PERANAN POLITIK HUKUM PIDANA DALAM HUKUM

BAB II PERANAN POLITIK HUKUM PIDANA DALAM HUKUM

PIDANA INDONESIA A. Ruang Lingkup Politik Hukum Pidana Masalah pidana dan pemidanaan dalam sejarah selalu mengalami perubahan. Dari abad ke abad, keberadaannya banyak diperdebatkan oleh para ahli. Bila disimak dari sudut perkembangan masyarakat, perubahan itu adalah hal yang wajar, karena manusia selalu berupaya untuk memperbaharui suatu hal demi meningkatkan kesejahteraan di masa depan. 35 Ketika hukum pidana dan hukum acara pidana masih dikuasai paham absolutisme pada zaman ancient regime, penguasa merumuskannya secara politis dan tidak tegas. Pemeriksaan perkara pun dilakukan secara tertutup agar kekuasaan sewenang-wenang dimungkinkan. Pada masa revolusi Perancis, merupakan awal perubahan hukum pidana yang disusun secara sistematis. Perubahan tersebut menuju pada pola pendekatan sosial dan menganggap kejahatan sebagai gejala sosial. Munculah kelompok aliran hukum pidana dengan klasifikasi aliran klasik, aliran kriminologi dan aliran sosiologis. 36 Dalam menentukan suatu tindak pidana digunakan kebijakan hukum pidana. Penal policy atau politik kebijakan hukum pidana, pada intinya, bagaimana hukum pidana dirumuskan dengan baik dengan baik dan memberikan pedoman kepada pembuat undang-undang kebijakan legislatif, kebijakan aplikasi kebijakan yudikatif, dan pelaksanaan hukum pidana kebijakan 35 M. Sholehuddin, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana: Ide Dasar Double Track System Impelementasinya, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hal. 1 36 Bambang Poernomo, Kapita Selekta Hukum Pidana, Liberty, Yogyakarta, 1988, hal. 8 Universitas Sumatera Utara eksekutif. Kebijakan legislatif merupakan tahapan yang sangat menentukan bagi tahap-tahap berikutnya, karena pada saat peraturan perundang-undangan pidana dibuat maka sudah ditentukan arah yang hendak dituju atau dengan kata lain perbuatan-perbuatan apa yang dipandang perlu untuk dijadikan sebagai suatu perbuatan yang dilarang oleh hukum pidana. Ini artinya menyangkut proses kriminalisasi, Kriminalisasi, menurut Sudarto, 37 Dalam hubungan ini, Barda Nawawi Arief menyatakan dapat diartikan sebagai proses penetapan suatu perbuatan sebagai perbuatan yang dapat dipindana. Proses ini diakhiri dengan terbentuknya undang-undang, di mana perbuatan itu diancam dengan suatu sanksi berupa pidana. 38 bahwa kebijakan untuk membuat peraturan perundang-undangan pidana yang baik tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan. Sedangkan perngertian penanggulangan kejahatan, menurut Mardjono Reksodiputro, 39 37 Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1983, hal. 39-40. 38 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hal. 29-30. 39 Mardjono Reksodiputro, Sistem Peradilan Pidana Peran Penegak Hukum Melawan Kejahatan, Universitas Indonesia, Jakarta, 1994, hal. 84 adalah usaha untuk mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi masyarakat. Lebih lanjut dikatakan Barda Nawawi Arief, kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana, pada hakikatnya merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum khusunya hukum pidana. Oleh karena itu, politik hukum pidana merupakan kebijakan penegakan hukum. Lebih lanjut, Barda Nawawi menandaskan bahwa kebijakan penanggulangan kejahatan lewat pembuatan peraturan perundang-undangan merupakan bagian integral dari politik sosial. Universitas Sumatera Utara Politik sosial tersebut dapat diartikan sebagai segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dan sekaligus mencakup perlindungan masyarakat. 40 Dari uraian di atas tampaknya terdapat 2 dua masalah sentral yang perlu diperhatikan dalam kebijakan hukum pidana penal policy, khususnya dalam tahap formulasi, yaitu masalah penentuan perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana dan masalah penentuan sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar. 41 Teori-teori criminalisering yang mengemukakan tentang proses penentuan dapat dipidananya suatu perbuatan, dan yang berusaha menjelaskan tentang faktor-faktor determinan yang mempengaruhi proses-proses ini, ternyata terbatas sekali. 42 Penentuan perbuatan yang dijadikan tindak pidana mempunyai hubungan yang erat dengan masalah “kriminalisasi”, yaitu “proses untuk menjadikan suatu perbuatan yang semula bukan tindak pidana menjadi tindak pidana”. 43 Dalam setiap kebijakan yang diambil oleh pemerintah dalam suatu sistem pembangunan harus dilihat dalam riga kerangka, yaitu sturktur, substansi, dan kultur. Struktur adalah mekanisme yang terkait dengan kelembagaan.Substansi adalah landasan-landasan, aturan-aturan, dan tatanan-tatanan yang mendasari 40 M. Arief Amrullah, Politik Hukum Pidana dalam Rangka Perlindungan Korban Kejahatan Ekonomi di Bidang Perbankan, Bayumedia Publishing, Malang, 2003, hal. 18. 41 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hal. 24. 42 Roeslan Saleh, Beberapa Asas Hukum Pidana dalam Perspektif, Aksara Baru, Jakarta, 1983, hal. 55 43 Muladi, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia dan Reformasi Hukum di Indonesia, The Habibie Center, Jakarta, 2002, hal. 255. Universitas Sumatera Utara sistem itu. Kemudian kultur adalah konsistensi terhadap pandangan sikap filosofis yang mendasari sistem. 44 Syarat pertama untuk menindak terhadap suatu perbuatan yang tercela, yaitu adanya suatu ketentuan dalam undang-undang pidana yang merumuskan perbuatan tercela itu dan memberikan suatu sanksi terhadapnya, Hal itu penting agar pihak berwenang sebagai pengambil keputusan jangan sampai terjebak kebijakan yang bersifat pragmatis, yaitu suatu kebijakan yang didasarkan pada kebutuhan sesaat jangka pendek sehingga tidak dapat bertahan untuk jangka panjang. Akibatnya justru akan merugikan masyarakat itu sendiri. 45 Dalam hal ini Negara memiliki kewenangan untuk menentukan norma- norma perilaku mana yang akan dikukuhkan menjadi kaidah hukum dengan mengingat kepentingan-kepentingan yang perlu dilindungi, terutama intervensi pihak lain. Dengan demikian, tampak lebih jelas bahwa antara norma perilaku dan hukum pidana perumusan delik mempunyai hubungan yang saling mengait. Perumusan delik ini diperlukan asas legalitas, dan karena salah satu tugas hukum pidana adalah melayani tegaknya tertib hukum dalam suatu Negara. ini disebut le- galitas dalam hukum pidana. 46 Dalam mengkaji politik hukum pidana, maka hal ini terkait dengan politik hukum. Politik hukum terdiri atas rangkaian kata politik dan hukum. Menurut Sudarto, 47 44 Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Bakatullah, op. cit, hal. 4 45 ibid. hal. 5. 46 Ibid. 47 Sudarto, op. cit, hal. 16 istilah politik dipakai dalam berbagai arti, yaitu: Universitas Sumatera Utara 1. Perkataan politiek dalam bahasa Belanda berarti sesuatu yang berhubungan dengan Negara; 2. berarti membicarakan masalah kenegaraan atau yang berhubungan dengan Negara. Lebih lanjut Sudarto menegaskan, makna lain dari politik adalah kebijakan yang merupakan sinonim dari policy. Dalam pengertian ini, dijumpai kata-kata seperti politik ekonomi, politik criminal, politik hukum, dan politik hukum pidana. Hubungan antara politik dan hukum, Mahfud 48 Menurut Solly Lubis, menjelaskan hukum merupakan produk politik. Hukum dipandang sebagai dependent variable variable terpengaruh dan politik sebagai independent variable variable berpengaruh. Dengan asumsi yang demikian itu, Mahfud merumuskan politik hukum sebagai: “Kebijakan hukum yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah; mencakup pula pengertian tentang bagaimana politik mem-pengaruhi hukum dengan cara melihat konfigurasi kekuatan yang ada di belakang pembuatan dan penegakan hukum itu. Di sini hukum tidak dapat hanya dipandang sebagai pasal-pasal yang bersifat imperatif atau keharusan-keharusan, melainkan harus dipandang sebagai subsistem yang dalam kenyataan bukan tidak mungkin sangat ditentukan oleh politik, baik dalam perumusan materi dan pasal-pasalnya maupun dalam implementasi dan penegakannya.” 49 48 Mahfud MD.. op. cit, hal. 1-2 49 Solly Lubis, Serba-serbi Politik dan Hukum, Mandar Maju, Bandung, 1989, hal. 49 politik hukum adalah kebijakan politik yang menentukan peraturan hukum apa yang seharusnya berlaku mengatur berbagai hal kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Universitas Sumatera Utara Dengan dasar itu, Sudarto mengatakan, 50 Dalam mempositifkan nilai-nilai yang terkandung dalam masyarakat, tentu tidak dapat hanya berpijak pada pandangan dogmatis yuridis saja, akan tetapi mencakup pula pandangan fungsional. Dalam kaitan ini, Paul Scholten politik hukum merupakan kebijakan Negara melalui badan-badan yang berwenang untukmenerapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan dapat digunakan untuk meng- ekspersikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan. 51 Politik Kriminil atau criminal policy, menurut Marc Ancel, dapat diberikan pengertian sebagai the rational organization of the control of crime by society. menolak pandangan Hans Kelsen yang melihat putusan-putusan ilmu hukum tidak lain merupakan pengolahan logical bahan-bahan positif, yakni undang-undang, dan vonis-vonis. Menurut Scholten, bahan-bahan positif itu ditentukan secara historis dan kemasyarakatan. Penetapan undang-undang adalah sebuah peristiwa historis yang merupakan akibat dari serangkaian fakta yang dapat ditentukan secara kemasyarakatan. Oleh karena itu, kemurnian ilmu hukum selalu mengandyng sesuatu yang tidak murni dari bahannya. Jika hal itu tidak dilakukan maka menurut Scholten, ilmu hukum akan menjadi mahluk tanpa darah. 52 50 Sudarto, loc. Cit. 51 B. Arief Sidharta, Seri Dasar-dasar Ilmu Hukum, Laboratorium Hukum Fakultas Hukum Universitas Katolik Prahyangan, Bandung, 1997, hal. 5 52 Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara, Badan Penerbit Universitas Dipenegoro, Semarang, 2000, hal. 47. Hal ini berarti, politik kriminil dapat dirumuskan sebagai suatu usaha yang rasional dari masyarakat dalam penanggulangan tindak pidana. Universitas Sumatera Utara Politik hukum pidana dalam tataran mikro sebagai bagian dari politik hukum dalam tataran makro, dalam pembentukan undang-undang harus mengetahui sistem nilai yang berlaku dalam masyarakat, yang berhubungan dengan keadaan itu dengan cara-cara yang diusulkan dan dengan tujuan-tujuan yang hendak dicapai agar hal-hal tersebut dapat diperhitungkan dan dihormati. 53 Jika demikian halnya maka menurut Sudarto, 54 Menurut Sahetapy, peranan hukum dengan pendekatan fungsional tidak sama dengan hukum yang berperan sebagai suatu alat instrument belaka. Pendekatan secara fungsional, hukum dalam penerapannya harus diarahkan untuk mencapai tujuan dari mana hukum itu berasal. Jika hukum di Indonesia bersumber pada pancasila maka setiap produk perundang-undangan tidak mungkin terlepas dari sumbernya, yakni dari mana hukum itu berasal. Jika hukum di Indonesia bersumber pada Pancasila maka setiap produk perundang-undangan tidak mungkin terlepas dari sumbernya, yakni dari mana hukum dijiwai, dipersepsikan dan dalam penjabarannya atau diwujudkan dalam bentuk manifestasinya harus selalu bernafas Pancasila. Jika tidak, hukum itu tidak lagi berfungsi dalam arti sebenarnya sehingga lebih tepat disebut sebagai instrumen. Hukum dalam melaksanakan politik hukum pidana berarti usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang. 53 Sudarto, op. cit, hal. 23 54 ibid. hal. 93-94 Universitas Sumatera Utara pengertian ini hanya demi kepentingan tertentu yang sama sekali tidak dijuwai oleh semangat dan idealisme Pancasila. 