Analisis sistem tataniaga jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus): studi kasus Desa Cipendawa, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat

(1)

i

ANALISIS SISTEM TATANIAGA JAMUR TIRAM PUTIH

(

Pleurotus ostreatus

)

(Studi Kasus Desa Cipendawa, Kecamatan Pacet,

Kabupaten Cianjur, Jawa Barat)

Skripsi

ZEFFRI NOVIANA

H34077045

DEPARTEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(2)

ii RINGKASAN

ZEFFRI NOVIANA. Analisis Sistem Tataniaga Jamur Tiram Putih (Pleurotus ostreatus) (Studi Kasus Desa Cipendawa, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur). Skripsi. Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor (Di bawah bimbingan POPONG NURHAYATI)

Komoditas hortikultura merupakan salah satu bagian komoditas pertanian yang mempunyai potensi untuk dikembangkan, mengingat wilayah Indonesia yang sebagian besar iklimnya cocok untuk tanaman hortikultura. Jamur tiram putih merupakan salah satu komoditas hortikultura di Indonesia yang sudah diekspor dalam bentuk segar maupun olahan.

Kecamatan Pacet merupakan daerah penghasil utama jamur tiram putih di Kabupaten Cianjur dengan tingkat kontribusi sebanyak 37,5 persen dari total jumlah produksi jamur tiram putih yang ada di Cianjur dengan produksi sebesar 3.000 kg per hari. Salah satu daerah yang menghasilkan jamur tiram putih di Kecamatan Pacet yaitu Desa Cipendawa yang memiliki kontribusi sebesar 14,33 persen dari total produksi jamur tiram putih yang ada di Kecamatan Pacet dengan produksi rata-rata 430 kg per hari. Para petani di Desa Cipendawa, Kecamatan Pacet belum dapat meningkatkan produksinya secara optimal. Salah satu penyebabnya karena petani belum dapat memanfaatkan peluang pasar jamur tiram putih. Petani masih mengandalkan penjualan jamur tiram putih dalam bentuk segar, sedangkan volume penjualan petani masih kecil. Walaupun harga jual jamur tiram putih cukup tinggi yaitu sebesar Rp 7.000 per kg, namun karena volume produksi petani masih kecil mengakibatkan tingkat keuntungan yang diperoleh petani juga rendah. Skala usaha petani jamur tiram putih di Desa Cipendawa pada umumnya kecil. Hal ini mengakibatkan pentingnya bagi petani untuk mencari solusi bagaimana cara untuk meningkatkan pendapatan. Salah satu caranya yaitu dengan diversifikasi produk yang memiliki nilai tambah (added value) untuk meningkatkan harga jual dan keuntungan petani. Selain itu, alternatif saluran tataniaga yang efisien dipandang mampu menjadi solusi.

Penelitian dilakukan pada bulan Agustus sampai Oktober 2010 di Desa Cipendawa, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat yang dijadikan sebagai studi kasus. Petani yang dijadikan sebagai responden sebanyak sembilan orang. Penelitian ini menggunakan alat analisis saluran tataniaga, struktur dan perilaku pasar, marjin tataniaga, rasio keuntungan terhadap biaya (Li/Ci) dan farmer’s share.

Proses tataniaga jamur tiram putih di Desa Cipendawa yang dimulai dari petani sebagai penghasil (produsen) hingga konsumen akhir, melibatkan beberapa lembaga tataniaga. Lembaga yang terlibat dalam tataniaga jamur tiram putih di lokasi penelitian adalah pedagang pengumpul desa (PPD), pedagang besar/ Grosir dan pedagang pengecer. Ada dua pola saluran tataniaga jamur tiram putih yang terbentuk dengan volume penjualan 430 kg per hari : Saluran I : Petani – Pedagang pengumpul Desa – Pedagang besar/ Grosir - Pedagang pengecer – Konsumen Akhir, Saluran II: Petani – Konsumen Akhir (rumah tangga).

Saluran yang paling banyak digunakan oleh petani responden dalam memasarkan jamur tiram putih adalah saluran I, yaitu tataniaga yang melibatkan pedagang pengumpul desa (PPD) dengan volume penjualan 385 kg per hari.


(3)

iii Saluran II merupakan saluran dengan volume penjualan yang paling sedikit yaitu 45 kg per hari. Fungsi-fungsi tataniaga yang dilakukan oleh lembaga-lembaga tataniaga yang terlibat meliputi fungsi pertukaran, fungsi fisik dan fungsi fasilitas sudah berjalan relatif baik. Struktur pasar yang dihadapi oleh para pelaku tataniaga jamur tiram putih di Desa Cipendawa yaitu : struktur pasar yang dihadapi oleh para pelaku tataniaga jamur tiram putih di Desa Cipendawa yaitu : struktur pasar yang terjadi antara petani jamur tiram putih dan pedagang pengumpul di Desa Cipendawa cenderung mengarah pada pasar monopsoni, struktur pasar yang terjadi antara pedagang pengumpul desa (PPD) dan pedagang besar/grosir cenderung bersifat pasar monopsoni, struktur pasar yang terjadi antara pedagang besar/grosir dengan pedagang pengecer jika dilihat dari sisi pedagang besar/grosir adalah struktur pasar yang cenderung mengarah ke struktur oligopoli murni, dan struktur pasar yang terjadi di tingkat pedagang pengecer dengan konsumen akhir sangat berbeda dengan struktur pasar yang dihadapi petani, pedagang pengumpul, dan pedagang besar. Struktur pasar yang dihadapi adalah cenderung mengarah ke struktur pasar persaingan murni. Berdasarkan perilaku pasar yang dihadapi, maka dalam praktek penjualan dan pembelian telah terjalin kerjasama yang cukup baik antar lembaga tataniaga sebagai cara untuk menciptakan stabilitas pasar.

Hasil analisis tataniaga menunjukkan bahwa pada masing- masing lembaga tataniaga terlihat bahwa sebaran marjin keuntungan dan marjin biaya yang ditanggung oleh masing-masing lembaga tataniaga berbeda-beda sesuai dengan fungsi tataniaga yang telah dilakukan oleh masing-masing lembaga tataniaga. Marjin tataniaga terdapat pada saluran satu sedangkan pada saluran dua tidak terdapat marjin tataniaga. Hal ini disebabkan pada saluran dua penjualan jamur tiram putih tidak melibatkan lembaga-lembaga perantara seperti pedagang pengumpul, pedagang besar, dan pedagang pengecer. Petani langsung menjual jamur tiram putih kepada konsumen akhir yang merupakan masyarakat Desa Cipendawa sehingga tidak terdapat biaya tataniaga yang dikeluarkan. Saluran tataniaga satu melibatkan sebagian besar volume produksi jamur tiram putih sebanyak 385 kg (89,53 persen) per hari, sedangkan pada saluran dua hanya 45 kg (10,47 persen) per hari. Penjualan pada saluran satu paling besar karena tingkat permintaan jamur tiram putih di pasar akhirnya cukup besar. Sedangkan permintaan di saluran dua rendah karena hanya terbatas pada konsumen rumah tangga yang ada di sekitar tempat produksi petani saja yaitu di Desa Cipendawa.

Petani di Desa Cipendawa sebaiknya melakukan kegiatan- kegiatan yang dapat mengembangkan efisiensi dari tataniaga jamur tiram putih ini. Salah satu contohya adalah dengan melakukan pengolahan jamur titam putih (agroindustri) agar memiliki nilai tambah pada penjualan. Petani sebaiknya melakukan tataniaga dengan melibatkan pedagang pengumpul desa atau lebih tepatnya menggunakan saluran tataniaga I, karena saluran ini merupakan saluran yang paling efisien dibandingkan saluran II.


(4)

iv ANALISIS SISTEM TATANIAGA JAMUR TIRAM PUTIH

(Pleurotus ostreatus)

(Studi kasus Kasus Desa Cipendawa, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat)

ZEFFRI NOVIANA H34077045

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada

Departemen Agribisnis

DEPARTEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2011


(5)

v Judul Skripsi : Analisis Sistem Tataniaga Jamur Tiram Putih (Pleurotus ostreatus)

(Studi kasus Desa Cipendawa, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur)

Nama : Zeffri Noviana NIM : H34077045

Disetujui, Pembimbing

Ir. Popong Nurhayati, MM. NIP. 19670211 199203 2 002

Diketahui

Ketua Departemen Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen

Institut Pertanian Bogor

Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS NIP. 19580908 1984031 002


(6)

vi PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul “Analisis Sistem Tataniaga Jamur Tiram Putih (Studi Kasus Desa Cipendawa, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur)” adalah karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam bentuk daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Februari 2011

Zeffri Noviana


(7)

vii RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 22 November 1985. Penulis adalah anak ke tiga dari empat bersaudara dari pasangan Bapak Muhammad yunus dan Ibu Umiyati Harahap.

Penulis memulai pendidikan di SDN 1 Ciherang pada tahun 1992, SLTPN 1 Dramaga tahun 1998 dan SMUN 6 Bogor tahun 2001. Penulis menyelesaikan sekolah pada tahun 2004 dan melalui jalur reguler penulis masuk perguruan tinggi negeri tahun 2004 di Program Studi Manajemen Agribisnis, Departemen Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian, Program Diploma III IPB Bogor dan lulus pada tahun 2007.

Pada tahun yang sama setelah lulus dari diploma penulis melanjutkan studinya ke program sarjana penyelanggaraan khusus IPB dengan Program Studi Agribisnis, Fakultas Ekonomi Manajemen, Institut Pertanian Bogor.


(8)

viii KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan anugerahnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Sistem Tataniaga Jamur Tiram Putih (Pleurotus ostreatus) (Studi Kasus Desa Cipendawa, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur)”. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi saluran tataniaga jamur tiram putih yang ditelusuri dari Desa Cipendawa, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur, dan mempelajari fungsi-fungsi tataniaga, struktur pasar yang dilakukan oleh lembaga-lembaga tataniaga yang terkait serta menganalisis marjin tataniaga pada setiap jalur tataniaga jamur tiram putih dari tingkat produsen hingga pengecer.

Bogor, Februari 2011 Zeffri Noviana


(9)

ix UCAPAN TERIMA KASIH

Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan moril serta materil kepada penulis dalam penyelesaian karya ilmiah ini, antara lain sebagai berikut :

1. Ir. Popong Nurhayati, MM selaku dosen pembimbing atas bimbingan, arahan, waktu dan kesabaran yang telah diberikan kepada penulis selama penyusunan skripsi ini.

2. Ir. Juniar Atmakusuma, MS selaku dosen evaluator pada kolokium penulis yang telah meluangkan waktunya serta memberikan kritik dan saran demi perbaikan proposal penelitian.

3. Dr. Ir. Rita Nurmalina, MSi selaku dosen penguji pada ujian sidang penulis yang telah meluangkan waktunya serta memberikan kritik dan saran demi perbaikan skripsi ini.

4. Yeka Hendra Fatika, SP selaku dosen penguji bidang akademik dan seluruh dosen dan staf Departemen Agribisnis.

5. Orangtua dan keluarga tercinta untuk setiap dukungan cinta kasih dan doa yang diberikan. Semoga ini bisa menjadi persembahan yang terbaik.

6. Mbak Rahmi selaku staf Sekretariat Ekstensi Agribisnis yang sudah membantu penulis selama proses administrasi perkuliahan dengan penuh kesabaran dan kebaikan.

7. Desa Cipendawa atas keramahan lingkungan yang ditawarkan sehingga saya sangat terbantu dalam proses penelitian ini.

8. Teman-teman seperjuangan, teman-teman Agribisnis atas semangat dan sharing selama penelitian hingga penulisan skripsi, serta seluruh pihak dan sahabat-sahabatku yang tidak dapat disebutkan satu per satu, terima kasih atas bantuannya, sukses buat kita semua.

