IMPLIKATUR PERCAKAPAN DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI KELAS V SD NEGERI PONDOK 1 KECAMATAN NGUTER KABUPATEN SUKOHARJO

(1)

commit to user

i

IMPLIKATUR PERCAKAPAN

DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA

DI KELAS V SD NEGERI PONDOK 1 KECAMATAN NGUTER

KABUPATEN SUKOHARJO

Oleh:

PUJI RAHAYU

K1207028

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2011


(2)

commit to user

ii

IMPLIKATUR PERCAKAPAN

DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA

DI KELAS V SD NEGERI PONDOK 1 KECAMATAN NGUTER

KABUPATEN SUKOHARJO

Oleh:

PUJI RAHAYU

K1207028

Skripsi

Ditulis dan Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Mendapatkan Gelar Sarjana Pendidikan Program Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2011


(3)

commit to user


(4)

commit to user


(5)

commit to user

v

ABSTRAK

Puji Rahayu. K1207028. IMPLIKATUR PERCAKAPAN DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI KELAS V SD NEGERI PONDOK 1 KECAMATAN NGUTER KABUPATEN SUKOHARJO. Skripsi. Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret Surakarta, April 2011.

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menjelaskan mengenai (1) wujud tutur bentuk implikatur percakapan dalam pembelajaran bahasa Indonesia, (2) fungsi dan tujuan implikatur percakapan dalam pembelajaran bahasa Indonesia, dan (3) alasan penggunaan implikatur percakapan yang terjadi dalam pembelajaran bahasa Indonesia.

Penelitian ini berbentuk penelitian deskriptif kualitatif dengan strategi tunggal terpancang. Sumber data dalam penelitian ini adalah peristiwa pembelajaran bahasa Indonesia di kelas V SD Negeri Pondok 1 Kecamatan Nguter Kabupaten Sukoharjo terfokus pada bahasa dan konteks tuturan. Selain dokumen, sumber data yang lain adalah informan, yaitu wali kelas V dan beberapa siswa. Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini

adalah purposive sampling. Teknik pengumpulan data pada penelitian ini

dilakukan dengan observasi, teknik simak catat, perekaman, dan wawancara secara mendalam. Validitas data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

trianggulasi teori, trianggulasi sumber, triangulasi metode, dan review informan.

Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan model analisis interaktif (interaktif model of analysis).

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa banyak ditemukan implikatur percakapan dalam menerapkan prinsip sopan santun antara lain pelanggaran maksim kuantitas, kualitas, hubungan, cara, maksim gabungan kuantitas dan kualitas, serta maksim gabungan hubungan dan cara. Fungsi dan tujuan penggunaan implikatur percakapan terdiri atas fungsi kompetitif dan tujuan direktif; fungsi menyenangkan dan tujuan ekspresif; dan fungsi menyenangkan dan tujuan komisif. Alasan penggunaan implikatur percakapan dalam pembelajaran bahasa Indonesia di kelas V SDN Pondok 1 antara lain: (1) unsur konteks tutur yang berkaitan dengan pengetahuan mitra tutur, (2) penutur dan mitra tutur yang berkaitan dengan mental mitra tutur, serta (3) tujuan tuturan yang berkaitan dengan tujuan dan keefektifan. Penggunaan implikatur percakapan yang disertai bahasa Jawa mempengaruhi cara berbahasa peserta didik. Hal ini terlihat dengan jumlah peserta didik yang dapat menggunakan implikatur percakapan dan bahasa campuran (bahasa Indonesia dan Jawa) saat diwawancarai lebih banyak yaitu empat peserta didik dibandingkan jumlah peserta didik yang mematuhi prinsip kerjasama dan bahasa Indonesia, yaitu sebanyak dua peserta didik.


(6)

commit to user

vi

MOTTO

...dan katakanlah kepada mereka perkataan yang membekas pada

jiwanya

(QS An Nisa’: 63)

-Orang yang banyak ketawa itu kurang wibawanya -Orang yang suka menghina orang lain, dia juga akan dihina

-Orang yang menyintai akhirat, dunia pasti menyertainya

-Barangsiapa menjaga kehormatan orang lain, pasti kehormatan dirinya akan terjaga


(7)

commit to user

vii

PERSEMBAHAN

Skripsi ini dipersembahkan untuk:

1. Keluargaku tersayang (Bapak, Ibu, Mas

Andi, Mbak Jenny, dan Eyang Kakung), terima kasih atas doa dan semangat yang kalian berikan kepadaku.

2. Sahabat ”Kejora” (Ifah, Rini, Lilik dan

Rizqi) terimakasih atas setiap warna yang kalian berikan untukku.

3. Dosen dan Rekan-rekan Bastind’07,

terimakasih kalian telah memberikan

pengalaman yang luar biasa.

4. Guru dan peserta didik SD Negeri Pondok 1

yang penuh pengertian dan senantiasa sabar

untuk menjadi informan dan sampel

penelitian.

5. Terima kasih untuk semua


(8)

commit to user

viii

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan kesehatan, rahmat, dan hidayah-Nya kepada penulis. Hanya kepada-Nya kembali segala sanjungan, penulis memohon pertolongan dan ampunan, dan atas ridho-Nya pula sehingga penulis mampu menyusun skripsi ini dengan baik sebagai persyaratan untuk mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan.

Proses penulisan skripsi ini melibatkan banyak pihak yang telah memberikan bantuan. Maka atas terselesaikannya skripsi ini, penulis meyampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. H. M. Furqon Hidayatullah, M. Pd., Dekan Fakultas Keguruan

dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan izin penulisan skripsi ini.

2. Drs. Suparno, M. Pd., Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni,

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan izin dalam penulisan skripsi ini.

3. Drs. Slamet Mulyono, M. Pd., Ketua Program Pendidikan Bahasa dan

Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan izin dalam penulisan skripsi ini.

4. Prof. Dr. Sarwiji Suwandi, M. Pd. selaku pembimbing skripsi I yang

senantiasa sabar membimbing penulis dalam menyusun skripsi ini.

5. Kundharu Saddhono, S.S, M. Hum selaku pembimbing skripsi II yang

selalu sabar memberikan pengarahan dalam penyusunan skripsi ini.

6. Ibu Munasyiroh selaku Kepala Sekolah SD Negeri Pondok 1 dan para

guru serta karyawan SD Negeri Pondok 1 yang senantiasa memberikan informasi dan semangat kepada penulis

7. Peserta didik SD kelas V SD Negeri Pondok 1 yang memberikan

pengetahuan baru yang menarik yang dapat membantu penulis dalam mengumpulkan data-data penelitian.


(9)

commit to user

ix

8. Dosen dan rekan mahasiswa Prodi Pendidikan PBS FKIP UNS atas

dukungan memberikan informasi yang dapat membantu penulis dalam menyusun skripsi ini.

Penulis telah berusaha semaksimal mungkin untuk menyelesaikan skripsi ini. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi perkembangan dunia pendidikan, khususnya dalam bidang bahasa Indonesia.

Surakarta, April 2011


(10)

commit to user

x

DAFTAR ISI

JUDUL ... i

PENGAJUAN ... ii

PERSETUJUAN ... iii

PENGESAHAN ... iv

ABSTRAK ... v

MOTTO... vi

PERSEMBAHAN ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

KETERANGAN TANDA... xv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penelitian... 9

D. Manfaat Penelitian ... 9

BAB II LANDASAN TEORI DAN KERANGKA BERPIKIR A. Landasan Teori ... 11

1. Hakikat Implikatur Percakapan ... 11

a. Pengertian Implikatur ... 11

b. Kaidah Penggunaan Implikatur Percakapan ... 14

c. Hakikat Ilokusi ... 32

d. Penafsiran Penggunaan Implikatur Percakapan ... 36

2. Percakapan Pembelajaran Bahasa Indonesia di Kelas V SD ... 50

a. Pembelajaran Bahasa Indonesia Kelas V SD ... 50

b. Percakapan dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia Kelas V SD ... 54


(11)

commit to user

xi

B. Penelitian yang Relevan ... 62

C. Kerangka Berpikir ... 65

BAB III METODELOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 68

B. Bentuk dan Strategi Penelitian ... 68

C. Sumber Data ... 69

D. Teknik Sampling ... 70

E. Teknik Pengumpulan Data... 72

F. Uji Validitas Data ... 73

G. Teknik Analisis Data ... 74

H. Prosedur Penelitian ... 75

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Latar Penelitian ... 76

B. Hasil Penelitian ... 77

1. Wujud Tutur Implikatur Percakapan ... 77

2. Fungsi dan Tujuan Penggunaan Implikatur Percakapan... 118

3. Alasan Penggunaan Implikatur Percakapan ... 137

C. Pembahasan Hasil Penelitian ... 143

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN A. Simpulan ... 156

B. Implikasi ... 157

C. Saran ... 160


(12)

commit to user

xii

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Pembagian Waktu Penelitian ... 68 2. Daftar Peserta Didik yang Dipilih sebagai Informan ... 70

3. Pelanggaran Maksim Kerja Sama dalam Menerapkan


(13)

commit to user

xiii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Analisis Cara-tujuan ... 44

2. Alur Analisis Heuristik... 45

3. Kerangka Berpikir Penelitian Implikatur Percakapan... 67


(14)

commit to user

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Transkrip Percakapan Pembelajaran 1 ... 166

Lampiran 2. Transkrip Percakapan Pembelajaran 2 ... 191

Lampiran 3. Transkrip Percakapan Pembelajaran 3 ... 219

Lampiran 4. Daftar Informan ... 244

Lampiran 5. Hasil Wawancara dengan Informan Guru ... 245

Lampiran 6. Hasil Wawancara dengan Informan Peserta Didik ... 251

Lampiran 7. Dokumentasi Wawancara ... 256

Lampiran 8. Data Peserta Didik Kelas V SDN Pondok 1 ... 258


(15)

commit to user

xv

KETERANGAN TANDA

MKN : Maksim Kuantitas

MKL : Maksim Kualitas

MKH : Maksim Hubungan

MKC : Maksim Cara

MK1 : Maksim Kuantitas dan Kualitas

MK2 : Maksim Hubungan dan Cara

MSA : Maksim Kearifan

MSD : Maksim Kedermawanan

MSP : Maksim Pujian

MSK : Maksim Kerendahan Hati

MSS : Maksim Kesepakatan

MS1 : Maksim Kearifan dan Pujian

MS2 : Maksim Kearifan dan Kesepakatan

MS3 : Maksim Kedermawanan dan Kerendahan Hati

MS4 : Maksim Kedermawanan dan Kesepakatan

TA : Tujuan Asertif

TD : Tujuan Direktif

TK : Tujuan Komisif

TE : Tujuan Ekspresif

FK : Fungsi Kompetitif

FM : Fungsi Menyenangkan

FB : Fungsi Bekerjasama

FT : Fungsi Bertentangan

.... : Tuturan Diperlambat

... ... : Tuturan Tidak Jelas

( ) Sebelah kanan : Keadaan atau Nama Penutur

( ) Sebelah Kiri : Nomor Tuturan


(16)

commit to user

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Bahasa memiliki beragam ciri dan fungsi yang disesuaikan dengan penggunaannya dalam masyarakat. Soeparno (2002: 1) memaparkan bahwa bahasa adalah suatu sistem tanda ujaran arbitrer (manasuka) yang konvensional dan bersifat sistemik (terdiri dari subsistem-subsistem) sekaligus sistematik (memiliki kaidah yang teratur). Empat dimensi sosial yang mempengaruhi pemakaian bahasa antara lain jarak sosial, status sosial, tingkat keresmian dan fungsinya (Holmes dalam Sarwiji Suwandi, 2008: 98). Sehingga dapat diketahui bahwa pemakaian bahasa sangat dipengaruhi faktor sosial penutur dan mitra tutur saat berkomunikasi.

