Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Gaya Bahasa Pekerja Seks : Analisa Gaya Bahasa, Kode, dan Simbol PSK Kota Semarang T1 362010062 BAB IV

(1)

26

BAB 4

GAYA BAHASA,KODE,DAN SIMBOL YANG DIPAKAI OLEH PSK KOTA LAMA SEMARANG

Pada bab ini, peneliti akan menguraikan hasil penelitian dari rumusan masalah yang sudah dijelaskan di Bab 1, yaitu gaya bahasa, kode, dan simbol yang ada pada PSK. Hasil ini diperoleh dengan teknik wawancara dan dokumentasi langsung di lapangan. Analisis ini terfokus pada gaya bahasa, kode dan simbol yang digunakan para PSK untuk berinteraksi dengan para pelanggan. Baik itu pelanggan baru atau pelanggan lama yang kemudian dikaitkan dengan unsur atau identifikasi masalah.

Penelitian kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data berupa kata-kata tertulis atau lisan oleh orang atau perilaku yang diamati.

4.1 Gambaran Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini berada di Kota Lama Semarang. Pemilihan lokasi penelitian di Kota Lama Semarang karena lokasi ini merupakan daerah lokalisasi Pekerja Seks Komersial (PSK) untuk kalangan ekonomi menengah ke bawah. Daerah yang dekat stasiun ini menjadi lokasi yang strategis untuk para PSK karena disekitar daerah ini terdapat beberapa hotel murah. Selain itu, lokalisasi ini dipilih karena lokasi ini membaur dengan stasiun dan rumah-rumah warga yang notabene dapat menarik perhatian masyarakat awam untuk melihat langsung keberadaan dan interaksi para PSK di sana. Sebagai contohnya adalah lokalisasi Sunan Kuning Semarang, yang tadinya berjumlah 32 rumah bordir dengan pekerja seks 165 orang ditahun 1970-an menjadi 120 rumah bordir dengan pekerja seks komersial


(2)

27

1980 - an. Maka dapat dikatakan bahwa tahun 1980-an adalah era emas kehidupan prostitusi di Jawa Tengah. Demikian juga dengan kehidupan prostitusi di daerah ini (Kota Lama) yang notabenenya adalah prostitusi kelas menengah bawah. Kehidupan sosial yang keras membuat mereka mengusahakan banyak cara untuk dapat bertahan hidup. Bagi sebagian masyarakat perempuan memilih profesi sebagai pekerja seks di Kota Lama.

Gambar 2

PSK Kota Lama yang menunggu pelanggan

4.2. Deskripsi hasil klasifikasi gaya bahasa PSK Kota Lama Semarang

“…Sayang, ngamar yo….”

Pada penggalan hasil wawancara antara informan 1 dengan si pelanggan terdapat kata yang sering muncul dan digunakan yakni Ngamar1. Ngamar dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berasal dari kata dasar ”Kamar” yang

1

Ngamar,ngoce, ngomprong congor adalah istilah bahasa Jawa yang sering digunakan sebagai bahasa gaul oleh orang-orang Semarang.

https://www.facebook.com/permalink.php?story_fbid=326249277431448&id=187136904676020 ( Kamis, 11Februari 2016; 12.20 a.m)


(3)

28

kemudian dalam percakapan bahasa Indonesia memiliki arti suatu ajakan untuk pergi ke kamar atau pergi tidur. Namun, dari hasil penelitian di Lapangan istilah ini justru digunakan oleh para PSK Kota Lama sebagai suatu ajakan untuk bercinta (Berhubungan Badan). Kata ini diadopsi dari bahasa Jawa kasar (Ngoko) dari kata kamar. Diartikan seperti ini karena normalnya aktivitas bercinta dilakukan untuk membangun suatu interaksi komunikasi awal di dalam sebuah kamar. Ngamar pada konteks ini dapat diartikan sebagai gaya bahasa, kode, dan simbol karena selain diadopsi dari bahasa Jawa, ngamar juga merupakan kode yang digunakan sebagai bentuk ajakan terhadap lawan bicara untuk dapat bercinta, terutama dalam konteks transaksional komunikasi yang berlangsung. Selanjutnya pada tahap berikutnya terdapat kata:

“Halah tanggal tuo? Necis ngunu kok tanggal tuo.Sek, tak ngomprong congor sek, daripada mumet mbok nyang terus”2

