dihadapkan pada masalah kebijakan penilaian dan pemilihan dari berbagai macam alternatif.
80
B. Politik Hukum Pidana Dalam Menentukan Suatu Pemidanaan
Dengan demikian masalah pengendalian atau penanggulangan kejahatan dengan menggunakan hukum pidana, bukan hanya merupakan problem
sosial seperti dikemukakan oleh Packer di atas, tetapi juga merupakan masalah kebijakan the problem of policy.
Kebijakan politik hukum pidana yang paling mempengaruhi dalam penanggulangan kejahatan adalah mengenai kebijakan pidana dalam menentukan
suatu pemidanaan. Pemidanaan bisa diartikan sebagai tahap penetapan sanksi dan juga tahap pemberian sanksi dalam hukum pidana. Kata “pidana” pada umumnya
diartikan sebagai hukum, sedangkan “pemidanaan” diartikan sebagai penghukuman.
81
Sebagian berpandangan, pemidanaan adalah suatu pemberian penderitaan dari pihak berwenang terhadap seseorang atas kesalahan yang dilakukannya
dalam beberapa hal berupa pelanggaran terhadap peraturan atau perintah. Secara umum, pemidanaan memiliki definisi yang hampir sama dengan sanksi biasa
mere penalties, yang membedakannya adalah rasa empati dalam masyarakat, jika sanksi biasa mere penalties lebih berupa sanksi terhadap pelanggaran biasa
Untuk itu dalam menetapkan sanksi dan juga tahap pemberian sanksi ini diperlukan suatu kebijakan hukum pidana agar penjatuhan dan
pemberian sanksi pidana dapat mencapai sasaran yang tepat dan berguna bagi negara dan masyarakat.
80
Sudarto, op. cit, hal. 61.
81
http:raypratama.blogspot.com201202pengertian-jenis-jenis-dan-tujuan.html, diakses pada tangaal 25 Maret 2013
Universitas Sumatera Utara
seperti, surat tilang dan sanksi terhadap pelanggaran lainnya, pemidanaan lebih ditujukan kepada perbuatan yang bertentangan yang menyangkut nilai moral di
dalam masyarakat.
82
Hegel
83
Beberapa di antara para ahli hukum pidana menyadari betul persoalan pemidanaan bukanlah sekedar masalah tentang proses sederhana memidana
seseorang dengan menjebloskan ke penjara. Refleksi yang paling kecil saja, dengan mudah menunjukan bahwa memidana sesungguhnya mencakup pula
pencabutan peniadaan, termasuk proses pengadilan itu sendiri. Oleh karena itu, kesepakatan tentang apa pemidanaan itu merupakan hal yang penting sebelum
menempatkan perintah putusan ke berbagai aplikasi paksaan publik pada indi- vidu, entah atas nama kesehatan, pendidikan, ataupun kesejahteraan umum.
menyatakan, Pemidanaan adalah hak dari pelaku kejahatan. Kejahatan dilakukan karena kehendak pelaku kejahatan itu sendiri. Pelanggaran
terhadap hak orang lain diakui oleh pelaku kejahatan sebagai haknya sendiri. Kejahatannya merupakan peniadaan dari hak, dan pemidanaan adalah
“peniadaan” dari kejahatan, karenanya pemidanaan ini diminta dan dipaksakan kepada si pelaku kejahatan oleh dirinya sendiri.
84
Jerome Hall sebagaimana dikutip Gerber dan McAnany dalam memberi batasan konseptual tentang pemidanaan dianggap sebagai kemajuan besar yang
telah dicapai. Hall membuat deskripsi yang terperinci mengenai pemidanaan
82
Joel Feinberg 1970, The Expressive Function of Punishment, dalam A Reader On Punishment, R.A. Duff David Garland Ed., Oxford University Express, New York, 1994, hal.
73.
83
J. G. Murphy, Marxism and Retribution, dalam A Reader on Punishment, R. A. Duff Garland Ed., Oxford University Express, New York, 1994, hal. 47.
84
Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Bakatullah, op. cit, hal. 74
Universitas Sumatera Utara
berikut ini. Pertama, pemidanaan adalah kehilangan hal-hal yang diperlukan dalam hidup. Kedua, ia memaksa dengan kekerasan. Ketiga, ia diberikan atas
nama negara, ia “diotoritaskan”. Keempat, ia diberikan mensyaratkan adanya peraturan-peraturan, pelanggarannya, dan penentuannya, yang diekspresikan
dalam putusan. Kelima, ia diberikan kepada pelanggar yang telah melakukan kejahatan, dan ini mensyaratkan adanya sekumpulan nilai-nilai yang dengan
beracuan kepadanya, kejahatan dan pemidanaan itu signifikan delam etika. Keenam, tingkat atau jenis pemidanaan berhubungan dengan perbuatan kejahatan,
dan diperberat atau diringankan dengan melihat personalitas kepribadian si pelanggar, motif dan dorongannya.
85
Pekembangan pemikiran tentang pemidanaan juga diikuti oleh kemajuan pemikiran mengenai tujuan pemidanaan. Sejarah pemidanaan selama seratus
Unsur-unsur pemidanaan yang dikemukakan oleh Jerome Hall diatas dapat ditarik garis mengenai pemidanaan, yakni pemidanaan adalah penderitaan yang
berupa kehilangan sesuatu yang diperlukan seseorang yang dilakukan secara paksa oleh pemerintah yang berwenang sebagai isyarat adanya peraturan-
peraturan, pelanggaran dan penentuan yang dapat dilihat dalam putusan yang diberikan kepada seseorang yang telah melakukan kejahatan. Pemidanaan yang
dijatuhkan kepada seseorang itu pun tidak dapat dijatuhkan dengan sewenang- wenang, melainkan harus diperhatikan juga unsur-unsur individu pelaku, yakni
dengan melihat personalitas, motif dan dorongannya untuk melakukan kejahatan.
85
Rudolph J. Gerber Patrick D. Mc Anany, The Philosophy Of Punishment, Dalam The Sociology Of Punishment Correction: Second Edition. Norman Johnston, Leonard Savitz,
Marvin E. Wolfgang Ed., John Wiley and Sons, Inc, New York, 1970, hal. 351.
