Bioekologi dan Konservasi Kumbang Lucanid (Coleoptera Lucanidae) di Hutan Gunung Salak, Jawa Barat

(1)

BIOEKOLOGI DAN KONSERVASI KUMBANG LUCANID

(COLEOPTERA: LUCANIDAE) DI HUTAN

GUNUNG SALAK, JAWA BARAT

RONI KONERI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007


(2)

xi

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Bioekologi dan Konservasi Kumbang Lucanid (Coleoptera: Lucanidae) di Hutan Gunung Salak, Jawa Barat, adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, 14 Februari 2007

Roni Koneri NIM G361020131


(3)

xii

ABSTRAK

RONI KONERI. Bioekologi dan Konservasi Kumbang Lucanid (Coleoptera: Lucanidae) di Hutan Gunung Salak, Jawa Barat. Dibimbing oleh DEDY DURYADI SOLIHIN, DAMAYANTI BUCHORI, dan RUDY C. TARUMINGKENG.

Kumbang lucanid berperanan penting dalam ekosistem hutan dan merupakan elemen penting dari keanekaragaman hayati. Keberadaan kumbang lucanid di hutan Gunung Salak saat ini mulai terancam punah karena perburuan dan kerusakan habitat. Penelitian ini bertujuan untuk memahami pengaruh perburuan dan gangguan hutan terhadap komunitas dan fluktuasi populasi kumbang lucanid, selain itu juga mengkaji biologinya di laboratorium. Penelitian dilakukan dari bulan Mei 2004 sampai Desember 2005 di Gunung Salak, Jawa Barat. Pengambilan sampel kumbang lucanid dilakukan dengan tiga cara, yaitu 1) menggunakan perangkap lampu buatan yang dilaksanakan pada tiga tingkat gangguan hutan, 2) memanfaatkan lampu penerangan yang sudah terpasang di lapangan panas bumi Unocal pada lima ketinggian tempat berbeda, dan 3) mencatat jumlah kumbang lucanid yang dijual oleh pedagang kumbang. Pengambilan data kumbang lucanid dilakukan setiap bulan selama satu tahun. Analisis vegetasi menggunakan metode plot dan ditempatkan secara sistematis.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tipe habitat berpengaruh nyata terhadap struktur vegetasi dan komunitas kumbang lucanid. Jumlah spesies, nilai keanekaragaman spesies, kemerataan spesies dan kerapatan tumbuhan bawah lebih tinggi pada hutan terganggu, sedangkan penutupan kanopi pohon, kerapatan pohon, dan luas bidang dasar pohon nilainya lebih rendah. Total kumbang lucanid yang terkumpul sebanyak 10.987 individu yang meliputi 12 spesies. Rata-rata kekayaan, kelimpahan dan nilai keanekaragaman spesies kumbang lucanid lebih tinggi pada hutan tidak terganggu daripada hutan kurang terganggu dan hutan sangat terganggu. Ketinggian tempat berpengaruh terhadap komunitas kumbang lucanid. Kekayaan, kelimpahan dan nilai keanekaragaman spesies kumbang lucanid berkurang dengan semakin tingginya lokasi penelitian. Hasil

redundancy analysis menunjukkan bahwa volume total kayu lapuk sebagai faktor lingkungan yang paling mempengaruhi struktur komunitas kumbang lucanid pada semua tipe habitat. Analisis faktor lingkungan utama yang sangat mempengaruhi distribusi spesies kumbang lucanid pada tiga tingkat gangguan hutan dari canonical correspondence analysis adalah tebal serasah, sedangkan pada hutan Unocal dengan lima ketinggian tempat dipengaruhi oleh volume kayu lapuk kelas 2. Fluktuasi kelimpahan populasi kumbang lucanid hasil perangkap lampu buatan dan Unocal tertinggi muncul pada bulan April dan Mei, sedangkan yang diperdagangkan tertinggi terjadi pada bulan Oktober dan Nopember.

Hasil pemeliharaan kumbang lucanid di laboratorium menunjukkan bahwa waktu yang dibutuhkan oleh O. bellicosa mulai dari pertemuan jantan dan betina sampai bertelur 26,20 hari dengan keperidian 24,20 butir perbetina. Telur menetas menjadi larva 5,80 hari, perkembangan larva menjadi kepompong 12 bulan dan imago muncul dari kepompong selama satu bulan. Laju reproduksi kotor sebesar 91,70 individu/induk/generasi, laju reproduksi bersih = 6,78 individu/induk/generasi,laju pertambahan intrinsik = 0,09 individu/induk/generasi dan waktu generasi = 21,37. Berdasarkan hasil penelitian terlihat bahwa laju pemanenan kumbang lucanid lebih cepat dibandingkan dengan pertumbuhannya. Hal ini akan menyebabkan kumbang lucanid terancam kepunahan, untuk itu diperlukan usaha-usaha konservasi kumbang lucanid supaya kelestariannya tetap terjaga.

Kata-kata kunci: bioekologi, konservasi, kumbang lucanid, struktur komunitas, Gunung Salak.


(4)

xiii

Lucanidae) in Salak Mountain Forest, West Java. Under the direction of DEDY DURYADI SOLIHIN, DAMAYANTI BUCHORI, dan RUDY C. TARUMINGKENG.

Lucanids beetles play a very important role in forest ecosystem and as an crucial element of biodiversity. Unfortunately, these lucanids beetles are now threatened by illegal hunting and habitat destruction. The objectives of the research were to study the effects of illegal hunting and disturbance forest level on the community and population of lucanids beetles, as well as to evaluate biology of lucanids beetles under laboratory condition. Research was conducted between May 2004 and December 2005 in Salak Mountain, Indonesia. Data of lucanids beetles were observed in three different methods. In the first method, lucanids were sampled using light trap in three forest habitats with different disturbance level (undisturbed forest, moderately disturbed forest, and highly disturbed forest). In the second method, lucanids were collected using Unocal lights at the Unocal compound (with five different altitudes i.e 1021 asl, 1110 asl, 1239 asl, 1349 asl, and 1400 m asl). In the third method, data of lucanids were acquired from local people who sold the beetles. Insect collections were conducted monthly during 12 months. Vegetation analyses were conducted using systematic plot method.

The result of study indicated that habitat type has a strong effect on lucanid beetle communities and vegetation structures. Number of species, species diversity, species eveness, and density of understorey vegetation were found to be lower in highly disturbed forest than forests with lower degree of disturbance. In contrast, canopy cover, plant density and bassal area of trees vegetation were found to be higher in forests experienced with lower disturbance. This study also identified 12 species of lucanids beetles of 10.987 individuals. Mean of species richness, abundance, and species diversity of lucanids beetle were recorded to be higher in undisturbed forest than forests experienced with lower degree of disturbance. Altitude was found to have a strong effect on beetle community. Species richness, abundance, and species diversity of lucanids beetle are decreasing with increasing altitude of locations. RDA (Redundancy analysis) identified that total volume of coarse woody debris (CWD) in the selected locations was recorded as key environmental factor influencing community structure of lucanids beetles. Based on CCA (canonical correspondence analysis), the thickness of litter was recorded as main factor affecting the ditribution of lucanids species in forests outside Unocal compound, however, in forests inside Unocal Compound, the distribution of the beetles were affected by the volume of CWD in decay class 2. Higher number of lucanids beetle species collected both from forests outside and inside Unocal Compound was recorded in April and May, but not in other months. Number of beetle harvested and traded was identified to be higher in October dan November.

From the laboratory evaluation, Odontolabis bellicosa needs approximately 26,20 days from mating until eggs were produced with about 24,20 eggs per female. Eggs hacthed approximately 5,80 days after being were laid and it needs about 12 months to grow until pupation. Adults emerged from pupae about one month from pupa formation.Gross reproductive rate (GRR) was about 91,70 individual/ parent/generation, net reproductive rate (R0) was about

6,78 individual/parent/generation, intrinsic rate of increase (r) = 0,09 individu/parent/generation and generation time (T) = 21,37 months. Based on the result, we identified that harvesting rate of the beetle was recorded to be higher than their growth. This may threat the beetle population, therefore some conservation efforts are need to be developed for saving the beetle in the future. Key words: bioecology, conservation, lucanids beetles, community structure,


(5)

xiv

©

Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007

Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari

Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam

bentuk apa pun, baik cetak, fotocopi, mikrofilm, dan sebagainya


(6)

xv

GUNUNG SALAK, JAWA BARAT

RONI KONERI

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Doktor pada

Program Studi Biologi

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007


(7)

xvi

Judul Disertasi : Bioekologi dan Konservasi Kumbang Lucanid (Coleoptera: Lucanidae) di Hutan Gunung Salak, Jawa Barat

Nama : Roni Koneri Nomor Pokok : G 361020131 Program Studi : Biologi

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Dedy Duryadi Solihin, DEA. Ketua

Dr. Ir. Damayanti Buchori, M.Sc. Prof. Dr. Ir. Rudy C. Tarumingkeng, MF.

Anggota Anggota

Ketua Program Studi Biologi Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dedy Duryadi Solihin, DEA. Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S.


(8)

xvii

berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan disertasi ini sebagaimana yang diharapkan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan mulai dari bulan Mei 2004 sampai Oktober 2006 adalah bioekologi dan konservasi kumbang lucanid (Coleoptera: Lucanidae) di hutan Gunung Salak, Jawa Barat. Penelitian ini dilaksanakan di hutan Gunung Salak yang merupakan bagian dari Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Aspek-aspek yang diteliti meliputi analisis vegetasi, struktur komunitas kumbang lucanid, fluktuasi populasi kumbang lucanid dan pengamatan di laboratorium yang mencakup biologi dan tabel kehidupan Odontolabis bellicosa yang merupakan salah satu spesies dari kumbang lucanid. Hasil penelitian ini diharapkan dapat mengungkapkan pengaruh perburuan kumbang lucanid dan gangguan hutan terhadap komunitas dan fluktuasi populasi kumbang lucanid, biologi dan tabel kehidupan kumbang lucanid serta menjadi bahan pertimbangan dalam upaya mengembangkan konservasi kumbang lucanid baik secara in situ

maupun ex situ di hutan Gunung Salak.

Pelaksanaan penelitian dan penulisan disertasi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Penghargaan dan terimakasih dari lubuk hati yang paling dalam penulis ucapkan kepada Yth. Dr. Ir. Dedy Duryadi Solihin, DEA; Yth. Dr. Ir. Damayanti Buchori, M.Sc; dan Yth. Prof. Dr. Ir. Rudy C. Tarumingkeng, MF; selaku komisi pembimbing atas bimbingan yang telah diberikan. Semoga jasa baik Bapak dan Ibu mendapatkan pahala yang setimpal dari Tuhan YME. Penulis juga menyampaikan ucapan terimakasih kepada Rektor Unsrat, Dekan FMIPA dan Pimpinan Jurusan Biologi FMIPA Unsrat yang telah memberi izin dan dukungan selama melaksanakan studi di IPB. Kepada Pimpinan IPB dan Sekolah Pascasarjana IPB, Pimpinan dan staf pengajar Departemen Biologi FMIPA IPB, Ketua Program Studi Biologi Pascasarjana IPB, Pimpinan dan staf Laboratorium Zoologi Biologi Tajur, Pimpinan dan staf Laboratorium Biologi Molekuler PAU, Pimpinan dan staf Laboratorium Bioekologi Predator dan Parasitoid Faperta IPB.Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada Kepala dan staf Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Kepala dan sataf Perum Perhutani Sukabumi dan Bogor, Kepala dan staf Wanawisata Cangkuang Cidahu, Kepala dan Staf Museum serangga LIPI Cibinong, Manager project dan staf Unocal Gunung Salak atas izin dan fasilitas yang diberikan selama melaksanakan penelitian.

Penelitian ini tidak akan terlaksana tanpa bantuan dana, untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada Dirjen Dikti Depdiknas yang telah memberikan beasiswa BPPS; Direktur Peduli Konservasi Alam Indonesia (PEKA) yang telah membiayai penelitian sampai selesai, Yayasan Toyota & Astra dan Yayasan Damandiri yang telah memberikan dana untuk penulisan disertasi. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Ibu Prof. Dr.Woro A. Noerdjito yang telah membimbing identifikasi sampel lucanid serta memberikan masukkan untuk kesempurnaan tulisan ini. Kepada Bapak Dr. Ir. Purnama Hidayat, M.Sc dan Bapak Dr. Ir. Hermanu Triwidodo, M.Sc yang telah memberikan masukan terhadap disertasi ini. Kepada Dr. Ir. Ramadanil Pitopang, M.Si; Dr. Ir. Made Suwena, MP; Ir. Herny E. Simbala, M.Si; Ahmad Rizali, M.Si; Bandung Sahari, M.Si; Heri Tabadepu, SP; Wika Hamdini, SP; Nurhasanah, S.Si, Ratna Siaahan, M.Si. atas kerjasama dan dukungannya. Kepada teman-teman dari Program studi Biologi; Laboratorium Bioekologi Predator dan Parasitoid; Laboratorium Biologi Molekuler; Peduli Konservasi Alam Indonesia (PEKA); dan persatuan mahasiswa Sulawesi Utara atas dukungan yang diberikan.

Kepada keluarga terutama Bapak dan Ibu saya yang senantiasa mendukung dan mendoakan keberhasilan saya, Istri (Harlin Puspa Dewi, S.Pd) dan anak-anak (Nurul Latifah dan Ghina Rahmiati) yang telah banyak berkorban demi mendukung kelancaran studi saya, kakak, adik, keponakan, juga keluarga mertua serta pihak lain yang telah membantu yang belum disebutkan disini, atas segala doa, dorongan dan kasih sayangnya. Mudah-mudahan Allah Swt membalas budi baik Bapak, Ibu dan saudara-saudara semuanya. Amin.


(9)

xviii

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Cupak-Kab. Solok, Sumatera Barat, pada tanggal 13 Maret 1969 sebagai anak keempat dari sembilan bersaudara, dari pasangan H. Ali Aman dan Syamsinar. Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar pada SD Negeri 2 Cupak-Kab. Solok tahun 1982, SMP Negeri Cupak-Kab. Solok tahun 1985 dan SMA Negeri Gunung Talang, Cupak-Kab. Solok tahun 1988. Lulus dari Jurusan Pendidikan Biologi FPMIPA Unsyiah Banda Aceh tahun 1993. Tahun 1995 mengikuti program Pramagister di Program Studi Biologi PPs ITB Bandung dan pada tahun 1996 mengikuti program S2 Biologi Program Pascasarjana Institut Teknologi Bandung dan menamatkannya pada tahun 1999. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor di Program Studi Biologi pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor diperoleh tahun 2002. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia.

Penulis bekerja sebagai staf pengajar pada jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sam Ratulangi Manado sejak tahun 1998 sampai sekarang. Pada tahun 1998, penulis menikah dengan Harlin Puspa Dewi S.Pd. dan telah dikaruniai dua orang putri yang bernama Nurul Latifah (lahir 3 Maret 2000) dan Ghina Rahmiati yang lahir pada tanggal 13 Januari 2004.


(10)

xix

DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN...

1 PENDAHULUAN ………...

Latar Belakang Penelitian ………... Tujuan Penelitian………... Manfaat Penelitian………... Alur Pemikiran dan Landasan Penelitian………....……... 2 TINJAUAN PUSTAKA………...

Deskripsi Kawasan Hutan Gunung Salak………... Taksonomi Kumbang Lucanid...……… Biologi Kumbang Lucanid dan Karakter Taksonomi yang penting... Ekologi Kumbang Lucanid...………....

Keanekaragaman Hayati ………... Vegetasi dan Kehidupan Serangga….………... Fragmentasi Habitat... Dinamika Populasi dan Neraca Kehidupan ……...

3 STRUKTUR KOMUNITAS KUMBANG LUCANID

(COLEOPTERA:LUCANIDAE) DI HUTAN GUNUNG SALAK,

JAWABARAT………... Abstrak... Pendahuluan... Bahan dan Metode... Hasil... Pembahasan... Kesimpulan... 4 FLUKTUASI SPASIAL DAN TEMPORAL KUMBANG LUCANID

(COLEOPTERA: LUCANIDAE) DI HUTAN GUNUNG SALAK, JAWA BARAT... Abstrak... Pendahuluan...

Bahan dan Metode... Hasil... Pembahasan... Kesimpulan...

xii xiv xviii 1 1 6 7 7 9 9 12 13 19 19 21 23 24

30 30 30 33 46 83 92

93 93 93 94 96 110 112


(11)

xx

5 BIOLOGI KONSERVASI DAN MODEL PERTUMBUHAN

POPULASI KUMBANG LUCANID... Abstrak...

Pendahuluan... Bahan dan Metode... Hasil... Pembahasan... Kesimpulan... 6 PEMBAHASAN UMUM ... 7 KESIMPULAN DAN SARAN ... DAFTAR PUSTAKA ... LAMPIRAN...

113 113 113 116 112 134 138 140 152 154 164


(12)

xxi Halaman 2.1 3.1 3.2 3.3 3.4 3.5 3.6 3.7 3.8 3.9 3.10 3.11 3.12 3.13 3.14 3.15

Waktu yang diperlukan oleh beberapa spesies kumbang lucanid untuk menyelesaikan tahap perkembangannya... Perbedaan tiga tipe habitat penelitian kumbang lucanid di kawasan hutan Gunung Salak Jawa Barat... Tingkat kebusukan jatuhan kayu yang digunakan untuk menghitung volume jatuhan kayu lapuk di hutan Gunung Salak... Metode dan lama pengambilan sampel kumbang lucanid di hutan Gunung Salak Jawa Barat... Kelimpahan spesies kumbang lucanid yang ditemukan dengan perangkap lampu buatan dan perangkap lampu Unocal selama satu tahun di hutan Gunung Salak... Lima indeks nilai penting (INP) tertinggi dari spesies pohon, tiang, pancang dan tumbuhan bawah pada tiga tipe habitat di Gunung Salak... Lima indeks nilai penting (INP) tertinggi dari famili pohon, tiang, pancang dan tumbuhan bawah pada tiga tipe habitat di Gunung Salak. Spesies kumbang lucanid yang ditemukan dengan perangkap lampu buatan pada tiga tingkat gangguan hutan... Kelimpahan spesies kumbang lucanid hasil perangkap lampu buatan pada tiga tingkat gangguan hutan di Gunung Salak... Rata-rata dan standar deviasi struktur komunitas kumbang lucanid hasil perangkap lampu pada tiga tingkat gangguan hutan ... Kelimpahan spesies kumbang lucanid berdasarkan jenis kelamin hasil perangkap lampu buatan pada tiga tingkat gangguan hutan di Gunung Salak ...

Volume kayu lapuk yang ditemukan pada tiga tingkat gangguan hutan... Koefisien korelasi Spearman (RS) antara parameter lingkungan dengan struktur komunitas kumbang lucanid (kelimpahan, kekayaan, keanekaragaman dan kemerataan spesies) pada tiga tingkat gangguan hutan di Gunung Salak...

Ranking parameter lingkungan yang mempengaruhi struktur komunitas kumbang lucanid (kelimpahan, kekayaan, keanekaragaman dan kemerataan spesies) pada tiga tingkat gangguan hutan di Gunung Salak... Ranking parameter lingkungan yang mempengaruhi distribusi spesies kumbang lucanid pada tiga tingkat gangguan hutan di Gunung Salak... Spesies kumbang lucanid yeng ditemukan dengan perangkap lampu Unocal pada lima ketinggian tempat...

15 36 38 40 46 50 51 55 56 57 59 62 67 68 70 72


(13)

xxii 3.16 3.17 3.18 3.19 3.20 3.21 3.22 4.1 4.2 4.3 4.4 5.1 5.2 5.3 5.4 5.5 5.6

Kelimpahan spesies kumbang lucanid hasil perangkap lampu Unocal pada lima ketinggian tempat di Gunung Salak... Rata-rata dan standar deviasi struktur komunitas kumbang lucanid hasil perangkap lampu Unocal pada lima ketinggian tempat... Kelimpahan spesies kumbang lucanid berdasarkan jenis kelamin hasil perangkap lampu Unocal pada lima ketinggian tempat di hutan Gunung Salak... Koefisien korelasi Spearman (RS) antara parameter lingkungan dengan struktur komunitas kumbang lucanid (kelimpahan, kekayaan, keanekaragaman dan kemerataan spesies) pada lima ketinggian tempat... Ranking parameter lingkungan yang mempengaruhi struktur komunitas kumbang lucanid (kelimpahan, kekayaan, keanekaragaman dan kemerataan spesies) pada lima ketinggian tempat ... Ranking parameter lingkungan yang mempengaruhi distribusi 12 spesies kumbang lucanid pada lima ketinggian tempat………... Beberapa spesies kayu lapuk tempat bersarangnya kumbang lucanid di hutan Gunung Salak... Kehadiran spesies kumbang lucanid yang ditemukan dengan tiga teknik pengambilan sampel selama satu tahun di Gunung Salak... Kehadiran spesies kumbang lucanid hasil perangkap lampu buatan pada tiga tingkat gangguan hutan setiap bulan selama setahun... Kehadiran spesies kumbang lucanid hasil perangkap lampu Unocal pada lima ketinggian tempat... Kehadiran spesies kumbang lucanid yang dijual pedagang setiap bulan... Spesies dan jumlah individu kumbang lucanid yang dijual berdasarkan jenis kelamin selama satu tahun... Kelimpahan spesies kumbang lucanid yang ditemukan dengan tiga teknik pengambilan sampel selama satu tahun di hutan Gunung Salak.. Ukuran dan berat O. bellicosa yang dipelihara di laboratorium pada berbagai tahap perkembangan... Rata-rata dan standar deviasi dari parameter O. bellicosa..... Parameter populasi O. bellicosa yang dipelihara di laboratorium... Neraca kehidupan statis Allotopus rosenbergi (Coleoptera: Lucanidae) yang berasal dari pengamatan di lapang berdasarkan empat kategori umur...

73 74 76 79 80 81 82 97 99 103 108 121 123 125 128 129 131


(14)

xxiii 1.1 2.1 2.2 2.3 2.4 2.5 3.1 3.2 3.3 3.4 3.5 3.6 3.7 3.8 3.9 3.10 3.11 3.12 3.13

Kerangka penelitian kumbang lucanid di hutan Gunung Salak ... Kumbang lucanid, Allotopus rosenbergi... Pertarungan dua ekor kumbang lucanid dengan menggunakan mandibulanya... Morfologi kumbang lucanid... Tahapan perkembangan kumbang lucanid... Organ stridulasi pada larva kumbang lucanid... Peta lokasi penelitian di Gunung Salak, Jawa Barat... Tipe habitat yang dijadikan lokasi penelitian di Gunung Salak... Penempatan plot dalam analisis vegetasi pada masing-masing titik sampel di hutan Gunung Salak... Ilustrasi proyeksi vertikal penutupan tajuk pohon terhadap tanah untuk menghitung persentase penutupan tajuk…………... Penempatan plot pada satu jalur transek untuk menghitung volume kayu lapuk dan ketebalan serasah pada setiap lokasi pengamatan di hutan Gunung Salak... Perangkap lampu untuk sampling kumbang lucanid ... Peta distribusi struktur komunitas kumbang lucanid, volume kayu lapuk dan lima famili pohon yang dominan (diameter > 20 cm) pada tiga tingkat gangguan hutan dan di hutan Unocal dengan lima ketinggian tempat berbeda... Kurva akumulasi jumlah spesies tumbuhan berdasarkan Jack I estimator pada tiga tingkat gangguan hutan di Gunung Salak... Pengaruh tingkat gangguan hutan terhadap struktur vegetasi pada tingkat pohon, tiang, pancang dan tumbuhan bawah di hutan Gunung Salak ...………... Pengaruh tingkat gangguan hutan terhadap struktur vegetasi secara umum di Gunung Salak... Kurva akumulasi spesies kumbang lucanid berdasarkan Jack I estimator pada tiga tingkat gangguan hutan di Gunung Salak... Kelimpahan relatif spesies kumbang lucanid hasil perangkap lampu buatan pada tiga tingkat gangguan hutan di Gunung Salak. Pengaruh tingkat gangguan hutan terhadap kekayaan, kelimpahan, keanekaragaman dan kemerataan spesies kumbang lucanid hasil perangkap lampu buatan ...

