Pengaruh Pemakaian Anestesi Pada Penderita Hiperpireksia Malignan

(1)

Yoselinda : Pengaruh Pemakaian Anestesi Pada Penderita Hiperpireksia Malignan, 2010.

PENGARUH PEMAKAIAN ANESTESI

PADA PENDERITA HIPERPIREKSIA MALIGNAN

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi syarat Guna memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi

Oleh :

YOSELINDA NIM : 050600103

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009


(2)

Yoselinda : Pengaruh Pemakaian Anestesi Pada Penderita Hiperpireksia Malignan, 2010.

Fakultas Kedokteran Gigi

Departemen Bedah Mulut dan Maksilofasial Tahun 2009

Yoselinda

Pengaruh Pemakaian Anestesi pada Penderita Hiperpireksia Malignan. vii + 28 halaman

Dalam pemberian anestesi seringkali kita temukan penderita dengan kelainan sistemik, salah satunya pasien dengan kelainan genetik misalnya hiperpireksia malignan. Hal ini dapat menimbulkan banyak problema bagi dokter dan dokter gigi terutama resiko yang dihadapi adalah kerusakan otot skeletal dan kematian pasien apabila tidak ditangani lebih lanjut. Tujuan dari pembuatan skripsi ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemakaian anestesi pada penderita hiperpireksia malignan serta penatalaksanaannya apabila gejalanya timbul.

Hiperpireksia malignan adalah penyakit turunan yang ditunjukkan dengan peningkatan suhu tubuh yang cepat diatas 40 – 41°C pada pasien yang dianestesi untuk pembedahan, yang dapat menyebabkan kematian apabila tidak ditangani dengan tepat. Hal ini dipicu oleh beberapa golongan obat yang digunakan sebagai anestesi umum (mencakup hampir semua anestesi inhalasi), anestesi lokal golongan amida dan pelemas otot depolarisasi, succinylcholine.

Hal-hal yang mungkin menunjukkan kerentanan hiperpireksia malignan meliputi suatu riwayat keluarga tentang komplikasi setelah pemberian anestesi, tidak tahan makanan yang mengandung kafein, atau suatu riwayat demam yang tidak jelas


(3)

Yoselinda : Pengaruh Pemakaian Anestesi Pada Penderita Hiperpireksia Malignan, 2010.

sebabnya atau kram otot. Pada individu yang rentan, obat-obatan ini dapat menyebabkan peningkatan oksidasi metabolisme otot skeletal yang drastis dan tidak terkontrol, melebihi kapasitas tubuh untuk memenuhi kebutuhan oksigen, mengeluarkan karbondioksida dan mengatur suhu tubuh, yang pada akhirnya mengarah ke kegagalan sirkulasi dan kematian apabila tidak ditangani secepatnya.

Perkembangan dan penggunaan dantrolen sodium, pelemas otot tipe hidantoin yang berdurasi lama, sangat bermanfaat untuk pencegahan dan perawatan dari hiperpireksia malignan. Dantrolen merupakan pelemas otot skeletal tipe yang menghambat pelepasan kalsium dari sarkoplasmik retikulum saat kontraksi otot. Daftar Rujukan : 28 (1971-2006)


(4)

Yoselinda : Pengaruh Pemakaian Anestesi Pada Penderita Hiperpireksia Malignan, 2010.

PERNYATAAN PERSETUJUAN

Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan tim penguji skripsi

Medan, 26 Juni 2009

Pembimbing : Tanda tangan

Eddy Anwar Ketaren, drg., Sp.BM NIP : 130 810 196


(5)

Yoselinda : Pengaruh Pemakaian Anestesi Pada Penderita Hiperpireksia Malignan, 2010.

TIM PENGUJI SKRIPSI

Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan tim penguji pada tanggal 26 Juni 2009

TIM PENGUJI

KETUA : Olivia Avriyanti Hanafiah, drg., Sp.BM

ANGGOTA : 1. Suprapti Arnus, drg., Sp.BM

2. Indra Basar Siregar, drg., M.Kes


(6)

Yoselinda : Pengaruh Pemakaian Anestesi Pada Penderita Hiperpireksia Malignan, 2010.

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan karunia-Nya yang diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu, dengan segala kerendahan hati dan penghargaan yang tulus, penulis menyampaikan terima kasih kepada :

1. Eddy Anwar Ketaren, drg., Sp.BM, selaku dosen pembimbing skripsi dan kepala Departemen Bedah Mulut dan Maksilofasial FKG USU yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

2. Seluruh staf pengajar dan pegawai Departemen Ilmu Bedah Mulut Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan saran dan masukan dalam penyelesaian skripsi.

3. Cut Nurliza, drg., M.Kes selaku dosen pembimbing akademik yang telah membimbing dan mengarahkan penulis selama menjalani pendidikan di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini, penulis juga ingin menyampaikan terima kasih kepada ayahanda Suwanto Lo dan ibunda Gimhong Limanto atas segala kasih sayang, doa, dan dukungan serta segala bantuan baik berupa moril maupun materil yang tidak akan terbalas oleh penulis. Tidak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada


(7)

saudari-Yoselinda : Pengaruh Pemakaian Anestesi Pada Penderita Hiperpireksia Malignan, 2010.

saudariku Helen, Jessica, dan Christin yang telah memberikan dukungan kepada penulis.

Seluruh staf pengajar dan pegawai di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara yang telah mendidik, membimbing, dan membantu penulis selama menuntut ilmu dimasa pendidikan.

Teman-teman stambuk 2005, khususnya Edward, Linda, Julita, Wydiavei, Fernando, Ivana, Emma dan yang lainnya yang tidak dapat disebutkan satu per satu, serta stambuk 2006, khususnya Jupita, Dorinda, Steffie, Yumira, Nelly, Lenny, dan Amanda, telah banyak membantu penulis selama ini.

Penulis menyadari kelemahan dan keterbatasan ilmu yang penulis miliki menjadikan skripsi ini kurang sempurna, tetapi penulis mengharapkan semoga skripsi ini dapat memberikan sumbangan pikiran yang berguna bagi fakultas, pengembangan ilmu pengetahuan, dan masyarakat.

Medan, 26 Juni 2009 Penulis

(Yoselinda) NIM : 050600103


(8)

Yoselinda : Pengaruh Pemakaian Anestesi Pada Penderita Hiperpireksia Malignan, 2010.

DAFTAR ISI

Halaman HALAMAN JUDUL ...

HALAMAN PERSETUJUAN ... HALAMAN TIM PENGUJI SKRIPSI ...

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR GAMBAR ... vii

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

BAB 2 HIPERPIREKSIA MALIGNAN 2.1 Definisi dan Etiologi ... 3

2.2 Patofisiologi ... 6

2.3 Gejala Klinis dan Diagnosa ... 9

BAB 3 PENATALAKSANAAN PASIEN HIPERPIREKSIA MALIGNAN DALAM PEMBERIAN ANESTESI 3.1 Mekanisme Kerja Anestesi ... 13

3.2 Persiapan Pasien ... 15

3.3 Penatalaksanaan Pasien Hiperpireksia Malignan ... 18

BAB 4 KESIMPULAN ... 22


(9)

Yoselinda : Pengaruh Pemakaian Anestesi Pada Penderita Hiperpireksia Malignan, 2010.

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1 Anestesi Inhalasi ... 4

2 Proses terjadinya hipermetabolisme dan kekakuan otot ... 8

3A Kyphoscoliosis dengan scapula menonjol ... 12

3B Gambaran radiografik ... 12


(10)

Yoselinda : Pengaruh Pemakaian Anestesi Pada Penderita Hiperpireksia Malignan, 2010.

BAB I PENDAHULUAN

Beberapa tindakan operasi di kedokteran gigi seperti pencabutan gigi, tindakan bedah minor dan bedah mayor sering menimbulkan rasa sakit yang lama. Rasa sakit dapat dihilangkan dengan suntikan anestesi. Penggunaan anestesi untuk menimbulkan pati rasa selama operasi dalam rongga mulut merupakan bagian dari perawatan gigi untuk mempermudah dalam penanganan perawatan gigi yang akan dilakukan, akan tetapi dapat menyebabkan masalah akibat pemakaian anestesi yang tidak sesuai prosedur oleh karena itu dianggap sebagai masalah khusus.

Apabila melakukan suatu operasi, harus diambil keputusan apakah operasi tersebut dilakukan dengan anestesi lokal atau umum. Riwayat penyakit, ketegangan dan ketahanan tubuh terhadap anestesi inhalasi atau adanya masalah dalam operasi terdahulu menjadi pertimbangan dalam pemilihan anestesi. Operasi dapat dilakukan dengan menggunakan anestesi lokal atau umum, sehingga operator harus menilai indikasi dan kontraindikasi keduanya sebelum memutuskan anestesi mana yang akan digunakan.1

Dalam pemberian anestesi seringkali kita temukan penderita dengan kelainan sistemik, salah satunya pasien dengan kelainan genetik misalnya hiperpireksia malignan, yang merupakan kondisi yang mengancam jiwa, dipicu oleh obat-obat tertentu yang dipakai untuk anestesi umum (hampir semua anestesi inhalasi), anestesi lokal golongan amida dan pelemas otot depolarisasi, succinylcholine.1,2,3 Hal ini dapat


(11)

Yoselinda : Pengaruh Pemakaian Anestesi Pada Penderita Hiperpireksia Malignan, 2010.

menimbulkan banyak problema bagi dokter dan dokter gigi terutama resiko yang dihadapi adalah kerusakan otot skeletal dan kematian pasien apabila tidak ditangani lebih lanjut. Pemicu utama hiperpireksia malignan adalah anestesi umum inhalasi misalnya halotan dan sevofluran, anestesi lokal misalnya lidokain dan mepivakain serta succinylcholine yang digunakan untuk pelemas otot.2

Setiap pasien seharusnya diperiksa sebelum operasi dengan tujuan untuk menilai kondisi fisik pasien, membangun kepercayaan pada dokter dan menentukan prosedur anestesi yang akan digunakan.4 Anamnese yang teliti dari setiap pasien sangat berguna bagi dokter dalam pemberian terapi obat, selain itu juga untuk mengantisipasi efek samping yang disebabkan oleh obat lain.1

Didalam skripsi ini penulis akan membahas mengenai hiperpireksia malignan serta cara penatalaksanaan pasien tersebut.


(12)

Yoselinda : Pengaruh Pemakaian Anestesi Pada Penderita Hiperpireksia Malignan, 2010.

BAB II

HIPERPIREKSIA MALIGNAN

Pada tahun 1970 dan 1980, ada sejumlah laporan kasus yang menggambarkan suatu sindrom yang berhubungan dengan berhentinya denyut jantung diikuti oleh rhabdomiolisis, demam, dan hiperkarbia pada anak-anak yang menerima anestesi inhalasi dan succinylcholine. Kasus-kasus tersebut sering didiagnosa hiperpireksia malignan atas dasar penemuan klinis.5

Banyak keluarga yang mungkin mengidap hiperpireksia malignan tidak pernah melakukan tes kontraksi untuk menegakkan diagnosa. Anak-anak mereka masih mempunyai riwayat pendukung diagnosa sementara ’kemungkinan rentan pada hiperpireksia malignan’. Kini, pada awal abad 21, masalah anestesi paling sering yang berhubungan dengan hiperpireksia malignan adalah bagaimana cara menganestesi pasien ini.5

2.1 Definisi dan Etiologi

Hiperpireksia malignan adalah penyakit turunan yang ditunjukkan dengan peningkatan suhu tubuh yang cepat diatas 40 – 41°C pada pasien yang dianestesi untuk pembedahan, yang dapat menyebabkan kematian apabila tidak ditangani dengan tepat.2,6,7,8 Hal ini dipicu oleh beberapa golongan obat yang digunakan


(13)

Yoselinda : Pengaruh Pemakaian Anestesi Pada Penderita Hiperpireksia Malignan, 2010.

sebagai anestesi umum (mencakup hampir semua anestesi inhalasi), anestesi lokal golongan amida dan pelemas otot depolarisasi, succinylcholine.9,10,11,12

Gambar 1. Anestesi Inhalasi13

Sindrom ini diturunkan secara herediter pada gen autosom dominan.2,10 Pada individu yang rentan, obat-obatan ini dapat menyebabkan peningkatan oksidasi metabolisme otot skeletal yang drastis dan tidak terkontrol, melebihi kapasitas tubuh untuk memenuhi kebutuhan oksigen, mengeluarkan karbondioksida dan mengatur suhu tubuh, yang pada akhirnya mengarah ke kegagalan sirkulasi dan kematian


(14)

Yoselinda : Pengaruh Pemakaian Anestesi Pada Penderita Hiperpireksia Malignan, 2010.

apabila tidak ditangani secepatnya.9,10,14 Angka kematiannya berkisar antara 63% - 73%.2

Insidensi hiperpireksia malignan pada pasien setelah pemberian anestesi kira-kira 1:15.000 pada anak-anak dan 1:50.000 pada orang dewasa.2,6,7,15,16 Insidensi ini tergantung pada kelompok gen untuk hiperpireksia malignan dan frekuensi pemberian obat anestesi pemicu hiperpireksia malignan.17 Walaupun kebanyakan kasus terjadi pada anak-anak, namun semua usia dapat terjadi.18 Hiperpireksia malignan lebih sering terjadi pada pria daripada wanita.2,7,18 Hal ini dapat terjadi pada pengalaman anestesi yang pertama kalinya atau dapat terjadi hanya pada anestesi yang berikutnya.

Semua kasus hiperpireksia malignan terjadi akibat pemberian anestesi dan tidak ada hubungan dengan tipe prosedur pembedahan yang dilakukan. Contoh obat-obat anestesi yang telah dihubungkan dengan kasus hiperpireksia malignan adalah

succinylcholine, halotan, lidokain, mepivakain, eter, etil klorida, trikloroetilen,

siklopropana, etilen, isofluran, dan enfluran.2

Dua obat yang telah dihubungkan dengan banyak kasus hiperpireksia malignan ini adalah succinylcholine (77%) dan halotan (60%). Fakta pada kedokteran gigi adalah kedua obat anestesi lokal yang paling banyak digunakan adalah lidokain dan mepivakain, telah diberikan bersama-sama dengan obat-obat lain yang juga memicu terjadinya hiperpireksia malignan. Adriani dan Sundin melaporkan bahwa pada pasien yang rentan terhadap hiperpireksia malignan dapat dipicu oleh faktor lain dari yang terdaftar. Hal ini termasuk faktor emosional, seperti stres dan ketakutan, dan faktor fisik seperti infeksi ringan, cedera otot, suhu lingkungan. Apabila pasien


(15)

Yoselinda : Pengaruh Pemakaian Anestesi Pada Penderita Hiperpireksia Malignan, 2010.

tertekan rasa stres, seperti rasa sakit dan takut, mungkin dapat menimbulkan gejala pada hiperpireksia malignan.2

2.2 Patofisiologi

Mekanisme yang mendasari hiperpireksia malignan adalah kerusakan pada distribusi ion kalsium mioplasma. Kejadian utama pada episode akut ini adalah peningkatan konsentrasi ion kalsium pada mioplasma yang menjelaskan terjadinya kontraksi otot yang tidak terkoordinasi dan terus menerus sehingga terjadi kekakuan otot, asidosis metabolik dan meningkatnya temperatur tubuh.2

Peningkatan konsentrasi ion kalsium mengikuti protein kontraktil troponin dan tropomiosin. Molekul tropomiosin ditempatkan kembali sebagai hasil ikatan ion kalsium dengan troponin sehingga kepala-kepala myosin dapat menyentuh molekul aktin. Fibril otot memendekkan dan otot berkontraksi. Ketika konsentrasi ion kalsium pada mioplasmik berkurang ke konsentrasi awalnya, relaksasi otot terjadi. Kalow dkk menyelidiki tiga pasien penderita hiperpireksia malignan dan menemukan perubahan metabolisme pada spesimen biopsi otot pada pasien yang mengalami kekakuan. Pengambilan kalsium dalam sarkoplasmik retikulum rendah setelah pemaparan dengan halotan. Mereka menyimpulkan bahwa kerusakan otot dalam hiperpireksia malignan adalah ketidakmampuan sarkoplasmik retikulum untuk menyimpan kalsium. Hal ini berarti bahwa konsentrasi ion kalsium pada sitoplasma tinggi dan fibril otot tetap kontraksi.8Studi yang berikut menunjukkan adanya kontraksi spontan pada otot hiperpireksia malignan dengan pemaparan menggunakan halotan dan


(16)

Yoselinda : Pengaruh Pemakaian Anestesi Pada Penderita Hiperpireksia Malignan, 2010.

succinylcholine. Halotan meningkatkan konsentrasi ion kalsium dengan bertindak

langsung pada membran sel. Succinylcholine meningkatkan konsentrasi ion kalsium melalui fasikulasi otot.2

Konsentrasi ion kalsium yang meningkat pada pasien hiperpireksia malignan karena mungkin terjadinya pelepasan ion kalsium secara terus menerus atau adanya kelemahan dalam mekanisme penyerapan ion kalsium.2,19 Nelson dan Denborough menunjukkan bahwa halotan menghasilkan pelepasan ion kalsium secara terus menerus ke dalam mioplasma pada otot hiperpireksia malignan.2

Kerentanan pada penyakit ini diturunkan sebagai gangguan autosomal dominan, yang mana ada paling sedikit 6 bagian dari gen, terutama gen reseptor ryanodin (RYR1), yang berada pada sarkoplasmik retikulum, organella dalam sel otot skeletal yang menyimpan kalsium. RYR1 bebas sebagai reaksi terhadap meningkatnya level ion kalsium intraseluler dan kontraksi otot yang tidak teratur.10,19

Konsekuensi dari peningkatan kalsium intraseluler ini adalah penyerapan kembali ion kalsium yang berlebihan. Hal ini mengaktivasi ATP-ase karena memerlukan banyak ATP, memerlukan oksigen, menginteraksi aktin – miosin yang menyebabkan peningkatan tonus otot, menghasilkan kontraksi otot yang akan mengurai glikogen dan glukosa dan terbentuknya asam laktat sehingga mengakibatkan asidosis metabolik dan panas yang berlebihan.10,19 Sel otot rusak karena kehabisan ATP dan juga suhu yang tinggi dan unsur pokok dari sel keluar menuju sirkulasi termasuk kalium, mioglobin, kreatin, fosfat dan kreatinkinase.10

Asidosis laktat yang terjadi pada hiperpireksia malignan dihasilkan dari aktivasi fosforilase oleh kalsium, sehingga glikogen dipecah menjadi asam laktat.


(17)

Yoselinda : Pengaruh Pemakaian Anestesi Pada Penderita Hiperpireksia Malignan, 2010.

Aktivasi fosforilase membantu memenuhi fruktosa 1,6-difosfat untuk menghasilkan ATP dengan glikolisis. Panas dihasilkan selama sintesa yang berkelanjutan dan penggunaan ATP selama glikolisis pada otot dan hati.2

Reaksi simpatik dan asidosis menimbulkan takikardi dan disritmia jantung diikuti dengan hipotensi, pengurangan curah jantung dan akhirnya berhentinya denyut jantung. Peningkatan temperatur, asidosis, hiperkalemia dan hipoksia menimbulkan gejala seperti koma pada sistem saraf pusat. Oliguria dan anuria biasa terjadi, kemungkinan terjadi karena syok, iskemia dan curah jantung yang rendah.3


(18)

Yoselinda : Pengaruh Pemakaian Anestesi Pada Penderita Hiperpireksia Malignan, 2010.

2.3 Gejala Klinis dan Diagnosa

Sebagian besar penderita hiperpireksia malignan secara fungsional normal.2 Hiperpireksia malignan menimbulkan gejala setelah penderita menerima anestesi sebagai pemicu dan gejalanya biasanya dikenali dokter bedah dan staf yang mengoperasinya. Kebanyakan kasus hiperpireksia malignan terjadi pada pengalaman pertama pasien terhadap anestesi, akan tetapi tidak jarang juga dapat berkembang pada anestesi berikutnya.2

Hiperpireksia malignan dapat menyerang dalam kondisi yang ringan atau dalam kondisi berkembang dan berpotensi fatal ketika pasien yang rentan diberikan obat pemicu seperti halotan atau succinylcholine. Kondisi awal atau yang ringan itu ditandai dengan kekakuan otot, mioglobinuria, dan peningkatan enzim-enzim pada otot.21

Awal gejala klinis hiperpireksia malignan adalah takikardi secara tiba-tiba yang diikuti oleh keadaan hipermetabolik dengan meningkatnya konsumsi oksigen, meningkatnya produksi karbondioksida (hiperkapnia) dan sianosis. Terjadinya kekakuan otot, terutama pada masseter, dapat terjadi pada pemberian pelemas otot seperti succinylcholine. Pada kasus khusus, kekakuan otot terjadi segera setelah pemberian pelemas otot atau kemungkinan lainnya terjadi secara tiba-tiba selama pemberian anastesi halotan.10,21 Setelah timbulnya kekakuan otot, pemberian dosis tambahan succinylcholine tidak akan bermanfaat untuk relaksasi otot tersebut.21 Rhabdomiolisis (kerusakan jaringan otot) terjadi ditandai dengan perubahan warna urin menjadi merah kecoklatan dan gangguan elektrolit.10 Jika perawatan yang diberikan gagal, akan terjadi rigor mortis.


(19)

Yoselinda : Pengaruh Pemakaian Anestesi Pada Penderita Hiperpireksia Malignan, 2010.

Peningkatan suhu tubuh tidak terjadi dengan cepat pada kasus hiperpireksia malignan. Demam biasanya terjadi setelah kekakuan otot dan merupakan hasil dari reaksi tersebut. Peningkatan suhu tubuh terjadi secara berangsur-angsur dengan kecepatan lebih dari 2°C per jam, atau mungkin meningkat dengan tiba-tiba dalam 10-15 menit.2,8,10,22

Karena hiperpireksia malignan jarang terjadi dan ada banyak penyakit lain yang juga menimbulkan hipermetabolisme dan kerusakan otot, maka sangat sulit untuk mendiagnosa hiperpireksia malignan berdasarkan penemuan klinis. Walaupun demikian, operator harus siap untuk mengevaluasi pasien untuk tanda dan gejala hiperpireksia malignan.5

Hiperpireksia malignan didiagnosa atas alasan-alasan klinis, tetapi berbagai penyelidikan secara umum telah dilakukan. Hal ini meliputi tes darah, yang menunjukkan peningkatan konsentrasi kreatin kinase, kalium, fosfat, dan mioglobin yang meningkat sehingga mengakibatkan kerusakan pada sel otot.9,10

Tes kontraksi dengan kafein-halotan yang mengukur konsentrasi kafein yang diperlukan untuk memicu kontraksi pada otot skeletal yang baru dibiopsi adalah tes standar untuk menentukan kerentanan terhadap hiperpireksia malignan. Tes ini dilakukan dengan cara mencelupkan biopsi otot pada larutan yang berisi kafein atau halotan untuk diamati kontraksinya. Penyelidikan genetik mengusulkan bahwa tes kontraksi dengan kafein-halotan mungkin menghasilkan hasil negatif yang keliru. Biopsi negatif tidak pasti menunjukkan pasien tidak rentan terhadap hiperpireksia malignan, maka pasien yang dicurigai hiperpireksia malignan dari riwayat medis


(20)

Yoselinda : Pengaruh Pemakaian Anestesi Pada Penderita Hiperpireksia Malignan, 2010.

mereka atau dari keluarga secara umum diberikan anestesi yang tidak memicu walau hasil biopsi negatif.6,9,10


(21)

Yoselinda : Pengaruh Pemakaian Anestesi Pada Penderita Hiperpireksia Malignan, 2010.

BAB III

PENATALAKSANAAN PASIEN HIPERPIREKSIA MALIGNAN PADA PEMBERIAN ANESTESI

Pasien yang harus dipertimbangkan pada peningkatan resiko timbulnya hiperpireksia malignan adalah pasien dengan penyakit muskuloskeletal. Sindrom King-Denborough secara konsisten dihubungan dengan hiperpireksia malignan. Sindrom ini terlihat terutama pada anak-anak lelaki yang pendek, retardasi mental, kriptorchidisme (testis tidak turun), kyphoscoliosis, kelainan pada dada, mata sipit, skapula menonjol.15

Gambar 3A. Kyphoscoliosis dengan skapula menonjol25 Gambar 3B. Gambaran radiografik25


(22)

Yoselinda : Pengaruh Pemakaian Anestesi Pada Penderita Hiperpireksia Malignan, 2010.

3.1 Mekanisme Kerja Anestesi

Penggunaan yang aman dari semua obat anestesi ini terhadap individu yang rentan memerlukan suatu pemahaman tentang ilmu farmasi.23 Obat anestesi inhalasi sering menimbulkan efek farmakologi yang berbeda.24 Obat anestesi yang paling banyak dihubungkan dengan hiperpireksia malignan adalah halotan.2 Oleh karena itu, beberapa efek farmakologi halotan akan dibahas lebih lanjut.

Halotan adalah suatu cairan jernih yang mudah menguap yang tidak terbakar pada suhu-kamar dengan bau manis yang tidak tajam.24 Aksi halotan pada jantung secara klinis penting. Halotan adalah suatu obat yang menekan daya kontraksi jantung yang menyebabkan turunnya kekuatan kontraktil jantung, denyut jantung dan tekanan darah. Perubahan ini tergantung pada dosis; anestesi halotan yang lebih dalam, semakin besar penurunan volume curah jantung dan bersamaan dengan dilatasi pembuluh darah perifer sehingga mengakibatkan penurunan tekanan darah arterial. Gangguan pada irama jantung biasa terjadi selama anestesi dengan halotan dan dihubungkan dengan penurunan adrenalin yang dihasilkan oleh tubuh. Peningkatan dalam sekresi catecholamin disebabkan baik melalui stimulasi pembedahan dan peningkatan tekanan CO2 selama anestesi halotan.4,23

Penurunan tekanan darah yang terlihat selama anestesi halotan juga dihubungkan dengan penurunan aliran darah arteri koroner. Bagaimanapun, kebutuhan oksigen miokardium juga dikurangi sejalan dengan penurunan aliran darah ini.23

Anestesi dengan halotan juga menyebabkan pernafasan yang cepat dan pendek. Pernafasan seperti itu tidak cukup menutup kekurangan volume tidal


(23)

Yoselinda : Pengaruh Pemakaian Anestesi Pada Penderita Hiperpireksia Malignan, 2010.

sehingga dapat mengakibatkan hipoventilasi dan meningkatkan volume CO2 dalam

darah.4,24 Peningkatan tekanan CO2 juga akan meningkatkan denyut jantung dan

tekanan darah. Sebagai tambahan, peningkatan sekresi catecholamin secara endogen yang disebabkan hipoksia dan hiperkapnia akan mengakibatkan aritmia dengan detak jantung yang cepat dan tidak beraturan.14

Hal penting secara klinis untuk dicatat adalah halotan dapat dihubungkan dengan kondisi gemetar sesudah operasi dan aktivitas otot yang dihasilkan akan menyebabkan peningkatan kebutuhan oksigen. Kebanyakan pasien yang sehat akan mampu menghasilkan peningkatan curah jantung untuk memenuhi kebutuhan oksigen. Bagaimanapun, difusi hipoksia digabungkan dengan kondisi gemetar akan menghasilkan hipoksemia dan oksigen tambahan harus diberi.23

Anestetikum yang dihirup ke dalam paru diserap melalui membran alveoli ke dalam aliran darah, sepanjang tekanan parsial anestetik dalam darah tetap pada tingkat yang lebih rendah daripada yang terdapat pada paru. Anestetikum yang diangkut dalam aliran darah akan diserap oleh jaringan oleh karena jaringan tersebut mempunyai konsentrasi obat yang lebih rendah daripada darah. Bila pemberian anestesi dihentikan proses berjalan sebaliknya, obat diekskresi dari jaringan ke dalam darah dan dari aliran darah ke alveoli. Setelah anestetikum telah mencapai aliran darah, ia beredar ke semua organ dalam tubuh. Sistem saraf pusat menerima proporsi lebih besar daripada organ lain. Hal ini disebabkan pendarahan yang lebih banyak daripada organ lain dan memiliki kadar lemak tinggi. Tentu saja obat anestesi diserap oleh organ tubuh lainnya, dengan rasio langsung terhadap kadar lemaknya. Sementara hati menyerap jumlah anestesi terbanyak setelah sistem saraf pusat, dan otot dengan


(24)

Yoselinda : Pengaruh Pemakaian Anestesi Pada Penderita Hiperpireksia Malignan, 2010.

proporsi lemaknya yang rendah, menangkap sedikit zat dari sirkulasi. Gas dibawa dalam darah dalam larutan sederhana dan tidak membentuk senyawa dengan hemoglobin.26

Mekanisme akhir dengan mana anestetikum menimbulkan pengaruhnya pada sel-sel sistem saraf pusat tidak diketahui, seperti diterangkan oleh banyak teori tentang kerjanya. Walaupun demikian, kita mengetahui bahwa otak dipengaruhi secara progresif sehubungan dengan struktur perkembangannya. Kawasan ‘tertinggi’ adalah yang pertama kehilangan fungsinya, dengan hasil kehilangan kesadaran. Pada titik ini pikiran bawah sadar, yang dibebaskan dari kontrol lebih tinggi, dapat menimbulkan berontak, berteriak dan menahan nafas secara tidak disadari. Tingkat aktivitas otak ini berikutnya hilang, penerusan pemberian anestetikum mengakibatkan penekanan respons refleks pasien terhadap rangsang. Hal ini merupakan proses yang bertahap. Mula-mula, gerakan, refleks yang terkoordinasi hilang, kemudian kontraksi otot sebagai respons terhadap stimulasi daerah tubuh yang relatif tidak sensitif dan yang sensitif.26

3.2 Persiapan Pasien

Hal-hal lain yang mungkin menunjukkan kerentanan hiperpireksia malignan meliputi suatu riwayat keluarga tentang komplikasi setelah pemberian anestesi, tidak tahan makanan yang mengandung kafein, atau suatu riwayat demam yang tidak jelas sebabnya atau kram otot. Bagaimanapun, anestesi sebelumnya yang tidak menimbulkan gejala apa-apa dan tiadanya riwayat keluarga yang positif adalah


(25)

Yoselinda : Pengaruh Pemakaian Anestesi Pada Penderita Hiperpireksia Malignan, 2010.

prediksi kerentanan hiperpireksia malignan yang terkenal tidak dapat dipercaya. Seperti yang telah disebutkan, pasien manapun yang menimbulkan trismus selama induksi anestesi harus dianggap rentan terhadap hiperpireksia malignan.15

Memperoleh suatu riwayat anestetik keluarga adalah langkah pertama mencegah hiperpireksia malignan. Pasien atau anggota keluarga dengan risiko hiperpireksia malignan seharusnya menyampaikan informasi ini kepada dokter pada kunjungan awal. Banyak yang telah kehilangan anggota keluarga akibat hiperpireksia malignan akan menceritakan hal tersebut saat operasi direncanakan. Akan tetapi, kebanyakan dari pasien kadang tidak melakukannya.2,5

Oleh karena itu, sebelum pemberian anastesi, pasien ditanya tentang adanya riwayat komplikasi yang tidak jelas dari anastesi-anastesi yang sebelumnya yang meliputi hiperkarbia, gangguan otot pada keluarga, kejang otot dan warna urin yang gelap. Jika terdapat kecurigaan, dilakukan pemeriksaan kreatin fosfokinase dalam darah. Apabila level kreatin fosfokinase meningkat, dilakukan pemeriksaan histologi pada spesimen biopsi yang diambil dari otot quadrisep dan menguji spesimen itu dengan tes kontraksi dengan halotan dan kafein.2,16,27

Pencabutan gigi pada pasien hiperpireksia malignan dapat dilakukan pada kebanyakan kasus, tetapi pada pasien dengan risiko yang lebih tinggi, lebih bijaksana untuk mengadakan pencabutan di rumah sakit, dimana perawatan darurat yang cepat dapat dilakukan segera setelah timbulnya gejala. Anestesi lokal amida dengan dosis normal dapat digunakan dengan sedikit peningkatan resiko.2


(26)

Yoselinda : Pengaruh Pemakaian Anestesi Pada Penderita Hiperpireksia Malignan, 2010.

