Pembahasan Insidensi dan Faktor Risiko Non Alcoholic Fatty Liver Disease (NAFLD) di RSUP HAM Medan Tahun 2011-2014

34 pasien yang tidak mengalami dyspepsia 2.9. Kelainan yang ditemukan pada sistem ini meliputi nephrolithiasis bilateral maupun unilateral, hydronephrosis bilateral maupun unilateral, nephropathy, dan kista ginjal bilateral maupun unilateral. Pada sistem gastrointestinal, total pasien yang mengalami kelainan ditemukan sebanyak 27 orang 19.9. Jumlah tersebut terbagi sebanyak 12 orang 8.8 pada pasien dyspepsia dan 15 orang 11 pada pasien non dyspepsia. Kelainan yang termasuk dalam sistem ini meliputi cholelithiasis, cholecystitis, gabungan cholelithiasis dan cholecystitis, splenomegali, hepatomegali, hepatosplenomegali non focal lesion, polip gallbladder, liver congestive, Ascites, hepatocellular carcinoma, liver abscess, dan liver cyst. Pada sistem respirasi, pasien sebanyak 4 orang 2.9 ditemukan memiliki kelainan berupa efusi pleura baik bilateral maupun unilateral. Distribusi pasien berdasarkan kelainan sistem ini yaitu sebanyak 3 orang 2.2 pada penderita dyspepsia dan 1 orang 0.7 pada penderita non dyspepsia. Pada sistem kardiovaskular, jumlah pasien yang ditemukan hanya 1 orang dengan persentase sekitar 0.7. Kelainan yang ditemukan berupa pembesaran jantung cardiomegaly dan pasien tersebut juga mengalami dyspepsia. Selanjutnya, pasien sebanyak 6 orang 4.4 ditemukan memiliki kelainan pada gabungan keempat sistem tersebut. Distribusi pasien berdasarkan kondisi ini yaitu 2 orang 1.5 pada penderita dyspepsia dan 4 orang 2.9 pada penderita non dyspepsia. Kelainan berupa massa pada abdomen ditemukan hanya pada 1 orang pasien kelompok non dyspepsia dengan persentase sekitar 0.7. Berdasarkan hasil tersebut, maka jumlah pasien yang memiliki kelainan organ berdasarkan pencitraan USG yaitu 50 orang 36.8. Sedangkan, 86 orang 63.2 lainnya hanya memiliki gambaran berupa fatty liver saja.

5.2. Pembahasan

Pada penelitian yang dilakukan di Instalasi Diagnostik Terpadu IDT RSUP HAM, diperoleh data pasien yang memiliki gambaran fatty liver yaitu 347 orang periode 2011-2014. Selanjutnya, dilakukan telaah rekam medis di Instalasi Universitas Sumatera Utara 35 Rekam Medis IRM untuk mengetahui status penggunaan alkohol pada pasien tersebut. Sehingga, jumlah akhir pasien yang memenuhi syarat sebagai pasien Non Alcoholic Fatty Liver Disease NAFLD pada studi ini menjadi 136 orang. Pada tabel 5.1, hasil yang diperoleh yaitu adanya kecenderungan peningkatan kasus NAFLD di RSUP HAM selama tahun 2011 hingga 2014. Hal ini terbukti pada jumlah pasien yang ditemukan di tahun 2011 yaitu sebanyak 17 orang 12.5. Lalu, meningkat menjadi 26 orang 29.1 di tahun 2012 dan 63 orang 46.3 di tahun 2013. Namun, kasus yang ditemukan pada tahun 2014 hanya 30 orang 22.1. Penurunan kasus di tahun tersebut disebabkan karena sampel yang diambil hanya sampai akhir bulan juni 2014. Sedangkan, tiga tahun sebelumnya sampel diperoleh hingga akhir bulan desember. Meskipun begitu, jumlah kasus ditahun 2014 masih lebih banyak dibandingkan dengan kasus di tahun 2011 dan 2012. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa frekuensi NAFLD di RSUP HAM tidak mengalami peningkatan secara mutlak. Namun, penyakit ini memiliki kecenderungan untuk meningkat. Kecenderungan tersebut sesuai dengan studi yang dilakukan oleh Sari 2012. Dalam studi tersebut, dikatakan bahwa kasus NAFLD di RSUP dr. Kariadi Semarang mengalami peningkatan 0.5-1 dari tahun 2005-2009. Tabel yang sama juga menunjukkan bahwa frekuensi NAFLD lebih sering terjadi pada wanita sebanyak 82 orang 60.3. Sedangkan, pria hanya ditemukan sebanyak 54 orang 39.7. Kedua jenis kelamin tersebut memiliki perbandingan sekitar 1.5:1. Hal ini sesuai dengan studi yang dilakukan oleh Durazzo 2014 yang mengatakan bahwa prevalensi NAFLD lebih cenderung terjadi pada wanita dibandingkan pria dengan perbandingan 1.5 kali. Namun, studi yang dilakukan oleh Sari 2012 melaporkan bahwa perbandingan pria dan wanita terhadap NAFLD yaitu sekitar 2:1. Memang, dari segi jenis kelamin kecenderungan terjadinya