Universitas Sumatera Utara
tahun terakhir memberi pengaruh kuat pada harapan-harapan yang membaik ini, bagi orang yang dihukum bahkan lebih mengesankan ketika itu dipandang
bersama dengan kekerasan yang meningkat yang telah diciptakan oleh perang modern hampir dalam setiap kehidupan.
86
Dasar pemidanaan pun telah bekembang sesuai perkembangan peradaban manusia. Masalah pidana sering dijadikan tolak ukur sampai seberapa jauh tingkat
“peradaban” bangsa yang bersangkutan.
87
Aliran klasik pada prinsipnya hanya menganut sistem sanksi tunggal berupa jenis sanksi pidana. Menurut Sudarto, aliran klasik tentang pidana bersifat
retributif dan represif terhadap tindak pidana. Pemikiran dasar pemidanaan pun
terbagi menjadi beberapa aliran, yang dimulai dengan aliran klasik.
88
86
Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Bakatullah, op. cit., hal. 76.
87
ibid.
88
M. Sholehuddin, op. cit, hal. 25.
Aliran ini muncul pada abad XVIII berpaham indeterminasi mengenai kebebasan kehendak manusia yang
menekankan pada perbuatan pelaku kejahatan sehingga dikehendakilah hukum pidana perbuatan deadstarfrecht. Karenanya, sistem pidana dan pemidanaan
aliran klasik ini sangat menekankan pemidanaan tehadap perbuatan, bukan pelakunya. Sistem pemidanaan ditetapkan secara pasti the definite sentence.
Artinya, penetapan sanksi dalam undang-undang tidak dipakai sistem peringanan atau pemberatan yang berhubungan dengan faktor usia, keadaan jiwa di pelaku,
kejahatan-kejahatan yang dilakukan terdahulu maupun keadaan-keadaan dari
Universitas Sumatera Utara
perbuatankejahatan yang dilakukan.
89
Pada abad XIX lahirlah aliran positif yang mencari sebab kejahatan dengan memakai metode ilmu alam dan bermaksud untuk langsung mendekati
atau mempengaruhi penjahat secara positif sejauh dia masih dapat diperbaiki. Bertolak belakang dengan aliran klasik, aliran modern memandang kebebasan
berkehendak manusia banyak dipengaruhi oleh watak dan lingkungannya sehingga tidak dapat dipersalahkan dan dipidana. Andaipun digunakan istilah
pidana, menurut aliran modern ini, harus tetap diorientasikan pada sifat-sifat si pelaku. Karenanya, aliran ini bertitik tolak dengan pandangan determinisme
Pendek kata, tidak dipakai sistem individualisasi pidana.
90
Bermuara dari kedua konsepsi aliran hukum pidana tersebut lahirlah ide individualisasi pidana yang memiliki beberapa karakteristik sebagai berikut:
dan mengehendaki adanya individualisasi pidana yang bertujuan mengadakan
resosialisasi terhadap pelaku kejahatan.
91
1. Pertanggungjawaban pidana bersifat pribadiperorangan asas personal;
2. Pidana hanya diberikan kepada orang yang besalah asas cupabilitas; tiada
pidana tanpa kesalahan; 3.
Pidana harus disesuaikan dengan karakteristik dan kondisi si pelaku; ini berarti harus ada kelonggaraanfleksibelitas bagi hakim dalam memilih
sanksi pidana jenis maupun berat ringannya sanksi dan harus ada
89
ibid.
90
Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Bakatullah, op. cit, hal. 78
91
M. Sholehuddin, op. cit, hal. 27
Universitas Sumatera Utara
kemungkinan modifikasi pidana perubahanpenyesuaian dalam pe- laksanaanna.
Disamping pembagian secara tradisional teori-teori pemidanaan, yaitu teori absolut dan teori relatif, ada teori ketiga yang disebut teori gabungan
verenigings theorieen. Penulis pertama yang mengajukan teori gabungan ini ialah Pellegrino
Rossi 1787-1848. Sekalipun ia menganggap pembalasan sebagai asa dari pidana dan beratnya pidana tidak boleh melampaui suatu pembalasan yang adil, ia
berpendirian bahwa pidana mempunyai pelbagai pengaruh antara lain perbaikan sesuatu yang rusak dalam masyarakat dan prevensi general.
92
Perkembangan pemikiran pidana selanjutnya, pertanggungan jawab seseorang berdasarkan kesalahan harus diganti dengan sifat berbahayanya si
pembuat etat dangereux. Bentuk pertanggungan jawab kepada si pembuat lebih bersifat tindakan untuk perlindungan masyarakat. Kalau digunakan istilah pidana,
menurut aliran ini, pidana harus tetap diorientasikan pada sifat-sifat si pembuat. Dalam teori ini, orientasi pelarangan hukum pidana ditujukan pada orang
dan perbuatannya, konsep perbuatan yang dilakukan modifikasi doktrin free will, deduktif-induktif dan menggunakan konsep normatif-empirik. Teori ini meng-
anggap pidana diperlukan, tetapi bukan balas dendam dan bertujuan, pidana merupakan bagian dari pertanggungjawaban pilihan bebas, tetapi dipertimbangkan
faktor-faktor lain yang meringankan eksternal-internal.
92
Muladi dan Barda Nawawi Arief, op. cit., hal. 19.
Universitas Sumatera Utara
Jadi aliran ini menghendaki adanya individualisasi pidana yang bertujuan mengadakan resosialisasi si pembuat.
Pada tahun-tahun setelah Perang Dunia II, aliran modern ini berkembang menjadi apa yang dikenal dengan aliran atau gerakan perlindungan masyarakat
social defence. Tokoh terkenal gerakan social defence ini adalah Filipo Gramatica yang pada 1945 mendirikan “Pusat Studi Perlindungan Masyarakat”
The study- centre of social defence di Genoa. Aliran atau gerakan perlindungan masyarakat yang menjadi orientasi pelarangan hukum pidana adalah perlindungan
masyarakat. Sasarannya, manusia dan perbuatannya. Konsep gejala yang manu- siawi dan merupakan pernyataan dari seluruh kepribadian pelaku. Pemidanaan
dalam aliran ini, setelah diadili dan dipidana diperbaiki masih harus diberi kekuatan agar dapat “mengekang diri sendiri” dan memupuk perasaan tanggung
jawab antar sesama manusia, aliran ini juga mengembangkan model pertanggungjawaban pelaku.
Berdasarkan hal tersebut, Sudarto menyatakan: “Dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah
melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Jadi meskipun perbuatan tersebut memenuhi rumusan
delik dalam undang-undang dan tidak dibenarkan an objective breach of a penal provision, namun hal tersebut belum memenuhi syarat untuk
penjatuhan pidana. Untuk pemidanaan masih perlu adanya syarat bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah
subjective guilt. Dengan perkataan lain, orang tersebut harus dapat dipertanggung-jawaban atas perbutatannya baru dapat
dipertanggungjawabkan kepada orang tersebut”.
93
93
Sudarto, Hukum Pidana 1, Badan Penyediaan Bahan-bahan Kuliah FH UNDIP, Semarang, 19871988, hal. 85
Universitas Sumatera Utara
Pembicaraan masalah penentuan sanksi pidana dalam hukum pidana terkait dengan empat aspek: pertama, penetapan perbuatan yang dilarang; kedua,
penetapan ancaman sanksi pidana terhadap perbuatan yang dilarang; ketiga, tahap penjatuhan pidana pada subjek hukum seseorang atau korporasi; keempat, tahap
pelaksanaan pidana. Keempat aspek tersebut terkait anatara satu dengan lainnya dan merupakan satu jalinan dalam wadah sistem hukum pidana.
94
Pemidanaan dapat diartikan sebagai tahap penetapan sanksi dan pemberian sanksi dalam hukum pidana. Hal ini dapat dilihat dalam pendapat Sudarto
Bagian penting dari sistem pemidanaan adalah menetapkan suatu sanksi. Keberadaannya akan memberikan arah dan pertimbangan mengenai apa yang
seharusnya dijadikan sanksi daam suatu tindak pidanan untuk menegakkan berlakunya norma. Di sisi lain, pemidanaan itu sendiri merupakan proses paling
kompleks dalam sistem peradilan pidana karena melibatkan banyak orang dan insitusi yang berbeda.
95
Berkaitan dengan masalah sanksi, G.P. Hoefnagels bahkan memberikan arti secara luas. Dikatakannya, bahwa sanksi dalam hukum pidana adalah semua
yang menyatakan, pemberian pidana in abstracto adalah menetapkan stelsel sanksi
hukum pidana yang menyangkut pembentuk undang-undang. Sedangkan pemberian pidana in concreto menyangkut berbagai badan yang kesemuaannya
mendukung dan melaksanakan stelsel sanksi hukum pidana itu. Dengan kata lain, pemidanaan menyangkut tentang penetapan sanksi pidana dan bagaimana cara
melaksanakan sanksi hukum pidana itu terhadap terpidana.
94
Teguh Prasetyo Abdul Halim Barkatullah, op. cit., hal. 82
95
M. Sholehuddin, op. cit., hal.114
Universitas Sumatera Utara
reaksi terhadap pelanggaran hukum yang ditentukan undang-undang dimulai dari penahanan tersangka dan penuntutan terdakwa sampai pada penjatuhan vonis oleh
hakim. Hoefnagels melihat pidana sebagai suatu proses waktu yang keseluruhan proses itu dianggap sebagai suatu pidana.
96
Menurut Barda Nawawi Arief,
97
Penentuan jenis ancaman pidana, penjatuhan dan palaksanaan pidana berhubungan erat dengan tujuan pemidanaan. Permasalahannya, apakah jenis-
jenis pidana tersebut sudah menggambarkan tujuan yang hendak dicapai dalam pemidanaan.
strategi kebijakan pemidanaan dalam kejahatan-kejahatan yang berdimensi baru harus memperhatikan hakikat
permasalahannya. Bila hakikat permasalahannya lebih dekat dengan masalah- masalah di bidang hukum perekonomian dan perdagangan maka lebih diutamakan
penggunaan sanksi tindakan danatau pidana denda.
98
Adanya tujuan pemidanaan yang harus dijadikan patokan dalam rangka menunjang berkerjanya sistem peradilan pidana, menurut Muladi,
Dengan demikian, apapun jenis dan bentuk sanksi yang ditetapkan tujuan pemidanaan harus menjadi patokan. Karena itu, harus ada kesamaan pandang atau
pemahaman pada tahap kebijakan legislasi tentang apa hakikat atau maksud dari sanksi pidana danatau tindakan itu sendiri.
99
96
ibid.
97
Barda Nawawi Arief, loc. Cit.
98
Teguh Prasetyo Abdul Halim Baratullah, op. cit., hal. 85.
99
Muladi, op, cit., hal. 2.
untuk menciptakan sinkronisasi yang bersifat fisik, yaitu sinkronisasi struktural
Universitas Sumatera Utara
structural synchronization, sinkronisasi substansial subtantial Syncrhroni- zation, dan sinkronisasi kultural cultural synchronization.
Sekarang ini, faktor-faktor yang menentukan politik hukum tidak semata- mata ditentukan oleh apa yang dicita-citakan atau tergantung pada kehendak
pembentuk hukum, praktisi atau para teoritis belaka, akan tetapi ditentukan juga oleh kenyataan dan perkembangan hukum di negara lain serta hukum
internasional. Apalagi bila dicermati, sasaran kajian politik hukum yang digunakan oleh pembuat hukum nasional,
100
menurut Soewoto Moeljosoedarmo,
101
Masalah penetapan sanksi dalam hukum pidana, apapun jenis dan bentuk sanksinya harus didasarkan dan diorientasikan pada tujuan pemidanaan. Setelah
tujuan pemidanaan ditetapkan, barulah ditentukan jenis dan bentuk sanksi apa yang paling tepat bagi pelaku kejahatan. Penetapan sanksi pada tahap kebijakan
legislasi ini menurut Barda Nawawi Arief, kebijakan ini dapat berupa pilihan hukum yang berlaku,
sistem hukum yang dianut, dasar filosofis yang digunakan termasuk kebijakan agar mendasarkan hukum nasional pada asas-asas hukum yang berlaku.
