1. Wilayah up-land adalah kawasan hulu daerah aliran sungai DAS yang
merupakan daerah belakang yang berpengaruh terhadap ekosistem kawasan dibawahnya kawasan pantai pesisir hingga laut. Yang termasuk wilayah
up-land adalah Kota Medan, Kota Tanjung Balai, Kabupaten Langkat, Kabupaten Labuhan Batu, Kabupaten Deli Serdang dan Kabupaten Serdang
Bedagai
2. Wilayah low-land adalah daerah aliran sungai DAS yang masih dipengaruhi
oleh pasang surut pada keenam KabupatenKota tersebut sampai 4 mil ke arah laut.
Peningkatan jumlah penduduk yang hidup di wilayah pesisir memberikan dampak tekanan terhadap sumberdaya alam pesisir seperti degradasi pesisir,
pembuangan limbah ke laut, erosi pantai abrasi, akresi pantai penambahan pantai dan sebagainya. Dalam melakukan berbagai aktivitas untuk meningkatkan
taraf hidupnya, manusia melakukan perubahan-perubahan terhadap ekosistem dan sumberdaya alam sehingga berpengaruh terhadap lingkungan di wilayah pesisir
khususnya garis pantai. Kerusakan pantai abrasi sepanjang pantai disebabkan oleh fenomena alam dan oleh masyarakat yang mengambil pasir diperairan pantai.
Sedangkan penambahan pantai akresi disebabkan oleh masyarakat setempat dengan membuat tanggul pantai kearah laut untuk dijadikan sebagai lahan
tambak Tarigan, 2007.
Hutan Mangrove
Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal woodland, vloedbosschen, dan hutan payau bahasa Indonesia. Selain itu, hutan
mangrove oleh masyarakat Indonesia dan negara Asia Tenggara lainnya yang
Universitas Sumatera Utara
berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut
Kusmana dkk 2003 Hutan mangrove adalah suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut terutama di pantai yang terlindung, laguna, muara sungai
yang tergenang pada saat pasang dan bebas dari genangan pada saat surut yang komunitas tumbuhannya bertoleransi terhadap garam.
Hutan mangrove merupakan ekosistem yang kompleks terdiri atas flora dan fauna daerah pantai, hidup sekaligus di habitat daratan dan air laut, antara
batas air pasang dan surut. Berperan dalam melindungi garis pantai dari erosi, gelombang laut dan angin topan. Tanaman mangrove berperan juga sebagai buffer
perisai alam dan menstabilkan tanah dengan menangkap dan memerangkap endapan material dari darat yang terbawa air sungai dan yang kemudian terbawa
ke tengah laut oleh arus. Hutan mangrove tumbuh subur dan luas di daerah delta dan aliran sungai yang besar dengan muara yang lebar. Di pantai yang tidak ada
sungainya, daerah mangrovenya sempit. Hutan mangrove mempunyai toleransi besar terhadap kadar garam dan dapat berkembang di daratan bersalinitas tinggi di
mana tanaman biasa tidak dapat tumbuh Irwanto, 2006. Pembagian kawasan mangrove berdasarkan perbedaan penggenaannya
Arief 2003 adalah sebagai berikut: 1.
Zona proksimal yaitu kawasan zona yang terdekat dengan laut. Pada zona ini biasanya akan ditemukan jenis-jenis Rizophora mucronata, Rizophora
apiculata dan Soneratia alba. 2.
Zona midle yaitu kawasan zona yang terletak di antara laut dan darat. Pada zona ini biasanya akan ditemukan jenis-jenis Sonneratia caseolaris,
Universitas Sumatera Utara
Rizhopora alba, Bruguera gymnorrhiza, Avicenia marina, Avicenia officinalis dan Ceriops tagal.
3. Zona distal yaitu zona yang terjauh dari laut. Pada zona ini biasanya akan
ditemukan jenis-jenis Heritiera hitoralis, Pongamia, Pandanus spp, dan Hibiscus tiliaceus.
Dibandingkan dengan negara-negara lain di dunia, Indonesia mempunyai keanekaragaman jenis tumbuhan mangrove yang paling tinggi 101 jenis,
sementara itu Victoria – Australia dan Selandia Baru hanya mempunyai satu jenis mangrove Avicennia marina. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Keanekaragaman jenis tumbuhan mangrove di beberapa negara No
Negara Jumlah Jenis
Pustaka 1.
Indonesia 101
Kusmana 1993a 2.
Malaysia Matang 30
Chan 1989 3.
Thailand 92
Aksornkoea 1993 4.
Burma 48
Myint and Soe 1985 5.
Vietnam 40
Ross 1975 6.
Filipina 78
Arroyo 1979 7.
Papua New Guinea 24
Paijman and Rollet 1977 8.
Brunei Darusalam 49
Salleh and de Silva 1989 9.
Quesland Australia 33
Well 1983 10.
Fujian cina 6
Peng and Xin Men 1983 11.
Kyusu Jepang 7
Nakasuga 1979 12.
Victoria 1
Wells 1983 13.
Selandia Baru 1
Chapman 1983 14.
Fiji 50
Walting 1986
Sumber : Cecep Kusmana, 1996
Dalam hal fauna, secara umum hutan mangrove berasosiasi dengan fauna laut dan darat. Fauna darat misalnya monyet ekor panjang Macaca spp., biawak
Varanus salvator, burung, ular dan lain-lain. Sedangkan fauna laut didominasi oleh Moluska dan Krustase. Golongan Moluska umumnya didominasi oleh
Gastropoda, sedangkan golongan Krustase didominasi Brachyura. Dalam hal ini fauna laut merupakan komponen utama fauna mangrove Kusmana, 1996.
Universitas Sumatera Utara
Sumber : Onrizal, 2010
.
Perubahan luas hutan mangrove primer menjadi hutan mangrove sekunder disebabkan oleh aktivitas penebangan, baik untuk industri kayu arang maupun
kayu bakar dan perancah. Perubahan dari hutan mangrove primer dan sekunder menjadi areal non hutan mangrove diakibatkan oleh konversi, terutama
pembukaan areal untuk pertambakan, perkebunan, permukiman dan areal pertanian lainnya. Selain itu, areal hutan mangrove juga berkurang akibat abrasi
yang diawali oleh rusaknya tegakan hutan mangrove akibat konversi dan penebangan dalam skala yang besar. Perubahan penggunaan lahan dan dampak
budidaya udang tambak di pesisir timur Sumatera Utara antara tahun 1977 dan 19881989 disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Perubahan penggunaan lahan dan dampak budidaya udang tambak di pesisir timur Sumatera Utara antara tahun 1977 dan 19881989
Dampak terhadap tutupan hutan mangrovepenggunaan lahan
antara tahun 1977 dan 19881989
Langkat Deli
Serdang Asahan
Labuhan Batu
Total
Hutan sekunder di lahan bekas hutan primer
1.127 1.060
2.879 4.461
9.527 Hutan sekunder di bekas lahan
garapan 1.262
3.097 1.098
2.363 7.820
Hutan gundul di bekas hutan primer
72 112
249 106
539 Hutan gundul di bekas hutan
sekunder 5
43 22
70 Tambak yang sudah ada tahun
1977 308
308 Tambak udang yang berlokasi di
bekas hutan primer 2.394
3.078 808
14 6.294
Tambak udang yang berlokasi di bekas hutan sekunder
835 696
108 18
1.657 Tambak udang yang berlokasi di
bekas lahan garapan 1.233
1.012 137
2.382 Luas total perubahan dari hutan
primer dan hutan belukar sekunder 3.229
3.774 916
32 7.951
Luas garapan yang berlokasi di bekas hutan primer
1.104 1.184
3.505 1.218
7.011 Luas garapan yang berlokasi di
bekas hutan sekunder 1.281
403 2.444
913 5.041
Areal hutan primer dalam luasan 50 ha
1.261 1.329
477 328
3.395 Areal hutan sekunder dalam luasan
50 ha 315
1.080 423
16 1.834
Universitas Sumatera Utara
Hutan mangrove di pesisir pantai timur Sumatera Utara yang terletak di sistem lahan KJP kajapah dan PTG putting disusun oleh 20 jenis flora
mangrove, dengan jenis paling dominan adalah Avicenia marina yang merupakan jenis pionir. Tumbuhan mangrove yang dijumpai hanya berada pada tingkat semai
dan pancang, sedangkan tingkat pohon tidak dijumpai, sehingga tergolong hutan mangrove muda. Parameter tanah dan kualitas air yang penting bagi pertumbuhan
mangrove, secara umum tidak melampaui ambang batas yang diperkenankan, kecuali potensi pirit yang terdapat di kedua sistem lahan yang akan mengancam
pertumbuhan mangrove jika tidak segera teratasi, karena bersifat racun bagi tumbuhan Kusmana dan Onrizal, 2008.
Fungsi Mangrove
Mangrove mempunyai berbagai fungsi. Fungsi fisiknya yaitu untuk menjaga kondisi pantai agar tetap stabil, melindungi tebing pantai dan tebing
sungai, mencegah terjadinya abrasi dan intrusi air laut, serta sebagai perangkap zat pencemar. Fungsi biologis mangrove adalah sebagai habitat benih ikan, udang,
dan kepiting untuk hidup dan mencari makan, sebagai sumber keanekaragaman biota akuatik dan nonakuatik seperti burung, ular, kera, kelelawar, dan tanaman
anggrek, serta sumber plasma nutfah. Fungsi ekonomis mangrove yaitu sebagai sumber bahan bakar kayu, arang, bahan bangunan balok, papan, serta bahan
tekstil, makanan, dan obat-obatan Gunarto, 2004.