Ngomprong congor berarti merokok. Ngomprong dalam bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai suatu bentuk kegiatan untuk menyulut api. Sedangkan congor kata dalam bahasa Jawa yang diartikan sebagai mulut dalam bahasa Indonesia. Korelasi antara Ngomprog Congor ke dalam bahasa Indonesia secara harafiah diartikan sebagai dua kata yang berlawanan dengan logika. Karena kata ngomprong congor diartikan gamblang sebagai kegiatan menyulut api ke daerah mulut. Dalam pemahaman istilah yang dilihat berdasarkan pemahaman Mead ini adalah bentuk simbolik yang dipahami sebagai suatu bentuk kegiatan yang biasa dilakukan yaitu merokok. Sehingga dalam pengistilahan yang digunakan oleh para PSK dan

2


(4)

29

pelangganpun bentuk pemahaman kedua pihak dari ngomprong congor adalah dalam bentuk kegiatan merokok. Aktivitas selanjutnya kemudian dilanjutkan dengan menggunakan kode dengan terdapat pada kata:

“…iki saenak mayan sak sasi sak karoke balik papan…”

Karaoke adalah kode untuk aktivitas oralsex terhadap laki-laki. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Karaoke memiliki arti sebagai suatu bentuk kegiatan bernyanyi di dalam suatu ruangan. Namun, pada kenyataan di Lapangan yang peneliti temukan adalah istilah karoke berubah makna (konotasi) menjadi istilah yang digunakan sebagai bentuk aktivitas oral sex3 dalam transaksi komunikasi yang mereka lakukan. Karena menurut mereka kegiatan mengoral alat kelamin laki-laki (penis) diibaratkan seperti sedang berkaraoke dengan menggenggam sebuah microphone.

Gambar 3

Bentuk ilustrasi ”Karoke” yang menjadi Simbol sebagai Oral Sex

3Oral sex

adalah istilah umum dalam dunia kedokteran sebagai suatu bagian dari aktivitas seksual menggunakan penis yang dimasukan ke dalam mulut pasangan.


(5)

30

Kata ini menjadi gaya bahasa yang digunakan sebagai bentuk kode untuk mengajak dan menyimbolkan suatu makna kepada lawan bicara. Sehingga transaksi komunikasi yang dilakukan berjalan dengan baik. Karena pertukaran makna yang sama-sama dipahami oleh kedua belah pihak.

Selain itu, dalam proses interaksi yang berlangsung terdapat juga kata ngoce. Penekanan pada kata “Ngoce” berfungsi dalam mengungkapkan keinginan dan menghasilkan suatu kesepakatan terhadap aktivitas yang disebut ngobrol / bercerita dalam bahasa Indonesia. Hal ini masuk dalam kategori gaya bahasa Karena kata ini merupakan kata yang diadopsi dalam bahasa jawa yang sifatnya mengajak untuk bercerita dalam konteks pembicaraan yang berlangsung. Namun kata ini digolongkan dalam budaya jawa dipandang agak kasar atau tidak terlalu sopan dalam penggunaannya ketika berkomunikasi. Berikut ini merupakan penggalan wawancaranya:

Lah piye mas?Meh ngoce sek po piye? ; Ngoce ki opo?; Ladala koe ki wong anyar yo? Ngoce we ra ngerti. ; ngoce ki crito”4

Lebih lanjut pada konteks ini, pelayanan dari PSK kepada pelanggan lama dan baru dipandang tidak ada pembedaan secara spesifik, karena salah satu faktor yang ditemukan dalam percakapan yang berlangsung adalah alasan menjadi PSK untuk memenuhi kebutuhan ekonomi. Meskipun diakui bahwa terdapat pekerjaan lainnya tetapi sulit dan tujuan mereka adalah untuk mendapatkan uang dengan cepat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Penggunaan kata ngoce dalam sepenggalan obrolan tersebut adalah bentuk simbol bahasa dalam pemahaman semiotika menurut John

4


(6)

31

Power dalam buku Little John (2013) sebagai unsur bahasa dan wacana untuk memperoleh kesepakatan makna dalam hal ini adalah antara PSK Kota Lama dan juga pelanggan. Oleh karena itu, terjadi juga interaksi tawar menawar harga yang dilakukan untuk jasa yang diberikan dengan menggunakan bahasa jawa sebagai berikut.:

“…Ki loh lagi buka dasar, sih sepi…”

