IMPLIKATUR PERCAKAPAN DALAM PEMBELAJARAN OLAHRAGA PADA SISWA KELAS XI SMA NEGERI 2 BANDARLAMPUNG

(1)

ABSTRAK

IMPLIKATUR PERCAKAPAN DALAM PEMBELAJARAN OLAHRAGA

PADA SISWA KELAS XI SMA NEGERI 2 BANDAR LAMPUNG

Oleh ATIK KARTIKA

Penelitian ini dilakukan untuk mendeskripsikan implikatur percakapan dalam pembelajaran olahraga pada siswa kelas XI SMA Negeri 2 Bandar Lampung. Penulis meneliti hal tersebut karena tuturan dalam pembelajaran olahraga memiliki perbedaan yang siginifikan dengan pembelajaran di kelas. Perbedaan itu terletak pada kedekatan hubungan emosional antara guru dan siswa. Kedekatan hubungan emosional antara siswa dan guru olahraga cukup erat dibandingkan dengan guru mata pelajaran lainnya. Hal ini membuat keduanya dapat memahami bentuk tuturan yang berupa implikatur dengan mudah.

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Data yang diperoleh berupa catatan reflektif tuturan yang berupa implikatur guru olahraga dan siswa kelas XI SMA Negeri 2 Bandar Lampung.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa (1) jenis tuturan yang dominan digunakan untuk berimplikatur yaitu tindak tutur direktif, hal tersebut ditandai dengan adanya data tindak tutur direktif yang lebih banyak dibandingkan dengan


(2)

jenis tindak tutur lainnya, (2) penggunaan bentuk verbal tuturan dalam berimplikatur menunjukkan bahwa antara siswa dan guru olahraga memiliki pengetahuan dan kerja sama yang baik dalam pemahaman bentuk verbal tuturan tersebut, (3) pemanfaatan konteks dalam berimplikatur menunjukkan bahwa konteks tempat, waktu, dan situasi juga berperan penting guna mendukung keberhasilan komunikasi antara siswa dan guru olahraga, dan (4) perlokusi mitra tutur terhadap implikatur menunjukkan bahwa tidak semua implikatur dapat direspons dengan positif. Pada kenyataannya selain perlokusi responsif positif, perlokusi yang ditimbulkan mitra tutur berupa responsif negatif dan perlokusi nonresponsif.


(3)

ABSTRACT

CONVERSATIONAL IMPLICATURES IN SPORTS EDUCATION LEARNING OF THE ELEVENTH GRADE STUDENTS OF

SMA NEGERI 2 BANDAR LAMPUNG

By

ATIK KARTIKA

This study was conducted to describe conversational implicatures in sports education learning of the eleventh grade students of SMA Negeri 2 Bandar Lampung. The writer examined the case since the speech used in sports learning differs from that of in classroom learning. The difference lies on the emotional relationship closeness between students and their sports teacher. The relationship between them is quite close compared with that of between students and teachers of other subjects. This makes them comprehend utterances in the form of implicatures easily.

The method used in this research was a descriptive qualitative method. Data obtained were in the form of reflective note of utterances in the form of implicatures of sports teacher and students of the eleventh grade students of SMA Negeri 2 Bandar Lampung.

The results of this study indicate that (1) the dominant type of speech that is used to implicating directive speech act, it is marked by a directive speech acts which


(4)

the data more than other types of speech acts, (2) the use of verbal utterances in implicating show that between students and sports teacher have the knowledge and exercise good cooperation in understanding the form of verbal utterances, (3) the use of context in implicating shows that the context implicating place, time, and circumstances also play an important role to support the success of communication between students and the sports teacher, and (4) hearer’s perlocutions towards implicatures show that not all can be responded to positively. In fact besides positive responsive perlocution, perlocution hearer posed a negative responsive and nonresponsive perlocution.


(5)

(6)

(7)

(8)

(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kresnomulyo, Kecamatan Ambarawa, Kabupaten Pringsewu pada tanggal 18 Oktober 1989. Penulis merupakan anak keempat dari empat bersaudara, putri dari pasangan Ibu Tini Sartini dan Bapak Jacky Soeharno (Alm).

Penulis memulai pendidikan formal pada tahun 1994 di Sekolah Dasar Negeri 1 Kresnomulyo, kemudian tahun 2000 melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Pringsewu, dan tahun 2003 melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas Negeri 3 Pringsewu.

Tahun 2006 penulis terdaftar sebagai mahasiswa di Universitas Lampung, Jurusan Bahasa dan Seni, Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah, dan lulus tahun 2010. Pada tahun 2012 penulis terdaftar sebagai mahasiswa pascasarjana di Universitas Lampung, Program Studi Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.


(10)

PERSEMBAHAN

Penulis mempersembahkan tesis ini khusus kepada

1. Ibunda dan Almarhum Ayahanda tercinta, kalian berdua adalah semangat terbesar dalam hidupku. Khusus untuk Ibunda, terima kasih atas segala dukungan dan kasih sayang yang telah engkau berikan.

2. Kakak-kakakku dan keponakanku tercinta, terima kasih kalian selalu memberikan dukungan dan semangat luar biasa untukku.

3. Kekasihku tercinta, terima kasih telah memberikan semangat, dukungan, dan selalu setia menemaniku.


(11)

MOTO

Sederhana dalam penampilan, berbobot dalam pemikiran. (Jacky Soeharno)

Orang yang berhasil akan mengambil manfaat dari kesalahan-kesalahan yang ia lakukan, dan akan mencoba kembali untuk melakukan

dalam suatu cara yang berbeda (Dale Carnegie)


(12)

SANWACANA

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan tesis ini. Tesis yang berjudul “Implikatur Percakapan dalam Pembelajaran Olahraga pada Siswa Kelas XI SMA Negeri 2 Bandar Lampung” ini penulis selesaikan sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar magister pendidikan pada Program Pascasarjana Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Lampung.

Dengan selesainya tesis ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Ir. Sugeng Hariyanto, M.S., selaku rektor Universitas Lampung; 2. Prof. Dr.Sudjarwo, M.S., selaku direktur Pascasarjana Universitas

Lampung;

3. Dr. H.Bujang Rahman, M.Si., selaku dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung;

4. Dr. H. Muhammad Fuad, M.Pd., selaku ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Lampung; 5. Dr.Nurlaksana Eko Rusminto, M.Pd., selaku dosen pembimbing I,

pembimbing akademik, dan ketua Program Studi Pascasarjana Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah memberikan semangat, dukungan, bimbingan, dan pengarahan kepada penulis dalam menyelesaikan tesis ini.


(13)

6. Dr.Mulyanto Widodo, M.Pd., selaku dosen pembimbing II yang telah memberikan bimbingan, saran, dan pengarahan dalam menyelesaikan tesis ini.

7. Dr. Edi Suyanto, M.Pd., selaku dosen pembahas yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk membahas dan memberikan masukan dalam menyelesaikan tesis ini.

8. Dr. Wini Tarmini, M.Hum., selaku dosen penguji tamu yang telah meluangkan waktunya untuk membahas dan memberikan masukan dalam menyelesaikan tesis ini.

9. Ibundaku tercinta Tini Sartini yang selalu memberikan dukungan luar biasa dan semangat terbesar kepada penulis.

10.Kakak-kakakku tercinta Galuh Puspita Sari Safitri, S.E., Ardya Garini, S.ST., Desi Mayasari, S.Ikom., serta keponakanku Bima dan Aleeva. 11.Sahabat-sahabatku tersayang Hesti, S.Pd., Vini Susiani, S.Pd., Nazimah,

S.Pd., Jully Andry Yanto, M.Pd., Ari Rohmawati, M.Pd., Amy Sabila, M.Pd., dan Shelly Nasya Putri, M.Pd. Terima kasih telah memberikan dukungan dan semangat yang luar biasa.

12.Mahasiswa Magister Bahasa dan Sastra Indonesia angkatan 2012 yang tidak bisa disebutkan satu per satu. Terima kasih atas dukungan, semangat, dan persahabatan yang telah kalian berikan.

13.Pihak-pihak SMA Negeri 2 Bandar Lampung, Dewi Puji Astuti, S.Pd., Budi Setiadi, M.Pd., Budi Suhati Lestari, dan Yuda Prasetia. Terima kasih atas dukungan dan bantuannya dalam proses penelitian tesis ini.


(14)

menemaniku.

15.Semua pihak yang turut membantu dan menyelesaikan tesis ini yang tidak bisa disebutkan satu per satu.

Semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada umumnya, dan khususnya bagi penulis. Amin.

Bandar Lampung, 16 Juli 2014 Penulis,


(15)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

HALAMAN JUDUL ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

LEMBAR PERNYATAAN ... v

RIWAYAT HIDUP ... vi

MOTO ... vii

PERSEMBAHAN ... viii

SANWACANA ... ix

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

DAFTAR SINGKATAN ... xii

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 4

1.3 Tujuan Penelitian ... 5

1.4 Manfaat Penelitian ... 5

1.5 Ruang Lingkup Penelitian ... 6

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1 Implikatur Percakapan ... 7

2.1.1 Pengertian Implikatur ... 8

2.1.2 Jenis-Jenis Implikatur... 9

2.1.2 Sumbangan Implikatur terhadap Interpretasi ... 11

2.2 Prinsip Percakapan ... 14

2.2.1 Prinsip Kerjasama ... 14

2.2.2 Prinsip Kesantunan... 18

2.3 Tindak Tutur ... 23


(16)

2.3.4 Pemanfaatan Konteks dalam Tindak Tutur ... 31

2.3.5 Peran Mitra Tutur dalam Tindak Tutur ... 33

III. METODE PENELITIAN ... 35

3.1 Metode Deskriptif ... 35

3.2 Sumber Data ... 35

3.3 Teknik Pengumpulan Data ... 36

3.4 Teknik Analisis Data ... 36

3.5 Langkah-Langkah Analisis Data ... 38

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 40

4.1 Hasil ... 40

4.2 Pembahasan ... 41

4.2.1 Jenis Tuturan dalam Berimplikatur ... 42

4.2.1.1 Implikatur Direktif ... 41

4.2.1.2 Implikatur Asertif ... 63

4.2.1.3 Implikatur Ekspresif ... 71

4.2.1.4 Implikatur Deklaratif ... 76

4.2.1.5 Implikatur Komisif ... 83

4.2.2 Bentuk Verbal dalam Berimplikatur ... 87

4.2.2.1 Tuturan Langsung Tidak Literal (Ltli) ... 87

4.2.2.2 Tuturan Tidak Langsung Literal (TLli) ... 90

4.2.2.3 Tuturan Tidak Langsung Tidak Literal (TLtli) ... 94

4.2.3 Pemanfaatan Konteks dalam Berimplikatur... 97

4.2.3.1 Konteks Tempat ... 97

4.2.3.2 Konteks Waktu ... 101

4.2.3.3 Konteks Situasi ... 105

4.2.4 Perlokusi Mitra Tutur Terhadap Implikatur ... 108

4.2.4.1 Perlokusi Responsif Positif ... 109


(17)

4.2.4.3 Perlokusi Nonresponsif ... 114

V. SIMPULAN DAN SARAN ... 116

5.1 Simpulan ... 116

4.1 Saran ... 117


(18)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Format Panduan Pengumpulan Data Penelitian ... 121

Lampiran 2 : Catatan Lapangan Jenis Tuturan dalam Berimplikatur ... 122

Lampiran 3: Korpus Data Implikatur Percakapan ... 250


(19)

DAFTAR SINGKATAN

IANgel : Implikatur Asertif Mengeluh IANyt : Implikatur Asertif Menyatakan

IDk Al : Implikatur Deklaratif Memberi Alasan

IDk H : Implikatur Deklaratif Menjatuhkan Hukuman IDk Nm : Implikatur Deklaratif Memberi Nama

IDL : Implikatur Direktif Melarang IDM : Implikatur Direktif Meminta

IDN : Implikatur Direktif Memberi Nasihat IDP : Implikatur Direktif Memerintah

IDR : Implikatur Direktif Merekomendasikan IDT : Implikatur Direktif Menanyakan IEKcm : Implikatur Ekspresif Mengecam IES : Implikatur Ekspresif Menyindir IKTwr : Implikatur Komisif Menawarkan Ltli : Tuturan Langsung tidak literal TLli : Tuturan tidak langsung literal TLtli : Tuturan tidak langsung tidak literal


(20)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bahasa memiliki fungsi yang terpenting yaitu sebagai alat komunikasi untuk berinteraksi dan mencapai kerja sama antarmanusia. Terjadinya komunikasi dalam kehidupan sehari-hari membuat seseorang dapat menghubungkan isi pikiran dengan lawan tuturnya dan mencapai suatu tujuan yang diinginkan. Dalam komunikasi, berbicara dan menyimak merupakan kegiatan komunikatif langsung dua arah yang merupakan komunikasi tatap muka ( Brooks dalam Tarigan, 1981:4).

