1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan negara  kepulauan  archipelagic state, artinya wilayah negara Republik  Indonesia terdiri  dari  ribuan  pulau  dan  pemersatunya
adalah  lautan. Sebagai suatu negara  kepulauan,  Indonesia  memiliki  potensi sumberdaya alam pesisir dan lautan yang sangat besar. Laporan Data Potensi,
Produksi  dan  EksportImport  Kelautan  dan  Perikanan  tahun  2007  yang dikeluarkan  oleh  Departemen  Kelautan  dan  Perikanan   menyebutkan  bahwa
potensi tersebut berupa  potensi  lestari  perikanan tangkap  yang  mencapai  6.8 juta ton pertahun, potensi lahan budidaya 1 137 756 Ha, potensi jasa kelautan
berupa: transportasi laut dan industri maritim , barang muatan kapal tenggelam, energi alternatif ombak dan angin, 80 industri dan 75 kota besar berada di
wilayah pesisir,  70  dari 60  cekungan migas  Indonesia  berada  di  laut,  dan cadangan minyak bumi 9.1 milyar barel di wilayah laut. Selain itu, potensi jasa
lingkungan  seperti  pariwisata,  perhubungan  dan  industri  lainnya  y ang  dapat menyerap tenaga kerja.
Potensi sumberdaya pesisir dan lautan di  atas tersebar di sekitar 17 480 buah pulau dan 95 181 km panjang pantai di kepulauan Indonesia. Pulau-pulau
ini  mempunyai  nilai  penting  dari  sisi  politik,  sosial,  ekonomi,  budaya  dan pertahanan  keamanan  Indonesia. Sebagian  besar  dari  pulau-pulau  tersebut
merupakan  pulau-pulau  kecil PPK yang di dukung  oleh  ekosistem  dengan produktivitas  hayati cukup tinggi  seperti  terumbu  karang,  padang  lamun,  dan
hutan  mangrove. Namun  pemanfaatan  potensi  sumberdaya  pulau -pulau kecil belum  dikelola  secara  optimal   sehingga  tingkat  kesejahteraan  masyarakat
pesisir  dan  PPK masih  banyak  tergolong  miskin , dimana sebagian  besar nelayan khususnya penduduk di wilayah pulau -pulau kecil di Indonesia masih
hidup dibawah garis kemiskinan . Hal ini terkait dengan masalah pembangunan yang tersendat  akibat  kesulitan  transportasi  dan  sumberdaya  manusia,
diperlukan  biaya  yang  lebih  besar  untuk  pengembangannya,  keterbatasan pemerintah  daerah  dan  kekurangan  dana  untuk mengembangkan  pulau-pulau
kecil Dahuri, 1998; Sugandhy, 1999; Yudhohusodo, 1998; Sriwidjoko, 1998 . Rencana Strategis Departemen Kelautan dan Perikanan  Renstra DKP
2005-2009  menyebutkan  bahwa  permasalahan pembangunan tersebut  muncul antara  lain  sebagai  akibat  dari  paradigma  pembang unan  masa  lalu  yang  lebih
2
berorientasi  ke  darat  teresterial,  yang  menyebabkan  pengalokasian  segenap sumberdaya  pembangunan  lebih  diprioritaskan  pad a  sektor-sektor  daratan.
Akibatnya, kekayaan sumber daya kelautan dan perikanan yang besar itu belum dapat dimanfaatkan secara optimal untuk memecahkan problem krisis ekonomi,
ketertinggalan  serta  kemiskinan  nelayan  dan  pembudidaya  ikan  serta  rakyat Indonesia  pada  umumnya. Selain  itu  pada  pada  beberapa  PPK,  sumberdaya
alam  dan  lingkungan  mengalami  masalah  degra dasi  yang  serius.  Peningkatan populasi yang  tinggi  disertai  dengan  keinginan  meningkatkan  pendapatan
membuat peningkatan tekanan terhadap lingkungan pulau Tisdell, 1993. Dalam
pengembangan PPK
terdapat 3
tiga isu
utama www.un.orgsmallislands2004;  http:www.unep.chislandsdd98 -7a3.htm  yaitu:
1 perubahan iklim, bencana alam dan lingkungan; 2 air bersih, sumberdaya lahan  dan  pengelolaan  sampah;  dan  3  wisata,  energi,  dan  transportasi.
Kirkman 2002  menyebutkan  7  tujuh  tantangan  yang  dihadapi  dalam pengembangan  pulau  kecil  yaitu:  1  keterpencilan  dan  insularity  pulau;  2
kepekaan  terhadap  bencana  alam;  3  keterbatasan  kapasitas  kelembagaan sektor publik; 4 keterbatasan diversifikasi prod uksi dan ekspor; 5 rentan dari
guncangan ekonomi dan lingkungan eksternal; 6 keterbatasan akses terhadap modal  eksternal;  7  kemiskinan. Isu-isu  diatas hingga  sekarang  yang  banyak
menjadi fokus pembahasan pengelolaan PPK berkelanjutan. Upaya pengelolaan PPK  berkelanjutan  berkaitan  erat  dengan  aktifitas  manusia  dan  rencana
pemanfaatan  ruang  wilayah  PPK  itu  sendiri.  Dengan  adanya  U ndang-undang UU  26  tahun  2007  tentang  Penataan  Ruang   UUTR  dan  UU  27  tahun  2007
tentang  Pengelolaan  Wilayah  Pesisir  dan  Pulau-pulau  Kecil  UU PWP-PPK, upaya  untuk  mengelola  ruang  dengan  tepat  diharapkan  dapat  dilangsungkan
dengan  baik. UUTR  dapat  menjadi  dasar penyusunanan  tata  ruang  yang selanjutnya  dijabarkan  melalui pedoman  penyusunan  rencana  tata  ruang
PropinsiKabupatenKota. Sedangkan UU PWP-PPK menjadi dasar pengelolaan ruang  di wilayah  perairan  dalam  bentuk  zonasi,  yang turunannya  meliputi
Permen  DKP  No.  16Men2008  dan  SK  Dirjen  KP3K  No.  31KP3KIX2008. Kedua  UU  tersebut berikut  turunannya mengamanatkan  adanya keterpaduan
penataan ruang  baik  didarat  maupun  di   perairan  yang  optimal  dengan mempertimbangkan  kesesuaian  dan  daya  dukung  pemanfaatan. Salahsatu
pendekatan  yang  dapat  digunakan adalah  Pendekatan  Pengelolaan  Wilayah Pesisir  Secara  Terpadu  PWPT  yang  diimplemen tasikan  pada  optimasi  pola
3
pemanfaatan  ruang  pulau  kecil. Salah  satu  wilayah  yang  dapat  menjelaskan uraian  di atas  adalah  Kepulauan  Wakatobi,  yang  berada  sebelah  timur  Pulau
Buton Propinsi Sulawesi Tenggara. Sebagaimana gugusan pulau kecil lain di Kepulauan Indonesia, aktiftas
pemanfaatan  ruang  wilayah  dalam  pemenuhan  kebutuhan  masyarakat  di Kepulauan  Wakatobi sejak  dulu lebih  dominan  digunakan  untuk  permukiman,
pelabuhan, perikanan, pariwisata dan ruang sosial lainnya seperti kaombolimbo. Sedangkan  kegiatan  konservasi  dan  penelitian  laut    belum  lama  dilakukan  di
wilayah ini utamanya di  Gugusan Pulau Kaledupa GPK dan Tomia. Berbagai masalah yang  membutuhkan  pengaturan  dan  pengendalian pemanfaatan
sumberdaya yang tidak ramah lingkungan seperti pemboman i kan, penggunaan racun  ikan,  pengambilan  karang  untuk  fondasi  rumahpelabuhan barikade
pantai dan konversi daerah tangkapan air untuk berbagai pemanfaatan seperti pemukiman  dan  kebunladang  serta  sampah  domestik   merupakan  masalah
relatif merata di  Kepulauan  Wakatobi.  Masalah  konflik  pemanfaatan  ruang zonasi  dan  tata  ruang  wilayah  merupakan  masalah  yang  mengemuka  di
Kepulauan  Wakatobi.  Konflik  pemanfaatan  yang  terjadi  b erupa  perbedaan rencana  peruntukanpemanfaatan  suatu  ruang
untuk konservasi  dan
pelaksanaan  pembangunan yang belum  mempertimbangkan  kesesuaian  dan daya  dukung  suatu  ruang  untuk  kegiatan  yang  diperuntukkan.  Sehubungan
lokasi Kepulauan Wakatobi ini cukup luas dan pulau -pulau sangat kecil yang ada memiliki  hubungan  dengan  4  pulau  induknya,  mak a  untuk  mencari  solusi
terhadap  masalah  tersebut  di atas,  penelitian  dilakukan  di Gugus  Pulau Kaledupa  karena dapat merepresentasikan  kegiatan  pemanfaatan
dan karakteristik wilayah pulau-pulau yang ada di wilayah Kepulauan Wakatobi.
1.2 Perumusan Masalah