Buka dasar adalah istilah yang biasanya digunakan untuk PSK yang baru akan mulai untuk bekerja. Dalam bahasa Indonesia buka dasar dapat diartikan sebagai kegiatan awal (persiapan) sebelum mulai berjualan. Istilah ini ditemui oleh peneliti pada saat berada di Lapangan dalam bentuk kode yang ditunjukan saat mereka berada di tepi jalan dengan memarkirkan motor keadaan mati. Setelah itu akan terjadi proses transaksional komunikasi sebagai bentuk verbal antara PSK Kota Lama dengan pelanggan. Buka dasar dan ngoce adalah sebagai alasan dari bagian tawar menawar agar dapat memperoleh kesepakatan makna berupa harga yang sesuai antara kedua pihak. Kata-kata tersebut kemudian dapat dipahami sebagai Gaya bahasa. Karena hal ini mengisyaratkan hubungan antara satu sama lain dan sekaligus menjadi kode bahwa PSK tersebut baru keluar dan belum mendapatkan pelanggan untuk mendapatkan kesepakatan harga diantara keduanya dengan mempertimbangkan intonasi suara yang terdengar. Setelah terjadi kesepakatan maka pelayanan jasa kemudian diberikan.


(7)

32 Gambar 4

Proses transaksi PSK dan Pelanggan di Kota Lama

Namun ternyata terdapat batas waktu yang ditentukan, bahkan hal ini dalam proses percakapan diberikan kode melalui kata-kata sebagai berikut:

“…maksud e serangan pajarki ora di oyak waktu..”

Serangan fajar berarti waktu bekerja untuk PSK sudah berakhir. Gaya bahasa yang menjadi kode bahwa waktu bekerja PSK sudah mulai habis dan mengisyaratkan bahwa mereka akan segera pulang dan menurunkan harga jual.Lebih lanjut berdasarkan penjelasan tersebut maka dihasilkan beberapa kosa kata sebagai berikut:

ngamar : bercinta

ngomprong congor : merokok


(8)

33

karaoke : oral sex untuk laki-laki

ngoce : bercerita atau mengobrol

buka dasar : baru keluar untuk bekerja serangan fajar : waktu kerja habis

Proses interaksi yang demikian berdasarkan gaya bahasa, kode dan simbol yang di utarakan kemudian menghasilkan interaksi yang baik antara mereka karena terjadi percakapan yang mendalam dalam proses komunikasinya. Sebab tidak hanya terjadi proses tawar-menawar, untuk hubungan timbal balik dari PSK kepada pelanggan melalui gaya bahasa, simbol dan kode yang diberikan dan dilakukan melainkan juga membahas masalah ekonomi dan latar belakang sosial lainnya dari pihak PSK maupun pelanggan sehingga membangun kenyamanan atau kedekatan dalam relasinya. Selain itu, dalam proses interaksi yang berlangsung PSK secara tegas menegaskan bahwa tidak ada pembedaan antara pelayanan kepada pelanggan baru dan lama di kota lama Semarang dan bahasa yang digunakan adalah bahasaa jawa.

4.3PEMBAHASAN

Pada bagian ini berisi tentang analisa hasil temuan berdasarkan teori yang digunakan pada bab dua untuk memahami gaya bahasa, kode dan ymbol secara mendalam.

4.3.2 Gaya bahasa, Simbol, dan Kode PSK dalam melayani Pelanggan di Kota lama Semarang

Menurut Mulyana, esensi dari interaksionisme simbolik adalah suatu aktivitas yang merupakan ciri khas manusia yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna (Mulyana, 2003:59). Oleh karena itu dari pandangan tersebut maka


(9)

34

dapat dipahami bahwa gaya bahasa, kode, dan simbol terdapat pada interaksi PSK di Kota Lama Semarang dengan pelanggannya telah memunculkan makna dari beberapa kata yang sebenarnya secara harafiah memiliki arti yang berbeda dengan pemaknaan yang dipahami dalam konteks interaksi yang berlangsung.

Data dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa yang menjadi gaya bahasa simbol dan kode dalam interaksi PSK dengan pelanggan adalah kata ngamar, ngomprong congor, dan lain-lain dapat dikategorikan ke dalam interaksionisme simbolik. Di mana kata-kata tersebut merupakan komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna. Contohnya pada kata ngamar yang berarti ajakan untuk bercinta atau memberi kode pada pelanggan bahwa mereka bisa diajak bercinta.

Namun lebih lanjut, dalam prosesnya secara khusus terkait dengan perbedaan simbol gaya bahasa dan kode ternyata, PSK tidak membedakannya dalam interaksi dengan pelanggan lama atau pelanggan baru. Oleh karena itu yang terjadi seolah-olah semua pelanggan lama atau baru mengerti gaya bahasa yang mereka pakai. Padahal ada beberapa kata yang tidak dimengerti pelanggan.

Cara mengatasi proses salah tafsir makna terhadap kata tersebut tidaklah sulit dalam konteks interaksi ini, karena proses klarifikasi atau konfirmasi terhadap makna kata ngamar sudah menjelaskan arti ajakan untuk bercinta. Oleh karena itu, kata ini kemudian dalam proses interaksi dan komunikasi yang terjadi berfungsi ganda yang mana tidak perlu adanya penjelasan lebih panjang terkait dengan apa yang mereka mau, di saat pelanggan menemui atau mendatangi PSK tersebut baik di luar maupun di dalam kamar.

Artinya bahwa terdapat penyesuaian makna yang terjadi secara fleksibel dalam perilaku-perilaku antara PSK maupun pelanggan karena sama-sama mengetahui tujuan dari komunikasi dan interaksi diantara keduanya dan mereka berdua saling mempengaruhi dilihat dari posisi mereka sebagai penafsir atas kata-kata


(10)

35

yang digunakan (Barthes, 1998: 172-173). Karena dalam perannya terdapat tindakan bersama, dalam menerima respons timbal balik yang mengakibatkan pengambilan peran sesuai dengan konteks peran sebagai PSK dan Pelanggan (Joel M. Charon: 146-150).

Selanjutnya terdapat kata yang juga menarik yakni Ciblek kata ini merupakan kata yang digunakan untuk meyebut mereka yang bekerja sebagai PSK terutama dalam lingkungan sosialnya. Kata ini biasanya mendapatkan pemaknaan dan arti yang kurang lebih sama khususnya di daerah jawa. Adanya penggunaan istilah ini yang melekat pada diri seseorang yang bekerja sebagai PSK dapat dipahami sebagai suatu proses yang menurut Mead seperti yang dikutip oleh (Mulyana, 2003: 59) sebagai proses yang mana terjadi hubungan sosial yang dibangun, diciptakan lewat kata, dan dikonstruksi oleh setiap individu di tengah masyarakat, dan setiap individu dalam praktiknya terlibat dalam perilaku-perilaku yang mereka pilih. Apalagi kata tersebut sering digunakan dalam proses komunikasi khususnya di daerah Jawa yang menyebabkan kata ini kemudian semakin mendapat makna atau arti yang melekat pada diri PSK dalam komunikasi antar pribadi maupun kelompok (Bungin, 2006: 32).

Kata ngomprong congor dilihat dari gaya bahasa dan penyampaiannya, cenderung dipandang kasar dalam budaya Jawa karena jika diartikan secara harafiah dalam bahasa Indonesia berarti melakukan kegiatan mulut. Padahal artinya dalam konteks komunikasi antara PSK dan Pelanggan berarti merokok. Hal ini yang sering digunakan dalam interaksi PSK dan Pelanggan. Pada dasarnya maknanya secara tersirat kemudian mengungkapkan profesinya secara tidak sadar sebagai PSK atau, orang-orang yang dipandang amoral dalam masyarakat terkait dengan pekerjaannya. (Semi, 1984: 38-41).

Terkait dengan kata tersebut, dalam interaksi yang berlangsung ternyata, faktor utama yang menjadi sebab mengapa para wanita yang pada akhirnya bekerja


(11)

36

sebagai PSK adalah karena mereka berpikir tentang bagaimana cara paling mudah dan praktis agar dapat mendapatkan uang dari pekerjaan itu. Alasan semacam ini kemudian sejalan dengan apa yang telah dikatakan oleh Subrada, bahwa seseorang yang menjual dirinya dengan melakukan hubungan seks untuk tujuan ekonomi (Subadara, 2007). Dan inilah yang terjadi dengan para PSK yang ada di Kota Lama Semarang. Rata-rata dari mereka bekerja seperti ini karena faktor ekonomi, demi menghidupi keluarga atau membantu biaya sekolah untuk saudara mereka.

Disisi yang lain terkait dengan memilih pekerjaan ini, karena mereka memiliki latar belakang pendidikan yang tidak mendukung untuk mereka dapat mencari pekerjaan lain. Hal ini terjadi akibat banyak diantara mereka yang tidak menyelesaikan pendidikan di bangku sekolah. Sehingga para PSK lebih memilih untuk mengambil pekerjaan seperti ini untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka. Hal tersebut menunjukkan bahwa manusia dipandang lebih sulit untuk diprediksi dan bersikap lebih aktif, untuk mengarahkan dirinya sendiri sesuai dengan pilihan yang mereka buat (Mulyana, 2003: 59).

Lebih lanjut pada konteks permasalahan ini para PSK ini bukanlah pekerja yang terorganisasi dengan baik, sehingga mereka beroperasi secara tidak tetap serta tidak terorganisasi dengan jelas (Subadara, 2007) namun yang membedakannya adalah mereka ini hanya bekerja menetap di satu tempat yakni Kota Lama Semarang. Tipe dari PSK disini adalah tipe menunggu di tempat-tempat tertentu (Alam, 1984: 18-27).

Pada akhirnya dalam keseluruhan rangkaian interaksi yang berlangsung antara PSK Kota Lama Semarang dengan Pelanggan tidak ada pembedaan secara spesifik karena motif utama yang mereka dahulukan adalah ekonomi dan hal ini dipandang sebagai suatu hal yang wajar dan biasa dilakukan dalam lingkungan di mana mereka bekerja untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.


(12)

37

4.3.2 Keterkaitan Geografis Terhadap Gaya Bahasa

Gaya bahasa yang digunakan oleh para PSK Kota Lama Semarang tidaklah hanya sekedar dipahami dan digunakan oleh mereka yang berasal dari Kota Lama Semarang saja, melainkan juga oleh mereka yang pernah atau sering datang ke sana. Pendatang yang berasal dari luar Semarang dan sudah menetap sebagai warganya pun sudah memahami dan menggunakan gaya bahasa tersebut.

Gambar 5

Kosakata Jawa Gaul Semarang

Sehingga jika dipertanyakan ”bagaimana gaya bahasa, kode, dan simbol yang digunakan oleh para PSK ini bisa dipahami juga oleh mereka yang berasal dari luar Semarang?” Maka pertanyaan tersebut akan terjawab melalui bentuk interaksi antara PSK dengan para pelanggan dan juga masyarakat disekitarnya. Karena apabila seseorang ingin diterima sebagai bagian dari suatu kelompok, maka individu ini harus dapat beradaptasi dengan keadaan baru kelompok tersebut, namun tidak serta merta


(13)

38

menghilangkan kebiasaan lamanya, atau secara sederhana oleh Gamble (2005,39) dalam tulisan Filosa dan Fajar (2014) yang mengatakan untuk menjadikan komunikasi semakin bermakna maka dibutuhkan penurunan etnosentrisme yang disebut dengan relativisme-budaya (cutural relativism) ”dimana penerimaan terhadap budaya kelompok lain secara setara dalam nilai yang kita anut”(Filosa, 2014: 38). Sehingga budaya dari daerah asalpun harus beradaptasi melalui gaya bahasa yang digunakan oleh seorang individu dalam lingkungan sehari-harinya.

Lebih lanjut, seorang individu akan mengalami permasalahan kultural dalam proses adaptasi wilayah dan gaya bahasa. Hal ini menyebabkan terjadinya proses akulturasi budaya5 yang mengharuskan para pendatang untuk memahami kebiasaan di daerah Semarang, khususnya bahasa serta gaya bahasa yang digunakan. Untuk menguraikan hal ini John Berry dalam Filosa dan Fajar (2014) mengatakan bahwa ada tiga unsur elemen yang membawa budaya dalam suatu masyarakat pluralis atau multikultur, yakni mobilitas, kesukarelaan, dan permanen (Filosa, 2014: 40-41). Dari poin mobilitas6 inilah, para PSK yang tidak berasal dari Semarang harus berusaha mengadaptasikan diri mereka dengan gaya bahasa, kode, dan simbol yang sudah lazim digunakan agar dapat diterima oleh lingkungan tempat dimana mereka mencari nafkah.

5

Akulturasi budaya adalah istilah yang mengandung arti suatu budaya baru yang masuk ke dalam suatu budaya yang berbeda. (neulip, 2003: 340)

6

Mobilitas yang dimaksudkan dalam hal ini adalah akulturasi yang dilakukan para PSK yang berpindah kota dan kebudayaan karena tuntutan ekonomi.


(14)

39

4.3.3 Hasil Analisa Pembahasan

Dari keseluruhan pembahasan di atas dapat diartikan secara sederhana mengenai gaya bahasa, kode, dan simbol yang digunakan oleh PSK Kota Lama dan pelanggan lama dilakukan dalam bentuk tabel di bawah ini:

IDENTIFIKASI KATA YANG SERING MUNCUL

DALAM INTERAKSI

GAYA BAHASA KODE SIMBOL

Ngamar Ngomprong congor Ciblek Karaoke Ngamar Ngomprong congor Ciblek Karaoke

Ajakan PSK kepada

Pelanggan untuk

bercinta

Wanita berusia di

bawah umur yang

berpenampilan seks,

berdandan menor,

yang berkeliaraan di malam hari.

Hubungan seksual

antara mulut dan alat

kelamin lelaki,

layaknya seperti

karaoke namum

menggunakan alat

Ngamar

ngerokok

PSK


(15)

40 Ngoce

Buka dasar

Serangan fajar

Ngoce

Buka dasar

Serangan fajar

vital lelaki.

Berbincang dengan

pelanggan sebelum

memulai permainan.

Nongkrong di atas motor dalam keadaan mesin mati, jika ada

pelanggan lewat ,

pasang muka

menggoda atau centil

sambil memainkan

rambut dan

menonjolkan dada

nya

Melihat jam, harga

yang ditawarkan

mulai turun.

Ngobrol

Waktu kerja selesai.

Table 4.3.1

Keterangan kata-kata tersebut dan artinya dalam bahasa Indonesia

Dari keterangan yang tertera pada tabel tersebut menunjukan bahwa kata-kata yang sering digunakan inilah yang menunjukan bagaimana bentuk interaksi simbolik para PSK Kota Lama dengan Pelanggan mereka. Sehingga korelasi antara gaya bahasa, kode, dan simbol yang digunakan dalam penelitian ini dapat berjalan secara efektif dan lancar pada saat transaksi para PSK Kota Lama dengan pelanggan.


(16)

41

Data yang ditunjukan melalui penjabaran di atas terdapat korelasi positif antara para pelanggan lama dan yang baru juga mengetahui gaya bahasa, kode, dan simbol yang biasa digunakan oleh para PSK tersebut. Saat terdapat hal yang tidak dipahami oleh para pelanggan pun, akan segera diminimalisir kesalahan tafsir tersebut melalui gerak tubuh dan simbol yang ditunjukan oleh para Pekerja Seks Komersial. Melihat hal tersebut berkaitan dengan prinsip dasar yang ditanamkan oleh George H Mead terdapat korelasi antara gaya bahasa, kode, dan simbol yang digunakan dalam interaksi sosial akan menanamkan pemahaman terhadap Mind, Self Concept, dan Society. Saat suatu konsep bahasa dalam bentuk tutur yang belum tersampaikan kepada komunikan maka hal itu akan menjadi buah pemikiran dari komunikator yang masih abstrak. Sehingga simbol dalam pikirannya akan terurai menjadi makna yang terdefinisi sehingga mendapat feedback berupa komentar kesepakatan. Seperti pada kasus di atas jika didengar oleh orang awam istilah ngomprong congor, ciblek, buka dasar, ngoce, dan lain sebagainya belum tentu akan dipahami oleh masyarakat awam. Namun, kemudian hal tersebut dapat diterjemahkan dari para PSK kepada para pelanggan sehingga apa yang dikhawatirkan sebagai salah tafsir dapat diminimalisir.

Selain konsep mind, point berikutnya adalah pada self-concept saat apa yang disampirkan melalui kode dan simbol yang dipahami dalam pikiran khalayak umum untuk kemudian direfleksikan dalam kehidupan nyata akan menjadi pemahaman yang lebih jelas saat transaksi yang terjadi diantara para PSK dengan pelanggan. Konsep diri terlihat dalam bentuk transaksi yang mereka lakukan untuk mendapatkan kesapakatan harga, durasi permainan, dan hal-hal lainnya yang berkaitan dengan kesepatakan kedua pihak. Konsep ketiga dari Mead berkaitan dengan penelitian ini adalah bentuk kemasyarakatan (society) yang dibangun oleh para PSK ini adalah wujud dari konsep diri yang mereka ”pilih” karena berbagai alasan seperti keterbatasan keuangan untuk dapat melanjutkan kehidupan sehari-hari secara layak menurut pandangan masyarakat awam. Karena mereka sendiri sebenarnya tidak ingin


(17)

42

melakukan hal tersebut namun dalih mereka adalah pendidikan yang rendah sehingga tidak dapat bekerja secara layaknya masyarakat awam, dan yang mereka lakukan adalah menjajakan diri sebagai PSK di Kota Lama Semarang untuk memperoleh uang secara cepat.

Maka dari itu interaksi yang dibangun oleh para PSK Kota Lama Semarang dengan para pelanggan harus dapat mereka bina dengan cermat, sehingga pundi pundi keuangan mereka pun tetap dapat mereka peroleh walau pun dalam jumlah yang terbatas. Efektivitas komunikasi para PSK Kota Lama Semarang dengan para pelanggannya dapat berjalan dengan baik melalui gaya bahasa, kode, dan simbol yang disampaikan secara apik dan diterima baik oleh pelanggan.


(1)

37

4.3.2 Keterkaitan Geografis Terhadap Gaya Bahasa

Gaya bahasa yang digunakan oleh para PSK Kota Lama Semarang tidaklah hanya sekedar dipahami dan digunakan oleh mereka yang berasal dari Kota Lama Semarang saja, melainkan juga oleh mereka yang pernah atau sering datang ke sana. Pendatang yang berasal dari luar Semarang dan sudah menetap sebagai warganya pun sudah memahami dan menggunakan gaya bahasa tersebut.

Gambar 5

Kosakata Jawa Gaul Semarang

Sehingga jika dipertanyakan ”bagaimana gaya bahasa, kode, dan simbol yang digunakan oleh para PSK ini bisa dipahami juga oleh mereka yang berasal dari luar Semarang?” Maka pertanyaan tersebut akan terjawab melalui bentuk interaksi antara PSK dengan para pelanggan dan juga masyarakat disekitarnya. Karena apabila seseorang ingin diterima sebagai bagian dari suatu kelompok, maka individu ini harus dapat beradaptasi dengan keadaan baru kelompok tersebut, namun tidak serta merta


(2)

38

menghilangkan kebiasaan lamanya, atau secara sederhana oleh Gamble (2005,39) dalam tulisan Filosa dan Fajar (2014) yang mengatakan untuk menjadikan komunikasi semakin bermakna maka dibutuhkan penurunan etnosentrisme yang disebut dengan relativisme-budaya (cutural relativism) ”dimana penerimaan terhadap budaya kelompok lain secara setara dalam nilai yang kita anut”(Filosa, 2014: 38). Sehingga budaya dari daerah asalpun harus beradaptasi melalui gaya bahasa yang digunakan oleh seorang individu dalam lingkungan sehari-harinya.

Lebih lanjut, seorang individu akan mengalami permasalahan kultural dalam proses adaptasi wilayah dan gaya bahasa. Hal ini menyebabkan terjadinya proses akulturasi budaya5 yang mengharuskan para pendatang untuk memahami kebiasaan di daerah Semarang, khususnya bahasa serta gaya bahasa yang digunakan. Untuk menguraikan hal ini John Berry dalam Filosa dan Fajar (2014) mengatakan bahwa ada tiga unsur elemen yang membawa budaya dalam suatu masyarakat pluralis atau multikultur, yakni mobilitas, kesukarelaan, dan permanen (Filosa, 2014: 40-41). Dari poin mobilitas6 inilah, para PSK yang tidak berasal dari Semarang harus berusaha mengadaptasikan diri mereka dengan gaya bahasa, kode, dan simbol yang sudah lazim digunakan agar dapat diterima oleh lingkungan tempat dimana mereka mencari nafkah.

5

Akulturasi budaya adalah istilah yang mengandung arti suatu budaya baru yang masuk ke dalam suatu budaya yang berbeda. (neulip, 2003: 340)

6

Mobilitas yang dimaksudkan dalam hal ini adalah akulturasi yang dilakukan para PSK yang berpindah kota dan kebudayaan karena tuntutan ekonomi.


(3)

39

4.3.3 Hasil Analisa Pembahasan

Dari keseluruhan pembahasan di atas dapat diartikan secara sederhana mengenai gaya bahasa, kode, dan simbol yang digunakan oleh PSK Kota Lama dan pelanggan lama dilakukan dalam bentuk tabel di bawah ini:

IDENTIFIKASI KATA YANG SERING MUNCUL

DALAM INTERAKSI

GAYA BAHASA KODE SIMBOL

Ngamar

Ngomprong congor

Ciblek

Karaoke

Ngamar

Ngomprong congor

Ciblek

Karaoke

Ajakan PSK kepada Pelanggan untuk bercinta

Wanita berusia di bawah umur yang berpenampilan seks, berdandan menor, yang berkeliaraan di malam hari.

Hubungan seksual antara mulut dan alat kelamin lelaki, layaknya seperti karaoke namum menggunakan alat

Ngamar

ngerokok

PSK


(4)

40 Ngoce

Buka dasar

Serangan fajar

Ngoce

Buka dasar

Serangan fajar

vital lelaki.

Berbincang dengan pelanggan sebelum memulai permainan.

Nongkrong di atas motor dalam keadaan mesin mati, jika ada pelanggan lewat , pasang muka menggoda atau centil sambil memainkan

rambut dan

menonjolkan dada nya

Melihat jam, harga yang ditawarkan mulai turun.

Ngobrol

Waktu kerja selesai.

Table 4.3.1

Keterangan kata-kata tersebut dan artinya dalam bahasa Indonesia

Dari keterangan yang tertera pada tabel tersebut menunjukan bahwa kata-kata yang sering digunakan inilah yang menunjukan bagaimana bentuk interaksi simbolik para PSK Kota Lama dengan Pelanggan mereka. Sehingga korelasi antara gaya bahasa, kode, dan simbol yang digunakan dalam penelitian ini dapat berjalan secara efektif dan lancar pada saat transaksi para PSK Kota Lama dengan pelanggan.


(5)

41

Data yang ditunjukan melalui penjabaran di atas terdapat korelasi positif antara para pelanggan lama dan yang baru juga mengetahui gaya bahasa, kode, dan simbol yang biasa digunakan oleh para PSK tersebut. Saat terdapat hal yang tidak dipahami oleh para pelanggan pun, akan segera diminimalisir kesalahan tafsir tersebut melalui gerak tubuh dan simbol yang ditunjukan oleh para Pekerja Seks Komersial. Melihat hal tersebut berkaitan dengan prinsip dasar yang ditanamkan oleh George H Mead terdapat korelasi antara gaya bahasa, kode, dan simbol yang digunakan dalam interaksi sosial akan menanamkan pemahaman terhadap Mind, Self Concept, dan Society. Saat suatu konsep bahasa dalam bentuk tutur yang belum tersampaikan kepada komunikan maka hal itu akan menjadi buah pemikiran dari komunikator yang masih abstrak. Sehingga simbol dalam pikirannya akan terurai menjadi makna yang terdefinisi sehingga mendapat feedback berupa komentar kesepakatan. Seperti pada kasus di atas jika didengar oleh orang awam istilah ngomprong congor, ciblek, buka dasar, ngoce, dan lain sebagainya belum tentu akan dipahami oleh masyarakat awam. Namun, kemudian hal tersebut dapat diterjemahkan dari para PSK kepada para pelanggan sehingga apa yang dikhawatirkan sebagai salah tafsir dapat diminimalisir.

Selain konsep mind, point berikutnya adalah pada self-concept saat apa yang disampirkan melalui kode dan simbol yang dipahami dalam pikiran khalayak umum untuk kemudian direfleksikan dalam kehidupan nyata akan menjadi pemahaman yang lebih jelas saat transaksi yang terjadi diantara para PSK dengan pelanggan. Konsep diri terlihat dalam bentuk transaksi yang mereka lakukan untuk mendapatkan kesapakatan harga, durasi permainan, dan hal-hal lainnya yang berkaitan dengan kesepatakan kedua pihak. Konsep ketiga dari Mead berkaitan dengan penelitian ini adalah bentuk kemasyarakatan (society) yang dibangun oleh para PSK ini adalah wujud dari konsep diri yang mereka ”pilih” karena berbagai alasan seperti keterbatasan keuangan untuk dapat melanjutkan kehidupan sehari-hari secara layak menurut pandangan masyarakat awam. Karena mereka sendiri sebenarnya tidak ingin


(6)

42

melakukan hal tersebut namun dalih mereka adalah pendidikan yang rendah sehingga tidak dapat bekerja secara layaknya masyarakat awam, dan yang mereka lakukan adalah menjajakan diri sebagai PSK di Kota Lama Semarang untuk memperoleh uang secara cepat.

Maka dari itu interaksi yang dibangun oleh para PSK Kota Lama Semarang dengan para pelanggan harus dapat mereka bina dengan cermat, sehingga pundi pundi keuangan mereka pun tetap dapat mereka peroleh walau pun dalam jumlah yang terbatas. Efektivitas komunikasi para PSK Kota Lama Semarang dengan para pelanggannya dapat berjalan dengan baik melalui gaya bahasa, kode, dan simbol yang disampaikan secara apik dan diterima baik oleh pelanggan.