Pemerintah harus mampu membuat kebijakan-kebijakan yang berpihak kepada kepentingan internal negara yang mampu melindungi TKI di daerah ASEAN
terlebih di Malaysia. Dari pemaparan diatas maka penulis tertarik untuk Dari paparkan diatas penulis tentang latar belakang penulis tertarik untuk melakukan
penelitian yang lebih condong kearah ekonomi politik dan lebih mengarah lagi
kearah kebijakan oleh karena itu penulis meneliti tentang, ”Peran ASEAN Economic Community Terhadap Kebijakan Liberalisasi Tenaga Kerja
Indionesia Studi Kasus : Tenaga Kerja Indonesia yang berada di Malaysia.”
I.2 Rumusan Masalah
Agar penelitian ini dapat dilaksanakan dengan terarah dan tepat sasaran, maka permasalahan harus dirumuskan dengan jelas. Adapun yang menjadi
rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : 1.
Apakah ASEAN Economic Community mendorong adanya kebijakan liberalisasai tenaga kerja Indonesia yang bekerja di Malaysia?
2. Bagaimanakah dampak ASEAN Economic Community terhadap pengaturan
tenaga kerja Indonesia di Malaysia?
I.3 Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian
I.3.1 Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan penulis dalam meneliti permasalahan ini adalah :
1. Untuk lebih memahami tentang Kerjasama Indonesia dalam Asean.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2. Untuk lebih memahami tentang Kebijakan ketenagakerjaan Indonesia .
3. Untuk lebih memahami tentang dampak liberalisasi tenaga kerja indonesia.
4. Menemukan dan menjelaskan perdagangan jasa tenaga kerja setelah
kesepakatan ASEAN Economic Community.
I.3.2 Manfaat Penelitian
Penelitian yang dilakukan untuk mengetahui dampak Asean Free Trade Area memberi manfaat sebagai berikut :
1. Penelitian ini diharapkan mampu memberi pemahaman dan kemampuan
berfikir secara akademis dan ilmiah dalam memandang kerjasama luar negeri Indonesia.
2. Menambah khasanah ilmu pengetahuan terutama masalah liberalisasi dan
kebijakan luar negeri. 3.
Sebagai literatur baru bagi kepustakaan ilmu politik FISIP USU. 4.
Menambah pengetahuan dan kemapuan penulis dalam menyelesaikan karya ilmiah.
I.4 Pembatasan Masalah
Penelitian membutuhkan pembatasan masalah dengan tujuan untuk dapat menghasilkan uraian yang sistematis dan tidak melebar. Maka batasan masalah
dalam penelitian ini adalah : 1.
Hal-hal yang diteliti adalah Kebijakan mengenai tenaga kerja Indonesia di Malaysia.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2. Proses pengaturan tenaga kerja Indonesia di Malaysia setelah munculnya
kesepakatan ASEAN Economic Community. 3.
Secara Fokus penulis akan meneliti tentang keberpihakan kebijakan liberalisasi tenaga kerja Indonesia dan keterkaitannya dengan kesepakatan
indonesia dalam ASEAN Economic Community.
I.5 Kerangka Teori
I.5.1 Kebijakan I.5.1.1 Tahapan Proses Kebijakan
Proses pengambilan kebijakan merupakan proses yang kompleks karena melibatkan banyak proses maupun variabel yang harus dikaji. Oleh karena itu,
proses pengambilan kebijakan tersebut perlu dikelompokkan ke dalam beberapa tahapan. Hal ini akan memudahkan kita dalam memahami proses pengambilan
kebijakan publik
2
a. Tahap Penyusunan Agenda Agenda Setting
.
Di sekitar lingkungan pemerintahan terdapat berbagai persoalan yang harus diselesaikan, namun masalah-masalah tersebut tidak langsung mendapatkan
perhatian dari para pengambil kebijakan. Setiap masalah publik harus mendapatkan pengorganisasian agar masalah tersebut menjadi isu kebijakan yang
akan dibahas para pembuat kebijakan. Setelah suatu masalah diorganisasikan dengan baik, selanjutnya isu tersebut diteruskan pada para pembuat kebijakan.