Kajian tentang bahasa sendiri takkan lengkap tanpa mengkaji percakapan yang merupakan bentuk penggunaan bahasa paling umum sekaligus begitu integral dalam pemahamannya. Hal ini membuat penutur secara tidak langsung melakukan kesepakatan dengan mitra tutur dalam memilih ujaran yang akan digunakan atau menyamakan praanggapan terlebih dahulu sehingga komunikasi menjadi lebih efektif meskipun tuturan yang digunakan tidak sesuai dengan maksud yang ingin disampaikan. Dengan demikian konsep tuturan dalam suatu komunikasi merupakan tataran yang sederhana, tetapi pembelajaran keterampilan berbahasa sangat dibutuhkan karena menjadi rumit saat dikaitkan dengan masalah pragmatik (cara pemakaian bahasa).

Belajar bahasa diawali dengan memahami bahasa, mencoba

menggunakannya, dan mempelajari bahasa saat bahasa tersebut digunakan (Ahmad Rofi’uddin dan Darmayati, 2001: 143). Konsep belajar ini lebih menitikberatkan pelaziman perilaku berbahasa dalam proses belajar mengajar bagi peserta didik sejak tingkat dasar. Dengan kata lain pembelajaran berbahasa lebih mengarahkan agar peserta didik tidak hanya memahami tentang bahasa tetapi juga mampu menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi sesuai tata krama berbahasa baik secara lisan maupun tulisan. Namun yang lebih menjadi perhatian


(17)

commit to user

guru dalam pembelajaran berbahasa adalah seberapa paham peserta didik dengan maksud yang ingin disampaikan guru melalui bahasa pengantar baik dengan bahasa pertama (dalam penelitian ini adalah bahasa Jawa) maupun bahasa Indonesia. Untuk itu, jika peserta didik tidak dapat memahami maksud penjelasan guru karena materi pelajaran yang baru atau asing bagi peserta didik, maka interaksi pembelajaran hanya akan berjalan searah yaitu dari guru ke peserta didik. Hal ini disebabkan kemampuan siswa untuk menyerap penjelasan guru berbeda-beda. Ada peserta didik yang cepat memahami penjelasan guru, tetapi ada juga yang lambat. Untuk itu, guru memerlukan strategi mengajar yang lebih sesuai karakteristik peserta didik agar interaksi pembelajaran berjalan optimal dan peserta didik benar-benar paham maksud guru.

Selain itu, adanya kesempatan yang diberikan guru terhadap peserta didik untuk menyampaikan pemikiran juga menjadi hal penting dalam pembelajaran berbahasa. Sehingga, guru tidak terlalu memegang kontrol serta “power” atas peserta didik dalam kegiatan belajar mengajar. Hal ini dapat diidentifikasikan dari seberapa dominasinya penyampaian pemikiran yang berasal dari guru dibandingkan penyampaian pemikiran-pemikiran dari peserta didik saat pembelajaran sedang berlangsung. Meski tak dapat dipungkiri, peserta didik sekolah dasar masih membutuhkan lebih banyak kontrol serta pengawasan dalam bentuk perintah dari gurunya. Hanya saja adakalanya guru memerlukan kontrol yang lebih halus terhadap perilaku maupun cara berbahasa peserta didik sehingga peserta didik tidak hanya mampu menyampaikan maksud sesuai pertanyaan atau stimulus yang diberikan guru, tetapi juga lebih mampu berkreasi dalam berbahasa untuk bertanya dan mengutarakan hal-hal yang ada dibenaknya tentang topik pembicaraan.

Guru merupakan sosok yang menjadi panutan di masyarakat, terutama di sekolah. Segala sesuatu yang dilakukan dan dituturkan guru saat menyampaikan sesuatu hal akan ditiru oleh peserta didik. Peserta didik mempelajari bahasa orang lain dengan meniru cara pengungkapan pemikiran yang didengarnya, terutama apa yang didengar dari gurunya di sekolah. Jalaluddin Rakhmat (2001: 25) mengungkapkan bahwa belajar adalah peniruan (imitation) dan kemampuan


(18)

commit to user

meniru respon orang yang sering dilakukan terhadap kegiatan yang dilakukannya merupakan penyebab utama belajar. Konsep belajar ini juga menggolongkan ganjaran dan hukuman yang diberikan guru bukanlah faktor penting dalam belajar, melainkan justru merupakan faktor penting dalam melakukan tindakan (performance) berbahasa bagi peserta didik. Sehingga guru dituntut untuk lebih menghargai dengan respon positif terhadap keberanian peserta didik dalam mengungkapkan perasaan dan mengarahkan tanpa mencela peserta didik. Jika terjadi penyimpangan interpretasi maksud guru, hal tersebut merupakan hal yang wajar karena percakapan dalam pembelajaran di kelas melibatkan banyak mitra tutur dengan berbagai latar pengetahuan. Di saat itulah peran guru dalam respon hal tersebut dengan bijak untuk menjelaskan tujuan pembicaraan yang ingin disampaikan justru sangat penting dibanding sekedar menyampaikan materi. Hal ini karena suasana kelas yang memberikan kebebasan peserta didik mengungkapkan pikiran/ perasaannya secara terus menerus merupakan hal dasar dalam memaksimalkan kemahiran berbahasa peserta didik.

Meskipun bahasa Indonesia secara baku belum memiliki kaidah kesantunan secara pasti, tetapi setidaknya rambu-rambu untuk berkomunikasi secara santun sudah dapat diidentifikasi dengan memperhatikan prinsip kerjasama dan sopan santun. Secara singkat, kompetensi inilah yang seharusnya telah dimiliki guru dan dapat dipraktikkan saat proses pembelajaran bahasa Indonesia yang dalam masyarakat pedesaan masih dianggap sebagai bahasa kedua setelah bahasa Jawa. Salah satunya dengan menjelaskan materi dengan bahasa Indonesia yang informatif, jujur, relevan dan tidak ambigu. Namun pada kenyataan dalam berkomunikasi guru maupun peserta didik tak jarang sengaja melanggar prinsip percakapan untuk menyampaikan maksud kepada mitra tutur secara implisit atau yang sering disebut implikatur percakapan.

Kedua pendapat di atas juga sesuai dengan hasil wawancara dengan kepala SD Negeri Pondok 1 Kecamatan Nguter Kabupaten Sukoharjo (Munasyiroh, S. Pd.). Dikemukakannya bahwa kelas V termasuk kelas tinggi sehingga telah menggunakan bahasa Indonesia yang baik, baku dan mengandung unsur sopan santun. Setiap guru terutama guru yang mengajar di kelas V juga harus


(19)

commit to user

menggunakan unsur kesopanan dalam berbahasa sebagai contoh konkret/ teladan bagi peserta didik dalam pengaplikasian berbahasa Indonesia yang baik dan benar sekaligus sopan. Salah satu cara berbahasa yang digunakan guru dalam pembelajaran kelas V dapat berupa penyampaian maksud secara langsung atau tidak langsung sesuai kondisi dan tujuan tuturan. Contohnya saat guru ingin menasehati peserta didik cukup diungkapkan dengan menyindir peserta didik agar peserta didik tidak merasa tertekan dan juga dapat belajar menjaga perasaan orang lain yang diajak berbicara.

Bertolak dari beberapa pendapat di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa sekolah sebagai tempat pengajaran bahasa itu berlangsung merupakan wilayah

sosial pemakaian bahasa (societal domain) yang mempunyai corak tersendiri.

Sekolah merupakan masyarakat tutur (speech community) yang berbeda dengan

masyarakat tutur yang lain, lengkap dengan perbedaan penutur (speaker) dan

perbendaharaan tuturnya (speech reportoire). Corak khas ini sangat terlihat di

sekolah pedesaan, khususnya sekolah di kecamatan Nguter yang pada umumnya merupakan masyarakat bilingual dengan menggunakan lebih dari satu bahasa (bahasa Jawa dan bahasa Indonesia). Efek yang timbul dalam praktik bilingual ini adalah terjadinya peristiwa sentuh atau kontak antarbahasa atau antarvariasi bahasa saat menyampaikan maksud kepada mitra tutur. Dalam peristiwa tersebut sering terjadi adanya saling pengaruh dan pencampuran antara bahasa tutur yang satu dengan bahasa tutur yang lainnya. Akibatnya, dimungkinkan penyimpangan

interpretasi maksud yang disampaikan karena perubahan bahasa (resultante) dan

membuat bahasa mitra tutur bersifat purposif, yaitu respon yang menggunakan bahasa yang dikuasai dan bahasa lingkungan sekaligus saat mengungkapkan gagasan atau pikirannya secara langsung.

Di samping itu, penggunaan bahasa Indonesia dalam proses belajar mengajar di sekolah dasar merupakan ragam bahasa lisan yang mempunyai maksud tergantung konteks tuturan sehingga dapat melahirkan persepsi yang berbeda-beda. Dalam kaitannya dengan komunikasi di kelas, peserta didik harus mampu menangkap maksud dari guru atau sebaliknya, sehingga tidak terjadi “salah persepsi”. Hal ini berarti yang terpenting dalam komunikasi tidak hanya


(20)

commit to user

bentuk-bentuk bahasa (lokusi), tetapi juga apa yang “terselubung” dalam satu

tindak bahasa yaitu apa yang ingin disampaikan oleh seorang penutur kepada mitra tuturnya. Pengetahuan pragmatik dalam arti praktis (komunikatif) saat pembelajaran menjadi hal yang penting dalam pembelajaran berbahasa bahkan sejak tingkat sekolah dasar. Sehingga pengetahuan praktis ini patut diterapkan oleh guru untuk membekali peserta didik dengan keterampilan berbahasa menurut situasi tertentu disamping teori bahasa sebagai landasan.

Selain itu, penginterpretasian pesan tambahan dari tindak bahasa (berimplikatur percakapan) tersebut tentu saja memerlukan beberapa prinsip kerjasama dan sopan santun yang harus dipahami penutur dan mitra tutur. Hanya saja penerapan prinsip-prinsip percakapan ini menjadi lebih sulit jika bahasa yang digunakan merupakan bahasa kedua yaitu bahasa Indonesia yang pada dasarnya juga masih dipelajari penggunaannya dalam kehidupan sehari-hari peserta didik. Sifat pembelajaran bahasa kedua (bahasa Indonesia) tentunya akan berbeda dengan sifat pembelajaran bahasa pertama karena sangat dipengaruhi lingkungan dan fungsi pemakaian bahasa tersebut bagi masyarakat tempat peserta didik bertempat tinggal (Burhan Nurgiyantoro, 2010: 279).

Dalam proses belajar mengajar di sekolah dasar, bahasa Indonesia merupakan bahasa pengantar yang seharusnya digunakan oleh guru untuk menyampaikan materi, tugas atau memberi reaksi terhadap kontribusi yang dilakukan oleh siswa, meskipun bahasa sehari-hari yang digunakan oleh siswa dan guru adalah bahasa Jawa. Tindakan yang dilakukan guru tersebut sebenarnya memiliki tujuan untuk membiasakan peserta didik menggunakan bahasa Indonesia saat berada di dalam lingkup sekolah. Selain itu, tindakan tersebut dapat digunakan untuk mendukung kelancaran belajar peserta didik di tingkat satuan pendidikan yang lebih tinggi.

Namun pada kenyataannya, penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar yang seharusnya menjadi jembatan komunikasi guru dengan peserta

didik untuk mempelajari suatu materi ajar justru dapat menjadi momok tuturan

yang dianggap menyakiti salah satu pihak tutur karena perbedaan latar belakang pengetahuan. Hal ini juga dapat terjadi pada proses belajar mengajar mata


(21)

commit to user

pelajaran bahasa Indonesia di sekolah dasar yang tidak terlepas dari penggunaan bahasa pertama (dalam penelitian ini adalah bahasa Jawa) sebagai bahasa pengantar. Oleh karena itu, tidak jarang guru menggunakan implikatur percakapan yang berwujud bahasa pertama (bahasa Jawa) saat peserta didik dinilai belum dapat memahami kosakata tertentu dalam bahasa Indonesia.