Bogor, Februari 2011 Zeffri Noviana


(10)

x

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... ... iii

DAFTAR GAMBAR ... ... iv

DAFTAR LAMPIRAN ... ... v

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 10

1.3. Tujuan Penelitian ... 11

1.4. Manfaat Penelitian ... 12

1.5. Ruang Lingkup ... 12

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 13

2.1. Bisnis Jamur Tiram Putih ... 13

2.2. Hasil Penelitian Terdahulu ... 21

2.3. Keterkaitan dengan Penelitian Terdahulu ... 24

III. KERANGKA PEMIKIRAN ... 27

3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis ... 27

3.1.1. Sistem Tataniaga ... 27

3.1.2. Pasar ... 29

3.1.3. Lembaga dan Saluran Tataniaga ... 29

3.1.4. Fungsi-fungsi Tataniaga... 32

3.1.5. Struktur Pasar ... 34

3.1.6. Perilaku Pasar ... 35

3.1.7. Keragaan Pasar ... 35

3.1.8. Efisiensi Tataniaga ... 36

3.1.9. Marjin Tataniaga ... 37

3.1.10. Farmer’s Share ... 39

3.1.11. Rasio Keuntungan dan Biaya ... 40

3.2. Kerangka Pemikiran Operasional ... 40

IV. METODE PENELITIAN ... ... 43

4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 43

4.2. Jenis dan Sumber Data ... 43

4.3. Metode Pengumpulan Data ... 43

4.4. Metode Pengolahan dan Analisis Data ... 44

4.4.1. Analisis Deskriptif ... 44

4.4.2. Analisis Saluran Tataniaga ... 44

4.4.3. Analisis Struktur dan Perilaku Pasar ... 45

4.4.4. Analisis Marjin Tataniaga ... 45

4.4.5. Analisis Rasio Keuntungan dan Biaya ... 46


(11)

xi

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ... 47

5.1. Wilayah dan Topografi ... 47

5.2. Karakteristik Petani Responden ... 49

5.3. Karakteristik Pedagang Responden ... 52

5.4. Pengalaman Usaha ... 53

5.5. Gambaran Umum Produksi Jamur Tiram Putih ... 54

VI. ANALISIS TATANIAGA JAMUR TIRAM PUTIH ... 56

6.1. Sistem Tataniaga ... 56

6.2. Saluran Tataniaga ... 56

6.2.1. Saluran Tataniaga I ... 58

6.2.2. Saluran Tataniaga II ... 60

6.3. Fungsi-fungsi Tataniaga Pada Setiap Lembaga Tataniaga ... 61

6.3.1. Petani ... 63

6.3.2. Pedagang Pengumpul Desa (PPD) ... 64

6.3.3. Pedagang Besar/ Grosir ... 64

6.3.4. Pedagang Pengecer ... 65

6.4. Analisis Struktur Pasar ... 66

6.4.1. Jumlah Penjual dan Pembeli serta Mudah Tidaknya Keluar Masuk Pasar ... 66

6.4.2 Jenis dan Keadaan Jamur Tiram Putih di Desa Cipendawa ... 68

6.4.3 Sumber Informasi ... 69

6.5. Perilaku Pasar... 71

6.5.1. Praktek Pembelian dan Penjualan ... 72

6.5.2. Sistem Penentuan Harga ... 72

6.5.3. Sistem Pembayaran ... 73

6.5.4. Kerjasama Antar Lembaga Tataniaga ... 74

6.6. Keragaan Pasar ... 74

6.6.1. Analisis Marjin Tataniaga ... 74

6.6.2. Analisis Farmer’s Share ... 76

6.6.3. Analisis Rasio Keuntungan dan Biaya ... 78

6.6.4. Analisis Efisiensi Tataniaga ... 80

VII. KESIMPULAN DAN SARAN ... 83

7.1. Kesimpulan ... 83


(12)

xii

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Tingkat Produktivitas Tanaman Sayuran di Indonesia Tahun 2003-2007 .... 3

2. Kandungan Gizi atau Bahan Kimia Pada Berbagai Jenis Jamur ... 5

3. Perkembangan Volume Ekspor Jamur di Indonesia Tahun 2000-2004 ... 6

4. Perkembangan Volume Impor Jamur di Indonesia Tahun 2000-2004 ... 7

5. Luas Panen Jamur Kayu di Indonesia Tahun 2000-2004 ... 8

6. Permintaan Jamur Tiram Putih di Beberapa Kota di Jawa Barat Tahun 2009 ... 9

7. Hasil Penelitian Terdahulu ... 26

8. Lima Jenis Pasar Pada Sistem Pangan dan Serat ... 34

9. Jumlah Penduduk Beberapa Desa di Kecamatan Pacet Tahun 2010 ... 49

10. Jumlah Petani Responden Berdasarkan Kriteria Usia, Tingkat Pendidikan, Tingkat Pengalaman dan Luas Kumbung di Desa Cipendawa Tahun 2010……. ... 51

11. Karakteristik Pedagang Responden Komoditas Jamur Tiram Putih ... 53

12. Fungsi- Fungsi Lembaga-Lembaga Tataniaga Jamur Tiram Putih di Desa Cipendawa ... 61

13. Tingkat Harga Jamur Tiram Putih Pada Lembaga Tataniaga di Desa Cipendawa Tahun 2010 ... 73

14. Analisis Marjin Tataniaga Jamur Tiram Putih Pada Saluran Satu dan Dua di Desa Cipendawa, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur ... 75

15. Farmer’s Share Pada Saluran Tataniaga jamur tiram putih di Desa Cipendawa, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur ... 77

16. Rasio Keuntungan dan Biaya untuk Setiap Saluran Tataniaga yang ada di Desa Cipendawa, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur ... 78

17. Nilai Efisiensi Tataniaga pada Masing-Masing Pola Saluran Tataniaga Jamur Tiram Putih di Desa Cipendawa, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur…………. ... 81


(13)

xiii

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman 1. Konsep Marjin Tataniaga ... 38 2. Kerangka Pemikiran Operasional ... 42


(14)

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman 1. Nilai PDB Hortikultura Periode 2003-2006 ... .. 88 2. Karakteristik Petani Jamur Tiram Putih di Desa Cipendawa Tahun 2010 .. .. 89 3. Biaya Produksi Petani Jamur Tiram Putih di Desa Cipendawa

per Satu Kali Masa Produksi ... .. 90 4. Produksi Jamur Tiram Putih di Desa Cipendawa per Satu Kali Masa

Produksi ... 91 5. Harga Pokok Produksi Jamur Tiram Putih di Desa Cipendawa

per Satu Kilogram per Satu Kali Masa Produksi ... .. 92 6. Biaya Tataniaga Para Petani Jamur Tiram Putih di Desa Cipendawa

per Hari...93 7. Biaya Tataniaga Para Petani Jamur Tiram Putih di Desa Cipendawa

per Satu Kali Masa Panen ... 94 8. Pendapatan Para Petani Jamur Tiram Putih di Desa Cipendawa

Berdasarkan Harga Jual per Satu Kali Masa Produksi ... 95 9. Pendapatan dan Nilai Li/Ci Ratio Para Petani Jamur Tiram Putih di

Desa Cipendawa per Satu Kali Masa Produksi ... 96 10. Biaya Tataniaga Pedagang Pengumpul Jamur Tiram Putih di Desa

Cipendawa per Hari ... 97 11. Pendapatan Pedagang Pengumpul di Desa Cipendawa per Hari ... 98 12. Biaya Tataniaga Pedagang Besar Jamur Tiram Putih di Desa

Cipendawa per Hari ... 99 13. Pendapatan Pedagang Besar Jamur Tiram Putih per Hari ... 100 14. Biaya Tataniaga Pedagang Pengecer Jamur Tiram Putih di Desa

Cipendawa per Hari ... 101 15. Pendapatan Pedagang Pengecer Jamur Tiram Putih per Hari ... 102 16. Biaya Tataniaga Rata-rata Setiap Lembaga Tataniaga pada Saluran

Pertama ... 103 17. Gambar Kegiatan Tataniaga Jamur Tiram Putih ... 104 18. Kuisioner ... 106


(15)

xv

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sektor petanian memiliki peran yang besar dalam menggerakkan ekonomi nasional. Hal ini disebabkan mayoritas masyarakat Indonesia bermatapencaharian sebagai petani. Sebagai sebuah negara agraris, Indonesia memiliki bermacam-macam komoditas pertanian sebagai aset vital negara yang masih dapat dikembangkan lagi bagi kesejahteraan masyarakat. Kebutuhan pangan termasuk di dalamnya adalah sayuran dan buah-buahan semakin meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk. Salah satu sektor pertanian yang cukup prospektif untuk dikembangkan dalam memenuhi kebutuhan pangan masyarakat adalah bidang hortikultura yang meliputi tanaman buah-buahan, sayuran dan tanaman hias. Beberapa komoditas hortikultura yang berpotensi untuk dikembangkan menjadi andalan ekspor antara lain kubis, jamur, manggis, pisang, jeruk, mangga, dan lidah buaya (Direktorat Jenderal Hortikultura, 2005).

Sayuran merupakan salah satu tanaman hortikultura yang memiliki potensi yang cukup besar untuk dikembangkan (Lampiran 1). Hal ini disebabkan adanya kecenderungan perubahan pola pikir masyarakat yang mengarah kepada gaya hidup sehat dengan mengkonsumsi makanan yang sehat dan bergizi (Direktorat Jenderal Hortikultura, 2007). Saat ini masyarakat semakin banyak yang mengkonsumsi sayuran untuk menjaga kesehatan sehingga beraneka ragam sayuran dikonsumsi termasuk jamur. Adapun jamur merupakan salah satu jenis tanaman sayuran yang disukai masyarakat karena harganya cukup terjangkau yaitu sekitar Rp 7.000 – Rp 10.000 per kg (Direktorat Jenderal Hortikultura, 2005). Apabila dilihat dari budidayanya, jamur merupakan tanaman sayuran yang tergolong unik karena substrat (media tanam) jamur tidak berasal dari tanah tetapi berasal dari campuran serbuk gergaji, dedak, kapur, dan gips. Media tanam jamur tergolong ramah lingkungan dan sisa media tanam tersebut dapat dimanfaatkan sebagai pupuk kompos. Berdasarkan hal tersebut, maka jamur tergolong tanaman sayuran yang sehat untuk dikonsumsi. Jamur merupakan tanaman sayuran yang cukup mudah untuk dibudidayakan sehingga banyak masyarakat yang mencoba untuk terjun dalam usaha budidaya jamur. Ketersediaan media tanam jamur seperti serbuk gergaji, dedak, kapur, dan gips yang cukup banyak dan mudah ditemukan di banyak


(16)

xvi lokasi menjadi faktor pendorong semakin banyaknya masyarakat yang berminat mengusahakan jamur. Selain itu, jamur merupakan tanaman yang dapat dibudidayakan sepanjang tahun dengan perlakuan tertentu selama proses budidaya terutama menyangkut suhu dan kelembaban sehingga jamur dapat dibudidayakan di tempat dengan beragam suhu dan iklim (Direktorat Jenderal Hortikultura, 2009). Budidaya jamur merupakan salah satu usaha yang ekonomis dan ramah lingkungan karena memanfaatkan limbah kayu sebagai media tanam serta limbah media tanam jamur dapat dimanfaatkan sebagai pupuk kompos. Umumnya jamur termasuk salah satu jenis sayuran yang diproduksi tanpa menggunakan pupuk buatan dan pestisida sehingga aman untuk dikonsumsi. Hal ini yang membedakan jamur dengan tanaman sayuran lain yang masih banyak menggunakan pestisida dan bahan-bahan kimia sejenis dalam proses budidayanya.

Keunggulan lain dari jamur yaitu memiliki kandungan protein yang dapat mengimbangi daging. Bahkan saat ini jamur sudah bisa diolah menjadi bakso, makanan sampingan yang bahan utamanya juga dari daging. Apabila dilihat dari sisi harga, jamur lebih murah dibandingkan daging sehingga dapat menjadi alternatif bagi masyarakat yang memiliki pendapatan menengah ke bawah1. Masyarakat sangat memerlukan alternatif pangan yang lebih beragam karena sebagian besar masyarakat Indonesia tergolong masyarakat berpenghasilan rendah sehingga golongan masyarakat ini memerlukan alternatif pangan yang mampu memenuhi kebutuhan gizi keluarga yang seimbang namun dengan harga yang relatif terjangkau dan mudah diakses di pasar. Kelebihan lain komoditas jamur dibandingkan dengan komoditas sayuran lainnya adalah jamur memiliki tingkat produktivitas yang relatif tinggi dibandingkan dengan tanaman sayuran lain yang dibudidayakan di Indonesia. Hal ini menunjukkan jamur memiliki potensi ekonomi yang dapat dikembangkan sebagai salah satu sumber pemasukan nonmigas bagi negara jika dikelola dengan baik2 (Tabel 1).

1

Republika.co.id. 2010. Keunggulan Jamur Dibanding Daging.

http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/kesehatan/10/05/13/115532-keunggulan-jamur-dibanding-daging. [15 Agustus 2010].

2 Direktorat Jenderal Hortikultura. 2008. Rata-rata Hasil Tanaman Sayuran di Indonesia Periode 2003-2007. http://www.hortikultura.go.id/index.php?option=com_content&task


(17)

xvii Tabel 1. Tingkat Produktivitas Tanaman Sayuran di Indonesia Tahun 2003-2007.

No Komoditas

Produktivitas (Ton/Ha) Laju Produktivitas (Persen/Tahun) 2003 2004 2005 2006 2007

1 Bawang

Merah 8.67 8.54 8.76 8.91 8.57 -0.27

2 Bawang

Putih 6.14 5.85 6.32 6.78 6.44 1.39

3 Bawang

daun 8.99 10.40 11.04 11.13 10.11 3.37

4 Kentang 15.32 16.39 16.40 16.94 16.09 1.33

5 Lobak 15.98 12.41 16.46 13.51 13.32 2.26

6 Kol/Kubis 20.90 21.06 22.38 21.96 21.23 0.46

7 Petsai

/Sawi 10.51 9.43 10.59 10.30 10.28 -0.23

8 Wortel 16.55 17.53 17.85 16.97 14.78 -2.52

9 Kacang

Merah 2.82 3.20 3.83 3.82 4.51 12.74

10 Kembang

Kol 16.69 14.44 14.53 13.63 13.37 -5.24

11 Cabai

Besar 6.72 6.49 6.39 6.51 6.30 -1.58

12 Cabai

Rawit 4.79 4.57 4.73 4.90 4.67 -0.55

13 Tomat 13.73 11.89 12.64 11.77 12.33 -2.30

14 Terung 6.78 6.90 7.35 7.26 8.21 5.04

15 Buncis 7.59 8.14 8.79 7.75 8.52 3.33

16 Ketimun 9.87 9.49 10.41 10.21 10.26 1.10

17 Labu Siam 11.64 17.64 18.81 17.07 23.06 21.00

18 Kangkung 6.68 5.64 6.36 6.60 7.13 2.25

19 Bayam 3.32 3.13 3.35 3.49 3.56 1.87

20 Kacang

Panjang 5.18 5.34 5.50 5.44 5.72 2.54

21 Jamur 112.35 40.09 121.36 79.07 127.98 41.35

22 Melinjo 14.07 11.68 12.94 16.37 14.44 2.13


(18)

xviii Sumber: Direktorat Jenderal Hortikultura, 2008 (diolah)

Berdasarkan Tabel 1, dapat dilihat bahwa jamur merupakan komoditas sayuran yang memiliki tingkat produktivitas tertinggi dibandingkan dengan komoditas sayuran yang lain dengan pertumbuhan produktivitas rata-rata sebesar 41,35 persen per tahun dari tahun 2003 sampai 2007. Hal ini disebabkan jamur merupakan tanaman yang mudah dibudidayakan dan tidak memerlukan lahan yang terlalu besar untuk pembudidayaannya. Selain itu, komoditas ini juga termasuk komoditas yang dapat tumbuh baik apabila perlakuan yang diberikan selama budidaya tepat. Jamur dibudidayakan di tempat tertutup (ruangan) sehingga serangan hama dan penyakit dapat lebih mudah dikendalikan dibandingkan tanaman sayuran lain yang biasanya ditanam pada lahan terbuka. Hal ini menunjukkan jamur merupakan tanaman sayuran yang potensial untuk dikembangkan menjadi komoditas komersial yang menguntungkan (Direktorat Jenderal Hortikultura, 2008).

Secara umum jamur dapat digolongkan menjadi dua bagian yaitu jamur konsumsi dan jamur untuk kebutuhan obat-obatan. Namun yang akan dibahas adalah jamur konsumsi karena produksinya lebih besar dibandingkan jamur obat-obatan. Selain itu, jamur konsumsi juga sudah banyak dikenal masyarakat Indonesia sebagai kebutuhan pangan sehari-hari (Direktorat Jenderal Hortikultura, 2006). Saat ini terdapat empat jenis jamur konsumsi yang diminati pembeli jamur dari luar negeri yaitu tiram, shitake, kuping dan merang. Masyarakat Belanda menyukai jenis jamur kalengan seperti Boletus edolism, Pleurotus ostreatus dan Chantherellus cibarus. Sementara masyarakat Perancis lebih suka mengkonsumsi jamur kancing atau champignon. Sedangkan di Amerika Serikat jenis jamur kayu menempati peringkat atas menu-menu restoran dan rumah tangga3.

Tradisi mengkonsumsi jamur sudah berjalan lebih dari seribu tahun yang lalu. Jamur berguna untuk memenuhi kebutuhan gizi tubuh dan tidak mengandung kolesterol serta berguna untuk kesehatan, seperti mencegah timbulnya penyakit

3

Organic Entrepreneur..Harmony of Humans and Nature. 2009. Jenis-jenis Jamur Konsumsi. organikganesha.wordpress.com/.../jenis-jenis-jamur-konsumsi-edible-mushroom/ -. [28 Desember 2010].


(19)

xix darah tinggi, penyakit jantung, mengurangi berat badan dan sebagai obat anti tumor (Parjimo dan Andoko, 2007). Selain itu, Semakin meningkatnya kesadaran masyarakat mengenai peran penting gizi dan pola hidup back to nature bagi kesehatan dapat menjadi peluang yang baik bagi pengembangan budidaya jamur (Direktorat Jenderal Hortikultura, 2007). Jamur memiliki kandungan gizi yang baik untuk dikonsumsi bagi kesehatan seperti protein, karbohidrat dan serat. Selain itu, jamur memiliki kandungan lemak yang relatif rendah (Tabel 2).

Tabel 2. Kandungan Gizi atau Bahan Kimia Pada Berbagai Jenis Jamur No Komposisi Bahan Kimia/Nilai Gizi Spesies Jamur Tiram Kuping Merang Shiitake Ling

Zhi Maitake

Champig non 1 Lemak (Persen) 1.1-2.4

7.2-8.3 2.0-2.6 4.9-9.0 72.0 72.0 1.7-8.0

2 Protein Total

(Persen) 10.5-44 4.2-19.4 25.9-28.5 13.4-17.6 19.0-35.0 19.0-35.0 1.3-4.8 3 Karbohidrat (Persen) 50.7-81.8 82.8-82.9 2.7-4.8 67.5-70.7 9.5-78.0 - 51.3-62.5

4 Abu (Persen)

6.1-9.8

4.1-4.7 8.8-11.5 3.7-7.0 - - 7.7-12.0

5 Kalori (Kkal) 245-367

324-391

276-304 382-397 - - 328-368

6 Serat (Persen) 7.5-13.3

19.8-27.6

9.3-17.4 7.3-8.0 7.4-27.6

7.4-27.6 8.0-10.4

7 Kadar Air

(Persen) 73.7-92.2 89.1-90.4 89.1-93.3 90.0-92.8

- - 78.3-90.5

8 Vit B

Complex (mg/g)

1.7-4.8

1.1-8.0 0.1-3.3 0.8-12.7 - - 0.7-6.1

9 Vit C (mg/g) - - 1.7-20.2 0.3 - - 8.2-8.6

10 Vit D-E

(mg/g)

- - - <0.01 - - -

11 Asam Amino

(mg/g)

- - 37.4 6.6 - - -

12 Asam Pantotenat (mg/g)

- - - - 2.38

13 Niacin (mg/g) 108.7 1.0-4.0 4.9-91.9 4.5-54.9 - - 5.85-55.7

14 P (mg/g) - - 37.0 39-171 - - -

15 K (mg/g) - 264 - <0.01 - - -

16 Ca (mg/g) - 31.5 30 8-12 - - -

17 Na (mg/g) - - - 0.1-19.0 - - -

18 Mg (mg/g) - - - <0.01 - - -

19 Fe (mg/g) - 36 0.9 0.7-4.0 - - 0.12

Sumber: Direktorat Jenderal Hortikultura (2005)

Apabila dilihat dari sektor perdagangan, jamur termasuk salah satu komoditas ekspor nonmigas Indonesia dalam memenuhi permintaan di luar negeri.


(20)

xx Jamur yang diekspor terdiri dari dua macam bentuk yaitu bentuk segar dan bentuk olahan. Namun yang akan menjadi fokus penelitian adalah jamur tiram segar. Adapun perkembangan ekspor jamur Indonesia secara lebih jelas dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Perkembangan Volume Ekspor Jamur di Indonesia Tahun 2000-2004 (Kilogram).

Sumber: Direktorat Jenderal Hortikultura, 2005 (diolah)

Berdasarkan Tabel 3, dapat dilihat bahwa mayoritas ekspor jamur dari berbagai macam jenis adalah dalam bentuk produk olahan dan Amerika Serikat merupakan tujuan ekspor utama. Sampai tahun 2004 pertumbuhan ekspor jamur segar Indonesia sebesar 19,42 persen per tahun. Ekspor jamur segar Indonesia ke Malaysia tahun 2004 melonjak tajam sebesar 22.074 persen dari sebesar 3.991 kg pada tahun 2003 menjadi 884.953 kg pada tahun 2004 karena meningkatnya permintaan jamur dari Malaysia. Walaupun demikian, ekspor jamur segar Indonesia ke Malaysia tidak terlalu signifikan karena volume per tahunnya masih relatif kecil jika dibandingkan negara-negara pengimpor lain. Pertumbuhan impor jamur segar Taiwan meningkat pesat sebesar 75,46 persen per tahun. Ekspor jamur segar Indonesia ke Taiwan meningkat pesat pada tahun 2004 sebesar 370 persen dari 33.490 kg pada tahun 2003 menjadi 157.269 kg pada tahun 2004 karena

No Negara Pengimpor

Tahun Pertumbuhan

Per Tahun (Persen) 2000 2001 2002 2003 2004

SEGAR 3.096.307 3.734.308 4.185.662 1.740.735. 3.540.552 19,42 1 Amerika 2.606.659 3.127.772 3.612.866 1.479.235 2.327.323 8,44 2 Malaysia 7.258 1.737 3.578 3.991 884.953 5.528,80 3 Taiwan 105.432 87.949 102.033 33.490 157.269 75,46 4 Inggris 86.474 289.816 165.600 72.050 50.630 26,52 5 Singapura 86.299 80.335 49.855 35.286 70.691 6,57 6 Lainnya 204.185 155.696 251.700 116.683 49.686 -18,29 OLAHAN 26.283.791 22.687.013 14.043.614 14.506.045 18.093.778 -5,94 1 Amerika 21.294.875 17.682.279 11.863.563 13.184.201 15.676.138 -4,96 2 Jepang 1.457.821 1.211.375 448.403 79.640 139.535 -21,73 3 Taiwan 874.632 686.497 386.604 195.685 218.845 -25,68 4 Inggris 384.575 662.043 288.612 311.707 79.517 -12,69 5 Singapura 368.395 182.379 90.189 48.460 1.053.206 481,51 6 Lainnya 1.903.493 2.262.440 966.513 686.352 926.537 -8,11 TOTAL 29.380.098 26.430.321 18.229.276 16.246.780 926.537 -4,70


(21)

xxi meningkatnya permintaan dari negara tersebut (Direktorat Jenderal Hortikultura, 2005).

Akan tetapi, ekspor jamur olahan Indonesia tidak mengalami perkembangan yang baik. Hal tersebut disebabkan pertumbuhan ekspor jamur olahan mengalami pertumbuhan negatif sebesar -5,94 persen. Secara keseluruhan ekspor jamur Indonesia dalam bentuk segar dan olahan mengalami pertumbuhan negatif sebesar -4,70 persen.

Para produsen jamur lokal dihadapkan pada kondisi persaingan yang relatif ketat khususnya dengan perusahaan yang menghasilkan komoditas jamur yang sejenis. Tingkat persaingan cenderung semakin meningkat dengan masuknya jamur impor karena Indonesia juga masih mengimpor jamur dari negara-negara produsen utama dunia khususnya China. Tabel 4 menunjukkan perkembangan volume impor jamur di Indonesia tahun 2000 hingga tahun 2004.

Tabel 4. Perkembangan Volume Impor Jamur di Indonesia Tahun 2000-2004 (Kilogram).

No Negara Pengekspor

Tahun Pertumbuhan

Per Tahun (Persen) 2000 2001 2002 2003 2004

SEGAR 492.489 403.490 479.412 490.157 778.191 15,44 1 China 358.542 294.797 445.746 400.666 691.734 23,99 2 Malaysia 1.769 - 11.182 22.171 592 133,26 3 Singapura 62.360 5.220 1.501 5.300 14.135 64,23 4 Jepang 7.798 55.049 393 2.480 2.318 257,79 5 Hongkong 5.421 100 2.332 13.924 30.308 687,15 6 Lainnya 56.599 48.324 18.258 45.616 39.104 14,68 OLAHAN 980.294 1.028.538 849.618 1.049.164 1.542.528 14,51 1 China 867.017 837.038 629.161 888.300 1.416.493 18,09 2 Singapura 59.875 124.839 29.210 57.080 80.353 42,02 3 Malaysia 17.328 5.603 1.586 2.170 1.986 -27,76 4 Taiwan 651 1.996 154.018 2.852 210 194,36

5 Vietnam 28.000 - - 56.000 - -

6 Lainnya 7.423 59.062 35.643 42.762 43.486 160,42

TOTAL 1.472.783 1.432.028 1.329.030 1.539.321 2.320.719 14,16 Sumber: Direktorat Jenderal Hortikultura, 2005 (diolah)

Berdasarkan Tabel 4, dapat dilihat bahwa China menjadi negara pengekspor jamur terbesar untuk Indonesia baik dalam bentuk segar maupun olahan. Pertumbuhan impor jamur segar ke Indonesia sebesar 15,44 persen per tahun. Pertumbuhan tertinggi tercatat berasal dari Hongkong yaitu sebesar 687,15 persen


(22)

xxii per tahun. Sementara impor jamur berbagai jenis dalam bentuk tumbuh sebesar 14,51 persen dengan pertumbuhan tertinggi berasal dari Taiwan sebesar 194,36 persen. Secara keseluruhan, impor jamur Indonesia dalam bentuk segar dan olahan tumbuh sebesar 14,16 persen per tahun.