102
Perumusan jenis sanksi pidana dalam peraturan perundang-undangan pidana yang kurang tepat, menurut beliau, dapat menjadi faktor timbul dan
harus merupakan tahap perencanaan strategis di bidang pemidanaan yang diharapkan dapat memberikan arah pada
tahap-tahap berikutnya, yaitu tahap penerapan pidana dan tahap pelaksanaan pidana.
100
Teguh Prasetyo Abdul Halim Baratullah, loc. Cit.
101
ibid.
102
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1992, hal. 92 dan 98
Universitas Sumatera Utara
berkembangnya kriminalitas. Pendapat ini sejalan dengan pandangan mazhab kritikal dalam kriminologi
103
yang menyatakan, kejahatan yang terjadi maupun karakteristik pelaku kejahatan ditentukan terutama bagaimana hukum pidana itu
termasuk stelsel sanksinya dirumuskan dan dilaksanakan.
104
Dari penjelasan di atas, dapat ditarik benang merah antara penerapan sanksi dalam suatu peraturan perundang-undangan pidana dan perumusan tujuan
pemidanaan, yakni adanya kaitan yang erat dengan landasan filsafat pemidanaan, teori-teori pemidanaan dan aliran-aliran hukum pidana yang dianut mendominasi
pemikiran dalam kebijakan kriminil criminal policy dan kebijakan penal penal policy.
105
Hal ini sejalan dengan pendapat Romli Atmasasmita
106
Dalam penentuan sanksi dalam suatu pemidanaan, dibedakan antara lain sanksi pidana dan sanksi tindakan. Sanksi pidana sesungguhnya bersifat reaktif
terhadap suatu perbuatan, sedangkan sanksi tindakan lebih bersifat antisipatif yang
menegaskan, perumusan empat tujuan pemidanaan dalam Rancangan Undang- Undang KUHP Nasional tersimpul pandangan social defence, pandangan
rehabilitasi dan resosialisasi terpidana, pandangan hukum adat dan tujuan yang bersifat sprititual berlandaskan Pancasila. Menurutnya, keempat tujuan
pemidanaan tersebut dipertegas kembali dengan mencantumkan Pasal 54 ayat 2 RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang menyebutkan, “Pemidanaan
tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia”.
103
Teguh Prasetyo Abdul Halim Bakatullah, op. cit., hal. 86
104
ibid.
105
ibid. hal. 87.
106
Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana; Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionisme, Binacipta, Bandung, 1996, hal. 90.
Universitas Sumatera Utara
terhadap pelaku perbuatan tersebut. Jika fokus sanksi pidana tertuju pada perbuatan salah seorang lewat pengenaan penderitaan agar yang bersangkutan
menjadi jera maka fokus sanksi terarah pada upaya memberikan pertolongan agar pelaku berubah.
107
Dengan demikian, sanksi pidana lebih menekankan unsur pembalasan pengimbalan. Ia merupakan penderitaan yang sengaja dibebankan kepada si
pelanggar. Sedangkan sanksi tindakan bersumber dari ide dasar perlindungan masyarakat dan pembinaan atau perawatan si pelanggar.
108
Atau seperti dikatakan J.E. Jonkers, sanksi pidana dititikberatkan pada pidana yang diterapkan untuk
kejahatan yang dilakukan, sedangkan sanksi tindakan mempunyai tujuan yang bersifat sosial.
109
Dengan demikian, perbedaan prinsip antara sanksi pidana dengan sanksi tindakan terletak pada adanya tidaknya unsur pencelaan, bukan pada ada tidaknya
unsur penderitaan. Berdasarkan tujuannya, sanksi pidana dan sanksi tindakan juga bertolak
belakang dari ide dasar yang berbeda. Sanksi pidana bertujuan memberi penderitaan istimewa bijzonder lead kepada pelanggar supaya ia merasakan
akibat perbuatannya. Selain ditujukan pada pengenaan penderitaan terhadap pelaku, sanksi pidana juga merupakan pernyataan pencelaan terhadap perbuatan
pelaku.
110
107
Muladi dan Barda Nawawi Arief, op. cit., hal. 4.
108
Sudarto, Hukum Pidana, Jilid I A, Badan Penyediaan Kuliah FH UNDIP, Semarang, 1973, hal. 7.
109
M. Sholehuddin, op. cit., hal. 32.
110
Ibid.
Sedangkan sanksi tindakan tujuannya lebih bersifat
Universitas Sumatera Utara
mendidik. Jika ditinjau dari sudut teori-teori pemidanaan maka sanksi tindakan merupakan sanksi yang tidak membalas. Ia semata-mata ditujukan pada prevensi
khusus, yakni melindungi masyarakat dari ancaman yang merugikan kepentingannya. Singkatnya, sanksi pidana berorientasi pada ide pengenaan
sanksi terhadap pelaku suatu perbuatan, sementara sanksi tindakan berorientasi pada ide perlindungan masnyarakat.
Perbedaan orientasi ide dasar dari dua sanksi tersebut sanksi pidana dan sanksi tindakan sebenarnya memiliki kaitan pula dengan filsafat yang
memayunginya, yakni filsafat indeterminisme sebagai ide sanksi pidana dan filsafat determinasi sebagai sumber ide sanksi tindakan. Sebagaimana diketahui,
asumsi dasar filsafat indeterminisme adalah sejatinya manusia memiliki kehendak bebas, termasuk ketika ia melakukan kejahatan. Karenanya sebagai konsekuensi
pilihan bebasnya, maka setiap pemidanaan harus diarahkan pada pencelaan moral dan pengenaan penderitaan bagi pelaku.
Sedangkan determinisme bertolak dari asumsi bahwa keadaan hidup dan prilaku manusia, naik sebagai perorangan maupun sebagai kelompok
masnyarakat, ditentukan oleh faktor-faktor fisik geografis, biologis, psikologis, sosiologis, ekonomis, dan keagamaan yang ada.
111
111
ibid.
Dengan demikian, perilaku jahat seseorang ataupun masyarakat ditentukan oleh berbagai faktor itu, dan
karenanya setiap pemidanaan hanya dapat dibenarkan dengan maksud merehabilitasi pelaku.
Universitas Sumatera Utara
Perbedaan ide dasar antara sanksi pidana dan sanksi tindakan seperti tersebut di atas, dapat pula ditemukan dalam teori-teori tentang tujuan pemi-
danaan, yaitu teori retributif atau teori absolut, teori relatif atau teori deterrence, teori penggambungan integratif, teori treatment dan perlindungan sosial social
defence.
112
Teori absolut teori retributif, misalnya, memandang bahwa pemidanaan merupakan pembalasan atas kesalahan yang telah dilakukan. Jadi berorientasi
pada perbuatan dan terletak pada terjadinya kejahatan itu sendiri. Teori retributif mancari pendasaran pemidanaan dengan memandang ke masa lampau, yakni
memusatkan argumennya pada tindakan yang sudah dilakukan. Menurut Sahetapy,
113
Alasan pembenar dari pemidanaan pada teori retributif didasarkan pada frase kuno yaitu “an eye for an eye, a tooth fo a tooth”dalam Code Of
Hammurabbi yakni “mata dibalas oleh mata, gigi dibalas oleh gigi” atau pelanggar diberikan pemidanaan karena rasa keadilan pada masyarakat
teori abosolut adalah teori tertua, setua sejarah manusia. Teori ini memandang pidana sebagai pembalasan terhadap pelaku kejahatan. Meskipun
kecenderungan untuk membalas ini pada prinsipnya adalah suatu gejala yang normal, akan tetapi pembalasan tersebut harus dilihat sebagai suatu reaksi keras
yang bersifat emosional dan karena itu irrasional.
112
Mahmud Mulyadi,Revitalisasi Alas Filosofis Tujuan Pemindanaan dalam Penegakan Hukum Pidana Indonesia, USU Repository, Medan, 2006
113
J.E Sahetapy, Suatu Studi Khusus Mengenal Ancaman Pidana mati terhadap Pembunuhan Berencana, CV. Rajawali, Jakarta, 1982, hal. 198.
Universitas Sumatera Utara
memaksakan pemidanaan itu. Teori Retributif memiliki prinsip-prinsip dasar antara lain:
114
1. Perbuatan Kriminal pasti merupakan perbuatan yang salah berdasarkan
moral. 2.
Pemidanaan harus sesuai dengan pelanggaran. 3.
Pemidanaan harus menggambarkan pengembalian penderitaan kepada si pelanggar karena perbuatannya yang salah berdasarkan moral.
Teori retributif atau teori absolut melegitimasi pemidanaan sebagai sarana pembalasan atas kejahatan yang telah dilakukan seseorang. Kejahatan dipandang
sebagai perbuatan yang imoral dan asusila di dalam masyarakat, oleh karena itu pelaku kejahatan harus dibalas dengan menjatuhkan pidana. Tujuan pemidanaan
dilepaskan dari tujuan apapun, sehingga pemidanaan hanya mempunyai satu tujuan, yaitu pembalasan.
115
Menurut teori ini, pemidanaan diberikan karena si pelaku harus menerima sanksi demi kesalahannya. Pemidanaan menjadi retribusi yang adil bagi kerugian
yang sudah diakibatkan, karenanya teori ini disebut juga teori proposionalitas. Demi alasan itu, pemidanaan dibenarkan secara moral.
116
Nigel Walker dalam Sentencing in A Rational Society menegaskan, asumsi lain yang dibangun atas dasar retributif adalah beratnya sanksi harus berhubungan
dengan besarnya kerugian yang ditimbulkan oleh pelanggar. Asumsi ini dimaksudkan dalam undang-undang yang memberi sanksi-sanksi pidana
114
C. Ray Jeffery, Crime Prevention Through Environmental Design, Sage Publication, Inc, California, 1977, hal. 16.
115
Mahmud Mulyadi, op. cit.
116
Teguh Prasetyo Abdul Halim Barkatullah, op. cit., hal. 91.
Universitas Sumatera Utara
masksimum yang lebih kecil untuk usaha-usaha yang tidak berhasil daripada usaha-usaha yang berhasil.
117
1. Penganut teori retributif terbatas The Limiting Retributivist yang berpan-
dangan bahwa pidana tidak harus sepadan dengan kesalahan. Yang lebih penting adalah keadaan tidak menyenangkan yang ditimbulkan oleh sanksi
dalam hukum pidana itu harus tidak melebihi batas-batas yang tepat untuk penetapan kesalahan pelanggaran.
Nigel Walker memberi contoh tentang pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan dengan tidak sengaja terkadang dibedakan sanksinya. Ancaman pidana
maksimum terhadap pengemudi yang mengemudi dengan cara membahayakan adalah pidana penjara dua tahun, tetapi mengemudi dengan cara membahayakan
sehingga mengakibatkan kematian orang lain, diancam pidana maksimum loma tahun.
Selanjutnya Nigel Walker menjelaskan, ada dua golongan penganut teori retribusi. Pertama, penganut teori retributif murni yang memandang pidana harus
sepadan dengan kesalahan si pelaku. Kedua, penganut teori retributif tidak murni, yang dipecah lagi menjadi:
118
2. Penganut teori retributif distribusi retribution in distribution.
Penganut teori ini tidak hanya melepaskan gagasan bahwa sanksi dalam hukum pidana harus dirancang dengan pandangan pembalasan, namun juga
gagasan bahwa seharusnya ada batas yang tepat dalam retribusi pada beratnya sanksi. Kaum retributif ini berpandangan, selama orang membatasi sanksi dalam
117
M. Sholehuddin, op. cit., hal. 36.
118
Ibid. hal. 37.
Universitas Sumatera Utara
hukum pidana pada orang-orang yang telah melakukan pelanggaran kejahatan dan tidak membenarkan sanksi ini digunakan pada orang yang bukan pelanggar maka
harus diperhatikan prinsip retribusi yang menyatakan bahwa: “Masyarakat tidak berhak menerapkan tindakan yang tak menyenagkan
pada seseorang yang bertentangan dengan kehendak kecuali bila ia dengan sengaja melakukan sesuatu yang dilarang.”
119
1. Dengan pidana tersebut akan memuaskan perasaanbalas dendam si korban,
baik perasaan adil bagi dirinya, temannya dan keluarganya. Perasaan tersebut tidak dapat dihindari dan tidak dapat dijadikan alasan menuduh
tidak menghargai hukum. Tipe retributif ini disebut vindicative. Akhirnya Nigel Walker menjelaskan, hanya penganut penganut teori
retributif murni the pure retributivist yang mengemukakan dasar-dasar pembenaran untuk pemidanaan.
Terhadap pertanyaan tentang sejauhmanakah pidana perlu diberikan kepada pelaku kejahatan, teori retributif menjelaskan sebagai berikut:
2. Pidana dimaksudkan untuk memberikan peringatan pada pelaku kejahatan
dan anggota masyarakat yang lain bahwa setiap ancaman yang merugikan orang lain atau memperoleh keuntungan dari orang lain secara tidak wajar,
akan menerima ganjarannya. Tipe retributif ini disebut fairness. 3.
Pidana dimaksudkan untuk menunjukan adanya kesebandingan antara apa yang disebut dengan the grafity of the offence dengan pidana yang dijatuh-
kan. Tipe retributif ini disebut dengan proportionality. Termasuk ke dalam
119
Ibid. hal. 15-16.
Universitas Sumatera Utara
kategori the gravity ini adalah kekejaman dari kejahatannya atau dapat juga termasuk sifat aniaya yang ada dalam kejahatannya baik yang
dilakukan dengan sengaja ataupun karena kelalaiannya.
120
Tipe retributif yang disebut vindicative di atas termasuk ke dalam teori pembalasan. John Kaplan
121
1. The Reverange Theory teori pembalasan
dalam bukunya Criminal Justice membagi teori retributif menjadi dua:
2. The Expiation Theory teori penembusan dosa.
Pembalasan mengandung arti, hutang si penjahat “telah dibayar kembali” the criminalis paid back, sedangkan penembusan dosa mengandung arti, si
penjahat “membayar kembali hutangnya the criminalis pays back. Jadi, pengertiannya tidak jauh berbeda. Menurut John Kaplan, tergantung dari cara
orang berpikir pada saat menjatuhkan suatu sanksi. Apakah dijatuhkannya sanksi itu karena kita “menghutangkan sesuatu kepadanya” ataukah disebabkan ia
“berhutang sesuatu kepada kita”. Sebaliknya, Johannes Andenaes menegaskan, “penembusan” tidak sama
dengan “pembalasan dendam” revenge. Pembalasan berusaha memuaskan hasrat basal dendam dari sebagian para korban atau orang-orang lain yang simpati
kepadanya, sedangkan penembusan dosa, lebih bertujuan untuk memuaskan tuntutan keadilan.
122
120
Ibid, hal. 38.
121
Muladi dan Barda Nawawi Arief, op. cit., hal. 13.
122
Ibid. hal. 14.
Universitas Sumatera Utara
Tipe retributif yang propotionality mendapat dukungan dari pendapat van Bemmelen yang mengatakan, untuk hukum pidana dewasa ini, pemenuhan
keinginan pembalasan tegemoetkoming aan de vergeldingsbehoefte tetap merupakan hal penting dalam penerapan hukum pidana agar tidak terjadi “main
hakim sendiri” vermijding van eigenrichting. Hanya saja penderitaan yang diakibatkan oleh suatu sanksi harus dibatasi dalam batas-batas yang paling sempit.
Selain itu, beratnya sanksi tidak boleh melebihi kesalahan terdakwa bahkan tidak dengan alasan-alasan prevensi umum sekalipun.
123
Dalam pandangan Kant, pidana yang diterima seseorang merupakan konsekuensi dari kejahatan yang dilakukannya, bukan dari suatu kontrak sosial.
Bahkan ia menolak pandangan yang menyatakan bahwa pidana ditujukan untuk kebaikan pelaku kejahatan atau kebaikan masyarakat. Kant hanya menerima satu-
satunya alasan bahwa pidana dijatuhkan karena semata-mata pelaku yang bersangkutan telah melakukan kejahatan. Dari latar belakang filsafat pemidanaan
Imanuel Kant demikian lahirlah teori retributif yang mendasari tujuan pemidanaan Sesungguhnya bila diamati secara mendalam, teori retributif seperti yang
telah diuraikan di atas, sebenarnya tidak lepas dari latar belakang fiolosofis yang menjadi landasan pemikiran sistem pemidanaan menurut zamannya. Teori
retributif pada dasarnya bersumber dari pemikiran Imanuel Kant 1724-1804 yang dikenal dengan sebutan retributivisme atau populer disebut dengan istilah
just desert theory oleh para pakar kriminologi di Amerika Serikat.
123
Ibid. hal. 15
Universitas Sumatera Utara
intinya menitikberatkan pada pertanggungjawaban pelaku kejahatan terhadap kobannya.
Pada pihak lain, teori relatif teori tujuan berporos pada tiga tujuan utama pemidanaan, yaitu preventif, deterrence, dan reformatif.
124
dalam tujuan preventif, prevensinya pun tebagi dua yaitu prevensi umum dan prevensi khusus. Tujuan
pemidanaan pemidanaan prevensi umum diharapkan memberikan peringatan kepada masyarakat supaya tidak melakukan kejahatan. Prevensi umum ini
menurut van Veen mempunyai tiga fungsi, yaitu menegakkan wibawa pemerintah, menegakan norma dan membentuk norma. Prevensi khusus dimaksudkan bahwa
dengan pidana yang dijatuhkan, memberikan deterrence effect kepada si pelaku sehingga tidak mengulangi perbuatannya kembali.
125
Tujuan menakuti atau deterrence dalam pemidanaan tidak lain agar timbul rasa taku untuk melakukan kejahatan. Tujuan ini, dibedakan dalam tiga bagian,
yaitu tujuan yang bersifat individual, publik, dan bersifat jangka panjang. Tujuan deterrence yang bersifat individual dimaksudkan agar pelaku merasa jera untuk
melakukan kembali kejahatan. Tujuan deterrence yang bersifat publik, agar anggota masyarakat lain merasa takut untuk melakukan kejahatan. Sedangkan
tujuan deterrence yang bersifat jangka panjang atau long term deterrence adalah agar dapat memelihara keajegan sikap masyarakat terhadap pidana, sehingga
masyarakat akan mematuhi dan menjalankan hukum pidana sebagai suatu
124
Barda Nawawi Arief, op. cit. hal. 31.