Maka masalah itu kemungkinan akan mendapat perhatian dari para pejabat publik, untuk dicarikan penyelesaiannya. Pada tahapan inilah dibutuhkan peranan partai
2
Charles Lindblom, Proses Penetapan Kebijakan Publik, Jakarta: Airlangga, 1986.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
pilitik, kelompok kepentingan, maupun masyarakat secara umum untuk mengangkat suatu permasalahan yang sedang dihadapi oleh masyarakat untuk
menjadi isu kebijakan. Setelah berbagai isu kebijakan sampai di tangan para pembuat kebijakan, berbagai isu tersebut harus bersaing untuk mendapatkan
perhatian yang lebih besar dari para pejabat publik. Hal ini dikarenakan banyaknya persoalan isu kebijakan yang sama-sama membutuhkan
penyelesaian. Pada tahapan ini suatu masalah isu kebijakan mungkin tidak disentuh oleh para pengambil kebijakan, ada masalah yang pembahasannya
ditunda untuk beberapa waktu, dan ada masalah yang langsung ditanggapi dibahas oleh para pengambil kebijakan.
b. Tahap Formulasi Kebijakan Policy Formulation
Masalah isu kebijakan yang telah masuk dalam agenda setting kemudian dibahas oleh para pembuat kebijakan. Sejumlah permasalahan itu dirumuskan
melalui proses analisa yang cermat tentang pendefinisian masalah tersebut, alternatif cara penanggulangannya apa, dan bagaimana dampaknya. Pemecahan
masalah tersebut, berasal dari berbagai alternatif kebijakan yang telah disediakan. Alternatif-alternatif kebijakan inilah yang nantinya akan dipilih sebagai kebijakan
yang diambil untuk memecahkan masalah tersebut. Pada tahap ini, pembuat kebijakan akan berusaha semaksimal mungkin untuk memanifestasikan
kepintingannya di dalam subsitansi kebijakan. c.
Tahap Penetapan Kebijakan Policy Adoption Pada tahap ini para pengambil kebijakan akan mempertimbangkan
berbagai alternatif kebijakan, bagaimana dampak untung-rugi suatu alternatif kebijakan, bagaimana cara menerapkan alternatif. Setelah melakukan penelahaan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
yang sangat cermat, para pengambil kebijakan akan menetapkan salah satu alternatif kebijakan dari sejumlah alternatif yang ditawarkan para perumus
kebijakan. d.
Tahap Implementasi Kebijakan Policy Implementation Pada tahap ini, suatu kebiajakan yang telah ditetapkan harus
diimplemetasikan agar kebijakan itu tidak hanya sebagai catatan elit semata. Penerapan kebijakan ini membutuhkan keseriusan para pelaksana kebijakan
birokrat agar kebijakan tersebut dapat berfungsi secara optimal di dalam masyarakat. Di dalam tahapan ini biasanya terjadi perbedaan sikap dari para
pelaksana kebijakan, ada yang mendukung dan ada pula yang menentang pelaksanaan kebijakan tersebut.
e. Tahap Evaluasi Kebijakan Policy Evaluation
Pada tahap ini, kebijakan yang telah diimplementasikan akan dievaluasi atau dihakimi judged, untuk melihat sejauh mana suatu kebijakan yang telah
ditetapkan dan diimplementasikan, mampu memberikan solusi pada masyarakat. Suatu kebijakan tersebut bisa dinyatakan berhasil apabila kebijakan tersebut
mampu menjawab persoalan yang sedang dihadapi masyarakat. Sebaliknya, suatu kebijakan bisa saja dinyatakan gagal apabila penerapan suatu kebijakan justru
mendatangkan persoalan yang baru yang lebih kompleks dari sebelumnya.
I.5.1.2 Pendekatan-Pendekatan dalam Pengambilan Kebijakan 1.5.1.2.1 Pendekatan Kelompok
Menurut James A. Anderson pendekatan kelompok secara garis besar menyatakan bahwa pembuatan kebijakan pada dasarnya marupakan hasil dari
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
perjuangan antar kelompok-kelompok dalam masyarakat
3
Menurut Winarno, pendekatan kelompok mempunyai anggapan dasar bahwa interaksi, dan perjuangan antar kelompok merupakan kenyataan dari
kehidupan politik . Suatu kelompok
merupakan kumpulan individu-individu yang diikat oleh tingkah laku dan kepentingan yang sama, mereka mempertaruhkan dan membela tujuan-tujuan
dalam persaingan dengan kelompok lain.