Komunikasi dan interaksi yang terjalin antara penutur dan mitra tutur tidak terlepas dari sebuah percakapan yang menjadi awal terjadinya komunikasi tersebut. Percakapan merupakan pembicaraan yang terjadi ketika sekelompok kecil peserta datang bersama-sama dan meluangkan waktu untuk melakukan pembicaraan. Untuk berpartisipasi dalam sebuah percakapan, seseorang dituntut untuk menguasai kaidah-kaidah dan mekanisme percakapan sehingga percakapan dapat berjalan dengan lancar, kaidah dan mekanisme percakapan itu meliputi aktivitas membuka, melibatkan diri, dan menutup percakapan.


(21)

2

Penutur dan mitra tutur dapat berkomunikasi dengan baik dan lancar karena mereka berdua memiliki semacam kesamaan latar belakang pengetahuan tentang sesuatu yang dipertuturkan itu. Grice dalam Rahardi (2005:43) juga mengatakan di antara penutur dan mitra tutur terdapat semacam kontrak percakapan tidak tertulis bahwa apa yang sedang dipertuturkan itu saling dimengerti.

Pada umumnya, hal tersebut disebabkan oleh seseorang yang melakukan percakapan dengan mitra tuturnya selalu dihadapkan pada persoalan yang membuat percakapan harus dapat dimengerti oleh kedua belah pihak, yaitu persoalan tentang memahami tuturan yang disampaikan penutur dengan cara tidak langsung dalam konteks tertentu dan memiliki tujuan tertentu. Tuturan secara tidak langsung tersebut, biasa disebut dengan implikatur percakapan.

Brown dan Yule (1983:31) menyatakan bahwa implikatur digunakan untuk memperhitungkan apa yang dimaksud oleh penutur sebagai hal yang berbeda dari apa yang dinyatakan secara harfiah. Selalu benar terjadi apa yang dimaksud oleh si pembicara tidak sama dengan apa yang ditanggap oleh si pendengar sehingga terkadang jawaban si pendengar tidak dapat atau sering juga terjadi si pembicara mengulangi kembali ucapannya mungkin dengan cara atau kalimat yang lain supaya dapat ditanggapi oleh pendengar (Lubis, 1991:68). Misalnya, data berikut yang biasa terjadi dalam proses pembelajaran.

(1) Guru : “Kalian sudah mengobrolnya?” Siswa : (seketika terdiam)

Percakapan di atas termasuk jenis percakapan yang menggunakan implikatur direktif bertanya. Pada data tersebut seorang guru bertanya siswanya apakah


(22)

sudah selesai berbicara, tetapi tujuan sang guru tidak hanya sekedar itu, melainkan mengimplikasikan sebuah perintah supaya siswanya tidak mengobrol di kelas, karena guru tersebut akan menjelaskan materi pembelajaran.

Penggunaan implikatur dalam peristiwa komunikasi didorong oleh kenyataan adanya dua tujuan komunikasi sekaligus yang ingin dicapai oleh penutur, yaitu tujuan pribadi dan tujuan sosial. Tujuan pribadi bertujuan untuk memperoleh sesuatu dari mitra tutur melalui tuturan yang disampaikannya. Sedangkan tujuan sosial bertujuan untuk berusaha menjaga hubungan baik antara penutur dengan mitra tuturnya sehingga komunikasi tetap berjalan dengan baik dan lancar.

Biasanya dalam proses pembelajaran di kelas maupun di luar kelas, seorang guru dalam menyampaikan suatu tuturan kepada siswanya memilih cara yang khas agar siswa dapat lebih nyaman dalam memahami maksud yang disampaikan oleh guru tersebut, khususnya mata pelajaran olahraga yang dominan dilakukan di lapangan. Pembelajaran olahraga sangat berpengaruh pada pengembangan perasaan sosial, tanggung jawab, dan kepemimpinan.

Guru olahraga dapat berbuat banyak untuk memecahkan masalah-masalah remaja. Dalam banyak hal guru olahraga lebih dekat dengan para siswa dibandingkan dengan guru mata pelajaran lainnya. Selain itu, para siswa mau mengikuti petunjuk yang diberikan guru olahraga (Rosdiani, 2012: 107).

Tuturan dalam pembelajaran olahraga memiliki perbedaan yang siginifikan dengan pembelajaran di kelas. Perbedaan itu terletak pada kedekatan hubungan emosional antara guru dan siswa. Kedekatan hubungan emosional antara siswa


(23)

4

dan guru olahraga cukup erat dibandingkan dengan guru mata pelajaran lainnya. Hal ini membuat keduanya dapat memahami bentuk tuturan yang dibungkus dengan sesuatu yang lain atau biasa disebut implikatur.

Implikatur dapat dengan mudah dipahami oleh seseorang dengan usia remaja sampai dewasa. Usia kedewasaan pada tingkat sekolah terdapat pada siswa sekolah menengah atas (SMA). Peneliti memilih salah satu sekolah terfavorit di Lampung yakni SMA Negeri 2 Bandar Lampung sebagai tempat penelitian mengenai implikatur yang digunakan dalam pembelajaran olahraga. Sekolah tersebut memiliki prestasi olahraga yang sangat membanggakan, terbukti pada tahun 2014 bulan Januari s.d. April sudah mendapatkan piala penghargaan prestasi olahraga sebanyak hampir sepuluh buah.

Berdasarkan hal tersebut, peneliti merasa perlu meneliti implikatur yang digunakan dalam proses pembelajaran olahraga. Pembelajaran olahraga jelas memiliki perbedaan dengan pembelajaran lainnya. Cara berkomunikasi dan peristiwa tutur yang terjadi dalam pembelajaran olahraga pasti beragam karena pembelajaran sering dilakukan di lapangan. Dengan demikian, judul penelitian ini adalah ”Implikatur Percakapan dalam Proses Pembelajaran Olahraga Siswa SMA Negeri 2 Bandar Lampung”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah, rumusan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut.


(24)

1. Bagaimanakah jenis tuturan dalam berimplikatur pada proses pembelajaran olahraga siswa kelas XI SMA Negeri 2 Bandar Lampung. 2. Bagaimanakah bentuk verbal dalam berimplikatur pada proses

pembelajaran olahraga siswa kelas XI SMA Negeri 2 Bandar Lampung. 3. Bagaimanakah pemanfaatan konteks dalam berimplikatur pada

pembelajaran olahraga siswa kelas XI SMA Negeri 2 Bandar Lampung. 4. Bagaimanakah perlokusi mitra tutur terhadap implikatur pada

pembelajaran olahraga siswa kelas XI SMA Negeri 2 Bandar Lampung.

1.3Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang masalah, tujuan penelitian ini sebagai berikut.

1. Mendeskripsikan jenis tuturan dalam berimplikatur pada proses pembelajaran olahraga siswa kelas XI SMA Negeri 2 Bandar Lampung. 2. Mendeskripsikan bentuk verbal dalam berimplikatur pada proses

pembelajaran olahraga siswa kelas XI SMA Negeri 2 Bandar Lampung. 3. Mendeskripsikan pemanfaatan konteks dalam berimplikatur pada

pembelajaran olahraga siswa kelas XI SMA Negeri 2 Bandar Lampung. 4. Mendeskripsikan perlokusi mitra tutur terhadap implikatur pada

pembelajaran olahraga siswa kelas XI SMA Negeri 2 Bandar Lampung.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat baik secara teoretis maupun secara praktis.


(25)

6

Manfaat dari segi keilmuan diharapkan dapat memperkaya kajian analisis percakapan khususnya implikatur percakapan dalam proses pembelajaran olahraga.

2. Manfaat Praktis

Manfaat praktis, diharapkan dapat menjadi informasi dan masukan khususnya bagi para guru dan siswa SMA mengenai kajian implikatur percakapan dalam proses pembelajaran dan referensi bagi mahasiswa di bidang kajian yang sama.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini meliputi hal-hal berikut.

1. Jenis tuturan dalam berimplikatur pada proses pembelajaran olahraga siswa kelas XI SMA Negeri 2 Bandar Lampung.

2. Bentuk verbal tuturan dalam berimplikatur pada proses pembelajaran kelas XI SMA Negeri 2 Bandar Lampung.

3. Pemanfaatan konteks dalam berimplikatur pada proses pembelajaran olahraga siswa kelas XI SMA Negeri 2 Bandar Lampung.

4. Perlokusi mitra tutur terhadap implikatur pada proses pembelajaran olahraga SMA Negeri 2 Bandar Lampung.


(26)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Implikatur Percakapan

Penutur dan mitra tutur dapat berkomunikasi dengan baik dan lancar karena mereka berdua memiliki semacam kesamaan latar belakang pengetahuan tentang sesuatu yang dipertuturkan itu. Di antara penutur dan mitra tutur terdapat semacam kontrak percakapan tidak tertulis bahwa apa yang sedang dipertuturkan itu saling dimengerti. (Grice 1975 dalam Rahardi 2005:43) di dalam artikelnya yang berjudul “Logic and Conversation” menyatakan bahwa sebuah tuturan dapat mengimplikasikan proposisi yang bukan merupakan bagian dari tuturan tersebut. Proposisi yang diimplikasikan itu dapat disebut dengan implikatur percakapan.

Tuturan yang berbunyi Bapak datang, jangan menangis! Tidak semata-mata dimaksudkan untuk memberitahukan bahwa sang ayah sudah datang dari tempat tertentu. Si penutur bermaksud memperingatkan mitra tutur bahwa sang ayah yang bersikap keras dan sangat kejam itu akan melakukan sesuatu terhadapnya apabila ia masih terus menangis. Di dalam implikatur, hubungan antara tuturan yang sesungguhnya dengan maksud yang tidak dituturkan itu bersifat tidak mutlak. Inferensi maksud tuturan itu harus didasarkan pada konteks situasi tutur yang mewadahi munculnya tuturan tersebut.


(27)

8

2.1.1 Pengertian Implikatur

Istilah implikatur diturunkan dari verba ‟to imply’ yang berarti menyatakan sesuatu secara tidak langsung. Secara etimologis, ’to imply’ berarti membungkus atau menyembunyikan sesuatu dengan menggunakan sesuatu yang lain. Oleh karena itu, implikatur percakapan adalah sesuatu yang disembunyikan dalam sebuah percakapan, yakni sesuatu yang secara implisit terdapat dalam penggunaan bahasa secara aktual. Brown dan Yule (1983:31) menyatakan bahwa implikatur digunakan untuk memperhitungkan apa yang dimaksud oleh penutur sebagai hal yang berbeda dari apa yang dinyatakan secara harfiah. Sebagai contoh, jika seorang ibu menyatakan ”Nak, bajumu kotor sekali!” dalam keadaan si anak selesai bermain bola, tuturan tersebut sesungguhnya bukan hanya bermaksud memberitahukan bahwa baju anak kotor, melainkan mengimplikasikan sebuah perintah untuk anak agar mengganti bajunya yang kotor itu dengan baju yang bersih.