NAFLD masih belum memberikan hasil yang sama. Namun, Schwenger 2014 melaporkan bahwa wanita lebih cenderung terkena sindrom metabolik karena kuantitas visceral adiposa wanita lebih tinggi dibandingkan pria. Selain itu, faktor usia pada wanita yang nantinya akan berkaitan terhadap menopause, juga akan mempengaruhi perubahan distribusi visceral adiposa tersebut. Universitas Sumatera Utara 36 Selain itu, NAFLD lebih banyak terjadi pada rentang usia 51-60 tahun dengan jumlah pasien 50 orang 36.8. Lalu, diikuti dengan usia 41-50 tahun dengan jumlah 34 orang 25. Usia berikutnya yaitu berada pada usia 60 tahun dengan jumlah 26 orang 19.1. Kemudian, usia 31-40 tahun menyusul dengan jumlah 22 orang 16.2 dan terakhir pada usia 20-30 tahun dengan jumlah 4 orang 2.9. Tingginya frekuensi penyakit ini pada usia lanjut erat kaitannya dengan keadaan menopause dan penurunan oksidasi asam lemak yang berujung pada peningkatan akumulasi hepatic fat dan inflamasi hati. Sehingga, Florentino et al 2013 menyatakan bahwa usia berbanding lurus terhadap insidensi NAFLD. Hal ini sesuai dengan studi yang dilakukan oleh Liao 2013 bahwa puncak penyakit ini terjadi pada usia 50-70 tahun. Selanjutnya, tabel tersebut juga menunjukkan bahwa suku batak merupakan suku yang paling banyak ditemukan terhadap kejadian penyakit ini dengan jumlah 63 orang 46.3. Kemudian, disusul oleh suku Karo sebanyak 24 orang 17.6, suku Jawa sebanyak 11 orang 8.1, suku Aceh dengan jumlah 10 7.4, dan Nias sebanyak 4 orang 2.9. Selanjutnya, suku terbawah ditempati oleh suku Manado, Melayu, dan Padang dengan jumlah masing-masing 1 orang 0.7. Namun, pasien sebanyak 21 orang tidak dapat diidentifikasi sukunya karena data tersebut tidak tercantum di dalam rekam medis. Tingginya frekuensi pada suku batak ini mungkin dipengaruhi oleh letak lokasi penelitian ini yang berada pada Provinsi Sumatera Utara dimana suku batak merupakan suku yang dominan di wilayah provinsi ini. Sehingga, data mengenai suku ini hanya berfungsi sebagai data pendukung saja tidak dapat dijadikan acuan untuk studi di wilayah provinsi lain. Meskipun begitu, Durazzo 2014 mengatakan bahwa penyakit ini dominan terjadi pada populasi kulit hitam dan hispanic karena sindrom metabolik cenderung terjadi pada kedua suku tersebut. Pada grafik 5.1, dapat diketahui bahwa wanita lebih cenderung terkena kelima komponen sindrom metabolik. Dari kelima komponen tersebut, hipertensi 64.7 merupakan faktor risiko yang paling sering terjadi pada studi ini sebagai faktor risiko tunggal. Selanjutnya, diikuti dengan obesitas 39, penurunan kadar HDL 37.5, diabetes mellitus tipe 2 31.6, dan peningkatan kadar TG Universitas Sumatera Utara 37 22.1. Kecenderungan wanita terhadap kejadian sindrom metabolik ini sesuai dengan hasil studi yang dilaporkan oleh Schwenger 2014 bahwa kecenderungan jenis kelamin terhadap kejadian penyakit ini dipengaruhi oleh faktor usia, distribusi visceral adiposa, dan menopause. Ternyata, demografi suatu bangsa juga berperan terhadap peningkatan risiko komponen sindrom metabolik ini. Studi yang dilakukan oleh Wong Ahmed 2014 melaporkan bahwa penduduk Asia memiliki BMI lebih rendah normal jika dibandingkan dengan suku berkulit hitam, hispanic, dan Non Hispanic kulit putih. Namun, angka kejadian terhadap hipertensi dan diabetes mellitus tipe 2 justru lebih tinggi dibandingkan ketiga suku tersebut. Hal ini disebabkan karena suku Asia memiliki adiposa sentral dan viseral yang lebih banyak. Adanya kedua jenis adiposa ini akan meningkatkan risiko terjadinya gangguan kardiovaskular dan metabolik. Wong Ahmed 2014 Sehingga, teori tersebut dapat dijadikan teori pendukung dalam studi ini dimana hasil yang diperoleh yaitu rendahnya kejadian pada obesitas tetapi diikuti dengan tingginya kejadian hipertensi. Pada grafik 5.2, dapat diketahui bahwa terdapat 40 orang dari 53 pasien 75.4 obesitas mengalami sindrom metabolik. Kriteria sindrom metabolik yang dipakai dalam studi yaitu pasien yang mengalami obesitas dan diikuti minimal dua atau lebih komponen lainnya. Jika dipandang dari sampel total 136 orang, pasien yang mengalami gangguan sindrom ini 29.4 lebih sedikit dibandingkan dengan pasien yang tidak mengalami sindrom metabolik. Hasil tersebut mendekati terhadap studi yang dilakukan oleh Bhat et al 2013 yang melaporkan bahwa sebanyak 30 pasien NAFLD memiliki sindrom metabolik. Sedangkan, tingginya angka kejadian NAFLD pada pasien non sindrom metabolik ini diduga karena peran dari resistensi insulin. Bhat et al 2013 menduga bahwa resistensi insulin ini tidak berhubungan dengan indeks massa tubuh IMT tetapi berhubungan dengan lingkar pinggang pasien. Studi ini juga menduga bahwa resistensi insulin bukan disebabkan karena total lemak tubuh tetapi adanya obesitas visceral. Teori lain mengemukakan bahwa adanya ectopic adiposa akumulasi lemak yang salah pada hepatocyte akan menyebabkan resistensi insulin intahepatik meskipun tanpa disertai obesitas visceral. Seo et al, 2013 Universitas Sumatera Utara 38 Dari grafik 5.3, jelas terlihat bahwa 92 orang 67.6 tidak mengalami peningkatan kadar enzim SGOT maupun SGPT. Sedangkan, 44 orang lainnya 32.3 mengalami peningkatan pada salah satu enzim 12.5 ataupun keduanya 19.9. Hasil tersebut sesuai dengan hasil yang ditemukan oleh Sari 2012 bahwa nilai normal pada kedua enzim ini lebih sering ditemukan pada pasien NAFLD. Studi tersebut menemukan bahwa 75 pasien memiliki kadar SGPT normal dan 55.6 lainnya memiliki kadar SGOT normal. Sedangkan, peningkatan enzim yang ditemukan pada studi tersebut hanya sekitar 44.4 SGOT dan 25 SGPT. Kadar serum transaminase tidak bisa dijadikan diagnosis spesifik penyakit ini karena peningkatan pada kedua serum tersebut juga dapat ditemukan pada penyakit-penyakit lainnya seperti hepatitis. Studi yang dilakukan oleh Rodriguez et al 2010 menyatakan bahwa peningkatan kadar serum SGOT juga dapat terjadi pada pasien yang memiliki penyakit jantung karena enzim tersebut tidak hanya terdapat di hati tetapi juga terdapat di organ jantung dan otot rangka. Dengan begitu, kenaikan kadar enzim SGOT ini memiliki sensitivitas yang rendah sebagai sarana diagnosis NAFLD. Sementara itu, hanya peningkatan enzim SGPT saja yang dianggap bermakna terhadap diagnosis NAFLD karena enzim tersebut dominan dikeluarkan oleh hati. Namun, studi yang dilakukan oleh Mofrad et al 2003 melaporkan bahwa kadar enzim SGPT normal juga dapat ditemukan pada pasien NAFLD. Bahkan, kadar normal tersebut juga ditemukan pada pasien yang telah mencapai tahap fibrosis. Studi tersebut juga melaporkan bahwa ditemui hasil yang tidak signifikan terhadap analisa gejala klinis NAFLD mudah lelah, nyeri pada kuadran kanan atas, gatal, dan edema dengan kedua kelompok kadar enzim normal dan meningkat. Namun, hasil yang berlawanan signifikan justru diperoleh pada pasien yang tidak memiliki gejala asimptomatik. Pada grafik 5.4, dapat diketahui bahwa 68 orang 50 mengalami dyspepsia. Sedangkan, sisanya 50 tidak mengalami dyspepsia. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Li et al 2013 melaporkan bahwa resistensi insulin pada penyakit ini juga disebabkan oleh Helicobacter pylori, yang merupakan bakteri penyebab dyspepsia. Infeksi kronis pada lambung akan menyebabkan Universitas Sumatera Utara 39 pengeluaran sitokin proinflamasi dan subtansi vasoaktif yang salah satunya adalah TNF-alpha penyebab resistensi insulin. Selanjutnya, infeksi kronis tersebut akan menyebabkan lesi lokal maupun non lokal yang merupakan akibat dari inflamasi kronis. Lesi yang terjadi pada hepatocyte akan mengalami inflamasi dan resistensi insulin melalui pengeluaran TNF-alpha. Grafik yang sama juga melaporkan bahwa pasien yang memiliki gangguan pada sistem genitourinaria 11 orang 8.1, sistem gastrointestinal 27 orang 19.9, sistem respirasi 4 orang 2.9, sistem kardiovaskular 1 orang 0.7, gabungan pada keempat sistem 6 orang 4.4, dan massa pada abdomen 1 orang 0.7. Terdeteksinya NAFLD pada pasien-pasien tersebut merupakan suatu ketidaksengajaan ketika dokter sedang melakukan USG yang tujuannya untuk melihat kelainan pada sistem organ terkait. Universitas Sumatera Utara 40 BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan