi dengan pilihan bahasa – bahasa tertentu menjadi sarana yang utama pada wacana politik.


(5)

7 Apalagi dalam wacana politik, hal yang sering kali menjadi perhatian adalah usaha untuk memperkenalkan, menginformasikan, dan mengajak para pemilih untuk memilih si calon kandidat.

Karena itu, bahasa Indonesia menjadi bahasa yang paling umum digunakan mengingat predikatnya sebagai bahasa nasional dan dipahami oleh semua orang dari berbagai latar belakang. Selain bahasa Indonesia, bahasa Inggris dan bahasa Bali juga menjadi media bahasa untuk menyampaikan informasi pada saat kampanye. Pemakaian bahasa Bali mengingat kedekatan budaya antara si calon kandidat dan masyarakat pemilih yang sebagian besar berlatar belakang budaya Bali, sedangkan penggunaan bahasa Inggris lebih pada tujuan prestise dan gengsi serta pertimbangan sebagai daerah wisata internasional.

Makna yang paling sering muncul pada wacana politik adalah makna konseptual. Makna konseptual merupakan makna sebenarnya dan makna sentral dari suatu wacana terutamanya wacana politik. Dalam wacana politik, penggunaan bahasa dengan tujuan makna konseptual berusaha menghindarkan persepsi atau penafsiran ganda. Makna konseptual memastikan pemahaman dan penafsiran para calon pemilih terhadap si calon kandidat adalah sama. Dengan begitu tujuan untuk memberikan informasi yang penting dan akurat menjadi tercapai dengan penggunaan makna konseptual.

Ucapan Terimakasih

Kami menyampaikan terima kasih kepada Dr. Ni Luh Ketut Mas Indrawati, M.A. selaku ketua program studi Sastra Inggris Universitas Udayana yang telah mendorong dan memotivasi kami sebagai anggota termuda di prodi Sastra Inggris untuk ikut berpartisipasi dalam penelitian dosen muda tahun 2015 ini. Kami juga menyampaikan penghargaan terhadap Prof. Dr. I Wayan Cika, M.S., sebagai dekan Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Udayana atas tuntunannya selama proses penyelesaian penelitian ini. Tidak lupa kami menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada pihak Universitas Udayana khususnya Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) melalui Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp. PD (KEMD)., sebagai rektor Universitas Udayana dan Prof. Dr. Ir. I Nyoman Gde Antara, M.Eng., sebagai ketua LPPM atas kesempatan penelitian yang diberikan kepada peneliti Universitas Udayana.

DAFTAR PUSTAKA

Tarigan, Henry Guntur. 1986. Pengajaran Pragmatik. Bandung: Penerbit Angkasa.

Leech, Geoffrey. 1983. The Principles of Pragmatics. New York: Longman.


(6)

8 Parker, Frank. 1986. Linguistics for Non-Linguists. Boston: Little, Brown and Company (Inc.).

Rahayu, Yayuk Eny. 2005. Karakteristik Pemakaian Bahasa dalam Spanduk Kampanye Pemilihan Kepala Daerah di Yogyakarta. Hasil penelitian. Yogyakarta: Fakultas Budaya dan Sastra Universitas Negeri Yogyakarta. Diunduh dari laman staff.uny.ac.id pada tanggal 2 September 2013.