Anestesi umum dapat digunakan apabila benar-benar diperlukan, walaupun harus dengan ketelitian dan persiapan yang matang. Obat-obatan yang dapat diberikan secara aman pada pasien hiperpireksia malignan yaitu:

1. Anestesi lokal ester

2. Benzodiazepin misalnya diazepam, midazolam

3. Droperidol

4. Barbiturat

5. Propofol

6. Etomidat

7. Ketamin

8. Pancuronium2

Anestesi ester juga dapat digunakan sebagai anestesi infiltrasi. Anestesi ini termasuk kloroprokain. Vasokontriktor dapat digabung dengan ester atau amida untuk mendapatkan waktu kebas yang lebih lama dan juga hemostasis.2

Anestesi yang memiliki durasi pendek, seperti barbiturat methohexital, tiopental dan thiamylal, dapat diberikan bersamaan dengan pelemas otot nondepolarisasi seperti pancuronium. Tiopental dan pancuronium aman diberikan, karena mereka menaikkan ambang yang mencetuskan hiperpireksia malignan. Persediaan dantrolen yang cukup perlu selalu tersedia saat anestesi umum diberikan. Penggunaan dantrolen secara intravena sebagai pencegahan sebelum induksi anestesi umum pada pasien yang rentan mungkin tidak diperlukan jika diberikan anestesi aman. Akan tetapi, risiko masih dapat timbul, karena agen pemicu mungkin telah


(27)

Yoselinda : Pengaruh Pemakaian Anestesi Pada Penderita Hiperpireksia Malignan, 2010.

diberikan pada pasien secara tidak sengaja pada saat-saat sebelumnya tetapi baru sekarang menimbulkan sindrom. Kemungkinan timbulnya risiko dari pemberian obat harus selalu dipertimbangkan dengan hati-hati terhadap keuntungan pemakaian obat.2,15

Perkembangan dan penggunaan dantrolen sodium, pelemas otot tipe hidantoin yang berdurasi lama, sangat bermanfaat untuk pencegahan dan perawatan dari hiperpireksia malignan. Dantrolen dengan efektif menghambat pelepasan ion kalsium dari sarkoplasmik retikulum. Dantrolen tersedia dalam sediaan obat yang dikonsumsi secara oral pada tahun 1972 serta dalam bentuk suntikan pada tahun 1978 dan telah digunakan secara luas pada perawatan hiperpireksia malignan. Penggunaannya sebagai pencegahan timbulnya penyakit, mengurangi risiko kemungkinan dari hiperpireksia malignan. Dantrolen diberikan 24 jam sebelum pemberian anestesi dan diberikan dengan dosis 4-7 mg/kg/hari.2

3.3 Penatalaksanaan Pasien Hiperpireksia Malignan

Penanganan episode akut dari hiperpireksia malignan pada pasien anak-anak sama dengan pada orang dewasa. Penatalaksanaan yang berhasil menuntut diagnosis segera, anestesi inhalasi yang berpotensi segera dihentikan dan diberikan hiperventilasi dengan 100% oksigen untuk meminimalisasi efek dari hiperkapnia, asidosis metabolik dan peningkatan konsumsi oksigen. Beberapa ventilator dan pelembab udara dapat menahan gas yang memicu sindrom tersebut untuk waktu yang lama.2,5,15


(28)

Yoselinda : Pengaruh Pemakaian Anestesi Pada Penderita Hiperpireksia Malignan, 2010.

Dantrolen sodium, 1 mg/kg, dicampur dengan air steril harus diberikan sesegera mungkin. Dantrolen merupakan pelemas otot skeletal tipe hidantoin yang menghambat pelepasan kalsium dari sarkoplasmik retikulum saat kontraksi otot. Pemberian dantrolen dilakukan dengan cara infus ke vena yang besar.2,5

Gambar 4. Dantrolen sodium yang diberikan secara intravena28

Apabila terjadi demam, pasien seharusnya dikompres secara aktif. Larutan garam fisiologis yang dingin dapat diberikan secara intravena. Larutan fisiologis dingin juga dapat digunakan untuk membilas lambung dan kantung kemih. Kompres es dapat diletakkan pada ketiak, sela paha, sekeliling leher dan dahi. Proses pengkompresan ini dihentikan apabila suhu telah turun. Jika tidak, dapat menimbulkan hipotermia. Suhu tubuh diukur terus-terusan.2,5,19


(29)

Yoselinda : Pengaruh Pemakaian Anestesi Pada Penderita Hiperpireksia Malignan, 2010.

Asidosis dan hiperkalemia biasanya menimbulkan disritmia. Untuk menanggulangi asidosis, berikan sodium bikarbonat 1-2 mEq/kg secara intravena. Hiperkalemia ditangani dengan kalsium klorida secara intravena atau insulin dengan glukosa dan diuresis. Ini merupakan perawatan yang paling efektif saat hiperkalemia menimbulkan EKG yang tidak normal. Disritmia dapat dirawat dengan prokainamida secara intravena jika disritmia tetap berlangsung dalam waktu lama atau mengancam jiwa pasien.2,5,15

Berikan dantrolen tambahan jika diperlukan. Reaksi dari pemberian dantrolen secara intravena terjadi dalam hitungan menit, mengindikasikan relaksasi otot. Takikardi dan peningkatan tekanan darah dapat menurun dalam beberapa jam. Dosis tambahan dantrolen (2mg/kg) dapat diberikan setiap 5 menit sampai mencapai total 10 mg/kg.2

Pemasangan kateter pada vena internal jugular atau vena subklavia dan kateter arterial akan memudahkan pengambilan darah untuk tes laboratorium. Kateter Foley dipasang agar urine dapat diuji untuk mioglobin dan volume urine yang keluar dapat dicatat.5

Hasil pemeriksaan yang tidak normal segera ditangani. Glukosa dengan insulin sebagai tambahan adrenalin akan mendukung pergerakan kalium dari plasma ke hati dan jaringan lainnya.5

Pasien diamati dengan pengaturan pengawasan secara intensif selama 24 jam sejak kekambuhan terjadi. Konsentrasi kreatin kinase, kalsium dan kalium dicek sampai waktu tertentu kembali ke level normal. Pasien juga diamati dengan EKG dan


(30)

Yoselinda : Pengaruh Pemakaian Anestesi Pada Penderita Hiperpireksia Malignan, 2010.

pengukuran suhu tubuh secara terus menerus yang dilanjutkan sampai saat post operasi.2

Apabila keadaan memungkinkan, ubahlah pemberian dantrolen dari intravena menjadi oral. Direkomendasikan 1 mg/kg/6 jam diberikan secara oral selama 48 jam setelah operasi untuk mencegah kekambuhan karena hiperpireksia malignan dapat terulang dalam 24 jam.15


(31)

Yoselinda : Pengaruh Pemakaian Anestesi Pada Penderita Hiperpireksia Malignan, 2010.

