Makna Dan Perilaku Terhadap Sampah Pada Masyarakat di Bantaran Sungai Deli (Studi Deskriptif Pada Sembilan Keluarga yang Tinggal di Kampung Badur, Kelurahan Hamdan, Kecamatan Medan Maimun)

(1)

LAMPIRAN

INTERVIEW GUIDE

Nama :

Usia :

Pekerjaan :

Suku :

Pertanyaan :

1. Sudah berapa lama anda tinggal di bantaran Sungai Deli? 2. Bagaimana pendapat anda tentang sampah?

3. Apa makna sampah bagi anda?

4. Bagaimana makna sampah/kebersihan lingkungan menurut agama anda? 5. Bagaimana makna sampah/keberrsihan lingkungan mitos yang dipercayai

di suku anda?

6. Apakah sampah memiliki nilai bagi anda?

7. Menurut anda, perempuan atau laki-laki yang lebih dominan membuang sampah?

8. Bagaimana cara anda membersihkan sampah di lingkungan tempat tinggal anda?

9. Apakah ada kegiatan gotong-royong untuk membersihkan sampah di lingkungan anda?

10.Apa arti Sungai Deli bagi kebutuhan sehari-hari anda?

11.Bagaimana menurut anda jika banyak orang yang membuang sampah ke Sungai Deli?

12.Menurut anda bagaimana perilaku warga di lingkungan tempat tinggal anda dalam membuang sampah?

13.Menurut anda apa yang menyebabkan air Sungai Deli banjir?

14.Bagaimana tanggapan anda jika banjir dari air Sungai Deli mengenai rumah anda?

15.Apa dampak bagi anda jika air Sungai Deli banjir?


(2)

17.Tindakan apa saja yang sudah pernah anda dan warga lakukan untuk mengurangi akibat terjadinya banjir?

18.Apa alasan anda memilih tinggal di bantaran Sungai Deli? 19.Apakah anda nyaman tinggal di lingkungan Sungai Deli?

20.Apakah ada perhatian dari Pemerintah untuk mengatasi masalah sampah di lingkungan anda?

21.Menurut anda siapa yang bertanggungjawab atas terjadinya banjir Sungai Deli?

22.Apakah anda mengharapkan adanya perubahan dari Sungai Deli yang lebih bersih?


(3)

DOKUMENTASI

Gambar 1

Kondisi sungai deli dengan banyak tumpukan sampah

Gambar 2

Tumpukan karung-karung yang berisi sampah dan tanah dijadikan fondasi untuk membatasi naiknya air sungai


(4)

Gambar 3

Kondisi tumpukan sampah di bantaran sungai di atas tanah hasil dari penimbunan sampah oleh masyarakat

Gambar 4

Bambu-bambu yang dijadikan masyarakat sebagai benteng untuk menampung sampah agar tidak turun ke sungai


(5)

Gambar 5

Wawancara dengan salah satu informan yang berdagang

Gambar 6

Masyarakat Kampung Badur sedang mencuci pakaian memanfaatkan air Sungai Deli


(6)

DAFTAR PUSTAKA

Alfitri. 2009. Jurnal Online: Kerusakan Lingkungan dan Masalah Sampah dari Perspektif Teori Sosiologi (hal: 35). Universitas Sriwijaya.

Bungin, Burhan. 2007. Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial lainnya. Jakarta: Kencana Prenada Medi Group. Dwi Susilo, K. Rachmad. 2012. Sosiologi Lingkungan. Jakarta: PT RajaGrafindo

Persada.

Moleong, Lexy. 2006. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Karya. Poloma, Margareth M. 2007. Sosiologi Kontemporer. Jakarta: PT RajaGrafindo

Persada.

Rohani, Lasma. 2007. Skripsi Online: Perilaku Masyarakat Dalam Pengelolaan Sampah Di Desa Medan Senembah Kabupaten Deli Serdang Dan Dikelurahan Asam Kumbang Kota Medan (hal: 1). Medan. Universitas Sumatera Utara.

Suyanto, Bagong, dkk. 2005. Metode Penelitian Sosial ; Berbagai Alternative Pendekatan. Edisi 1. Jakarta. Prenada Media.

Silalahi, Ulber. 2009. Metode Penelitian Sosial. Bandung: PT Refika Aditama.

Sumber website:

(http://drake1st.blogspot.com/2011/11/paradigma-masyarakat-tentang sampah_17.html)


(7)

(rdpress.com/2010/10/03/optimalisasi-kebijakan-dan-strategi-pengelolaan-sampah-berwawasan-lingkungan/)

(pemkomedan.go.id/pemerintah_program.php)


(8)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dengan penelitian deskriptif. Pendekatan kualitatif adalah metode yang bermaksud untuk memahami apa yang dialami oleh subjek peneliti secara holistik dan dengan cara deskriptif dalam bentuk kata-kata dan bahasa pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan metode ilmiah (Moleong, 2006). Pendekatan deskriptif dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang diamati dan digambarkan serta dijelaskan dengan maksud mengetahui hasil dari masalah yang diteliti.

3.2 Lokasi Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di daerah bantaran Sungai Deli, yaitu tepatnya di Kampung Badur Kelurahan Hamdan, Kecamatan Medan Maimun. Adapun alasan peneliti untuk meneliti di tempat tersebut, karena masyarakat Kampung Badur cenderung berperilaku membuang sampah ke Sungai Deli yang mengakibatkan banjir sering menghampiri rumah-rumah masyarakat Kampung Badur.

3.3 Unit Analisis dan Informan

Unit analisis adalah satuan tertentu yang diperhitungkan sebagai subjek penelitian (Silalahi, 2009: 250). Adapun yang menjadi unit analisis dalam


(9)

penelitian ini adalah masyarakat Kampung Badur yang bermukim di bantaran Sungai Deli yang cenderung membuang sampah ke sungai.

Informan penelitian adalah subjek yang memahami informasi objek penelitian sebagai pelaku maupun orang lain yang memahami objek penelitian (Bungin, 2007: 76). Adapun yang menjadi informan dalam penelitian ini adalah:

1. Informan kunci, yaitu anggota masyarakat Kampung Badur yang cukup lama berdomisili di daerah bantaran Sungai Deli dan cenderung berperilaku membuang sampah di sungai. Dalam penelitian ini, informan dikhususkan pada sembilan keluarga.

2. Informan biasa, yaitu lembaga yang menaungi masyarakat Kampung Badur di bantaran Sungai Deli yang dapat memberikan informasi secara akurat mengenai masyarakat Kampung Badur di bantaran Sungai Deli yaitu: Kepala Kelurahan Hamdan dan Kepala Lingkungan.

3.4 Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan informasi yang dapat menjelaskan dan menjawab permasalahan-permasalahan yang bersangkutan. Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder, yang dapat digolongkan sebagai berikut:

a) Data Primer, yaitu data yang diperoleh secara langsung dari objek penelitian melalui observasi dan wawancara baik secara partisipatif maupun wawancara secara mendalam, oleh karena itu untuk mendapatkan data primer dalam penelitian ini akan dilakukan dengan cara penelitian lapangan sebagai berikut:


(10)

1. Observasi, yaitu pengamatan secara langsung dengan menggunakan pancaindra mata sebagai alat bantu utama, oleh karena itu observasi merupakan kemampuan seseorang untuk menggunakan pengamatannya melalui hasil dari pancaindra mata, dengan mengamati langsung masalah yang diteliti.