125
Mahmud Mulyadi, op. cit.
Universitas Sumatera Utara
tindakan yang wajar dan pantas. Teori ini sering disebut sebagai educative teory atau denunciation theory.
126
Teori relatif memandang, pemidanaan bukan sebagai pembalasan atas kesalahan si pelaku, tetapi sebagai sarana mencapai tujuan yang bermanfaat untuk
melindungi masyarakat menuju kesejahteraan. Dari teori ini muncul tujuan pemidanaan sebagai sarana pencegahan, baik pencegahan khusus yang ditujukan
pada si pelaku maupun pencegahan umum yang ditujukan pada masyarakat. Menurut Leonard Orland,
127
Teori ini, sampai derajat tertentu, dapat dilihat sebagai bentuk terapan secara terbatas dari prinsip dasar etika utilitarianisme yang menyatakan bahwa
suatu tindakan dapat dibenarkan secara moral hanya sejauh konsekuensi- konsekuensinya untuk kebaikan sebanyak mungkin orang. Akibat-akibat positif
yang diperhitungkan ada pada suatu tindakan dan merupakan kriteria satu-satunya bagi pembenarannya.
teori relatif pemidanaan bertujuan mencegah dan mngurangi kejahatan. Pidana harus dimaksudkan untuk mengubah tingkah laku
penjahat dan orang lain yang berpotensi atau cenderung melakukan kejahatan. Karena itu, teori relatif lebih melihat ke depan.
128
Pemidanaan sebagai suatu tindakan terhadap penjahat, dapat dibenarkan secara moral bukan terutama karena si terpidana telah terbukti bersalah, melain-
kan karena pemidanaan itu mengandung konsekuensi-konsekuensi positif bagi si
126
Romli Atmasasmita, op. cit., hal. 84.
127
M. Sholehuddin, op.cit., hal. 42.
128
Teguh Prasetyo Abdul Halim Barkatullah, op. cit., hal. 97.
Universitas Sumatera Utara
terpidana, korban dan juga orang lain dalam masyarakat. Karena itu, teori ini disebut juga sebagai teori konsekuensialisme.
129
Para pendukung Teori Relatif Teori Deterren percaya jika hukuman dapat mengurangi frekuensi kejahatan dengan satu atau lebih cara yakni:
130
1. Mencegah pelaku melakukan kejahatan Deterring the offender dengan
mendorong dia agar menahan diri untuk melakukan kejahatan yang lebih dari sebelumnya, atau paling tidak mencegah dia untuk melakukan
kejahatan yang sama dengan penjatuhan hukuman 2.
Mencegah timbulnya potensi orang lain untuk meniru kejahatan tersebut deterring potential imitators dengan penjatuhan hukuman, dapat
mengurangi orang lain untuk melakukan kejahatan yang sama 3.
Memperbaiki si pelaku kejahatan reforming the offender meningkatkan karakter pelaku sehingga dia cenderung tidak akan melakukan kejahatan
walaupun tanpa ada rasa takut dari ancaman hukuman 4.
Memberikan pengetahuan kepada masyarakat untuk menanggapi serius terhadap suatu kejahatan education the public to take more serious view
of such offences sehingga secara tidak langsung mengurangi frekuensi kejahatan
129
Ibid.
130
N. Walker, Reductivism and Deterrence, dalam A Reader on Punishment, R. A. Duff David Garland Ed. , Oxford University Express, New York, 1994, hal. 212. Nigel Wakler
menyatakan teori Relatif dapat juga dikatakan sebagai teori Reduktif karena teori ini memiliki tujuan untuk mengurangi frekuensi tindak kejahatan yakni mencegah tindak kejahatan tersebut
dengan cara penjatuhan hukuman.
Universitas Sumatera Utara
5. Melindungi Masyarakat protecting the public atau lebih spesifiknya
untuk melindungi korban, dengan cara menahan pelaku kejahatan sehingga memeberikan rasa aman kepada masyarakat korban.
Menurut Karl O. Christiansen ada beberapa ciri pokok dari teori relatif ini, yaitu:
131
1. The purpose of punishment is prevention Tujuan pidana adalah pence-
gahan 2.
Prevention is not a final aim, but a means to amore suprems aim, e.g. social welfare Pencegahan bukan tujuan akhir tetapi hanya sebagai sarana
untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan masyarakat; 3.
Only breaches of the law which are imputable to the perpetrator as intent or negelience quality for punishment Hanya pelanggaran-pelanggaran
hukum yang dapat dipersalahkan kepada si pelaku saja, misalkan kesengajaan atau kelalaian yang memenuhi syarat untuk adanya pidana;
4. The penalty shall be determined by its utility as an instrument for the
prevention of crime Pidana harus ditetapkan berdasarkan tujuannya sebagai alat pencegahan kejahatan;
5. The punishment is propective, it point into future; it may contain as
element of reproach, but neither reproach nor retributive elements can be accepted if they do not serve the prevention of crime for the benefit or
social welfare.Pidana melihat ke depan atau bersifat prospektif; ia mengandung unsur pencelaan tetapi baik unsur pencelaan maupun unsur
131
Teguh Prasetyo Abdul halim Barkatullah, op. cit., hal. 97-98.
Universitas Sumatera Utara
pembalasan tidak dapat diterima bila tak membantu pencegahan kejahatan untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat.
Dengan demikian menurut teori relatif, pidana bukan sekedar pembalasan terhadap orang yang telah melakukan kejahatan, tetapi lebih dari itu pidana
mempunyai tujuan lain yang bermanfaat. Pidana ditetapkan bukan karena orang melakukan kejahatan, tetapi agar orang jangan melakukan kejahatan
Teori Retributif atau absolut pada dasarnya memiliki tujuan yang berbeda dengan teori relatif. Teori Gabungan berusaha menemukan suatu jalan tengah
antara kedua teori-teori tersebut. Teori gabungan mengakui adanya suatu pembalasan retributif dalam suatu pidana dan menjadi pembenaran
dijatuhkannya pidana, namun seharusnya perlu dperhatikan bahwa penjatuhan pidana ini harus membawa manfaat untuk mencapai tujuan lain, misalnya
kesejahteraan masyarakat social walfare.