Jamur tiram merupakan salah satu jenis jamur kayu (Direktorat Jenderal Hortikultura, 2006). Jamur tiram terdiri dari berbagai macam jenis, antara lain tiram pink, kuning, cokelat, abu-abu dan putih. Akan tetapi jika dilihat dari jumlah permintaan, jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus) lebih diminati masyarakat. Hal ini dikarenakan jamur tiram putih paling banyak dikenal oleh masyarakat Indonesia sebagai bahan pangan sehari-hari (Direktorat Jenderal Hortikultura, 2007). Selain itu, jamur tiram putih banyak dibudidayakan di Indonesia karena budidayanya relatif mudah dan memiliki keuntungan ekonomis yang cukup potensial (Direktorat Jenderal Hortikultura, 2005). Indonesia merupakan salah satu negara penghasil jamur tiram putih yang memiliki sentra-sentra produksi yang tersebar di berbagai provinsi (Tabel 5).

Tabel 5. Luas Panen Jamur Tiram Putih di Indonesia Tahun 2000-2004 (Hektar).

No Provinsi Tahun Laju

(Persen/Tahun) 2000 2001 2002 2003 2004

1 Sumatera Utara

1.701 1.837 1.984 2.134 2.314 7,99

2 Sumatera Barat

750 1.000 1.200 1.400 1.600 26,86

3 Riau 227 245 265 286 309 8,03

4 Bengkulu 227 245 265 286 309 8,03

5 Lampung 227 245 265 285 308 7,96

6 Jawa Barat 2.835 3.062 3.307 3.571 3.857 8,00

7 Jawa Tengah 2.268 2.449 2.645 2.857 3.086 8,00

8 D.I. Yogyakarta

1.701 1.837 1.984 2.143 2.314 7,99

9 Jawa Timur 2.333 2.519 2.721 2.939 3.174 7,99

10 Bali 227 245 265 286 309 8,03

11 Kalimantan Barat

227 245 265 286 309 8,03

12 Kalimantan Timur

227 245 265 286 309 8,03

13 Kalimantan Selatan

283 306 330 356 385 8,00

Total 13.232 14.480 15.759 17.122 18.580 9,04


(23)

xxiii Berdasarkan pada Tabel 5, dapat dilihat bahwa Jawa Barat merupakan sentra produksi jamur tiram putih yang terbesar di Indonesia. Hal ini dikarenakan Jawa Barat memiliki letak geografis dan kondisi agroklimat yang sesuai untuk membudidayakan jamur tiram putih (Direktorat Jenderal Hortikultura, 2009). Komoditas ini juga sudah cukup dikenal oleh masyarakat Jawa Barat sebagai salah satu komoditas sayuran yang sering diperjualbelikan. Akan tetapi apabila dilihat dari laju pertumbuhan luas panen, Provinsi Sumatera Barat menempati urutan pertama sebesar 26,86 persen per tahun, sementara pertumbuhan luas panen jamur tiram putih di sentra produksi lain termasuk Jawa Barat hanya sekitar tujuh sampai delapan persen per tahun. Hal ini tidak terlepas dari sudah banyaknya masyarakat yang mengusahakan jamur di Pulau Jawa sehingga persaingan yang terjadi lebih ketat dalam menguasai pasar jika dibandingkan dengan wilayah Sumatera yang memiliki petani jamur relatif tidak sebanyak di Jawa barat (Direktorat Jenderal Hortikultura, 2006). Salah satu daerah penghasil jamur tiram putih di Jawa Barat adalah Cianjur (Suriawiria, 2002). Jamur tiram putih banyak dibudidayakan di Cianjur oleh masyarakat setempat. Permintaan jamur tiram putih di Cianjur sebesar 200 kg per hari (Agromedia, 2009). Menurut hasil wawancara dengan petani jamur tiram putih setempat, ”produksi jamur tiram putih di Cianjur mencapai sekitar delapan ton per hari dan sebagian besar dipasarkan di pasar induk Tangerang”. Hal ini disebabkan permintaan jamur tiram putih di Cianjur sudah terpenuhi sehingga sebagian besar hasil produksi jamur tiram putih dipasarkan di pasar induk Tangerang. Berikut ini merupakan data permintaan jamur tiram putih di beberapa kota di Jawa Barat (Tabel 6).

Tabel 6. Permintaan Jamur Tiram Putih di Beberapa Kota di Jawa Barat Tahun 2009.

No Kota Permintaan per Hari (Kg)

1 Bekasi 3.000

2 Bogor 150

3 Tangerang 3.000

4 Cianjur 200

5 Tasikmalaya 300


(24)

xxiv Sumber: Agromedia, 2009

1.2. Perumusan Masalah

Jamur tiram merupakan komoditas pertanian yang memiliki potensi untuk dikembangkan karena memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi. Salah satu jenis jamur tiram yang banyak dibudidayakan adalah jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus). Salah satu daerah penghasil jamur tiram putih di Indonesia adalah Kecamatan Pacet, Cianjur. Kecamatan Pacet memiliki lima buah desa yang seluruhnya memproduksi jamur tiram putih. Desa-desa tersebut adalah Desa Cipendawa, Desa Ciherang, Desa Gadog, Desa Gunung Putri, dan Desa Maleber. Kecamatan Pacet terkenal sebagai daerah sentra produksi jamur tiram putih di Cianjur. Kecamatan Pacet menghasilkan jamur tiram putih sekitar 3.000 kg per hari. Sedangkan Desa Cipendawa menghasilkan jamur tiram putih sekitar 430 kg per hari. Apabila dihitung, produksi jamur tiram putih di Kecamatan Pacet menyumbang sekitar 37,5 persen total produksi jamur tiram putih di Kabupaten Cianjur yang mencapai sekitar delapan ton per hari dan merupakan yang terbesar di Kabupaten Cianjur. Sedangkan produksi jamur tiram putih dari Desa Cipendawa menyumbang sekitar 14,33 persen dari total produksi jamur tiram putih di Kecamatan Pacet.

Jamur tiram putih merupakan produk pertanian yang bersifat mudah rusak (perishable) sehingga memerlukan suatu penanganan yang cepat serta tataniaga yang tepat. Hal ini dikarenakan apabila penanganan jamur tiram putih yang telah diproduksi tidak dilakukan dengan tepat, maka kualitas produk akan menurun yang dapat dilihat dari adanya perubahan bentuk fisik pada jamur seperti kerusakan pada tudung dan batang jamur, layu, dan busuk. Oleh karena itu, diperlukan peran lembaga-lembaga tataniaga yang berfungsi memasarkan hasil produksi dari petani produsen kepada konsumen akhir melalui sistem tataniaga. Para petani jamur tiram putih di Desa Cipendawa memiliki karakteristik yang cenderung homogen, yaitu produk utama yang dihasilkan sama berupa jamur tiram putih segar. Selain itu, pasar yang dituju oleh mereka pun sama yaitu pasar induk Tangerang dan saluran tataniaga yang mereka gunakan dalam memasarkan produknya pun sama yaitu


(25)

xxv mulai dari petani, pedagang pengumpul, pedagang besar atau grosir, pedagang pengecer, dan konsumen akhir.

Akan tetapi, sistem tataniaga yang melibatkan banyak lembaga mengakibatkan terdapatnya perbedaan harga yang cukup besar di tingkat petani jamur dengan harga di tingkat pedagang pengecer dimana diantara petani dengan pedagang pengecer tersebut terdapat lembaga-lembaga lain yang terlibat dalam sistem tataniaga. Jika dilihat pada sistem tataniaga jamur, posisi petani jamur sebagai produsen adalah yang paling rendah. Hal ini dikarenakan petani tidak memiliki daya tawar yang kuat karena memiliki keterbatasan terhadap informasi dan akses pasar sehingga petani jamur hanya sebagai price taker. Sementara informasi pasar yang akurat dimiliki oleh pedagang pengumpul sehingga mereka dapat menentukan harga beli jamur di tingkat petani sebagai produsen. Melalui kelebihan tersebut, maka para pedagang pengumpul sebagai salah satu lembaga tataniaga memiliki pengaruh yang besar di Desa Cipendawa dalam tataniaga jamur tiram putih. Selain itu, karena adanya saluran tataniaga, maka terdapat perbedaan harga yang cukup besar di tingkat petani jamur tiram dengan pedagang pengecer. Hal itu terkait adanya penanganan selama proses distribusi jamur mulai dari petani sebagai produsen sampai konsumen akhir.

Kondisi tersebut mengakibatkan peran tengkulak menjadi dominan dan memperoleh keuntungan yang lebih besar dibandingkan dengan petani sehingga petani menjadi pihak yang dirugikan. Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana sistem tataniaga jamur tiram putih di Desa Cipendawa? 2. Apakah sistem tataniaga tersebut sudah efisien?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah diatas, maka tujuan penelitian ini adalah:

1. Mengidentifikasi saluran tataniaga jamur tiram putih yang terdapat di daerah sentra produksi Desa Cipendawa, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur.

2. Mempelajari fungsi-fungsi tataniaga yang dilakukan oleh lembaga-lembaga tataniaga yang terkait.


(26)

xxvi 4. Menganalisis marjin tataniaga pada setiap jalur tataniaga jamur tiram putih dari

tingkat produsen hingga pengecer.

5. Mengidentifikasi saluran yang paling tepat untuk digunakan dalam proses tataniaga jamur tiram putih di lokasi penelitian.

1.4. Manfaat Penelitian

1. Sebagai informasi bagi petani dan lembaga tataniaga untuk meningkatkan kerjasama dan pendapatannya dalam proses tataniaga jamur tiram putih.

2. Bahan informasi dan kajian ilmiah dalam perencanaan kebijakan sosial ekonomi komoditas jamur tiram putih dalam mencari alternatif pemecahan masalah tataniaga jamur tiram putih, khususnya di wilayah Kabupaten Cianjur. 3. Sebagai bahan referensi untuk penelitian selanjutnya.

1.5.Ruang Lingkup Penelitian

Desa Cipendawa sebagai salah satu daerah penghasil jamur tiram putih cukup besar di Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur, mempunyai peluang yang cukup baik untuk terus dikembangkan, terutama kaitannya dalam peningkatan kapasitas produksi serta bentuk upaya lain yang dapat membangun daerah tersebut, baik dari segi infrastruktur maupun pembiayaan pertanian masyarakat setempat.

Pengembangan komoditas jamur sebagai salah satu potensi sumberdaya ekonomi lokal Kabupaten Cianjur, tentunya dipengaruhi oleh kondisi pasar dan peran serta semua pihak khususnya para petani dalam kegiatan budidaya (on farm). Berdasarkan informasi yang diperoleh dari pihak petani kegiatan tataniaga jamur tiram putih dilakukan di pasar induk Tangerang.

Berdasarkan informasi di atas, maka penelitian tentang saluran tataniaga jamur tiram putih di Desa Cipendawa mengkaji tataniaga jamur tiram putih sampai ke konsumen akhir yang ada di pasar induk Tangerang sesuai dengan metode snowball sampling dari saluran yang terjadi.


(27)

xxvii

II.

TINJAUAN

PUSTAKA

2.1. Bisnis Jamur Tiram Putih

Usaha jamur tiram putih memiliki prospek ekonomi yang baik karena jamur tiram putih merupakan salah satu produk komersial dan dapat dikembangkan dengan teknik yang sederhana. Selain itu, konsumsi masyarakat akan jamur tiram cukup tinggi, sehingga produksi jamur tiram dalam skala besar perlu dilakukan. Mengusahakan jamur tiram putih relatif mudah dan tidak memerlukan lahan yang luas serta dapat dijadikan sebagai pekerjaan pokok maupun pekerjaan sampingan namun tetap dapat memberikan keuntungan yang menjanjikan.

Jamur tiram putih dapat diusahakan sepanjang tahun tanpa terhambat oleh pergantian musim karena jamur tiram putih cukup toleran terhadap lingkungan dan dapat beradaptasi dengan baik terhadap perubahan lingkungan. Budidaya jamur tiram putih yang bernama latin pleurotus ostreatus ini masih tergolong baru di Indonesia. Usaha jamur tiram mulai dirintis dan diperkenalkan kepada para petani terutama di Cisarua, Lembang, Jawa Barat pada tahun 1988. Waktu itu masyarakat yang menjadi petani dan pengusaha jamur tiram masih sangat sedikit. Sekitar tahun 1995, para petani di kawasan Cisarua, yang semula merupakan petani bunga, peternak ayam dan sapi mulai beralih menjadi petani jamur tiram meski masih dalam skala rumah tangga. Kemudian dalam perkembangannya, beberapa industri berskala rumah tangga bergabung hingga terbentuk CV dan memiliki badan hukum. Sejak tahun 1991 hingga akhir tahun 2003, jamur tiram menjadi komoditas nomor dua yang diproduksi dunia. Kenyataan ini menunjukkan bahwa jamur tiram lebih digemari dibandingkan dengan jenis-jenis jamur lain seperti jamur shiitake dan jamur merang yang sejak 1986 menempati peringkat kedua. Adapun peringkat pertama dari daftar produksi jamur tersebut masih ditempati oleh jamur kancing (jamur champignon)4.

Harga jual jamur tiram putih cukup stabil antara Rp 7.000 per kilogram di tingkat petani sampai Rp 12.000 per kilogram di tingkat konsumen akhir. Selain itu, permintaan terhadap jamur tiram putih terus mengalami peningkatan dan biasanya

4

Masyarakat Jamur Indonesia (MAJI). 2008. Prospek Bisnis Jamur Tiram Putih.


(28)

xxviii selalu habis terjual di pasar. Penampilannya yang putih bersih dan menarik menjadi daya tarik tersendiri. Rasanya juga sangat lezat, hampir seperti daging ayam sehingga dapat dijadikan sebagai pengganti daging untuk kalangan vegetarian. Mengkonsumsi jamur tiram secara rutin dapat menghancurkan sel kanker. Jamur tiram juga memiliki kandungan protein yang tinggi, sehingga banyak dicari masyarakat. Hal tersebut merupakan beberapa faktor yang mengakibatkan semakin banyaknya masyarakat yang mengusahakan jamur tiram putih.

Pemasaran merupakan hal yang penting dalam berbisnis. Sebelum memulai berbisnis terlebih dahulu harus dapat melihat peluang pasar dari bisnis yang akan dijalankan dan setelah itu menentukan sasaran pemasaran dari produk tersebut. Memasarkan jamur tiram putih relatif mudah karena jamur tiram putih termasuk sayuran yang sudah umum dikenal oleh masyarakat. Akan tetapi, dalam pemasaran jamur tiram putih juga memerlukan kreativitas sesuai dengan perkembangan supply dan demand produk yang bersangkutan di pasar. Selain itu, jamur tiram putih termasuk komoditas ekspor karena adanya permintaan di pasar internasional.

Seiring dengan perkembangan pasar yang dipengaruhi oleh faktor tingkat permintaan, penawaran, dan juga pergeseran selera konsumen, maka usaha jamur tiram putih mengalami perkembangan yang signifikan dalam rangka memenuhi permintaan dan kebutuhan konsumen. Perkembangan yang dimaksud yaitu semakin banyaknya usaha diversifikasi produk jamur tiram putih (produk turunan) yang disesuaikan dengan selera konsumen. Perubahan ini menandai semakin berkembangnya usaha agroindustri yang dapat memberikan keuntungan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan penjualan jamur tiram putih dalam bentuk jamur segar (produk primer). Hal ini disebabkan produk jamur tiram putih olahan memiliki harga jual yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan produk primernya. Melalui diversifikasi, maka akan terbentuk nilai tambah (added value) yang mempengaruhi harga jual produk yang bersangkutan. Adapun produk-produk olahan jamur tiram putih yang sudah ada atau berkembang saat ini misalnya pepes jamur dan tumis jamur, bahkan saat ini jamur tiram putih sudah dapat diolah menjadi sate jamur, nugget, serta aneka keripik jamur seperti keripik jamur goreng tepung, keripik jamur rasa barbeque, keju Belanda, sambal balado, jagung Lembang, jagung bakar, mayones, saos sambal, dan rasa pizza. Selain itu, saat ini


(29)

xxix semakin berkembang usaha-usaha rumah makan maupun catering yang menyajikan menu-menu yang terbuat atau berbahan baku jamur tiram putih. Hal ini dapat dijadikan peluang dalam usaha untuk meningkatkan pendapatan para petani jamur tiram putih yang pada umumnya hanya tergantung dari satu pembeli yaitu pedagang pengumpul.

Cerahnya prospek usaha jamur tiram putih ini khususnya untuk usaha pengolahan pada akhirnya akan menciptakan peluang usaha bagi banyak orang yang tertarik menekuni usaha jamur tiram putih. Selain dari sisi permintaan yang terus meningkat (baik jamur segar maupun olahan), harga jual produk jamur tiram putih juga cukup tinggi terutama untuk produk-produk turunan. Banyak pengusaha jamur tiram di daerah tertentu memperoleh keuntungan yang relatif tinggi dengan omset mencapai puluhan juta per bulan dan hanya beberapa bulan saja sudah bisa menutup modal, bahkan ada yang memiliki omset hingga Rp. 150.000.000,00- per bulan5.

Secara umum, dalam kegiatan pemasaran jamur tiram putih terdapat lembaga-lembaga yang terlibat di dalamnya, yaitu:

1. Produsen (petani), 2. Pedagang pengumpul, 3. Pedagang besar, 4. Pedagang pengecer, 5. Pedagang olahan, 6. Konsumen.

Produsen (petani) merupakan pihak pertama yang terlibat dalam pemasaran produk jamur tiram putih. Produsen merupakan pihak yang menghasilkan atau memproduksi produk jamur tiram putih dengan karakteristik produk yang sama, yaitu jamur tiram putih dalam bentuk segar. Umumnya masyarakat yang berkecimpung dalam usaha jamur tiram putih lebih banyak yang menjadi petani. Harga jual jamur tiram putih di tingkat petani umumnya sekitar Rp 7.000 per

5 

 

Majalah Info PDN edisi September 2010. 2010. Budidaya Jamur Tiram Beromzet Rp 150

Juta per Bulan. http://ditjenpdn.depdag.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=61:budidaya

jamur-tiram-beromzet-rp-150-juta-perbulan. [31 Desember 2010].

 


(30)

xxx kilogram. Sebenarnya dengan berprofesi sebagai petani jamur tiram putih pun dapat memperoleh keuntungan yang signifikan jika dikelola dengan baik. Akan tetapi, biasanya masyarakat yang menjadi petani jamur tiram putih memiliki modal yang relatif rendah sehingga skala usahanya kecil dan volume produksinya sedikit. Hal ini menjadi salah satu penyebab petani kesulitan dalam memasarkan produknya, sehingga mereka pada umumnya tergantung kepada tengkulak. Jika mereka memasarkan sendiri hasil panennya ke pasar, maka keuntungan yang akan diperoleh akan berkurang karena adanya biaya transportasi sedangkan jamur tiram putih yang harus mereka jual dalam volume yang kecil sehingga menjadi tidak efisien. Hal ini mengakibatkan peran tengkulak menjadi sangat dominan. Namun masalah ini sebenarnya dapat diatasi melalui kreativitas pemasaran. Salah satu jalan keluar dari masalah ini dapat ditempuh dengan cara menumbuhkan agroindustri yang dapat memberikan nilai tambah bagi produk jamur tiram hasil panen para petani produsen karena memiliki harga jual yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan harga jual jamur dalam bentuk segar. Pada akhirnya hal ini dapat meningkatkan pendapatan para petani.

Pedagang pengumpul merupakan pihak atau lembaga pemasaran yang berhubungan langsung dengan petani jamur tiram putih. Biasanya pedagang pengumpul menjadi pihak pertama yang menjadi pembeli jamur tiram putih dari para petani. Adapun petani mengalami ketergantungan yang cukup tinggi terhadap pedagang pengumpul, namun harga jamur tiram putih lebih banyak ditentukan oleh pedagang pengumpul. Pedagang pengumpul biasanya mempunyai modal yang cukup besar untuk membeli jamur tiram putih hasil panen petani. Hal ini mengakibatkan posisi tawar pedagang pengumpul lebih kuat dibandingkan dengan petani. Harga jual jamur tiram putih terhadap pedagang pengumpul biasanya sekitar Rp 7.000 per kg.

Adapun pedagang besar merupakan lembaga pemasaran yang membeli suatu komoditas termasuk jamur tiram putih dalam volume besar (borongan). Pedagang besar umumnya membeli jamur tiram putih dari pedagang pengumpul, namun ada juga yang membeli langsung dari petani. Pedagang besar merupakan lembaga pemasaran yang memiliki modal yang relatif besar dan memiliki posisi


(31)

xxxi kuat dalam menentukan harga di pasar. Hal ini disebabkan volume transaksi pedagang pengumpul besar dengan wilayah pemasaran yang cukup luas.

Pedagang pengecer merupakan lembaga pemasaran yang berhubungan langsung dengan konsumen akhir. Volume jamur tiram yang dijual pada umumnya sedikit namun dengan harga jual yang tinggi dibandingkan dengan harga jual di tingkat petani, pedagang pengumpul, maupun pedagang besar. Hal ini disebabkan adanya perlakuan khusus terhadap jamur tiram putih selama proses distribusi. Perlakuan khusus tersebut meliputi biaya-biaya yang harus dikeluarkan lembaga-lembaga pemasaran terkait agar produk bersangkutan dapat sampai ke tangan konsumen dalam kondisi yang baik. Adanya biaya-biaya pemasaran tersebut ditambah dengan tingkat keuntungan yang diharapkan oleh masing-masing lembaga pemasaran mengakibatkan perubahan harga jual jamur tiram tersebut menjadi lebih tinggi ketika sampai ke tangan konsumen akhir. Biaya-biaya pemasaran tersebut yang menimbulkan nilai tambah (added value) pada produk yang bersangkutan sehingga harga jualnya menjadi tinggi. Harga jual jamur tiram putih dari pedagang pengecer kepada konsumen akhir berkisar antara Rp 10.000 – Rp 12.000 per kg.

Pedagang olahan merupakan lembaga yang melakukan perubahan bentuk fisik atau karakteristik jamur tiram putih yang awalnya berupa produk primer (jamur tiram segar) menjadi produk turunan (olahan) yang memiliki sifat-sifat yang berbeda dengan produk primer. Adanya cara-cara pengolahan yang termasuk di dalamnya merubah bentuk fisik jamur dan citra rasa jamur mengakibatkan harga jual yang tinggi dibandingkan dengan harga jual produk primer karena timbul nilai tambah yang memberikan tampilan yang sangat berbeda. Hal ini menjadi salah satu alternatif bagi konsumen dalam mengkonsumsi jamur tiram putih dengan tampilan dan rasa yang berbeda. Walaupun kecenderungan pasar akan jamur tiram masih tergolong pada secondary goods, namun permintaan pasar masih tinggi. Sebaliknya pada segmen hotel dan restoran yang kebutuhan akan jamur tiramnya cukup tinggi, suppliers jamur tiram masih minim sehingga masih sangat dibutuhkan.

Kebutuhan konsumsi jamur tiram meningkat seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk dan pendapatan serta perubahan pola konsumsi makanan penduduk dunia. Hal ini merupakan peluang bagi pemasaran jamur tiram di pasar internasional. Berdasarkan data dapat dilihat bahwa jamur tiram putih memiliki


(32)

xxxii potensi yang besar untuk menjadi produk unggulan di dunia. Hal ini ditunjukkan oleh tingginya tingkat konsumsi per kapita masyarakat dunia. Adapun negara-negara konsumen jamur terbesar adalah Amerika Serikat (AS), Kanada, Jerman, Jepang, Hongkong, Belgia, Inggris, Belanda dan Italia. Rata-rata konsumsi jamur per kapita penduduk Kanada dan negara-negara Eropa melebihi 1,5 kg/kapita/tahun. Sedangkan konsumsi rata-rata penduduk Perancis, Inggris, dan Amerika Serikat masing-masing mencapai 4,5 kg/kapita per tahun, satu kg/kapita/tahun, dan 0,5 kg/kapita/tahun. Adapun di Asia terdapat negara China dengan konsumsi jamur sebesar 3,5 kg/kapita per tahun6. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dikatakan bahwa bisnis jamur tiram memiliki prospek yang sangat baik untuk terus dikembangkan.

Menurut banyak pakar ekonomi, usaha jamur tiram putih diorientasikan sebagai usaha kecil. Akan tetapi usaha jamur tiram putih dipandang sebagai tulang punggung dalam salah satu pemulihan ekonomi Indonesia. Oleh karena itu, usaha ini perlu juga mendapat perhatian karena memiliki potensi yang besar untuk mengangkat perekonomian masyarakat umum. Adapun pengembangan budidaya jamur tiram dapat dibagi dalam tiga tahap, yaitu: tahap industri kecil awal, tahap industri kecil lanjut, dan tahap industri menengah7. Penjelasan mengenai ketiga tahap industri tersebut adalah sebagai berikut :

A. Tahap Industri Kecil Awal

Tahap ini merupakan langkah awal menuju terbentuknya industri padat karya yang kuat dan kokoh. Pada tahap ini setiap pelaku usaha perlu menerapkan standar produksi yang tepat untuk mengoptimalkan hasil budidaya jamur. Selain itu perlu adanya penyempurnaan sistem produksi, keuangan dan distribusi. Tahap ini memerlukan penambahan tenaga kerja dan pencarian investor. Tahap industri kecil awal ini merupakan jembatan menuju berdirinya industri kecil yang kokoh.

6

Gerbang Tani. 2010. Belajar Membudidayakan Jamur Tiram.

http://gerbangtani.blogspot.com/2010/08/belajar-mebudidayakan-jamur-tiram.html. [28 Desember 2010].

7

Organic Entrepreneur. 2009. Proposal Pengembangan Budidaya Jamur Tiram (pleurotus). http://organikganesha.wordpress.com/2009/09/28/proposal-pengembangan-usaha-budidaya-jamur-tiram-pleurotus-ostreatus-part-1/. [28 desember 2010].


(33)

xxxiii Investasi yang dibutuhkan untuk tahap industri kecil awal diperkirakan berkisar antara 25 hingga 100 juta rupiah.

B. Tahap Industri Kecil Lanjut

Tahap ini merupakan pengembangan dari tahap industri kecil awal. Setelah kebutuhan dana mencukupi dan seluruh kekurangan telah dapat diatasi, maka dimulailah industri kecil lanjut yang ditargetkan untuk memiliki perizinan dan pembentukan badan usaha. Industri ini diharapkan mampu menyerap banyak tenaga kerja, mulai dari pekerja kasar di bagian produksi hingga profesional di bidang pemasaran, R & D dan administrasi.

Tahap industri kecil lanjut ini merupakan jembatan menuju berdirinya industri menengah nasional yang produksinya diperkirakan mencapai sedikitnya 100.000 baglog produksi per musim. Tahap industri kecil lanjut itu sendiri diharapkan mampu memproduksi hingga sembilan ton per bulan. Investasi yang dibutuhkan untuk tahap industri kecil lanjut ini diperkirakan berkisar antara 150 hingga 200 juta rupiah.

C. Tahap Industri Menengah Nasional

Secara umum, tahap industri menengah adalah perluasan dari industri kecil, mulai dari sistem, kapasitas produksi hingga ekspansi distribusinya. Tidak tertutup kemungkinan untuk melakukan ekspor. Tahap ini diharapkan mampu menyerap lebih banyak tenaga kerja. Adapun investasi yang diperlukan mulai dari 300 juta rupiah.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dikatakan bahwa usaha jamur tiram putih merupakan salah satu usaha yang prospektif dan potensial8. Adapun beberapa pertimbangan usaha ini menguntungkan antara lain:

1. Daya serap pasar cukup tinggi dan semakin meningkat

2. Kemungkinan stagnasi pasar sangat kecil karena jamur tiram putih merupakan konsumsi masyarakat sehari-hari

3. Bahan baku mudah diperoleh dan harganya murah 4. Kebutuhan skill tidak begitu tinggi

5. Proses pemeliharaan tergolong mudah

8

Republika. 2010. Prospek Usaha jamur Tiram.


(34)

xxxiv 6. Tidak memerlukan lahan yang luas

7. Budidaya jamur tiram putih tidak mengenal musim sehingga dapat menghasilkan keuntungan terus menerus sepanjang tahun

8. Jamur tiram putih merupakan pangan alternatif yang lezat, sehat, dan bergizi tinggi

9. Usaha jamur tiram putih tidak menimbulkan pencemaran lingkungan

10.Kompos bekas media tanam dapat digunakan untuk pupuk kolam ikan, campuran pakan ikan, campuran pakan ternak, dan media memelihara cacing. Adapun usaha jamur tiram putih dapat dilakukan secara parsial ataupun keseluruhan. Beberapa sub usaha yang bisa dilakukan diantaranya:

1. Produksi bibit (kultur murni/parental) 2. Produksi bibit induk F1

3. Produksi bibit tebar F2 4. Produksi F3 (baglog jamur) 5. Produksi jamur segar 6. Produksi olahan jamur

7. Kompos dan pakan ternak dari sisa baglog afkir 8. Tempat wisata: wisata petik jamur

2.2. Hasil Penelitian Terdahulu

Usaha jamur tiram putih sudah banyak dijalankan sehingga penelitian-penelitian mengenai jamur tiram putih sudah banyak dilakukan baik dari segi budidaya maupun ekonominya. Penelitian terdahulu yang menjadi acuan dalam penelitian ini adalah penelitian yang terkait dengan sistem tataniaga dari berbagai tanaman hortikultura dilihat berdasarkan konsep saluran dan lembaga pemasaran, fungsi, marjin pemasaran, farmer’s share dan struktur pasar. Berikut adalah beberapa hasil penelitian mengenai kondisi tataniaga dari berbagai tanaman hortikultura.

Hasniah (2005) melakukan penelitian tentang Analisa Sistem dan Efisiensi Tataniaga Komoditas Pepaya Sayur (kasus Desa Sukamaju, Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat). Pola pemasaran terdiri dari tiga


(35)

xxxv buah saluran tataniaga. Saluran tataniaga I (Petani – Pedagang Pengumpul – Pedagang grosir – Pedagang Pengecer – Konsumen), saluran tataniaga II (Petani – Pedagang Pengumpul – Pedagang Pengecer – Konsumen), saluran tataniaga III (Petani – Pedagang Pengecer – Konsumen). Struktur pasar yang dihadapi petani pepaya sayur di Desa Sukamaju cenderung bersifat pasar persaingan sempurna. Sistem penentuan harga dilakukan oleh pedagang berdasarkan harga yang berlaku di pasar sehingga kedudukan petani dalam sistem tataniaga sangat lemah. Struktur pasar yang dihadapi pedagang pengumpul di Desa Sukamaju adalah oligopsoni. Struktur pasar yang dihadapi pedagang grosir adalah oligopoli. Struktur pasar yang dihadapi pedagang pengecer adalah pasar persaingan sempurna dimana harga berdasarkan mekanisme pasar dan pedagang pengecer tidak dapat mempengaruhi harga pasar. Selain itu, pedagang pengecer dapat dengan bebas keluar masuk pasar.

Sakinah (2006), yaitu Analisis Sistem dan Efisiensi Tataniaga Komoditas Damar Mata Kucing, di Desa Pahmungan terdapat tiga saluran tataniaga yaitu saluran tataniaga 1 (Petani – Penghadang – Pedagang Pengumpul Desa – Bandar – Eksportir), saluran tataniaga II (Petani – Pengumpul Desa – Bandar – Eksportir), dan saluran tataniaga III (Petani – Bandar – Eksportir).

Perilaku pasar yang diamati dari praktek penjualan dan pembelian oleh masing-masing lembaga tataniaga, sistem penentuan harga berdasarkan mekanisme pasar, sistem pembayaran dilakukan secara tunai. Berdasarkan analisis efisiensi tataniaga diketahui bahwa saluran tataniaga III menjadi alternatif yang efisien yang dapat meningkatkan farmer’s share karena memiliki marjin yang terkecil yaitu Rp. 8.500/kg (56,67 persen). Farmer’s share tertinggi juga terdapat pada saluran tataniaga III sebesar 43,33 persen. Rasio keuntungan tertinggi di saluran III sebesar 2,32.

Vinifera (2006) menyatakan dalam Analisis Tataniaga Komoditi Kelapa Kopyor di Desa Ngagel, Kabupaten Pati, Jawa Tengah terdapat tiga saluran pemasaran. Saluran tataniaga I (Petani – Pedagang Pengumpul I – Bandar – Pedagang Pengecer – Konsumen), saluran tataniaga II (Petani – Pedagang Pengumpul I – Pedagang Pengumpul II – Bandar – Pedagang Pengecer – Konsumen), dan saluran tataniaga III (Petani – Pedagang Pengumpul II – Bandar – Pedagang Pengecer – Konsumen).


(36)

xxxvi Saluran tataniaga II merupakan saluran tataniaga kelapa koyor terpanjang dan paling banyak digunakan oleh petani yaitu 11 orang petani (36,67 persen) dari total responden petani. Alasan petani menjual hasil panen kepada pedagang pengumpul 1 di tingkat desa karena petani tidak perlu melakukan kegiatan panen dan perbedaan keuntungan tidak terlalu besar. Sama halnya dengan saluran tataniaga III, petani melakukan penjualan ke pedagang pengumpul tingkat kecamatan sebanyak 36,67 persen dari total responden petani. Struktur pasar yang dihadapi petani kelapa kopyor di Desa Ngagel cenderung mengarah ke pasar persaingan sempurna. Hal ini dapat dilihat dari jumlah petani responden sebanyak 30 orang dengan jumlah pedagang sebanyak 11 orang yang terlibat sebagai lembaga tataniaga.

Perilaku pasar, penjualan dan pembelian antar lembaga tataniaga terjalin kerjasama cukup baik. Penentuan harga antara petani dengan pengumpul I dan pengumpul II berdasarkan tawar menawar dan penentuan sepihak dari pedagang sedangkan petani sebagai price taker. Harga yang terbentuk berdasarkan mekanisme pasar. Sedangkan sistem pembayaran dilakukan secara tunai, sistem panjer, dan sistem pembayaran kemudian.

Simamora (2007), meneliti tentang Analisis Sistem Tataniaga Pisang di Desa Suka Baru Buring, Kecamatan Penengahan, Kabupaten Lampung Selatan, Provinsi Lampung. Hasil penelitian ini menujukkan bahwa saluran tataniaga pisang yang terjadi terdapat empat saluran tataniaga yaitu; saluran I (Petani - PPD - Grosir I – Pedagang Pengecer - Konsumen), saluran II (Petani – PPD – Grosir II – Pedagang Pengecer - Konsumen), saluran III (Petani – PPD – Grosir I – Grosir II- Pedagang Pengecer- Konsumen), saluran IV (Petani – Konsumen lokal). Struktur pasar pada petani, PPD dan pedagang pengecer adalah oligopsoni, sedangkan untuk grosir I dan pedagang grosir II adalah Oligopoli. Dalam penentuan harga antara petani dan pedagang sebagian dilakukan tawar-menawar dan sebagian lagi langsung ditentukan oleh pedagang terhadap petani karena ada ikatan hutang piutang. Berdasarkan nilai marjin pemasarannya maka jalur III adalah saluran yang mempunyai nilai marjin paling besar yaitu Rp 660 (66,36 persen) dan marjin paling kecil terdapat pada jalur I yaitu sebesar Rp 607.78 (64,50 persen) dan rasio keuntungan yang didapatkan pada jalur I merupakan yang paling besar yaitu Rp


(37)

xxxvii 3.39 dan berada pada tingkat pengecer. Berdasarkan analisis efisiensi pemasaran maka jalur I dikatakan lebih efisien dari jalur II dan III. Sedangkan keuntungan terbesar terjadi pada jalur pemasaran I sebesar Rp 422,79 atau 44,87 persen, lebih tinggi jika dibandingkan pada jalur pemasaran II sebesar Rp 374,91 atau 38,02 persen, dan pada jalur pemasaran III sebesar Rp 293,60 atau sebesar 26,52 persen dari harga jual pengecer.

Rachma (2008) melakukan penelitian tentang Efisiensi Tataniaga Cabai Merah (Studi Kasus Desa Cibeureum, Kecamatan Sukamantri, Kabupaten Ciamis, Provinsi Jawa Barat). Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat lima jenis saluran tataniaga cabai merah di Desa Cibeureum. Saluran tataniaga I terdiri dari pedagang pengumpul, pedagang grosir, dan pedagang pengecer II. Saluran tataniaga II terdiri dari pedagang pengumpul, pedagang grosir, pedagang pengecer I dan pedagang pengecer II. Saluran tataniaga III terdiri dari pedagang pengumpul, pedagang grosir dan pedagang pengecer II. Saluran tataniaga ke IV terdiri dari pedagang pengumpul, pedagang pengecer I dan pedagang pengecer II. Saluran V terdiri dari pedagang pengumpul dan pedagang pengecer I. Berdasarkan kelima saluran tataniaga tersebut, terlihat bahwa 100 persen cabai merah dijual petani kepada pedagang pengumpul. Hasil analisis marjin tataniaga menunjukkan marjin terbesar terdapat pada saluran II, III, dan IV. Sedangkan marjin terkecil terdapat pada saluran I dan V. Analisis keterpaduan tidak bisa dilakukan karena struktur pasar yang terjadi dalam tataniaga cabai merah ini adalah tidak bersaing sempurna. Persaingan yang tidak sempurna dalam tataniaga cabai merah ini menunjukkan bahwa sistem tataniaga cabai merah di lokasi penelitian belum efisien.