H utan mangrove sebagai suatu ekosistem di daerah pasang surut,
kehadirannya sangat berpengaruh terhadap ekosistem-ekosistem lain di daerah tersebut. Pada daerah ini akan terdapat ekosistem terumbu karang, ekosistem
padang lamun, dan ekosistem estuari yang saling berpengaruh antara ekosistem
Universitas Sumatera Utara
yang satu dengan lainnya. Dengan demikian, terjadinya kerusakangangguan pada ekosistem yang satu tentu saja akan mengganggu ekosistem yang lain. Sebaliknya
keberhasilan dalam pengelolaan rehabilitasi hutan mangrove akan
memungkinkan peningkatan penghasilan masyarakat pesisir khususnya para nelayan dan petani tambak karena kehadiran hutan mangrove ini merupakan salah
satu faktor penentu pada kelimpahan ikan atau berbagai biota laut lainnya Sudarmadji, 2001.
Hutan mangrove tidak hanya merupakan ekosistem berbagai jenis ikan, udang, kepiting, kerang, reptil dan mamalia, tetapi akarnya yang kuat mampu
menahan gelombang, abrasi pantai dan intrusi air laut. Bahkan akarnya mampu menetralkan berbagai senyawa beracun yang terbawa air laut. Disamping itu hutan
mangrove juga menjadi tempat berkembang biaknya satwa liar seperti elang Bondol Halistur indus, burung raja udang Halcyon chloris, belibis
Dendrocygna SP, dan teruwok Amaurornis phoenicurus. Bahkan monyet ekor panjang Macaca fascicularis dan bekantan Nasalis larvatus juga hidup di
hutan mangrove. Sejak dahulu, mangrove digunakan sebagai kayu bakar bagi penduduk local Ambarwulan dkk, 2003.
Gambaran Kerusakan Ekosistem Mangrove
Pada dasawarsa ini terjadi penurunan luasan dan kualitas hutan mangrove secara drastis. Ironinya, sampai sekarang tidak ada data aktual yang pasti
mengenai luasan hutan mangrove, baik yang kondisinya baik, rusak maupun telah berubah bentang lahannya, karena umumnya hutan mangrove tidak memiliki
boundary yang jelas. Estimasi kehilangan hutan selama tahun 1985 sd tahun 1997 untuk pulau Sumatera sebesar 3.391.400 ha atau sebesar 61 . Contoh
Universitas Sumatera Utara
kasus lokal di kawasan Hutan Mangrove Kabupaten Langkat dan Deli Serdang termasuk Serdang Bedagai yang diteliti dilaporkan oleh Purwoko dan Onziral
2001 yang menyatakan bahwa berdasarkan kondisi ekosistem yang dijumpai tersebut, kawasan mangrove tersebut sudah tidak memungkinkan lagi bagi
vegetasi dan satwa untuk berlindung dan beregenerasi secara alami. Gambaran kerusakan ekosistem pesisir juga bisa dilihat dari kemerosotan
sumber daya alam yang signifikan di kawasan pesisir, baik pada ekosistem hutan pantai, ekosistem perairan, fisik lahan dan lain-lain, yang berakibat langsung pada
menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakat pesisir. Kasus-kasus adanya keluhan penurunan hasil tangkapan oleh nelayan menurut laporan Ramli dan
Purwoko 2003 terjadi di beberapa tempat seperti di Pantai Cermin, Pantai Labu, Secanggang, Pantai Pandan dan Sei Berombang.
Di Kabupaten Serdang Bedagai, hutan mangrove umumnya memiliki tingkat keterbukaan wilayah yang tinggi dan relatif dekat dengan sentra-sentra
kegiatan perekonomian masyarakat. Kondisi ini membuat hutan mangrove di Kabupaten Serdang Bedagei memiliki interaksi sosio-ekosistem yang tinggi.
Menurut Purwoko dan Onrizal 2002, interaksi yang tinggi antara masyarakat dengan kawasan hutan biasanya membawa dampak yang cukup serius terhadap
ekosistem kawasan maupun terhadap fungsi dan keunikannya. Dari satu sisi, hal ini mengindikasikan bahwa keterlibatan sektor kehutanan dalam perekonomian
dan kontribusinya terhadap perekonomian rakyat sudah cukup intensif. Namun di sisi yang lain, dampak degradasi ekosistem mangrovenya terhadap perekonomian
wilayah pesisir secara keseluruhan jauh lebih serius. Padahal kelestarian ekosistem mangrove mutlak harus tetap dipelihara sebagai satu-satunya cara untuk
Universitas Sumatera Utara
mempertahankan peran, fungsi serta keseimbangan ekosistem kehidupan di sekitar kawasan pesisir.
Penyebab Kerusakan Hutan Mangrove
Kerusakan hutan mangrove merupakan permasalahan yang kompleks yang terdapat pada berbagai level kegiatan yang pada akhirnya mempengaruhi
ekosistem mangrove secara menyeluruh. Permasalahan-permasalahan utama yang melatar belakangi terjadinya degradasi hutan mangrove di Sumatera Utara
menurut Passaribu 2004 tidak terlepas dari :
1. Tingkat pendapatan masyarakat yang relatif rendah