Dalam kaitannya dengan hal ini, implikatur percakapan digunakan untuk mempertimbangkan apa yang dapat disarankan atau yang dimaksudkan oleh penutur sebagai hal yang berbeda dari apa yang tampak secara harfiah. Sebagai contoh interaksi antara A dan B pada percakapan (1) berikut menunjukkan bahwa B tidak memberikan tanggapan secara langsung terhadap apa yang dituturkan oleh A, tetapi pernyataan B tentang adanya rumah makan memberikan implikasi bahwa A (dan B) dapat makan di rumah makan tersebut beberapa saat sebelum melanjutkan perjalanan.

(1) A : ”Perutku sakit, lapar sekali.”

B : ”Sabar, lima ratus meter lagi ada rumah makan di sebelah kanan jalan”


(28)

Penggunaan implikatur dalam peristiwa komunikasi didorong oleh kenyataan adanya dua tujuan komunikasi sekaligus yang ingin dicapai oleh penutur, yaitu tujuan pribadi, yakni untuk memperoleh sesuatu dari mitra tutur melalui tuturan meminta yang disampaikannya dan tujuan sosial, yakni berusaha menjaga hubungan baik antara penutur dengan mitra tuturnya sehingga komunikasi tetap berjalan dengan baik dan lancar.

2.1.2 Jenis-Jenis Implikatur

Penting dicatat bahwa penuturlah yang menyampaikan makna lewat implikatur dan pendengarlah yang mengenali makna-makna yang disampaikan lewat inferensi itu. Kesimpulan yang sudah dipilih ialah kesimpulan yang mempertahankan asumsi kerja sama (Yule, 2006:70). Jenis-Jenis implikatur terbagi menjadi (a) implikatur percakapan umum, (b) implikatur berskala, (c) implikatur khusus, dan (d) implikatur konvensional.

a. Implikatur Percakapan Umum

Pada jenis implikatur ini, tidak ada latar belakang pengetahuan khusus dan konteks tuturan yang diminta untuk membuat kesimpulan yang diperlukan.

Contoh:

(1) Santi : “Apakah Anda mengundang Bela dan Andi?” Feni : “Saya mengundang Bela.”

Jika pengetahuan khusus tidak dipersyaratkan untuk memperhitungkan makna tambahan yang disampaikan, seperti pada contoh di atas, maka hal ini disebut implikatur percakapan umum.


(29)

10

b. Implikatur Berskala

Informasi tertentu selalu disampaikan dengan memilih sebuah kata yang menyatakan suatu nilai dari suatu skala nilai. Ini secara khusus tampak jelas dalam istilah-istilah untuk mengungkapkan kuantitas. Seperti istilah semua, sebagian besar, banyak, beberapa, sedikit, selalu, sering, dan kadang-kadang.

Ketika sedang bertutur, seorang penutur memilih kata dari skala itu yang paling informatif dan benar (kualitas dan kuantitas).

Contoh:

(2) A : “Saya sedang belajar ilmu bahasa dan saya telah melengkapi beberapamata pelajaran yang dipersyaratkan.”

Dengan memilih kata beberapa dalam contoh di atas, penutur menciptakan suatu implikatur (tidak semua). Inilah yang disebut sebagai implikatur berskala.

Salah satu ciri yang terlihat pada implikatur berskala ialah apabila penutur mengoreksi diri mereka sendiri tentang beberapa rincian, seperti contoh berikut Contoh:

(3) B : “Saya membeli beberapa dari perhiasan ini di Hongkong. Em..Saya kira sebenarnya saya membeli sebagian besar perhiasan ini di sana.

Dalam tuturan di atas pada awalnya mengatakan beberapa, tetapi ia kemudian mengoreksi dirinya sendiri dengan sebenarnya menyatakan sebagian besar.

c. Implikatur Percakapan Khusus

Pada contoh-contoh sebelumnya, seluruh implikatur telah diperhitungkan tanpa adanya pengetahuan khusus terhadap konteks tertentu. Akan tetapi, seringkali percakapan kita terjadi dalam konteks yang sangat khusus di mana kita mengasumsikan informasi yang kita ketahui secara lokal.


(30)

Contoh:

(4) Riki : “Hei! Apakah kamu akan datang di pesta nanti malam?” Tomi : “Orangtuaku akan mengunjungiku.”

Untuk membuat jawaban Tomi relevan, Riki harus memiliki persediaan sedikit pengetahuan yang diasumsikan bahwa salah satu orang dalam percakapan ini mengharapkan sesuatu hal yang akan dikerjakan. Tomi akan menghabiskan malam itu bersama orangtuanya, dan tentunya Tomi tidak bisa datang ke pesta.

d. Implikatur Konvensional

Kebalikan dari seluruh implikatur percakapan yang dibahas sejauh ini, implikatur konvensional tidak didasarkan pada prinsip kerja sama atau maksim-maksim. Implikatur konvensional tidak harus terjadi dalam percakapan, dan tidak bergantung pada konteks khusus untuk menginterpretasikannya.

Contoh:

(5) Santi : “Denis belum datang ke pesta ini.”

Implikatur konvensional ialah bahwa situasi pada waktu itu diharapkan berbeda, atau mungkin sebaliknya di waktu yang akan datang. Pada contoh di atas penutur menghasilkan suatu implikatur bahwa dia mengharapkan pernyataan „Denis datang ke pesta‟.

2.1.3 Sumbangan Implikatur terhadap Interpretasi

Levinson dalam Rusminto dan Sumarti (2006:67) mengemukakan bahwa setidak-tidaknya terdapat empat sumbangan implikatur percakapan terhadap interpretasi tindak tutur tidak langsung, yakni


(31)

12

a. Implikatur percakapan dapat memberikan penjelasan fungsional yang bermakna terhadap fakta-fakta kebahasaan yang tidak terjangkau oleh teori-teori linguistik formal.

b. Implikatur percakapan dapat memberikan penjelasan eksplisit terhadap adanya perbedaan antara tuturan yang dituturkan secara lahiriah dengan pesan yang dimaksudkan, sementara pesan yang dimaksudkan tersebut dapat saling dimengerti dan dipahami oleh penutur dan mitra tutur, seperti pada contoh percakapan berikut:

(2) A : ”Pukul berapa sekarang?”

B : ”Lima menit lagi acara gosip dimulai.”

Kedua kalimat di atas tidak berkaitan secara konvensional, namun pembicara B sudah mengetahui bahwa jawaban yang disampaikan sudah cukup untuk menjawab pertanyaan pembicara A, sebab dia sudah

mengetahui pukul berapa acara gosip dimulai.

c. Implikatur percakapan dapat menyederhanakan pemerian semantik dari perbedaan antarklausa meskipun klausa-klausa tersebut dihubungkan dengan kata-kata hubung yang sama seperti pada contoh berikut.

(3) Panji bangun tidur dan merapikan tempat tidurnya. (4) Kakak membaca buku dan adik bermain bola.

Meskipun kedua kalimat di atas menggunakan kata hubung yang sama dan, kedua kalimat tersebut memiliki hubungan klausa yang berbeda. Contoh pada kalimat (3), susunannya tidak dapat dibalik, sedangkan pada kalimat (4) dapat dibalik menjadi


(32)

Hubungan klausa kedua kalimat tersebut dapat dijelaskan secara pragmatik dengan menggunakan dua perangkat implikatur yang berbeda, yaitu pada kalimat (3) terdapat hubungan ‟lalu‟, sedangkan pada kalimat (4) terdapat hubungan ‟demikian juga‟.

d. Implikatur percakapan dapat menjelaskan berbagai macam fakta yang secara lahiriah tidak berhubungan dan saling berlawanan. Implikatur percakapan dapat menjelaskan mengapa kalimat pernyataan seperti pada contoh (5) dapat saja bermakna kalimat perintah seperti pada contoh (6).

(5) ”Kotor sekali bajumu.”

(6) ”Banyak kotoran di bajumu, cepat cuci bajumu itu!”

Perlu digarisbawahi adalah bahwa dalam memahami implikatur percakapan, penutur dan mitra tutur harus memiliki pemahaman yang sama tentang kenyataan-kenyataan tertentu yang berlaku dalam kehidupan. Pada contoh percakapan (1), misalnya, untuk dapat memahami implikatur dalam percakapan tersebut diperlukan pemahaman bersama antara penutur dan mitra tutur bahwa di rumah makan mereka dapat mengisi perut yang lapar sebelum melanjutkan perjalanan lagi dan bahwa jarak lima ratus meter bukanlah jarak yang jauh dari perjalanan mereka.

Grice dalam Rusmito dan Sumarti (2006:69) mengemukakan bahwa untuk sampai pada suatu implikatur percakapan, penutur dan mitra tutur harus mengembangkan suatu pola kerja sama yang mengatur hak dan kewajiban penutur dan mitra tutur sehingga terjadi kerja sama yang baik antara penutur dan mitra tutur demi keberlangsungan komunikasi sesuai dengan yang diharapkan . pola kerja sama


(33)

14

tersebut dikenal sebagai prinsip kerja sama. Di samping itu, Grice juga mengingatkan bahwa prinsip kerja sama tersebut perlu dilengkapi dengan prinsip yang lain yang berfungsi untuk menjaga keseimbangan sosial dan keramahan hubungan dalam komunikasi, yakni prinsip sopan santun.

2.2 Prinsip Percakapan

Prinsip percakapan digunakan untuk mengatur supaya percakapan dapat berjalan dengan lancar. Teori yang digunakan untuk mengkaji mengenai prinsip percakapan adalah teori Leech (1983).

Dalam suatu percakapan, seseorang dituntut untuk menguasai kaidah-kaidah percakapan sehingga percakapan dapat berjalan dengan lancar dan baik. Adapun prinsip yang digunakan dalam percakapan adalah prinsip kerjasama (cooverative principle) dan prinsip sopan santun (politness principle).

2.2.1 Prinsip Kerja sama

Dalam berkomunikasi seseorang akan menghadapi kendala-kendala yang mengakibatkan komunikasi tidak berlangsung sesuai dengan yang diharapkan. Supaya proses komunikasi dapat berlangsung dengan lancar, penutur dan mitra tutur harus dapat saling bekerja sama. Prinsip kerja sama mengatur hak dan kewajiban penutur dan mitra tutur sehingga berlangsung komunikasi yang sesuai dengan yang diharapkan, yakni antara penutur dan mitra tutu Prinsip ini berbunyi ”Buatlah sumbangan percakapan anda sedemikian rupa sebagaimana yang diharapkan, berdasarkan tujuan dan arah percakapan yang diikuti”.

Prinsip kerja sama ini meliputi beberapa maksim yang dijelaskan oleh Grice dalam Rahardi, (2005: 53 – 57) yaitu sebagai berikut.


(34)

a. Maksim Kuantitas

Dalam maksim kuantitas ini, seorang penutur diharapkan dapat memberikan informasi yang cukup, relatif memadai, dan seinformatif mungkin. Informasi demikian itu tidak boleh melebihi informasi yang sebenarnya dibutuhkan si mitra tutur. Tuturan yang tidak mengandung informasi yang sungguh-sungguh diperlukan mitra tutur, dapat dikatakan melanggar maksim kuantitas dalam Prinsip Kerja Sama Grice. Sebaliknya apabila tuturan itu mengandung informasi yang berlebihan akan dapat dikatakan melanggar maksim kuantitas.

Contoh:

(1) ”Lihat itu Muhammad Ali mau bertanding lagi!”.

(2) ”Lihat itu Muhammad Ali yang mantan petinju kelas berat itu mau bertanding lagi”.

Keterangan: tuturan 1 dan 2 dituturkan oleh seorang pengagum Muhammad Ali kepada rekannya yang juga mengagumi petinju legendaris itu. Tuturan itu dimunculkan pada waktu mereka bersama-sama melihat salah satu acara tinju di televisi.

Tuturan (1) di atas merupakan tuturan yang sudah jelas dan sangat informatif isinya. Karena tanpa harus ditambah dengan informasi lain, tuturan itu sudah dapat dipahami maksudnya dengan jelas. Sedangkan pada tuturan (2) penambahan informasi tersebut malah justru menyebabkan tuturan menjadi berlebihan dan terlalu panjang, tuturan semacam ini melanggar Prinsip Kerja Sama Grice.


(35)

16

b. Maksim Kualitas (The Maxim Of Quality)

Dengan maksim kualitas, seorang peserta tutur diharapkan dapat menyampaikan sesuatu yang nyata dan sesuai fakta sebenarnya di dalam bertutur. Fakta itu harus didukung dan didasarkan pada bukti-bukti yang jelas.

Contoh

(3) “Silakan menyontek saja biar nanti saya mudah menilainya!” (4) ”Jangan menyontek, nilai bisa E nanti!”

Keterangan: tuturan 3 dan 4 dituturkan oleh dosen kepada mahasiswanya di dalam ruang ujian pada saat ia melihat ada seorang mahasiswa yang sedang berusaha melakukan penyontekan.

Tuturan 4 jelas lebih memungkinkan terjadinya kerja sama antara penutur dengan mitra tutur. Tuturan 3 dikatakan melanggar maksim kualitas karena penutur mengatakan sesutu yang sebenarnya tidak sesuai dengan yang harus dilakukan oleh seseorang.

Dalam komunikasi sebenarnya, penutur dan mitra tutur sangat lazim menggunakan tuturan dengan maksud yang tidak senyatanya dan tidak disertai dengan bukti-bukti yang jelas. Bertutur yang terlalu langsung dan tanpa basa-basi dengan disertai bukti yang jelas dan apa adanya justru akan membuat tuturan menjadi kasar dan tidak sopan. Dengan kata lain, untuk bertutur yang santun maksim kualitas ini seringkali tidak dipatuhi dan tidak dipenuhi.

c. Maksim Relevansi (The Maxim of Relevance)

Dalam maksim relevansi, dinyatakan bahwa agar terjalin kerja sama yang baik antara penutur dan mitra tutur, masing-masing hendaknya dapat memberikan kontribusi yang relevan tentang sesuatu yang sedang dipertuturkan itu. Bertutur


(36)

dengan tidak memberikan kontribusi yang demikian, dianggap tidak mematuhi dan melangar prinsip kerja sama.

Contoh

(5) Direktur : ”Bawa kesini semua berkasnya akan saya tanda tangani!”

(6) Sekretaris : ”Maaf Bu, kasihan sekali nenek tua itu.”

Keterangan : dituturkan oleh direktur kepada sekretarisnya pada saat mereka bersama-sama bekerja di sebuah ruang kerja direktur. Pada saat itu, ada juga nenek tua yang sudah lama menunggu.

d. Maksim Pelaksanaan ( The maxim of manner)

Maksim pelaksanaan ini mengharuskan peserta pertuturan bertutur secara langsung, jelas, dan tidak kabur.

Contoh

(7) “Ayo cepat dibuka!”

(8) “Sebentar dulu, masih dingin.”

Keterangan : Dituturkan oleh seorang kakak kepada adik perempuannya.

Tuturan di atas memiliki kadar kejelasan yang rendah. Karena berkadar kejelasan yang rendah dengan sendirinya kadar kekaburannya menjadi sangat tinggi. Tuturan si penutur (7) yang berbunyi ”Ayo, cepat dibuka!” sama sekali tidak memberikan kejelasan tentang apa yang sebenarnya diminta oleh si mitra tutur. Kata dibuka dalam tuturan di atas mengandung kadar ketaksaan dan kekaburan yang sangat tinggi. Oleh karenanya, maknanya pun menjadi sangat kabur. Dapat dikatakan demikian, karena kata itu dimungkinkan untuk ditafsirkan bermacam-macam, demikian pula tuturan yang disampaikan mitra tutur (8) yakni ”Sebentar


(37)

18

dulu, masih dingin.” mengandung kadar ketaksaan cukup tinggi juga. Kata dingin pada tuturan itu dapat banyak mendatangkan kemungkinan persepsi penafsiran karena di dalam tuturan itu tidak jelas apa sebenarnya yang masih dingin itu. Tuturan–tuturan demikian dapat dikatakan melanggar prinsip kerja sama karena tidak mematuhi maksim pelaksanaan dalam prinsip kerja sama Grice.

2.2.2 Prinsip Kesantunan

Dalam kajian tindak tutur meminta seseorang harus menaati prinsip sopan santun, tujuannya agar terhindar dari kemacetan komunikasi, hal yang dimaksud adalah ketika kita berbicara dengan seseorang dan ingin memperlihatkan kesopan santunan kepada mitra tutur, tentu prinsip ini sangat dibutuhkan. Prinsip sopan santun juga menjaga keseimbangan sosial dan keramahan hubungan dalam percakapan tersebut. Hanya dengan hubungan yang demikian kita dapat mengharapkan bahwa keberlangsungan percakapan akan dapat dipertahankan (Leech, 1983:82). Di samping itu, kehadiran prinsip sopan santun ini diperlukan untuk menjelaskan dua hal berikut

(1) mengapa orang sering menggunakan cara yang tidak langsung (indirect speech acts) untuk menyampaikan pesan yang mereka maksudkan, dan (2) hubungan antara arti (dalam semantik konvensional) dengan maksud atau

nilai (dalam pragmatik situasional) dalam kalimat-kalimat yang bukan pernyataan (non-declarative).

Karena dua hal tersebut prinsip sopan santun tidak dianggap hanya sebagai prinsip yang sekadar pelengkap, tetapi lebih dari itu, prinsip sopan santun merupakan prinsip percakapan yang memiliki kedudukan yang sama dengan prinsip percakapan yang lain. (Rusminto dan Sumarti, 2006: 83-84 )


(38)

Berikut maksim-maksim dalam prinsip kesantunan menurut Leech. 1) Maksim Kebijaksanaan

“Kurangi kerugian orang lain.” “Tambahi keuntungan orang lain.” 2) Maksim Kedermawanan

“Kurangi keuntungan diri sendiri.” “Tambahi pengorbanan diri sendiri.” 3) Maksim Penghargaan

“Kurangi cacian pada orang lain.” “Tambahi pujian pada orang lain.” 4) Maksim Kesederhanaan

“Kurangi pujian pada diri sendiri.” “Tambahi cacian pada diri sendiri.” 5) Maksim Kesepakatan

“Kurangi ketidaksesuaian antara diri sendiri dengan orang lain.” “Tingkatkan persesuaian antara diri sendiri dengan orang lain.” 6) Maksim Simpati

“Kurangi antipati antara diri sendiri dengan orang lain.” “Perbesar simpati antara diri sendiri dengan orang lain.”

a. Maksim Kebijaksanaan (Tact Maxim)

Gagasan dasar maksim kebijaksanaan dalam prinsip kesantunan adalah bahwa para peserta pertuturan hendaknya berpegang pada prinsip untuk selalu mengurangi keuntungan dirinya sendiri dan memaksimalkan keuntungan pihak lain dalam kegiatan bertutur. Orang bertutur yang berpegang dan melaksanakan maksim kebijaksanaan akan dapat dikatakan sebagai orang santun.

Dengan perkataan lain, menurut maksim ini, kesantunan dalam bertutur dapat dilakukan apabila maksim kebijaksanaan dilaksanakan dengan baik.

Contoh

(1) Tuan rumah : ”Silakan makan saja dulu, nak!” Tamu : ”Wah, saya jadi tidak enak, Bu.”


(39)

20

Keterangan: dituturkan oleh seorang ibu kepada seorang anak muda yang sedang bertamu di rumah ibu tersebut. Pada saat itu, ia harus berada di rumah ibu tersebut sampai malam karena hujan sangat deras dan tidak segera reda.

Dalam tuturan di atas sangat jelas bahwa apa yang dituturkan si tuan rumah sungguh memaksimalkan keuntungan bagi sang tamu. Lazimnya, tuturan semacam itu dapat ditemukan dalam keluarga-keluarga pada masyarakat tutur desa. Orang-orang desa biasanya sangat menghargai tamu, baik tamu yang datangnya secara kebetulan maupun tamu yang sudah direncanakan terlebih dahulu kedatangannya.

b. Maksim Kedermawanan (Generosity Maxim)

Dengan maksim kedermawanan atau maksim kemurahan hati, para peserta pertuturan diharapkan dapat menghormati orang lain. Penghormatan terhadap orang lain akan terjadi apabila orang dapat mengurangi keuntungan bagi dirinya sendiri dan memaksimalkan keuntungan bagi pihak lain.

Contoh

(2) Anak kost A : “Mari saya cucikan baju kotormu! Pakaianku tidak banyak yang kotor.”

Anak kost B : ”Tidak usah, Mbak. Nanti siang saya akan mencuci juga kok.”

Keterangan : tuturan ini merupakan cuplikan pembicaraan antaranak kost pada sebuah rumah kost di Yogyakarta. Anak yang satu berhubungan demikian erat dengan anak yang satunya.

Dari tuturan yang disampaikan si A, dapat dilihat dengan jelas bahwa ia berusaha memaksimalkan keuntungan pihak lain dengan cara menambahkan beban bagi dirinya sendiri.


(40)

c. Maksim Penghargaan

Dalam maksim penghargaan dijelaskan bahwa orang akan dapat dianggap santun apabila dalam bertutur selalu berusaha memberikan penghargaan kepada pihak lain. Dengan maksim ini, diharapkan agar para peserta petuturan tidak saling mengejek, saling mencaci, atau saling merendahkan pihak yang lain. Peserta tutur yang sering mengejek peserta tutur lain di dalam kegiatan bertutur akan dikatakan sebagai orang yang tidak sopan.

Contoh

(3) Dosen A : ”Pak, aku tadi sudah memulai kuliah perdana untuk kelas Business English.”

Dosen B : ”Oya, tadi aku mendengar bahasa Inggrismu jelas sekali dari sini.”

Keterangan: Dituturkan oleh seorang dosen kepada temannya yang juga seorang dosen dalam ruang kerja dosen pada perguruan tinggi.

Pemberitahuan yang disampaikan dosen A terhadap rekannya dosen B pada contoh di atas, ditanggapi dengan sangat baik bahkan disertai dengan pujian atau penghargaan oleh dosen A.

d. Maksim Kesederhanaan

Dalam maksim kesederhanaan atau maksim kerendahan hati, peserta tutur diharapkan dapat bersikap rendah hati dengan cara mengurangi pujian terhadap dirinya sendiri.

Contoh

(4) Sekretaris A : ”Dik, nanti rapatnya dibuka dengan doa dulu, ya! Anda yang memimpin!”


(41)

22

Keterangan : Dituturkan oleh seorang sekretaris kepada sekretaris lain yang masih junior pada saat mereka bersama-sama bekerja di ruang kerja mereka.

e. Maksim Pemufakatan (Agreement Maxim)

Maksim pemufakatan ini seringkali disebut dengan maksim kecocokan (Wijana, 1996: 59). Di dalam maksim ini, ditekankan agar para peserta tutur dapat saling membina kecocokan atau pemufakatan di dalam kegiatan bertutur. Apabila terdapat kemufakatan atau kecocokan antara diri penutur dan mitra tutur dalam kegiatan bertutur, masing-masing dari mereka akan dapat dikatakan bersikap santun.