2.3.Keterkaitan dengan Penelitian Terdahulu

Beberapa penelitian sebelumnya tantang analisis sistem tataniaga tanaman holtikultura telah dilakukan dan menghasilkan saluran yang efisien untuk diterapkan di tingkat petani serta posisi tawar petani yang lemah berdampak pada perlunya perujukan terhadap farmer’s share. Penelitian ini melengkapi penelitian sebelumnya dalam hal komoditas di lokasi yang berbeda sehingga dapat digunakan untuk perbandingan dengan lokasi dan komoditas yang lain. Berdasarkan penelitian terdahulu, dapat dilihat bahwa penelitian tentang analisis sistem tataniaga jamur tiram putih hanya terbatas pada sistem tataniaga, dan untuk menganalisis alternatif


(38)

xxxviii sistem tataniaga yang efisien. Metode yang digunakan adalah analisis struktur dan perilaku pasar, analisis marjin pemasaran, analisis rasio keuntungan dan biaya serta analisis farmers’s share.

Berdasarkan penelitian terdahulu yang dijadikan referensi khususnya terkait dengan tataniaga jamur tiram putih, dapat disimpulkan bahwa hasil dan pembahasan yang diperoleh oleh peneliti bersangkutan secara umum sudah mengacu kepada konsep tataniaga beserta alat ukur yang sesuai dengan topik penelitian yang diambil oleh peneliti yang bersangkutan. Akan tetapi sebenarnya masih ada penggalian informasi yang masih dapat diperoleh jika meneliti tentang analisis tataniaga agribisnis. Adapun output yang biasa dihasilkan dalam penelitian tataniaga terdahulu yaitu berupa besaran farmer’s share, marjin tataniaga, dan rasio keuntungan dan biaya. Akan tetapi yang perlu diingat adalah efisiensi tataniaga tidak mutlak dilihat dari besarnya farmer’s share, marjin tataniaga, dan rasio keuntungan dan biaya tetapi dipengaruhi juga oleh kekuatan lain seperti tingkat permintaan dan penawaran terhadap komoditas bersangkutan. Suatu saluran dapat dikatakan efisien secara operasional, akan tetapi belum tentu tepat untuk digunakan. Hal ini terkait dengan efektifitas saluran tersebut dalam mencapai tujuan yang diinginkan oleh lembaga-lembaga pemasaran yang terlibat, yaitu menyangkut bagaimana produk didistribusikan dari produsen kepada konsumen sehingga masing-masing lembaga dapat memperoleh keuntungan. Hal yang perlu diperhatikan adalah bukan besar atau kecilnya farmer’s share, namun seberapa besar penerimaan yang diperoleh. Penerimaan yang diterima harus dapat menutupi biaya yang dikeluarkan.


(39)

xxxix Tabel 7. Hasil Penelitian Terdahulu.

No Nama Tahun Judul Alat analisis

1 Hasniah 2005 Sistem dan Efisiensi Tataniaga Komoditas Pepaya Sayur

Analisis saluran tataniaga, fungsi-fungsi tataniaga, struktur pasar serta prilaku pasar, marjin tataniaga, farmer’s share, serta rasio Li/Ci .

2 Sakinah 2006 Analisis Sistem dan Efisiensi Tataniaga Komoditas Damar Mata Kucing

Analisis saluran tataniaga, fungsi-fungsi tataniaga, struktur pasar serta prilaku pasar, marjin tataniaga, farmer’s share, serta rasio Li/Ci.


(40)

xl 3 Vinifera 2006 Analisis Tataniaga

Komoditi Kelapa Kopyor

Analisis kualitatif (saluran tataniaga, struktur pasar, perilaku pasar, fungsi tataniaga) Analisis kuantitatif (marjin tataniaga, farmer’s share, biaya pemasaran serta rasio Li/Ci).

4 Simamora 2007 Analisis Sistem Tataniaga Pisang

Analisis kualitatif (saluran tataniaga, struktur pasar, perilaku pasar, fungsi tataniaga) Analisis kuantitatif (marjin tataniaga, farmer’s share, biaya pemasaran serta rasio Li/Ci).

5 Rombert 2008 Analisis Usahatani dan Tataniaga Jamur Tiram Putih (Pleurotus ostreatus)

Analisis kualitatif (saluran tataniaga, struktur pasar, perilaku pasar, fungsi tataniaga) Analisis kuantitatif (marjin tataniaga, farmer’s share, biaya pemasaran serta rasio Li/Ci).


(41)

xli

III. KERANGKA PEMIKIRAN

3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis

Kerangka pemikiran teoritis merupakan rangkaian teori-teori yang digunakan dalam penelitian untuk menjawab tujuan penelitian. Teori-teori yang digunakan adalah sistem tataniaga, pasar, lembaga dan saluran pemasaran, fungsi-fungsi pemasaran, struktur pasar, perilaku pasar, efisiensi tataniaga, farmer’s share, marjin pemasaran serta rasio keuntungan terhadap biaya pemasaran.

3.1.1 Sistem Tataniaga

Hammond dan Dahl (1977), menerangkan bahwa pemasaran atau tataniaga merupakan serangkaian fungsi yang diperlukan untuk menggerakkan produk mulai dari produsen utama hingga konsumen akhir. Sedangkan menurut Purcell (1979), menekankan pengertian pemasaran kepada adanya koordinasi dan merupakan suatu proses/sistem yang menjembatani atau menghubungkan gap antara apa yang diproduksi produsen dan apa yang diinginkan oleh konsumen.

Adiratma R, dkk. (1971/1972), mendefinisikan tataniaga sebagai proses yang mencakup segala kegiatan dan usaha yang berhubungan dengan perpindahan hak milik dan fisik dari barang hasil pertanian dan barang-barang kebutuhan usaha pertanian dari tangan produsen ke konsumen dan memberi kepuasan yang lebih tinggi bagi konsumen. Pendapat tersebut sejalan dengan Kohl dan Uhls (2002), yang mendefinisikan tataniaga pertanian merupakan keragaman dari semua aktivitas bisnis dalam aliran barang dan jasa komoditas pertanian mulai dari tingkat produksi (petani) sampai konsumen akhir, yang mencakup aspek input dan output pertanian. Menurut purcell (1979), diacu dalam Asmarantaka (2009) untuk menganalisis sistem tataniaga dapat dilakukan melalui lima pendekatan yaitu: 1. Pendekatan Fungsi (The Functional Approach); yang terdiri dari fungsi

pertukaran (pembelian dan penjualan), fungsi fisik (penyimpanan, pengolahan dan pengangkutan), dan fungsi fasilitas (standarisasi, pembiayaan, risiko dan informasi pasar).

2. Pendekatan Kelembagaan (The Institutional Approach); yang terdiri dari pedagang perantara, pedagang spekulan, pengolah dan organisasi yang memberikan fasilitas pemasaran.


(42)

xlii 3. Pendekatan Komoditas (Commodity Approach); pendekatan ini menekankan kepada apa yang diperbuat dan bagaimana penanganan terhadap komoditi sepanjang gap antara petani (The Original Point of Production) dengan konsumen akhir. Dengan demikian pendekatan ini menggambarkan agar penanganannya efisien.

4. Pendekatan Sistem (System Approach); pendekatan ini mempunyai arti menekankan kepada keseluruhan sistem, efisien dan proses yang kontinu membentuk suatu sistem. Dengan demikian pendekatan ini menganalisa keterkaitan yang kontinu diantara subsistem-subsistem (misalnya subsistem pengumpulan atau penyediaan bahan baku, pengolahan dan distribusi) yang memberikan tingkat efisiensi tinggi.

5. Pendekatan Analisa Permintaan dan Harga; titik tolaknya adalah pendekatan analitis dari kegiatan ekonomi di bidang pemasaran antara petani dan konsumen. Kegiatan ekonomi disini adalah berhubungan dengan proses transformasi komoditas usahatani menjadi bermacam-macam produk yang diinginkan oleh konsumen. Proses transformasi ini pada asasnya adalah penciptaan suatu komoditas lebih berguna bagi konsumen. Proses transformasi ini merupakan kegiatan produktif dalam sistem pemasaran karena menciptakan atau menambahkan nilai guna produk.

Menurut purcell (1979), diacu dalam Asmarantaka (2009) sistem tataniaga pertanian merupakan kesatuan sistem dari aktivitas ekonomi yang dimulai dari proses produksi barang-barang pertanian sampai dengan tingkat konsumsi. Fungsi ekonomi dalam sistem tataniaga ini berjalan secara interaktif dan terkoordinasi untuk menciptakan saluran pemasaran yang ringkas, sehingga penyediaan produk menjadi efektif dan efisien. Sistem ini disusun oleh komponen-komponen terkecil yang disebut dengan subsistem.

Komponen-komponen ini bekerjasama dalam suatu kesatuan yang terorganisasi dan saling tergantung antara bagian satu dengan bagian yang lainnya. Sistem pemasaran terdiri dari sistem komunikasi (Communication System), sistem teknis (Technical System) dan sistem kekuatan (Power System).


(43)

xliii 3.1.2 Pasar

Pasar adalah arena (tempat) mengorganisasikan beserta fasilitas dari aktifitas bisnis untuk menjawab pertanyaan ekonomi pasar; apa yang diproduksi, bagaimana memproduksi, berapa banyak diproduksi dan bagaimana mendistribusikan hasil yang diproduksi (Kohl dan Uhls, 2002). Dengan demikian pasar dapat didefinisikan sebagai 1) lokasi, 2) produk, 3) waktu dan 4) tingkat pasar.

Menurut Hammond dan Dahl (1977), pasar dalam pengertian ekonomi adalah ruang atau dimensi dimana kekuatan penawaran dan permintaan bekerja untuk menentukan atau mengubah harga. Menurut Kotler (1995), diacu dalam Vinifera (2006) pasar merupakan himpunan semua pelanggan potensial yang sama-sama mempunyai kebutuhan atau keinginan yang mungkin ingin dan mampu terlibat dalam pertukaran untuk memutuskan kebutuhan atau keinginan (Kotler, 1995).

Pasar adalah sebagai suatu lokasi secara fisik dimana terjadi jual-beli atau suatu keadaan terbentuknya suatu harga dan terjadinya perpindahan hak milik tertentu (Limbong dan Sitorus, 1987). Sedangkan Kotler dan Amstrong (1991) mendefinisikan pemasaran sebagai suatu rangkaian tujuan dan sasaran, kebijakan dan aturan yang menjadi arah kepada usaha-usaha pemasaran perusahaan dalam menghadapi lingkungan dan keadaan persaingan yang selalu berubah.

3.1.3 Lembaga dan Saluran Tataniaga

Penyampaian barang dari produsen ke konsumen akhir dalam sistem tataniaga melibatkan beberapa lembaga tataniaga sehingga membentuk berbagai saluran tataniaga yang digunakan produsen untuk menyalurkan produknya ke konsumen akhir dari titik produsen. Lembaga tataniaga adalah lembaga-lembaga yang melaksanakan fungsi–fungsi tataniaga mulai dari titik produsen ke titik konsumen (Limbong dan Sitorus, 1987).

Lembaga pemasaran atau lembaga tataniaga merupakan lembaga perantara yang melakukan aktivitas bisnis dalam suatu sistem pemasaran. Menurut Kohl dan Uhls (2002), lembaga-lembaga yang terlibat dalam proses pemasaran digolongkan menjadi lima kelompok diantaranya:


(44)

xliv 1) Merchant Middlemen adalah perantara atau pihak-pihak yang mempunyai hak atas suatu produk yang mereka tangani. Mereka menjual dan membeli produk tersebut untuk memperoleh keuntungan.

2) Agent Middlemen adalah perwakilan dari suatu lembaga atau institusi. Mereka hanya sebagai perwakilan dan tidak mengambil alih apapun dan tidak memiliki hak atas produk yang mereka tangani.

3) Speculative Middlemen adalah pihak-pihak atau perantara yang mengambil keuntungan dari suatu produk akibat perubahan harga.

4) Processors and Manufactures adalah lembaga yang bertugas untuk mengubah produk yang dihasilkan menjadi barang jadi.

5) Facilitative Organizations adalah lembaga yang berfungsi sebagai penyedia sarana bagi lembaga lain.

Hanafiah dan Saefuddin (1983), menjelaskan bahwa lembaga tataniaga adalah badan-badan yang menyelenggarakan kegiatan atau fungsi tataniaga dimana barang bergerak dari produsen sampai ke konsumen akhir. Lembaga tataniaga ini bisa termasuk golongan produsen, pedagang perantara dan lembaga pemberi jasa. Sedangkan menurut Limbong dan Sitorus (1987), menjelaskan lembaga pemasaran yang merupakan suatu badan-badan yang menyelenggarakan kegiatan-kegiatan tataniaga atau pemasaran yang menurut fungsinya dapat dibedakan atas:

1) Lembaga Fisik tataniaga yaitu lembaga-lembaga yang menjalankan fungsi fisik, misalnya badan pengangkut/transportasi.

2) Lembaga Perantara Tataniaga adalah suatu lembaga yang khusus mengadakan fungsi pertukaran.

3) Lembaga Fasilitas Tataniaga adalah lembaga-lembaga yang melaksanakan fungsi-fungsi fasilitas seperti Bank Desa, Kredit dan KUD.

Lembaga-lembaga pemasaran menurut penguasaan terhadap barang dan jasa terdiri dari:

1) Lembaga yang tidak memiliki tetapi menguasai barang misalnya: Agen, perantara dan Broker.

2) Lembaga pemasaran yang memiliki dan menguasai barang. Contohnya pedagang pengumpul, pedagang pengecer, grosir, eksportir dan importir.


(45)

xlv Umumnya lembaga pemasaran komoditas pertanian terdiri dari petani, pedagang pengumpul di tingkat lokal, pedagang antar daerah, pedagang besar, pengecer dan agen-agen penunjang. Agen penunjang seperti perusahaan pengangkutan, perusahaan penyimpanan, pengolahan biro-biro periklanan, lembaga keuangan dan lain sebagainya. Lembaga ini penting dalam proses penyampaian komoditas pertanian yang bersifat musiman, volume produk besar dengan nilai yang kecil (bulky), dan tidak tahan disimpan lama. Sehingga pelaku pemasaran harus memasok barang dengan jumlah yang cukup untuk mencapai jumlah yang dibutuhkan konsumen dan tersedia secara kontinu. Semakin efisien sistem tataniaga hasil pertanian, semakin sederhana pula jumlah rantai pemasarannya.

Ada beberapa faktor yang harus dipertimbangkan dalam memilih saluran tataniaga (Limbong dan Sitorus, 1987) yaitu:

1. Pertimbangan Pasar: siapa konsumen (rumah tangga atau industri), besarnya potensi pembelian, bagaimana konsentrasi pasar secara geografis, berapa jumlah pesanan dan bagaimana kebiasaan konsumen dalam membeli.

2. Pertimbangan Barang: berapa besar nilai per unit barang tersebut, besar dan berat barang (mudah rusak atau tidak), sifat teknis (berupa barang standar atau pesanan) dan bagaimana luas produk perusahaan yang bersangkutan.

3. Pertimbangan dari Segi Perusahaan: sumber permodalan, kemampuan dan pengalaman manajerial, pengawasan penyaluran dan pelayanan yang diberikan penjual.

4. Pertimbangan Terhadap Lembaga Perantara meliputi: pelayanan yang dapat diberikan oleh lembaga perantara, sikap perantara terhadap kebijakan produsen, volume penjualan dan pertimbangan biaya.

Produsen adalah golongan yang menghasilkan produk, disamping sebagai pelaku penjualan yang merupakan salah satu dari fungsi pemasaran. Salah satu bagian dari fungsi pemasaran adalah pedagang perantara yang merupakan badan-badan yang berusaha dalam bidang pemasaran, mengatur fasilitas yang menggerakkan barang dari produsen sampai ke konsumen. Mereka yang memberi jasa atau fasilitas yang memperlancar fungsi pemasaran yang dilakukan produsen atau pedagang perantara adalah pihak bank, usaha pengangkutan dan sebagainya


(46)

xlvi yang dikategorikan dalam lembaga pemberi jasa. Menurut Hanafiah dan Saefuddin (1983), panjang saluran pemasaran tergantung pada:

1) Jarak Antara Produsen dan Konsumen

Semakin jauh jarak antara produsen dan konsumen maka semakin panjang pula saluran tataniaga yang terjadi.

2) Skala Produksi

Semakin besar skala produksi, saluran yang terjadi cenderung panjang karena memerlukan pedagang perantara dalam penyalurannya.

3) Cepat Tidaknya Produksi Rusak

Produk yang mudah rusak menghendaki saluran pemasaran yang pendek karena harus segera diterima konsumen.

4) Posisi Keuangan Pengusaha

Pedagang dengan posisi keuangan yang kuat cenderung dapat melakukan lebih banyak fungsi pemasaran dan memperpendek saluran pemasaran.

Apabila mengetahui saluran pemasaran suatu komoditas maka dapat diketahui jalur mana yang lebih efisien dari semua kemungkinan jalur-jalur yang dapat ditempuh, serta dapat mempermudah mencari besarnya marjin yang diterima setiap lembaga yang terlibat.

3.1.4. Fungsi- Fungsi Pemasaran

Pendekatan fungsi menurut Downey dan Ericson (1992), diacu dalam Limbong dan Sitorus (1987) adalah suatu pendekatan yang mempelajari bagaimana sistem pemasaran dilakukan. Sedangkan Mubyarto (1995), berpendapat bahwa fungsi-fungsi tataniaga merupakan kegiatan yang mengusahakan agar pembeli memperoleh barang yang diinginkan pada tempat, waktu, bentuk dan harga yang tepat dengan jalan:

1. Meningkatkan Kegunaan Tempat (Place Utility), yaitu mengusahakan barang dan jasa dari daerah produksi ke daerah konsumsi.

2. Meningkatkan Kegunaan Waktu (Time Utility), yaitu mengusahakan barang dan jasa dari waktu yang belum diperlukan ke waktu yang diperlukan, misalnya dari waktu panen ke waktu paceklik.

3. Meningkatkan Kegunaan Bentuk (Form Utility), yaitu mengusahakan barang dan jasa dari bentuk semula ke bentuk yang diinginkan.


(1)

cxviii Lampiran 17. Gambar Kegiatan Tataniaga Jamur Tiram Putih di Desa Cipendawa

Jamur Tiram Putih Hasil Panen Jamur Tiram Putih dijemput Pengumpul

Jamur Tiram Putih Siap angkut Mobil Pick Up Pedagang Besar


(2)

cxix

Alat Pengukusan Baglog Jamur Tiram Putih Tempat Pedagang Besar

Pedagang Pengecer di Tempat Pedagang Besar Pedagang Pengecer Mengangkut Jamur Ke Pasar


(3)

L D Pe A B C N ampiran 18 KUISIO DI DESA CI Kuisioner i

Oleh

etunjuk umu A. RESPOND

1. Nama 2. Jenis Ke 3. Umur 4. Pendidik 5. Alamat ... ... 6. Awal U . BANGUN

1. Kumbun a) Luas b) Jumla c) Kapa 2. Ruang I a) Luas b) Jumla c) Kapa 3. Ruang I a) Luas b) Jumla c) Kapa C. PENJUAL No. Tuju 8. Kuisioner. ONER PENE IPENDAW ini digunaka “Ana h Zeffri Nov Fakultas Ek um : Berilah DEN PETA

: ...

elamin : (.

: ...

kan : (. (.. : ...

... saha : ... NAN YANG ng ah Kumbung sitas Kumbu Inokulasi (Pe ah sitas nkubasi ah sitas LAN PER M uan Penjuala

.

ELITIAN T WA, KECAM n sebagai su skripsi (pene alisis Tatani viana (H3407 konomi Mana Tanda ( √ ) ANI ... ...) Laki-laki ... ...) SD ...) KULIAH ... ... ... DIMILIKI g ung embibitan) MUSIM TA

an Pro

(K

TATANIAG MATAN PA

umber data p elitian) yang iaga Jamur 77045), Prog ajemen, Inst ... i (....) . Tahun (....) SMP H (....) La

... ... .. I : : ... : ... : ... : : ... : ... : ... : : ... : ... : ... ANAM duksi Kg) GA JAMUR CET, KABU primer dalam g berjudul Tiram Puti gram Eksten titut Pertania ... Perempuan (....) SMA ainnya... ... ...

... m2 ... Un ... Ba ... m2 ... Un ... Ba ... m2 ... Un ... Ba

Harga Jua (Rp/Kg)

R TIRAM PU UPATEN C m rangka pen

ih” nsi Agribisni an Bogor. A ... ... ... 2 nit aglog/Unit 2 nit aglog/Unit 2 nit aglog/Unit al Pen cxx UTIH CIANJUR nyusunan s, nerimaan


(4)

D Pe A Pe B N KUISIO DI DESA CI Kuisioner i

Oleh

etunjuk umu A. RESPOND

1. Nama 2. Jenis Ke 3. Umur 4. Pendidik 5. Alamat ... ... 6. Jenis Us engecer

7. Nama U 8. Bentuk U 9. Awal U . PEMBELI No. ONER PENE IPENDAW ini digunaka “Ana h Zeffri Nov Fakultas Ek um : Berilah DEN PEDA

: ...

elamin : (.

: ...

kan : (. (.. : ...

... saha : (.

(.. Usaha : ... Usaha : (.

(.. saha : ... IAN

Sumber

ELITIAN T WA, KECAM n sebagai su skripsi (pene alisis Tatani

viana (H3407 konomi Mana

Tanda ( √ ) AGANG ... ...) Laki-laki ... ...) SD ...) KULIAH ... ... ...) Pedagang ...) Pedagang ... ...) Perorang ...) PT ... V TATANIAG MATAN PA

umber data p elitian) yang iaga Jamur 77045) Prog ajemen, Inst ... i (....) . Tahun (....) SMP H (....) La

... ... g Pengumpu g Besar (Gro ... gan . olume (Kg) GA JAMUR CET, KABU primer dalam g berjudul Tiram Puti gram Ekstens titut Pertania ... Perempuan (....) SMA ainnya... ... ...

ul (.

osir) (. ...

(. (.

Harga (R

R TIRAM PU UPATEN C m rangka pen

ih” si Agribisnis an Bogor. A ... ... ... ....) ....) Lain-lain ....) CV/Firm ....) Lainnya Rp/Kg) cxxi UTIH CIANJUR nyusunan s, Pedagang n ma Keterangaan


(5)

cxxii C. TATA CARA PEMBELIAN

No. Uraian No. Uraian

1. Cara Pembelian : 5. Cara Perolehan Informasi Harga

(….) Bebas (….) Sesama pedagang

(….) Kontrak (….) Media massa

2. Cara Pembayaran : (….) Kelompok tani

(….) Tunai (….) Lainnya

(….) Dibayar dimuka 6. Alasan Membeli Pada Sumber (….) Dibayar sebagian (….) Harga lebih murah

(….) Hutang (….) Barang lebih bagus

3. Cara Penyerahan : (….) Lokasi mudah dijangkau (….) Ditempat pembeli (….) Langganan

(….) Ditempat penjual (….) Lainnya 4. Cara Penentuan Harga

(….) Ditentukan petani (….) Ditentukan pedagang (….) Ditentukan pemerintah

(….) Tawar-menawar

D. HAMBATAN DAN MASALAH DALAM PEMBELIAN

No Masalah Keterangan

1 Harga beli terlalu mahal (….) Ya (….) Tidak

2 Harga berfluktuasi (….) Ya (….) Tidak

3 Ketersediaan barang tidak kontinu (….) Ya (….) Tidak

4 Sarana jalan buruk (….) Ya (….) Tidak

5 Fasilitas transportasi tidak mendukung (….) Ya (….) Tidak 6 Peraturan pemerintah tidak jelas (….) Ya (….) Tidak

7 Adanya pungutan liar (….) Ya (….) Tidak

8 Keterbatasan tenaga terampil (….) Ya (….) Tidak 9 Kurangnya tenaga tataniaga (….) Ya (….) Tidak 10 Kualitas produk jamur beragam (….) Ya (….) Tidak

11 Keterbatasan modal (….) Ya (….) Tidak

12 Lain-lain:

……….. ……….. ………..


(6)

cxxiii E. PENJUALAN

No. Tujuan Penjualan Volume (Kg) Harga Jual (Rp/Kg) Penerimaan

F. TATA CARA PENJUALAN

No. Uraian No. Uraian

1. Cara Penjualan : 4. Cara Penentuan Harga

(….) Bebas (….) Ditentukan pedagang

(….) Kontrak (….) Ditentukan konsumen

2. Cara Pembayaran : (….) Ditentukan pemerintah

(….) Tunai (….) Tawar-menawar

(….) Dibayar dimuka 5. Cara Perolehan Informasi Harga (….) Dibayar sebagian (….) Sesama pedagang

(….) Hutang (….) Media massa

3. Cara Penyerahan barang : (….) Kelompok tani (….) Ditempat pembeli (….) Lainnya (….) Ditempat penjual

G. BIAYA KESELURUHAN

No. Jenis Kegiatan Biaya (Rp/Satuan)

1. Transportasi/Pengangkutan 2. Pengemasan

3. Tenaga Kerja 4. Retribusi 5. Penyimpanan 6. Biaya bongkar muat 7. Biaya sortasi 8. Lain-lain:

……….. ……….. ………..