2. Wawancara mendalam, yaitu proses tanya jawab secara langsung ditujukan terhadap informan di lokasi penelitian dengan menggunakan pedoman wawancara atau pun panduan wawancara serta menggunakan alat bantu perekam atau tape recorder jika dibutuhkan untuk memudahkan peneliti mengambil keseluruhan informasi yang diberikan informan.

b) Data Sekunder

Data sekunder, yaitu data yang diperoleh secara tidak langsung dari objek penelitian. Pengumpulan data sekunder dalam penelitian ini dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan dan pencatatan dokumen, yaitu dengan mengumpulkan data dan mengambil informasi dari buku-buku referensi, artikel, majalah, jurnal, internet, maupun media lainnya yang relavan dengan permasalahan yang diteliti.

3.5 Interpretasi Data

Interpretasi data merupakan upaya yang dilakukan dengan jalan memilah dan mengelompokkan data yang telah dikumpulkan dari lapangan melalui pengamatan maupun wawancara, maupun dari studi kepustakaan yang ada. Data tersebut setelah dibaca, dipelajari dan ditelaah maka langkah selanjutnya adalah


(11)

mengadakan reduksi data yang dilakukan dengan cara abstraksi. Abstraksi merupakan usaha membuat rangkuman terperinci, merujuk pada inti masalah dengan menelaah pertanyaan-pertanyaan yang diperlukan sehingga tetap berada dalam fokus penelitian.

Langkah selanjutnya adalah menyusun data-data dalam satuan-satuan itu kemudian dikategorisasikan. Berbagai kategori tersebut dilihat kaitannya satu dengan lainnya dan diinterpretasikan secara kualitatif. Proses analisis dalam penelitian ini telah dimulai sejak awal penulisan proposal, sehingga selesainya penelitian ini yang menjadi ciri khas dari analisis kualitatif.


(12)

3.6 Jadwal Kegiatan

No. Kegiatan Bulan ke-

1 2 3 4 5 6 7 8 9

1. Pra proposal

2. ACC penelitian

3. Penyusunan proposal

4. Seminar proposal

5. Revisi proposal

6. Penelitian lapangan

7. Pengumpulan data dan analisis data

8. Bimbingan skripsi 9. Penulisan laporan akhir 10. Sidang meja hijau

3.7. Keterbatasan Penelitian

Keterbatasan dalam penelitian ini mencakup kemampuan dan pengalaman peneliti dalam melakukan penelitian ilmiah. Dalam penelitian ini peneliti juga terdapat kelemahan dalam melakukan wawancara secara mendalam. Kendala lain yang menjadi keterbatasan dalam penelitian ini adalah keterbatasan waktu penelitian dan keterbatasan pengalaman peneliti yang menyebabkan peneliti mengalami kesulitan dalam melakukan deskripsi data maupun


(13)

observasi. Selain itu referensi yang di dapat dari buku maupun jurnal yang dikuasai peneliti pun terbatas. Meski demikian peneliti berusaha dalam melakukan penelitian ini dengan maksimal agar data yang diperoleh dapat menjawab permasalahan dalam penelitian ini hingga penelitian ini diselesaikan.


(14)

BAB IV

DESKRIPSI DAN INTERPRETASI DATA PENELITIAN

4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian

Penelitian ini berada di wilayah bantaran Sungai Deli di lingkungan X Kampung Badur, Kelurahan Hamdan Kecamatan Medan Maimun dengan Ibukota Medan. Sungai Deli merupakan bagian dari sejarah perkembangan kota Medan. Sungai yang mengalir dan melintasi wilayah Kota Medan sepanjang lebih kurang 35 kilometer dan luas daerah aliran sungai mencapai sekitar 17.000 hektar. Secara singkat Pada zaman dahulu Kota Medan ini dikenal dengan nama Tanah Deli dan keadaan tanahnya berawa-rawa kurang lebih seluas 4000 Ha. Beberapa sungai melintasi Kota Medan ini dan semuanya bermuara ke Selat Malaka. Sungai-sungai itu adalah Sei Deli, Sei Babura, Sei Sikambing, Sei Denai, Sei Putih, Sei Badra, Sei Belawan dan Sei Sulang Saling/Sei Kera.

Pada mulanya yang membuka perkampungan Medan adalah Guru Patimpus lokasinya terletak di Tanah Deli, maka sejak zaman penjajahan orang selalu merangkaikan Medan dengan Deli (Medan–Deli). Setelah zaman kemerdekaan lama kelamaan istilah Medan Deli secara berangsur-angsur lenyap sehingga akhirnya kurang popular. Dahulu orang menamakan Tanah Deli mulai dari Sungai Ular (Deli Serdang) sampai ke Sungai Wampu di Langkat sedangkan Kesultanan Deli yang berkuasa pada waktu itu wilayah kekuasaannya tidak mencakup daerah diantara kedua sungai tersebut.


(15)

penelitian dari Van Hissink tahun 1900 yang dilanjutkan oleh penelitian Vriens tahun 1910 bahwa disamping jenis tanah seperti tadi ada lagi ditemui jenis tanah liat yang spesifik. Tanah liat inilah pada waktu penjajahan Belanda ditempat yang bernama Bakaran Batu (sekarang Medan Tenggara atau Menteng) orang membakar batu bata yang berkwalitas tinggi dan salah satu pabrik batu bata pada

zaman itu adalah Deli Klei

Kota Medan memiliki beberapa kecamatan, salah satu diantaranya adalah Kecamatan Medan Maimun. Di Kecamatan Medan Maimun terdapat bangunan peninggalan sejarah kejayaan Kesultanan Deli masa dahulu yaitu Istana Maimun yang terletak di Kelurahan Sukaraja. Kecamatan Medan Maimun memiliki 6 Kelurahan yaitu: Kelurahan Sukaraja, Kelurahan Aur, Kelurahan Kampung Baru, Kelurahan Sei Mati, Kelurahan Hamdan, dan Kelurahan Jati.

4.2 Gambaran Umum Kelurahan Hamdan 4.2.1 Letak Geografis Kelurahan Hamdan

Profil Kelurahan Hamdan yaitu:

Nama Kelurahan : Hamdan Tahun Pembentukan : 1968 Nomer Kode Pos : 20151

Kecamatan : Medan Maimun

Kabupaten/Kota : Medan


(16)

Tipologi Kelurahan : Jasa dan Perdagangan Luas wilayah : 52,50 Ha

Salah satu diantara 6 Kelurahan di Kecamatan Medan Maimun merupakan lokasi penelitian yang dilakukan oleh peneliti, yaitu Kelurahan Hamdan. Kelurahan Hamdan memiliki luas wilayah mencapai 52,50 Ha. Adapun batas-batas wilayah Kelurahan Hamdan adalah sebagai berikut:

a. Sebelah Utara berbatas dengan Kelurahan Petisah Tengah b. Sebelah Selatan berbatas dengan Kelurahan Jati

c. Sebelah Timur berbatas dengan Kelurahan Sukaraja dan Kelurahan Aur d. Sebelah Barat berbatas dengan Kelurahan Madras Hulu dan Kelurahan Jati

Jarak Kelurahan Hamdan dari Pusat Pemerintahan Kecamatan 100 M. Jarak dari Pusat Pemerintahan Kota 1 Km. Dan jarak Kelurahan Hamdan dari Ibukota Provinsi 0.50 Km.