55 Menurut Sudarto, 56 1. Dalam arti sempit, politik kriminil digambarkan sebagai keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum berupa pidana. politik kriminil itu dapat diberi arti sempit, lebih luas dan paling luas. 2. Dalam arti yang lebih luas, ia merupakan keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk di dalamnya cara kerja pengadilan dan polisi. 3. Dalam arti yang paling luas, ia merupakan keseluruhan kebijakan yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral masyarakat Penegakan norma-norma sentral itu menurut Sudarto dapat diartikan sebagai penanggulangan kejahatan. Melaksanakan politik kriminil berarti mengadakan pemilihan dari sekian banyak alternatif, mana yang paling efektif dalam usaha penganggulangan kejahatan. Pada bagian lain, Sudarto menyatakan, 57 55 Sahetapy, Hukum dalam Konteks Politik dan Budaya, dalam Kebijakan Pembangunan Sistem Hukum, Analisis CSIS Januari-Februari, XXII, No. 1, 1993, hal. 55-56 56 Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung 1981, hal. 113-114 57 Sudarto, op. cit, hal. 161-162 menjalankan politik hukum pidana, juga mengadakan pilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik, dalam arti memenuhi syarat keadilan dan dayaguna. Untuk mencapai hasil yang berhasilguna dan berdayaguna maka para pembuat kebijakan dapat memanfaatkan informasi yang telah disediakan oleh kriminologi. Universitas Sumatera Utara Apabila mengabaikan informasi tersebut akan mengakibatkan terbentuknya undang-undang yang tidak fungsional. Pandangan Sudarto di atas, sejalan dengan Marc Ancel, 58 Sebagai mana dikemukakan oleh G Peter Hoefnagels bahwa kebijakan penanggulangan tindak pidana criminal policy dapat ditempuh melalui 3 tiga cara, yaitu: menurut, in modern science has primery three essencial componens: criminology, criminal law, dan penal policy. Criminology, mempelajari kejahatan dalam semua aspek. Selanjutnya, criminal law menjelaskan dan menerapkan peraturan-peraturan positif atas reaksi masyarakat terhadap fenomena kejahatan. Penal policy baik sebagai ilmu maupun seni mempunyai tujuan praktis, utamanya untuk me- mungkinkan peraturan-peraturan positif dirumuskan lebih baik dan menjadi petunjuk tidak hanya kepada legislator yang merancang peraturan perundang- undangan pidana, tetapi juga pengadilan di mana peraturan-peraturan itu diterapkan dan penyelengaraan pemasyarakatan prison administarion yang memberi pengaruh praktis terhadap putusan pengadilan. 59 1. Penerapan hukum pidana Criminal law application; 2. Pencegeahan tanpa pidana Prevention without punishment; 3. Mempengaruhi masyarakat tentang tindak pidana dan pemidanaan Influencing views of society on crime anf punishment. 58 Barda Nawawi Arief, op. cit., hal. 1. 59 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hal. 1. Universitas Sumatera Utara Kebijakan penanggulangan tindak pidana dapat dikelompokan menjadi 2 dua macam, 60 Kebijakan penanggulangan tindak pidana dengan menggunakan sarana hukum pidana penal policy dikenal dengan istilah “kebijakan hukum pidana” atau “politik hukum pidana”. Marc Ancel berpendapat, kebijakan hukum pidana penal policy merupakan suatu ilmu sekaligus seni yang mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman kepada pembuat undang-undang, dan kepada yaitu kebijakan penanggulangan tindak pidana dengan menggunakan sarana hukum pidana penal policy dan kebijakan penanggulangan tindak pidana dengan menggunakan sarana di luar hukum pidana non-penal policy. Pada dasarnya penal policy lebih menitikberatkan pada tindakan represif setelah terjadinya suatu tindak pidana, yang mana tindakan represif adalah tin- dakan yang dilakukan setelah kejadian terjadi untuk menekan agar kejadian tidak meluas atau menjadi parah. Sedangkan non-penal policy lebih menekankan pada tindakan prefentif sebelum terjadinya suatu tindak pidana, yang mana tindakan prefentif adalah tindakan yang mengutamakan pencegahan sebelum terjadinya kejadian. Menurut pandangan dari sudut politik kriminil secara makro, non-penal policy merupakan kebijakan penanggulangan tindak pidana yang paling strategis. Hal itu dikarenakan, non-penal policy lebih bersifat sebagai tindakan pencegahan terjadinya suatu tindakan pidana. Sasaran utama non-penal policy adalah me- nangani dan menghapuskan faktor-faktor kondusif yang menyebabkan terjadinya suatu tindak pidana. 60 Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Bakatullah, op. cit, hal. 39. Universitas Sumatera Utara para pelaksana putusan pengadilan. Kebijakan hukum pidana penal policy tersebut merupakan salah satu komponen dari modern criminal science di samping criminology dan criminal law. 61 Dengan demikian, penal policy atau politik hukum pidana dapat dirumuskan dengan baik dan memberikan pedoman kepada pembuat undang- undang kebijakan legislatif, kebijakan aplikasi kebijakan yudikatif dan pelaksana hukum pidana kebijakan eksekutif. Kebijakan legislatif merupakan tahap yang sangat menentukan bagi tahap-tahap berikutnya, karena ketika peraturan perundang-undangan pidana dibuat maka sudah ditentukan arah yang hendak dituju atau dengan kata lain, perbuatan-perbuatan apa yang dipandang perlu untuk dijadikan sebagai perbuatan yang dilarang oleh hukum pidana. Ini berarti menyangkut proses kriminalisasi. Kriminalisasi, menurut Sudarto 62 Dalam kaitan ini, Barda Nawawi Arief menyatakan, merupakan proses penetapan suatu perbuatan seseorang sebagai perbuatan yang dapat dipidana. Tindakan itu diancam dengan terbentuknya undang-undang dengan suatu sanksi berupa pidana. 63 kebijakan untuk membuat peraturan perundang-undangan pidana yang baik tidak dapat dipisahkan dari tujuan penanggulangan kejahatan. Sedangkan, pengertian dari tujuan penanggulangan kejahatan, menurut Mardjono Reksodiputro, 64 61 Barda Nawawi Arief,op. cit, hal. 1. 62 Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, op. cit, hal 39-40. 63 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hal. 29-30. 64 Mardjono Reksodiputro, op. cit, hal. 84 adalah usaha untuk mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi Universitas Sumatera Utara masyarakat. Menurut Barda Nawawi Arief, kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana, pada hakikatnya merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum khusunya hukum pidana. Oleh karena itu, politik hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan penanggulangan kejahatan lewat pembuatan peraturan perundang-undang pidana yang merupakan bagian integral dari politik sosial. Politik sosial tersebut menurut Barda Nawawi Arief dapat diartikan sebagai segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dan sekaligus mencakup perlindungan masyarakat. Dengan demikian, jika politik kriminil menggunakan politik hukum pidana maka ia harus merupakan langkah-langkah yang dibuat dengan sengaja dan sadar. Memilih dan menetapkan hukum pidana sebagai sarana menanggulangi kejahatan harus benar-benar memperhitungkan semua faktor yang dapat mendukung berfungsinya atau bekerjanya hukum pidana dalam kenyataannya. 65 Oleh karena itu, proses kriminalisasi yang terus berlangsung harus dilakukan evaluasi, karena sebagaimana yang dituliskan Bruggink alih bahasa oleh Arief Sidharta: 66 Untuk memperjelas, Bruggink memberikan contoh pada aturan-aturan hukum yang menyangkut hubungan antara orang tua dan anak. Jika pemerintah “Dewasa ini mungkin mengeluh bahwa melimpahnya aturan-aturan hukum mempunyai dampak sebaliknya ketimbang yang dituju. Semula aturan hukum dimaksudkan untuk mengatur kehidupan kemasyarakatan dengan cara yang lebih baik akan tetapi aturan-aturan hukum justru mencekik kehidupan kemasyarakatan itu, dengan terlalu membelenggu kreativitas dan spontanitas.” 65 Barda Nawawi Arief, op. cit, hal. 37. 