8 12 14 14 17 18 34 35 37 37 38 41 47 48 52 53 54 57 58


(15)

xxiv 3.14 3.15 3.16 3.17 3.18 3.19 3.20 3.21 3.22 3.23 3.24 3.25 3.26 3.27 3.28 3.29

Plot skala dua dimensi (MDS) untuk melihat kemiripan vegetasi antar tingkat gangguan hutan ... Dendogram menggunakan UPGMA untuk melihat kemiripan vegetasi antar tingkat gangguan hutan ... Plot skala dua dimensi (MDS) untuk melihat kemiripan vegetasi dan kumbang lucanid antar tingkat gangguan hutan... Dendogram menggunakan UPGMA untuk melihat kemiripan vegetasi dan kumbang lucanid antar tingkat gangguan hutan... Pengaruh tingkat gangguan hutan terhadap volume jatuhan kayu lapuk (m3 / ha) di Gunung Salak... Persentase volume kelas kebusukan kayu lapuk pada tiga tingkat gangguan hutan di Gunung Salak... Pengaruh tingkat gangguan hutan terhadap volume kelas kayu lapuk (m3/ha) di Gunung Salak... RDA (Redundancy analysis) dari kelimpahan (Klu), kekayaan (Slu), keanekaragaman (Hlu) dan kemeratan spesies (Elu) kumbang lucanid dengan 19 parameter lingkungan pada tiga tingkat gangguan hutan di Gunung Salak... Ordinasi CCA (Canonical Correspondence analysis) menggambarkan distribusi dari 11 spesies kumbang lucanid dengan 19 parameter lingkungan pada tiga tingkat gangguan hutan di Gunung Salak... Kurva akumulasi spesies kumbang lucanid hasil penangkapan lampu Unocal berdasarkan Jack I pada lima ketinggian tempat di hutan Gunung Salak... Kelimpahan relatif spesies kumbang lucanid hasil perangkap lampu Unocal pada lima ketinggian tempat... Pengaruh ketinggian tempat terhadap kekayaan spesies, kelimpahan spesies, keanekaragaman spesies dan kemerataan spesies hasil perangkap lampu Unocal... Plot skala dua dimensi (MDS) untuk melihat kemiripan komunitas kumbang lucanid antar lima ketinggian tempat di hutan konsensi Unocal Gunung Salak ... Dendogram menggunakan UPGMA untuk melihat kemiripan komunitas kumbang lucanid antar lima ketinggian tempat di hutan konsensi Unocal Gunung Salak ... RDA dari kelimpahan (Klu), kekayaan (Slu), keanekaragaman (Hlu) dan kemeratan spesies (Elu) kumbang lucanid dengan 22 parameter lingkungan pada lima ketinggian tempat di hutan konsensi Unocal... Ordinasi CCA menggambarkan pengaruh 22 parameter lingkungan terhadap distribusi 12 spesies kumbang lucanid hasil perangkap lampu Unocal...

60 60 61 61 63 64 65 66 69 71 73 74 77 77 78 81


(16)

xxv 4.2 4.3 4.4 4.5 4.6 4.7 4.8 4.9 4.10 4.11 4.12 4.13 5.1 5.2 5.3 5.4

Persentase kehadiran spesies kumbang lucanid hasil perangkap lampu buatan selama satu tahun pada tiga tingkat gangguan hutan. Pola sebaran tiga spesies kumbang lucanid yang selalu muncul setiap bulan pada tiga tingkat gangguan hutan di Gunung Salak. Kelimpahan spesies kumbang lucanid setiap bulan hasil perangkap lampu buatan pada tiga tingkat gangguan hutan di Gunung Salak... Fluktuasi kelimpahan kumbang lucanid hasil perangkap lampu buatan pada tiga tingkat gangguan hutan di Gunung Salak... Pengaruh waktu pengamatan terhadap kelimpahan, kekayaan, keanekaragaman dan kemerataan spesies kumbang lucanid pada tiga tingkat gangguan hutan di Gunung Salak... Kelimpahan spesies kumbang lucanid yang ditemukan setiap bulan dengan perangkap lampu Unocal pada lima ketinggian tempat di hutan Gunung Salak... Pola sebaran 6 spesies kumbang lucanid yang ditemukan setiap bulan selama setahun pada lima ketinggian tempat di hutan Gunung Salak... Pola sebaran tiga spesies kumbang lucanid yang bernilai jual tinggi pada lima ketinggian tempat di hutan Gunung Salak…... Fluktuasi kelimpahan kumbang lucanid hasil penangkapan lampu Unocal pada lima ketinggian tempat di Gunung Salak... Pengaruh waktu pengamatan terhadap kelimpahan, kekayaan, keanekaragaman dan kemeratan spesies pada lima ketinggian tempat di hutan Gunung Salak... Pola sebaran empat spesies kumbang lucanid yang selalu dijual setiap bulan selama satu tahun………... Kelimpahan spesies kumbang lucanid yang dijual oleh pedagang kumbang lucanid di sekitar kawasan hutan Gunung Salak... Desain penelitian untuk pengamatan neraca kehidupan O. bellicosa... Kelimpahan relatif spesies kumbang lucanid yang dijual pedagang selama satu tahun di sekitar hutan Gunung Salak... Kelimpahan spesies Lucanidae yang ditemukan berdasarkan tiga teknik pengambilan sampel selama satu tahun di hutan Gunung Salak………. Telur yang dihasilkan oleh Odontolabis bellicosa hasil rearing di Laboratorium... 98 100 101 102 102 104 105 106 106 107 109 109 117 121 123 124


(17)

xxvi 5.5

5.6 5.7 5.8 5.9 5.10

5.11

5.12 5.13 6.1

6.2

Tahap perkembangan dari larva Odontolabis bellicosa... Kepompong O. bellicosa hasil pemeliharaan di laboratorium... Kumbang O. bellicosa dewasa hasil pemeliharaan di laboratorium Siklus hidup O. bellicosa yang dipelihara laboratorium... Kurva bertahan hidup lima ekor O. bellicosa diperoleh dari pengamatan di laboratorium... Kurva prediksi pertumbuhan O. bellicosa (Coleoptra: Lucanidae) yang memiliki empat kategori umur yang dipelihara di laboratorium... Kurva prediksi pertumbuhan A. rosenbergi (Coleoptra: Lucanidae) yang memiliki empat kategori umur (telur, larva, pupa dan dewasa) yang diamati di lapang... Model populasi O. bellicosa dengan adanya perburuan………….. Simulasi model pertumbuhan populasi O. bellicosa ….………….. Faktor yang mempengaruhi dinamika metapopulasi kumbang lucanid... Kerangka permasalahan dan pemecahan masalah ………..

125 126 127 127 129

130

131 133 134 145 151


(18)

xxvii 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17

Daftar jenis dan famili tingkat pohon (dbh > 20 cm) pada tiga tipe habitat di hutan Gunung Salak ... Daftar jenis dan famili tingkat tiang (dbh 10-20 cm) pada tiga tipe habitat di hutan Gunung Salak ... Daftar jenis dan famili tingkat pancang (tinggi > 1,5 m, dbh < 10 cm) pada tiga tipe habitat di hutan Gunung Salak... Daftar jenis dan famili tumbuhan bawah pada tiga tipe habitat di hutan Gunung Salak... Kelimpahan spesies dan jenis kelamin kumbang lucanid yang dikoleksi dengan perangkap lampu buatan pada tiga tipe habitat... Famili, jumlah spesies dan volume jatuhan kayu lapuk (m3/ha) yang ditemukan pada tiga tingkat gangguan hutan di Gunung Salak ... Famili, spesies dan volume kayu lapuk (m3/ha) yang ditemukan pada tiga tingkat gangguan hutan di Gunung Salak... Struktur komunitas kumbang lucanid dan 19 parameter lingkungan pada tiga tingkat gangguan hutan di Gunung Salak... Kelimpahan spesies dan jenis kelamin kumbang lucanid yang dikoleksi dengan perangkap lampu Unocal pada lima ketinggian tempat di hutan Gunung Salak... Struktur komunitas kumbang lucanid dan 22 parameter lingkungan pada lima ketinggian tempat di hutan konsensi Unocal. Spesies kumbang lucanid yang ditemukan di Gunung Salak dan penyebarannya pada beberapa Pulau di Indonesia... Jumlah kumbang lucanid yang ditemukan di luar Indonesia... Perbandingan jumlah spesies, kerapatan pohon dan luas bidang dasar pada lokasi penelitian dan beberapa lokasi lain di pulau Jawa berdasarkan tingkat gangguan hutan... Lembaran isian jumlah spesies kumbang lucanid yang dijual pedagang setiap bulan di kawasan hutan Gunung Salak... Jumlah individu dan persentase kumbang lucanid yang ditemukan setiap bulan dengan perangkap lampu buatan pada tiga tingkat gangguan hutan di hutan di Gunung Salak... Jumlah individu dan persentase kumbang lucanid yang ditemukan setiap bulan dengan perangkap lampu Unocal pada lima ketinggian tempat di Gunung Salak... Jumlah individu dan presentase kumbang lucanid yang terkumpul dan dijual oleh pedagang setiap bulan di kawasan Gunung Salak....

165 169 172 176 182 186 187 190 198 200 203 207 208 209 210 211 212


(19)

xxviii 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31

Deskripsi dan harga spesies kumbang lucanid yang terdapat di hutan Gunung Salak... Neraca kehidupan Odontolabis bellicosa (Coleoptera: Lucanidae) yang dipelihara di laboratorium pada suhu 22-260

C (Ulangan 1/G1)... Neraca kehidupan Odontolabis bellicosa (Coleoptera: Lucanidae) yang dipelihara di laboratorium pada suhu 22-260C (Ulangan

1/G2)... Neraca kehidupan Odontolabis bellicosa (Coleoptera: Lucanidae) yang dipelihara di laboratorium pada suhu 22-260C (Ulangan

3/G3)... Neraca kehidupan Odontolabis bellicosa (Coleoptera: Lucanidae) yang dipelihara di laboratorium pada suhu 22-260C (Ulangan

4/G4)... Neraca kehidupan Odontolabis bellicosa (Coleoptera: Lucanidae) yang dipelihara di laboratorium pada suhu 22-260C (Ulangan

5/G5)... Neraca kehidupan Odontolabis bellicosa (Coleoptera: Lucanidae) yang dipelihara di laboratorium pada suhu 22-260C (rata-rata dari

lima ulangan)... Neraca kehidupan dan hasil perhitungan matriks Leslie O. bellicosa (Coleoptera: Lucanidae) yang dipelihara di laboratorium berdasarkan empat kategori umur (Ulangan 1/G1)... Neraca kehidupan dan hasil perhitungan matriks Leslie O. bellicosa (Coleoptera: Lucanidae) yang dipelihara di laboratorium berdasarkan empat kategori umur (Ulangan 2/G2)... Neraca kehidupan dan hasil perhitungan matriks Leslie O. bellicosa (Coleoptera: Lucanidae) yang dipelihara di laboratorium berdasarkan empat kategori umur (Ulangan 3/G3)... Neraca kehidupan dan hasil perhitungan matriks Leslie O. bellicosa (Coleoptera: Lucanidae) yang dipelihara di laboratorium berdasarkan empat kategori umur (Ulangan 4/G4)... Neraca kehidupan dan hasil perhitungan matriks Leslie O. bellicosa (Coleoptera: Lucanidae) yang dipelihara di laboratorium berdasarkan empat kategori umur (Ulangan 5/G5)... Neraca kehidupan dan hasil perhitungan matriks Leslie O. bellicosa (Coleoptera: Lucanidae) yang dipelihara di laboratorium berdasarkan empat kategori umur (rata-rata dari lima ulangan)...

Spesies dan jumlah kumbang lucanid yang terkumpul dan dijual setiap bulan dari Desember 2004 sampai Nopember 2005...

213 215 216 217 218 219 220 221 222 223 224 225 226 227


(20)

xxix 33

34

Lokasi pengambilan sampel kumbang lucanid di hutan Gunung salak...

Dinamika metapopulasi kumbang lucanid yang terjadi di hutan Gunung Salak...

229


(21)

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang Penelitian

Serangga merupakan makhluk hidup yang mendominasi bumi dan berjumlah lebih kurang setengah dari total spesies tumbuhan dan hewan yang ada di bumi (Ohsawa 2005) dan merupakan elemen penting dari keanekaragaman hayati. Kurang lebih satu juta spesies serangga telah dideskripsikan dan diperkirakan masih ada sekitar 5-30 juta belum diteliti di hutan tropik (Primack et al. 1998). Keanekaragaman spesies serangga pada suatu areal yang kecil dalam hutan tropik dapat mengandung jumlah yang besar (Grove & Stork 1999). Sebagai contoh, Stork (1991) mengkoleksi lebih dari 4000 spesies serangga dan arthropoda lainnya dari 10 pohon di hutan Borneo. Hammond (1990) mencatat lebih dari 4000 spesies kumbang dalam satu hektar plot di hutan Sulawesi. Serangga juga memiliki keanekaragaman luar biasa dalam ukuran, bentuk, warna dan perilaku. Walaupun ukuran badan serangga relatif kecil dibandingkan dengan hewan vertebrata, namun karena kuantitasnya yang demikian besar, menyebabkan serangga sangat berperan dalam kestabilan suatu ekosistem dan siklus energi dari suatu habitat (Tarumingkeng 2001).

Kehidupan serangga sangat ditentukan oleh faktor lingkungan biotik maupun abiotik. Lingkungan biotik yang mempengaruhi kehidupan serangga adalah tipe habitat, ketersediaan makanan, parasit, predator maupun patogen dari serangga tersebut, sedangkan lingkungan abiotiknya meliputi suhu, kelembaban, curah hujan, angin dan tanah. Beberapa studi menunjukkan bahwa berbagai variabel iklim seperti sinar matahari, suhu, dan curah hujan, berkorelasi positif dengan kekayaan spesies serta kelimpahan dari hewan tersebut (Wright 1983; Turner et al. 1987; Woong 2003). Lassau et al. (2005) juga menemukan adanya korelasi positif antara faktor biotik (penutupan kanopi pohon dan penutupan tajuk tumbuhan bawah) dan faktor abiotik (jumlah serasah dan kelembaban tanah) dengan kekayaan spesies kumbang.


(22)

Lingkungan serangga selalu dalam kondisi dinamis dan berubah, sehingga serangga harus beradaptasi terhadap perubahan tersebut. Perubahan lingkungan disebabkan oleh beberapa hal, baik yang bersifat alami maupun karena pengaruh intervensi manusia. Perubahan lingkungan karena intervensi manusia membawa pengaruh yang sangat berarti bagi kehidupan serangga. Perubahan yang disebabkan oleh manusia antara lain adalah fragmentasi habitat, konversi dari ekosistem alami menjadi buatan, eksploitasi sumberdaya alam berlebihan dan introduksi spesies asing yang merubah tatanan keseimbangan lingkungan. Intachat dan Holloway (2000) menyatakan bahwa stabilitas ataupun terjadinya perubahan, seperti berubahnya iklim atau penebangan pohon, dapat menyebabkan perubahan baik secara langsung atau tidak langsung terhadap kekayaan spesies komunitas biotik di hutan tropik.

Salah satu famili serangga yang penting dalam ekosistem hutan adalah kumbang lucanid yang termasuk dalam ordo Coleoptera. Keberadaan kumbang lucanid pada ekosistem hutan sangat penting artinya dari segi ekologi yaitu dalam menjaga keseimbangan ekosistem, terutama dalam jaring makanan karena kumbang ini bersifat saproxylic yaitu sebagai pengurai bahan organik (kayu mati) di hutan. Kumbang lucanid dewasa memiliki panjang badan bervariasi antara 1 sampai 9 cm dengan rahang atau mandibula yang besar serta kuat terutama pada jantannya dan memiliki tipe mulut pengigit dan pengunyah (Tatsuta et al. 2001; Noerdjito 2003). Kepala larvanya juga dilengkapi dengan mandibula yang kuat serta keras dan hal ini sangat berguna dalam mengebor atau merombak kayu lapuk (Ratcliffe 2001; Noerdjito 2003).

Peran ekologis sebagai pengurai yang dilakukan oleh kumbang lucanid sebagian besar terjadi pada fase larva. Larva kumbang lucanid hidup di dalam kayu-kayu lapuk, dan tunggul kayu dengan proses mendapat makanannya melalui penghancuran material batang kayu lapuk menggunakan rahang bawahnya. Hasil serpihan kayu tersebut kemudian dilumatkan menjadi serbuk halus, dan selanjutnya larva memakan serbuk tersebut (Oda 1997; Noerdjito 2003). Kumbang ini hanya mendegradasi jatuhan kayu mati dan lapuk, sehingga tidak dikatagorikan sebagai hama yang dapat merusak pohon-pohon di hutan. Hal demikian ini didukung oleh hasil telaahan London Wildlife Trust (1999) yaitu


(23)

3

larva kumbang lucanid tidak memakan pohon yang masih hidup dan tidak bersifat hama. Mereka berperan penting sebagai pengurai, membantu mengembalikan mineral dari material tumbuhan mati ke tanah, membantu penyerapan kembali senyawa anorganik atau nutrien oleh tumbuhan, yaitu dengan cara merombak atau mendekomposisi dengan bantuan organisme lain. Walaupun fase imago dari serangga perombak ini memiliki ukuran tubuh kecil, akan tetapi peranan perombakannya jauh lebih besar dibandingkan kelompok hewan lainnya karena memiliki jumlah jenis dan biomasa jauh lebih tinggi (Kahono 2003). Kecepatan perombakan dari larva hewan ini cukup besar karena menurut Dajoz (1974) larva kumbang lucanid seberat satu gram mempunyai kecepatan memakan kayu lapuk sebesar 22,5 cm3/hari. Menurut Tarumingkeng (2001) dalam suatu habitat di hutan hujan tropika, serangga pengurai peranannya dalam siklus energi adalah diperkirakan 4 kalinya dari peranan jenis-jenis vertebrata.

Anggota kumbang lucanid yang diketahui di dunia sekarang ini, berjumlah sekitar 109 genus (Paulsen 2005) dan 1000 spesies yang kebanyakan jenis ini di temukan di Asia (Mizunuma & Nagai 2000; Hosoya et al. 2001). Di Indonesia genus dari kumbang ini berhasil dikoleksi di museum zoologi LIPI Cibinong Bogor sekitar 24 genus yang berasal dari seluruh pulau di Indonesia (22,02% dari jumlah genus yang ada di dunia). Keragaman jenis kumbang lucanid di Indonesia menurut Mizunuma dan Nagai (1994) diketahui sekitar 178 spesies (17,8% dari spesies yang ada di dunia) dan menurut laporan Noerdjito (2006) di Taman Nasional Gunung Halimun Jawa Barat saat ini sudah terkumpul 14 spesies (7,87% dari spesies yang ada di Indonesia atau 1,40 % dari spesies yang ada di dunia). Selain memiliki keragaman jenis yang banyak, kumbang ini juga memiliki jumlah biomasa yang besar. Endrestol (2003) menemukan total biomasa kumbang lucanid sebesar 47 gr/m3 kayu lapuk jatuhan dan merupakan jumlah biomasa tertinggi dari biomasa ordo Coleoptera yang ditemukan pada hutan hujan tropik Dipterocarpaceae dataran rendah baik pada daerah bekas terbakar maupun tidak terbakar di wilayah Kalimantan Timur.

Selain peran ekologi kumbang lucanid ini juga mempunyai arti ekonomi penting, karena bentuknya yang menarik. Secara ekonomis kumbang lucanid adalah komoditi hiasan dan benda koleksi yang bernilai tinggi. Kumbang ini


(24)

mempunyai bentuk tubuh dan mandibula yang sangat spesifik, disertai dengan warnanya yang khas sehingga memiliki nilai estetik tinggi dan dapat dijadikan sebagai hiasan rumah serta mainan anak-anak. Beberapa jenis kumbang lucanid telah menjadi komoditi perdagangan baik tingkat nasional maupun internasional dan memiliki harga jual bervariasi, mulai dari ribuan rupiah sampai dengan jutaan rupiah. Nilai jual yang tinggi ini telah mengakibatkan peningkatan perburuan terhadap kumbang ini sehingga penurunan populasinya terjadi sangat drastis seperti yang terjadi terutama pada masyarakat sekitar kawasan hutan Gunung Salak. Perburuan kumbang lucanid dewasa banyak dilakukan di kawasan Unocal Geothermal Indonesia (UGI), wilayah Gunung Salak yaitu meliputi kabupaten Bogor dan Sukabumi. Selain di kawasasan UGI perburuan kumbang ini juga dilakukan di luar kawasan UGI dengan memakai lampu petromak dan listrik dari genset/generator. Tindakan masyarakat didalam memanfaatkan serangga ini secara ekonomis telah menjurus kepada tindakan eksploitasi yang tidak terkendali karena selain perburuan terhadap serangga dewasa para pemburu kumbang tersebut mencari larva untuk dipelihara hingga dewasa. Pencarian larva kumbang lucanid dilakukan dengan membongkar dan menghancurkan kayu-kayu lapuk di hutan tempat bersarangnya larva kumbang tersebut. Dengan demikian dampak jangka panjangnya akan sangat berbahaya terhadap keberadaan kumbang ini apabila tindakan ini dibiarkan tanpa pengaturan kelembagaan dari departemen kehutanan.

Penelitian tentang bioekologi coleoptera, terutama kumbang lucanid di hutan Gunung Salak belum pernah dilakukan, padahal penelitian ini sangat penting menginggat peran kumbang lucanid di hutan sebagai pengurai dan membantu siklus nutrisi. Apabila keberadaan kumbang lucanid di Gunung Salak punah akan mengakibatkan terganggunya kestabilan ekosistem hutan di Gunung Salak. Untuk mempertahankan kestabilan ekosistem ini maka diperlukan upaya-upaya konservasi kumbang lucanid. Inventarisasi dan analisis status keanekaragaman hayati serangga dapat menjadi langkah awal yang baik untuk membangun landasan dalam memformulasikan strategi konservasi.

Studi tentang kumbang lucanid banyak dilakukan di daerah temperata seperti mengenai pola distribusi, karakteristik habitat dan konservasi spesies


(25)

5

Hoplogonus simsoni (Meggs 1997), Lissotes latidens (Meggs & Munks 2003),

Hoplogonus bornemisszai dan H. vanderschoori (Munks et al. 2004), Hoplogonus simsoni (Meggs et al. 2003); dampak penebangan dan pengambilan kayu terhadap kumbang lucanid (Coleoptera: Lucanidae) (Michaels & Bornemissza 1999); pengembangan dan evaluasi prediksi model habitat untuk pengelolaan konservasi kumbang lucanid (Hoplogonus simsoni) (Megss et al. 2004).

Hutan Gunung Salak merupakan salah satu kawasan pelestarian yang terdapat di pulau Jawa bagian Barat. Kawasan pegunungan ini bersama dengan Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH) dan Gunung Gede Pangrango (TNGGP) merupakan suatu kesatuan kawasan regional yang sangat penting bagi kelestarian flora dan fauna. Kawasan ini termasuk hutan hujan pegunungan tropis yang terdiri dari hutan primer dan sekunder yang kaya dengan flora dan fauna. Saat ini kawasan hutan Gunung Salak mengalami banyak gangguan, seperti penebangan hutan, alih fungsi lahan, pemanfaatan sumber daya alam, dan intensifikasi pertanian. Perubahan yang cukup serius terjadi di areal hutan dataran rendah (ketinggian < 1000 m dpl.). Hal ini terlihat dari banyaknya hutan dataran rendah yang berubah menjadi semak belukar dan hutan sekunder muda (Yusuf 2004).

Pemanfaatan sumber daya alam hutan Gunung Salak berupa Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) yang dikelola oleh UGI dan mulai beroperasi sejak tahun 1982. Pada setiap lapangan pengeboran uap panas bumi dilengkapi dengan lampu-lampu sorot untuk penerangan. Kehadiran lampu dapat memberi dampak terhadap kehidupan serangga di hutan Gunung Salak, terutama kumbang lucanid yang aktif terbang dan tertarik cahaya lampu pada malam hari. Kondisi ini dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar hutan Gunung Salak untuk memburu kumbang lucanid yang terperangkap oleh cahaya lampu yang terdapat di lapangan uap panas bumi. Pada saat ini terdapat lebih kurang 8 lapangan panas bumi yang menjadi lokasi perburuan kumbang lucanid dan tersebar dalam kawasan hutan seluas 6.685 ha, masing-masing lapangan ditempati oleh 3-5 orang pemburu kumbang. Perburuan kumbang lucanid biasanya dilakukan setiap malam pada bulan gelap. Perburuan yang telah berlangsung lama ini ( ± 24 tahun) telah mengakibatkan penurunan yang drastis bagi beberapa spesies kumbang lucanid


(26)

terutama pada jenis-jenis yang digemari dan bernilai ekonomis tinggi. Hal ini terbukti dari pergeseran dominasi jenis hasil tangkapan yang didapatkan oleh para pemburu kumbang ini. Apabila perburuan ini terus dibiarkan berlangsung akan mengakibatkan turunnya jumlah populasi kumbang lucanid, dalam jangka panjang populasi yang kecil ini akan menyebabkan kehilangan keragaman genetik karena proses hanyutan gen (genetic drift) dan naiknya derajat inbreeding. Berbagai teori dan simulasi, data lapangan menunjukkan bahwa populasi yang berukuran kecil telah mendorong kehilangan alel dari suatu populasi (terfixasinya alel-alel tertentu). Populasi berukuran kecil yang mengalami hanyutan genetik lebih rentan terhadap berbagai efek genetik yang merugikan, misalnya berkurangnya kemampuan berevolusi dan meningkatnya peluang menuju kepunahan (Primack, 1998).

Seberapa jauh pengaruh negatif dari tindakan masyarakat ini, yaitu perburuan secara intensif baik pada stadia dewasa maupun larva dalam jangka panjang terhadap kestabilan ekosistem kawasan ini, belum diketahui dengan pasti, namun demikian beberapa peneliti menduga dalam jangka panjang akan dapat di ketahui pengaruhnya. Oleh karena itu informasi mendasar dari bioekologi serangga ini perlu dipelajari secara rinci.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengkaji bioekologi dan konservasi kumbang lucanid (Coleoptera: Lucanidae) di hutan Gunung Salak. Adapun tujuan khusus berdasarkan pada topik-topik penelitian ini adalah:

1. Mengkaji komposisi dan struktur komunitas kumbang lucanid di hutan Gunung Salak.

2. Mengkaji fluktuasi spasial dan temporal kumbang lucanid di hutan Gunung Salak.

3. Mengkaji biologi konservasi dan model pertumbuhan populasi kumbang lucanid

4. Mencari strategi konservasi yang tepat untuk diterapkan dalam upaya konservasi kumbang lucanid di Gunung Salak.


(27)

7

Manfaat Penelitian

Penelitian ini dimaksudkan untuk memperoleh informasi tentang struktur komunitas kumbang lucanid yang meliputi keanekaragaman, fluktuasi dan pengaruh faktor lingkungan terhadap komunitas kumbang lucanid di hutan Gunung Salak. Adanya perbedaan lingkungan biotik dan abiotik akan mempengaruhi kehidupan kumbang lucanid di hutan Gunung Salak, sehingga pemahaman terhadap pengaruh faktor-faktor lingkungan tersebut terhadap dinamika populasi kumbang ini merupakan informasi yang sangat penting.

Selain struktur komunitas kumbang lucanid di lapang juga dipelajari karakteristik biologi dan tabel kehidupan kumbang lucanid di laboratorium. Informasi yang diperoleh dari hasil penelitian ini bersama dengan informasi yang sudah ada mengenai kumbang lucanid, diharapkan menjadi bahan pertimbangan dalam upaya mengembangkan konservasi kumbang lucanid baik secara in situ

maupun ex situ di hutan Gunung Salak. Hasil dari penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi dasar dan pendorong untuk penelitian-penelitian lebih lanjut mengenai berbagai komponen ekologi dan aspek biologi dari kumbang lucanid baik di ekosistem hutan Gunung Salak maupun pada ekosistem hutan lainnya.

Penelitian bioekologi dan konservasi kumbang lucanid di hutan Gunung Salak yang dilakukan meliputi:

Penelitian 1: Kajian komposisi dan struktur komunitas kumbang lucanid di hutan Gunung Salak, penelitian ini untuk menjawab permasalahan 1, 2 dan 3 (Gambar 1.1).

Penelitian 2: Fluktuasi spasial dan temporal kumbang lucanid di hutan Gunung Salak, penelitian ini untuk menjawab permasalahan 1 dan 2 (Gambar 1.1).

Penelitian 3: Biologi konservasi dan model pertumbuhan populasi kumbang lucanid, penelitian ini untuk menjawab permasalahan 4 (Gambar 1.1).


(28)

Penelitian 1 dan 2 akan memberikan informasi ekologi dan fluktuasi kumbang lucanid dan penelitian 3 informasi perdagangan, biologi serta konservasi kumbang lucanid. Berdasarkan informasi bioekologi akan dapat memformulasikan strategi konservasi terhadap kumbang lucanid, sehingga kestabilan ekosistem hutan dan kelestarian jenis kumbang tersebut di hutan Gunung Salak tetap terjaga (Gambar 1.1).

Gambar 1.1 Kerangka penelitian kumbang lucanid di hutan Gunung Salak Usaha-usaha perbaikan kearah

kestabilan ekosistem berupa kebijakan dan aktivitas

(action)

Kestabilan ekosistem hutan terganggu

Laju dekomposisi dan siklus nutrisi terganggu Tekanan lingkungan terhadap

kestabilan ekosistem Hutan Gunung Salak

Penurunan populasi kumbang lucanidae (permasalahan umum)

Kurangnya informasi biologi dan neraca kehidupan lucanid

(permasalahan 4)

Perburuan kumbang lucanid dewasa

Penebangan liar, alih fungsi lahan hutan menjadi pertanian Pemanfaatan dan

eksploitasi sumber daya alam (PLTP Gn.

Salak) Gangguan terhadap

kumbang lucanid

(permasalahan 1)

Berdampak terhadap lanskap dan lucanid

(permasalahan 2)

Fragmentasi dan kerusakan habitat

Hilangnya habitat kumbang lucanidae

(permasalahan 3)

Pengambilan larva lucanid untuk

dipelihara dan dijual


(29)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Deskripsi Kawasan Hutan Gunung Salak

Status dan Luas Hutan

Hutan Gunung Salak merupakan bagian dari Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Sebelum digabung dengan Taman Nasional Gunung Halimun, kawasan ini merupakan hutan lindung. Hal ini sesuai dengan Rencana Tata Ruang (RUTR) dalam Keputusan Presiden No. 48 Tahun 1983. Kawasan Hutan lindung Gunung Salak memiliki luas 31.237 ha. Kawasan hutan ini telah memperoleh pengesahan tata batas yang jelas yaitu pada tanggal 3 Mei 1941; 5 Nopember 1906; 7 September 1934; dan Juni 1916 dan Surat Keputusan Menteri Pertanian No 92/Kpts/Um/8/1954 tanggal 31 Agustus 1954. Kawasan hutan ini dikelola oleh PT. Perhutani Unit III Jawa Barat yang secara administratif terletak didua lokasi. Lokasi pertama adalah RPH Cianten, KPH Bogor yang terletak di Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor. Kawasan ini merupakan hulu Sungai Cisadane yang mengalir melalui wilayah Bogor dan Tangerang dan bermuara di Laut Jawa. Lokasi kedua adalah RPH Gunung Salak, KPH Sukabumi yang terletak di Kecamatan Kabandungan, Kabupaten Sukabumi.

Pada tanggal 10 Juni 2003, dengan SK Menteri Kehutanan Nomor 175/Kpts-II/2003, kawasan hutan lindung Gunung Salak berubah status menjadi taman nasional. Kawasan hutan Gunung Salak digabung dengan Taman Nasional Gunung Halimun dan berubah nama menjadi Taman Nasional Gunung Halimun-Salak dengan luas setelah digabung menjadi 113.357 hektar. Keputusan ini diambil dengan pertimbangan bahwa kawasan hutan yang berada di Gunung Halimun dan Gunung Salak merupakan kesatuan hamparan hutan dataran rendah dan pegunungan yang mempunyai keanekaragaman hayati yang tinggi, sumber mata air bagi kepentingan kehidupan masyarakat sekitarnya yang perlu dilindungi dan dilestarikan. Sehingga kawasan hutan lindung, hutan produksi tetap dan hutan produksi terbatas yang berada di kedua gunung tersebut ditetapkan menjadi Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (Fathoni 2003).


(30)

Topografi

Secara geografis kawasan ini terletak di 060 42’43’’- 060 45’46’’ LS dan 106035’45’’ – 106043’43’’BT. Ketinggian lokasi berkisar antara 600 m dpl sampai 2.211 m dpl. Topografi daerah ini bergelombang dan bergunung dengan faktor kemiringan antara 15-50%. Kawasan Gunung Salak secara morfologi terdiri dari deretan beberapa Gunung antara lain Gunung Gagak (1.500 m dpl), Gunung Salak (1.439 m dpl), Gunung Purbakti (1.427 m dpl), Gunung Putri dan Gunung Endut (1.474 m dpl) yang melingkari daerah Timur, Utara dan Selatan. Selain terdiri dari sederetan pegunungan, di kawasan Gunung Salak juga terdapat beberapa kawah yang masih aktif, seperti Cibeureum, Cibodas, Ciherang Balaok, Pulosari dan Cipamanutan yang terletak di wilayah selatan dan barat. Kemiringan lereng 15-30% di sekitar Gunung Salak dan mencapai 50% di sekitar kompleks Gunung Salak (Pertamina-UGI 1995).

Tanah

Kawasan ini merupakan daerah vulkanik. Jenis tanahnya kebanyakan adalah andosol dengan solum sedang sampai dalam (60-120 cm). Lapisan tanah bagian atas kaya bahan organik yang berwarna coklat kemerahan sampai hitam. Tekstur tanah adalah lempung dan lempung liat berdebu. Struktur tanah adalah granular kasar dengan konsistensi sedang. Lapisan di bawahnya berwarna mulai dari merah kekuningan, coklat kemerahan sampai coklat kuat dengan tekstur lempung dan lempung berpasir, struktur granular kasar, konsistensi sedang. Batu-batuan penyusun terdiri dari lahar, lava, bahan-bahan piroklastik dengan komposisi basaltik andesit dan andesit yang berasal dari hasil kegiatan Gunung Purbakti zaman awal pleistosen (Pertamina-UGI 1995).

Iklim

Berdasarkan klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson, curah hujan pada Taman Nasional Halimun dan Kawasan Hutan Gunung Salak termasuk tipe iklim A dengan nilai Q sebesar 0% sampai 143%. Suhu udara rata-rata bulanan adalah 25,5°C dengan suhu tertinggi pada bulan Mei (25,9°C) dan terendah bulan Februari (24,9°C). Kelembaban udara rata-rata 85,5% dengan kelembaban tertinggi pada bulan Februari (89,1%) dan terendah pada bulan Agustus (81,2%).


(31)

11

Tekanan udara berkisar antara 986,9 milibar sampai 990,6 millibar (Pertamina-UGI 1995).

Berdasarkan data pengamatan curah hujan selama sepuluh tahun menunjukkan bahwa rata-rata curah hujan bulanan di daerah sekitar Gunung Salak (stasiun Srogol 2211 m dpl) tertinggi terjadi pada bulan Nopember sampai Mei, mencapai di atas 300 mm/bulan, sedangkan pada bulan-bulan Juni hingga Oktober curah hujan umumnya kurang dari 300 mm/bulan. Pada daerah dimana curah hujan lebih dari 300 mm/bulan terjadi pada bulan Desember dan pada bulan-bulan selanjutnya mulai sedikit menurun, sedangkan di daerah yang mana curah hujannya kurang dari 300 mm/bulan intensitas terendah terjadi pada bulan Agustus yaitu sebesar 159 mm/bulan dan selanjutnya menunjukkan kenaikan dengan intensitas yang cukup tinggi mulai bulan Nopember. Secara klimatologik dapat dikatakan bahwa daerah Gunung Salak mengalami musim hujan sepanjang tahun (Pertamina-UGI 1995).

Flora

Hutan Gunung Salak merupakan hutan hujan tropis yang terdiri dari hutan primer dan sekunder. Secara umum jenis tumbuhan yang dominan adalah pasang (Lithocarpus sp) dan puspa (Schima wallichii). Jenis tumbuhan lain yang termasuk dominan, tetapi penyebarannya kurang merata antara lain jenis huru (Litsea sp.), rasamala (Altingia excelsa), saninten (Castanopsis argentea), kisampang (Evodia latifolia), gompong (Schefflera aromatica), ki leho (Saurauya pedunclosa). Sedangkan jenis tumbuhan herba yang dominan dan penyebarannya merata adalah hoi tali (Calamus sp.), dan ki beling gunung (Strobilanthes sp.). Jenis tumbuhan herba lainnya yang cukup dominan tetapi penyebarannya tidak merata adalah awi rambat (Saxifrogaceo sp), begonia (Begonia sp.), congkok (Curculigo capitulata), harendong (Melastoma malabatricum), paku tiang (Alsophylla glauca) dan tepus (Achasma megalochelos) (Pertamina-UGI 1995).

Fauna

Kawasan hutan ini memiliki berbagai tipe ekosistem yang merupakan habitat satwa langka dan dilindungi. Jenis-jenis satwa langka yang terdapat di kawasan hutan ini adalah surili (Presbytis comata), owa jawa (Hylobates moloch),


(32)

lutung (Trachypithcus cristata), kijang (Muntiacus muntjak) dan macam tutul (Panthera pardus). Selain jenis-jenis mamalia tersebut, kawasan ini juga memiliki 114 jenis burung yang 9 jenis diantaranya merupakan jenis endemik. Jenis-jenis amphibi yang terdapat di kawasan ini adalah katak bertanduk (Megalophyrys montana), kodok buduk (Bufo melanotictus) dan katak biasa (Rana chalconota). Berbagai jenis reptil, ikan air tawar dan serangga dapat ditemukan di kawasan ini (Pertamina-UGI 1995).

Taksonomi Kumbang Lucanid

Berbagai jenis serangga telah diketahui banyak menghuni hutan di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (Kahono, 2003). Beberapa kumbang lucanid dari famili Lucanidae dapat ditemukan pada kawasan ini. Kumbang lucanid kadang-kadang disebut juga dengan kepik pencubit karena mempunyai mandibula yang besar pada jantan, ukuran mandibula separuh panjang tubuh atau lebih besar dan bercabang seperti tanduk-tanduk menjangan atau tanduk rusa, sehingga kumbang ini disebut juga kumbang rusa (stag beetles) (Gambar 2.1)(Borror et al. 1989). Oleh masyarakat di sekitar kawasan Gunung Salak kumbang ini dikenal dengan nama “bangbung capit”.

Gambar 2.1 Kumbang lucanid, Allotopus rosenbergi

70 mm


(33)

13

Biologi Kumbang Lucanid dan Karakter Taksonomi yang Penting Ukuran tubuh kumbang lucanid berkisar dari 1 cm sampai 9 cm. Kumbang lucanid jantan mempunyai rahang (mandibula) yang sangat panjang dan kuat dan kadang-kadang digunakan untuk menyerang lawan jantan selama perkelahian (Gambar 2.2). Kumbang lucanid betina mandibulanya tidak terlalu besar. Pada betina perkembangan mandibula biasanya allometrik, yang mana ukuran mandibula sebanding dengan ukuran tubuhnya. Tubuh kumbang lucanid dewasa biasanya sedikit cembung, setengah datar, silendris dan umumnya berwarna hitam atau coklat kemerahan, kadang-kadang mengkilat. Pada bagian pungung sering terdapat bulu-bulu halus. Pada kumbang lucanid jantan maupun betina mempunyai toraks berbentuk segi empat, coklat atau kuning, dengan atau tanpa noda hitam dan licin. Kumbang ini mempunyai dua pasang sayap yaitu sayap terbang dan sayap pengatur keseimbangan gerak serta memiliki 3 pasang kaki yang ujung kakinya (tarsus) bergerigi tajam (Gambar 2.3) (Tatsuta et al.

2001; Ratcliffe 2001).

Kepala prognatus memanjang. Antena geniculate atau lurus, 10 ruas, dengan 3-7 ruas melebar membentuk lammela, ruas pertama panjang dan ruas-ruas berikutnya kurang dari setengahnya dan bentuknya sama. Mata tersusun oleh ommatidia yang terletak di kedua sisi kepala. Bagian-bagian mulut yang terdiri dari clyperus dan labrum bersatu di bagian dahi. Mandibula muncul di depan labrum, yang mana pada kumbang jantan memanjang, melengkung ke dalam membentuk capit, oleh karena itu sering disebut kumbang capit. Mandibula dilengkapi dengan 4 ruas palpus dan labium dangan 3 palpus (palpus labial) (Ratcliffe 2001).

Toraks atau dada merupakan bagian tubuh setelah kepala, terdiri atas tiga ruas yaitu protoraks, mesotoraks dan metatoraks. Pronotum yang merupakan bagian dorsal (atas) protoraks, cembung, dengan atau tanpa tonjolan. Elitra yang merupakan pasangan sayap depan yang keras, sedikit cembung, tanpa atau dengan garis-garis yang halus. Scuetelum (toraks bagian tengah) tampak jelas, berbentuk segitiga atau membulat, diantara pangkal elitra. Pasangan sayap belakang berkembang dengan baik, dengan vena-vena median melingkar dan dua vena apical terbelah (Ratcliffe 2001).


(34)

Kumbang lucanid mengalami metamorfosis sempurna dengan mengalami perubahan bentuk empat kali dalam perkembangan hidupnya, yaitu telur, larva kepompong dan dewasa. Pada tahap larva, semua spesies kumbang lucanid mengalami 3 (tiga) tahap perkembangan yaitu larva instar 1 (L1), larva instar 2 (L2) dan Larva instar 3 (L3) (Gambar 2.4). Lama hidup larva bervariasi antara

Gambar 2.2 Pertarungan dua ekor kumbang lucanid dengan menggunakan mandibulanya (Fremlim 2004).

Gambar 2.3 Morfologi kumbang lucanid. Kumbang lucanid jantan (pandangan dorsal) dan betina (pandangan ventral) serta bagian-bagiannya: Palpus, mandibula (rahang), antena (sungut), mata, kepala, pronotum (torak bagian depan), scutellum (torak bagian tengah), abdomen (perut), kaki (kaki 3 pasang), dan elitra (sayap pelindung).

Elitra Palpus

Mata Kepala Mandibula

Antena

Pronotum Scutellum Abdomen

Kaki


(35)

15

satu sampai 5 tahun tergantung kepada spesies kumbang lucanid, kandungan nutrisi, kelembaban dan spesies pohon lapuk (Paulian 1988). Lama siklus hidup kumbang lucanid bervariasi tergantung spesiesnya (Tabel 2.1).

Tabel 2.1 Waktu yang diperlukan oleh beberapa spesies kumbang lucanid untuk menyelesaikan tahap perkembangannya.

Tahap perkembangan (bln)

Larva Imago bisa Lama hidup Spesies Kelamin

Telur

L1 L2 L3 Pupa kawin Imago

Prosopoilus girrafa (1) Jantan 1 1 1 7 1 3 - 4 10 - 12

Betina 1 1 1 2 - 7 1 3 - 4 10 - 12

Hexarthrius mandibularis(2) Jantan 1 1 1 9 1 3 - 4 10 - 12

Betina 1 1 2 6 - 9 1 3 - 4 10 - 12

Odontolabis gazzela(3) 1 7 - 8 1-2 3 - 4 *

Dorcus curvidens(4) 12 – 17 *

Keterangan:

(1) = Kasahara 2006 (http://www.harink.com/~benjamin/Pgkbreeding.htm) rearing di laboratorium pada suhu 18 – 26 0C

(2) = Kay 2004 (http://www.harink.com/~benjamin/Pgkbreeding.htm) rearing di laboratorium pada suhu 20 – 26 0C

(3) = Benjamin 2002 (http://www.harink.com/~benjamin/Pgkbreeding.htm) rearing di laboratorium

(4) = Ratnai 1998 (http://perso.wanadoo.fr/serge.mallet/coleos E.html) rearing dilaboratorium pada suhu 25 – 26 0C

* = Tidak ada data

Perkawinan kumbang lucanid dimulai dari pertemuan antara kumbang jantan dan betina pada pohon. Kumbang jantan menguasai pohon bukan sekedar untuk mencari makan, tetapi juga untuk mendapatkan pasangan. Pada beberapa jenis, kumbang lucanid betina mengeluarkan bau yang khas (pheromones) yang dikeluarkan melalui permukaan tubuhnya, sehingga kumbang jantan dari jenis yang sama dapat mengenalinya. Setelah kumbang betina tertangkap, kumbang jantan mengurung kumbang betina dengan kakinya yang berujung menyerupai kunci. Kumbang betina itu dicengkeram kuat-kuat lalu mereka kawin (Gambar 2.4i) (Oda 1997; Sprecher 2003).

Setelah kawin, kumbang lucanid betina mencari batang lapuk dan lembab untuk menyimpan telurnya. Dengan tubuhnya yang kuat ia segera masuk ke dalam batang kayu lapuk. Selesai menggali lubang, induk kumbang itu segera menjulurkan tabung penyalur telurnya, lalu bertelur. Telur yang baru keluar berwarna kuning keputihan (Gambar 2.4a) (Oda 1997).


(36)

Tubuh larva terbentuk dalam telur. Kira-kira setelah berumur 2 minggu, telur menetas. Tubuh larva yang menetas masih lunak, sedangkan kepala dan mandibulanya telah mengeras dan ia mulai menggigit-gigit batang lapuk untuk membuat terowongan (Gambar 2.4b-d). Larva kumbang lucanid berwarna putih kekuning-kuningan, dengan kepala kuning (kecuali bagian ujung ekor berwarna gelap karena kumpulan dari feses). Bagian ujung abdomennya terbagi menjadi dua bagian. Pada kepalanya terdapat antena 3-4 ruas yang berfungsi sebagai indera peraba. Mulutnya dilengkapi rahang yang kuat untuk menggigit, mengunyah dan membuat lubang pada batang pohon. Mereka menghabiskan sebagian besar waktunya untuk makan dan tumbuh (Gambar 2.4b-e) (Oda 1997; Scholfield 1997; Ratcliffe 2001).

Perbedaan bentuk larva kumbang lucanid dengan Scarabaidae dengan melihat adanya organ stridulasi yang dimiliki oleh kumbang lucanid. Organ ini terletak pada lempeng tengah dan lempeng plektrum pada trochanter belakang, yang dikombinasikan dengan berkurangnya lekuk transversal pada tergum abdominal dan adanya bantalan oval yang memanjang di kedua sisi lubang anal (Gambar 2.5). Pada ujung analnya bentuk memanjang atau bentuk Y. Larva kumbang lucanid termasuk tipe Scarabaeform (bentuk c, setengah selinder) (Ratcliffe 2001).

Larva yang sudah tumbuh besar (larva instar 3) kemudian menggali liang khusus pada batang kayu lapuk untuk berkepompong. Kira-kira tiga minggu kemudian, ia berganti kulit, dan menjadi kepompong (Gambar 2.4f). Dengan memakan persediaan makanan yang masih tersisa pada waktu masih berupa larva, maka berangsur-angsur terbentuklah kumbang lucanid dewasa dalam kepompong tersebut. Di dalamnya, kepompong berangsur-angsur berubah menjadi kumbang lucanid dewasa, mata dan tanduknya mulai terlihat.

Kira-kira 3 minggu kemudian, tubuh kumbang terbentuk dalam kepompong dengan sempurna. Warnanya berubah menjadi kecoklatan. Kemudian, dengan menggerak-gerakan kaki dan kepalanya, ia merobek kulit kepompong. Mula-mula yang muncul kepalanya, disusul kaki depan dan kaki tengahnya yang telah mengeras. Setelah berhasil keluar dari kepompong, kumbang lucanid muda siap mengeringkan sayap belakangnya yang disebut elitra. Elitra yang tipis dan


(37)

17

transparan ini digunakan untuk terbang. Sementara itu, sayap depannya yang semula berwarna putih perlahan-lahan mulai mengeras dan warnanya menjadi coklat. Sambil menunggu tubuhnya benar-benar kuat dan keras, kumbang tetap bersembunyi dalam liangnya. Setelah tubuhnya benar-benar kuat, barulah ia keluar dari liang (Gambar 2.4h)(Oda 1997).

Kepompong kumbang lucanid bentuknya sangat mirip mumi kumbang dewasa. Pada umumnya berwarna coklat tidak terbungkus oleh kokon atau substrat lain (Gambar 2.4f). Kumbang kumbang lucanid berpupasasi di dalam kayu lapuk. Lamanya pupa sangat bervariasi tergantung dari jenis. Jenis kumbang lucanid yang berukuran besar umumnya lebih lama dibandingkan dengan yang kecil.

Gambar 2.4 Tahapan perkembangan kumbang lucanid. (a) telur, (b) larva instar 1; (c) larva instar 2; (d) larva instar 3; (e) pra kepompong, (f) kepompong jantan dan betina, (g) jantan dan betina dewasa, (h) jantan yang sudah dapat terbang dan (i) lucanid sedang kawin

(f)

(a) (b) (c)

(d) (e)

(g) (h) (i)

Jantan Betina Jantan Betina


(38)

Gambar 2.5 Organ stridulasi pada larva kumbang lucanid. a) letak organ stridulasi pada lempeng tengah dan lempeng plektrum pada trochanter belakang, b) stridulasi pada lempeng plektrum (perbesaran 300x), dan c) pada lempeng tengah (perbesaran 600x) (Sprecher 2003)

Ekologi Kumbang Lucanid

Famili kumbang lucanid terdiri dari sekitar 1000 spesies yang tersebar luas di seluruh dunia dan banyak ditemukan di Asia tropika dibandingkan dengan daerah yang lain (Paulsen & Smith 2005; Ratcliffe 2001). Kira-kira terdapat sekitar 31 spesies kumbang lucanid di Amerika Serikat dan Kanada. Di Jepang ada kira-kira 30 spesies, salah satu diantaranya adalah kumbang lucanid kecil yang panjangnya hanya sekitar 1 cm (Oda 1997). Sedangkan di Indonesia jenis kumbang ini yang sudah diketahui sekitar 120 spesies dan dari Taman Nasional Gunung Halimun Jawa Barat saat ini terkumpul 32 spesies yang sebagian besar dari perangkap lampu (Noerdjito 2003).

Kumbang lucanid umumnya hidup di hutan dan perkebunan, tetapi beberapa jenis hidup di pantai yang berpasir. Kumbang dewasa sering tertarik pada cahaya malam hari, sedangkan larvanya tetap berada dalam kayu yang lapuk. Pohon yang mengeluarkan getah merupakan tempat yang penting bagi kumbang lucanid, terutama untuk makan dan menemukan pasanganya. kumbang lucanid dewasa yang berukuran lebih kecil hidup pada bunga. Sedangkan larva yang berada dalam kayu lapuk dan sebagian waktunya digunakan untuk makan dan tumbuh (Oda 1997).

a

c b


(39)

19

Kumbang lucanid merupakan salah satu jenis kumbang saproxylic dan berasosiasi dengan kayu lapuk di hutan, oleh karena itu kelangsungan hidupnya sangat erat kaitannya dengan keadaan tumbuhan pohon di hutan. Kumbang saproxylic adalah kumbang yang sebagian besar siklus hidupnya tergantung pada kayu mati atau kayu busuk atau kayu yang hampir mati, atau pada kayu yang ditumbuhi jamur. Walaupun sedikit diketahui ekologi dari kumbang lucanid, mereka semuanya bersifat xylophagus (makan pada kayu) dan umumnya batang dan tunggul kayu mati sangat penting bagi semua tahap siklus hidupnya (Michaels & Bornemissza 1999).

Setiap kumbang lucanid memiliki habitat yang berbeda-beda sesuai dengan jenisnya. Jenis pohon yang biasa dijadikan habitat kumbang lucanid sangat spesifik, seperti kumbang jenis Dorcus sp dan Hexarthrius sp biasa hidup pada pohon-pohon dari famili Fagaceae, Theaceae dan Lauraceae. Sedangkan pada daerah empat musim (temperata) habitat kumbang lucanid adalah hutan

konifer deciduous. Beberapa spesies kumbang lucanid dewasa tertarik dengan cahaya lampu dan diketahui sebagai pemakan cairan tumbuhan yang keluar dari luka (Ratcliffe 2001). Beberapa spesies kumbang lucanid seperti genus

Cyclommatus diketahui sebagai pemakan nektar bunga. Beberapa spesies kumbang dewasa aktif di malam hari (nokturnal) dan tertarik dengan cahaya lampu misalnya genus Prosopocoilus. Sedangkan jenis Aegus diketahui tertarik dengan buah yang sudah mengalami fermentasi. Data biologi kumbang lucanid masih sangat terbatas, terutama jenis-jenis tumbuhan atau kayu yang disukai oleh kumbang lucanid dewasa dan larva. Sprecher (2003) melaporkan bahwa perkembangan larva berbeda sesuai dengan jenis pohon dan biasanya berasosiasi dengan Dorcus parallelepipedus dan Prionus coriarius.

Keanekaragaman Hayati

Keanekaragaman hayati (biological diversity atau biodiversity) merupakan kekayaan makhluk hidup di bumi yang terdiri dari jutaan tumbuhan, hewan dan mikroorganisme, genetika yang dikandungnya, dan ekosistem yang dibangunnya. Jadi istilah keanekaragaman hayati mencakup tiga tingkatan pengertian yang berbeda yaitu: (a) keanekaragaman genetik, (b) keanekaragaman spesies, dan (c)


(40)

keanekaragaman ekosistem (Primack et al. 1998). Menurut Speight et al. (1999) yang dimaksud dengan keanekaragaman hayati adalah keanekaragaman diantara makhluk hidup dari semua sumber, termasuk diantaranya daratan, lautan dan ekosistem akuatik lain, serta kompleks-kompleks ekologi yang merupakan bagian dari keanekaragamannya, mencakup keanekaragaman di dalam spesies, antar spesies dan ekosistem

Keanekaragaman genetik merupakan konsep mengenai derajat keanekaan gen dalam suatu spesies yang diukur dari variasi genetik (unit-unit kimia atau sifat-sifat warisan yang dapat diturunkan dari suatu generasi kegenerasi lainnya) yang terkandung dalam gen-gen individu organisme suatu spesies, subspesies, varietas atau keturunan. Keanekaragaman spesies merupakan konsep mengenai keanekaan makhluk hidup di muka bumi dan diukur dari jumlah total spesies di muka bumi atau di wilayah tertentu. Sedangkan keanekaragam ekosistem berkaitan dengan keanekaragaman habitat, komunitas biologis dan proses-proses ekologis dimana berbagai spesies hidup di dalamnya (Primack et al. 1998).

Berdasarkan skala geografik yang berbeda-beda, maka keanekaragaman hayati dapat dikelompokkan menjadi: (a) keanekaragaman alfa, (b) keanekaragaman beta dan (c) keanekaragaman gamma. Keanekaragaman alfa merupakan jumlah spesies pada komunitas tunggal atau merupakan jumlah spesies di dalam suatu habitat dimana pada komunitas tersebut terjadi interaksi antar spesies yang ada di dalamnya. Keanekaragaman alfa dapat dikelompokkan menjadi dua komponen utama yang berbeda, yaitu jumlah total spesies dan kemerataan spesies. Peubah-peubah yang disatukan menjadi suatu nilai tunggal adalah jumlah spesies, kelimpahan relatif spesies dan kemerataan (Primack et al.

1998; dan McNaughton 1990).

Magurran (1988) mengelompokkan teknik pengukuran keanekaragaman spesies ke dalam tiga kategori, yaitu:

1. Kekayaan spesies (species richness), diukur berdasarkan jumlah spesies pada unit contoh habitat atau komunitas yang ditetapkan sebelumnya.

2. Model kelimpahan spesies (species abudance models), memberikan penjelasan mengenai distribusi kelimpahan spesies. Dalam model ini indeks


(41)

21

pengukuran dikenal dengan nama indeks kemerataan distribusi (evenness indices), yang menyatakan jumlah total individu yang didapat tersebar dalam setiap spesiesnya. Indeks kemerataan tinggi bila jumlah total individu terbagi rata pada setiap spesies yang ada.

3. Indeks keanekaragaman spesies (spesies diversity indices), yang perhitungannya didasarkan atas kekayaan spesies dan proporsi kelimpahan spesies.

Keanekaragaman beta atau keanekaragaman ekosistem mengarah pada tingkat perubahan komposisi spesies sepanjang gradien lingkungan, yaitu variasi dalam komposisi spesies antar dua atau lebih habitat di suatu lanskap (Southwood 1978). Keanekaragaman gamma merujuk kepada skala geografis yang lebih luas; didefinisikan sebagi tingkat penambahan spesies ditemukan sebagai penganti geografik di dalam suatu jenis habitat di lokasi yang berbeda-beda. Jadi keanekaragam gamma adalah tingkat pertukaran spesies dengan jarak di antara lokasi-lokasi dari habitat yang serupa atau dengan wilayah geografik yang berkembang (Primack et al. 1998). Sedangkan menurut Rice (1992) keanekaragaman gamma adalah variasi di suatu daerah yang mencakup keanekaragaman alfa dan keanekaragaman beta.

Pengukuran keanekaragaman beta dan gamma bertujuan untuk mengukur differensiasi atau persamaan suatu kisaran habitat atau unit-unit contoh dalam arti variasi (kadang-kadang juga kelimpahan) spesies yang ditemukan. Dalam perhitungan keanekaragaman ini digunakan derajat perubahan komposisi spesies yang ditemukan di berbagai lokasi pengamatan atau komunitas. Aplikasi pengukuranya dapat dilakukan dengan menggunakan teknik-teknik standar di bidang ekologi seperti indeks kesamaan komunitas, klasifikasi dan ordinasi (Magurran 1988).

Vegetasi dan Kehidupan Serangga

Organisma di alam ini tidak dapat hidup secara terpisah sendiri-sendiri, individu-individu ini akan berhimpun kedalam suatu kelompok membentuk populasi yang kemudian populasi-populasi ini akan membentuk suatu asosiasi


(1)

225

Lampiran 29 Neraca kehidupan dan hasil perhitungan matriks Leslie

O. bellicosa

(Coleoptera: Lucanidae) yang dipelihara

di laboratorium berdasarkan empat kategori umur (telur, larva, pupa dan dewasa) (Ulangan 5/G5)

x a

x

I

x

d

x

q

x

L

x

T

x

e

x

Y

x

m

x

l

x

m

x

xl

x

m

x

P

x

0 35 1,00 8 0,23 0,89 1,47 1,47 0 0 0 0 0,50

1 27 0,77 23 0,85 0,44 0,59 0,76 0 0 0 0 0,23

2 4 0,11 1 0,25 0,10 0,14 1,25 0 0 0 0 0,43

3 3* 0,09 3 1,00 0,04 0,04 0,50 24,20 8,07 0,69 2,07 0

1,47 2,24 3,97 24,20 8,07 0,69 2,07 1,15

Keterangan: * = satu ekor betina (rata-rata jumlah telur yang dihasilkan oleh seekor betina sebanyak 24,2 butir)

Untuk matriks Leslie:

Vektor awal (N

0

) [35 27 4 3]; F

0

= F

1

= F

2

= 0; F

3

= 8,07; p

0

= 0,50; p

1

= 0,23; p

2

=

0,43

;

langkah waktu (t) = 0 …..20

Setiap kolom matriks NT adalah vektor umur (N0 – N20). Kolom paling kiri adalah vektor umur nol (vektor awal, N0 ). Jumlah individu (Nt) pada tiap kelas umur (N0 – N20), pada setiap langkah waktu adalah:

NT

35 27 4 3

24.21 17.5 6.21 1.72

13.88 12.105

4.025 2.67

21.549 6.94 2.784 1.731

13.967 10.775 1.596 1.197

9.661 6.984 2.478 0.686

5.539 4.831 1.606 1.066

8.6 2.77 1.111 0.691

5.574 4.3 0.637 0.478

3.855 2.787 0.989 0.274

2.21 1.928 0.641 0.425

3.432 1.105 0.443 0.276

2.224 1.716 0.254 0.191

1.539 1.112 0.395 0.109

0.882 0.769 0.256 0.17

1.369 0.441 0.177 0.11

0.888 0.685 0.101 0.076

0.614 0.444 0.157 0.044

0.352 0.307 0.102 0.068

0.547 0.176 0.071 0.044

0.354 0.273 0.04 0.03

⎛ ⎜ ⎜ ⎜ ⎜ ⎝

⎞ ⎟ ⎟ ⎟ ⎟ ⎠

=

NT=

(

69 49.64 32.681 33.004 27.535 19.809 13.042 13.171 10.988 7.905 5.204 5.256 4.385 3.155 2.077 2.097 1.75 1.259 0.829 0.837 0.698

)

Persamaan yang digunakan untuk menghitung neraca kehidupan menurut Tarumingkeng (1994) adalah:

;

lx

ax

a0

:= dx:= ax−ax 1+ qx dx ax

:= Lx lx 1+ +lx

2

:= Ex

Tx

lx

:= Yx : jumlah telur diletakkan mx

yx ax

:= px Lx 1+

Lx

:=

; ; ; ; ; ; ;

T0 x

Lx

:=


(2)

226

Lampiran 30 Neraca kehidupan dan hasil perhitungan matriks Leslie

O. bellicosa

(Coleoptera: Lucanidae) yang dipelihara

di laboratorium berdasarkan empat kategori umur (telur, larva, pupa dan dewasa)

(data rata-rata dari lima ulangan)

x a

x

I

x

d

x

q

x

L

x

T

x

e

x

Y

x

m

x

l

x

m

x

xl

x

m

x

P

x

0 24,20 1,00 5,60 0,23 0,88 1,55 1,55 0 0 0 0 0,52

1 18,60 0,77 15,00 0,81 0,46 0,67 0,87 0 0 0 0 0,31

2 3,60 0,15 0,40 0,11 0,14 0,21 1,39 0 0 0 0 0,47

3 3,20* 0,13 3,20 1,00 0,07 0,07 0,50 38,72 12,10 1,60 4,80 0

1,55 2,49 4,31 38,72 12,10 1,60 4,80 1,30

Keterangan: * = rata-rata 1,6 ekor betina (rata-rata jumlah telur yang dihasilkan oleh seekor betina sebanyak 24,2 butir)

Untuk matriks Leslie:

Vektor awal (N

0

) [24,2 18,6 3,6 3,2]; F

0

= F

1

= F

2

= 0; F

3

= 12,1; p

0

= 0,52; p

1

= 0,31; p

2

=

0,47;

langkah waktu(t) = 0 …..20

Setiap kolom matriks NT adalah vektor umur (N0 – N20). Kolom paling kiri adalah vektor umur nol (vektor awal, N0 ). Jumlah individu (Nt) pada tiap kelas umur (N0 – N20), pada setiap langkah waktu adalah:

NT 24.2 18.6 3.6 3.2

38.72 12.584

5.766 1.692

20.473 20.134 3.901

2.71

32.791 10.646 6.242 1.833

22.185 17.051 3.3 2.934

35.496 11.536 5.286 1.551

18.769 18.458 3.576 2.484

30.061 9.76 5.722 1.681

20.338 15.632 3.026 2.689

32.541 10.576 4.846 1.422

17.206 16.921 3.279 2.278

27.558 8.947 5.246 1.541

18.645 14.33 2.774 2.465

29.832 9.695 4.442 1.304

15.774 15.513 3.006 2.088

25.264 8.202 4.809 1.413

17.093 13.137 2.543

2.26

27.348 8.888 4.073 1.195

14.46 14.221

2.755 1.914

23.161 7.519 4.409 1.295

15.67 12.044

2.331 2.072 ⎛

⎜ ⎜ ⎜ ⎜ ⎝

⎞ ⎟ ⎟ ⎟ ⎟ ⎠

=

NT =(49.6 58.762 47.219 51.512 45.471 53.87 43.287 47.224 41.685 49.385 39.684 43.292 38.214 45.273 36.38 39.688 35.033 41.504 33.351 36.384 32.116) Persamaan yang digunakan untuk menghitung neraca kehidupan menurut Tarumingkeng (1994) adalah:

;

lx

ax

a0

:= dx:= ax−ax 1+ qx dx ax

:= Lx

lx 1+ +lx

2

:= Ex

Tx

lx

:= Yx : jumlah telur diletakkan mx

yx ax

:= px Lx 1+

Lx

:=

; ; ; ; ; ; ;

T0

x

Lx

:=


(3)

227

Lampiran 31 Spesies dan jumlah kumbang lucanid yang terkumpul dan dijual setiap bulan dari Desember 2004 sampai Nopember 2005. Data diperoleh dari pedagang kumbang di sekitar kawasan hutan Gunung Salak Jawa Barat.

No

Btn Jtn Btn Jtn Btn Jtn Btn Jtn Btn Jtn Btn Jtn Btn Jtn Btn Jtn Btn Jtn Btn Jtn Btn Jtn Btn Jtn Btn Jtn

1 Allotopus rosenbergi 60 60 60 65 86 80 82 82 74 74 88 95 65 65 110 110 94 106 87 92 227 220 128 133 1161 1182 2343

2 Cyclommatus canaliculatus 0 0 0 0 20 20 25 25 15 15 0 0 0 0 0 0 0 0 10 10 0 0 0 0 70 70 140

3 Dorcus bucephalus 15 25 15 15 25 25 24 29 35 35 30 21 0 0 74 72 52 53 31 27 80 80 77 80 458 462 920

4 Dorcus parry 0 0 7 7 15 10 24 24 25 25 11 11 3 3 10 10 27 25 17 10 21 21 34 28 194 174 368

5 Dorcus taurus 7 7 0 6 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 7 13 20

6 Hexarthrius buqueti 45 45 35 35 40 40 80 95 80 80 70 70 120 120 100 94 110 115 50 50 120 295 210 210 1060 1249 2309

7 Hexarthrius rhinoceros 0 0 0 0 0 0 4 5 10 10 5 3 11 11 2 8 10 10 10 13 0 0 16 20 68 80 148

8 Odontolabis bellicosa 0 0 28 28 0 0 0 0 0 0 40 40 65 50 50 47 77 81 36 40 15 15 51 51 362 352 714

9 Prosopocoilus astocoides 0 0 33 33 30 30 35 35 67 57 50 40 40 40 45 45 41 42 24 30 0 0 57 57 422 409 831

10Prosopocoilus decipien 4 3 6 6 15 15 13 13 21 21 17 10 30 30 21 21 19 20 15 15 10 10 20 21 191 185 376

11Prosopocoilus passaloides 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 3 0 0 2 3 5

12Prosopocoilus zebra 20 20 20 20 25 30 30 30 30 30 40 40 45 45 60 60 54 67 46 46 54 56 68 70 492 514 1006

121 210 287 304 205 177 183 184 241 221 144 153 204 209 256 250 317 338 357 347 351 330 379 364 3045 3087 9180

1,32 2,29 3,13 3,31 2,23 1,93 1,99 2,00 2,63 2,41 1,57 1,67 2,22 2,28 2,79 2,72 3,45 3,68 3,89 3,78 3,82 3,59 4,13 3,97 33,17 33,63 100

Jumlah

Total

Des-04 Jan-05 Feb-05 Mar-05 Apr-05 Mei-05 Okt-05 Nop-05

Total %

Jun-05 Jul-05 Agust-05 Sep-05

Spesies


(4)

228

Lampiran 32 Waktu yang diperlukan oleh beberapa spesies kumbang lucanid

untuk menyelesaikan tahap perkembangan dari telur sampai

imago

Keterangan:

(3) = Kasahara 2006 (

http://www.harink.com/~benjamin/Pgkbreeding.htm

) rearing di laboratorium pada suhu 18 – 26 0C

(4) = Kay 2004 (

http://www.harink.com/~benjamin/Pgkbreeding.htm

) rearing di laboratorium pada suhu 20 – 26 0C

(4) = Benjamin 2002 (

http://www.harink.com/~benjamin/Pgkbreeding.htm

) (4) = Ratnai 1998 (

http://perso.wanadoo.fr/serge.mallet/coleosE.html)

rearing dilaboratorium pada suhu 25 – 26 0C (5) = Hasil penelitian dalam disertasi

* = Tidak ada data

Tahap perkembangan (bln)

Larva Imago kwn Total waktu

Spesies Kelamin Telur

L1 L2 L3 Pupa /matang Telur-imago

Prosopoilus girrafa (1) Jantan 1 1 1 7 1 3 - 4 11

Betina 1 1 1 5 - 7 1 3 - 4 9-11

Hexarthrius mandibularis(2) Jantan 1 1 1 9 1 3 - 4 12

Betina 1 1 2 6 - 9 1 3 - 4 11 - 14

Odontolabis gazzela(3) 1 7 - 8 1-2 3 - 4 9-11

Dorcus curvidens(4) 12 – 17 12-17


(5)

229

#

#

# #

# # #

#

# #

#

#

# #

#

Ke c. Cij e r u k Ke c. Cib u n g b u la n

Ke c. Cicu r u g Ke c. Cio m a s

Ke c. Cid a h u Ke c. Cia m p e a

Ke c. P a r a k a n sa la k

Ke c. N a g r a Ke c. Ka b a n d u n g a n

Ke c. Ka la p a n u n g g a l

AW I - 2 AW I - 7 AW I - 8 AW I - 9

AW I - 5 AW I - 1 3 AW I - 1 0

AW I - 1 4 Fie ld O f f ice

AW I - 1 6 AW I - 4

AW I - 1 ( P P U g i)

K a w a h R a t u

G n . Sa la k

Q u a r r y S it e AW I - 3

6 8 2 5 0 0

6 8 2 5 0 0

6 8 6 0 0 0

6 8 6 0 0 0

6 8 9 5 0 0

6 8 9 5 0 0

6 9 3 0 0 0

6 9 3 0 0 0

69 6 5 0 0

69 6 5 0 0

7 0 0 0 0 0

7 0 0 0 0 0

9

2

5

0

5

0

0 925

0

5

0

0

9

2

5

4

0

0

0 925

4

0

0

0

9

2

5

7

5

0

0 925

7

5

0

0

9

2

6

1

0

0

0 926

1

0

0

0

9

2

6

4

5

0

0 926

4

5

0

0

P ET A P EN U T U P A N LA H A N K a w a sa n G n . Sa l a k d a n Se k i t a r n y a

Alan g- a lan g Ban g un an Hu t a n Keb u n Keb u n T e h La da ng La ha n T er bu k a

No D at a Sa w a h Se m ak Ja lan

1 0 1 2 km

N E W

S

Tip e Pe n u t u p a n La h a n ( La n d Co v e r )

Hst

Unocal

Htt

Htt : hutan tidak terganggu di RPH Gn. Bunder Hkt: hutan kurang terganggu

di Cidahu

Hst : hutan sangat terganggu di Cisarua-Kabandungan Unocal : lokasi tempat

beroperasinya PLTP Gn.Salak

Hkt


(6)

230

Lampiran 34 Dinamika metapopulasi kumbang lucanid yang terjadi di hutan Unocal Gunung Salak

Ket: A (-) : Lokasi awi Unocal yang populasi Lucanidnya tertarik cahaya lampu, B (+): hutan sekitar Unocal yang merupakan sumber rekolonisasi # # # # # # # # # # # # # # # K e c . C i b u n g b u l a n

K e c . C i d a

K e c . P a r a k a n s a l a k K e c . K a b a n d u n g a n

K e c . K a l a p a n u n g g a l

A W I - 2 A W I - 7

A W I - 8

A W I - 9

A W I - 5 A W I - 1 3

A W I - 1 0

A W I - 1 4 F i e l d O f f i c e

A W I - 1 6 A W I - 4

A W I - 1 ( P P U g i )

K a w a h R a t u

Q u a r r y S i t e A W I - 3

6 8 2 5 0 0 6 8 6 0 0 0 6 8 9 5 0 0

9 2 5 0 5 0 0 9 2 5 4 0 0 0 9 2 5 7 5 0 0

6 8 2 5 0 0 6 8 6 0 0 0 6 8 9 5 0 0

9 2 5 0 5 0 0 9 2 5 4 0 0 0 9 2 5 7 5 0 0

P E T A P E N U T U P A N L A H A N

K a w a s a n G n . S a l a k d a n S e k i t a r n y a

A l a n g - a la n g Ba n g u n a n H u t a n Ke b u n K e b u n T e h La d a n g La h a n T e r b u k a

N o D a t a Sa w a h Se m a k Ja la n

1 0 1 2km

N E W

S

T ip e P e n u t u p a n L a h a n ( L a n d Co v e r )

# # ## # # # # # # # # # # #

K e c . C i j e r u k K e c . C i b u n g b u l a n

K e c . C i c u r u g K e c . C i o m a s

K e c . C i d a h u K e c . C i a m p e a

K e c . P a r a k a n sa l a k

K e c . N a g r a K e c . K a b a n d u n g a n

K e c . K a l a p a n u n g g a l

A W I - 2 A W I - 7 A W I - 8 A W I - 9

A W I - 5 A W I - 1 3 A W I - 1 0

A W I - 1 4 F ie ld O f f i c e

A W I - 1 6 A W I - 4

A W I - 1 ( P P U g i ) K a w a h R a t u

G n . S a la k

Q u a r r y S i t e A W I - 3

6 8 2 5 0 0

6 8 2 5 0 0 6 8 6 0 0 0

6 8 6 0 0 0 6 8 9 5 0 0

6 8 9 5 0 0 6 9 3 0 0 0

6 9 3 0 0 0 6 9 6 5 0 0

6 9 6 5 0 0 7 0 0 0 0 0

7 0 0 0 0 0

9250500 9250500 9254000 9254000 9257500 9257500 9261000 9261000 9264500 9264500 T

Kec. Kalapanunggal

Kec. Parakansalak

Kec. Cidahu

Kec. Cibungbulang

Kab Bogor

A (-)

B (+)

B (+)

B (+)

B (+)

A (-)

A (-)

A (-)