4
Anderson menyatakan bahwa; The essential argument of elite theory was not the people or masses who determine public policy through their demands in
actions; rather the public policy was decided by a rulling elite, and carried into . Individu-individu hanya akan memiliki arti penting jika ia
merupakan partisan dalam atau menjdi wakil kelompok-kelompok. Hanya melalui kelompoklah individu-individu berusaha mendapatkan pilihan-pilihan politik yang
mereka inginkan. Kebijakan publik pada suatu waktu merupakan equilibrium yang dicapai
dalam perjuangan kelompok. Equilibrium ini ditentukan oleh pengaruh relatif dari kelompok kepentingan yang diharapkan akan menghasilkan perubahan-perubahan
dalam proses pembuatan kebijakan publik. Besar kecilnya pengaruh kelompok- kelompok tersebut ditentukan oleh jumlah kekayaan, kekuatan organiosasi,
kepemimpinan, akses terhadap para pembuat kebijakan, dan kohesi dalam kelompok.
1.5.1.2.2 Pendekatan Elit
3
James A. Anderson, Public Policy-Making, New York: Holt Rine Hart and Winstone, 1984.
4
Budi Winarno, Teori dan Proses Kebijakan Publik, Jakarta: Media Presindo, 2002.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
effect by public official and agencies
5
Dye dan Harmon memberikan suatu ringkasan pemikiran tentang pandangan elit . “Pandangan argument utama dari teori
elit bahwa kebijakan publik bukanlah ditentukan oleh masyarakat atau massa, tetapi ia lebih ditentukan oleh elit politik yang sedang memerintah yang
dilaksanakan oleh pejabat-pejabat dan badan-badan pemerintah yang ada dibawahnya”. Pendekatan ini berasumsi bahwa kebijakan publik dapat dipandang
sebagai nilai-nilai dan pilihan-pilihan dari elit yang memerintah.
6
• Masyarakat terbagi dalam suatu kelompok kecil yang mempunyai kekuasaan, dan kelompok besar yang tidak mempunyai kekuasaan. Hanya sekelompok
kecil saja orang mengalokasikan nilai-nilai untuk masyarakat, sementara masyarakat publik tidak dapat memutuskan membuat kebijakan.
.
• Kelompok kecil masyarakat yang memerintah itu bukan tipe massa yang diperintah governed. Para elit biasanya berasal dari lapisan masyarakat yang
ekonominya sudah makmur. • Perpindahan dari kedudukan non elit ke elit sangat pelan dan
berkesinambungan untuk memelihara stabilitas dan menghindari revolusi. Hanya kalangan yang non elit yang telah menerima konsensus elit yang
mendasar yang dapat diterima dalam lingkungan yang memerintah. • Elit memberikan konsensus pada nilai-nilai dasar sistem sosial pemeliharaan
sistem. • Kebijakan publik tidak merefleksikan tuntutan-tuntutan massa, tetapi nilai-
nilai elitlah yang berlaku.
5
Anderson, op. cit., hal. 12.
6
Thomas R. Dye and Harmon Zeigler, The Iron of Democracy, Cliff: Wad Worth, 1970.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
• Para elit secara relatif memperoleh pengaruh langsung yang kecil dari massa yang apatis, sebaliknya para elit memberikan pengaruh yang besar terhadap
masyarakat massa. Pendekatan elit lebih memusatkan perhatian pada peranan kepemimpinan
dalam pembentukan krbijakan-kebijakan publik. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa dalam suatu sistem politik, hanya sekelompok kecil orang yang
memerintah masyarakat umum; para elit politiklah yang mempengaruhi masyarakat umum, dan massa yang mempengauhi elit. Lebih lanjut Robert Dahl
menyatakan bahwa orang harus mengidentifikasi kelompok yang mengendalikan dibandingkan dengan ukuran mayoritas yang bukan merupakan artefak dari
peraturan-peraturan demokratik, suatu mayoritas individu-individu yang mempunyai pilihan-pilihan tentang masalah-masalah politik pokok
7
Anderson mengemukakan bahwa; The study of government institution is one of the oldest concern of political science. Political life generally revolves
around governmental institution such as legislature, executive, courts, and political parties; public policy, more over, is initially authoritatively determined
and implemented by governmental institution .
1.5.1.2.3 Pendekatan Kelembagaan
8
7
Robert Dahl, Critique of the Rulling Elite Model, American Science Review, LII, 1958.
8
Anderson, op., cit., hal. 17.
.“Kajian ilmu politik mempfokuskan studi pada lembaga-lembaga pemerintahan. Kegiatan-kegiatan
politik secara umum berpusat di sekitar lembaga-lembaga pemerintahan tertentu seperti badan legislatif, eksekutif, dan badan peradilan, dan partai-partai politik
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
dan biasanya kebijakan publik secara otoritatif dibuat dan diimplementasikan oleh lembaga-lembaga pemerintahan”.
Hubungan antara kebijakan publik dengan lembaga-lembaga pemerintah dilihat sebagai suatu hubungan yang sangat erat
9
Menurut Parson, pendekatan rasionalitas dalam proses pembuatan kebijakan publik bertumpu pada dua hal, yaitu rasionalitas ekonomis, dan
rasionalitas birokratis . Suatu kebijakan tidak akan
menjadi kebijakan publik sebelum kebijakan itu ditetapkan dan dilaksanakan oleh lembaga-lembaga pemerintahan.
1.5.1.2.4 Pendekatan Rasionalitas
10
. Rasionalitas ekonomis berpijak pada pandangan bahwa pada dasarnya manusia itu adalah mahluk ekonomis homo economicus. Oleh
karenanya, kebijakan publik sebagai instrument negara yang akan hidup di lapangan dalam pembuatannya harus memiliki dasar yang kuat atas rasionalitas
ekonomis ini. Dengan kata lain, pembuatan kebijakan publik harus didahului oleh pembacaan yang mendalam atas perhitungan dampak-dampak ekonomis bila
kebijakan itu diterapkan. Rasionalitas birokratis adalah pendekatan yang bertumpu pada efisiensi
dan efektivitas kinerja birokrasi seperti yang dikemukakan oleh Max Weber. Oleh karenanya, pembuatan kebijakan publik haruslah mengacu pada pertimbangan
rasionalitas birokratis. Artinya, pembuatan kebijakan publik harus mengacu pada kaidah-kaidah ideal birikrasi.
9
Winarno, op., cit., hal. 42.
10
Wayne Parson, Public Policy, Pengantar Teori dan Praktek Analisis Kebijakan, Jakarta: Kencana, 2005.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
1.5.1.2.5 Pendekatan Pilihan Publik
Pendekatan pilihan publik public choice merupakan suatu pendekatan dalam pengambilan kebijakan yang berpijak pada pandangan pendekatan
kekuasaan. Pendekatan kekuasaan memberikan indikasi adanya kecenderungan birokrasi menjadi pelayan bagi dirinya sendiri, bukan menjadi pelayan masyarakat
baca : publik. Hal ini sebagaimana dikemukakan Gordon Tullock dalam penelitiannya terhadap departemen Negara di Amerika Serikat
11
Menurut Winarno, pendekatan peran serta warga negara dalam proses kebijakan publik berpijak pada pemikiran demokrasi klasik Jhon Locke dan Jhon
Stuart Mill yang menekankan pengaruh yang baik dari warga Negara dalam perkembangan kebijakan publik
. Tullock menyaksikan betapa pemerintah yang ada di Amerika Serikat bekerja untuk
kepentingan sendiri. Hal ini diperparah oleh posisi partai-partai politik yang menjadikan janji-janji politiknya hanya sebagai instrument pemenangan pemilu
semata, sehingga saat pemerintahan terbentuk, birokrasinya hanya menjadi pelayan bagi dirinya sendiri, dan partai politiknya. Para politisi kemudian
melakukan kontrol, namun hanya pada alokasi dana pembangunan yang selalu hanya menjadi bingkai pertarungan politik. Oleh karena itu, Tullock menganggap
pandangan-pandangan seperti privatisasi, kompetisi, dan liberalisasi, barada dalam lembaga pemerintahan.
1.5.1.2.6 Pendekatan Peran Serta Warga Negara
12
11
Gordon Tullock, The Politic of Bureaucracy, Washington DC: Public Affairs Press, 1965, dalam Parson, op., cit., hal. 280.
12
Winarno, op., cit., hal. 21.
. Melalui keikutsertaannya dalam masalah- masalah sosial, warga negara akan memperoleh pengetahuan dan pemahaman
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
tentang masalah-masalah yang sedang dihadapi masyarakat, mengembangkan rasa tanggung jawab yang penuh, dan menjangkau perspektif mereka di luar batas-
batas kehidupan pribadi. Pendekatan peran serta warga negara didasarkan pada harapan yang tinggi
tentang kualitas warga Negara dan keinginan mereka untuk terlibat dalam kehidupan publik. Pendekatan ini membutuhkan warga negara yang memiliki
struktur-struktur kepribadian yang sesuai dengan nilai-nilai dan fungsi-fungsi demokrasi. Setiap warga negara memiliki kebebasan yang cukup untuk berperan
serta dalam masalah-masalah politik publik, mempunyai sikap kritis yang sehat dan harga diri yang cukup dan yang lebih penting adalah perasaan mampu dari
warga negara. Di atas segalanya warga negara harus tertarik dalam politik dan terlibat di dalamnya secara bermakna
13
Sebagai suatu pendekatan dalam ilmu poltik, pendekatan pluralisme dikembangkan dengan berpijak pada pendekatan institusionalisme dan pendekatan
behavioralisme. Pendekatan pluralisme menekankan peran partai sebagai mata rantai yang menghubungkan rakyat dengan pemerintah, dan melahirkan hubungan
yang dinamis di antara keduanya. Keharmonisan hubungan antara rakyat dan pemerintah terwujud dalam keterlibatan politik dalam jumlah atau dalam
. Bebearapa penelitian terdahulu tentang pendekatan ini mengungkapkan bahwa para pembuat kebijakan lebih responsif
terhadap warga negara yang berpartisipasi ketimbang warga negara yang tidak partisipastif.
1.5.1.2.7 Pendekatan Pluralisme
13
Louis W. King, An Introduction to Public Policy, Engelwood Cliffs: Prentice Hall, 1986, dalam Winarno, op., cit., hal. 45.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
efektivitas yang pada akhirnya akan membawa perubahan yang cukup besar dalam proses pembuatan kebijakan publik. Pluralisme menekankan segi yang
aktif, pengetahuan politik yang cukup dan adaptif melalui sarana peran serta umum pada berbagai tingkatan politik dan dalam keragaman lembaga-lembaga
politik. Penggabungan antara pendekatan kelembagaan dan pendekatan tingkah
laku telah melahirkan tinjauan tentang proses yang terjadi di dalam struktur. Pendekatan ini kurang memperhatikan bagaimana badan-badan pemerintah, badan
pembuat kebijakan, badan pekerja aparat pemerintah biasa bekerja, ketimbang bagaimana kekuasaan dibagi di antara berbagai macam kelompok, baik swasta
maupun pemerintah. Kelompok-kelompok tersebut bisa saja berupa kelompok kepentingan etnis seperti persatuan suku, agama, dan lain-lain. Dari sudut
pandang pluralisme menurut David E. Apter, politik merupakan proses interaksi warga negara untuk mempengaruhi arah maupun substansi kebijakan publik
14
14
David E. Apter, Pengantar Analisa Kebijakan Politik, Jakarta: CV. Rajawali Press, 1988.
. Pendekatan ini melahirkan dua pokok yang menjadi perhatian kaum pluralis itu
sendiri. Yang pertama adalah non-partisan yakni warga negara yang tidak berperan aktif, yang diasingkan atau mengasingkan diri dari proses politik, yang
kedua, boleh dikatakan sebagai paradoks pluralis, yang berkenaan dengan peran serta yang berlimpah. Tingkat partisipasi yang tinggi dari masyarakat bisa
mengakibatkan para pembuat kebijakan tidak bisa berbuat banyak, karena pertentangan kebijakan yang hendak dibuat, dengan isu-isu kebijakan yang
ditawarkan kelompok-kelompok masyarakat.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Semakin banyak masyarakat yang berperan serta dalam politik dan semakin beragamnya pola dan cara berperan serta, maka semakin tajam pula
persaingan antar kelompok. Jika tidak ditemukan cara mengkoordinasi dan mengontrol, atau cara mengarahkan persaingan yang demikian, maka sistem
politik akan kelebihan beban, yang nantinya akan menyebabkan ambruknya sistem tersebut. Maka peran serta masyarakatpun menjadi tidak berarti.