66 Bruggink, Refleksi tentang Hukum, Alih bahasa oleh Arief Sidharta, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hal. 167. Universitas Sumatera Utara lebih banyak menetapkan aturan, ada kemungkinan inti hubungan antara orang tua dan anak akan tertekan. Untuk itu, menurut Bruggink, diperlukan wawasan tentang peranan kaidah-kaidah hukum di dalam masyarakat sebagai titik tolak. Dari tulisan Bruggink ini dapat dirumuskan bahwa sebenarnya masyarakat tidak memerlukan hukum berdasarkan jumlah kuantitas melainkan dari mutu atau kegunaannya kualitas. Sudarto 67 Oleh karena itu, dalam setiap kebijakan yang diambil oleh pemerintah dalam suatu sistem pembangunan harus dilihat dalam tiga kerangka, yaitu struktur, substansi, dan kultur. mengingatkan, pengaruh umum pidana hanya dapat terjadi di suatu masyarakat yang mengetahui tentang adanya sanksi pidana itu. Dan intensitas pengaruhnya tidak sama untuk semua tindak pidana. Terhadap tindak pidana yang oleh masyarakat dianggap sepele, artinya kalau orang melakukannya tidak dianggap tercela, misalnya pelanggaran lalu lintas, ancaman pidana berat merupakan mekanisme kontrol yang cukup ampuh untuk mencegah perbuatan tersebut. Akan tetapi, ancaman pidana berat tidak banyak artinya jika tidak dibarengi dengan penjatuhan pidana yang berat pula. 68 67 Sudarto, op. cit, hal. 90-91 68 Arief Amrullah, op. cit, hal 21. hal itu penting agar pihak berwenang sebagai pengambil keputusan jangan sampai terjebak kebijakan yang bersifat pragmatis, yaitu suatu kebijakan yang didasarkan pada kebutuhan sesaat jangka pendek sehingga tidak dapat bertahan untuk jangka panjang. Akibatnya, justru akan merugikan masyarakat itu sendiri. Universitas Sumatera Utara Sudarto berpendapat, melaksanakan politik hukum pidana berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. 69 Pada hakikatnya kebijakan pidana penal policy dapat difungsionalisas- ikan dan dioperasionalisaikan melalui beberapa tahap, yaitu tahap formulasi atau kebijakan legislatif, tahap aplikasi atau kebijakan yudikatif dan tahap eksekutif atau kebijakan administratif. Dalam kesempatan lain dikemukakan pula, bahwa melaksanakan politik hukum pidana mempunyai arti sebagai usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang. 70 Tahap formulasi atau kebijakan legislatif merupaka tahap awal yang paling strategis dari keseluruhan perencanaan proses fungsiolaisasi atau operasionalisasi hukum pidana. Tahap formulasi atau kebijakan legislatif tersebut menjadi dasar, landasan dan pedoman bagi tahap-tahap fungsionalisasi atau operasionalisasi Tahap formulasi atau kebijakan legislatif dapat dikatakan sebagai tahap perencanaan dan perumusan peraturan perundang-undangan pidana. Tahap aplikasi atau kebijakan yudikatif merupakan tahap penerapan dari ketentuan peraturan perundang-undangan pidana yang telah dilanggar. Tahap eksekusi atau kebijakan administratif adalah tahap pelaksanaan dari putusan pengadilan atas perbuatan pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. 69 Sudarto, op. cit, hal 151 70 Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal. 75. Universitas Sumatera Utara hukum pidana berikutnya, yaitu tahap aplikasi dan tahap eksekusi. 71 Kesalahan atau kelemahan tahap formulasi atau kebijakan legislatif merupakan kesalahan straegis yang dapat menjadi penghambat bagi tahap-tahap berikutnya dalam kebijakan hukum pidana penal policy, yaitu tahap aplikasi dan tahap eksekusi. 72 Pada dasarnya, terdapat 2 dua masalah sentral yang perlu diperhatikan dalam kebijakan hukum pidana penal policy, khususnya dalam tahap formulasi, yaitu masalah penentuan perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana dan masalah penentuan sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar. 73 Teori-teori criminaliseringyang mengemukakan tentang proses penentuan dapat dipidananya suatu perbuatan, dan yang berusaha menjelaskan tentang faktor-faktor determinan yang mempengaruhi proses-proses ini ternyata masih terbatas sekali. 