40
sementara unsur yang lainnya tidak dapat mengikuti kecepatan perubahan unsur tersebut. Maka, yang terjadi adalah ketertinggalan unsur yang berubah secara
perlahan tersebut. Ketertinggalan ini menyebabkan kesenjangan sosial cultural lag. Para penganut Teori Fungsionalis lebih menerima perubahan sosial sebagai
sesuatu yang konstan dan tidak memerlukan penjelasan. Perubahan dianggap sebagai suatu hal yang mengacaukan keseimbangan masyarakat. Proses
pengacauan ini berhenti pada saat perubahan itu telah diintegrasikan dalam kebudayaan. Apabila perubahan itu ternyata bermanfaat, maka perubahan itu
bersifat fungsional dan akhirnya diterima oleh masyarakat, tetapi apabila terbukti disfungsional atau tidak bermanfaat, perubahan akan ditolak. Tokoh dari teori ini
adalah William Ogburn.Pandangan Teori Fungsionalis adalah sebagai berikut. a. Setiap masyarakat relatif bersifat stabil dan terintegrasi.
b. Setiap komponen masyarakat biasanya menunjang kestabilan masyarakat. c.Kestabilan sosial sangat tergantung pada kesepakatan bersama konsensus di
kalangan anggota kelompok masyarakat. Ada dua faktor penyebab utamadalam perubahan sosial, yaitu penimbunan
akumulasi kebudayaan dan penemuan baru, pertambahan penduduk.
1. Timbunan kebudayaan dan penemuan baru.
Timbunan kebudayaan merupakan faktor penyebab perubahan sosial yang penting. Kebudayaan dalam kehidupan masyarakat senantiasa terjadi penimbunan,
yaitu suatu kebudayaan semakin beragam dan bertambah secara akumulatif. Bertimbunnya kebudayaan ini oleh karena adanya penemuan baru dari anggota
masyarakat pada umumnya.Terjadi juga pada situasi masyarakat yang tergolong fanatik terhadap kebudayaan-kebudayaan; tidak mudah dihilangkan.
Koentjaraningrat berpendapat bahwa perubahan sosial terjadi karena adanya
41
penemuan baru inovasi. Proses tersebut meliputi suatu penemuan baru, jalannya unsur kebudayaan baru yang tersebar ke lain-lain bagian dari masyarakat dan
cara-cara unsur kebudayaan baru tadi diterima, dipelajari dan akhirnya dipakai dalam masyarakat yang bersangkutan. Penemuan baru dapat berupa benda-benda
tertentu yang bersifat fisik, dapat pula bersifat non fisik seperti ide-ide baru, sistem hukum, atau aliran-aliran kepercayaan yang baru.Ogburn dan Nimkoff
menyebut penemuan baru social invention; yaitu penciptaan pengelompokan dari individu-individu yang baru, atau penciptaan adat-istiadat yang baru, peri
kelakuan sosial yang baru.
2. Perubahan jumlah penduduk.
Perubahan jumlah penduduk juga merupakan penyebab terjadinya perubahan sosial, seperti pertambahan atau berkurangnya penduduk pada suatu
daerah tertentu. Bertambahnya penduduk pada suatu daerah mengakibatkan perubahan pada struktur masyarakat terutama mengenai lembaga-lembaga
kemasyarakatannya. Sementara pada daerah yang lain terjadi kekosongan sebagai akibat perpindahan penduduk tadi. Ditinjau dari pertambahan penduduk misalnya
transmigrasi, jika berjalan secara ideal dengan memperhatikan aspek-aspek sosial, ekonomi, politik, budaya dan keamanan, mungkin akan terjadi perubahan yang
positif. Artinya dengan adanya pendatang baru yang terampil dan siap bekerja di tempat yang baru maka besar kemungkinan justru tidak hanya sekedar
menguntungkan bagi pihak transmigranbelaka, melainkan juga dapat berpengaruh terhadap penduduk asli untuk ikut serta pula bekerja dengan pola yang
menguntungkan sama dengan penduduk pendatang. Kehidupan masyarakat pun berubah karena pencampuran antara berbagai macam pola perilaku sosial dan
kebudayaan; begitu juga ekonomi, politik, dan keamanan. Sementara, perubahan
42
sosial yang disebabkan oleh berkurangnya penduduk mengakibatkan kekosongan pada daerah pemukiman yang lama. Roucek dan Waren menggambarkan
perubahan sosial yang disebabkan oleh adanya penduduk yang heterogen. Masyarakat yang terdiri dari berbagai latar belakang etnik yang berbeda yang
bercampur gaul dengan bebas dan mendifusikan adat, pengetahuan teknologi dan ideologi, biasanya mengalami kadar perubahan yang pesat. Konflik budaya, mores
selalu menghasilkan ketidaksesuaian dan keresahan sosial, dan memudahkan terjadinya perubahan sosial.
Jadi, jika dilihat dari pergeseran perubahan solidaritas masyarakat ini maka perubahanpergeseran solidaritas masyarakat yang terjadi disebabkan karena
bertambah dan berkurangnya penduduk yang terkena banjir juga menjadi penyebab berkurangnya solidaritasmasyarakat bantuan masyarakat yang
diberikan kepada mereka karena menurunnya keuangan keluarga dalam memberikan bantuan kepada mereka yang terkena banjir dalam jumlah yang
cukup banyak dan juga timbunan kebudayaan yang baru yang menuntut kemandirian hidup masyarakat. Karena menurut pengakuan warga yang terkena
banjir, banjir di sana sering terjadi pada awal dan akhir tahun seperti yang kita tahu saat itu banyak pengeluaran keluarga.
2.6. Ketidakmampuan Masyarakat Dalam Membeli Rumah SebagaiAlasan MerekaTetap Bertahan Tinggal di Sekitar Sungai Deli Kota Medan.
Faktor yang paling menonjol dalam kehidupan yang keras di perkotaan menghinggapi penduduk kota adalah masalah ekonomi. Akhirnya
permasalahanpun muncul berangkat dari kehidupan masyarakat kota yang
43
mengutamakan kebutuhan akan materi dan terjadilah persoalan yang semuanya berpangkal pada faktor ekonomi. Terjadilah kemerosotan sosial dan budaya dalam
hal kemiskinan, kriminalitasserta budaya materialis yang mengagungkan harta benda sebagaihal yang paling utama dalam kehidupan, akibatnya masyarakat kota
banyak yang hidup dalam tingkat persaingan yang tinggi seperti dalam hal mencari pekerjaan, serta mengutamakan diri sendiri ataupun kepentingan
kelompok. Keberadaan masyarakat yang begitu banyak di kota mengakibatkan sebagian masyarakatharus terpaksa ada yang bermukim di tempat kumuh dan juga
liar, tidak terlepas dari adanya urbanisasi. Adanya ciri khas kota yang menunjukkanbanyaknya penduduk dari beranekaragam suku bangsa, agama, ras,
adat-istiadat serta kelas sosial yakni dari yang kaya sampai miskin, membuat kehidupan kota begitu kontras dengan perbedaan dan mencoloknya kesenjangan
para masyarakat, khususnya menyangkutaspek ekonomi atau kemiskinan. Faktor ekonomi membawa dampak yang besar bagi terciptanya strata sosial ekonomi
sehingga membuat kesenjangan masyarakat nampak nyata hadir dalam kehidupan kota.
Masyarakat kaya otomatis memiliki harta benda, sedangkan masyarakat miskin dikenali sebagai masyarakat yang tidak memiliki apa-apa. Pada
kenyataannya, tidak sedemikian adanya jika diperhatikan, berhubung dengan keadaan kota yang begitu padat, jumlah penduduk yang banyak, terjadinya
keterbatasan lahan, maka kasus tata ruang yang salah dan buruk menjadi satu dari sekian banyak masalah yang dihadapi. Ujungnya masalah tata ruang menimbulkan
masalah pemukiman. Pemukiman sebagai tempat hunian serta berkumpulnya rumah-rumah suatu masyarakat, tampak dari bentuk hunian serta lokasi
pemukiman yang dapat dengan mudah terlihat di berbagai jalan-jalan dan sudut-
44
sudut kota. Di Kota Medan, dari pemukiman elit sampai pemukiman yang biasa- biasa saja, dari yang bagussampai pemukiman kumuhlengkap keberadaannya di
kota. Orang yang berada dan tinggal di kawasan elit menandakan dirinya
mampudalam segi ekonomi dan jelas sekali rumah yang dia tempati dapat dikatakan sebagai aset dan menjadi bagian harta benda yang dimiliki. Lalu
masyarakat yang kurang beruntung secara ekonomi dan kurang beruntung dalam menempati pemukiman yang layak sangat sulit untuk dikatakan tidak memiliki
harta benda, karena tidak semua masyarakat yang susah secara ekonomi tidak memiliki harta.Meskipun terdapat penduduk di kota yang bermukim di
lingkungan kumuh namun pengetahuan serta pandangan mereka akan harta benda justru ada dan melekat dalam kehidupan mereka, bahkan menjadi sebuah nilai
budaya. Nilai budaya yang terbentuk yang didasari oleh pengetahuan akan harta benda sesuai pandangan masing-masing penduduk yang bermukim pada pinggiran
Sungai Babura Medan di Lingkungan VII Kelurahan Petisah Tengah, dan Sungai Deli, Kelurahan Sukaraja Medan juga terjadi dibarengi dengan keadaan dan
kondisi lingkungannya baik struktur masyarakat, historissejarah, kenyamanan, serta kebersamaan masyarakat yang terikat dalam sifat Gemeinschaftpaguyuban.
Tidak selamanya kawasan pinggiran sungai dihuni oleh rumah-rumah kumuh malah sebaliknya terdapat bangunan-bangunan megah yang malah berdiri
kokoh persis di pinggiran sungai. Untuk itu, pemukiman di pinggiran sungai yang tadinya banyak dihuni oleh masyarakat kelas bawahmasyarakat yang kurang
sanggup untuk tinggal di tempat yang lebih baik dan membeli lahan yang berizin, lambat laun justru diisi oleh masyarakat yang bahkan mampu mendirikan rumah
yang cukup bagus, seperti bangunannya yang permanen seakan-akan kontras
45
dengan lingkungan dan keadaan sekitarnya yang masih bertetangga dengan rumah-rumah yang sangat sederhana, masih ada yang semi permanen dan non
permanen, misalnya rumah-rumah seperti pada umumnya namun disalahgunakan. Kemunculan pemukiman di pinggiran sungai melahirkan kekumuhan yang
disebutSlum.Di pemukiman kumuh adalah rumahnya kecil, terbuat dari papan, tepas-tepas, untuk di pinggiran sungai rumah sengaja ditinggikan dengan
menggunakan tiang-tiang penyangga seperti kayu karena pinggiran sungai memang rendah dan sekaligus tiang penyangga dibuat untuk mensiasati rumah
dari banjir maupun luapan sungai. Sekarang yang terjadi malah dinamika kehidupan daerah pemukiman
kumuh cukup menarik karena berbagai lapisan orang tinggal dan jika dilihat sekilas ternyata rumah-rumah yang berada di pinggiran sungai yang masuk ke
dalam daerah kumuh diisi oleh rumah-rumah yang sebagian sudah bagus dan layak jadi. Padahal sesungguhnya alasan adanya masyarakat yang bertempat
tinggal di pemukiman yang liar dan menggantungkan hidup di tempat kumuh semuanya karena faktor ekonomi maupun biaya. Ketidaksanggupan untuk tinggal
di tempat yang baik, rumah yang bagus, lingkungan yang sehat serta tanah dan lahan yang sah menjadi milik pribadi tidak dapat diperoleh mereka. Dan alasan
mereka bertahan tinggal di sekitar sungai karena di sana mencari makan mudah karena dengan dengan pasar, harga sewa rumah murah, begitulah pengakuan Bu
Mardiana Nst, warga lingkungan V kelurahan Sukaraja yang sering terkena banjir.Pemukiman kumuh menandakan adanya kemiskinan yang terjadi di kota
http:repository.usu.ac.idbitstream123456789309736Chapter20I.pdf. Oleh sebab itulah, masyarakat masih bertahan tinggal di bantarandekat
Sungai Deli. Mereka memang merasa kurang nyaman tinggal di sana karena kalau
46
terjadi banjir besar kategori gawat dari banjir kiriman, mereka harus siap-siap menguras air yang menggenangi rumah mereka. Walaupun begitu, mereka tetap
bertahan tinggal di bantaransekitar sungai karena mereka tidak mampu membeli rumah di luar dari daerah dekat sungai sebab terlalu mahal membeli rumah yang
jauh dari sungai seperti di Perumnas, begitulah pengakuan salah satu warga kelurahan Sungai Deli. Mereka hanya mampu mengontrak rumah di sekitar sungai
karena penghasilan mereka pun tidak banyak jadi merekahanya dapat membeli rumah di daerah sekitar sungai karena lebih murah harga jualnya ataupun harga
kontrakannya. Dan mereka yang terkena banjir juga mengatakan bahwa mereka tetap bertahan tinggal di sekitar sungai karena sudah enak bertetangga dan
tempatnya strategis.
BAB III METODE PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian