Sejarah TNGHS Geologi, Hidrologi dan Tanah

Sanggabuana 1919 mdpl, Gunung Andam 1436 mdpl, dan Gunung Halimun 1929 mdpl yang merupakan gunung tertinggi di dalam kawasan TNGHS.

3.2 Sejarah TNGHS

TNGHS merupakan kawasan hutan pegunungan yang tersisa dan terluas di Jawa Barat. Kawasan ini merupakan ekosistem hutan alam yang memiliki sumber plasma nutfah, keanekaragaman tumbuhan dan satwa yang sangat tinggi. Sejak tahun 1935, kawasan ini merupakan kawasan Cagar Alam Gunung Halimun CAGH dengan luas 40.000 ha Ditjenphka 2008. TNGH ditetapkan sebagai salah satu taman nasional di Indonesia, sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 282Kpts-II1992 tanggal 28 Februari 1992 dengan luas 40.000 ha di bawah pengelolaan sementara Taman Nasional Gunung Gede Pangrango TNGP. Pada tanggal 23 Maret 1997 pengelolaan kawasan TNGH resmi dipisah dari TNGP dan dikelola langsung oleh Unit Pelaksana Teknis Balai TNGH, Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam PHKA, Departemen Kehutanan. Atas dasar perkembangan kondisi kawasan disekitarnya terutama kawasan hutan lindung Gunung Salak dan Gunung Endut yang terus terdesak akibat berbagai kepentingan masyarakat dan pembangunan, serta adanya desakan dan harapan berbagai pihak untuk melakukan penyelamatan kawasan konservasi halimun maka ditetapkanlah Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 175Kpts-II2003, yang merupakan perubahan fungsi kawasan eks Perhutani atau eks hutan lindung dan hutan produksi terbatas disekitar TNGH menjadi satu kesatuan kawasan konservasi TNGHS.

3.3 Geologi, Hidrologi dan Tanah

Berdasarkan sejarah geologi menunjukkan bahwa khusus Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak TNGHS dulunya merupakan salah satu rangkaian gunung berapi bagian selatan yang dipengaruhi oleh kondisi Samudera Hindia. Sebagian besar kawasan TNGHS terdiri dari batuan vulkanik seperti breksi, lava basalt dan andesit dari masa Pliocene-Lower Pleistocene dan beberapa strata dari masa pra-Pliocene. Selain itu terdapat batuan sedimen di bagian utara yang awalnya merupakan kubah, terutama terdiri dari batuan debu calcareous. Di daerah sekitar TNGHS terdapat hal yang menarik dan luar biasa yaitu adanya kandungan emas dan perak. Biji emas dan perak mungkin terangkat pada saat timbulnya kubah bawah pertama yang menghasilkan retakan-retakan tegangan yang kemudian terisi oleh batuan kuarsa, seperti yang ditemukan di DAS Ciburial dan Cihara. Jenis tanah di kawasan TNGHS terdiri atas 12 tipe tanah dan dapat digolongkan menjadi 2 kelompok, yaitu andosol dan latosol. Untuk tujuan pertanian, tanah di kawasan TNGHS mempunyai kesuburan kimiawi yang minim sampai cukup, namun sifat-sifat fisikanya cukup bagus. Tanah dan batuannya dapat dikatakan mempunyai porositas dan permeabilitas yang baik sebagai daerah tangkapan dan peka terhadap erosi. Tekstur tanah umumnya didominasi oleh partikel seukuran debu yang mudah tercuci. Sifat-sifat tanah juga menunjukkan sifat vulkanik tua yang perkembangan tanahnya menunjukkan adanya evolusi tanah dari vulkanik tua yang sebenarnya sedang mengalami proses transisi dari andosol dan latosol. Kawasan TNGHS memiliki fungsi vital sebagai daerah tangkapan air yang menjadi sumber kehidupan bagi masyarakat beberapa kabupaten disekitarnya. Banyak sungai yang berasal dari kawasan ini yang bermuara ke Laut Jawa di utara maupun Samudera Indonesia di selatan.Di bagian utara Gunung Halimun terdapat tiga sungai penting, yaitu sungai Ciberang Ciujung, sungai Cidurian dan Cikaniki Cisadane. Sungai-sungai ini mengalir melintasi Jakarta dan Serang. Di sebelah selatan mengalir sungai Cisukawayana, Cimaja, dan Cibareno yang bermuara di pantai Pelabuhan Ratu dan di sebelah timur terdapat sungai Citarik.

3.4 Iklim