4.2.2 Keadaan Penduduk

Kelurahan Hamdan dilalui oleh Sungai Deli yang juga digunakan masyarakat yang tinggal di daerah aliran sungai tersebut untuk kebutuhan sehari-hari misalnya untuk mandi, cuci dan kakus. Kelurahan Hamdan merupakan bagian intergal dari pemerintahan kota medan yang wilayah administrasinya meliputi 10 lingkungan, terdiri dari 4 lingkungan pemukiman kumuh dan 6 lingkungan pemukiman yang elite. Dilihat dari data kependudukan, jumlah penduduk Kelurahan Hamdan secara keseluruhan adalah 9.337 jiwa yang terdiri dari 2.245


(17)

penduduk laki-laki. Penduduk Usia 0 – 15 sebanyak 2.025 jiwa, penduduk Usia 15 – 65 sebanyak 5.700 jiwa dan Penduduk Usia 65 ke atas sebanyak 443 jiwa. Jumlah penduduk miskin 325 jiwa, yaitu terdiri dari 175 KK (menurut data BPS).

4.2.3 Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin

Jumlah penduduk Kelurahan Hamdan berdasarkan jenis kelamin yaitu sebagai berikut:

Tabel 4.1

Jumlah Penduduk Kelurahan Hamdan Berdasarkan Jenis Kelamin No. Jenis Kelamin Jumlah

(Orang)

Persentase (%)

1. Laki-laki 4.585 49,10

2. Perempuan 4.752 50,89

Total 9.337 100

Sumber: Data Profil Kelurahan Hamdan Juni 2014

Dari data pada tabel 4.1 memberikan gambaran jumlah penduduk Kelurahan Hamdan lebih banyak jumlah perempuan yang berjumlah 4.752 orang. Sedangkan jumlah penduduk laki-laki berjumlah 4.585 orang.

4.2.4 Jumlah Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian

Adapun jumlah penduduk Kelurahan Hamdan berdasarkan mata pencaharian adalah sebagai berikut:


(18)

Tabel 4.2

Jumlah Penduduk Kelurahan Hamdan Berdasarkan Mata Pencaharian

No. Mata Pencaharian Jumlah (Orang)

Persentase (%)

1. Pegawai negeri sipil ± 600 11,64

2. Karyawan perusahaan swasta ± 3.500 67,94

3. Wiraswasta ± 700 13,58

4. Pertukangan ± 20 0,38

5. Pensiunan ± 300 5,82

6. Pemulung ± 6 0,11

7. Jasa ± 25 0,48

Total 5151 100

Sumber: Data Profil Kelurahan Hamdan Juni 2014

Berdasarkan tabel 4.1 dapat dilihat bahwa mata pencaharian Penduduk Kelurahn Hamdan yang beragam. Mayoritas penduduk Kelurahan Hamdan yang bekerja sebagai karyawan perusahaan swasta yaitu 3.500 orang, dan yang bekerja sebagai wiraswasta sebanyak 700 orang, yang bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil sebanyak 600 orang. Sedangkan sebagian mata pencaharian masyarakatnya yang bekerja di bidang jasa sebanyak 25 orang, pertukangan sebanyak 20 orang, pemulung sebanyak 6 orang dan pensiunan sebanyak 300 orang.


(19)

4.2.5 Jumlah Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan

Jumlah penduduk Kelurahan Hamdan berdasarkan tingkat pendidikan dapat dilihat sebagai berikut:

Tabel 4.3

Jumlah Penduduk Kelurahan Hamdan Berdasarkan Tingkat Pendidikan No. Tingkat Pendidikan

Penduduk

Jumlah Penduduk

F %

1. Lulusan Sekolah Dasar 16 0,34

2. Lulusan SMP (Sekolah

Menengah Pertama)

405 8,67

3. Lulusan SMA/SMU 3.500 74,93

4. Lulusan Akademi (D-1, D-3) 400 8,56

5. Lulusan S1 300 6,42

6. Lulusan S2 50 1,07

Total 4671 100

Sumber: Data Profil Kelurahan Hamdan Juni 2014

Berdasarkan data pada tabel 4.2 memberi gambaran bahwa jumlah penduduk Kelurahan Hamdan yang paling banyak mengecam tingkat pendidikan umum lulusan SMA/SMU sebanyak 3.500 orang. Data ini menggambarkan bahwa rata-rata penduduk Kelurahan Hamdan berpendidikan sampe ke tingkat SMA/SMU. Namun jumlah penduduk yang lulusan di tingkat pendidikan yang


(20)

lebih tinggi sampai S2 ada sekitar 26% dari penduduk lulusan SMA dengan persentase sekitar 74% penduduk.

4.2.6 Jumlah Penduduk Berdasarkan Agama / Kepercayaan

Adapun jumlah penduduk berdasarkan agama dapat dilihat sebagai berikut:

Tabel 4.4

Jumlah Penduduk Kelurahan Hamdan Berdasarkan Agama No Agama

Laki-laki (Orang)

Persentase (%)

Perempuan (Orang)

Persentase (%)

Jumlah Total

F %

1. Islam 2.551 55,63 2.594 54,58 5.145

1 0 0

2. Kristen 809 17,64 839 17,65 1.648

3. Khatolik 560 12,21 593 12,47 1.153

4. Hindu 267 5,82 299 6,29 566

5. Budha 398 8,68 427 8,98 825

Total 4.585 Total 4.752

Sumber: Data Profil Kelurahan Hamdan Juni 2014

Dari data dari tabel 4.4 penduduk Kelurahan Hamdan berdasarkan agama dengan mayoritas agama Islam berjumlah 5.145 orang. Terdiri dari penduduk laki-laki sebanyak 2.551 orang dan perempuan sebanyak 2.594 orang.


(21)

4.2.7 Jumlah Penduduk Berdasarkan Etnis

Adapun jumlah penduduk Kelurahan Hamdan berdasarkan etnis dapat dilihat sebagai berikut:

Tabel 4.5

Jumlah Penduduk Kelurahan Hamdan Berdasarkan Etnis

No Etnis Jumlah

(Orang)

Persentase (%)

1. Minang 3.421 36.63

2. Melayu 1.513 16.20

3. Mandaililing 1.385 14.83

4. Aceh 625 6.69

5. Batak 427 4.57

6 Jawa 1.241 13.29

7. Karo 183 1.95

8. Nias 136 1.45

9. Cina 406 4.34

Total 9.337 100


(22)

Dilihat dari tabel 4.5 dapat dijelaskan bahwa jumlah penduduk Kelurahan Hamdan cukup beragam. Mayoritas adalah etnis minang dengan persentase sebanyak 36.63%.

4.2.8 Jumlah Lembaga Masyarakat Kelurahan Hamdan Lembaga masyarakat di Kelurahan Hamdan terdiri dari: 1. Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) terdiri dari:

Jumlah pengurus : 15 orang Jumlah anggota : 30 orang Jumlah kegiatan per bulan : 3 kegiatan

2. Kegiatan PKK (Pembinaan Kesejahteraan Keluarga) terdiri dari: Jumlah pengurus : 21 orang

Jumlah anggota : 65 orang Jumlah kegiatan per bulan : 3 kegiatan 3. Kegiatan Karang Taruna terdiri dari:

Jumlah karang taruna : 1 buah Jenis karang taruna : Mandiri Jumlah pengurus rata-rata : 15 orang

Lembaga-lembaga yang ada di Kelurahan Hamdan sampai sekarang ini masih aktif dilaksanakan bersama masyarakat Hamdan.


(23)

4.3 Gambaran Masyarakat Lingkungan X Kampung Badur, Kelurahan Hamdan

Lingkungan X Kampung Badur memiliki 217 Kepala Keluarga dengan berbagai macam suku penduduknya diantaranya suku Minang, Mandailing, Batak, Melayu, Jawa, Karo, Aceh. Mayoritas suku masyarakat Kampung Badur adalah suku Minang dan mayoritas beragama Islam. Kondisi sosial dan ekonomi masyarakat Kampung Badur sebagian besar bermata pencaharian berjualan di sektor informal. Kondisi rumah di Kampung Badur terlihat tidak layak untuk ditempati, dengan kondisi rumah yang dibangun dengan material seadanya, jarak rumah yang satu dengan yang lainnya sangat rapat dan dengan kondisi tempat tinggal di bantaran Sungai. Dari kondisi rumah yang dilihat tidak layak untuk dihuni dan terlihat kumuh karena banyak sampah dari perilaku masyarakat Badur yang cenderung membuang sampah tanpa pengelolaan yang tepat. Tetapi masyarakat merasa dengan kondisi tersebut membuat mereka cukup nyaman selama berdomisili dibantaran Sungai Deli tersebut. Dengan kondisi tersebut mereka memilih tetap bertahan tinggal di bantaran sungai yang cenderung berdampak buruk bagi masyarakat itu sendiri dalam jangka panjang. Faktor lain yang menyebabkan masyarakat Kampung Badur memilih tinggal di bantaran sungai, karena faktor ekonomi tidak memadai untuk tinggal di daerah yang lebih baik. Kemiskinan membuat keterbatasan mereka untuk hidup yang lebih baik dari segi tempat tinggal.

Dari aspek pendidikan, anak-anak yang tinggal di Kampung Badur rata-rata mengecam pendidikan dari Sekolah Dasar hingga SMA. Bagi anak yang bersekolah tingakat SD dan SMP rata-rata disekolahkan di sekolah gratis yaitu


(24)

sekolah Negeri yang diprogram Pemerintah. Dari aspek kesehatan, masyarakat Kampung Badur cenderung terkena penyakit diare, gatal-gatal pada kulit, dan TB. Penyakit ini sering muncul karena pola perilaku masyarakat Badur yang kurang peduli terhadap kebersihan lingkungan mereka. Seperti kebiasaan membuang sampah ke sungai setiap hari yang tentu mengakibatkan sungai tercemar dan kotor. Sungai yang sudah tercemar tersebut pada kenyataannya masih dimanfaatkan oleh masyarakat Kampung Badur untuk mandi, cuci, kakus. Sikap masyarakat tersebut mengakibatkan dampak yang berkesinambungan bagi masyarakat itu sendiri. Makna masyarakat Badur yang cenderung menganggap negatif tentang sampah mengakibatkan masyarakat berperilaku semena-mena dengan membuang sampah tidak pada tempatnya.

Kegiatan kebersihan lingkungan seperti gotong-royong juga terkadang dilakukan oleh masyarakat Kampung Badur yang biasanya digerakkan oleh Kepala Lingkungan. Kegiatan gotong-royong untuk membersihkan lingkungan terutama sampah di sungai tidak rutin dilakukan. Yang merasa cukup peduli kebersihan lingkungan adalah beberapa anggota PKK (Pembinaan Kesejahteraan Keluarga). Ada 4 orang warga yang aktif di kegiatan PKK, mereka biasanya yang mengajak warga di lingkungan mereka dalam kegiatan lingkungan maupun kegiatan sosial.


(25)

1. Informan Pertama (Informan Kunci)

Nama : Lidyana

Usia : 54 Tahun

Pekerjaan : Kader PKK

Suku : Batak

Bu Ana adalah salah satu warga yang berdomisili di bantaran Sungai Deli di lingkungan X Kampung Badur. Ia seorang warga Badur yang juga aktif dalam kegiatan ibu-ibu PKK (Pembinaan Kesejahteraan Keluarga). Sudah cukup lama Bu Ana berdomisili di bantaran Sungai Deli sekitar tahun 60-an, dari orang tuanya dahulu dan sekarang setelah orang tuanya meninggal dunia Bu Ana yang menempati rumah tersebut dengan anak dan cucunya. Jadi Bu Ana termasuk warga asli di bantaran Sungai Deli, lingkungan X Kampung Badur yang selama hidupnya sudah melekat dengan Sungai Deli. Secara singkat sejarah Sungai Deli dari keterangan Bu Ana, dahulunya Sungai Deli adalah Sungai yang bersih. Namun dengan perkembangan zaman banyak bangunan-bangunan tinggi, rumah-rumah dan aktivitas manusia yang sudah berperilaku membuang sampah dan pembuangan air seperti limbah ke Sungai Deli menyebabkan air Sungai Deli tercemar dan berubah warna menjadi kecoklatan. Bagi Bu Ana Sungai deli merupakan bagian dari hidupnya, ia sehari-hari masih menggunakan air sungai untuk mencuci, buang air dan mandi.

Makna sampah menurut Bu Ana adalah barang bekas yang sudah tidak bisa dipakai lagi sehingga harus dibuang dan tidak memiliki nilai yang menguntungkan. Sehari-harinya Bu Ana membuang sampah ke Sungai Deli, namun sebelum membuang ke sungai ia mengumpulkan sampah terlebih dahulu


(26)

di sudut rumahnya. Setelah sampah sudah banyak terkumpul di sudut rumahnya, kemudian sampah di buang ke Sungai Deli. Bu Ana mengatakan semua warga Kampung Badur masih berperilaku membuang sampah ke Sungai Deli setiap harinya, dan masih bergantung pada air Sungai Deli untuk mencuci, buang air dan mandi. Bu Ana mengatakan cara membuang sampah di lingkungan mereka dilakukan dengan beberapa cara yaitu:

1. Sampah dikumpulkan oleh masing-masing anggota keluarga di sudut rumah mereka, setelah sampah sudah terkumpul banyak maka sampah di buang ke sungai.

2. Sampah dikumpulkan lalu dibakar di pinggir sungai, namun dalam proses membakar sampah harus menunggu hingga sampah habis dibakar dan apinya padam.

3. Sampah dikumpulkan dan dimasukkan ke dalam karung beras hingga padat, kemudian ditimbun dengan tanah di pinggiran sungai. Lokasi penimbunan sampah ini memang sengaja dialokasikan oleh masyarakat untuk membuang sampah dengan cara ditimbun. Hal ini dilakukan untuk membatasi kemungkinan air Sungai Deli naik saat hujan deras turun yang akan mengenai rumah warga. Selain itu tempat penimbunan sampah tersebut juga sudah menjadi lapangan untuk tempat bermain anak-anak mereka.

Bu Ana merupakan salah satu warga yang aktif dalam kegiatan ibu-ibu PKK dan lingkungan tempat tinggalnya. Ia termasuk salah satu penggerak warga dalam kegiatan-kegiatan lingkungannya. Sehingga Kepala Lingkungan mempercayai dirinya untuk mengajak para warga Kampung Badur aktif dalam


(27)

kegiatan-kegiatan yang ada di lingkungan X. Bu Ana mengatakan warga Kampung Badur cukup kompak dan erat persaudaraannya. Hal ini dilihat dari keiikutsertaan warga dalam kegiatan-kegiatan sosial seperti adanya sumbangan untuk kemalangan dan warga yang sakit, dan kegiatan-kegiatan sosial lainnya. Selain itu Pemerintah Kota juga pernah memberikan “Tong Sampah” untuk warga Kampung Badur, pada saat itu warga cukup antusias dan tertib membuang sampah di “Tong Sampah” tersebut sesuai dengan jenisnya yaitu sampah organik dan sampah anorganik. Namun kesadaran dalam hal membuang sampah itu hanya sesaat saja, setelah “Tong Sampah” tersebut hilang mereka kembali membuang sampah ke sungai. Wujud dari bentuk solidaritas warga Kampung Badur dalam menangani sampah juga pernah disosialisasikan oleh BLH (Badan Lingkungan Hidup) tahun 2013, yaitu dalam kegiatan mengelola sampah-sampah menjadi barang yang bisa bermanfaat dan bernilai. Sampah yang bisa dikreasikan oleh warga Kampung Badur adalah sampah-sampah yang terdiri dari bahan plastik, kertas, kardus, dan kain perca baju. Hasil dari sampah tersebut dapat dikreasikan menjadi tas, tempat tissue, dan pot bunga. Namun kegiatan mengelola sampah tersebut hanya berjalan sebentar saja tidak dilakukan terus-menerus. Hal ini disebabkan karena hasil kreasi dari bahan sampah tersebut tidak tahu mau dipasarkan kemana, sehingga hasil kreasi tersebut hanya dipakai untuk mereka sendiri. Masyarakat Kampung Badur juga tidak bisa mengikuti kegiatan tersebut terus-menerus karena mereka menganggap tidak ada keuntungan dari mengelola sampah seperti itu dan mereka juga banyak kegiatan yang lain yang lebih penting bagi mereka dan bisa menguntungkan bagi mereka. Kelompok-kelompok mahasiswa juga pernah beberapa kali masuk ke Kampung Badur untuk


(28)

mensosialisasikan dan memperdayakan masyarakat dalam hal melestarikan lingkungan, seperti membuat berbagai tanaman dalam pot, dan membuat pupuk. Akan tetapi kegiatan tersebut berjalan hanya selama kelompok mahasiswa berada di lingkungan mereka, setelah itu masyarakat kembali pada rutinitas dan kebiasaan-kebiasaan mereka sehari-hari. Selain itu bentuk perhatian dari Pemerintah yaitu dibuatnya wadah yang berfondasikan dari semen untuk mencuci pakaian di pinggir sungai.

Mengenai bencana banjir di lingkungan X Kampung Badur, Bu Ana mengatakan bahwa banjir sudah menjadi hal biasa baginya, bukan hal yang menakutkan lagi. Menurutnya banjir disebabkan oleh perilaku manusia yang banyak membuang sampah ke Sungai Deli, tidak hanya masyarakat pinggiran sungai tetapi masyarakat luar yang lewat dari jembatan Sungai Deli juga sering membuang sampah ke sungai. Sehingga yang harus bertanggungjawab atas sampah adalah mereka sendiri. Akan tetapi, kesadaran setiap manusia yang paling penting untuk mengatasi masalah sampah tersebut.

2. Profil Informan Kedua Nama : Sri Rahmawani Usia : 40 Tahun Pekerjaan : Pedagang Suku : Mandailing

Bu Sri Rahmawani yang biasa dipanggil Bu Ani ini adalah salah satu warga Kampung Badur yang sudah sekitar 55 tahun tinggal di lingkungan Kampung Badur. Kegiatan Bu Ani sehari-hari adalah berdagang kebutuhan pokok


(29)

di rumahnya. Dalam satu bulan dari hasil dagangannya Ia mendapat penghasilan sebesar Rp 600.000,-. Ia tinggal dengan suami dan anak-anaknya. Menurut Bu Ani sampah adalah segala jenis barang kotor yang tidak berguna dan harus dibuang. Sampah tidak ada bernilai baginya, segala jenis sampah dari hasil kegiatannya sehari-hari dalam kegiatannya berjualan bahan-bahan pokok dan sedikit jajanan, dibuang dengan cara dikumpulkan dalam plastik kemudian dibakar. Cara lain yang dilakukan dalam membuang sampah adalah mengumpulkan segala jenis sampah dan memasukkan sampah ke dalam karung goni kemudian sampah ditimbun dengan tanah yang menjadi fondasi untuk batas air sungai. Akan tetapi Bu Ani mengaku lebih sering membuang sampah ke sungai karena lebih praktis. Bu Ani mengatakan sebenarnya warga Kampung Badur sudah berusaha untuk tidak membuang sampah ke Sungai Deli, mereka terkadang membuang sampah dengan mengumpulkannya terlebih dahulu lalu dibuang ke tempat pembuangan sampah dari Pemko yang terletak di Kampung Aur. Tetapi mereka merasa memiliki kendala karena tidak ada warga yang rutin membawa sampah dari lingkungan mereka dan membuangnya ke tempat pembuangan sampah yang sudah disediakan di Kampung Aur.

Bu Ani mengatakan lingkungan tempat tinggalnya pernah diperdayakan oleh kelompok mahasiswa dengan beberapa kegiatan Pelestarian Lingkungan. Hal itu terjadi hanya sekitar 3 bulan saja, setelah itu para warga tidak melakukan kegiatan itu kembali. Bu Ani juga merasa nyaman tinggal di bantaran Sungai Deli, karena sungai deli bisa dimanfaatkannya untuk mencuci, mandi dan buang air. Akan tetapi pada beberapa tahun belakangan ia sudah mengurangi menggunakan air Sungai Deli karena Bu Ani sudah memiliki air PDAM sendiri dirumahnya.


(30)

Selain itu faktor lain Bu Ani memilih tinggal di bantaran Sungai Deli, karena ia merasa mudah mencari rezeki.

Mengenai banjir dari air Sungai Deli yang Bu Ani alami selama tinggal di bantaran sungai ia merasa banjir itu ada hikmahnya. Karena pada saat banjir besar mengenai rumahnya, maka ia baru akan membersihkan seluruh rumahnya. Baginya banjir itu berkah dan sudah menjadi hal yang biasa, dan pada saat hujan Bu Ani bisa memprediksi volume banjir dari air sungai akan mengenai rumahnya atau tidak. Bu Ani mengatakan cara yang pernah dilakukan oleh warga untuk mengurangi volume banjir yaitu dengan menanam batang bambu di bantaran sungai agar sampah tertampung di batang bambu tersebut dan air banjir tidak terlalu tinggi volumenya. Pada saat banjir menghampiri kurun waktu air surut bisa berjalan anatar 4 sampai 5 jam. Banjir besar yang pernah terjadi menghampiri rumahnya dan rumah warga lainnya yaitu pada tahun 2001. Dari seringnya bencana banjir yang mengenai rumah Bu Ani selama ia tinggal dilingkungan Badur, ia merasa warga Kampung Badur semakin solid karena mereka melewati banjir tersebut dengan sukacita.