BAB IV KESIMPULAN

Hiperpireksia malignan adalah penyakit turunan yang ditunjukkan dengan peningkatan suhu tubuh yang cepat diatas 40 – 41°C pada pasien yang dianestesi untuk pembedahan, yang dapat menyebabkan kematian apabila tidak ditangani dengan tepat.2,6,7,8 Hal ini dipicu oleh beberapa golongan obat yang digunakan sebagai anestesi umum (mencakup hampir semua anestesi inhalasi), anastesi lokal golongan amida dan pelemas otot depolarisasi, succinylcholine.10,11

Sindrom ini diturunkan secara herediter pada gen autosom dominan.2,10 Pada individu yang rentan, obat-obatan ini dapat menyebabkan peningkatan oksidasi metabolisme otot skeletal yang drastis dan tidak terkontrol, melebihi kapasitas tubuh untuk memenuhi kebutuhan oksigen, mengeluarkan karbondioksida dan mengatur suhu tubuh, yang pada akhirnya mengarah ke kegagalan sirkulasi dan kematian apabila tidak ditangani secepatnya.10

Hal-hal lain yang mungkin menunjukkan kerentanan hiperpireksia malignan meliputi suatu riwayat keluarga tentang komplikasi setelah pemberian anestesi, tidak tahan makanan yang mengandung kafein, atau suatu riwayat demam yang tidak jelas sebabnya atau kram otot.15 Oleh karena itu, sebelum pemberian anastesi, pasien ditanya tentang adanya riwayat komplikasi yang tidak jelas dari anastesi-anastesi yang sebelumnya yang meliputi hiperkarbia, gangguan otot pada keluarga, kejang otot dan warna urin yang gelap. Jika terdapat kecurigaan, dilakukan pemeriksaan


(32)

Yoselinda : Pengaruh Pemakaian Anestesi Pada Penderita Hiperpireksia Malignan, 2010.

kreatin fosfokinase dalam darah. Apabila level kreatin fosfokinase meningkat, dilakukan pemeriksaan histologi pada spesimen biopsi yang diambil dari otot quadrisep dan menguji spesimen itu dengan tes kontraktur dengan halotan dan kafein.

Perkembangan dan penggunaan dantrolen sodium, pelemas otot tipe hidantoin yang berdurasi lama, sangat bermanfaat untuk pencegahan dan perawatan dari hiperpireksia malignan. Dantrolen diberikan 24 jam sebelum pemberian anestesi dan diberikan dengan dosis 4-7 mg/kg/hari.2

Penatalaksanaan yang berhasil menuntut diagnosis segera dan persiapan yang matang. Penatalaksanaan episode akut dari hiperpireksia malignan adalah sebagai berikut:

1. Penghentian semua anestesi inhalasi dan berikan hiperventilasi dengan 110% oksigen.

2. Untuk menanggulangi asidosis, berikan sodium bikarbonat 1-2 mEq/kg

3. Encerkan dantrolen dengan air steril dan berikan 1 mg/kg secara IV 4. Secara bersamaan, kompres seluruh badan.

5. Apabila disritmia berlangsung dalam waktu lama atau mengancam jiwa berikan prokainamida secara IV

6. Berikan dantrolen tambahan jika diperlukan

7. Periksa jumlah pengeluaran urin, total penggumpalan darah dan serum kalium.

8. Amati pasien secara intensif selama 24 jam sejak kekambuhan terjadi. 9. Cek konsentrasi kreatin kinase, kalsium dan kalium sampai ke level


(33)

Yoselinda : Pengaruh Pemakaian Anestesi Pada Penderita Hiperpireksia Malignan, 2010.

10.Ukur suhu tubuh terus menerus

11.Ubahlah pemberian dantrolen dari IV menjadi oral jika keadaan


(34)

Yoselinda : Pengaruh Pemakaian Anestesi Pada Penderita Hiperpireksia Malignan, 2010.

DAFTAR PUSTAKA

1. Howe GL. Pencabutan gigi geligi. Edisi 2. Alih Bahasa: Johan Arief Budiman. Jakarta : Buku Kedokteran EGC, 1993 : 4, 12,16

2. Malamed SF. Handbook of local anesthesia, 4th ed. Missouri : Mosby, 1997 : 2-3, 10-3, 18-23, 35, 116-28

3. Siahaan OSM. Anestesi lokal dan regional. Medan : USU Press, 2000 : 1-5, 18-29, 38-43

4. Julien RM. Understanding anesthesia. California : Addison-Wesley

Publishing Co., 1984 : 92-5, 108-13, 151-5

5. Yemen TA. Pediatric anesthesia handbook. Virginia : McGraw-Hill

Companies, 2002 : 33, 338-57, 369

6. Way LW. Current surgical diagnosis & treatment, 10th ed. San Fransisco : Appleton & Lange, 1994 : 183-4, 813, 1275-6

7. Lichtiger M, Moya F. Introduction to the practice of anesthesia. 2nd ed. Philadelphia : Harper & Row Publishers, 1978 : 362-3, 423-8

8. Anonymous. Malignant hyperpyrexia. British Medical Journal, 1971

9. Miller JD. Malignant hyperthermia

10.Anonymous. Malignant hyperthermia


(35)

Yoselinda : Pengaruh Pemakaian Anestesi Pada Penderita Hiperpireksia Malignan, 2010.

11.Reuter DA, Anetseder M, Muller R. The ryanodine contracture test may help

diagnose susceptibility to malignant hyperthermia. Canadian Journal of

Anesthesia, 2008 )

12.Bendahan D, Kozak-Ribbens G, Confort-Gouny S. A noninvasive

investigation of muscle energetics supports similarities between exertional heat stroke and malignant hyperthermia. Anesthesia Analgesia, 2001 <

2008 )

13.Anonymous. Hyperthermia.

14.Anonymous. Malignant hyperthermia.

September 2008 )

15.Morgan Jr. GE, Mikhail MS, Murray MJ. Clinical anesthesiology, 3rd ed. New York : The McGraw-Hill Companies, 2002 : 38, 136, 187, 756-7, 855-6, 858, 869-74

16.Anonymous. Malignant hyperpyrexia

40001460> (25 Agustus 2008 )

17.Benumof JL, Saidman LJ. Anesthesia and perioperative complications. Missouri : Mosby Year Book, 1992 : 340-5, 567

18.Morgan Jr. GE, Mikhail MS. Clinical anesthesiology, 2nd ed. London : Appleton & Lange, 1996 : 33,119, 156, 739-41


(36)

Yoselinda : Pengaruh Pemakaian Anestesi Pada Penderita Hiperpireksia Malignan, 2010.

19.McCance KL, Huether SE. Pathophysiology the biologic basic for disease in

adults and children. Missouri : Mosby, 2006 : 71, 466-7

20.Mayer BW. Pediatric anesthesia. Philadelphia : JB Lippincott Company, 1981 : 212-24

21.Müller-Reible CR. Genetics and pathophysiology of calcium homeostasis in

skeletal muscle

22.Coulthard P, Horner K, Sloan P. Master dentistry : Oral and maxillofacial

surgery, radiology, pathology and oral medicine. Philadelphia : Elsevier,

2003 : 2-3

23.Hill CM, Morris PJ. General Anaesthesia and sedation in dentistry. Bristol : John Wright & Sons Ltd, 1983

24.Stoelting RK. Pharmacology and physiology in anesthetic practice.

Philadelphia : J.B. Lippincott Co., 1987 : 37-8,

25.


(37)

Yoselinda : Pengaruh Pemakaian Anestesi Pada Penderita Hiperpireksia Malignan, 2010.

26.Ostlere G, Bryce-Smith R. Anestesiologi. Edisi 9. Alih bahasa : Iyan Darmawan. Jakarta : Buku Kedokteran EGC, 1987 : 4, 8-21, 51-63, 190-201 27.Moulds RFW, Denborough MA. Identification of susceptibility to malignant

hyperpyrexia. British Medical Journal, 1974


(1)

Yoselinda : Pengaruh Pemakaian Anestesi Pada Penderita Hiperpireksia Malignan, 2010.

kreatin fosfokinase dalam darah. Apabila level kreatin fosfokinase meningkat, dilakukan pemeriksaan histologi pada spesimen biopsi yang diambil dari otot quadrisep dan menguji spesimen itu dengan tes kontraktur dengan halotan dan kafein.

Perkembangan dan penggunaan dantrolen sodium, pelemas otot tipe hidantoin yang berdurasi lama, sangat bermanfaat untuk pencegahan dan perawatan dari hiperpireksia malignan. Dantrolen diberikan 24 jam sebelum pemberian anestesi dan diberikan dengan dosis 4-7 mg/kg/hari.2

Penatalaksanaan yang berhasil menuntut diagnosis segera dan persiapan yang matang. Penatalaksanaan episode akut dari hiperpireksia malignan adalah sebagai berikut:

1. Penghentian semua anestesi inhalasi dan berikan hiperventilasi dengan 110% oksigen.

2. Untuk menanggulangi asidosis, berikan sodium bikarbonat 1-2 mEq/kg

3. Encerkan dantrolen dengan air steril dan berikan 1 mg/kg secara IV 4. Secara bersamaan, kompres seluruh badan.

5. Apabila disritmia berlangsung dalam waktu lama atau mengancam jiwa berikan prokainamida secara IV

6. Berikan dantrolen tambahan jika diperlukan

7. Periksa jumlah pengeluaran urin, total penggumpalan darah dan serum kalium.

8. Amati pasien secara intensif selama 24 jam sejak kekambuhan terjadi. 9. Cek konsentrasi kreatin kinase, kalsium dan kalium sampai ke level


(2)

Yoselinda : Pengaruh Pemakaian Anestesi Pada Penderita Hiperpireksia Malignan, 2010.

10.Ukur suhu tubuh terus menerus

11.Ubahlah pemberian dantrolen dari IV menjadi oral jika keadaan


(3)

Yoselinda : Pengaruh Pemakaian Anestesi Pada Penderita Hiperpireksia Malignan, 2010.

DAFTAR PUSTAKA

1. Howe GL. Pencabutan gigi geligi. Edisi 2. Alih Bahasa: Johan Arief Budiman. Jakarta : Buku Kedokteran EGC, 1993 : 4, 12,16

2. Malamed SF. Handbook of local anesthesia, 4th ed. Missouri : Mosby, 1997 : 2-3, 10-3, 18-23, 35, 116-28

3. Siahaan OSM. Anestesi lokal dan regional. Medan : USU Press, 2000 : 1-5, 18-29, 38-43

4. Julien RM. Understanding anesthesia. California : Addison-Wesley

Publishing Co., 1984 : 92-5, 108-13, 151-5

5. Yemen TA. Pediatric anesthesia handbook. Virginia : McGraw-Hill

Companies, 2002 : 33, 338-57, 369

6. Way LW. Current surgical diagnosis & treatment, 10th ed. San Fransisco : Appleton & Lange, 1994 : 183-4, 813, 1275-6

7. Lichtiger M, Moya F. Introduction to the practice of anesthesia. 2nd ed. Philadelphia : Harper & Row Publishers, 1978 : 362-3, 423-8

8. Anonymous. Malignant hyperpyrexia. British Medical Journal, 1971

9. Miller JD. Malignant hyperthermia

10.Anonymous. Malignant hyperthermia


(4)

Yoselinda : Pengaruh Pemakaian Anestesi Pada Penderita Hiperpireksia Malignan, 2010.

11.Reuter DA, Anetseder M, Muller R. The ryanodine contracture test may help

diagnose susceptibility to malignant hyperthermia. Canadian Journal of

Anesthesia, 2008 )

12.Bendahan D, Kozak-Ribbens G, Confort-Gouny S. A noninvasive

investigation of muscle energetics supports similarities between exertional heat stroke and malignant hyperthermia. Anesthesia Analgesia, 2001 <

2008 )

13.Anonymous. Hyperthermia.

14.Anonymous. Malignant hyperthermia.

September 2008 )

15.Morgan Jr. GE, Mikhail MS, Murray MJ. Clinical anesthesiology, 3rd ed. New York : The McGraw-Hill Companies, 2002 : 38, 136, 187, 756-7, 855-6, 858, 869-74

16.Anonymous. Malignant hyperpyrexia

40001460> (25 Agustus 2008 )

17.Benumof JL, Saidman LJ. Anesthesia and perioperative complications. Missouri : Mosby Year Book, 1992 : 340-5, 567

18.Morgan Jr. GE, Mikhail MS. Clinical anesthesiology, 2nd ed. London : Appleton & Lange, 1996 : 33,119, 156, 739-41


(5)

Yoselinda : Pengaruh Pemakaian Anestesi Pada Penderita Hiperpireksia Malignan, 2010.

19.McCance KL, Huether SE. Pathophysiology the biologic basic for disease in

adults and children. Missouri : Mosby, 2006 : 71, 466-7

20.Mayer BW. Pediatric anesthesia. Philadelphia : JB Lippincott Company, 1981 : 212-24

21. Müller-Reible CR. Genetics and pathophysiology of calcium homeostasis in

skeletal muscle

22.Coulthard P, Horner K, Sloan P. Master dentistry : Oral and maxillofacial

surgery, radiology, pathology and oral medicine. Philadelphia : Elsevier,

2003 : 2-3

23.Hill CM, Morris PJ. General Anaesthesia and sedation in dentistry. Bristol : John Wright & Sons Ltd, 1983

24.Stoelting RK. Pharmacology and physiology in anesthetic practice.

Philadelphia : J.B. Lippincott Co., 1987 : 37-8,

25.


(6)

Yoselinda : Pengaruh Pemakaian Anestesi Pada Penderita Hiperpireksia Malignan, 2010.

26.Ostlere G, Bryce-Smith R. Anestesiologi. Edisi 9. Alih bahasa : Iyan Darmawan. Jakarta : Buku Kedokteran EGC, 1987 : 4, 8-21, 51-63, 190-201 27.Moulds RFW, Denborough MA. Identification of susceptibility to malignant

hyperpyrexia. British Medical Journal, 1974