Tentu saja hal ini akan mempengaruhi kebiasaan penggunaan bahasa Indonesia dalam proses pembelajaran khususnya mata pelajaran bahasa Indonesia. Apalagi jika seorang guru lebih menekankan prinsip kesopanan dalam setiap tuturan yang diucapkan untuk mencapai tujuan pembelajaran bahasa Indonesia yaitu berbahasa yang baik dan benar sekaligus sopan. Dengan kata lain, penggunaan bahasa pengantar dalam pembelajaran bahasa Indonesia akan menimbulkan keragaman wujud tutur, fungsi dan tujuan serta alasan pemakaian tuturan berimplikatur percakapan tersebut.

Secara konkret hal ini dapat terlihat percakapan pada kelas V SD Negeri Pondok 1 tepatnya terletak di Dukuh Bodeyan Desa Pondok Kecamatan Nguter Kabupaten Sukoharjo yang sebagian besar masyarakatnya masih menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa pengantar di kehidupan sehari-hari. Namun berdasar hasil survey awal (prapenelitian), peneliti menemukan ujaran yang berimplikatur percakapan bahasa Indonesia saat pembelajaran berbahasa Indonesia di kelas V yaitu saat guru menyampaikan maksud untuk menegur peserta didik yang dianggap bekerja sama dengan peserta didik lain saat mengerjakan tugas individu yang diberikan guru dengan tuturan “Kamu sudah selesai?”. Tuturan tersebut jika diutarakan secara lugas yaitu “Kalau kamu sudah selesai, jangan mengganggu teman yang sedang mengerjakan!”. Tetapi guru tidak menggunakan menyampaikan maksud tersebut secara eksplisit karena dianggap terlalu keras dan membuat kondisi kelas menjadi kurang kondusif karena peserta didik merasa takut saat guru sedang marah. Jika peserta didik tersebut tidak mengerti maksud ujaran guru maka tidak akan tercipta kerjasama yang terlihat dari respons peserta didik terhadap ujaran tersebut, tetapi karena dia mengetahui maksud ujaran guru maka dia langsung merespons dengan respons nonverbal yaitu dengan memperbaiki sikap duduk. Pengungkapan maksud secara implisit ini dilakukan


(22)

commit to user

guru karena mengingat situasi saat itu memerlukan konsentrasi yang tinggi maka peserta didik tidak boleh merasa tersinggung dan takut dengan teguran guru tetapi tetap mengerti bahwa yang dilakukannya dapat mengganggu konsentrasi teman lain. Dengan demikian, tuturan dengan bahasa sopan menjadi pilihan guru dalam proses pembelajaran melalui penyampaian tuturan dengan wujud lain, tetapi tidak mengubah maksud yang ingin disampaikan.

Alasan lain peneliti memilih pembelajaran di SD Pondok I Kecamatan Nguter Kabupaten Sukoharjo sebagai objek penelitan karena SD ini terletak jauh dari pusat kota dengan masyarakat sekitar sekolah yang lebih mementingkan

undha usuk dalam bahasa Jawa sebagai bahasa sehari-hari dibandingkan menggunakan bahasa Indonesia. Bahkan bahasa pengantar pembelajaran dalam SD ini juga menggunakan bahasa campuran yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Jawa sebagai penyesuaian penggunaan bahasa guru dengan peserta didik yang masih menggunakan bahasa Jawa dalam interaksi sehari-hari. Materi pembelajaran akan mudah dimengerti jika disampaikan dengan bahasa yang mudah dimengerti peserta didik. Selain itu, hal ini dilakukan agar komunikasi dalam pembelajaran dapat berlangsung dengan lancar. Namun di sisi lain, penggunaan kedua bahasa tersebut saat menyampaikan maksud secara tersembunyi juga akan mempengaruhi kebiasaan berbahasa yang diterapkan antara guru dan peserta didik karena cara berbahasa guru merupakan contoh bagi peserta didik. Kebiasaan tersebut akan terlihat pada wujud implikatur percakapan yang digunakan untuk mencapai tujuan dan fungsi tertentu.

Kelas V SD termasuk kelas tinggi yang memungkinkan interaksi pembelajaran dengan respons yang lebih beragam dari setiap peserta didik saat mengungkapkan pendapat terhadap stimulus berimplikatur percakapan yang diberikan guru baik dengan bahasa Jawa maupun bahasa Indonesia. Hal ini secara tidak langsung juga akan menimbulkan pola tuturan yang lebih beragam dibanding kelas dibawahnya (kelas I sampai kelas IV) yang dimungkinkan terjadi pelanggaran maksim baik dalam bahasa Indonesia atau bahasa Jawa dan berdampak pada cara berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Dengan kata lain,


(23)

commit to user

jika alasan penggunaan berbeda maka akan berbeda pula wujud tuturan berimplikatur.

Wujud, fungsi, tujuan, dan alasan penggunaan implikatur percakapan dapat menjadi masalah bertutur yang cenderung menimbulkan salah maksud bagi mitra tutur, dan bahkan tidak menutup kemungkinan terjadi konflik antara penutur dengan mitra tutur. Padahal suatu bahasa pengantar pembelajaran seharusnya dapat memudahkan peserta didik memahami maksud guru maupun antarpeserta didik, tetapi dalam hal ini justru dapat menjadi hambatan belajar bagi peserta didik jika implikatur percakapan yang digunakan (metode pembelajaran guru) justru tidak dimengerti peserta didik. Jika ketidakmengertian ini berlangsung terus menerus akan membuat prestasi belajar menurun dan mempengaruhi cara berbicara peserta didik menjadi sulit dipahami orang lain hanya untuk memenuhi maksim tertentu yang dianggap dapat menunjang sopan santun dalam berkomunikasi.

Berdasarkan pada pemaparan tersebut, peneliti terdorong untuk melakukan penelitian yang berkaitan penggunaan implikatur percakapan guru dan peserta didik dengan judul “Implikatur Percakapan dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia di Kelas V SD Negeri Pondok 1 Kecamatan Nguter Kabupaten Sukoharjo”.

B. Rumusan Masalah

Masalah yang muncul berkaitan dengan uraian latar belakang masalah di atas dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah wujud tutur implikatur percakapan dalam pembelajaran bahasa

Indonesia di kelas V SD Negeri Pondok 1 Kecamatan Nguter Kabupaten Sukoharjo?

2. Bagaimanakah fungsi dan tujuan implikatur percakapan dalam pembelajaran

bahasa Indonesia di kelas V SD Negeri Pondok 1 Kecamatan Nguter Kabupaten Sukoharjo?

3. Bagaimanakah alasan penggunaan implikatur percakapan yang terjadi dalam

pembelajaran bahasa Indonesia di kelas V SD Negeri Pondok 1 Kecamatan Nguter Kabupaten Sukoharjo?


(24)

commit to user

C. Tujuan Penelitian

Tujuan yang hendak dicapai penulis dalam penelitian ini adalah:

1. Mendeskripsikan dan menjelaskan wujud tutur bentuk implikatur percakapan

dalam pembelajaran bahasa Indonesia di kelas V SD Negeri Pondok 1 Kecamatan Nguter Kabupaten Sukoharjo.

2. Mendeskripsikan dan menjelaskan fungsi dan tujuan implikatur percakapan

dalam pembelajaran bahasa Indonesia di kelas V SD Negeri Pondok 1 Kecamatan Nguter Kabupaten Sukoharjo.

3. Mendeskripsikan dan menjelaskan alasan penggunaan implikatur percakapan

yang terjadi dalam pembelajaran bahasa Indonesia di kelas V SD Negeri Pondok 1 Kecamatan Nguter Kabupaten Sukoharjo.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfat yang hendak dicapai penulis adalah:

1. Manfaat teoretis:

Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khazanah penelitian dalam kajian pragmatik, khususnya penelitian tentang penggunaan implikatur percakapan dalam pembelajaran berbahasa Indonesia.

2. Manfaat praktis:

a. Bagi Sekolah

Hasil penelitian ini memberikan masukan untuk meningkatkan keterampilan mengajar guru bahasa Indonesia yang tentunya berpengaruh terhadap kualitas keprofesionalan guru dan peserta didik dalam pembelajaran.

b. Bagi guru

Masukan cara menyampaikan materi dan stimulus terutama dalam pembelajaran bahasa Indonesia agar lebih bijak dalam melibatkan pemakaian bahasa yang baik, benar, dan sopan bagi peserta didik.


(25)

commit to user

c. Bagi peserta didik

Petunjuk dalam memahami ujaran berimplikatur percakapan yang terjadi dalam proses pembelajaran sehingga peserta didik mengerti dan juga dapat memberikan respons dengan bahasa yang baik, benar, dan sopan.

d. Bagi peneliti yang lain

Hasil penelitian ini memberikan pertimbangan objek penelitian yang masih perlu dikembangkan terutama dalam hal wujud, fungsi, tujuan, dan alasan penggunaan implikatur percakapan pada situasi konkret lain agar lebih bermanfaat bagi pengguna bahasa.


(26)

commit to user

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka 1. Hakikat Implikatur Percakapan

Salah satu fungsi bahasa adalah sebagai alat penyampaian maksud baik berupa tuturan yang bersifat performatif maupun konstantif. Bentuk bahasa (B) adalah hasil dari pertimbangan dan penghubung situasi (S), konteks (K) , dan maksud (M) atau sering dirumuskan dengan M+S/K=B saat berkomunikasi (P. W. J. Nababan, 1987: 8). Berdasarkan pendapat tersebut, dapat diketahui pada dasarnya semua tuturan bersifat performatif yang berarti dua hal terjadi secara

bersamaan ketika orang mengucapkannya. Yang pertama adalah tindak (action),

dan kedua berupa ucapan yang dapat digolongkan kepada tiga kategori, yaitu lokusi adalah makna dasar dan makna referensi (makna yang diacu) oleh ujaran itu; ilokusi adalah kekuatan yang ditimbulkan oleh penggunaan ujaran itu sebagai perintah, ujian, ejekan, keluhan, janji, dan sebagainya; serta yang terakhir perlokusi adalah hasil atau efek dari ujaran itu terhadap pendengar (mitra tutur), baik yang nyata maupun yang diharapkan. Secara singkat ilokusi yang tidak dikatakan penutur kepada mitra tutur dan mempunyai kemungkinan lebih dari satu penafsiran disebut implikatur. Dengan kata lain, partisipan yang terlibat langsung dalam peristiwa tutur terkadang sengaja tidak memiliki kerja sama yang baik saat menyampaikan beberapa maksud tersembunyi. Meskipun demikian, implikatur merupakan sebuah proposisi yang sudah diarahkan dari tuturan yang sebenarnya telah dituturkan penutur. Untuk itu, perlu pemahaman tentang konsep implikatur, implikatur percakapan, ilokusi, penafsiran dan kendala pemakaian implikatur percakapan sebelum membahas penelitian.

a. Pengertian Implikatur

Orientasi pengkajian pragmatik terfokus pada suatu komunikasi praktis yang dipengaruhi berbagai faktor diluar bahasa. Faktor inilah yang turut memberi

11


(27)

commit to user

makna dalam proses komunikasi. Cruse dalam Louise Cummings (2007: 2) menjelaskan:

Pragmatik adalah suatu kajian yang berurusan dengan aspek informasi (dalam

pengertian yang paling luas) yang disampaikan melalui bahasa yang (a) tidak

dikodekan oleh konvensi yang diterima secara umum dalam bentuk linguistik yang digunakan, namun yang (b) juga muncul secara alamiah dari dan tergantung pada makna-makna yang dikodekan secara konvensional dengan

konteks tempat penggunaan bentuk-bentuk tersebut (sesuai penekanan ditambahkan).

