I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara yang mempunyai hutan tropis terbesar di dunia. Luas kawasan hutan Indonesia adalah 137 juta hektar, akan
tetapi laju deforestasi dari tahun 2003 - 2006 telah mencapai angka lebih besar dari 1,174 Juta Ha pertahun DEPHUT 2008. Sedangkan menurut Food and
Agriculture Organizations angka deforestasi di Indonesia dari tahun 2000-2005 mencapai 1,9 juta Ha pertahun FAO 2005. Isu deforestasi dan degradasi hutan
mendapatkan perhatian serius dari masyarakat internasional yang mencatat bahwa deforestasi di negara berkembang menyumbang emisi CO
2
sekitar 20 dari emisi global. Intergovermental Panel on Climate Change IPCC menyebutkan bahwa
deforestasi dan degradasi hutan menyumbang 40 dari emisi gas rumah kaca yang merupakan penyebab pemanasan global IPCC 2007.
Conference of Party United Nations Framework Convention of Climate Change COP UNFCC ke 13 telah mengakomodasi pencegahan degradasi hutan
untuk mengurangi emisi melalui reducing emissions from deforestation and forest degradationREDD Murdiyarso et al. 2008. Memasukkan unsur degradasi hutan
dalam REDD mempunyai dampak positif dalam adaptasi perubahan iklim dan penyediaan jasa lingkungan. Berbeda dengan deforestasi yaitu perubahan
penutupan hutan menjadi nonhutan, degradasi hutan merupakan suatu proses yang sulit dibedakan karena melibatkan proses penurunan kualitas kanopi hutan dan
struktur vertikal kanopi hutan dalam jangka waktu yang lama Panta et al. 2008. Proses degradasi merupakan proses yang panjang untuk kemudian menjadi
deforestasi. Menurut Penman et al. 2003, untuk mendapatkan prosedur operasional
monitoring, reporting and verification MRV tentang degradasi hutan masih menjadi masalah yang krusial. Permasalahan utamanya adalah belum adanya
standar tentang metode klasifikasi degradasi hutan, baik menggunakan citra penginderaan jauh maupun degradasi hutan yang terukur di lapangan. Demikian
pula metode pengukurannya belum dirumuskan secara baku. Sistem pemantauan yang komprehensif akan dapat menghasilkan data dan indikator tutupan hutan
dengan frekuensi yang lebih baik, guna menampung kebutuhan informasi terkini bagi pesatnya perkembangan proses REDD Kanninen et al. 2009. Metode
deteksi menggunakan data penginderaan jauh telah digunakan untuk menilai kerapatan kanopi hutan sebagai indikator degradasi hutan Hadi et al. 2004; Joshi
et al. 2006. Penggunaan persentase kerapatan kanopi menggunakan citra satelit Landsat untuk deteksi degradasi menghasilkan akurasi yang tinggi dan sangat
menjanjikan Panta et al. 2008; Hwan dan Merlinda 2008. Teknologi analisis spasial saat ini telah menggunakan teknologi sistem
informasi geografis dan penginderaan jauh yang dapat menyajikan data secara real time dan time series sehingga dapat bermanfaat bagi MRV. Teknologi
penginderaan jauh dengan menggunakan data satelit dapat mempercepat kegiatan deteksi dan pemantauan tersebut dengan hasil yang akurat, mencakup areal yang
luas dan dapat dilakukan secara kontinyu. Teknologi penginderaan jauh secara teoritis dan empiris mampu untuk melakukan deteksi dan pemantauan laju
deforestasi dan degradasi hutan yang berkaitan dengan posisi geografis, waktu, apa penyebab, prediksi dan bagaimana antisipasinya. Deteksi degradasi
menggunakan data penginderaan jauh memiliki tantangan teknis yang lebih besar daripada memantau deforestasi Defries et al. 2007.
Kebutuhan data tentang degradasi hutan sangat mendesak untuk menentukan kebijakan tentang sistem MRV dalam REDD. Kebutuhan data tidak
hanya data angka tabular tetapi juga data spasial yang mampu menyajikan data angka atau numerik maupun data spasial. Oleh sebab itu diperlukan metode
deteksi menggunakan data penginderaan jauh untuk pengelolaan hutan dengan data terbaru yang dapat diperoleh secara cepat, akurat dan efisien Jaya 2009.
Data penginderaan jauh yang didukung oleh observasi di lapangan merupakan kunci pemantauan yang efektif dan efisien Kanninen et al. 2009.
Kebutuhan data untuk MRV pada mekanisme REDD juga sangat diperlukan pada kawasan konservasi. Salah satu kawasan konservasi terbesar di Jawa yang
sangat membutuhkan data degradasi adalah Taman Nasional Gunung Halimun Salak TNGHS. Taman nasional ini juga telah mengalami deforestasi yang
tinggi. Berdasarkan data TNGHS 2007 disebutkan bahwa deforestasi mencapai 25 ribu hektar, dengan rata-rata 1,3 per tahun dari tahun 1989
– 2004. Metode pemantauan degradasi hutan menggunakan data penginderaan jauh
untuk tujuan MRV masih membutuhkan sebuah metode yang baik untuk diaplikasikan pada berbagai level Murdiyarso et al. 2008; Bahamondez et al.
2009. Perkembangan pemrosesan citra digital dengan metode change detection berkembang dengan berbagai klasifikasi penutup lahan. Klasifikasi penutup lahan
diantaranya forest canopy density, maximum likelihood, fuzzy dan belief –
dempster shafer. Klasifikasi maximum likelihood merupakan teknik mengkategorikan jenis
vegetasi yang sama ke dalam satu kategori melalui analisa multivariat data multispektral Roy 2003. Metode ini mempunyai kelemahan yaitu sulit untuk
melakukan penggolongan status vegetasi yang terperinci menggunakan metode statistik. Hal itu disebabkan karena karakteristik spektrum merupakan efek
kumulatif dari variasi jenis hutan, kerapatan kanopi, latar belakang kekasaran kanopi background canopy roughness, illumination geometry dan resolusi
spasial dari sensor. Perkembangan dalam klasifikasi tutupan hutan adalah menggunakan
kerapatan kanopi sebagai indikator perubahan vegetasi. Menurut Roy 2003, biophysical vegetation indices merupakan metode yang dapat mengakomodasi
variasi permasalahan gangguan atmosfer citra ataupun pengaruh dari latar belakang dari vegetasi. Metode ini dapat mengurangi efek bias dan menghasilkan
ekstraksi kenampakan yang lebih baik pada obyek yang spesifik di bumi. Perkembangan metode ini diaplikasikan dengan menggunakan Forest Canopy
Density Mapper untuk deteksi perubahan penutup hutan. Biophysical vegetation indices yang dalam perkembangannya disebut FCD
indeks, melibatkan indeks advanced vegetation index AVI. Sedangkan untuk lebih detil dalam mengkategorikan kerapatan vegetasi digunakan bare soil index
BI. Dasar logika pendekatan ini berdasar pada hubungan timbal balik yang tinggi dari kerapatan vegetasi dan lahan terbuka. Oleh karena itu, kombinasi BI
dan AVI digunakan dalam analisis ini. Untuk mendapatkan informasi pada
shadow index SI digunakan melalui ekstraksi low radiance dari visible light. Pendekatan ini mengisolasikan kenampakan vegetasi menggunakan index AVI
dan index BI. Kenampakan corak vegetasi distratifikasikan melalui SI atas dasar variasi tekstur pada bayangan kanopi pada tegakan hutan.
Penelitian menggunakan forest canopy density untuk deteksi perubahan tutupan hutan mempunyai akurasi yang baik Jamalabad dan Akbar 2002; Hadi et
al. 2004; Baynes 2005; Panta dan Kim 2006. Joshi et al. 2006 pernah melakukan perbandingan metode untuk pemantauan kerapatan kanopi dengan
menggunakan 4 metode yaitu neural network, forest canopy density, multiple linier regresion technique dan maximum likelihood. Hasil penelitiannya
menyebutkan bahwa yang terbaik adalah neural network, meskipun ketiga metode yang lain juga mempunyai korelasi yang cukup tinggi. Mon et al. 2011
melakukan perbandingan klasifikasi maximum likelihood dan FCD. Akurasi terbaik adalah pada kelas hutan kerapatan tinggi. Penelitian ini menggunakan 3
kelas kerapatan hutan satu waktu dan tidak melakukan analisis temporal untuk degradasi hutan.
Perkembangan klasifikasi lainnya adalah dengan menggunakan klasifikasi fuzzy dan belief-dempster shafer. Klasifikasi fuzzy menggunakan kesamaran
fuzzy batas suatu kelas penutup lahan atau banyak heterogenitas yang disebabkan oleh perbedaan spesies dan umur vegetasi Jensen 2005. Penutup
lahan pada citra penginderaan jauh merupakan obyek yang fuzzy tergantung pada sistem klasifikasi dan resolusi citra Tang 2004. Penelitian menggunakan teknik
fuzzy untuk klasifikasi penutup lahan menghasilkan ketelitian tinggi Wang 1990; Fisher dan Pathirana 1990; Foody 1996, Fitria 2006, Sowmya dan
Sheelarani 2011. Maselli et al. 1996 menyebutkan klasifikasi fuzzy dapat untuk deteksi piksel yang berubah atau terdegradasi tetapi Wijaya 2005
menyatakan klasifikasi maximum likelihood lebih tinggi akurasinya untuk deteksi perubahan penutup lahan akibat illegal logging
Klasifikasi belief didasarkan kelas penutupan lahan dapat dihipotesis dengan menggunakan derajat kepercayaan tertentu. Penelitian tentang klasifikasi
penutup lahan ini dilakukan oleh Iswari 2008, dengan menghasilkan ketelitian
98. James 2006 dan Sumbera 2001 menyebutkan bahwa klasifikasi belief dapat digunakan dengan baik untuk penutup lahan. Gottlicher et al. 2009
menyebutkan bahwa klasifikasi maximum likelihood lebih dari metode belief untuk klasifikasi vegetasi di hutan pegunungan tropis. Klasifikasi belief dan fuzzy
untuk klasifikasi hutan yang lebih detil tentang hutan kerapatan rendah sampai hutan kerapatan tinggi masih belum dikaji lebih jauh.
Metode klasifikasi tutupan lahan hutan yang lebih detil tentang kerapatan hutan memerlukan kajian untuk dapat diterapkan di hutan lahan kering yang
mempunyai karakteristik yang spesifik. Metode deteksi degradasi hutan menggunakan citra Landsat secara temporal dengan indikator degradasi hutan dan
kriteria degradasi hutan di lapangan belum pernah dilakukan. Penelitian ini mengkaji dan menghasilkan metode deteksi degradasi hutan dengan menggunakan
citra resolusi sedang Landsat berdasarkan kriteria dan klasifikasi degradasi hutan yang lebih detil. Penggunaan citra resolusi sedang karena mempunyai keuntungan
dari aspek biaya dan luas cakupan. Metode yang dihasilkan yang merupakan novelty dari penelitian ini.
1.2 Perumusan Masalah