Dalam analisisnya, kaum pluralis memanfaatkan dan mengembangkan dua pokok pemikiran institusional, yaitu “ kontrol legislatif terhadap eksekutif”, dan
kedaulatan rakyat. Artinya, bagaimana kekuasaan negara dikendalikan oleh rakyat, dan bagaimana rakyat diwakili sebagai warga negara. Merujuk pada
prinsip ini, kaum pluralis beranggapan bahwa, karena berbagai pelayanan dan kegiatan pemerintah dibiayai oleh warga negara, maka adalah hak warga negara
untuk ikut serta dalam mengelola pemerintahan.
I.5.2 Liberalisasi
Ilham Nyak menyebut liberalisasi sebagai penggunaan mekanisme harga yang lebih intensif sehingga dapat mengurangi bias dari anti ekspor dari rezim,
perdagangan. Disebutkan pula bahwa liberalisasi menunjukkan kecendrungan makin berkurangnya intervensi pasar sehingga liberalisasi dapat menggambarkan
situasi semakin terbukanya pasar domestic untuk produk-produk luar negeri. Percepatan perkembangan liberalisasi pasar terjadi karena dukungan revolusi di
bidang teknologi, telekomunikasi dan transportasi yang mengatasi kendala ruang dan waktu.
15
15
Gatoet S. handono, dkk, Liberalisasi perdagangan, sisis teori, dampak empiris dan perspektif ketahanan pangan, diakses dari
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Menurut pendapat sebahagian pakar, perdagangan antar Negara sebaiknya dibiarkan secara bebas dengan pengenaan seminimum mungkun pengenaan
hambatan tariff dan hambatan lainnya. Hal ini didasari dengan argumentasi bahwa perdagangan yang lebih bebas akan lebih menguntungkan kedua Negara pelaku
dan bagi dunia, serta meningkatkam kesejahteraan yang lebih besar dari pada tidak ada perdagangan. Kemudian, selain meningkatkan distribusi kesejahteraan
antar Negara liberalisasi perdagangan, juga akan meningkatkan kuantitas perdagangan dunia serta efisiensi perdagangan.
Pada kondisi semakin kuatnya tekanan untuk meliberalisasikan pasar, efektifitas pemberlakuan kendala atau hambatan tersebut dalam perdagangan akan
menentukan derajat keterbukaan pasar. Keterbukaan semakin tinggi bila pemerintah menurunkan tariff bea masuk produk ysng diperdagangkan dan
menghilangkan hambatan-hambatan non-tarif. Hal sebaliknya terjadi bila pemerintah cenderung menaikkan tariff dan meningkatkan hambatan non-tarif.
16
http:www.google.co.idsearch?q=+pengertian+liberalisasi+perdaganganbtnG, diakses tanggal 02 Desember 2011
16
Ibid., Gatoet S
I.5.3 Perjanjian Internasional
Perjanjian Internasional adalah sebuah perjanjian yang dibuat di bawah hukum internasional oleh beberapa pihak yang berupa negara atau organisasi
internasional. Sebuah perjanjian multilateral dibuat oleh beberapa pihak yang mengatur hak dan kewajiban masing-masing pihak. Perjanjian bilateral dibuat
antara dua negara. Sedangkan, perjanjian multilateral adalah perjanjian yang dibuat oleh lebih dari dua negara.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Adapun tahap-tahap dalam membuat sebuah perjanjian internasional adalah :
1. Penunjukan para Negosiator, Kuasa Penuh dan Surat-surat Kepercayaan.
Suatu negara memutuskan untuk memulai negosiasi-negosiasi dengan negara atau negara-negara lain untuk pembuatan perjanjian tertentu, maka langkah
pertama yang dilakukan adalah mengangkat wakil-wakil untuk melakukan negosiasi-negasiasi.
Dalam prakteknya wakil suatu negara diberi kewenangan dengan instrumen yang sangat resmi yang diberikan oleh kepala negara atau menteri luar
negeri yang memperlihatkan kewenangan dalam berbagai hal. Instrumen ini disebut Kuasa Penuh Full Power atau Pleins Pouvoir.
2. Negosiasi dan Adopsi
Negosiasi-negosiasi mengenai suatu perjanjian yang dilakukan baik melalui pembicaraan dalam hal perjanjian bilateral maupun melalui Konferensi
Diplomatik, prosedur ini lebih lazim jika suatu perjanjian multilateral akan diadopsi. Dalam kedua hal tersebut para delegasi tetap memelihara hubungan
dengan pemerintahnya, mereka boleh mengadakan konsultasi dengan pemerintah- pemerintahnya serta, dipandang perlu, meminta instruksi-instruksi baru.
3. Penandatanganan dan Pertukaran Instrumen-instrumen
Apabila rancangan akhir perjanjian telah disepakati, maka instrumen tersebut siap untuk dilakukan penandatanganan. Naskah itu dapat diumumkan
untuk jangka waktu tertentu sebelum penandatanganan. Tindakan
penandatanganan biasanya lebih merupakan hal formalitas, juga dalam kasus perjanjian-perjanjian bilateral.
Mengenai konvensi-konvensi multilateral, penandatanganan umumnya dilakukan pada waktu sidang penutupan resmi sance
de cloutur pada saat mana setiap delegasi menghampiri sebuah meja dan membubuhkan tanda tangan atas nama kepala negara atau kepala pemerintahan
yang mengangkat mereka 4.
Ratifikasi Tahap selanjutnya adalah para delegasi yang menandatangani perjanjian
itu, menyerahkan kembali naskah kepada pemerintah-pemerintah mereka untuk persetujuan, apabila tindak lanjut konfirmasi demikian secara tegas atau implisit
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
disyaratkan. Secara teori, ratifikasi adalah persetujuan oleh kepala negara atau kepala pemerintahan dari negara penandatangan yang dibubuhkan pada perjanjian
itu wakil-wakil yang berkuasa penuh yang telah diangkat sebagaimana mestinya. Namun dalam praktek modern ratifikasi lebih penting daripada hanya konfirmasi
saja, yang dianggap merupakan pernyataan resmi oleh suatu negara tentang persetujuannya untuk terikat oleh traktat.
5. Mulai Berlakunya Perjanjian
Mulai berlakunya perjanjian bergantung atas ketentuan-ketentuan perjanjian itu atas apa yang disepakati negara-negara peserta perjanjian Konvensi
Wina Pasal 24 ayat 1. Banyak perjanjian-perjanjian yang berlaku sejak tanggal penandatanganannya, tetapi apabila diperlukan ratifikasi, penerimaan atau
persetujuan, maka kaidah umum hukum internasional adalah bahwa perjanjian yang bersangkutan mulai berlaku hanya setelah pertukaran atau penyimpanan
ratifikasi, penerimaan atau persetujuan oleh semua negara penandatangan. Saat ini perjanjian-perjanjian multilateral biasanya menentukan mulai berlakunya
tergantung pada sejumlah ratifikasi dan persetujuan untuk terikat yang diisyaratkan -biasanya mulai dari enam sampai tiga puluh lima.
I.6 Metodelogi Penelitian
Penelitian ini adalah suatu usaha untuk menemukan, mengembangkan dan menguji kebenaran suatu pengetahuan, usaha mana dilakukan dengan melakukan
metode-metode ilmiah.
17
Dalam rangka penyusunan dan penelitian skripsi ini, penulis menggunakan metode deskriptif analitis. Menurut Masri Singiribuan artinya penelitian dilakukan
dengan cara mengembangkan konsep dan menghimpun data-data serta fakta-fakta
I.6.1 Jenis Penelitian
17
Surisno Hadi. Metodologi Research, Andi Ofset, Yogyakarta, Jilid I Cetakan keXXI, 1989, hal. 4
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
yang ada kemudian melakukan analisa terhadap data-data dan fakta-fakta tersebut.
18
Penelitian deskriptif juga merupakan sebuah proses pemecahan suatu masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau menerangkan keadaan
sebuah objek ataupun subjek penelitian seseorang, lembaga maupun masyarakat pada saat sekarang dengan berdasarkan fakta-fakta yang tampak sebagaimana
adanya.
19
Teknik analisa yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisa kualitatif. Dimana lebih menekankan analisisnya pada sebuah proses pengambilan
kesimpulan secara deduktif dan juga induktif serta pada analisis terhadap dinamika hubungan antar fenomena yang sedang diamati dengan menggunakan
logika ilmiah.
I.6.2 Teknik Pengumpulan Data
Adapun teknik yang digunakan untuk memperoleh data-data dan fakta- fakta dalam rangka pembahasan masalah dalam skripsi ini adalah dengan
mengumpulkan data sekunder, yaitu dokumen-dokumen berupa artikel-artikel dari koran maupun internet mengenai fokus penelitian serta buku-buku atau literatur
yang dapat membantu analisis data.