Hal ini seperti yang diungkapkan oleh George Yule (2006: 3-4) tentang empat definisi pragmatik, yaitu (1) bidang yang mengkaji makna pembicara; (2) bidang yang mengkaji makna menurut konteksnya; (3) bidang yang, melebihi kajian tentang makna yang diujarkan, mengkaji makna yang dikomunikasikan atau terkomunikasikan oleh pembicara; dan (4) bidang yang mengkaji bentuk ekspresi menurut jarak sosial yang membatasi partisipan yang terlibat dalam percakapan tertentu.

Pragmatik juga digunakan untuk mengkaji cara suatu hal yang disampaikan lebih banyak dimengerti mitra tutur dibandingkan hal yang dituturkan penutur sekaligus mengkaji bentuk ekspresi menurut jarak sosial yang membatasi partisipan yang terlibat dalam percakapan tertentu. Batasan tersebut sering disebut faktor-faktor penentu tindak komunikatif yang penyesuaian bentuk (bahasa) atau ragam bahasa dalam kemampuan menggunakan bahasa saat berkomunikasi. Faktor-faktor tersebut yaitu siapa yang berbahasa, dengan siapa, untuk tujuan apa, dalam situasi apa, dalam konteks apa, jalur yang mana, media apa dan dalam peristiwa apa. Dengan kata lain pragmatik adalah kajian tentang kemampuan pemakai bahasa untuk mengaitkan kalimat-kalimat dengan konteks yang sesuai bagi kalimat-kalimat tersebut

Berdasarkan pendapat di atas dapat diketahui bahwa implikasi pragmatik dalam tuturan merupakan satuan pragmatik yang tersirat atau terimplikasi bentuk lingual oleh penutur dalam situasi tutur. Jika dalam suatu komunikasi, salah satu tidak paham dengan arah pembicaraan (komunikasi) tersebut, maka seringkali ditanyakan, “Sebenarnya, apa implikasi ucapan Anda tadi?”. Bahkan terkadang


(28)

commit to user

kebenaran atau keruntutan sintaksis bukanlah hal terpenting dalam tuturan karena sering dijumpai suatu komunikasi tetap dapat berjalan dengan penggunaan bentuk yang tidak apik secara sintaksis atau semantik.

Suatu analisis percakapan atau tuturan lebih mementingkan dimensi sosial sehingga penjelasan makna yang tidak alamiah dalam berkomunikasi tidak cukup hanya bermaksud menyebabkan efek tertentu pada mitra tuturnya, melainkan efek ini hanya dapat dicapai jika mitra tutur tersebut mengetahui maksud untuk menghasilkan efek ini sesuai konteks penutur dan mitra tutur (Geoffrey Leech, 1993: 5). Suatu dialog yang mengandung implikatur akan suatu melibatkan penafsinaran yang tidak langsung. Dalam komunikasi verbal, implikatur biasanya sudah diketahui oleh para penutur dan tidak perlu diungkapkan secara eksplisit. Dengan berbagai alasan, implikatur justru sering disembunyikan agar hal yang diimplikasikan tidak nampak terlalu mencolok.

Secara singkat paparan di atas ingin menanggulangi persoalan makna yang belum bisa terpecahkan dengan teori semantik biasa yaitu “apa yang diucapkan”

terkadang berbeda dengan “apa yang diimplikasikan. Meskipun demikian,

pragmatik sebagai bidang kajian dalam linguistik masih mempunyai kaitan dengan semantik. Keterkaitan ini sering disebut semantisisme, yaitu melihat pragmatik sebagai bagian dari semantik; atau sebaliknya dengan sebutan pragmatisisme, yaitu melihat semantik sebagai bagian dari pragmatik; dan komplementarisme yaitu melihat semantik dan pragmatik sebagai dua bidang yang saling melengkapi. Oleh karena itu, pragmatik sering disebut bidang yang

mengkaji makna dalam interaksi (meaning in interaction) dan dibedakan menjadi

dua hal yaitu:

1) pragmatik sebagai sesuatu yang diajarkan, ini dapat dibedakan menjadi

dua yaitu pragmatik sebagai bidang kajian linguistik dan pragmatik sebagai salah satu segi di dalam bahasa;

2) pragmatik sebagai sesuatu yang mewarnai tindakan mengajar.

Berpijak pada beberapa hal di atas, pragmatik pada hakikatnya lebih mengarah pada perwujudan kemampuan pemakai bahasa untuk menggunakan bahasanya


(29)

commit to user

memperhatikan prinsip penggunaan bahasa secara tepat. Penafsiran bahasa tuturan melalui pragmatik juga akan menjadi lebih mendalam untuk mengetahui maksud, asumsi dan tujuan pembicaraan dengan berdasar hal-hal yang penutur perlihatkan (konteks) saat tuturan tersebut diujarkan. Untuk itulah, terkadang semua konsep tuturan tersebut cenderung tidak konsisten dan objektif saat dianalisis karena berbeda konteks maka dimungkinkan berbeda pula maksud ujaran meskipun tuturan yang diujarkan sama.

Teori ini pulalah yang kemudian melahirkan implikatur dalam subkajian pragmatik sebagai penganalisis makna terselubung dari suatu tuturan yang disampaikan penutur baik secara lisan maupun tulisan. Dan penginterpretasian dalam suatu percakapan merupakan proses dinamis yang melibatkan negosiasi antara pembicara dan pendengar serta antara konteks ujaran (fisik, sosial, dan linguistik) dan makna potensial yang mungkin dari sebuah ujaran. I Dewa Putu Wijaya dan Muhammad Rohmadi (2009: 37) mengungkapkan bahwa implikatur bukan merupakan bagian tuturan yang mengimplikasikannya, hubungan antar preposisi tersebut bukan merupakan konsekuensi mutlak. Dengan kata lain, implikatur adalah maksud, keinginan, atau ungkapan-ungkapan hati penutur yang tersembunyi. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa implikatur merupakan bagian dari pragmatik yang menelaah maksud penutur yang lebih banyak dari

pada apa yang dituturkan oleh penutur (implicature) dan memahami manipulasi

bahasa untuk kesopanan (politeness).

b. Kaidah Penggunaan Implikatur Percakapan

Grice dalam Muhammad Rohmadi (2004: 55) membedakan implikatur menjadi dua jenis yaitu implikatur konvensional dan nonkonvensional. Implikatur konvensional yaitu makna ujaran yang secara umum diterima oleh masyarakat dan biasanya disebut juga dengan prinsip kerja sama yang dalam praktiknya berpegang pada empat maksim. Makna tuturan berimplikatur konvensional dapat dimengerti dengan jelas karena makna tuturan sama persis dengan makna unsur tuturan tersebut karena pemahaman suatu tuturan hanya berdasarkan unsur-unsur yang membentuk tuturan itu sendiri. Contohnya tampak pada “Muhammad Ali adalah petarung yang indah”. Kata petarung” pada kalimat ini berarti ‘atlit


(30)

commit to user

tinju’. Pemaknaan ini dipastikan benar karena secara umum (konvensional), orang yang sudah mengetahui bahwa Mohammad Ali adalah atlit tinju yang legendaris. Jadi, dalam konteks wacana tersebut, orang tidak akan memahami “petarung” dengan pengertian yang lain. Implikatur konvensional adalah implikatur yang bersifat umum dan konvensional sehingga semua orang sudah mengetahui maksud atau pengertian mengenai suatu hal tertentu berdasarkan konvensi yang telah ada. Selain itu, implikatur konvesional bersifat nontemporer yaitu makna atau pengertian tentang sesuatu bersifat lebih tahan lama. Suatu leksem yang terdapat dalam suatu bentuk ujaran dapat dikenali implikasinya karena maknanya “yang tahan lama” dan sudah diketahui secara umum seperti kata hubung “tetapi”, dan “bahkan” yang cara penginterpretasiannya pastilah sesuatu yang tidak sesuai harapan penutur. Sehingga, jenis implikatur ini tidak banyak dikaji dan dikembangkan oleh para peneliti wacana, karena dianggap kurang menarik.

Implikatur nonkonvensional (implikatur percakapan) lebih menekankan pada ujaran yang menyiratkan sesuatu yang berbeda dengan yang sebenarnya. Implikatur percakapan memiliki makna dan pengertian yang lebih bervariasi karena pemahaman terhadap hal “yang dimaksudkan” sangat bergantung kepada konteks terjadinya percakapan. Implikatur percakapan hanya muncul dalam suatu

tindak percakapan (speech act). Oleh karena itu, implikatur percakapan tersebut

bersifat temporer (terjadi saat berlangsungnya tindak percakapan), dan nonkonvesional (sesuatu yang di implikasikan tidak mempunyai relasi langsung dengan tuturan yang diucapkan). Dengan kata lain, ketika seseorang berbicara, sesuatu yang dikatakan atau yang dituliskan tidak selalu sama dengan yang dimaksudkan karena disesuaikan konteks. Bahkan dapat dimungkinkan sebuah tuturan memiliki lebih dari satu implikatur karena semua penafsiran implikatur tergantung pada konteks saat tuturan tersebut diujarkan.

Selain itu, implikatur percakapan bukan merupakan bagian dari tuturan karena lebih mengacu kepada jenis “kesepakatan bersama” antara penutur dan mitra tuturnya, kesepakatan dalam pemahaman, bahwa yang dibicarakan harus saling berhubungan. Kunjana Rahardi (2008: 17) menyatakan bahwa konteks pada hakikatnya adalah latar belakang pengetahuan yang dapat dipahami penutur dan


(31)

commit to user

mitra tutur sehingga hubungan atau keterkaitan itu sendiri tidak terdapat pada masing-masing ujaran. Artinya, maksud keterkaitan itu tidak diungkapkan secara harafiah pada ujaran itu, melainkan berdasarkan kebiasaan atau pengetahuan yang sudah saling dipahami antar kedua belah pihak. Perhatikan bentuk-bentuk percakapan dibawah ini.

Guru : Santi, papan tulis ini penuh coretan. Santi : Sebentar Bu, penghapusnya dimana?

Percakapan antara guru dengan Santi pada contoh tersebut mengandung implikatur percakapan yang bermaksud perintah menghapus coretan di papan tulis. Dalam tuturan itu, tidak ada sama sekali bentuk kalimat perintah. Tuturan yang diucapkan guru hanyalah pemberitahuan bahwa papan tulis ini penuh

coretan. Namun karena Santi dapat memahami implikatur percakapan yang

disampaikan guru, ia menjawab dan kesiapan untuk melaksanakan perintah guru tersebut meskipun dia justru kebingungan mencari penghapus untuk menghapus papan tulis. Hal ini dapat diketahui dari respon Santi dengan ujaran ”Sebentar Bu, penghapusnya dimana?”. Jadi, implikatur percakapan itu dapat dikatakan sejenis maksud yang terkandung dalam cakapan yang dipahami oleh masing-masing partisipan.

Dalam implikatur maupun implikatur percakapan dapat saja bermuatan implikasi pragmatik atau implikasi sosiokultural artinya bahwa dalam satu tuturan dalam percakapan bisa saja memiliki kedua implikasi pragmatik dan implikasi sosiokultural. Seperti dalam pengungkapan bahasa tidak dapat dilepaskan dari konteks sosiokultural pemakaian bahasa itu sendiri sehingga dapat dikatakan bahwa implikatur konversasional (percakapan) merupakan salah satu gagasan terpenting dalam pragmatik. Paul Ohoiwutun (2007: 91) menyimpulkan bahwa sesingkat apapun suatu percakapan, jika terdapat satu mekanisme pemahaman yang lain di luar makna harafiah maka maksud penutur dalam implikatur tersebut dapat dimengerti. Hal ini karena wujud implikatur percakapan adalah sejumlah wujud tuturan yang realisasinya berdasarkan makna diluar bentuk linguistik atau situasi tutur baik berupa penutur, mitra tutur, konteks, waktu maupun tempat ujaran atau yang sering disebut konteks.


(32)

commit to user

Kegunaan konsep implikatur percakapan antara lain:

1) memberi penjelasan fungsional atas fakta-fakta kebahasaan yang tidak

terjangkau oleh teori-teori linguistik struktural

2) memberi penjelasan yang tegas dan eksplisif tentang bagaimana kemungkinan

pemakai bahasa dapat menangkap pesan, walaupun hal yang diucapkan secara lahiriah berbeda dengan hal yang dimaksud

3) dapat menyederhanakan pemerian semantik dari perbedaan hubungan antar

klausa, meskipun klausa-klausa itu dihubungkan dengan kata dan struktur yang sama

4) dapat menerangkan berbagai macam fakta dan gejala kebahasaan yang secara

lahiriah tidak berkaitan (Stephen C. Levinson, 1983: 97-100).

Berdasarkan kegunaan implikatur percakapan di atas, dapat diketahui adanya kerja sama yang konstributif antara penutur dan mitra tutur dalam suatu percakapan. Kerjasama yang dimaksud adalah bahwa antara penutur dan mitra tutur mengharapkan sumbangan (respon) sesuai yang diperlukan dan tingkat penerimaan yang sesuai dengan makna yang dapat diterima dan disepakati sehingga sejumlah implikasi makna tuturan dapat dipahami oleh mitra tutur. Hal ini dapat dilihat saat guru akan memulai pembelajaran di jam pertama.

Guru : Ketua kelas, silahkan.

Peserta didik : Siap gerak! Berdoa dimulai!

Dengan memperhatikan kebiasaan guru yang selalu bertutur ”Ketua kelas, silakan” sebelum memulai pembelajaran jam pertama, salah satu peserta didik selaku ketua kelas langsung dapat memahami makna tuturan tersebut yaitu sebagai perintah agar dia memimpin berdoa sebelum kegiatan pembelajaran dimulai. Sehingga implikatur percakapan akan dengan mudah dipahami oleh penutur dan mitra tutur jika keduanya telah berbagi pengalaman dan pengetahuannya atau mengetahui kebiasaan mitra bicara.

Implikatur percakapan mempunyai sifat dapat diperhitungkan, ditangguhkan, dibatalkan dan ditegaskan kembali (George Yule, 2006: 78). Selain itu, Louise


(33)

commit to user

Cummings (2007: 20-24) juga memperjelas bahwa ada lima ciri implikatur konversasional (percakapan) yaitu:

1) daya batal (cancellable) dalam keadaan tertentu implikatur percakapan dapat

dibatalkan oleh perubahan konteks, baik dengan cara eksplisit atau pun dengan

cara kontekstual.

A: Apakah kamu dapat belajar kelompok di rumahku malam ini? B: Kedua orang tuaku akan pergi ke rumah nenek malam ini.

Tetapi aku akan kabari nanti.(ujaran yang membatalkan ujaran diatas)

2) ketidakterpisahan (nondetachable) dengan cara mengatakan sesuatu itu

sehingga orang memakai tuturan bermuatan implikatur percakapan untuk menyampaikannya sehingga sulit dipisahkan hanya dengan mengubah bentuk linguistik ujaran tersebut.

Konteks: Diucapkan didepan seorang anak yang suka berbuat gaduh di kelas

A: Betapa pendiam anak ini!(sebenarnya ujaran menyindir)

3) implikatur percakapan mempersyaratkan penegtahuan makna konvensional

dari kalimat yang dipakai terlebih dahulu, sehinggas isi implikatur percakapan

tidak masuk dalam makna konvensional tuturan tersebut (nonconventional).

A: Pukul berapa sekarang?

B: Upacara pengibaran Bendera Merah Putih akan segera selesai. (Upacara pengibaran Bendera Merah Putih biasanya selesai pukul 07.30, jadi saat itu masih pukul 07.30 kurang)

4) kebenaran isi implikatur percakapan tidak tergantung pada apa yang dikatakan

(calculable/ daya nalar atau hitung).

Konteks: Diucapkan didepan seorang anak yang suka mengganggu temannya A: ”Betapa menyenangkannya anak ini! Sehingga dia mempunyai banyak

teman.” (sebenarnya sedikit yang mau berteman dengannya)

5) implikatur percakapan tidak dapat diberi penjelasan spesifik yang pasti sifatnya

(indeterminate). Sehingga dengan keberadaan ini implikatur percakapan dalam suatu percakapan secara fungsional dapat diterangkan melalui keterbatasan pemahaman bahasa secara struktural.


(34)

commit to user

A: Di mana kamu berasal?

B: Di suatu tempat di Sulawesi Tengah. (si B berusaha menyembunyikan identitasnya karena sesuatu hal yang tidak pasti)

Dengan demikian, setiap penjelasan tentang makna suatu tuturan harus sesuai fakta yang diamati dan sesederhana atau serampat mungkin sehingga tidak menimbulkan salah tafsir. Implikatur percakapan dapat memberikan penjelasan secara fungsional mengenai sejumlah fakta kebahasaan yang berkaitan dengan konteks tuturan yang mengikatnya, ditambah prinsip-prinsip bertutur seperti Prinsip Kerjasama (PK) dan Prinsip Sopan Santun (PS).

Prinsip kerja sama menganjurkan agar komunikasi verbal dilakukan dengan bentuk yang lugas, jelas, isinya benar, dan relevan dengan konteksnya. Prinsip kesopanan menganjurkan agar komunikasi verbal dilakukan dengan sopan, yaitu bijaksana, mudah diterima, murah hati, rendah hati, cocok, dan simpatik. Bahkan implikatur percakapan mampu menghadirkan sejumlah makna tuturan selain yang terungkap secara lingual (berwujud tanda/lambang) atau secara struktural. Untuk itu, meskipun membahas ujaran menggunakan pendekatan pragmatik, tetapi memerlukan sudut pandang semantik sebagai penyelaras dengan tetap menggunakan dua prinsip pragmatik sebagai berikut.

1)Prinsip Kerjasama (PK)

Dalam komunikasi, penutur dan petutur biasanya berusaha untuk saling bekerja sama, dengan maksud agar tujuan atau pesan ujaran yang mereka tuturkan dapat dipahami oleh partisipan komunikasi. Grice dalam Sarwiji Suwandi (2008:7) menyatakan bahwa dalam memahami kaidah percakapan diperlukan dua pokok kaidah percakapan yaitu prinsip kooperatif (kerjasama) dan maksim percakapan. Prinsip kerjasama lebih menekankan pada penggunaan segala ujaran yang sesuai dengan tujuan percakapan yang telah disepakati atau sesuai arah percakapan yang diiikuti. Prinsip kerja sama seringkali diartikan sebagai panduan umum yang melingkupi interaksi percakapan. Prinsip kerja sama membuat kontribusi peserta tutur menjadi tepat dalam sebuah percakapan.

Sedangkan maksim percakapan sebagai realisasi PK terdiri dari 4 maksim antara lain:


(35)

commit to user

a) Maksim Kuantitas

(1)Buatlah sumbangan Anda seinformatif yang diperlukan.

(2)Jangan membuat sumbangan Anda lebih informatif dari yang diperlukan.

b) Maksim Kualitas

(1)Jangan mengatakan apa yang Anda yakini tidak benar

(2)Jangan mengatakan sesuatu yang Anda tidak/ kurang mempunyai

buktinya.

c) Maksim Hubungan

(1)Bicaralah yang relevan atau berguna

d) Maksim Cara

(1)Hindarilah ungkapan yang membingungkan.

(2)Hindarilah ambiguitas.

(3)Bicaralah secara singkat.

(4)Bicaralah secara khusus. (Diadaptasi dari Grice dalam Geoffrey Leech,

1993: 11)

Secara singkat, seorang penutur harus menyampaikan informasi kepada orang lain dengan didukung oleh data (prinsip kualitas), sesuai dengan yang diperlukan, tidak lebih dan tidak kurang (prinsip kuantitas), berkaitan dengan yang sedang dibicarakan dengan mitra tutur (prinsip relevansi). Dan, yang terakhir adalah prinsip cara, artinya ketika berkomunikasi dengan orang lain di samping harus ada masalah yang dibicarakan juga harus memperhatikan cara menyampaikan. Kadang-kadang ketika seseorang berkomunikasi, sebenarnya pokok masalah yang dibicarakan bagus dan menarik, tetapi jika cara menyampaikan justru menyinggung perasaan, terkesan menggurui, kata-kata yang digunakan terasa kasar, atau cenderung melecehkan,tujuan komunikasi dapat tidak tercapai.

Salah satu pegangan atau kaidah percakapan ialah mitra tutur menganggap penutur menaati dasar atau maksim di atas. Jika terdapat tanda-tanda ada maksim dilanggar, maka mitra tutur harus memutuskan bahwa ada sesuatu dibalik yang dikatakan penutur. Maka penuturlah yang menyampaikan maksud


(36)

commit to user

lewat implikatur percakapan dengan melanggar satu atau lebih maksim PK, dan mitra tuturlah yang mengenali makna-makna yang disampaikan lewat inferensi itu. Keunggulan prinsip ini terletak pada kemampuan maksim-maksim dalam

menunjukkkan pembagian kerja antara arti suatu ujaran dengan daya sekaligus

pembeda antara semantik dengan pragmatik.

Meskipun demikian, prinsip ini juga memiliki kelemahan seperti yang diungkapkan Louise Cummings (2007: 366) bahwa selain penggunaan PK dapat membuat proses komunikasi berjalan dengan lancar, tetapi pengunaan maksim-maksim tersebut terkadang justru menjadi kendala penggunaan pragmatik sehingga secara sadar penutur memilih melanggar maksim. Selain itu, juga terdapat beberapa kelemahan dalam prinsip ini yakni belum bisa menjelaskan alasan penutur tidak mengungkapkan secara langsung maksud ujaran (melanggar beberapa maksim) atau hubungan antara arti dengan maksud dalam kalimat yang bukan pernyataan. Senada dengan pendapat diatas, Geoffrey Leech (1993: 12) juga merinci kendala-kendala penggunaan prinsip kerja sama dalam pragmtik antara lain:

a) Maksim berlaku secara berbeda dalam konteks penggunaan bahasa yang

berbeda.

b) Maksim berlaku dalam tingkatan yang berbeda sehingga tidak ada maksim

yang berlaku secara mutlak ataupun tidak berlaku samasekali

c) Maksim dapat bermitraan satu dengan yang lain

d) Maksim dapat dilanggar tanpa meniadakan tindakan yang dikendalikannya

2)Prinsip Sopan Santun (PS)

Untuk menjalin hubungan yang “mesra” dan mengatasi kelemahan PK dalam berkomunikasi perlu dipertimbangkan aspek sopan-santun berbahasa. Sopan-santun dalam berkomunikasi dapat dipandang sebagai usaha untuk menghindari konflik antara penutur dan mitra tutur karena lebih bersifat sosial, estetis dan moral dalam melakukan suatu percakapan. Selain keempat maksim dalam PK, juga masih diperlukan prinsip sopan santun (PS) yang terjabar dalam enam maksim, antara lain:


(37)

commit to user

a) Maksim Kearifan (tact maxim)

(1) Buatlah kerugian orang lain sekecil mungkin.

(2) Buatlah keuntungan orang lain sebesar mungkin

b) Maksim Kedermawanan (generosity maxim)

(1) Buatlah keuntungan sendiri sekecil mungkin.

(2) Buatlah kerugian sendiri sebesar mungkin.

c) Maksim Pujian (approbation maxim)

(1) Kecamlah orang lain sedikit mungkin.

(2) Pujilah orang lain sebanyak mungkin.

d) Maksim Kerendahan Hati (modesty maxim)

(1) Pujilah diri sendiri sesedikit mungkin.

(2) Kecamlah diri sendiri sebanyak mungkin.

e) Maksim Kesepakatan (agreement maxim)

(1) Usahakan agar ketidaksepakatan antara diri dan orang lain terjadi

sedikit mungkin.

(2) Usahakan agar kesepakatan antara diri dan orang lain terjadi sebanyak

mungkin

f) Maksim Simpati (sympathy maxim)

(1) Kurangilah rasa antipati antara diri dan orang lain sebanyak mungkin

(2) Tingkatkan rasa simpati diri terhadap orang lain setinggi mungkin

(Geoffrey Leech, 1993: 206).

Inti dari prinsip sopan santun ini adalah maksim kebijaksanaan

(memberikan keuntungan bagi mitra tutur), maksim kedermawanan

(memaksimalkan kerugian pada diri sendiri), maksim pujian (memaksimalkan pujian kepada mitra tutur), maksim kerendahan hati (meminimalkan pujian kepada diri sendiri), maksim kesetujuan (memaksimalkan kesetujuan dengan mitra tutur), dan maksim simpati (memaksimalkan ungkapan simpati kepada mitra tutur. Rumusan prinsip kesantunan tersebut dapat dibagi menjadi tiga butir pokok yaitu berikan pilihan, buat perasaan mitra tutur tetap baik dan jangan memaksa mitra tutur (Abdul Rani, 2006: 37). Oleh karena itu, demi kesantunan, penutur harus dapat memperlakukan mitra tutur sebagai berikut:


(38)

commit to user

a) jangan perlakukan mitra tutur sebagai orang yang tunduk kepada

penutur. Jangan sampai mitra tutur mengeluarkan “biaya” (biaya sosial, fisik, psikologis, dsb) atau agar kebebasannya menjadi terbatas;

b) jangan mengatakan hal-hal yang kurang baik mengenai diri mitra

tutur atau orang atau barang yang ada kaitannya dengan mitra tutur;

c) jangan mengungkapkan rasa senang atas kemalangan mitra tutur;

d) jangan menyatakan ketidaksetujuan dengan mitra tutur sehingga

mitra tutur merasa jatuh harga dirinya;

e) jangan memuji diri sendiri atau membanggakan nasib baik atau

kelebihan diri sendiri.

Prinsip sopan santun dianggap sebagai “piranti” untuk menjelaskan alasan

penutur sering bertutur secara tidak langsung (indirect) dalam mengungkapkan

maksudnya. Motivasi penggunaan tindak tutur tidak langsung dimaksudkan agar ujaran terdengar lebih santun. Tetapi perlu diketahui bahwa kesopansantunan ujaran sangat bergantung kepada penafsiran mitra tutur, artinya ujaran yang dianggap santun oleh penutur belum tentu santun pula bagi mitra tutur. Paul Ohoiwutun (2007: 93) menjelaskan sifat prinsip kesopanan ada dua yaitu absolut (umum) dan realatif. Prinsip kesopanan absolut mengacu pada norma kesopanan yang secara umum diterima masyarakat sehingga cenderung tidak dipealajari secara khusus.

Prinsip kesopanan relatif dalam berbahasa memberikan pengertian bahwa norma yang berlaku di suatu tempat tidak menutup kemungkinan berbeda dengan tempat lain karena dipengaruhi oleh faktor penentu bahasa. Hanya saja dengan memperhatikan kaidah-kaidah sosial dan memilih metode komunikasi yang tepat serta mempertimbangkan skala pragmatik maka secara tidak langsung membantu dalam pemilihan ujaran yang dianggap sopan mitra tutur. Misalnya

norma bahasa Jawa yang memiliki undha usuk berbahasa dalam penerapan

prinsip kesopanan.

Penilaian derajat kesopanan suatu ujaran memerlukan lima skala pertimbangan yang disebut “skala pragmatik” (Geoffrey Leech, 1993: 194-199).


(39)

commit to user

skala pilihan (optionality), skala ketaklangsungan (indirectness), skala otoritas (authority), dan skala jarak sosial (social distance) Penerapan skala pragmatik dalam bahasa Indonesia serta kaitannya dengan derajat kesopansantunan ujaran dapat diamati pada contoh berikut.

Skala pertama, skala biaya-keuntungan atau skala untung-rugi digunakan untuk menghitung biaya yang diperlukan dan keuntungan yang diperoleh mitra tutur untuk melakukan tindakan sebagai akibat dari daya ilokusi tuturan direktif yang diperintahkan oleh penutur (I Dewa Putu Wijaya dan Muhammad Rohmadi, 2009: 43). Agar lebih jelas berikut contoh ujaran-ujaran direktif. Makin ke bawah ujaran ini dinilai makin santun sebab makin sedikit biaya yang diperlukan untuk melakukan tindakan tersebut dan makin banyak keuntungan yang diperoleh oleh mitra tutur.

a) Pergi!

b)Buatkan secangkir kopi untukku!

c) Makanlah sayur itu!

Biaya bagi Santun

mitra tutur kurang

Keuntungan Santun

Bagi mitra tutur lebih

Dari ketiga tuturan di atas tampak bahwa untuk pergi dan membuatkan secangkir kopi (tuturan a dan b) diperlukan biaya/ tenaga lebih banyak bagi mitra tutur dalam melakukan tindakan tersebut, dan sebaliknya sangat sedikit keuntungan yang diperolehnya sehingga tuturan itu bernilai kurang santun. Sementara itu, untuk makan sayur (tuturan c) mitra tutur hanya memerlukan biaya sangat sedikit dengan keuntungan yang sangat besar, sehingga tuturan (c) dinilai oleh mitra tutur lebih santun daripada tuturan (a dan b).


(40)

commit to user

Skala kedua, skala keopsionalan digunakan untuk menghitung berapa banyak pilihan yang diberikan oleh penutur kepada mitra tutur untuk melaksanakan tindakan (I Dewa Putu Wijaya dan Muhammad Rohmadi, 2009: 20). Berikut contoh ujaran yang makin banyak jumlah pilihan, makin santun tindak ujaran tersebut.

a) Nak, tutup pintu itu!

b)Lis, silahkan tutup pintu itu!

c) Bu, kalau berkenan silahkan tutup pintu itu!

Lebih sedikit Kurang santun

pilihan

Lebih banyak Lebih santun

pilihan

Berdasarkan banyak sedikitnya pilihan, mitra tutur dapat menilai suatu tuturan kurang santun atau lebih santun. Dengan demikian tuturan (b) dinilai lebih santun daripada tuturan (a), dan tuturan (c) lebih santun daripada tuturan (b). Tuturan (a) dinilai paling tidak santun dari semua tuturan yang ada sebab penutur tidak memberikan pilihan apa pun kepada mitra tutur, kecuali hanya ‘menyuruh agar mitra tutur menutup pintu itu’. Sebaliknya, tuturan (c) dinilai paling santun sebab penutur memberikan pilihan kepada mitra tutur untuk ‘menutup pintu itu’, yaitu bila mitra tutur berkenan (tidak keberatan). Jadi, dalam hal ini derajat kesopansantunan tuturan direktif tersebut ditentukan oleh skala pragmatik keopsionalannya.

Skala ketiga, yaitu skala ketaklangsungan tuturan, yakni seberapa panjang jarak yang “ditempuh” oleh daya ujaran itu untuk sampai pada tujuan ujaran (Kunjana Rahardi, 2008: 122). Dalam hal ini, semakin langsung tuturan itu maka


(41)

commit to user

dipandang semakin kurang santun, dan sebaliknya, semakin tidak langsung tuturan itu semakin santun. Inilah contoh-contoh ujaran tersebut.

a) Bersihkan dulu meja itu!

b) Ruangan ini akan digunakan untuk pertemuan, bersihkan dulu meja itu!

Lebih Kurang

langsung santun

Lebih tak Lebih

langsung santun

Di sini, tuturan (a) adalah tuturan yang bermodus paling langsung dan, karena itu, dianggap paling kurang santun menurut mitra tutur. Sebaliknya, tuturan-tuturan yang lain, (b) lebih tidak langsung akan terasa lebih santun.

Skala yang keempat yaitu skala otoritas yang menunjuk hubungan status sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dapat percakapan (P. W. J. Nababan, 1987: 14). Sehingga semakin jauh jarak peringkat sosial antara penutur dengan mitra tutur, tuturan yang digunakan akan cenderung semakin santun. Sebaliknya, semakin dekat jarak peringkat status sosial di antara keduanya, tuturan kesantunan yang digunakan cenderung akan berkurang. a) Nggak ngerti

b)Aku tak mengerti maksudmu

c) Maaf, saya tidak mengerti maksud Bapak

Lebih Kurang

rendah santun

Lebih Lebih


(42)

commit to user

Di sini, tuturan (a) adalah tuturan seorang kakaj kepada adiknya, tuturan (b) adalah tuturan seorang bapak kepada adik iparnya, dan tuturan (c) adalah tuturan mahasiswa kepada dosennya. Perbedaan jarak peringkat sosial ini membuat tuturan yang digunakan juga berbeda tingkatan kesantunannya. Tuturan (a) cenderung kurang santun karena mitra tutur memiliki peringkat sosial yang lebih rendah dari penutur. Sebaliknya, tuturan lain (b dan c) lebih santun karena mitra tutur dianggap sama atau lebih tinggi dibanding penutur.

Dan skala yang terakhir yaitu skala jarak sosial yang menunjuk pada tingkat keakraban hubungan antara penutur dengan mitra tutur (Kunjana Rahardi, 2008: 128). Sehingga semakin akrab antara keduanya, tuturan yang digunakan semakin kurang santun. Sebaliknya, semakin jauh tingkat keakraban antara penutur dengan mitra tutur maka semakin santunlah tuturan yang digunakan.

a) Silahkan dimakan!

b)Mari makan!

c) Yuk, makan!

Kurang Lebih

akrab santun

Lebih Kurang

akrab santun

Dilihat dari ketiga tuturan di atas, dapat diketahui bahwa tuturan (a) meskipun penutur mempunyai tingkat sosial yang lebih tinggi, tetapi karena kurang akrab maka tuturan yang digunakan cenderung lebih sopan. Tuturan (b dan c) cenderung kurang santun karena penutur dan mitra utur memiliki tingkat keakraban tinggi meskipun peringkat sosial penutur lebih rendah. Sedangkan pada tuturan (d) lebih kurang sopan karena selain tingkat sosial antara penutur dan mitra tutur sama, tingkat kedekatan keduanya juga sangat akrab.


(43)

commit to user

Sedikit berbeda dengan paparan di atas, George Yule (2006: 104) menyebutkan bahwa dalam berinteraksi dengan menggunakan bahasa terdapat kesantunan berbahasa yang memiliki batasan kesantunan itu sendiri sebagai upaya sadar seseorang dalam menjaga keperluan wajah orang lain. Istilah kesantunan sering disebut “wajah”, dalam hubungan sebagai citra diri seseorang

dalam masyarakat. Aspek wajah terdiri atas wajah positif dan wajah negatif.

Wajah positif mengacu kepada kebutuhan seseorang untuk dapat diterima dan disukai oleh orang lain dalam kehidupan sosial; sedangkan wajah negatif merupakan hak seseorang untuk dapat bertindak secara independen dan tidak beroleh paksaan dari orang lain.

Dalam hubungan ini, apabila penutur kurang memperhatikan hal yang menjadi keinginan wajah mitra bicara, misalnya, dengan mengatakan sesuatu berupa paksaan ataupun ancaman, penutur dipandang telah melakukan suatu

tindakan mengancam wajah (face threatening act). George Yule (2006: 106)

menguraikan bahwa tuturan yang disampaikan mungkin saja oleh orang lain ditafsirkan sebagai sesuatu ancaman atau paksaan terhadap wajahnya; dan apabila penutur mengantisipasi dan melakukan suatu upaya untuk mengurangi yang mungkin dianggap bersifat ancaman itu, upaya demikian disebut tindakan

menjaga wajah (face saving action).

Peristiwa inilah yang sering disebut kesenjangan ketika berinteraksi, yakni tidak semua prinsip dan norma kesantunan itu terlaksana. Yang perlu diperhatikan dalam menerapkan prinsip sopan santun untuk menyelamatkan wajah adalah hal yang menjadi keinginan wajah negatif atau yang merupakan

keinginan wajah positif. Orang yang berwajah negatif tidak mau terikat dan

dibebani; dia cenderung memilih bebas untuk berbuat dan tidak ingin mendapat

tekanan atau paksaan dari orang lain. Orang yang berwajah positif

menginginkan dirinya dapat diterima sebagai bagian integral dari kelompoknya serta keinginan-keinginannya diperhatikan orang lain. Secara singkat dapat dikatakan bahwa wajah negatif itu ialah keinginan pribadi untuk independen.

Wajah positif sebagai keinginan seseorang untuk diterima sebagai anggota kelompok masyarakat. Dengan demikian, tindak penyelamatan wajah yang


(44)

commit to user

orientasinya kepada orang berwajah negatif cenderung dengan penyertaan tanda hormat, menghargai waktu dan urusannya, dan terkadang malah harus disertai lebih dahulu dengan pernyataan minta maaf apabila hendak memerintahkan atau mengganggunya.

Tingkat keakraban sosial dalam masyarakat dipengaruhi dua faktor untuk menentukan pemunculan tipe kesantunan yaitu pertama kesantunan bertutur yang dialamatkan kepada petutur dalam rangka menjaga keinginan wajah. Kedua, kesantunan yang baru akan sangat terasa jika penutur dan mitra tutur dalam berinteraksi terkendala oleh hubungan sosialnya yang belum cukup serasi dalam masyarakat (Namsyah Hot Hasibuan, 2005: 92). Dalam hubungan interaksi sosial, partisipan yang merasa berhadapan dengan kondisi seperti itu biasanya menghendaki agar citra dirinya dalam masyarakat yang justru menjadi keinginan wajahnya terjaga dan dihormati. Hal ini karena setiap jenis wajah, di antara yang positif dan yang negatif, memiliki keinginan yang berbeda untuk disikapi melalui dua tipe pendekatan yang berbeda pula, yang masing-masing

lazim disebut sebagai kesantunan positif dan kesantunan negatif.

Orientasi kesantunan positif adalah menjaga atau menyelamatkan wajah positif orang lain. Orang dikatakan memiliki kesantunan positif apabila orang yang dimaksudkan memiliki siasat bertutur yang menggambarkan adanya rasa solidaritas dengan pendengarnya. Hal demikian biasanya ditandai dengan adanya penggunaan tuturan informal; misalnya dengan memunculkan ucapan

yang berciri dialek ataupun bahasa slang, nama panggilan, dan meminta dengan

cara tidak langsung. Selanjutnya, kesantunan negatif merujuk kepada tuturan yang orientasinya menjaga atau menyelamatkan wajah negatif orang lain. Hal semacam ini biasa terjadi pada partisipan yang belum mencapai keakraban dalam interaksi sosial di lingkungan masyarakat. Artinya, masih terdapat jarak sosial antara penutur dan petutur. Pada kesantunan negatif, orang menggunakan siasat bertutur yang menekankan adanya hormat dan menghargai petutur atau

pendengarnya. Nama panggilan, bahasa slang, dan tuturan informal yang biasa

digunakan dalam siasat kesantunan positif, tidak digunakan pada siasat kesantunan negatif.


(45)

commit to user

Contoh batasan ini terlihat dari perbedaan pemakaian bentuk tolong dan

coba bukanlah kendala resmi takresmi atau kendala sintaksis, melainkan karena

kendala makna (pragmatik). Kalimat imperatif dengan bentuk tolong, penutur

menempatkan dirinya lebih rendah daripada mitra tutur. Kalimat imperatif

dengan bentuk coba menempatkan penutur lebih tinggi daripada mitra tutur.

Pada kalimat imperatif dengan silakan, penutur menempatkan dirinya sejajar

dengan mitra tutur.

a) Tolong tunggu di sini.

b) Coba tunggu di sini.

c) Silakan tunggu di sini.

Pada contoh tuturan (a) tampak penutur menempatkan dirinya lebih rendah daripada mitra tutur; contoh (b) penutur lebih tinggi daripada mitra tutur, dan

pada contoh (c) penutur sejajar dengan mitra tutur. Pemakaian silakan,

dipandang lebih arif dan sangat sopan daripada pemakaian bentuk tolong dan

coba karena penutur dan mitra tutur berada pada tingkat yang sama, masing-masing tidak ada yang memandang tinggi atau pun rendah.

Berdasar penjelasan di atas dapat disimpulkan suatu tuturan memiliki tingkat kesantunan berbeda-beda berdasarkan batasan tertentu. Semua itu pada hakikatnya dilakukan melalui sikap sadar yang ditunjukkan dalam menjaga wajah orang lain. Tujuan sikap ini penting bagi mitra tutur yang memiliki jarak sosial dengan penutur sebagai tindakan menghargai atau hormat pada petutur atau orang lain; sedangkan sikap yang sama terhadap orang yang dirasa akrab biasanya dipandang sebagai solidaritas atau sikap bersahabat. Disinilah prinsip sopan santun penutur yang terlibat dalam interaksi perlu menyadari adanya prinsip dan norma semacam itu dalam kehidupan sosial kemasyarakatan.

Prinsip sopan santun sebagaimana dinyatakan oleh Geoffrey Leech (1993:123) secara umum dapat dirumuskan seperti berikut:

a. Dalam Bentuk Negatif

Kurangilah tuturan-tuturan yang tidak sopan atau gunakanlah sesedikit mungkin tuturan-tuturan yang mengungkapkan pendapat yang tidak sopan menjadi sesopan mungkin.


(46)

commit to user

b. Dalam Bentuk Posiitif

Perbanyak atau gunakanlah sebanyak-banyaknya tuturan-tuturan yang mengungkapkan pendapat-pendapat yang sopan.

Pendapat senada juga diungkapkan Yeni Mulyani Supriatin (2007:57) yang mencontohkan hal tersebut berdasarkan tuturan imperatif. Penggunaan tuturan imperatif menyebabkan petutur tidak mempunyai pilihan lain kecuali menaati perintah sehingga dipandang merugikan petutur. Sedangkan bentuk kalimat imperatif yang tidak diawali dengan pemarkah kesantunan apabila satu sama lain dibandingkan akan menunjukkan kadar kesantunan berbahasa. Hal itu tergambarkan melalui skala “untung-rugi”, yaitu nilai-nilai yang dianggap menguntungkan atau merugikan mitra tutur. Perintah yang menguntungkan mitra tutur dipandang lebih sopan, sedangkan perintah-perintah yang merugikan mitra tutur dipandang kurang sopan. Penutur merasa yakin bahwa mitra tutur akan melaksanakan perbuatan yang diperintahkan.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa baik dalam bentuk positif maupun negatif tuturan-tuturan yang sopan selalu berusaha menguntungkan mitra tutur, sedangkan pendapat atau tuturan yang tidak sopan selalu merugikan mitra tutur atau pihak ketiga. Pada hakikatnya pelanggaran prinsip kerjasama dan penggunaan prinsip sopan-santun berbahasa lebih terpusat agar mitra tutur mengerti maksud tersembunyi penutur. Contohnya, pemakaian bentuk interogatif dalam tuturan berimplikatur bertujuan perintah merupakan ilokusi tak langsung yang melanggar prinsip kerja sama dianggap lebih sopan karena tidak mengandung kata perintah. Dalam prinsip sopan-santun tujuan yang mengandung perintah harus disampaikan dengan sopan, artinya tidak mengandung kata perintah. Namun perlu diketahui tidak semua pelanggaran prinsip kerja sama akan terkesan lebih sopan. Untuk lebih mengongkretkan tuturan-tuturan yang sopan dan tidak sopan dalam tuturan biasanya dikaitkan tindak-tindak ilokusi dengan kesantunan berbahasa.


(47)

commit to user

c. Hakikat Ilokusi

Tuturan konversasional (implikatur percakapan) merupakan tuturan tersirat yang makna tuturannya hanya dapat dipahami melalui konteks dan kemampuan untuk melakukan sesuatu yang berhubungan dengan tuturan yang dituturkan. Kekuatan inilah yang sering disebut ilokusi. Tuturan yang mengandung ilokusi tidak langsung lebih dianggap penting dan terkadang justru disengaja oleh penutur untuk menyatakan maksudnya. Hal ini sesuai pendapat Mary Kate McGowan, Shan Shan Tam dan Margaret Hall (2009: 496) yang mengungkapkan, “There is a sense in which the indirect speech act is more important than the direct one. After all, in this dining context, the speaker’s primary reason for speaking at all is to perform the indirect request”.

Berdasarkan pendapat tersebut juga dapat diketahui bahwa ujaran tidak langsung menjadi suatu hal yang penting dibandingkan ujaran langsung karena berkaitan dengan tindak ilokusi untuk pencapaian tujuan tuturan. Tujuan yang dimaksud adalah tujuan penutur terhadap mitra tutur berkaitan dengan pemeliharaan hubungan sosial antara penutur dan mitra tutur terutama berkenaan dengan tujuan direktif, yaitu berkaitan dengan perintah kepada mitra tutur melakukan sesuatu. Sehingga tujuan personal lazimnya dicapai melalui tujuan-tujuan sosial dengan tuturan lebih halus. Ilokusi ini berperan menegosiasikan suatu proposisi (pengacuan. prediksi) di antara penutur dan mitra tutur dalam komunikasi.

Pragmatis terdapat tiga jenis tindakan yang dapat diwujudkan penutur, yaitu

tindak lokusi (locutionary act), tindak ilokusi (ilokutionary act) dan tindak

perlokusi (perlokutionary act) (Searle dalam Muhammad Rohmadi, 2004: 30).

Tindak lokusi adalah tindak tutur untuk menyatakan sesuatu sehingga tidak memperhitungkan konteks tuturannya dan tindak ilokusi adalah tindak tutur yang berfungsi untuk mengatakan sesuatu sekaligus melakukan sesuatu sehingga mempertimbangkan penutur dan mitra tutur (konteks tuturan). Sedangkan perlokusi adalah tindak tutur yang mengutarakan maksud untuk mempengaruhi/ memberikan efek pada mitra tutur.


(1)

commit to user

BAB V

SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN

A. Simpulan

Peneliti dapat mengambil kesimpulan berdasarkan data penelitian terhadap adanya implikatur percakapan dalam pembelajaran bahasa Indonesia di kelas V SDN Pondok 1 Kecamatan Nguter Kabupaten Sukoharjo seperti yang dijelaskan pada bab IV maka dapat disimpulkan sebagai berikut.

1. Wujud implikatur percakapan yang ditemukan dalam pembelajaran bahasa Indonesia di kelas V SDN Pondok 1 Kecamatan Nguter Kabupaten Sukoharjo sebagian besar dituturkan dalam bahasa Jawa dan terdiri atas enam pelanggaran prinsip kerja sama yang didominasi oleh pelanggaran maksim kuantitas berdasar respon mitra tutur baik berupa ujaran maupun tindakan. Keterkaitan penggunaan implikatur percakapan dengan penerapan maksim sopan santun dalam pembelajaran bahasa Indonesia adalah sebagai berikut: (1) penerapan maksim kearifan didominasi pelanggaran maksim cara; (2) penerapan maksim kedermawanan didominasi pelanggaran maksim kualitas; (3) penerapan maksim pujian didominasi pelanggaran maksim kualitas; (4) penerapan maksim kerendahan hati didominasi pelanggaran maksim hubungan; (5) penerapan maksim kesepakatan didominasi pelanggaran maksim kuantitas; (6) penerapan maksim gabungan kearifan dan pujian didominasi pelanggaran maksim gabungan kuantitas dan kualitas; (7) penerapan maksim gabungan kearifan dan kesepakatan didominasi pelanggaran gabungan kuantitas dan kualitas; (8) penerapan maksim gabungan kedermawanan dan kerendahan hati didominasi pelanggaran maksim gabungan hubungan dan cara; dan (9) penerapan maksim gabungan kedermawanan dan kesepakatan didominasi pelanggaran maksim gabungan hubungan dan cara.