Bu Ani mengatakan tercemarnya air sungai dan banyaknya sampah di Sungai Deli bukan hanya karena masyarakat Kampung Badur membuang sampah ke sungai, tetapi banyak masyarakat luar yang membuang sampah ke Sungai Deli setiap harinya. Hal ini cukup membuat marah warga Badur tetapi mereka tidak bisa berbuat apa-apa karena tidak ada sanksi yang tegas bila masyarakat membuang sampah ke Sungai Deli. Menurut Bu Ani kurangnya kesadaran masyarakat terhadap kebersihan lingkungan dan kurangnya pendidikan dan kurangnya iman warga Badur menyebabkan sampah belum teratasi.


(31)

3. Profil Informan Ketiga Nama : Roswati Usia : 60 Tahun

Pekerjaan : Pemulung / Botot Suku : Minang

Bu Roswati adalah salah satu seorang warga Kampung Badur yang sudah tinggal sejak tahun 80-an. Ia bekerja sehari-hari sebagai Pemulung/botot dan suaminya bekerja sebagai tukang becak bermotor. Bu Roswati memiliki 10 orang anak yang semuanya sudah menikah dan tinggal dengan masing-masing keluarga. Bu Roswani hanya tinggal dengan suaminya di Kampung Badur, dan penghasilan mereka cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Menurut Bu Roswati sampah sangat memiliki makna dalam hidupnya, sampah memiliki nilai yang bisa memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Sampah-sampah yang dikumpulkan Bu Roswati adalah sampah plastik, botol kaleng, botol kaca, sarang telur ayam, dan paku. Dalam satu bulan Bu Roswati mengumpulkan sampah-sampah dan barang bekas tersebut kemudian menjualnya ke tempat penampungan barang-barang bekas. Dari hasil pengumpulan sampah dan barang-barang bekas tersebut, Bu Roswati memperoleh uang bersih 1juta per bulan. Bu Roswati biasanya mengumpulkan sampah dan barang bekas yang bisa dijual di lingkungan tempat tinggalnya dan di warkop (warung kopi) elisabeth setiap harinya. Dari hasil pekerjaannya tersebut ia cukup merasa bersyukur karena bisa memenuhi kebutuhannya sehari-hari.


(32)

Sampah yang dibuang Bu Roswati ke Sungai Deli adalah sampah sisa makanan saja. Setiap harinya Bu Roswati masih membuang sampah ke Sungai Deli. Ia juga menggunakan air Sungai Deli sehari-hari untuk mencuci, buang air, dan mandi. Menurutnya, semua warga Kampung Badur masih berperilaku membuang sampah ke sungai, dan sudah menjadi kebiasaan bagi mereka. Bu Roswati merasa sangat nyaman tinggal di Kampung Badur karena cukup mudah baginya untuk mengais rezeki.

4. Profil Informan Keempat Nama : Yulmawati Usia : 44 Tahun

Pekerjaan : Berjualan Sarapan dan Gorengan/Ketua Pokja 3 PKK Suku : Minang

Bu Yulmawati yang sering disebut dengan Bu Yul ini merupakan warga Kampung Badur yang sudah 39 tahun tinggal lamanya. Kegiatannya sehari-hari adalah berjualan sarapan dan gorengan dari pagi sampai siang hari. Bu Yul mengatakan sampah adalah sisa-sisa yang kotor dan tidak bisa dipakai lagi. Biasanya Bu Yul membuang sampah di tempat sampahnya sendiri yang ada dirumahnya dan setelah sampah menumpuk dibuang ke sungai. Ia mengatakan dahulunya kelompok mahasiswa menyumbangkan tempat sampah untuk warga Kampung Badur yang dibagi menjadi sampah organik dan sampah anorganik. Tetapi hal itu berjalan sementara saja, hanya sekitar 3 bulan saja. Seterusnya warga Kampung Badur kembali membuang sampah ke Sungai Deli. Menurutnya, tidak ada yang melarang warga Badur membuang sampah kesungai. Jadi selama


(33)

tidak ada yang melarang, mereka tetap berperilaku membuang sampah ke sungai. Kegiatan gotong royong juga dilakukan oleh masyarakat, tetapi kegiatan itu tidak terus-menurus rutin dilakukan jika ada imbalan masyarakat Badur akan ikut berpartisipasi.

Kegiatan yang pernah dilakukan oleh mahasiswa untuk melestarikan lingkungan di Kampung Badur seperti membuat pupuk, menamam tanaman, itu juga hanya sesaat saja. Karena pada saat hujan deras turun hingga banjir mengenai rumah warga Kampung Badur, tanaman yang dibuat oleh warga habis disapu air. Sehingga masyarakat Kampung Badur tidak bersemangat lagi melakukan kegiatan menanam dan membuat pupuk kembali.

Banjir yang terjadi menurut Bu Yul adalah karena sifat manusia yang tidak peduli pada lingkungan dan kurangnya kesadaran untuk hidup yang lebih baik. Padahal masyarakat Badur masih menggunakan air Sungai Deli. Akan tetapi untuk kegiatan memasak dan minum mereka menggunakan air PDAM yang sudah ada di Badur. Dahulu PDAM hanya ada di dua titik saja, bagi masyarakat yang ingin memakai air PDAM dikenakan biaya sesuai kebutuhan mereka. Biasanya warga Badur membayar sekitar 4.000 hingga 10.000 rupiah. Pembayaran tersebut diserahkan kepada warga yang tinggal dekat dengan PDAM tersebut. Tetapi sekarang sebagian rumah warga sudah ada masing-masing saluran air PDAM.

5. Profil Informan Kelima Nama : Sukarman


(34)

Usia : 52 Tahun Pekerjaan : Penjual Burger Suku : Jawa

Pak Sukarman adalah salah satu warga Kampung Badur yang sudah sejak tahun 1992. Rumah yang ditempatinya saat ini adalah rumah dari peninggalan orang tua istrinya. Kegiatan Pak Sukarman sehari-harinya adalah berdagang menjual burger di daerah jalan Multatuli Medan, mulai dari sore hingga malam hari dengan dibantu istri. Penghasilan dari berjualan burger tersebut bisa membiayai pendidikan tiga orang anaknya hingga ke Perguruan Tinggi.

Makna sampah bagi Pak Sukarman hanya sekedar sampah yang kotor dan bau, dan harus segera dibuang dan tidak ada nilai dari sampah itu. Cara Pak Sukarman dalam mengelola sampah dengan dibuang dan dibakar. Terkadang ia dan istrinya membuang sampah ke tong sampah yang disediakan oleh PTPN IV di depan kantor tersebut. Makna sampah dilihat dari aspek etnis Jawa menurut Pak Sukarman tidak ada, karena ia tidak mempercayai mitos-mitos yang tidak dapat dipercayai kebenarannya. Ia lebih percaya pada landasan agama Islam yang mengajarkan perilaku bersih dengan slogan “Kebersihan adalah Sebagian dari Iman”.

Menurutnya yang setiap hari masyarakat Badur membuang sampah ke sungai saja. Cara seperti itu dianggap praktis bagi masyarakat. Dan warga yang cenderung membuang sampah ke sungai adalah kaum perempuan, karena perempuan memiliki aktifitas rumah tangga setiap harinya yang menghasilkan sampah lebih banyak. Dalam interaksinya dengan warga yang lain Pak Sukarman dan istrinya sering kali mengingatkan masyarakat yang lebih semena-mena dalam


(35)

membuang sampah. Dan tak jarang juga mengingatkan untuk bergotong-royong membersihkan sampah di lingkungan tempat tinggalnya. Tetapi respon warga yang lain hanya menganggap himbauan itu sebagai hal yang tidak penting. Masing-masing masyarakat merasa memiliki hak terhadap sampah baik dengan membuang terus-menerus di sungai maupun dibuang dengan secara tepat di tempat sampah yang sudah disediakan.

Beberapa bentuk kegiatan dari Pemerintah dan mahasiswa yang pernah memperdayakan masyarakat untuk mengelola sampah dengan baik juga tidak berlangsung lama. Menurut Pak Sukarman masyarakat Badur akan ikut serta dalam suatu kegiatan jika ada imbalan yang diberikan. Tidak ada kesadaran yang murni dari masyarakat untuk membersihkan lingkungan. Bahkan pembuangan sampah yang dilakukan dari Kelurahan Hamdan dengan menggunakan jasa angkut sampah dan dikenakan iuran Rp.1000,- per keluarga, kebanyakan masyarakat keberatan dengan hal itu. Jadi menurut Pak Sukarman, kebersihan lingkungan dapat tercipta dari kesadaran manusia itu sendiri.

6. Profil Informan Keenam Nama : Etri Yantika Usia : 23 Tahun

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga Suku : Karo

Menurut Etri sampah adalah sisa-sisa hasil rumah tangga yang kotor dan bau, tidak ada gunanya sama sekali. Setiap hari Etri membuang sampah ke Sungai Deli, dan terkadang juga sampah dibakar. Namun ada makna sampah yang


(36)

dianggap sebagai kepercayaan sukunya dari nenek moyang terdahulu. Di kampung halaman Etri yang berada di Sidimpuan, sebagian besar keluarganya memaknai sampah yang ada pada malam hari tidak boleh disapu kehalaman depan rumah, karena dipercaya dapat menjauhkan rezeki. Sampah juga dibakar dan hasil dari pembakaran itu dibawa ke ladang untuk dijadikan pupuk. Nilai-nilai seperti itu hanya berlaku pada saat Etri di Kampung Halaman. Dan tidak diterapkannya selama ia tinggal di Kampung Badur.

7. Profil Informan Ketujuh Nama : Nurmala Usia : 49 Tahun

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga Suku : Aceh

Bu Nurmala merupakan penduduk Kampung Badur yang sudah lama menetap hingga saat ini. Sampah menurutnya adalah bahan yang tidak dapat dipergunakan lagi sehingga harus dibuang saja. Bu Nurmala membuang sampah biasanya ke sungai dan terkadang di tempat sampah di depan kantor PTPN IV. Ia juga menyediakan tong sampah di depan halaman rumahnya. Perilaku membuang sampah ke sungai menurutnya membuat sungai semakin tercemar, tetapi perilaku masyarakat Badur yang cenderung seenaknya membuang sampah ke sungai sudah menjadi kebiasaan yang sulit dirubah. Tergantung kesadaran masyarakat terhadap kebersihan lingkungan.

Dari aspek suku Aceh ada nilai yang masih dipercayai Bu Nurmala dalam hal kebersihan. Hal ini diterapkan dari neneknya terdahulu yang disiplin mengenai


(37)

kebersihan lingkungan. Pada saat malam hari tidak boleh menyapu rumah hanya boleh sampah dikumpulkan saja. Jika ingin mempersihkan puing-puing debu atau sampah yang kecil hanya boleh di bersihkan dengan kain saja. Hal ini dianggap untuk menghormati leluhur dahulu di kampung halamnnya di Aceh dengan tidak menyapu di malam hari. Kepercayaan itu masih diterapkan oleh Bu Nurmala hingga saat ini.

8. Profil Informan Kedelapan Nama : Abdul Karim Usia : 57 Tahun Pekerjaan : Bilal Suku : Melayu

Pak Karim salah satu warga Badur yang juga tinggal di bantaran sungai tepatnya di belakang Musholla. Ia juga pengurus musholla tersebut. Menurut Pak Karim sampah adalah hasil dari sisa-sisa makanan yang tidak sifatnya dapat membuat kotor lingkungan. Tetapi jika sampah dikelola dengan baik dengan pembuangan sampah yang tepat maka tidak ada lingkungan yang kotor. Tetapi karena manusia yang kurang kesadarannya terhadap sampah di lingkungannya, membuat lingkungan terlihat kumuh dan kotor juga menimbulkan bau yang menyengat yang mengakibatkan berbagai penyakit muncul.

Dari segi Etnis Ia mengatakan tidak ada nilai atau mitos yang dapat dipercaya. Karena itu lahir dari pemikiran manusia yang tidak jelas kebenarannya. Etnis Melayu biasanya lebih indentik dengan kepercayaan Islan sesuai dengan hadist yang ada. Dari agama Islam mengajarkan umat untuk hidup bersih dan


(38)

menjaga alam atau lingkungan dengan baik. Seperti yang selalu diingatkan dengan slogan “Kebersihan adalah Sebagian Daripada Iman” yang dapat diteladani dari perilaku manusia terhadap kebersihan lingkungan. Tetapi menurutnya masyarakat Kampung Badur sangat rendah kesadarannya dalam mengatasi sampah. Sampah-sampah yang ada disekitar rumah adalah cermin dari perilaku manusia yang rendah imannya. Jika manusia memiliki fondasi iman yang kuat, maka masalah sampah yang ada di Kampung Badur tersebut akan teratasi dari cara mengelola sampah yang baik, paling tidak dengan membuang sampah tepat ke tempat sampah yang sudah disediakan.

9. Profil Informan Kesembilan Nama : Evlin Tobing Usia : 29 Tahun

Pekerjaan : Penjual Minuman Tuak Suku : Batak

Agama : Kristen

Evlin juga salah satu warga Kampung Badur yang sudah 20 tahun tinggal di Badur. Makna sampah menurut Evlin adalah bahan yang dapat membuat kotor dan mengakibatkan bau, sehingga harus segera dibuang. Cara Evlin mengatasi sampah dengan dibuang ke sungai dan dibakar.

Menurut Evlin sampah dilihat dari segi agama Kristen tidak ada ajaran khusus mengenai kebersihan. Menurutnya kesadaran dari manusianya sendiri yang dapat mengatasi sampah. Dari perilaku masyarakatnya merupakan cermin dari iman seseorang.