74 Penentuan perbuatan yang dijadikan tindak pidana mempunyai hubungan yang erat dengan maslah “kriminalisasi”, yaitu “proses untuk menjadikan suatu perbuatan yang semula bukan tindak pidana menjadi tindak pidana. 75 Proses kriminalisasi tersebut diakhiri dengan terbentuknya peraturan perundang-undangan dimana perbuatan tersebut diancam dengan suatu sanksi berupa pidana tahap formulasi. Terbentuklah peraturan hukum pidana yang siap 71 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1992, hal. 157-158. 72 Barda Nawawi Arief, loc. Cit. 73 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, 2002, hal. 24 74 Roeslan Saleh, op. cit, hal. 55 75 Muladi, op. cit, hal. 255. Universitas Sumatera Utara untuk diterapkan oleh hakim tahap aplikasi dan selanjutnya apabila dijatuhkan pidana, dilaksanakan oleh kekuasaan administrasi tahap eksekusi. 76 Bertolak dari pendekatan kebijakan itu pula, Sudarto berpendapat, dalam mengahadapi masalah sentral yang pertama di atas, yang sering disebut masalah kriminalisasi , harus diperhatikan hal-hal yang intinya sebagai berikut: 77 1. Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil makmur yang merata materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila; sehubungan dengan ini maka penggunaan hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan mengadakan peneguhan terhadap tindakan penganggulangan itu sendiri, demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat; 2. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan “perbuatan yang tidak dikehendaki,” yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian materiil dan atau spiritual atas warga masyarakat; 3. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip biaya dan hasil cost benefit principle; 4. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum, yaitu jangan sampai ada kelampauan beban tugas overbelasting. 76 Sudarto, op, cit, hal. 32 77 ibid. hal 44-48 Universitas Sumatera Utara Pendekatan yang berorientasi pada kebijakan sosial terlihat pula dalam Simposium Pembaharuan Hukum Pidana Nasional pada Agustus 1980 di Semarang. Dalam salah satu laporannya dinyatakan antara lain sebagai berikut: 78 Salah satu usaha penanggulangan kejahatan ialah menggunakan hukum pidana dengan sanksinya berupa pidana. Namun demikian usaha ini pun masih sering dipersoalkan. Perbedaan peranan pidana dalam menghadapi masalah kejahatan, menurut Inkeri Anttila, telah berlangsung beratus-ratus tahun dan menurut Herbert L. Packer, usaha pengendalian perbuatan anti sosial dengan mengenakan pidana pada seseorang yang bersalah melanggar peraturan pidana, merupakan suatu problem sosial yang mempunyai dimensi hukum yang penting. “Masalah kriminalisasi dan dekriminalisasi atas suatu perbuatan haruslah sesuai dengan politik kriminil yang dianut oleh bangsa Indonesia, yaitu sejauh mana perbuatan tersebut bertentangan atau tidak bertentangan dengan nilai-nilai fundamental yang berlaku dalam masyarakat dan oleh masyarakat dianggap patut atau tidak patut dihukum dalam rangka menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat.” 79 Penggunaan upaya hukum, termasuk hukum pidana, sebagai salah satu upaya untuk mengatasi masalah sosial termasuk dalam bidang kebijakan pe- negakan hukum. Di samping itu, karena tujuannya mencapai kesejahteraan masyarakat pada umumnya maka kebijakan penegakan hukum termasuk dalam bidang kebiijakan sosial, yaitu segala usaha yang rasional yntuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Sebagai suatu masalah, penggunaan hukum pidana sebenarnya tidak merupakan suatu keharusan. Tidak ada kemutlakan dalam bidang kebijakan, karena pada hakikatnya, dalam masalah kebijakan orang 78 Teguh Prasetyo Abdul Halim Barkatullah, op. cit, hal 24 79 ibid, hal. 25 Universitas Sumatera Utara dihadapkan pada masalah kebijakan penilaian dan pemilihan dari berbagai macam alternatif. 80

B. Politik Hukum Pidana Dalam Menentukan Suatu Pemidanaan