2. Pelanggaran prinsip kerja sama dalam penerapan prinsip sopan santun saat interaksi dalam pembelajaran bahasa Indonesia di kelas V memiliki beberapa fungsi dan tujuan antara lain: (1) implikatur percakapan yang berfungsi


(2)

kompetitif dan bertujuan direktif untuk mengajak saat menerapkan maksim kearifan, menyarankan saat menerapkan maksim kedermawanan, dan menasihati mitra tutur saat menerapkan maksim gabungan kearifan dan pujian; (2) implikatur percakapan yang berfungsi menyenangkan dan bertujuan ekspresif untuk memuji saat menerapkan maksim pujian, bertanya saat menerapkan maksim kerendahan hati dan menyindir mitra tutur saat menerapkan maksim gabungan kedermawanan dan kesepakatan; dan (3) implikatur percakapan yang berfungsi menyenangkan dan bertujuan komisif untuk menawarkan saat menerapkan maksim kesepakatan, menjamin saat menerapkan maksim gabungan kearifan dan kesepakatan, serta kesanggupan saat menerapkan maksim gabungan kedermawanan dan kerendahan hati. 3. Alasan penggunaan implikatur percakapan dalam pembelajaran bahasa

Indonesia di kelas V SDN Pondok 1 Kecamatan Nguter Kabupaten Sukoharjo pada umumnya adalah (1) unsur konteks tutur, (2) penutur dan mitra tutur, serta (3) tujuan tuturan. Berdasarkan hasil wawancara yang dikaitkan dengan pelanggaran prinsip kerja sama dapat diketahui beberapa alasan yaitu (1) pengetahuan mitra tutur yang mendukung tujuan pembelajaran sebagai alasan melanggar maksim gabungan hubungan dan cara; (2) jika pengetahuan mitra tutur tidak sesuai tujuan pembelajaran sebagai alasan melanggar maksim kuantitas dan kualitas; (3) penutur takut menyinggung perasaan mitra tutur sebagai alasan melanggar maksim hubungan; (4) penutur merasa tidak percaya dengan hal yang dikatakan mitra tutur sebagai alasan melanggar maksim kualitas; (5) penutur mengacu pada tuturan sebelumnya atau kompetensi yang ingin dicapai sebagai alasan melanggar maksim kuantitas; dan (6) penutur memperhatikan keefektifan pembelajaran yang terlihat dengan pelanggaran maksim cara.

B. Implikasi

Peneliti akan memaparkan implikasi yang berupa implikasi teoretis, pedagogis, dan praktis berdasarkan kajian teori serta mengacu pada hasil penelitian sebagai berikut.


(3)

1. Implikasi teoretis dalam penelitian ini didasarkan pada keterkaitan hasil penelitian dengan teori-teori yang digunakan peneliti. Penelitian ini meyakinkan bahwa penggunaan implikatur percakapan dalam pembelajaran di kelas akan mempengaruhi cara berbahasa peserta didik sebagai pihak pebelajar bahasa. Banyaknya implikatur percakapan terutama implikatur percakapan dengan bahasa Jawa yang dijumpai dalam interaksi pembelajaran di kelas V SDN Pondok 1 dilakukan dengan beberapa fungsi dan tujuan. Salah satunya adalah fungsi menyenangkan dan tujuan komisif sebagai penghargaan yang diberikan guru kepada peserta didik untuk menumbuhkan kepercayaan diri dalam berpendapat dengan mementingkan unsur kesopanan. Namun, pada kenyataannya realisasi fungsi dan tujuan dengan menggunakan implikatur pesercakapan justru mengesampingkan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar sebagai tujuan pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah dasar. Penerapan fungsi dan tujuan tuturan tersebut akhirnya berimplikasi pada keberterimaan alasan penggunaan implikatur percakapan dalam pembelajaran di kelas sehingga dapat mencapai tujuan pembelajaran bahasa Indonesia yang benar, baik dan sopan.

2. Implikasi pedagogis berupa keterkaitan hasil penelitian ini dengan pembelajaran. Pengaplikasian pembelajaran bahasa Indonesia di kelas V telah sampai pada tingkat berbahasa yang baik, benar dan santun sehingga cara berbahasa guru baik sebagai bahasa pengantar maupun sebagai materi pembelajaran merupakan salah satu contoh pembentuk kecakapan secara intelektual dan emosional di masa depan. Penggunaan bahasa pengantar yang baik dapat membuat perta didik lebih aktif dan mudah memahami materi pelajaran. Secara tidak langsung, keaktifan peserta didik dalam keterampilan berbicara dengan bahasa Indonesia yang baik, benar dan santun menjadi salah satu indikator tingkat keberhasilan pembelajaran bahasa Indonesia. Selain itu, dapat juga digunakan sebagai sarana belajar keterampilan berbahasa Indonesia yang bukan hanya sekedar belajar teori, melainkan juga diterapkan secara komunikatif dan wajar dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai sarana belajar yang secara konsisten dicontohkan guru kepada peserta didik kelas V,


(4)

penggunaan tuturan berimplikatur percakapan bahkan dengan bahasa campuran yang tidak sesuai dengan kaidah yang berlaku akan mempengaruhi cara berbahasa peserta didik. Dalam hal ini peran wali kelas sekaligus guru bahasa Indonesia sangat penting dalam pembinaan bahasa Indonesia bagi peserta didik. Wali kelas harus dapat menanamkan kebiasaan kepada siswa agar dapat menggunakan tuturan berbahasa Indonesia yang baik, benar, dan sopan. Hal ini dikarenakan kelas V merupakan tingkat awal tuntutan ketercapaian kompetensi berbahasa Indonesia yang mementingkan unsur kesopanan selain baik dan benar. Dengan kata lain, pembelajaran bahasa Indonesia digunakan sebagai tumpuan yang baku, meskipun secara tidak sadar juga telah diterapkan di tingkatan kelas sebelumnya. Jika tuntutan ini dapat dicapai maka pembelajaran bahasa Indonesia akan lebih terarah pada fungsi utama bahasa yaitu komunikasi sekaligus mengembangkan ranah afektif dan psikomotorik peserta didik.

3. Implikasi praktis dalam penelitian ini berupa keterkaitan hasil penelitian terhadap penggunan implikatur percakapan pada pembelajaran bahasa Indonesia selanjutnya. Pemaparan hasil penelitian terhadap wujud, fungsi dan tujuan, serta alasan yang mendasari penutur (guru atau peserta didik) dapat membantu guru dalam memilih strategi berbahasa Indonesia selanjutnya sehingga dapat memudahkan dan mengaktifkan peserta didik dengan tetap memperhatikan penggunaan bahasa Indonesia yang baik, benar dan sopan. Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini dapat juga digunakan sebagai contoh konkret bahwa pengetahuan tentang karakteristik mitra tutur dalam menghubungkan tuturan dengan konteks tutur merupakan salah satu syarat mutlak yang harus dipahami penutur saat menggunakan implikatur percakapan yang mementingkan kesopanan. Guru atau peserta didik selaku mitra tutur memiliki kebiasaan dan pengalaman yang beragam dengan tingkat pemahaman dan pengetahuan berbahasa yang berbeda-beda pula. Hal ini menjadi tantangan besar bagi guru agar maksud tersembunyi yang ingin disampaikan dapat benar-benar dipahami oleh peserta didik, begitu pula peserta didik yang menggunakan tuturan berimplikatur percakapan. Untuk


(5)

mencapai tujuan tersebut, penutur perlu menghindari pelanggaran maksim kerja sama tanpa mengetahui karakteristik mitra tutur dalam menghubungkan tuturan dengan konteks tutur. Oleh karena itu, penutur (guru atau peserta didik) hendaknya lebih mengenal mitra tutur dan selektif dalam menggunakan tuturan berimplikatur dalam menjaga kesopanan dalam hubungan sosial antara guru dan peserta didik, tetapi tetap professional dalam melaksanakan pembelajaran.

C. Saran

Penulis juga memberikan beberapa saran yang didasari oleh hasil penelitian dan implikasi penelitian di atas sebagai berikut.

1. Bagi sekolah

SDN Pondok 1 Kecamatan Nguter Kabupaten Sukoharjo sebagai instansi terkait dalam penelitian ini diharapkan meningkatkan kualitas keprofesionalan guru dan peserta didik dalam pembelajaran bahasa Indonesia, misalnya dengan mengadakan UKBI (Ujian Kemahiran Bahasa Indonesia) atau pelatihan keterampilan mengajar bagi guru secara periodik.

2. Bagi guru atau pengajar bahasa Indonesia

Para guru atau pengajar bahasa Indonesia diharapkan membantu mengarahkan dan membekali peserta didik menggunakan bahasa Indonesia yang baik, benar dan sopan sehingga peserta didik juga akan terbiasa menggunakan bahasa Indonesia yang baik, benar dan sopan sesuai fungsi bahasa disamping teori bahasa sebagai landasan.

3. Bagi peserta didik

Peserta didik diharapkan dapat menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar dengan memilah cara berbahasa yang dicontohkan guru karena tidak semua tuturan guru yang sopan, juga sopan jika dituturkan oleh peserta didik. 4. Bagi peneliti lain

Peneliti lain diharapkan untuk menindaklanjuti penelitian implikatur percakapan dalam pembelajaran bahasa Indonesia ini, tetapi dengan ruang lingkup yang lebih sempit. Sehingga kedalaman analisis masalah mendasar


(6)

dapat diketahui. Selain itu, penelitian ini hanya terbatas pada percakapan yang terjadi saat pembelajaran bahasa Indonesia di kelas V, sehingga penggunaan implikatur percakapan selalu dihubungkan dengan kompetensi dasar yang telah dibakukan. Sehingga diharapkan adanya penelitian implikatur percakapan di luar kelas yang dapat menjamin kealamiahan dan fleksibilitas percakapan untuk mengetahui lebih dalam mengenai kesantunan dialek bahasa daerah yang mempengaruhi tuturan.


Dokumen yang terkait

Aimai dalam Implikatur Percakapan Bahasa Jepang: Kajian Pragmatik

44 305 144

Implikatur Percakapan pada Novel "99 Cahaya di Langit Eropa" Karya Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra serta Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia

3 19 126

IMPLIKATUR PERCAKAPAN DALAM PEMBELAJARAN OLAHRAGA PADA SISWA KELAS XI SMA NEGERI 2 BANDARLAMPUNG

1 11 207

Pengembangan kurikulum tingkat satuan pendidikan Sekolah Dasar mata pelajaran Bahasa Indonesia studi kasus di SD negeri Pondok 03 kecamatan Nguter kabupaten Sukoharjo

0 4 317

METODE ROLE PLAYING DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA SISWA KELAS V SD NEGERI Peningkatan Kemampuan Berbicara Melalui Metode Role Playing Dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia Siswa Kelas V SD Negeri Drajitan Kecamatan Musuk Kabupaten Boyolali Tahun Pel

0 3 10

PENDAHULUAN Peningkatan Kemampuan Menulis Karangan Deskripsi Mata Pelajaran Bahasa Indonesia Dengan Menggunakan Media Gambar Seri Pada Siswa Kelas V SD Negeri Pondok 03 Nguter Kabupaten Sukoharjo Tahun Pelajaran 2011/2012.

0 1 8

PENUTUP Peningkatan Kemampuan Menulis Karangan Deskripsi Mata Pelajaran Bahasa Indonesia Dengan Menggunakan Media Gambar Seri Pada Siswa Kelas V SD Negeri Pondok 03 Nguter Kabupaten Sukoharjo Tahun Pelajaran 2011/2012.

0 1 5

Implikatur percakapan dalam pembelajaran Bahasa Indonesia di kelas 5 sd Ta'mirul Islam Surakarta 1. COVER

0 0 17

Aimai dalam Implikatur Percakapan Bahasa Jepang: Kajian Pragmatik

0 2 13

Implikatur dalam Percakapan Tertulis Bahasa Inggris SMA

0 0 17