karena menggumpalnya sel-sel eritrosit yang diinfeksi, sel-sel fagosit, plasma yang mengental, dan karena aliran darah yang menjadi lambat. Anoksia pada jaringan
organ-organ dalam dan perubahan vaskuler lain menyebabkan manifestasi klinis malaria berat menjadi sangat bervariasi, dan sesungguhnya merupakan manifestasi
kegagalan multiorgan. Kemajuan penelitian malaria belakangan ini telah mengungkap perubahan-
perubahan pada tingkat seluler dan biomolekuler parasit malaria. Pada malaria falciparum hanya sel-sel darah merah yang mengandung parasit malaria bentuk cincin
muda yang beredar dalam sirkulasi darah tepi, sedangkan sel-sel eritrosit yang mengandung parasit dalam stadium lebih tua dari stadium cincin menghilang dari
peredaran darah tepi, dan berada di dalam mikrovaskular organ-organ dalam. Fenomena ini disebut sekuestrasi sequestration. Sekuestrasi menyebabkan parasit
malaria terhindar dari proses fagositosis oleh sel-sel makrofag dalam limpa. Sekuestrasi didukung oleh fenomena lain yang disebut sitoaderens cytoadherence;
terjadi pelekatan sel-sel darah merah yang mengandung parasit malaria yang matur pada permukaan endotel dari venula pascakapiler. Dengan mikroskop electron bisa
dilihat adanya knob semacam tonjolan kecil padat electron pada permukaan eritrosit berparasit. Eritrosit yang mengandung parasit malaria matur mencantelkan diri pada
endotel vaskuler dengan knob itu. Knob, sitoaderens dan sekuestrasi merupakan fenomena yang sangat penting dalam patofisiologi kerusakan organ-organ dalam
yang vital pada malaria falciparum.
2.8 Patofisiologi
3
Gejala malaria timbul pada saat pecahnya eritrosit yang mengandung parasit. Gejala yang paling mencolok adalah demam yang diduga disebabkan oleh pirogen,
yaitu TNF dan interleukin-1. Sebagai akibat demam terjadi vasodilatasi perifer yang mungkin disebabkan oleh bahan vasoaktif yang diproduksi oleh parasit. Pembesaran
limpa disebabkan oleh terjadinya peningkatan jumlah eritrosit yang terinfeksi parasit, teraktivasinya sistem retikuloendotelial untuk memfagositosis eritrosit yang terinfeksi
parasit dan sisa eritrosit akibat hemolisis. Penurunan jumlah trombosit dan leukosit
9
neutrofil. Terjadinya kongesti pada organ lain meningkatkan risiko terjadinya ruptur limpa.
Anemia terutama disebabkan oleh pecahnya eritrosit dan difagositosis oleh sistem retikuloendotelial. Hebatnya hemolisis tergantung pada jenis Plasmodium dan
status imunitas pejamu. Anemia juga disebabkan oleh hemolisis autoimun, sekuestrasi oleh limpa pada eritrosit yang terinfeksi maupun yang normal dan gangguan
eritropoiesis. Hiperkalemia dan hiperbilirubinemia sering terjadi. Hemoglobinuria dan hemoglobinemia dijumpai bila hemolisis berat. Kelainan patologik pembuluh
darah kapiler pada malaria tropika, disebabkan karena sel darah merah yang terinfeksi menjadi kaku dan lengket, perjalanannya dalam kapiler terganggu sehingga melekat
pada endotel kapiler karena terdapat penonjolan membran eritrosit. Setelah terjadi penumpukan sel dan bahan-bahan pecahan sel maka aliran kapiler terhambat dan
timbul hipoksia jaringan, terjadi gangguan pada integritas kapiler dan dapat terjadi perembesan cairan bahkan perdarahan ke jaringan sekitarnya dan dapat menimbulkan
malaria serebral, edema paru, gagal ginjal dan malabsorbsi usus.
2.9 Gejala Klinis
Gejala malaria terdiri dari beberapa serangan demam dengan interval tertentu disebut paroksisme, diselingi oleh suatu periode yang penderitanya bebas sama
sekali dari demam disebut periode laten. Gejala yang khas tersebut biasanya ditemukan pada penderita non imun. Sebelum timbulnya demam, biasanya penderita
merasa lemah, mengeluh sakit kepala, kehilangan nafsu makan, merasa mual di ulu hati, atau muntah semua gejala awal ini disebut gejala prodromal. Beberapa pasien
kadang mengeluhkan nyeri dada, batuk, nyeri perut, nyeri sendi dan diare. Sakit biasaya berkembang menjadi panas dingin berat dihubungkan dengan panas hebat
disertai takikardi, mual, pusing orthostatis dan lemas berat. Dalam beberapa jam mereda, pasien berkeringat dan sangat lelah.
6,7,9
10
Pada anak-anak, bahkan pada anak-anak nonimun sekalipun, gejala malaria tidaklah “klasik” seperti yang ditemukan pada orang dewasa. Pada penderita anak,
kenaikan panas badan cenderung lebih tinggi, sering disertai dengan muntah-muntah dan berkeringat. Anak-anak yang lebih besar yang mempunyai sedikit kekebalan
kadang-kadang juga dapat menderita demam, nyeri sendi, sakit kepala. Oleh karena itu, gejala malaria pada anak bisa menyerupai gejala penyakit lain yang bisa
menyebabkan demam. Begitu pula anemia cenderung menjadi berat pada penderita anak. Malaria vivax yang biasanya memberikan gejala yang ringan, pada
penderitanya anak sering menimbulkan gejala yang lebih berat. Namun biasanya, malaria falciparumlah yang menyebabkan keadaan darurat pada penderita anak.
7,10
Paroksisme demam pada malaria mempunyai interval tertentu, ditentukan oleh waktu yang diperlukan oleh siklus aseksualsizogoni darah untuk menghasilkan sizon
yang matang, yang sangat dipengaruhi oleh spesies Plasmodium yang menginfeksi. Demam terjadi menyusul pecahnya sizon-sizon darah yang telah matang dengan
akibat masuknya merozoit-merozoit, toksin, pigmen, dan kotoran debris sel ke peredaran darah. Masuknya toksin-toksin, termasuk pigmen, ke darah memicu
dihasilkannya tumor necrosis factorTNF oleh sel-sel makrofag yang teraktifkan. Demam yang tinggi dan beratnya gejala klinis lainnya, misalnya pada malaria
falciparum yang berat, mempunyai hubungan dengan tingginya kadar TNF dalam darah. Pada malaria oleh P.Vivax dan P.ovale sizon-sizon pecah tiap 48 jam sekali
sehingga demam timbul setiap hari ketiga, yang terhitung dari serangan demam sebelumnya malaria tertiana. Pada malaria karena P.malariae pecahnya sizon
sporulasi terjadi setiap 72 jam sekali. Oleh karena itu, serangan panas terjadi setiap hari keempat malaria kuartana. Pada P.falciparum kejadiannya mirip dengan infeksi
oleh P.vivax, hanya interval demamnya tidak jelas, biasanya panas badan di atas normal tiap hari, dengan puncak panas cenderung mengikuti pola malaria tertiana
disebut malaria subtertiana atau malaria quotidian.
11
Suatu paroksisme demam biasanya mempunyai tiga stadium yang berurutan, yaitu:
11
1. Stadium frigoris mengigil Stadium ini mulai dengan menggigil dan perasaan sangat dingin. Nadi
penderita cepat, tetapi lemah. Bibir dan jari-jari pucat kebiruan sianotik. Kulitnya kering dan pucat, penderita mungkin muntah dan pada penderita anak sering terjadi
kejang. Stadium ini berlangsung selama 15 menit – 1 jam. 2. Stadium akme puncak demam
Setelah menggigilmerasa dingin, pada stadium ini penderita mengalami serangan demam. Muka penderita menjadi merah, kulitnya kering dan dirasakan
sangat panas seperti terbakar, sakit kepala bertambah keras, dan sering disertai dengan rasa mual atau muntah-muntah. Nadi penderita menjadi kuat kembali.
Biasanya penderita merasa sangat haus dan suhu badan bisa meningkat sampai 41 C.
Stadium ini berlangsung selama 2 – 4 jam. 3. Stadium sudoris berkeringat banyak, suhu turun
Pada stadium ini penderita berkeringat banyak sekali, sampai membasahi tempat tidur. Namun suhu badan pada fase ini turun dengan cepat, kadang-kadang
sampai di bawah normal. Biasanya penderita tertidur nyenyak dan pada saat terjaga, ia merasa lemah, tetapi tanpa gejala lain. Stadium ini berlangsung selama 2 – 4 jam.
7
Kekambuhan pada malaria dapat bersifat :
6
1. Rekrudensi short term relapse
Timbul karena parasit malaria dalam eritrosit menjadi banyak. Timbul beberapa minggu setelah penyakit sembuh.
2. Rekuren long term relapse
Timbul karena parasit siklus ekso-eritrosit masuk ke dalam darah dan menjadi banyak. Biasanya timbul kira-kira 6 bulan setelah penyakit sembuh.
Hipertrofi dan hiperplasia sistem retikuloendotelial akan menyebabkan limpa membesar. Sel makrofag bertambah dan dalam darah terdapat monositosis. Limpa
biasanya lebih membesar pada infeksi vivax dari pada falciparum; dapat terjadi perisplenitis, infark, dan bahkan robek dan sesudah serangan berulang limpa dapat
12
menjadi lebih besar dan keras. Sindrom splenomegali tropika “splenomegali malaria hiperaktif” dapat membentuk respons imun abnormal pada anak malnutrisi di Negara
sedang berkembang. Pembesaran limpa, tanpa pengecilan pasca pengobatan anti- malaria, disertai dengan infiltrasi limfosit sinusoid hati dan kenaikan titer antibodi
fluoresen untuk malaria, dengan atau parasitemia yang cukup besar.
2,6
Malaria lama dapat menyebabkan anemia, dan signifikan menyebabkan kematian. Anemia dapat terjadi karena : a eritrosit yang diserang akan hancur saat
sporulasi. b derajat fagositosis RES meningkat, sehingga akibatnya banyak eritrosit yang hancur.
6
Gangguan fungsi ginjal ditunjukkan dengan oliguria, dan anuria dapat terjadi. Sindrom nefrotik, berkaitan dengan P.malariae pada anak yang tinggal di daerah
endemic malaria, prognosisnya jelek. Black water fever, sekarang jarang ditemukan, dihubungkan dengan P.falciparum; hemoglobinuria akibat hemolisis intravascular
berat dan mendadak, dapat menyebabkan anuria dan kematian karena uremia.
2
Hipoglikemia dapar dihubungkan dengan malaria falciparum. Pada infeksi berat, dapat terjadi asidosis laktat, dengan gambaran konvulsi dan gangguan
kesadaran.
2
2.10 Diagnosis