Contoh

(5) Noni : “Nanti malam kita makan bersama ya, Yun!” Yuyun : ”Boleh, Saya tunggu di Rumah Kayu.”

Keterangan: dituturkan oleh seorang mahasiswa kepada temannya yang juga mahasiswa pada saat mereka sedang berada di sebuah ruang kelas.

f. Maksim Kesimpatisan (Sympath Maxim)

Dalam maksim kesimpatisan, diharapkan agar para peserta tutur dapat memaksimalkan sikap simpati antara pihak yang satu dengan pihak lainnya. Sikap antipati terhadap salah seorang peserta tutur akan dianggap sebagai tindakan tidak santun.

Contoh

(6) Ani : ”Tut, nenekku meninggal dunia.”

Tuti : ”Innalillahiwainnailaihi rojiun, turut berduka cita.”

Keterangan : Dituturkan oleh seorang karyawan kepada karyawan lain yang sudah berhubungan erat pada saat mereka berada di ruang kerja mereka.”


(42)

2.3 Tindak Tutur

Tindak tutur merupakan analisis pragmatik, yaitu cabang ilmu bahasa yang mengaji bahasa dari aspek pemakaian aktualnya. Leech (1983:5-6) menyatakan bahwa pragmatik mempelajari maksud ujaran (yaitu untuk apa ujaran itu dilakukan); menanyakan apa yang seseorang maksudkan dengan suatu tindak tutur; dan mengaitkan makna dengan siapa berbicara kepada siapa, di mana, bilamana, dan bagaimana.

2.3.1 Hakikat Tindak Tutur

Austin dalam buku berjudul how To Do Things with Words tahun 1962, pertama kali mengemukakan istilah tindak tutur (speech act). Austin mengemukakan bahwa aktivitas bertutur tidak hanya terbatas pada penuturan sesuatu, tetapi juga melakukan sesuatu atas dasar tuturan tersebut. Pendapat Austin didukung oleh Searle (2001) dalam Rusminto dan Sumarti (2006:70) dengan mengatakan bahwa unit terkecil komunikasi bukanlah kalimat, melainkan tindakan tertentu, seperti membuat pernyataan, pertanyaan, perintah, dan permintaan.

Searle (2001) dalam Rusminto dan Sumarti (2006:70) menyatakan bahwa tindak tutur adalah teori yang mencoba mengaji makna bahasa yang didasarkan pada hubungan tuturan dengan tindakan yang dilakukan oleh penuturnya. Kajian tersebut didasarkan pada pandangan bahwa tuturan merupakan sarana utama komunikasi dan tuturan baru memiliki makna jika direalisasikan dalam tindak komunikasi yang nyata, misalnya membuat pernyataan, pertanyaan, perintah dan permintaan. Dengan demikian, tindakan merupakan karakteristik tuturan dalam komunikasi. Diasumsikan bahwa dalam merealisasikan tuturan atau wacana,


(43)

24

seseorang berbuat sesuatu, yaitu performansi tindakan. Tuturan yang berupa performansi tindakan ini disebut sebagai tuturan performatif, yakni tuturan yang dimaksudkan untuk melakukan suatu tindakan.

2.3.2 Jenis-Jenis Tindak Tutur

Berkenaan dengan tuturan, Austin dalam Rusminto dan Sumarti (2006:71) mengklasifikasikan tindak tutur atas tiga klasifikasi, yaitu

a. tindak lokusi (locutionary acts) b. tindak ilokusi (illocutionary acts) c. tindak perlokusi (perlocutionary acts)

a. Tindak Lokusi (Locutionary Act)

Tindak lokusi (locutionary act) ialah tindak proposisi yang berada pada kategori mengatakan sesuatu (the act of saying something). Oleh karena itu, yang diutamakan dalam tindak lokusi ini adalah sisi tuturan yang diungkapkan oleh penutur. Wujud tindak lokusi adalah tuturan-tuturan yang berisi pernyataan atau informasi tentang sesuatu. Contoh tindak lokusi

(1) Febry melukis wajah presiden. (2) Aril membaca komik kesukaannya.

Kedua kalimat di atas diutarakan oleh penuturnya semata-mata untuk menginformasikan sesuatu tanpa ada tendensi untuk melakukan sesuatu, apalagi untuk mempengaruhi lawan tuturnya. Tindak lokusi merupakan tindakan yang paling mudah diindentifikasi karena dalam pengidentifikasian tindak lokusi tidak memperhitungkan konteks tuturannya.


(44)

b. Tindak Ilokusi ( Illocutionary Acts)

Tindak ilokusi adalah tindak tutur yang mengandung daya untuk melakukan tindakan tertentu dalam hubungannya dengan mengatakan sesuatu.

Moore dalam Rusminto dan Sumarti (2006:71) menyatakan bahwa tindak ilokusi merupakan tindak tutur yang sesungguhnya diperformasikan oleh tuturan, seperti janji, sambutan, dan peringatan.

Mengidentifikasikan tindak ilokusi lebih sulit dibandingkan dengan tindak lokusi sebab pengidentifikasian tindak ilokusi harus mempertimbangkan penutur dan mitra tuturnya, kapan dan di mana tuturan terjadi, serta saluran apa yang digunakan. Oleh karena itu, tindak ilokusi merupakan bagian penting dalam memahami tindak tutur. Wujud tindakan tersebut dapat berupa membuat janji, mendeskripsikan, dan sebagainya.

Searle dalam Rusminto dan Sumarti (2006:73) mengklasifikasikan tindak ilokusi menjadi lima jenis tindak tutur seperti diuraikan berikut ini.

1. Asertif (Assertive)

Asertif (assertive) ialah tindak tutur yang menjelaskan apa dan bagaimana sesuatu itu adanya, misalnya menyatakan, mengusulkan, membual, mengeluh, mengemukakan pendapat, melaporkan. Ilokusi asertif terlihat pada contoh berikut (1) Kakiku terluka.

Kalimat kakiku terluka berupa pernyataan untuk memberitahukan mitra tutur bahwa saat dimunculkannya tuturannya itu kaki penutur sedang dalam terluka.


(45)

26

2. Direktif (Directive)

Direktif (directive) ialah tindak tutur yang mendorong mitra tutur melakukan sesuatu seperti memesan, memerintah, meminta, merekomendasikan, memberi nasihat. Ilokusi direktif terlihat pada contoh berikut

(2) Ma, belikan permen!

Kalimat Ma, belikan permen berupa direktif meminta, pada tuturan di atas penutur menghendaki mitra tutur menghasilkan suatu tindakan berupa membelikan penutur permen.

3. Komisif (Commisive)

Komisif (commisive) ialah tindak tutur yang penuturnya terikat pada suatu tindakan di masa depan, misalnya menjanjikan, menawarkan.

Ilokusi komisif terlihat pada contoh berikut

(3) Bagaimana kalau besok kita makan malam bersama?

Kalimat Bagaimana kalau besok kita makan malam bersama? Berupa komisif menawarkan, tuturan yang berupa tawaran untuk makan malam bersama. Pada kalimat tersebut penutur terikat pada suatu tindakan di masa yang akan datang berupa tawaran untuk makan malam bersama.

4. Ekspresif (Expressive)

Ekspresif (expressive) ialah tindak tutur yang berfungsi untuk mengungkapkan sikap pisikologis penutur terhadap keadaan yang tersirat dalam ilokusi misalnya, mengucapkan terima kasih, memberi maaf, mengecam, berbela sungkawa. Ilokusi ekspresif terlihat pada contoh berikut


(46)

Kalimat Aku turut berduka cita atas meninggalnya kakekmu berupa ilokusi ekspresif, yang mengungkapkan sikap psikologis penutur terhadap keadaan yang tersirat dalam ilokusi. Ungkapan berduka cita yang disampaikan oleh penutur kepada mitra tutur atas meninggalnya anggota keluarga mitra tutur.

5. Deklaratif (Declaration)

Deklaratif (declaration) ialah ilokusi yang digunakan untuk memastikan kesesuaian antara isi proposisi dengan kenyataan, misalnya memecat, memberi nama, menjatuhkan hukuman, mengangkat. Ilokusi deklaratif terlihat pada contoh berikut

(5) Kamu diskors selama satu minggu karena kamu sering berkelahi di sekolah!

Kalimat Kamu diskors selama satu minggu karena kamu sering berkelahi di sekolah berupa ilokusi deklaratif, yakni ilokusi yang digunakan untuk memastikan kesesuaian antara isi proposisi dengan kenyataan. Kalimat ini berupa pemberian hukuman yang disampaikan oleh kepala sekolah pada salah satu muridnya.

Wijana (1996:4) menjelaskan bahwa tindak tutur ilokusi dapat dibedakan menjadi tindak tutur langsung dan tindak tutur tindak langsung, dan tindak tutur literal dan tidak literal.

Secara formal berdasarkan modusnya, kalimat dibedakan menjadi kalimat berita (deklaratif), kalimat tanya (interogatif) dan kalimat perintah (imperatif). Secara konvensional kalimat berita (deklaratif) digunakan untuk memberitahukan sesuatu (informasi); kalimat tanya untuk menanyakan sesuatu, dan kalimat perintah untuk


(47)

28

menyatakan perintah, ajakan, permintaaan atau permohonan. Apabila kalimat berita difungsikan secara konvensional untuk mengadakan sesuatu, kalimat tanya untuk bertanya dan kalimat perintah untuk menyuruh, mengajak memohon dan sebagainya, maka akan terbentuk tindak tutur langsung (direct speech). Sebagai contoh : Yuli merawat ayahnya. Siapa orang itu? Ambilkan buku saya! Ketiga kalimat tersebut merupakan tindak tutur langsung berupa kalimat berita, tanya, dan perintah.

Tindak tutur tak langsung (indirect speech act) ialah tindak tutur untuk memerintah seseorang melakukan sesuatu secara tidak langsung. Tindakan ini dilakukan dengan memanfaatkan kalimat berita atau kalimat tanya agar orang yang diperintah tidak merasa dirinya diperintah. Misalnya seorang ibu menyuruh anaknya mengambil sapu, diungkapkan dengan ”Upik, sapunya di mana?” Kalimat tersebut selain untuk bertanya sekaligus memerintah anaknya untuk mengambilkan sapu.

Tindak tutur literal (literal speech act) adalah tindak tutur yang dimaksudnya sama dengan makna kata-kata yang menyusunnya. Sedangkan tindak tutur tidak literal (nonliteral speech act) adalah tindak tutur yang dimaksudnya tidak sama dengan atau berlawanan dengan kata-kata yang menyusunnya. Sebagai contoh dapat dilihat kalimat berikut.

(6)Penyanyi itu suaranya bagus.

(7) Suaramu bagus (tapi kamu tidak usah menyanyi)

Kalimat (6) jika diutarakan dengan maksud untuk memuji atau mengagumi suara penyanyi yang dibicarakan, maka kalimat itu merupakan tindak tutur literal,


(48)

sedangkan kalimat (7) penutur bermaksud mengatakan bahwa suara lawan tuturnya jelek, yaitu dengan mengatakan “Tak usah menyanyi”. Tindak tutur pada kalimat (7) merupakan tindak tutur tak literal.

c. Tindak Perlokusi (Perlocutionary Act)

Tindak perlokusi ialah efek atau dampak yang ditimbulkan oleh tuturan terhadap mitra tutur sehingga mitra tutur melakukan tindakan berdasarkan isi tuturan. Levinson (1995) dalam Rusminto dan Sumarti (2006:71) menyatakan bahwa tindak perlokusi lebih mementingkan hasil, sebab tindak ini dikatakan berhasil jika mitra tutur melakukan sesuatu yang diinginkan oleh penutur. Tindak perlokusi disebut sebagai The Act of Affecting Someone. Sebuah tuturan yang diutarakan seseorang mempunyai daya pengaruh (perlocutionary force) atau efek bagi yang mendengarnya. Efek yang timbul ini bisa sengaja maupun tidak se-ngaja. Sebagai contoh dapat dilihat pada kalimat berikut:

(1) Kemarin ayahku sakit. (2) Samin bebas SPP.

Kalimat (1) jika diucapkan oleh seseorang yang tidak dapat menghadiri undangan temannya, maka ilokusinya adalah untuk meminta maaf, dan perlokusinva adalah agar orang yang mengundangnya harap maklum. Sedangkan kalimat (2) jika diucapkan seorang guru kepada murid-muridnya, maka ilokusinya adalah meminta agar temannya tidak iri, dan perlokusinya adalah agar teman-temannya memaklumi keadaan ekonomi orang tua Samin. Tindak perlokusi juga sulit dideteksi, karena harus melibatkan konteks tuturnya.


(49)

30

2.3.3 Tindak Tutur Langsung dan Tidak Langsung

Apabila tindak tutur langsung dan tak langsung diinteraksikan dengan tindak tutur literal dan tak literal, maka akan tercipta tindak tutur sebagai berikut

a. Tindak Tutur Langsung Literal (Direct Literal Speech Act)

Tindak tutur langsung literal ialah tindak tutur yang diutarakan dengan modus tuturan dan makna yang sama dengan maksud pengutaraannya. Maksud memerintah disampaikan dengan kalimat perintah, memberitakan dengan kalimat berita, dan menanyakan sesuatu dengan kalimat tanya. Misalnya,

(8) ”Ambilkan buku itu!”

(9) ”Kusuma gadis yang cantik” (10) ”Berapa saudaramu, Mad?”

b. Tindak Tutur Tidak Langsung Literal (Indirect Literal Speech Act)

Tindak tutur tidak langsung literal adalah tindak tutur yang diungkapkan dengan modus kalimat yang tidak sesuai dengan maksud pengutaraannya, tetapi makna kata-kata yang menyusunnya sesuai dengan apa yang dimaksudkan oleh penutur. Misalnya : “Lantainya kotor.” Kalimat itu jika diucapkan seorang ayah kepada anaknya bukan saja menginformasikan, tetapi sekaligus menyuruh untuk membersihkannya.

c. Tindak Tutur Langsung Tidak Literal (Direct Nonliteral Speech)

Tindak tutur langsung tidak literal adalah tindak tutur yang diutarakan dengan modus kalimat yang sesuai dengan maksud dan tuturan, tetapi kata-kata yang menyusunnya tidak memiliki makna yang sama dengan maksud penuturnya. Misalnya : “Sepedamu bagus, kok.” Penuturnya sebenarnya ingin mengatakan bahwa sepeda lawan tuturnya jelek.


(50)

d. Tindak Tutur Tidak Langsung Tidak Literal (Indirect Nonliteral Speech Act) Tindak tutur tidak langsung tidak literal (indirect nonliteral speech act) adalah tindak tutur yang diutarakan dengan modus kalimat yang tidak sesuai dengan maksud yang ingin diutarakan. Untuk menyuruh seorang pembantu menyapu lantai kotor, seorang majikan dapat saja mengutarakannya dengan kalimat “Lantainya bersih sekali, Mbok”.

2.3.4 Pemanfaatan Konteks dalam Tindak Tutur

Sebuah tindak tutur tidak akan pernah lepas dari konteks yang melatarinya, tuturan akan lebih bermakna jika dilibatkan dengan konteks yang melatarinya. Dalam hal ini pembahasan konteks menggunakan teori Hymes, Schiffrin, dan Grice. Sebuah peristiwa tutur juga selalu terjadi dalam konteks tertentu. Artinya, peristiwa tutur tertentu selalu terjadi pada waktu tertentu, untuk tujuan tertentu, dan sebagainya. Oleh karena itu, analisis terhadap peristiwa tutur tersebut sama sekali tidak dapat dilepaskan dari konteks yang melatarinya.

Konteks merupakan sebuah dunia yang diisi orang-orang yang memproduksi tuturan-tuturan. Orang-orang yang memiliki komunitas sosial, kebudayaan, identitas pribadi, pengetahuan, kepercayaan, tujuan, dan keinginan, dan yang berinteraksi satu dengan yang lain dalam berbagai macam situasi baik yang bersifat sosial maupun budaya. Konteks adalah alam di luar bahasa yang menumbuhkan makna pada ujaran atau wacana; lingkungan nonlinguis dari wacana (Kridalaksana, 1984:108). Konteks juga diartikan sebagai aspek-aspek yang erat dengan lingkungan fisik dan sosial sebuah tuturan, jadi konteks merupakan suatu pengetahuan latar belakang yang sama-sama dimilik oleh


(51)

32

penutur dan mitra tutur, serta membantu mitra tutur untuk menafsirkan makna tuturan yang disampaikan oleh penutur (Leech, 1983:20).

Konteks tidak saja berkenaan dengan pengetahuan, tetapi merupakan suatu rangkaian lingkungan di mana tuturan dimunculkan dan diinterpretasikan sebagai realisasi yang didasarkan pada aturan-aturan yang berlaku dalam masyarakat pemakai bahasa. Dilain pihak Grice dalam Rusminto dan Sumarti (2006:54) menyatakan, konteks adalah latar belakang pengetahuan yang sama-sama dimiliki oleh penutur dan mitra tutur untuk memperhitungkan implikasi tuturan dan memaknai arti tuturan dari si penutur. Pandangan ini didasari oleh adanya prinsip kerja sama, yakni situasi yang menunjukkan bahwa penutur dan mitra tutur menganggap satu sama lain sudah saling percaya dan saling memikirkan. Penutur dan mitra tutur berusaha memberikan kontribusi percakapan sesuai dengan yang diharapkan dengan cara menerima maksud atau arah percakapan yang diikuti.

Dalam setiap peristiwa tutur selalu terdapat unsur-unsur yang melatarbelakangi terjadinya komunikasi antara penutur dan mitra tutur. Unsur-unsur tersebut sering juga disebut sebagai ciri-ciri konteks meliputi segala sesuatu yang berada di sekitar penutur dan mitra tutur ketika peristiwa tutur sedang berlangsung.

Unsur-unsur konteks mencakup berbagai komponen yang disebut dengan akronim SPEAKING. Akronim ini dapat diuraikan sebagai berikut

1. Setting, yang meliputi waktu, tempat, atau kondisi fisik lain yang berada di sekitar tempat terjadinya peristiwa tutur.

2. Participants, yang meliputi penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam peristiwa tutur.


(52)

3. Ends, yaitu tujuan atau hasil, yang diharapkan dapat dicapai dalam peristiwa tutur yang sedang terjadi

4. Act sequences, yaitu bentuk dan isi pesan yang ingin disampaikan.

5. Instrumentalities, yaitu saluran yang digunakan dan bentuk tuturan yang dipakai oleh penutur dan mitra tutur.

6. Keys, yaitu cara berkenaan dengan sesuatu yang harus dikatakan oleh penutur .

7. Norms, yaitu norma-norma yang digunakan dalam interaksi yang sedang berlangsung

8. Genres, yaitu register khusus yang dipakai dalam peristiwa tutur.

2.3.5 Peran Mitra Tutur dalam Tindak Tutur

Mitra tutur memegang peranan yang sangat penting dalam sebuah percakapan, perbedaan status hubungan guru dan mitra tutur sangat berpengaruh terhadap strategi yang digunakan oleh sang guru dalam bertutur. Teori yang digunakan untuk mengkaji mengenai peranan mitra tutur dalam sebuah percakapan ialah teori Leech (1983). Teori ini digunakan untuk membahas tentang skala yang berhubungan dengan prinsip sopan santun.

Jarak sosial antara penutur dan mitra tutur bisa dilihat dari tingkat keakraban hubungan antara penutur dan mitra tutur. Semakin dekat hubungan antara penutur dan mitra tutur akan membuat keakraban hubungan menjadi sangat dekat. Sebaliknya, hubungan yang jauh antara penutur dan mitra tutur akan membuat keakraban hubungan menjadi sangat jauh.


(53)

34

Mitra tutur dengan klasifikasi hubungan dekat di sekolah meliputi semua warga sekolah (guru, siswa, penjaga sekolah, dan lainnya) yang sering bertemu dengan guru. Peran mitra tutur sangat penting dan berpengaruh pada percakapan yang berlangsung baik secara langsung maupun tidak langsung.


(54)

III. METODE PENELITIAN

3.1 Metode Deskriptif

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan bentuk implikatur percakapan dalam proses pembelajaran olahraga pada siswa kelas XI SMA Negeri 2 Bandarlampung. Dengan demikian, untuk mencapai tujuan tersebut digunakan metode deskriptif kualitatif. Metode penelitian deskriptif kualitatif merupakan suatu bentuk penelitian yang ditujukan untuk mendeskripsikan fenomena-fenomena yang ada, baik fenomena-fenomena alamiah maupun fenomena-fenomena buatan manusia. Fenomena itu bisa berupa bentuk, aktivitas, karakteristik, perubahan, hubungan, kesamaan, dan perbedaan antara fenomena yang satu dengan yang lainnya (Black dan Champion, 1999: 53).

3.2 Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini ialah guru olahraga dan siswa kelas SMA Negeri 2 Bandarlampung. Data dalam penelitian ini berupa implikatur percakapan dalam proses pembelajaran olahraga yang dilakukan oleh sumber data penelitian yang dilengkapi dengan konteks yang melatari percakapan tersebut. Data diperoleh dari percakapan yang dilakukan oleh sumber data dalam percakapan di di lapangan.


(55)

36

3.3 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data adalah tahap mengumpulkan data. Data yang dimaksud adalah fenomena khusus yang berkaitan langsung dengan hal yang diteliti. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut.

a. Teknik simak bebas libat cakap, di mana peneliti tidak terlibat dalam percakapan atau hanya menyimak saja (Sudaryanto dalam Mahsun , 2007: 63).

b. Teknik catatan lapangan, teknik ini digunakan untuk mencatat implikatur yang digunakan sumber data dalam tuturan. Ketika subjek penelitian melakukan percakapan, penulis mencatat isi percakapan tersebut. Catatan tersebut berupa catatan deskriptif dan reflektif. Catatan deskriptif berupa catatan tentang semua implikatur percakapan yang dituturkan sumber data, serta konteks yang melatarinya. Dan catatan reflektif adalah

interpretasi/penafsiran peneliti terhadap tuturan tersebut. Cara ini dilakukan terutama ketika peneliti sedang tidak terlibat di dalam

percakapan tersebut atau ketika mengamati dari jarak yang tidak terlalu dekat (Moleong, 2011: 211).

c. Teknik rekam, teknik ini berupa penjaringan data dengan merekam penggunaan bahasa. Rekaman tersebut dapat dilakukan dengan alat perekam seperti tape recorder, handycam, dll. Data yang direkam adalah data yang berbentuk data lisan (Kesuma, 2007:45).

3.4 Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis data heuristik. Teknik analisis ini merupakan teknik yang berisi identifikasi daya


(56)

pragmatik sebuah tuturan dengan merumuskan hipotesis-hipotesis dan kemudian mengujinya berdasarkan data-data yang tersedia. Bila hipotesis tidak teruji, maka akan dibuat hipotesis yang baru. Seluruh proses ini, terus berulang sampai

akhirnya tercapai suatu pemecahan (berupa hipotesis yang teruji kebenarannya, yaitu hipotesis yang tidak bertentangan dengan evidensi yang ada) Leech (1983:61).

Berikut contoh analisis heuristik.

1. Permasalahan (Interpretasi tuturan) “Kalian sudah mengobrolnya?”

2. Hipotesis

1) Guru hanya bertanya kepada siswa yang sedang mengobrol.

2) Guru memberikan sindiran kepada siswa.

3) Guru menyuruh siswa untuk berhenti mengobrol.

3. Pemeriksaan

1) Guru menuturkan saat proses pembelajaran berlangsung. 2) Pembelajaran terjadi di kelas.

3) Siswa sedang mengobrol ketika pembelajaran berlangsung.

4) Guru sedang menjelaskan materi pembelajaran.

Pengujian 3 berhasil Pengujian 1 dan 2 gagal


(57)

38

Contoh tuturan di atas merupakan jenis kalimat tanya. Setelah dianalisis menggunakan teknik analisis data heuristik, tuturan “Kalian sudah selesai mengobrolnya?” memiliki tiga hipotesis, kemudian ketiga hipotesis tersebut diuji berdasarkan fakta dan konteks yang ada di tempat kejadian peristiwa tutur. Setelah diuji hipotesis 1 dan 2 gagal, sedangkan hipotesis 3 berhasil. Dari hasil analisis hipotesis tersebut, dapat disimpulkan bahwa jenis tuturan tersebut merupakan implikatur dengan modus bertanya.

3.5 Langkah-Langkah Analisis Data

Pelaksanaan analisis data dilakukan dalam dua tahapan, yaitu (1) analisis selama pengumpulan data, dan (2) analisis sesudah pengumpulan data. Analisis selama pengumpulan data dilakukan bersama-sama dengan pelaksanaan pengumpulan data. Data yang terkumpul dianalisis sesegera mungkin agar diperoleh informasi yang benar-benar mencerminkan kenyataan yang sebenarnya. Analisis sesudah pengumpulan data dilakukan setelah semua data yang diperlukan terkumpul (Rusminto, 2010:13).

Analisis data ditempuh dengan tahap-tahap sebagai berikut.

a. Peneliti melakukan kegiatan pereduksian data, yakni membaca dan memahami data kajian implikatur dalam pembelajaran olahraga beserta konteksnya, penutur dan mitra tutur, serta aktivitas komunikasinya untuk dipilih, disederhanakan, dan dikategorikan sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan. Secara teknis, langkah ini dilakukan dengan memberikan tanda-tanda terhadap data yang berkaitan dengan tujuan kajian.


(58)

b. Peneliti melakukan penyajian data, yaitu mengorganisasikan data sesuai dengan tujuan kajian yang telah ditetapkan. Secara teknis, langkah ini dilakukan dengan memberikan tanda-tanda terhadap data yang berkaitan dengan tujuan kajian yang telah ditetapkan. Secara teknis, langkah ini berupa kegiatan identifikasi dan klasifikasi data kajian yang meliputi data tentang bentuk verbal tuturan, pertimbangan aspek mitra tutur, dan pendayagunaan konteks.

c. Berdasarkan hasil identifikasi dan klasifikasi tersebut, peneliti melakukan kegiatan penarikan simpulan sementara dengan cara menafsirkan secara utuh dan terpadu seluruh data yang tersedia.

d. Langkah selanjutnya, peneliti melakukan kegiatan verifikasi dan triangulasi untuk memeriksa keabsahan data dan kajian. Langkah ini ditempuh untuk memperoleh simpulan akhir yang dapat dipertanggungjawabkan.


(59)

116

V. SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian mengenai implikatur percakapan dalam pembelajaran olahraga SMA Negeri 2 Bandar Lampung disimpulkan sebagai berikut.

1. Jenis tuturan yang digunakan dalam berimplikatur oleh siswa dan guru olahraga menunjukkan bahwa kedekatan hubungan emosional antara keduanya sangat berperan untuk menimbulkan tindak tutur dengan beragam fungsi komunikatifnya. Jenis tuturan yang lebih dominan digunakan untuk berimplikatur yaitu tindak tutur direktif, hal tersebut ditandai dengan adanya data tindak tutur direktif yang lebih banyak dibandingkan dengan jenis tindak tutur lainnya seperti, asertif, deklaratif, ekspresif, dan komisif. Tindak tutur asertif, deklaratif, ekspresif, dan komisif ini juga memliki peranan penting dalam berimplikatur. Namun, banyaknya data yang diperoleh menunjukkan bahwa tindak tutur direktif lebih beragam fungsi komunikatifnya dibandingkan dengan tindak tutur lainnya.

2. Bentuk verbal tuturan dalam berimplikatur yang berupa tuturan langsung, tidak langsung, literal, dan tidak literal yang digunakan oleh siswa dan


(60)

guru olahraga menunjukkan bahwa keduanya memiliki pengetahuan dan kerja sama yang baik dalam pemahaman bentuk verbal tuturan tersebut. Keduanya memiliki kemampuan untuk memilih penggunaan bentuk verbal yang tepat sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi. Beberapa data menunjukkan bahwa ternyata guru memanfaatkan bentuk verbal tuturan tersebut sebagai strategi supaya tujuan pembelajaran olahraga tercapai. 3. Pemanfaatan konteks dalam berimplikatur menunjukkan bahwa konteks

tempat, waktu, dan situasi juga berperan penting guna mendukung keberhasilan komunikasi antara siswa dan guru olahraga. Konteks situasi lebih dominan dimanfaatkan dalam berimplikatur dibandingkan dengan konteks lainnya, hal ini ditunjukkan dengan pemanfaatan situasi seperti, ramai, gaduh, tidak kondusif, dan sebagainya.

4. Perlokusi mitra tutur terhadap implikatur menunjukkan bahwa tidak semua implikatur dapat direspons dengan positif. Pada kenyataannya selain perlokusi responsif positif, perlokusi yang ditimbulkan mitra tutur berupa responsif negatif dan perlokusi nonresponsif. Hal tersebut diakibatkan oleh adanya tindakan penolakan dan tindakan tidak acuh terhadap implikatur tersebut. Dalam hal ini yang berperan sebagai mitra tutur bisa bergantian antara siswa dan guru olahraga.

5.2 Saran

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya, penulis memberikan saran sebagai berikut.


(61)

118

1. Bagi pendidik, hasil penelitian tentang implikatur percakapan yang digunakan dalam pembelajaran olahraga dapat dijadikan referensi yang positif dalam bertindak tutur. Pendidik dapat menggunakan hasil penelitian ini sebagai bahan pertimbangan dalam melaksanakan pembelajaran di kelas atau di lapangan sebagai salah satu upaya pencapaian tujuan pembelajaran dan terciptanya komunikasi yang selaras dengan mitra tutur.

2. Bagi peneliti di bidang kajian yang sama hendaknya lebih memperluas dan menindaklanjuti tentang tuturan-tuturan dalam berimplikatur, dan menguraikannya secara lebih lengkap.


(62)

DAFTAR PUSTAKA

Black, James A dan Champion, Dean J. 1999. Metode dan Masalah Penelitian Sosial. Terjemahan oleh Koswara E, dkk. 2001. Bandung: Refika Aditama.

Brown,G. and George Yule. 1983. Analisis Wacana (Discourse analysis). Terjemahan oleh Sutikno. 1996. Jakarta: Gramedia.

Depdiknas. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Kesuma, Tri Mastoyo Jati. 2007. Pengantar (Metode) Penelitian Bahasa.

Yogyakarta: Carasvatibooks.

Kridalaksana, H. 1984. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia.

Leech, Geoffrey. 1983. Prinsip-prinsip Pragmatik. Terjemahan oleh Oka, M.D.D. 1993. Jakarta: Universitas Indonesia(UI-Press).

Lubis, H.H. 1991. Analisis Wacana Pragmatik. Bandung: Angkasa.

Mahsun. 2007. Metode Penelitian Bahasa: Tahapan Strategi, Metode, dan Tekniknya. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Moleong. J.L. 2011. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Rahardi, R.Kunjana. 2005. Pragmatik: Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia. Jakarta: Erlangga.

Rosdiani, Dini. 2012. Dinamika Olahraga dan Pengembangan Nilai. Bandung: Alfabeta.

Rusminto, N.E dan Sumarti. 2006. Analisis Wacana Bahasa Indonesia. (Buku Ajar). Bandarlampung: FKIP Universitas Lampung.

Rusminto, N.E. 2010. Memahami Bahasa Anak-Anak. Bandar Lampung: Universitas Lampung.

Tarigan, Henry G. 1981. Pengajaran Pragmatik. Bandung: Angkasa.

Tarigan, Henry G. 1983. Menyimak Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa.


(63)

120

Tarigan, Henry G. 2008. Berbicara: Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa.

Universitas Lampung. 2012. Format Penulisan Karya Ilmiah. Bandarlampung: Universitas Lampung.

Wijana, I Dewa Putu. 1996. Dasar-dasar Pragmatik. Yogyakarta: Penerbit Andi. Yule.George (Terjemahan Indah Fajar). 2006. Pragmatik. Yogyakarta: PT.


(64)

Lampiran 1: Format Panduan Pengumpulan Data Penelitian

Tanggal :

Tempat :

Waktu :

Jenis Olahraga : Peristiwa tutur :

Penutur :

Mitra tutur :

Penutur :

Mitra tutur :

Catatan Reflektif : 1.

2. 3.


(65)

122

Lampiran 2: Catatan Lapangan Jenis Tuturan dalam Berimplikatur pada Pembelajaran Olahraga Siswa Kelas XI SMA Negeri 2 Bandar Lampung.

1. IMPLIKATUR JENIS TUTURAN DIREKTIF 1.1 Implikatur Direktif Perintah

Data (1)

Tanggal : 13 Maret 2014

Tempat : Kolam Renang Marcopollo Waktu : Pagi hari (10.00 WIB) Jenis Olahraga : Renang gaya punggung

Peristiwa tutur : Peristiwa tutur terjadi ketika guru sedang memberikan pengarahan kepada siswa tentang posisi anggota tubuh saat melakukan renang gaya punggung.

Guru : “Maju! Maju lagi! Kaki dua-duanya, posisi kepala menyentuh ke air, ngedengak ke air. Kepala gak boleh nunduk!”

Siswa : “Gak boleh nyentuh?”

Guru : “Gak boleh nunduk kepalanya!” Siswa : “Gak kedengeran Bu ngomong apa?”

Guru : “Ngedengak, kepala ngedengak ke air. Nempel rata sama air. Oke! Nah, selain itu dorong dengan kaki kalian yang ditekuk itu, pelan-pelan. Siswa : “Dua apa satu?”

Guru : “dua-duanya, pelan-pelan aja, posisi tangan seperti ini.” (mencontohkan). Kaki lurus! Gak boleh gerak. Jangan gerak dulu! Oke ya?

Siswa : “Capek kayak gini Bu?”

Guru : (mengabaikan) “Awaaas! Yak!” (IDP 1) Catatan Reflektif :

1. Pada data ini terdapat tindak tutur direktif jenis perintah, perintah yang diajukan oleh penutur terlihat pada tuturan “Awaaas! Yak!”


(66)

2. Jika diklasifikasikan pada ketidaklangsungan tuturan, maka pada data ini terdapat implikatur dengan tindak tutur tidak langsung dan tidak literal. Pada tuturan “Awaaas! Yak!” jelas terlihat ketika guru menyatakan tuturan tersebut dengan modus kalimat peringatan, namun tidak sesuai dengan maksud yang ingin diutarakan. Guru tersebut tidak hanya memberikan perintah berupa peringatan, tetapi juga memiliki maksud supaya siswa mulai melakukan renang gaya punggung.

3. Pemanfaatan konteksi pada data ini menggunakan konteks situasi, terlihat pada tuturan “Awaaas! Yak!” dapat digunakan pada jenis olahraga lainnya.

4. Tindak perlokusi terhadap implikatur yang disampaikan sang guru merupakan perlokusi responsif positif. Pada peristiwa tutur ini siswa langsung memahami maksud tuturan sang guru dan melaksanakan tindakan yang sesuai dengan tujuan tuturan implikatur tersebut.


(67)

124

Data (2)

Tanggal : 13 Maret 2014

Tempat : Kolam Renang Marcopollo Waktu : Pagi hari (10.00 WIB) Jenis Olahraga : Renang gaya punggung

Peristiwa tutur : Peristiwa tutur terjadi ketika guru memberikan pengarahan kepada siswa tentang posisi kepala saat melakukan renang gaya punggung.

Guru : “Kalau kepala kalian ditekuk ke bawah liat ke air, maka idung kalian

kemasukan air dan sakit, coba aja!” (IDP 2)

Siswa : “Ini juga udah sakit Bu. Pusing Bu!”

Guru : “Nanti idung kalian kemasukan air gak sakit kalo kepalanya ngedengak ke atas. Jangan berhenti sebelum luncuran berhenti. Jaga jaraknya! Jaga jaraknya! Serius! Serius!”

Siswa : “jaga jarak, jaga jarak, siaga, siaga!”

Guru : “Kalo kalian merapat, nanti tabrakan. Tabrakan nanti sakit, ada yang cidera. Siap ya? Awaas! Yak!

Catatan Reflektif :

1. Pada data ini terdapat tindak tutur direktif jenis perintah, perintah yang diajukan oleh guru terlihat pada tuturan “Kalau kepala kalian ditekuk ke bawah liat ke air, maka idung kalian kemasukan air dan sakit, coba aja!”. 2. Jika diklasifikasikan pada ketidaklangsungan tuturan, maka data ini

terdapat implikatur dengan tindak tutur tidak langsung dan literal, terlihat pada tuturan “Kalau kepala kalian ditekuk ke bawah liat ke air, maka idung kalian kemasukan air dan sakit, coba aja!”. Jelas terlihat ketika guru menyatakan tuturan tersebut dengan modus kalimat perintah yang menyuruh siswa untuk mencoba hal yang disampaikan, namun tidak sesuai


(68)

dengan maksud yang ingin diutarakan. Guru tersebut tidak hanya memberikan perintah, tetapi justru sebenarnya memiliki maksud supaya siswa tidak melakukan hal yang diinformasikan tersebut yaitu tidak menundukkan kepala ke bawah air.

3. Pemanfaatan konteks pada data ini menggunakan konteks tempat, terlihat pada tuturan “Kalau kepala kalian ditekuk ke bawah liat ke air, maka idung kalian kemasukan air dan sakit, coba aja!”. Penutur memanfaatkan tempat berupa air (kolam renang) untuk memperjelas tujuan yang hendak dicapai.

4. Tindak perlokusi terhadap implikatur tersebut merupakan perokusi responsif negatif. Terlihat pada respons siswa “Ini juga udah sakit Bu. Pusing Bu!”. Tuturan siswa tersebut menunjukkan penolakan atau sanggahan yang mengakibatkan respons negatif yakni siswa tidak melakukan instruksi yang sesuai dengan tujuan sang guru.


(1)

4. [Yo baru tiga!] data 11

5. [Besok ditinggal aja gak papa, tinggal di panglong sana bajunya.] data 12

6. [Kamu cewek apa bukan?] data 22

7. [Saya maunya aerobik sih!] data 27 8. [Tapi nilainya ditambah ya Pak?] data 28

9. [Iya sama-sama gak bisa. Sama-sama belajar, sama-sama belum bisa.]

data 38

10.[Saya gak bisa lari.] data 39 11.[Saya bisanya aerobik Bu.] data 42 12.[Pak tanjakan itu capek lho Pak!] data 47 13.[Begini terus Pak!] data 48

14.[Makanya lari itu pake otak! Lari pake kaki. Mikir kalo mau lari itu!] data 50

15.[Lari itu pake otak!] data 51

16.[Aktingnya kurang, aktingnya!] data 52 17.[Sok lupa-lupa. Sok artis aja kamu!] data 53

18.[Alhamdulillah saya masuk, biasanya enggak!] data 56 19.[Nu kalo kalah lari sendiri lho Nu!] data 61

20.[Nah kalo begini kan kalian nanti gak dimarahin ibu kalian] data 63 21.[Nah! Mak Erot ayo!] data 64

22.[Heh gimana ini Paijo!} data 65

23.[Kalo misal gak sanggup, maksudnya belum sampai udah berenti. Lanjutin lagi boleh.] data 66

24.[Ya udah, gak papa, sakit kan hari ini. Masih ada hari berikutnya.] data 67

25.[Jantung, paru-paru, ginjal, pilih mana?] data 68

3. Pemanfaatan Konteks Terhadap Implikatur 3.1 Konteks Tempat

1. [Kalau kepala kalian ditekuk ke bawah liat ke air, maka idung kalian kemasukan air dan sakit, coba aja!] data 2


(2)

2. [Besok ditinggal aja gak papa, tinggal di panglong sana bajunya.] data 12 3. [Ada yang jaga belakang gak?] data 16

4. [Kok ke bawah terus?] data 20

5. [Gak! Dari sana aja kan keliatan.] data 34

6. [Kantor tengahnya belum buka dari tadi pagi.] data 43 7. [Pak tanjakan itu capek lho Pak!] data 47

8. [Waduh Pak! Paping Pak!] data 49

9. [Masa liat anak gak olahraga? Gak enak lah!] data 58 10.[Jantung, paru-paru, ginjal, pilih mana?] data 68

3.2 Konteks Waktu

1. [Lima menit ya? Dimulai dari sekarang!] data 5

2. [Ya udah sekarang tanggal berapa?] data 15

3. [Kita seharusnya masuk jam berapa?] data 19

4. [Bu kastinya kapan Bu?] data 23

5. [Sekarang gak papa. Bapak kasih waktu.] data 32

6. [Ya udah, gak papa, sakit kan hari ini. Masih ada hari berikutnya.] data 67

3.3 Konteks Situasi

1. [Awaaas! Yak!] data 1

2. [Liat tuh! Seperti kayak Dian tuh, ayo Ayunita lagi!] data 3

3. [Woi! Mulutnya! Mulutnya!] data 4

4. [Awaaas! Yak!] data 6

5. [Woi 3564! 3564! Vega ZR helm ijo!] data 7 6. [Woi ini kebo, ini kebo! Siap-siap woi!] data 8 7. [Suaranya!] data 9

8. [Nti kalo gak kena ngaku ya!] data 10 9. [Yo baru tiga!] data 11

10. [Masih pantaskah nilai besar untuk kalian? Kalo masih kayak gini?] data 13

11. [Apalagi alasannya?] data 14


(3)

13.[Cowok bukan?] data 18 14. [Tau satu sap gak?] data 21

15.[Kamu cewek apa bukan?] data 22

16. [Yo barisannya belum bener, nilainya pengen bagus semua kan?] data 24

17.[Lupa? Siapa nama ibumu?] data 25

18.[Setengah Bu! Setengah! Ibu setengah aja.] data 26 19.[Saya maunya aerobik sih!] data 27

20.[Tapi nilainya ditambah ya Pak?] data 28 21.[Ayo Pak udah panas Pak!] data 29 22.[Ayo taruhan aja!] data 30

23.[Ibu hitung sampai tiga, kalo belum ambil posisi, ibu tambahin dengan lari. Satu! Dua!] data 31

24. [Usahakan miring, kalo bisa sampai menyentuh lantai.] data 33 25. [Makanya dengarkan saya suruh apa!] data 35

26.[Awannya bagus Bu.] data 36 27.[Dingin Bu.] data 37

28.[Iya sama-sama gak bisa. Sama-sama belajar, sama-sama belum bisa.] data 38

29.[Saya gak bisa lari.] data 39 30.[Pak, abis makan.] data 40 31.[Panas Bu!] data 41

32.[Saya bisanya aerobik Bu.] data 42

33. [Lha ini jam Bapak. Bukan jam kamu!] data 44 34.[Bu, kemasukan idung terus lho Bu!] data 45 35.[Idungnya sakit Bu!] data 46

36. [Begini terus Pak!] data 48

37.[Makanya lari itu pake otak! Lari pake kaki. Mikir kalo mau lari itu!] data 50

38.[Lari itu pake otak!] data 51

39.[Aktingnya kurang, aktingnya!] data 52 40.[Sok lupa-lupa. Sok artis aja kamu!] data 53


(4)

41.[Sekelas SMA 2, atlet basket, atlet bisball, atlet futsal, walaupun hanya supporter.] data 54

42.[Ya kalo ada kegiatan, ada basket ikut sana basket. Iya toh? Futsal ikut sana futsal. Softball ikut softball, yang penting ikut ijinnya.] data 55 43.[Alhamdulillah saya masuk, biasanya enggak!] data 56

44.[Jelek amat sih kamu koordinasinya! Katanya pemain basket? Pantes kalah terus.] data 57

45. [Bapak gak mau ngajar untuk anak IPS 1! Gak usah ikut olahraga selamanya sampek terakhir gak usah!] data 59

46.[Kalo belum, nanti dicatet laporin Bu Dharma] data 60 47.[Nu kalo kalah lari sendiri lho Nu!] data 61

48.[Sebenernya kalo dari Pak Budi sendiri itu rutenya beda, rutenya lebih jauh. Kayaknya udah pernah, tapi bukan dengan kalian. Lebih jauh dari rute jalan sehat. Jadi lari jarak jauh bukan dari kitanya, tapi dari Pak Budi.] data 62

49.[Nah kalo begini kan kalian nanti gak dimarahin ibu kalian] data 63 50.[Nah! Mak Erot ayo!] data 64

51.[Heh gimana ini Paijo!} data 65

52.[Kalo misal gak sanggup, maksudnya belum sampai udah berenti. Lanjutin lagi boleh.] data 66

4. Perlokusi Mitra Tutur Terhadap Implikatur 4.1 Perlokusi Responsif Positif (RP)

No Data Perlokusi RP No Data Perlokusi RP

1. Data 1 17. Data 31

2. Data 4 18. Data 34

3. Data 6 19. Data 35

4. Data 7 20. Data 43

5. Data 8 21. Data 44

6. Data 9 22. Data 53


(5)

8. Data 14 24. Data 55

9. Data 15 25. Data 56

10. Data 16 26. Data 59

11. Data 19 27. Data 60

12. Data 21 28. Data 63

13. Data 22 29. Data 64

14. Data 24 30. Data 65

15. Data 26 31. Data 66

16. Data 29 32. Data 67

4.2 Perlokusi Responsif Negatif (RN)

No. Data Perlokusi RN No. Data Perokusi RN

1. Data 2 11. Data 38

2. Data 3 12. Data 42

3. Data11 13. Data 46

4. Data 17 14. Data 49

5. Data 20 15. Data 50

6. Data 23 16. Data 51

7. Data 25 17. Data 52

8. Data 30 18. Data 57

9. Data 32 19. Data 62

10. Data 33 20. Data 68

4.3 Perlokusi Nonresponsif (NR)

No Data Perlokusi NR No. Data Perlokusi NR

1. Data 5 9. Data 39

2. Data 10 10. Data 40 3. Data 12 11. Data 41 4. Data 18 12. Data 45 5. Data 27 13. Data 47


(6)

6. Data 28 14. Data 48 7. Data 36 15. Data 58 8. Data 37 16. Data 61