a. Perubahan Vaskuler
Hancurnya sel-sel darah merah yang mengandung parasit malaria secara berurutan diikuti oleh respons humoral dan seluler. Respons seluler merangsang
proses fagositosis terhadap sel-sel darah merah yang mengandung parasit, pigmen, dan sisa-sisa sel yang rusak oleh sel-sel histiosit pengembara dan sel-sel makrofag
tetap dalam sistem retikuloendotel, khususnya dalam limpa, sehingga limpa membengkak. Penimbunan pigmen malaria yang dihasilkan parasit malaria dalam
organ dalam menimbulkan warna kelabu atau hitam, seperti terlihat dalam korteks serebri, limpa, hati, ginjal, dan organ-organ lain.
Hemoglobin bebas yang tidak diubah menjadi hematin hemozoin pigmen malaria, dengan segera diubah menjadi bilirubin, lalu diambil oleh hati untuk dibawa
ke kantong empedu. Pada malaria vivax primer, penghancuran eritrosit bisa mencapai 10 – 20 , dan pada malaria falciparum lebih banyak lagi. Namun, anemia yang
terjadi pada malaria tidak saja disebabkan oleh hancurnya sel-sel darah merah yang diinfeksi oleh parasit malaria, tetapi lebih dari itu ternyata suatu proses imun diduga
ikut berperan, sehingga sel-sel darah merah yang tidak diinfeksi pun ikut memgalami pengahancuran. Selain itu timbul kecenderungan terjadinya penyumbatan trombosis
pada pembuluh darah kapiler, karena perubahan-perubahan baik fisik maupun kimiawi pada sel-sel darah merah yang terinfeksi, maupun tidak terinfeksi parasit
malaria. Perubahan tersebut jelas terlihat pada malaria falciparum.
b. Anoksemia atau anoksia
Anoksia pada jaringan terjadi karena jumlah eritrosit menurun, trombosis pada kapiler pembuluh darah, dan volume darah yang berkurang karena permeabilitas
pembuluh darah meningkat terhadap cairan dan protein, disebabkan oleh kerusakan endotel. Terjadi penyempitan pembuluh arteriol dan sebaliknya pelebaran pembuluh
kapiler, sehingga aliran darah ke organ-organ dalam menjadi terhambat. Pelekatan sesama eritrosit yang diinfeksi dan perubahan fisik dan kimiawi plasma darah
menyebabkan darah menggumpal pada endotel kapiler. Gangguan vaskuler yang parah terlihat jelas pada malaria falciparum, dengan tersumbatnya pembuluh kapiler
8
karena menggumpalnya sel-sel eritrosit yang diinfeksi, sel-sel fagosit, plasma yang mengental, dan karena aliran darah yang menjadi lambat. Anoksia pada jaringan
organ-organ dalam dan perubahan vaskuler lain menyebabkan manifestasi klinis malaria berat menjadi sangat bervariasi, dan sesungguhnya merupakan manifestasi
kegagalan multiorgan. Kemajuan penelitian malaria belakangan ini telah mengungkap perubahan-
perubahan pada tingkat seluler dan biomolekuler parasit malaria. Pada malaria falciparum hanya sel-sel darah merah yang mengandung parasit malaria bentuk cincin
muda yang beredar dalam sirkulasi darah tepi, sedangkan sel-sel eritrosit yang mengandung parasit dalam stadium lebih tua dari stadium cincin menghilang dari
peredaran darah tepi, dan berada di dalam mikrovaskular organ-organ dalam. Fenomena ini disebut sekuestrasi sequestration. Sekuestrasi menyebabkan parasit
malaria terhindar dari proses fagositosis oleh sel-sel makrofag dalam limpa. Sekuestrasi didukung oleh fenomena lain yang disebut sitoaderens cytoadherence;
terjadi pelekatan sel-sel darah merah yang mengandung parasit malaria yang matur pada permukaan endotel dari venula pascakapiler. Dengan mikroskop electron bisa
dilihat adanya knob semacam tonjolan kecil padat electron pada permukaan eritrosit berparasit. Eritrosit yang mengandung parasit malaria matur mencantelkan diri pada
endotel vaskuler dengan knob itu. Knob, sitoaderens dan sekuestrasi merupakan fenomena yang sangat penting dalam patofisiologi kerusakan organ-organ dalam
yang vital pada malaria falciparum.
2.8 Patofisiologi