33
karaoke : oral sex untuk laki-laki
ngoce : bercerita atau mengobrol
buka dasar : baru keluar untuk bekerja
serangan fajar : waktu kerja habis
Proses interaksi yang demikian berdasarkan gaya bahasa, kode dan simbol yang di utarakan kemudian menghasilkan interaksi yang baik antara mereka karena terjadi
percakapan yang mendalam dalam proses komunikasinya. Sebab tidak hanya terjadi proses tawar-menawar, untuk hubungan timbal balik dari PSK kepada pelanggan melalui
gaya bahasa, simbol dan kode yang diberikan dan dilakukan melainkan juga membahas masalah ekonomi dan latar belakang sosial lainnya dari pihak PSK maupun pelanggan
sehingga membangun kenyamanan atau kedekatan dalam relasinya. Selain itu, dalam proses interaksi yang berlangsung PSK secara tegas menegaskan bahwa tidak ada
pembedaan antara pelayanan kepada pelanggan baru dan lama di kota lama Semarang dan bahasa yang digunakan adalah bahasaa jawa.
4.3 PEMBAHASAN
Pada bagian ini berisi tentang analisa hasil temuan berdasarkan teori yang digunakan pada bab dua untuk memahami gaya bahasa, kode dan ymbol
secara mendalam.
4.3.2 Gaya bahasa, Simbol, dan Kode PSK dalam melayani Pelanggan di
Kota lama Semarang
Menurut Mulyana, esensi dari interaksionisme simbolik adalah suatu aktivitas yang merupakan ciri khas manusia yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang
diberi makna Mulyana, 2003:59. Oleh karena itu dari pandangan tersebut maka
34
dapat dipahami bahwa gaya bahasa, kode, dan simbol terdapat pada interaksi PSK di Kota Lama Semarang dengan pelanggannya telah memunculkan makna dari beberapa
kata yang sebenarnya secara harafiah memiliki arti yang berbeda dengan pemaknaan yang dipahami dalam konteks interaksi yang berlangsung.
Data dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa yang menjadi gaya bahasa simbol dan kode dalam interaksi PSK dengan pelanggan adalah kata ngamar,
ngomprong congor, dan lain-lain dapat dikategorikan ke dalam interaksionisme simbolik. Di mana kata-kata tersebut merupakan komunikasi atau pertukaran simbol
yang diberi makna. Contohnya pada kata ngamar yang berarti ajakan untuk bercinta atau memberi kode pada pelanggan bahwa mereka bisa diajak bercinta.
Namun lebih lanjut, dalam prosesnya secara khusus terkait dengan perbedaan simbol gaya bahasa dan kode ternyata, PSK tidak membedakannya dalam interaksi
dengan pelanggan lama atau pelanggan baru. Oleh karena itu yang terjadi seolah- olah semua pelanggan lama atau baru mengerti gaya bahasa yang mereka pakai.
Padahal ada beberapa kata yang tidak dimengerti pelanggan. Cara mengatasi proses salah tafsir makna terhadap kata tersebut tidaklah sulit
dalam konteks interaksi ini, karena proses klarifikasi atau konfirmasi terhadap makna kata ngamar sudah menjelaskan arti ajakan untuk bercinta. Oleh karena itu, kata ini
kemudian dalam proses interaksi dan komunikasi yang terjadi berfungsi ganda yang mana tidak perlu adanya penjelasan lebih panjang terkait dengan apa yang mereka
mau, di saat pelanggan menemui atau mendatangi PSK tersebut baik di luar maupun di dalam kamar.
Artinya bahwa terdapat penyesuaian makna yang terjadi secara fleksibel dalam perilaku-perilaku antara PSK maupun pelanggan karena sama-sama
mengetahui tujuan dari komunikasi dan interaksi diantara keduanya dan mereka berdua saling mempengaruhi dilihat dari posisi mereka sebagai penafsir atas kata-kata
35
yang digunakan Barthes, 1998: 172-173. Karena dalam perannya terdapat tindakan bersama, dalam menerima respons timbal balik yang mengakibatkan pengambilan
peran sesuai dengan konteks peran sebagai PSK dan Pelanggan Joel M. Charon: 146-150.
Selanjutnya terdapat kata yang juga menarik yakni Ciblek kata ini merupakan kata yang digunakan untuk meyebut mereka yang bekerja sebagai PSK terutama
dalam lingkungan sosialnya. Kata ini biasanya mendapatkan pemaknaan dan arti yang kurang lebih sama khususnya di daerah jawa. Adanya penggunaan istilah ini
yang melekat pada diri seseorang yang bekerja sebagai PSK dapat dipahami sebagai suatu proses yang menurut Mead seperti yang dikutip oleh Mulyana, 2003: 59
sebagai proses yang mana terjadi hubungan sosial yang dibangun, diciptakan lewat kata, dan dikonstruksi oleh setiap individu di tengah masyarakat, dan setiap individu
dalam praktiknya terlibat dalam perilaku-perilaku yang mereka pilih. Apalagi kata tersebut sering digunakan dalam proses komunikasi khususnya di daerah Jawa yang
menyebabkan kata ini kemudian semakin mendapat makna atau arti yang melekat pada diri PSK dalam komunikasi antar pribadi maupun kelompok Bungin, 2006: 32.
Kata ngomprong congor dilihat dari gaya bahasa dan penyampaiannya, cenderung dipandang kasar dalam budaya Jawa karena jika diartikan secara harafiah
dalam bahasa Indonesia berarti melakukan kegiatan mulut. Padahal artinya dalam konteks komunikasi antara PSK dan Pelanggan berarti merokok. Hal ini yang sering
digunakan dalam interaksi PSK dan Pelanggan. Pada dasarnya maknanya secara tersirat kemudian mengungkapkan profesinya secara tidak sadar sebagai PSK atau,
orang-orang yang dipandang amoral dalam masyarakat terkait dengan pekerjaannya. Semi, 1984: 38-41.
Terkait dengan kata tersebut, dalam interaksi yang berlangsung ternyata, faktor utama yang menjadi sebab mengapa para wanita yang pada akhirnya bekerja
36
sebagai PSK adalah karena mereka berpikir tentang bagaimana cara paling mudah dan praktis agar dapat mendapatkan uang dari pekerjaan itu. Alasan semacam ini
kemudian sejalan dengan apa yang telah dikatakan oleh Subrada, bahwa seseorang yang menjual dirinya dengan melakukan hubungan seks untuk tujuan ekonomi
Subadara, 2007. Dan inilah yang terjadi dengan para PSK yang ada di Kota Lama Semarang. Rata-rata dari mereka bekerja seperti ini karena faktor ekonomi, demi
menghidupi keluarga atau membantu biaya sekolah untuk saudara mereka. Disisi yang lain terkait dengan memilih pekerjaan ini, karena mereka
memiliki latar belakang pendidikan yang tidak mendukung untuk mereka dapat mencari pekerjaan lain. Hal ini terjadi akibat banyak diantara mereka yang tidak
menyelesaikan pendidikan di bangku sekolah. Sehingga para PSK lebih memilih untuk mengambil pekerjaan seperti ini untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari
mereka. Hal tersebut menunjukkan bahwa manusia dipandang lebih sulit untuk diprediksi dan bersikap lebih aktif, untuk mengarahkan dirinya sendiri sesuai dengan
pilihan yang mereka buat Mulyana, 2003: 59. Lebih lanjut pada konteks permasalahan ini para PSK ini bukanlah pekerja
yang terorganisasi dengan baik, sehingga mereka beroperasi secara tidak tetap serta tidak terorganisasi dengan jelas Subadara, 2007 namun yang membedakannya
adalah mereka ini hanya bekerja menetap di satu tempat yakni Kota Lama Semarang. Tipe dari PSK disini adalah tipe menunggu di tempat-tempat tertentu Alam, 1984:
18-27. Pada akhirnya dalam keseluruhan rangkaian interaksi yang berlangsung antara
PSK Kota Lama Semarang dengan Pelanggan tidak ada pembedaan secara spesifik karena motif utama yang mereka dahulukan adalah ekonomi dan hal ini dipandang
sebagai suatu hal yang wajar dan biasa dilakukan dalam lingkungan di mana mereka bekerja untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
37
4.3.2 Keterkaitan Geografis Terhadap Gaya Bahasa