I.6.3 Teknik Analisa Data
20
18
Masri Singaribuan dan Sofian Efendi, Metode Penelitian Survey, Edisi Revisi, Jakarta:LP3ES,1989. hal.4
19
Hadari Nawawi. Metodologi Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gajahmada University Press, 1987. hal. 63.
20
Burham Bungin. Metode Penelitian Sosial, Surabaya: Airlangga University Press, 2001. hal. 47.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Dalam penelitian kualitatif, data yang terlampir perlu dianalisis dan dimaknai dengan cermat untuk kepentingan interpretasi data sekaligus dalam
upaya menarik kesimpulan. Analisis data dilakukan secara terus menerus semenjak data awal dikumpulkan sampai penelitian berakhir. Penafsiran data dan
menarik kesimpulan dilakukan dengan mengacu kepada rujukan konsep dan teoritis kepustakaan sesuai dengan permasalahan penelitian yang telah
dirumuskan sebelumnya.
21
21
Hadari Nawawi, Op. Cit., hal. 30.
Disamping menggunakan metode penelitian kulalitatif, penulis juga melakukan penelitian melalui kajian pustaka yaitu dengan
mengumpulkan data-data yang bersumber dari buku-buku, koran dan lainnya yang dapat membangun tulisan yang bersifat ilmiah.
I.7 Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan Skripsi ini adalah sebagai berikut : BAB I
: PENDAHULUAN Bab ini merupakan pendahuluan dan pengantar dari keseluruhan
skripsi. Disini, akan dijelaskan dan diuraikan tentang latar belakang penulisan, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat
penelitian, kerangka teori penelitian, metodologi penelitian serta sistematika penulisan.
BAB II : SEJARAH DAN PERKEMBANGAN ASEAN ECONOMIC
COMMUNITY Bab ini membahas tentang awal kerjasama ASEAN dan lahirnya
ASEAN Economic Community serta perkembangan kekinian.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
BAB III : PENYAJIAN DAN ANALISA DATA
Dalam bab ini, akan dimuat data-data mengenai ASEAN Economic Community, menganalisis apa sebenarnya Dampak kebijakan
liberalisasi tenaga kerja Indonesia dengan menggunakan teori yang telah dibahas di bab sebelumnya.
BAB IV : PENUTUP
Bab ini adalah bab terakhir dalam penulisan skripsi yang berisikan kesimpulan dan saran-saran dari hasil penelitian dan temuan-
temuan dalam penyusunan skripsi.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
BAB II ASEAN Economic Community AEC
II.1 Sejarah Singkat ASEAN Economic Community AEC
Sejak dibentuknya ASEAN sebagai organisasi regional pada tahun 1967, negara-negara anggota telah meletakkan kerjasama ekonomi sebagai salah satu
agenda utama yang perlu dikembangkan. Pada awalnya kerjasama ekonomi difokuskan pada program-program pemberian preferensi perdagangan
preferential trade, usaha patungan joint ventures, dan skema saling melengkapi complementation scheme antar pemerintah negara-negara anggota maupun
pihak swasta di kawasan ASEAN, seperti ASEAN Industrial Projects Plan 1976, Preferential Trading Arrangement 1977, ASEAN Industrial Complementation
scheme 1981, ASEAN Industrial Joint-Ventures scheme 1983, dan Enhanced Preferential Trading arrangement 1987. Pada dekade 80-an dan 90-an, ketika
negara-negara di berbagai belahan dunia mulai melakukan upaya-upaya untuk menghilangkan hambatan-hambatan ekonomi, negara-negara anggota ASEAN
menyadari bahwa cara terbaik untuk bekerjasama adalah dengan saling membuka perekonomian mereka, guna menciptakan integrasi ekonomi kawasan.
Pada KTT ke-5 ASEAN di Singapura tahun 1992 telah ditandatangani Framework Agreement on Enhancing ASEAN Economic Cooperation sekaligus
menandai dicanangkannya ASEAN Free Trade Area AFTA pada tanggal 1 Januari 1993 dengan Common Effective Preferential Tariff CEPT sebagai
mekanisme utama. Pendirian AFTA memberikan impikasi dalam bentuk pengurangan dan eliminasi tarif, penghapusan hambatan-hambatan non-tarif, dan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA