Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Dinamika Bisnis : Pengusaha Batik di Kota Semarang T1 212008057 BAB IV

(1)

Bab IV

Hasil dan Pembahasan

4. 1 Profil Entrepreneur batik di kota Semarang

Industri batik di kota Semarang sudah ada sejak jaman dahulu. Industri batik pada awalnya berpusat di Pasar Djohar. Potensi industri ini telah menumbuhkan minat para entrepreneur di kota Semarang untuk menekuni jenis usaha tersebut. Mayoritas entrepreneur batik di kota Semarang merupakan pedagang perantara, bukan pengrajin. Mereka hanya membeli barang jadi dari pengrajin kemudian dijual kembali. Entrepreneur tidak melakukan proses produksi batik sendiri. Hal ini dipilih oleh entrepreneur untuk lebih memudahkan bisnis mereka dengan hanya tinggal menjual produk, tanpa menghadapi kerumitan proses produksi pembuatan batik. Seperti yang disampaikan oleh CYD berikut ini :

“Iya, di Pekalongan langsung ambil barang, cari pengrajinnya juga susah, mendingan om’nya milih yang pasti-pasti, belum nanti bayar makan mereka, lebih baik om’nya langsung beli barang jadi, berapa totalnya bayar aja langsung, ndak perlu repot-repot ngurusi produksinya“

Terdapat beberapa jenis produk batik yang dijual oleh entrepreneur di kota Semarang, seperti batik tulis. Jenis batik tulis membutuhkan waktu yang lama dalam pengerjaan proses produksinya. Namun sayangnya, jenis batik ini kurang diminati oleh entrepreneur batik di kota Semarang, karena berbiaya tinggi yang mengakibatkan harga jual menjadi tinggi sehingga kurang terjangkau oleh pembeli. Jenis batik lainnya adalah batik cap, merupakan jenis batik yang dalam proses pembuatan menggunakan stempel untuk memberi motif batik. Jenis batik yang terakhir adalah batik printing, merupakan inovasi dari jenis batik tulis dan cap dengan bantuan teknologi dalam proses produksinya. Inovasi batik printing dilakukan untuk mengikuti perubahan yang ada, di mana dalam perkembangan usaha saat ini menuntut biaya rendah. Seperti yang dituturkan oleh YNC sebagai berikut :


(2)

“Printing sih, kalau yang beli batik tulis itu bener-bener orang yang tau dan seneng batik, kan harganya mahal, tapi kalau batik printing pasarnya lebih luas, soale harganya murah, orang kaya aja kalau cuma buat sehari-hari pakai batik printing, asal pede aja”

Batik printing menjadi batik yang paling diminati oleh masyarakat di kota Semarang karena harganya yang terjangkau, sehingga menjadi produk andalan bagi para entrepreneur batik di kota Semarang.

Bisnis batik di kota Semarang didominasi oleh bisnis keluarga. Sebagian besar entrepreneur berasal dari keluarga yang sebelumnya juga menjadi pedagang perantara batik di kota Semarang. Entrepreneur memperoleh warisan ketrampilan mengelola usaha dari orang tua mereka, selain itu ada juga yang memperoleh warisan usaha orang tua dan ada pula yang diberikan modal usaha untuk membuka bisnis batiknya sendiri. Jenis bisnis batik seperti itulah yang pada umumnya terdapat di kota Semarang.

Entrepreneur batik di kota Semarang yang pertama adalah CYD, CYD adalah pemilik toko batik “Naga Mas”, pada awal mula usahanya CYD ikut berjualan di Pasar Djohar bersama orang tuanya, kemudian setelah orang tuanya meninggal, CYD mulai merintis dan membuka usaha toko batik sendiri. Pada tahun 1982, CYD membuka toko batik “Naga Mas”. Alasan yang mendasari CYD untuk menekuni bisnis batik adalah kesukaan CYD dengan bisnis batik, CYD menuturkan bahwa ia sudah sering membuka usaha, tetapi tidak ada yang bertahan lama. Baru pada bisnis batik ini CYD bisa bertahan lama dalam menjalankan bisnis. Seperti yang dituturkan oleh CYD sebagai berikut :

“Suka, dulu om sempet jual krupuk,susu dan lain-lain, tapi ndak bisa tahan lama, penguasaan’e kurang baik ndak seperti di batik, jadi ndak ajek, trus ada faktor dari keluarga juga. Semua bisnis itu hambatan’e pasti banyak, tapi kalau kamu ndak suka sama bisnismu, pasti ndak akan bertahan lama”

Entrepreneur yang kedua adalah WDY, WDY mulai merintis bisnis batik pada tahun 1995, toko batiknya diberi nama batik “Lesmono”. Alasan WDY berbisnis batik adalah kecintaan WDY terhadap batik, serta bisnis yang WDY


(3)

rintis sekarang merupakan bisnis dari orang tuanya. Hal tersebut dituturkan oleh WDY sebagai berikut :

“ya emang aku suka sama batik,lebih baik aku ngerjake batik daripada kerja sama orang, kan isaku juga di batik, keluarga? ya emang ini bisnis juga dari engkong soalnya, neruske saja”

Entrepreneur yang ketiga adalah CHR, CHR merupakan anak dari WDY, dalam menjalankan bisnis batik pertama kali CHR diberi modal usaha untuk membuka bisnis batik. Pada tahun 2007, CHR membuka usaha batik dengan nama toko “Halma”. Alasan CHR berbisnis batik adalah karena faktor orang tua yang memberinya modal usaha untuk membuka bisnis batik. Berikut penuturan dari CHR :

“awal mulanya memang dari orang tua, mereka kan ngerjake batik, jadi saya setelah lulus S1, ndak lama saya dikasi modal buat mbuka usaha, ya saya milih batik saja, karena orang tua kan juga”

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Litz (1995), bahwa esensi dari bisnis keluarga adalah niat dari keluarga untuk mempertahankan kendali bisnis dari masa lalu sampai generasi sekarang, dengan mewariskan usaha yang dimiliki kepada generasi berikutnya. Penelitian dari Simanjuntak (2010) juga menyatakan hal serupa, bahwa dalam bisnis keluarga akan terjadi pewarisan bisnis kepada generasi-generasi berikut yang masih terdapat hubungan saudara.

Entrepreneur keempat adalah YNC, merupakan pemilik dari toko batik “Raja”, bisnis tersebut baru dirintisnya sendiri pada tahun 2010. Adapun alasan dari YNC menekuni bisnis batik adalah karena potensi bisnis batik yang sedang populer di masyarakat, sehingga YNC melihat hal tersebut sebagai peluang untuk merintis bisnis batik. Berikut pernyataan dari YNC sebagai berikut :

“ya aku lihat peluang bisnis ini bagus, trus aku punya kenalan pabrik di Pekalongan, kebetulan pemiliknya waktu itu juga mau bantu saya, karena sudah hubungan baik, karena waktu pertama kali buka kan kita harus isi barang banyak sekali, pemiliknya mau bantu titip jual dulu”


(4)

Hal ini mendukung penelitian yang dilakukan oleh Drucker (1986) yang melihat bahwa perubahan lingkungan yang terjadi, akan direspon oleh entrepreneur untuk dijadikan sebuah peluang usaha.

Dari keempat profil entrepreneur di atas, pengertian entrepreneur sesuai dengan penelitian dari Holt (1993) yang menyatakan bahwa entrepreneur adalah orang yang membayar harga tertentu untuk produk tertentu untuk kemudian dijual kembali sesuai dengan keuntungan yang ingin didapatkan. Sebab hampir seluruh entrepreneur batik di kota Semarang hanya sebagai pedagang perantara, mereka hanya membeli barang jadi untuk kemudian dijual kembali.

Mayoritas entrepreneur merupakan etnis Tionghoa. Walaupun merupakan etnis minoritas di kota Semarang, tetapi selama melakukan aktivitas entrepreneurial, entrepreneur tidak pernah mengalami diskriminasi etnis. Hal tersebut didukung oleh pernyataan dari YNC sebagai berikut :

“diskriminasi? wah udah nda jaman kayak gitu, justru di Pekalongan itu banyak

pengusaha tionghoa, tapi kalau pengrajin emang mayoritas masih pribumi, justru kalau sama yang pribumi itu baik, beda kalau sama yang sama, malah lebih licik” Ethnic entrepreneurship di kota Semarang berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Light dan Bonacich (1988), dimana terjadi pengelompokan etnis-etnis di suatu wilayah tertentu yang bermigrasi ke negara tujuan. Di Semarang, etnis Tionghoa dalam melakukan aktivitas entrepreneurial sudah dapat menyesuaikan dengan lingkungan sosial yang ada dan melebur dengan masyarakat setempat. Di Semarang, entrepreneur batik merupakan etnis Tionghoa keturunan yang sudah lama tinggal turun menurun di Semarang, atau yang disebut sebagai Cina peranakan. Mereka bukanlah imigran dari Cina.Wilayah mereka dalam membuka usaha tidak terkelompok berdasarkan etnis mereka, namun lebih dikarenakan adanya peluang di tempat tersebut.

Hal tersebut juga didukung oleh konsep “embeddeness” (Granovetter dan Swedberg, 1992) dimana tindakan ekonomi akan mendukung “embeddeness” yang terjadi antara individu dengan individu lainnya. Selain itu, aktivitas entrepreneurial batik di kota Semarang juga terdapat di Kampung Batik dimana


(5)

entrepreneur dipusatkan di daerah tersebut dalam melakukan usaha dalam industri batik. Bahkan saat ini Kampung Batik sendiri sudah menjadi sentra batik di kota Semarang.

4. 2 Kampung Batik

Salah satu pusat industri batik di kota Semarang yang terkonsentrasi adalah Kampung Batik, yang berlokasi di Bubakan, tetapi dalam perkembangannya batik di kota Semarang kurang populer seperti batik Pekalongan, Solo dan Yogyakarta. Kondisi itu disebabkan oleh berbagai macam hal, seperti jaman pendudukan Jepang pada tahun 1945 yang membuat Kampung Batik sampai ditutup sementara waktu, karena pada waktu itu Jepang membekukan segala pusat perekonomian di kota Semarang karena pada masa itu sedang terjadi perang antara Jepang dan Indonesia13.

Pada awal tahun 1960, pengusaha batik di Kampung Batik, Bubakan sisa jaman penjajahan Jepang mencoba merintis kembali Kampung Batik, tetapi kemudian terjadi kebakaran di Kampung Batik, sehingga menyebabkan aktivitas membatik di Kampung Batik akhirnya menjadi mati suri, karena semua area di Kampung Batik terbakar secara keseluruhan. Hal ini sesuai dengan penuturan dari AFF sebagai berikut :

“dulu pada masa itu ada kebakaran hebat sama perang dengan Jepang, makanya batik disini lesu, baru akhir-akhir tahun ini bu wali kerjasama dengan Dekranasda buat ngadain pelatihan batik disini”

Pada tahun 2006, diadakan pelatihan batik yang dilakukan oleh Dekranasda (Dewan Kerajinan Nasional Daerah) bekerja sama dengan Pemerintah kota Semarang. Tujuan pelatihan adalah untuk memberikan kesempatan bagi masyarakat di kota Semarang yang tertarik untuk melakukan usaha dalam industri batik. Upaya ini dilakukan Pemerintah kota Semarang untuk meningkatkan kembali minat dan kepedulian masyarakat terhadap eksitensi batik di kota Semarang14. Dalam penelitiannya, Gede (2009) yang menjelaskan bahwa

13 Beta Aris Isniah, “Revitalisasi B

atik di kota Semarang 1970-2007, ”(Skripsi sarjana,Fakultas Sastra Ilmu Sejarah Universitas Diponegoro, Semarang, 2009), hal.8.

14


(6)

Pemerintah berperan sebagai fasilitator dengan memberikan pelatihan secara rutin dan berkala.

Dekranasda (Dewan Kerajinan Nasional Daerah) kemudian membentuk Paguyuban Kampung Batik yang sekarang diketuai oleh Bapak Tri Utomo. Hingga saat ini, Paguyuban tersebut memiliki 35 anggota yang tersebar di berbagai tempat di wilayah kota Semarang. Walaupun Paguyuban tersebut berada di Kampung Batik, tetapi entrepreneur yang berada di Kampung Batik namun masih di area Semarang, juga dapat bergabung dalam Paguyuban tersebut. Paguyuban berfungsi sebagai wahana untuk menunjukan dan memasarkan hasil karya dari para anggotanya dengan adanya showroom di Kampung Batik15. Seperti yang dituturkan oleh AFF sebagai berikut :

“jadi kalau ada batikan, bisa dititipin disini untuk dijual, dikasih label dulu sama harga, nanti kalau laku biasanya sekitar 10% buat Paguyuban ini, yang ngurusi Pak Tri, saya cuma bantu jaga saja”

Sedangkan entrpreneur yang berada di Kampung Batik sendiri hanya terdiri dari lima entrepreneur, selain itu mereka juga merupakan pengrajin batik yang memproduksi jenis batik tulis dan cap. Dalam menjalankan usahanya, entrepreneur yang beroperasional di Kampung Batik hanya mempekerjakan tenaga kerja yang berasal dari anggota keluarganya. Hanya ada satu entrepreneur yang mempekerjakan tenaga kerja dari luar anggota keluarga, karena usaha yang sudah cukup besar dibandingkan yang lain.

Jenis batik yang diproduksi dan dijual di Kampung Batik hanyalah batik tulis dan batik cap. Mereka tidak memproduksi batik printing. Seperti yang dituturkan oleh AFF sebagai berikut :

“kalau bisa ya disini jangan sampai ada batik printing, punyanya batik tulis dan cap saja supaya khas seperti batik Lasem"

Sedangkan untuk motif batik yang dibuat oleh entrepreneur di Kampung Batik, dikhususkan pada motif yang menjadi ciri khas kota Semarang. Motif tersebut antara lain adalah motif Tugu Muda, Lawang Sewu, Gereja Blenduk dan Pohon Asem. Motif Pohon Asem menjadi motif khas Semarang, diceritakan

15


(7)

karena dahulu di kota Semarang sepanjang jalan Patimura sampai dengan jalan Halmaera banyak ditumbuhi pohon asem. Sehingga motif Pohon Asem menjadi ciri di kota Semarang.

Kurangnya sumber daya manusia (SDM) yang terampil dalam melakukan proses pembuatan batik menjadi penghambat perkembangan Kampung Batik. Selain itu, tempat untuk pembuatan batik tulis dan cap di Kampung Batik juga cukup terbatas sehingga kurang memadai jika terjadi produksi dalam jumlah yang banyak. Sehingga ketika entrepreneur mendapatkan pesanan batik tulis atau cap dalam jumlah yang banyak khususnya batik tulis dan cap, mereka melempar pesanan tersebut untuk di kerjakan di Pekalongan16.

Hambatan lainnya untuk perkembangan Kampung Batik adalah minimnya ketersediaan bahan–bahan pembuatan batik seperti obat dan pewarna yang masih harus dibeli dari kota lain. Seperti yang dituturkan oleh AFF sebagai berikut :

“kain, obat dan bahan kita masih beli di Pekalongan, ongkosnya kesana satu kali jalan berapa? Karena memang bahan yang komplit dan murah adanya disana, otomatis kan harga jual produk kita jadi tinggi”

Hal ini sesuai dengan penelitian Hafsah (2004) mengenai hambatan internal yang dihadapi oleh UKM pada umumnya.

Perkembangan batik di Kampung Batik sebenarnya sudah dapat dikatakan baik walaupun belum maksimal. Peran Pemerintah dalam mendukung Kampung Batik direalisasikan dengan mengadakan pelatihan batik secara rutin tiap tahun di balai batik, yang berlokasi di Kampung Batik. Selain itu, Pemerintah mengadakan pameran batik setiap mendekati HUT kota Semarang, serta memberikan fasilitas tempat gratis jika ada pameran-pameran di luar kota dan memberikan bantuan berupa bahan baku untuk pembuatan batik.

4. 3 Pemasaran

Dalam menjalankan bisnisnya, entrepreneur batik di kota Semarang senang menggunakan cara-cara tradisional terutama untuk kegiatan pemasarannya. Mereka menggunakan cara word of mouth atau dari mulut ke mulut. Word of mouth (WOM) merupakan pertukaran komentar, pemikiran atau

16


(8)

ide–ide antara dua konsumen atau lebih (Mowen dan Minor, 2002). Pengalaman ini, seperti dituturkan oleh WDY sebagai berikut :

“ya saya tinggal nunggu di toko saja, apalagi sekarang kan daerah Tlogosari mulai rame, ndak kayak dulu lagi, toko batik disini juga saya saja,mereka beli biasanya karena tau dari orang-orang”

Pemasaran dengan cara word of mouth masih menjadi salah satu cara pemasaran yang efektif dalam mengelola usaha. Pemasaran secara tradisional dilakukan karena entrepreneur tidak menyediakan dana khusus untuk melakukan kegiatan promosi. Selain itu dukungan lokasi usaha yang berada di keramaian, membuat entrepreneur merasa bahwa kegiatan promosi dengan cara word of mouth sudah menjadi cara yang paling efektif.

Sedangkan entrepreneur lain seperti CYD, CHR dan YNC tetap menggunakan cara tradisional, namun mereka juga sudah menggunakan cara yang lain, seperti dengan cara keliling ke suatu daerah untuk memasarkan produk secara langsung, seperti yang dituturkan oleh CYD sebagai berikut :

“kalau saya kelilingan saja, pokoknya di Jawa, bisa Jawa Barat, Jawa Tengah

sama Jawa Timur, kalau ada toko baru ya dimasuki aja, pokok’e ditawar-tawarke

aja barang dari kita”

Mereka sudah mulai ada yang beradaptasi dengan teknologi menggunakan media online seperi facebook, twitter, blackberry messenger dan blog dalam memasarkan produk mereka. Hal ini diungkapkan oleh YNC dan CHR sebagai berikut :

“kalau aku sih pribadi masarke barangku ya dari kegiatan gerejaku,banyak yang tau kalau aku jualan batik. kalau yang lain mungkin ya kayak aku kan ada blog

khusus buat batik’ku, tinggal di update terus aja produknya”

“kalau aku jaga toko aja, disini sampe sore, jualan lewat bb juga, facebook juga,

pokoknya ya kita akfif aja, kalau memang sudah terjun ke usaha itu ya harus total pokoknya.”


(9)

Seiring berjalannya waktu, entrepreneur mulai melakukan inovasi mengenai cara pemasaran yang mereka lakukan, dari cara tradisional menjadi modern. Hal tersebut sesuai dengan penelitian dari Winardi (2008) yang menyatakan bahwa entrepreneur merupakan seorang innovator.

Pemasaran dengan cara-cara tradisional masih sering digunakan oleh entrepreneur batik di kota Semarang. Karena cara tersebut dianggap masih sebagai cara pemasaran yang efektif, walaupun sudah mulai ada entrepreneur yang menggunakan pemasaran yang menggunakan teknologi. Pada dasarnya tujuan mereka melakukan pemasaran adalah untuk meningkatkan penjualan produk entrepreneur17.

4. 4 Jaringan

Dalam menjalankan sebuah usaha, jaringan menjadi hal yang penting bagi seorang entrepreneur. Jaringan usaha merupakan proses membangun hubungan saling menguntungkan dengan pengusaha lain, klien potensial dan pelanggan (Hatch, 2000).

Entrepreneur batik di kota Semarang sendiri dalam menyediakan produknya lebih memilih kota Pekalongan sebagai pemasok utama untuk kelancaran usaha mereka. Hal ini dikarenakan di kota Pekalongan memiliki pabrik yang khusus mencetak batik printing dan dapat memproduksi dalam kapasitas yang besar, salah satunya yaitu PT. Unggul Jaya. Hal ini seperti yang dituturkan oleh WDY sebagai berikut :

“kan ada pabriknya di Pekalongan khusus buat printing, Unggul Jaya, sudah lama itu dari jaman papah saya juga sudah hubungan baik sama sana”

Untuk produk batik tulis dan cap di kota Pekalongan juga terdapat tenaga pengrajin atau pembatik yang cukup banyak, sehingga untuk membuat batik tulis dan cap disana biaya masih relatif rendah. Hal itu berbeda dengan pengrajin atau pembatik di kota Semarang yang jumlahnya sedikit, sehingga biaya pembuatan

17


(10)

lebih tinggi. Oleh karena itu entrepreneur batik di kota Semarang lebih memilih membentuk jaringan usaha dengan pengusaha di kota Pekalongan. Seperti yang dituturkan oleh CYD sebagai berikut :

“di Pekalongan itu enak, dari tukang gambar sampe nyetak buat cap atau tulis banyak, printing juga ada, semua di Pekalongan itu ada kalau batik, komplit”

Adapun cara yang dilakukan oleh entrepreneur untuk memulai jaringan dapat bermacam-macam, bisa dengan secara langsung mendatangi kota Pekalongan atau dengan menggunakan relasi yang dimiliki oleh orang lain. Untuk cara memulai jaringan dengan mendatangi lokasi secara langsung dilakukan oleh entrepreneur CYD, seperti yang dituturkan sebagai berikut :

“dulu waktu awal saya datag ke Pekalongan langsung buat milihi produk, tapi kalau sekarang saya pesen via telepon saja”

Sedangkan untuk CHR, CHR pada awal mulanya memilih memanfaatkan jaringan bisnis orang tua, karena orang tua CHR juga merupakan entrepreneur batik. Seperti yang diungkapkan CHR sebagai berikut :

“aku sih kalau jaringan milih Pekalongan karena disana komplit kan, trus juga karena orang tuaku kan sudah punya jaringan bisnis disana”

Pernyataan tersebut mendukung penelitian Budhiyanto (2009) yang menyatakan dalam pengelolaan bisnis keluarga, entrepreneur memanfaatkan jaringan milik keluarga. Jaringan tersebut menjadi sumber daya yang penting bagi kelanjutan bisnis mereka.

Sedangan untuk YNC, pemilihan jaringan didasari oleh relasi pertemanan yang dimiliki dengan entrepreneur batik di kota Pekalongan yang merupakan teman Gereja entrepreneur, seperti yang diungkapkan YNC sebagai berikut :

“kebetulan aku kan nda tau apa-apa tentang batik, trus aku ditawari sama temenku, aku lihat peluang’e bagus ya aku mau, apalagi waktu itu kan harus sedia barang banyak di toko pertama kali, barangnya itu dikasi titip jual sama dia”


(11)

Entrepreneur juga harus dapat mempertahankan jaringan yang dimilikinya, salah satu cara untuk mempertahankan jaringan adalah dengan mengandalkan modal sosial. Menurut Santosa (2007) modal sosial merupakan modal yang diciptakan untuk membangun kemitraan melalui nilai-nilai seperti saling pengertian, kepercayaan dan budaya kerjasama. Pernyataan tersebut sesuai dengan yang diutarakan oleh WDY sebagai berikut :

“membina hubungan bisnis yang sudah berjalan sama seperti kita menjalin relasi dengan teman, kita harus baik terhadap sama pemasok, kayak sering telepon, ngasih ucapan di hari hari tertentu atau ketika sedang berada di kota Pekalongan ya mampir untuk bertemu“

Hubungan baik yang terbina tersebut memberikan dampak positif bagi bisnis entrepreneur, terutama bagi keberlangsungan usaha. Semakin lama modal sosial ditanamkan maka jaringan yang terbentuk akan semakin kuat, hal ini mendukung penelitian Budhiyanto (2009) yang menyatakan bahwa modal sosial merupakan hasil investasi seseorang yang harus dijaga dan dirawat dari waktu ke waktu, sehingga semakin lama usaha berdiri, maka akan semakin kuat jaringan usaha yang dimilikinya.

4. 5. 1 Hambatan Merintis dan Cara Mengatasi

Dalam merintis suatu usaha, seorang entrepreneur sering mendapatkan hambatan pada awal mula usahanya maupun ketika usaha entrepreneur sudah berjalan. Menurut Stoner et al. (1996) hambatan yang biasanya dialami oleh entrepreneur adalah kendala untuk memasuki industri ketika awal usaha, kurangnya pengetahuan tentang pasar, kesulitan modal, membangun kepercayaan dengan relasi dan tidak memiliki pengetahuan dasar tentang bisnis. Hambatan bisnis seperti kesulitan memasuki industri yang berlaku dialami oleh CYD, seperti yang dituturkan oleh CYD sebagai berikut :

“nda ada, terus terang kalau modal dulu bukan menjadi masalah buat saya, mungkin lebih cari langganan, waktu awal mula bisnis, mungkin ketika memasarkan produk secara grosir, waktu pertama kali itu sulit, karena toko sudah punya pemasok sendiri-sendiri”


(12)

Hambatan tersebut dapat diatasi oleh CYD dengan cara melakukan lobi secara terus-menerus, sehingga toko tersebut akhirnya tertarik mengambil barang dari CYD, hal ini didukung dengan pernyataan :

“ya saya lobi terus menerus,lama-lama kan mereka sungkan sendiri sama saya,

trus hubungan jadi semakin membaik akhirnya jadi ambil dari saya terus”

Hambatan kedua yang dialami oleh entrepreneur adalah kurangnya pengetahuan tentang produk, hal seperti ini pada umumnya dialami oleh entrepreneur yang baru memulai usaha. Seperti yang dituturkan oleh YNC,

“kalau secara detail batik seperti apa saya memang kurang tahu pada waktu Itu,

tapi kalau cara jual ya saya sudah bisa, pokoknya tinggal HPP’nya berapa bayar trus dijual lagi”

Dalam menghadapi hambatan tersebut entrepreneur YNC cukup santai. YNC mengangap hal tersebut merupakan proses pembelajaran dalam memulai suatu bisnis baru. YNC menanamkan pikiran positif pada dirinya, seperti yang diutarakan berikut,

“cara mengatasi? wah, ya nda ada caranya, yang namanya bisnis itu pasti ada prosesnya sendiri-sendiri, dari nda tahu jadi tahu, ya gitu aja sih menurtku”

Hambatan yang ketiga adalah kesulitan modal dan jaringan bisnis. Hambatan ini dialami oleh entrepreneur CHR, seperti yang dituturkan oleh CHR,

“Modal? jelas modal pasti menjadi hambatan awal dalam memulai usaha, tapi kalau saya lebih ke koneksi saja, waktu awal mula merintis susah dalam pemilihan jaringan yang kuat”

Hambatan kesulitan dalam pemilihan jaringan dengan pemasok pada saat awal usaha, dapat diatasi oleh CHR dengan memanfaatkan jaringan yang dimiliki orang tuannya, karena orang tua dari CHR juga merupakan entrepreneur batik. Hal ini didukung dengan pernyataan CHR :


(13)

“orang tuaku kebetulan juga usaha batik, jadi pertama kali aku mau isi barang di toko ya aku sudah tau bakule di Pekalongan, jadi disana tinggal milihi yang mau dibeli aja”

Keempat, hambatan yang terjadi dalam usaha batik adalah cara membangun kepercayaan dengan relasi. Terutama untuk mendapatkan pelanggan yang baik dan jujur. Hal ini didukung pernyataan dari WDY,

“Pembelinya itu licik-licik, biasanya beli banyak sampai cek ke 5 masih lancar pembayarannya, habis itu mulai nda bayar, kadang kalau mau ditagih tokonya ternyata kontrak sudah ilang, trus dulu waktu di Kudus itu ada kebakaran, ya sudah sekalian nda dibayar sama mereka, gitu masih minta barang lagi”

Setelah memiliki pengalaman buruk dengan pembeli, WDY sekarang menjadi lebih selektif dalam memilih pelanggan untuk diberikan waktu pembayaran. Terutama jika penjualan tersebut terjadi dalam jumlah yang banyak dan menggunakan sistem pembayaran berjangka, hal ini didukung oleh pernyataan WDY,

“ya saya ndak mau lagi kalau ada yang utang, apalagi kalau hubungane belum

lama, mesti ndak beres nanti, kalau yang baru ya tak suruh cash, kalau yang dah kenal lama baru saya kasih tempo”

Lunturnya kepercayaan pada konsumen yang dialami WDY dikarenakan pengalaman buruk yang dialami oleh WDY, hal ini membuat WDY berhati-hati dalam memberikan keleluasaan bayar bagi konsumennya. Hal ini tentu saja berdampak pada teknik menjual produk batiknya. Penelitian yang dilakukan Santosa (2007) menyatakan bahwa modal sosial merupakan aspek terpenting dalam membangun kemitraan dan kepercayaan. Tetapi dalam kasus yang dialami oleh WDY, modal sosial melemah akibat kepercayaan yang mulai luntur.

Dari permasalahan yang dihadapi oleh entrepreneur batik di kota Semarang, permasalahan yang muncul sesuai dengan penelitian yang disampaikan oleh Stoner et al. (1996), tetapi terdapat permasalahan lain yang bisa menjadi hambatan dalam bisnis, yaitu jaringan bisnis (Hafsah, 2004). Hambatan-hambatan


(14)

tersebut adalah hambatan yang secara umum dihadapi oleh entrepreneur batik di kota Semarang.

4. 5. 2 Pengembangan usaha

Setelah entrepreneur merintis sebuah bisnis, entrepreneur kemudian akan masuk pada fase pengembangan bisnis. Waktu yang dibutuhkan seorang entrepreneur untuk mengembangkan bisnis berbeda satu dengan yang lain. Cepat atau lambatnya perkembangan bisnis sangat ditentukan oleh laba yang didapatkan entrepreneur dalam bisnis yang dijalankan. Menurut penelitan yang dilakukan Budhiyanto (2009) ada beberapa indikator yang bisa dilihat ketika bisnis seorang entrepreneur semakin berkembang dalam bisnisnya, hal itu dapat dilihat dari perluasan tempat usaha, penambahan kapasitas jumlah tenaga kerja, penambahan jenis dan jumlah produk.

Entepreneur WDY membuka cabang baru untuk memperluas tempat usahanya. Ketika bisnisnya sedang mengalami peningkatan penjualan yang sangat tinggi, WDY memutuskan untuk menambahlokasi penjualan dengan membuka cabang baru. Seperti yang dituturkan oleh WDY sebagai berikut :

“ya lebih maju aja ya, kalau dulu cuma punya satu toko, sekarang sudah punya dua, di Pandanaran”

Perkembangan usaha juga ditandai dengan semakin luasnya wilayah area pemasaran atau ekspansi lokasi. Hal tersebut mendukung penelitian dari Winardi (2008) mengenai tujuan dari pemasaran.Seperti yang dituturkan oleh CYD berikut :

“Dulu ya barangnya sedikit, lama kelamaan kan semakin banyak karna bisnisnya

jalan, apalagi kan om sempet ngalami dari jaman tradisional ke modern ya, sekarang omnya jual yang printing-printing, ini baju batik bola lagi in di pasaran, dulu kalau kelilingan ya cuma di daerah Jawa Tengah seperti Muntilan, Solo dan Yogyakarta, sekarang sudah sampai ke Jawa Barat dan Jawa Timur”


(15)

Selain itu, entrepreneur melakukan pengembangan usaha dengan menambah jumlah dan jenis produk yang dijual. Hal ini dilakukan untuk memenuhi selera pasar, sebab bisnis batik merupakan bisnis fashion, sehingga harus mengikuti perkembangan yang terjadi di pasar. Seperti yang dituturkan oleh CHR dan YNC sebagai berikut :

“ya ni stok barang lama kelamaan di toko jadi banyak, jenisnya juga mulai sudah bervariasi, terutama yang printing, ada baju pasangan, baju batik bola,

macem-macem’lah sekarang, sekarang barangnya sudah banyak nda kayak awal mula

waktu buka”

“ya kayak yang aku bilang tadi ya,kalau namanya bisnis itu prosesnya jalan sendiri, kalau saya yang ngikuti trend aja, yang lagi laku apa di pasaran, saya banyakin stok barang itu, berkembang? iya ya, mungkin dari penjualan yang semakin baik”

Disini terlihat bahwa, setiap entrepreneur memiliki cara dan pemikiran tersendiri dalam menggembangkan bisnis batik mereka. Entrepreneur dalam melakukan pengembangan usaha akan menyesuaikan dengan tujuan yang ingin dicapai oleh entrepreneur. Hal ini mendukung penelitian yang dilakukan oleh Hornaday (1982) bahwa karakteristik entrepreneur yang sukses, bahwa entrepreneur akan melihat kesempatan sebagai peluang usaha.


(1)

lebih tinggi. Oleh karena itu entrepreneur batik di kota Semarang lebih memilih membentuk jaringan usaha dengan pengusaha di kota Pekalongan. Seperti yang dituturkan oleh CYD sebagai berikut :

“di Pekalongan itu enak, dari tukang gambar sampe nyetak buat cap atau tulis banyak, printing juga ada, semua di Pekalongan itu ada kalau batik, komplit” Adapun cara yang dilakukan oleh entrepreneur untuk memulai jaringan dapat bermacam-macam, bisa dengan secara langsung mendatangi kota Pekalongan atau dengan menggunakan relasi yang dimiliki oleh orang lain. Untuk cara memulai jaringan dengan mendatangi lokasi secara langsung dilakukan oleh entrepreneur CYD, seperti yang dituturkan sebagai berikut :

“dulu waktu awal saya datag ke Pekalongan langsung buat milihi produk, tapi kalau sekarang saya pesen via telepon saja”

Sedangkan untuk CHR, CHR pada awal mulanya memilih memanfaatkan jaringan bisnis orang tua, karena orang tua CHR juga merupakan entrepreneur batik. Seperti yang diungkapkan CHR sebagai berikut :

“aku sih kalau jaringan milih Pekalongan karena disana komplit kan, trus juga karena orang tuaku kan sudah punya jaringan bisnis disana”

Pernyataan tersebut mendukung penelitian Budhiyanto (2009) yang menyatakan dalam pengelolaan bisnis keluarga, entrepreneur memanfaatkan jaringan milik keluarga. Jaringan tersebut menjadi sumber daya yang penting bagi kelanjutan bisnis mereka.

Sedangan untuk YNC, pemilihan jaringan didasari oleh relasi pertemanan yang dimiliki dengan entrepreneur batik di kota Pekalongan yang merupakan teman Gereja entrepreneur, seperti yang diungkapkan YNC sebagai berikut :

“kebetulan aku kan nda tau apa-apa tentang batik, trus aku ditawari sama temenku, aku lihat peluang’e bagus ya aku mau, apalagi waktu itu kan harus sedia barang banyak di toko pertama kali, barangnya itu dikasi titip jual sama


(2)

Entrepreneur juga harus dapat mempertahankan jaringan yang dimilikinya, salah satu cara untuk mempertahankan jaringan adalah dengan mengandalkan modal sosial. Menurut Santosa (2007) modal sosial merupakan modal yang diciptakan untuk membangun kemitraan melalui nilai-nilai seperti saling pengertian, kepercayaan dan budaya kerjasama. Pernyataan tersebut sesuai dengan yang diutarakan oleh WDY sebagai berikut :

“membina hubungan bisnis yang sudah berjalan sama seperti kita menjalin relasi dengan teman, kita harus baik terhadap sama pemasok, kayak sering telepon, ngasih ucapan di hari hari tertentu atau ketika sedang berada di kota Pekalongan ya mampir untuk bertemu“

Hubungan baik yang terbina tersebut memberikan dampak positif bagi bisnis entrepreneur, terutama bagi keberlangsungan usaha. Semakin lama modal sosial ditanamkan maka jaringan yang terbentuk akan semakin kuat, hal ini mendukung penelitian Budhiyanto (2009) yang menyatakan bahwa modal sosial merupakan hasil investasi seseorang yang harus dijaga dan dirawat dari waktu ke waktu, sehingga semakin lama usaha berdiri, maka akan semakin kuat jaringan usaha yang dimilikinya.

4. 5. 1 Hambatan Merintis dan Cara Mengatasi

Dalam merintis suatu usaha, seorang entrepreneur sering mendapatkan hambatan pada awal mula usahanya maupun ketika usaha entrepreneur sudah berjalan. Menurut Stoner et al. (1996) hambatan yang biasanya dialami oleh entrepreneur adalah kendala untuk memasuki industri ketika awal usaha, kurangnya pengetahuan tentang pasar, kesulitan modal, membangun kepercayaan dengan relasi dan tidak memiliki pengetahuan dasar tentang bisnis. Hambatan bisnis seperti kesulitan memasuki industri yang berlaku dialami oleh CYD, seperti yang dituturkan oleh CYD sebagai berikut :

“nda ada, terus terang kalau modal dulu bukan menjadi masalah buat saya, mungkin lebih cari langganan, waktu awal mula bisnis, mungkin ketika memasarkan produk secara grosir, waktu pertama kali itu sulit, karena toko sudah punya pemasok sendiri-sendiri”


(3)

Hambatan tersebut dapat diatasi oleh CYD dengan cara melakukan lobi secara terus-menerus, sehingga toko tersebut akhirnya tertarik mengambil barang dari CYD, hal ini didukung dengan pernyataan :

“ya saya lobi terus menerus,lama-lama kan mereka sungkan sendiri sama saya, trus hubungan jadi semakin membaik akhirnya jadi ambil dari saya terus”

Hambatan kedua yang dialami oleh entrepreneur adalah kurangnya pengetahuan tentang produk, hal seperti ini pada umumnya dialami oleh entrepreneur yang baru memulai usaha. Seperti yang dituturkan oleh YNC,

“kalau secara detail batik seperti apa saya memang kurang tahu pada waktu Itu, tapi kalau cara jual ya saya sudah bisa, pokoknya tinggal HPP’nya berapa bayar trus dijual lagi”

Dalam menghadapi hambatan tersebut entrepreneur YNC cukup santai. YNC mengangap hal tersebut merupakan proses pembelajaran dalam memulai suatu bisnis baru. YNC menanamkan pikiran positif pada dirinya, seperti yang diutarakan berikut,

“cara mengatasi? wah, ya nda ada caranya, yang namanya bisnis itu pasti ada prosesnya sendiri-sendiri, dari nda tahu jadi tahu, ya gitu aja sih menurtku” Hambatan yang ketiga adalah kesulitan modal dan jaringan bisnis. Hambatan ini dialami oleh entrepreneur CHR, seperti yang dituturkan oleh CHR,

“Modal? jelas modal pasti menjadi hambatan awal dalam memulai usaha, tapi kalau saya lebih ke koneksi saja, waktu awal mula merintis susah dalam pemilihan jaringan yang kuat”

Hambatan kesulitan dalam pemilihan jaringan dengan pemasok pada saat awal usaha, dapat diatasi oleh CHR dengan memanfaatkan jaringan yang dimiliki orang tuannya, karena orang tua dari CHR juga merupakan entrepreneur batik. Hal ini didukung dengan pernyataan CHR :


(4)

“orang tuaku kebetulan juga usaha batik, jadi pertama kali aku mau isi barang di toko ya aku sudah tau bakule di Pekalongan, jadi disana tinggal milihi yang mau dibeli aja”

Keempat, hambatan yang terjadi dalam usaha batik adalah cara membangun kepercayaan dengan relasi. Terutama untuk mendapatkan pelanggan yang baik dan jujur. Hal ini didukung pernyataan dari WDY,

“Pembelinya itu licik-licik, biasanya beli banyak sampai cek ke 5 masih lancar pembayarannya, habis itu mulai nda bayar, kadang kalau mau ditagih tokonya ternyata kontrak sudah ilang, trus dulu waktu di Kudus itu ada kebakaran, ya sudah sekalian nda dibayar sama mereka, gitu masih minta barang lagi”

Setelah memiliki pengalaman buruk dengan pembeli, WDY sekarang menjadi lebih selektif dalam memilih pelanggan untuk diberikan waktu pembayaran. Terutama jika penjualan tersebut terjadi dalam jumlah yang banyak dan menggunakan sistem pembayaran berjangka, hal ini didukung oleh pernyataan WDY,

“ya saya ndak mau lagi kalau ada yang utang, apalagi kalau hubungane belum lama, mesti ndak beres nanti, kalau yang baru ya tak suruh cash, kalau yang dah kenal lama baru saya kasih tempo”

Lunturnya kepercayaan pada konsumen yang dialami WDY dikarenakan pengalaman buruk yang dialami oleh WDY, hal ini membuat WDY berhati-hati dalam memberikan keleluasaan bayar bagi konsumennya. Hal ini tentu saja berdampak pada teknik menjual produk batiknya. Penelitian yang dilakukan Santosa (2007) menyatakan bahwa modal sosial merupakan aspek terpenting dalam membangun kemitraan dan kepercayaan. Tetapi dalam kasus yang dialami oleh WDY, modal sosial melemah akibat kepercayaan yang mulai luntur.

Dari permasalahan yang dihadapi oleh entrepreneur batik di kota Semarang, permasalahan yang muncul sesuai dengan penelitian yang disampaikan oleh Stoner et al. (1996), tetapi terdapat permasalahan lain yang bisa menjadi hambatan dalam bisnis, yaitu jaringan bisnis (Hafsah, 2004). Hambatan-hambatan


(5)

tersebut adalah hambatan yang secara umum dihadapi oleh entrepreneur batik di kota Semarang.

4. 5. 2 Pengembangan usaha

Setelah entrepreneur merintis sebuah bisnis, entrepreneur kemudian akan masuk pada fase pengembangan bisnis. Waktu yang dibutuhkan seorang entrepreneur untuk mengembangkan bisnis berbeda satu dengan yang lain. Cepat atau lambatnya perkembangan bisnis sangat ditentukan oleh laba yang didapatkan entrepreneur dalam bisnis yang dijalankan. Menurut penelitan yang dilakukan Budhiyanto (2009) ada beberapa indikator yang bisa dilihat ketika bisnis seorang entrepreneur semakin berkembang dalam bisnisnya, hal itu dapat dilihat dari perluasan tempat usaha, penambahan kapasitas jumlah tenaga kerja, penambahan jenis dan jumlah produk.

Entepreneur WDY membuka cabang baru untuk memperluas tempat usahanya. Ketika bisnisnya sedang mengalami peningkatan penjualan yang sangat tinggi, WDY memutuskan untuk menambahlokasi penjualan dengan membuka cabang baru. Seperti yang dituturkan oleh WDY sebagai berikut :

“ya lebih maju aja ya, kalau dulu cuma punya satu toko, sekarang sudah punya dua, di Pandanaran”

Perkembangan usaha juga ditandai dengan semakin luasnya wilayah area pemasaran atau ekspansi lokasi. Hal tersebut mendukung penelitian dari Winardi (2008) mengenai tujuan dari pemasaran.Seperti yang dituturkan oleh CYD berikut :

“Dulu ya barangnya sedikit, lama kelamaan kan semakin banyak karna bisnisnya jalan, apalagi kan om sempet ngalami dari jaman tradisional ke modern ya, sekarang omnya jual yang printing-printing, ini baju batik bola lagi in di pasaran, dulu kalau kelilingan ya cuma di daerah Jawa Tengah seperti Muntilan, Solo dan Yogyakarta, sekarang sudah sampai ke Jawa Barat dan Jawa Timur”


(6)

Selain itu, entrepreneur melakukan pengembangan usaha dengan menambah jumlah dan jenis produk yang dijual. Hal ini dilakukan untuk memenuhi selera pasar, sebab bisnis batik merupakan bisnis fashion, sehingga harus mengikuti perkembangan yang terjadi di pasar. Seperti yang dituturkan oleh CHR dan YNC sebagai berikut :

“ya ni stok barang lama kelamaan di toko jadi banyak, jenisnya juga mulai sudah bervariasi, terutama yang printing, ada baju pasangan, baju batik bola, macem-macem’lah sekarang, sekarang barangnya sudah banyak nda kayak awal mula waktu buka”

“ya kayak yang aku bilang tadi ya,kalau namanya bisnis itu prosesnya jalan sendiri, kalau saya yang ngikuti trend aja, yang lagi laku apa di pasaran, saya banyakin stok barang itu, berkembang? iya ya, mungkin dari penjualan yang semakin baik”

Disini terlihat bahwa, setiap entrepreneur memiliki cara dan pemikiran tersendiri dalam menggembangkan bisnis batik mereka. Entrepreneur dalam melakukan pengembangan usaha akan menyesuaikan dengan tujuan yang ingin dicapai oleh entrepreneur. Hal ini mendukung penelitian yang dilakukan oleh Hornaday (1982) bahwa karakteristik entrepreneur yang sukses, bahwa entrepreneur akan melihat kesempatan sebagai peluang usaha.