132
Teori yang berikutnya adalah teori treatment. Treatment sebagai tujuan pemidanaan dikemukakan oleh aliran positif yang berpendapat bahwa pemidanaan
sangat pantas diarahkan kepada pelaku kejahatan, bukan pada perbuatannya.Pemidanaan yang dimaksudkan oleh aliran ini adalah untuk
memberi tindakan perawatan treatment dan perbaikan rehabilitation kepada pelaku kejahatan sebahai pengganti hukuman. Argumen aliran positif ini
dilandaskan pada alasan bahwa pelaku kejahatan adalah orang sakit sehingga membutuhkan tindakan perawatan treatment dan perbaikan rehabilitation.
133
132
Mahmud Mulyadi, op. cit.
133
ibid.
Universitas Sumatera Utara
Teori treatment pengobatan memiliki hambatan-hambatan dalam pelaksanaannya. Teori ini sangat memerlukan fasilitas memadai dari lembaga-
lembaga pemasyrakatan untuk dapat dilakukannya pengobatan treatment ataupun rehabilitasi. Kenyataannya, hanya terdapat sedikit negara yang memiliki
fasilitas untuk melakukan pelaksanaan rehabilitasi maupun pengobatan treatment.
134
Hambatan kedua yang menjadi alasan untuk menentang teori ini yakni adanya kemungkinan seseorang untuk bertindak tirani kejam dan
mengenyampingkan Hak Asasi Manusia HAM. Seorang tahanan harus diserahkan pada seorang dokter untuk dilakukan pengobatan treatment sebelum
tahanan itu dilepas. Tidak ada seorang pun yang dapat memprediksikan berapa lama pengobatan itu akan berlangsung atau mengontrol keputusan dokter. Dari
fakta ini, “Treatment” dilaksanakan atas nama kebaikan, tetapi tidak dapat dikontrol, sehigga tidak menutup kemungkinan para tahanan akan dijadikan objek
penelitian dokter tersebut, yang mana dikatakan Silving, “even ‘bad people’ are not by the same token experimental rabbits.” bahkan seorang penjahat tidak
dapat disamakan dengan kelinci percobaan.
135
Teori perlindungan sosial social defence terbagi dua yaitu aliran radikal dan aliran moderat. Aliran radikal memandang ”hukum perlindungan
sosial harus menggantikan hukum pidana yang ada sekarang”.
136
134
Rudolph J. Gerber Patrick D. Mc Anany, The Philosophy of Punishment, dalam The Sociology of Punishment Correction: Second Edition, Norman Johnston, Leonard Savitz,
Marvin E. Wolfgang Ed., John Wiley and Sons, Inc, New York, 1970, hal. 354.
135
Ibid.
136
Barda Nawawi Arief dan Muladi, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, 1984, hal. 151.
Aliran ini
Universitas Sumatera Utara
masih mengintegrasikan individu ke dalam tertib sosial dan bukan pemidanaan terhadap perbuatannya. Aliran moderat memandang bahwa
setiap masyarakat mensyaratkan tertib sosial dalam seperangkat peraturan- peraturan yang tidak hanya sesuai dengan kebutuhan untuk kehidupan
bersama, tetapi sesuai dengan aspirasi warga masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu, peranan yang besar dari hukum pidana merupakan
kebutuhan yang tidak dapat dielekkan dalam suatu sistim hukum. Pandangan yang radikal
137
Pandangan Moderat dipertahankan oleh Marc Ancel Perancis yang menamakan alirannya sebagai “Defence Sociale Nouvelle” atau “New Social
Defence” atau “Perlinfungan Sosial Baru”. Menurut Marc Ancel, tiap masyarakat mensyaratkan adanya tertib sosial, yaitu seperangkat peraturan-peraturan yang
ridak hanya sesuai dengan kebutuhan untuk kehidupan bersama, tetapi sesuai dengan aspirasi warga masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu, peranan yang
besar dari hukum pidana merupakan kebutuhan yang tidak dapat dielakkan bagi suatu sistem hukum. Beberapa konsep pandangan moderat:
dipelopori dipelopori dan dipertahankan oleh F. Gramatica, yang salah satu tulisannya berjudul “The fight againts punishment”
La Lotta Contra La Pena. Gramatika berpendapat bahwa: “Hukum perlindungan sosial harus menggantikan hukum pidana yang sekarang. Tujuan utama dari
hukum perlindungan sosial adalah mengintegrasikan individu ke dalam tertib sosial dan bukan pemidanaan terhadap pebuatannya.
138
137
Muladi dan Barda Nawawi Arief, op. cit., hal. 35.
138
Mahmud Mulyadi, op. cit.
Universitas Sumatera Utara
1. Pandangan moderat bertujuan mengintegrasikan ide-ide atau konsepsi-
konsepsi perlindungan masyarakat ke dalam konsepsi baru hukum pidana. 2.
Perlindungan individu dan masyarakat tergantung pada perumusan yang tepat mengenai hukum pidana, dan ini tidak kurang pentingnya dari
kehidupan masyarakat itu sendiri. 3.
Dalam menggunakan sistem hukum pidana, aliran ini menolak penggunaan fiksi-diksi dan teknis-teknis yuridis yang terlepas dari
kenyataan sosial. Ini reaksi terhadap legisme dari aliran klasik. Teori social defence beraliran moderat ini menjawab kegagalan teori
treatment dalam suatu sistem pemidanaan. Teori treatment atau teori reha- bilitation hanya menjadikan usaha memperbaiki menyembuhkantreatment se-
orang pelaku kejahatan sebagai fokus sentral dan mengenyampingkan tujuan pemidanaan, baik tujuan retributif atau pembalasan maupun tujuan deterrence.
C. Kedudukan Politik Hukum Pidana Dalam Pidana Indonesia