(39)

Profil Informan Biasa

1. Informan Kepala Lingkungan Nama : Emi Anita Usia : 47 Tahun

Pekerjaan : Kepala Lingkungan X Kampung Badur Suku : Minang

Bu Emi adalah Kepala Lingkungan X Kelurahan Hamdan. Termasuk menaungi masyarakat Kampung Badur. Bu Emi menjabat sebagai Kepala Lingkungan X masih berjalan selama 4 bulan, ia menggantikan Alm.Suaminya yang sudah meninggal. Kampung Badur memiliki 217 Kepala Keluarga. Menurut Bu Emi, warga Kampung Badur kurang peduli terhadap sampah. Dilihat dari pola kehidupan masyarakatnya yang sudah terbiasa dengan lingkungan yang kotor dan bau akibat dari masyarakatnya sendiri yang berperilaku semena-mena terhadap sampah. Cara masyarakat mengatasi sampah adalah dengan dibakar, ditanam atau ditimbun dan dibuang ke Sungai Deli setiap harinya, tanpa terkadang memikirkan dampak dari perilaku mereka tersebut. Kesadaran akan bersihnya lingkungan serta hidup yang sehat kurang diperhatikan oleh warga Kampung Badur. Padahal para warga masih menggunakan air sungai untuk mandi, cuci, kakus setiap harinya. Sering kali Bu Emi memantau ke Kampung Badur untuk melihat kondisi sampah dan mengingatkan masyarakat Badur untuk membersihkan sampah dan membuang sampah ketempat pembuangan sampah yang tersedia di Kampung Aur. Akan tetapi masyarakat tetap membuang sampah dengan kebiasaan mereka membuang ke sungai. Gotong-royong juga dilakukan dari kelurahan, namun belum berjalan secara rutin.


(40)

Status kepemilikan tanah Kampung Badur adalah Milik Pemerintah. Kampung Badur merupakan jalur hijau yang seharusnya dibuat sebagai taman. Namun karena Pemerintah belum menjadikan Kampung Badur tersebut menjadi taman, warga mendirikan rumah di bantaran Sungai Deli tersebut dan menopang hidup untuk mencari rezeki di sekitar kota tersebut. Akan tetapi, tidak ada satu orang warga pun yang mempunyai hak atas Tanah tersebut. Mereka hanya memiliki hak atas tempat tinggal dari rumah yang mereka bangun. Beberapa kali Pemerintah sempat ingin berencana menggusur rumah-rumah warga dengan mengganti biaya rumah yang sudah mereka bangun di bantaran Sungai Deli itu. Karena biaya yang akan diganti Pemerintah itu tidak sesuai dengan masyarakat Kampung Badur, sehingga sampai saat ini mereka tetap mempertahankan daerah mereka sebagai tempat tinggal yang sudah nyaman bagi mereka.

Bu Emi mengatakan warga Kampung Badur cukup erat solidaritasnya. Menurutnya hal ini karena warga sering mengalami kondisi banjir bersama-sama, sehingga terlihat dalam bentuk kegiatan sosial untuk menolong sesama warga yang sedang mengalami musibah atau kesulitan. Namun dalam hal membuang sampah para warga kurang memiliki kesadaran untuk menciptakan kebersihan lingkungan yang lebih baik. Akibat dari dampak pembuangan sampah ke sungai menimbulkan beberapa penyakit yang sering dialami warga yaitu, diare, TB, dan gatal-gatal pada kulit. Tetapi masyarakat Kampung Badur menganggapi ini sebagai hal yang biasa dan tidak khawatir karena berobat dengan menggunakan Jamkesmas.

Menurut Bu Emi masalah sampah di Kampung Badur khususnya Sungai Deli sudah pernah mendapat perhatian dari Pemerintah Kota, namun bentuk


(41)

perhatian itu hanya sekedar memberikan “tempat sampah” dari Pemko. Bentuk bantuan dari PNPM yaitu membuat tempat untuk mencuci di bantaran sungai sehingga warga lebih mudah untuk mencuci. Selain dari Pemko dan PNPM, beberapa kelompok mahasiswa juga pernah mensosialisasikan dan mengajak masyarakat Kampung Badur untuk melakukan kegiatan kebersihan lingkungan. Bentuk kegiatan tersebut berupa gotong-royong membersihkan sampah di sekitar rumah-rumah warga dan juga di pinggiran sungai. Selain itu mahasiswa juga mengajak warga untuk mengelola sampah dengan mendaur ulang sampah dan menciptakan sampah tersebut menjadi sebuah karya dari tangan yang memiliki nilai dan bisa digunakan oleh masyarakat ataupun dijual. Karena masyarakat merasa keahliannya untuk mengkreasikan sampah sangat minim, sehingga kegiatan itu berlangsung hanya pada saat mahasiswa memperdayakan warga Kampung Badur. Pada kenyataanya sampai pada saat ini masyarakat Kampung Badur masih tetap membuang sampah ke Sungai Deli, namun masyarakat berusaha mengurangi pembuangan sampah ke sungai dengan cara membakar, menimbun sampah di tempat yang sudah mereka alokasikan, dan membuat batasan sampah di tanah bantaran sungai dengan mendirikan bambu-bambu untuk menahan sampah agar tidak mengalir ke sungai. Menurut warga Kampung Badur cara-cara tersebut mengurangi volume sampah yang mencemari sungai.

2. Informan Kepala Kelurahan Hamdan Nama : H. Fadlin, BA

Usia : 55 Tahun


(42)

Suku : Mandailing

Pak Fadlin adalah Kepala Kelurahan Hamdan, Kecamatan Medan Maimun yang mencakupi 10 lingkungan salah satunya adalah lingkungan X Kampung Badur. Menurut Pak Fadlin masyarakat Kampung Badur termasuk masyarakat kriteria Kumuh dilihat dari aspek pemukiman. Pola pikir masyarakat Badur juga masih primitif dan cenderung “manja” artinya dengan kondisi tempat tinggal yang sering dihampiri oleh bencana banjir masyarakat menganggap kondisi seperti itu sebagai hal yang biasa, karena pada saat banjir bantuan dari berbagai aspek Pemerintah selalu dialokasikan untuk mereka. Bencana banjir adalah dampak dari perilaku masyarakat yang tinggal di bantaran sungai yang berperilaku membuang sampah ke sungai tanpa memikirkan dampak yang terjadi dari perilaku tersebut. Sampah yang dibuang ke sungai mengakibatkan air sungai menjadi keruh, bau dan tidak layak dimanfaatkan. Akan tetapi air Sungai Deli masih dimanfaatkan oleh masyarakat Kampung Badur untuk mandi, cuci, kakus. Keadaan seperti itu akan berdampak buruk bagi masyarakat jika tidak diminimalisir dari perilaku masyarakat itu sendiri.

Menurut Pak Fadlin masyarakat Badur sudah sering disosialisasikan mengenai cara membuang sampah yang tepat oleh Pemko, Kelurahan dan Lembaga yang sudah pernah mendatangi Kampung Badur. Dari kelurahan selalu ada kegiatan gotong-royong untuk kebersihan lingkungan termasuk membersihkan sampah di sungai. Akan tetapi masyarakat Badur tidak memiliki kepekaan atau kesadaran terhadap membuang sampah yang baik, sehingga mereka terus menerus membuang sampah ke sungai. Kegiatan mendaur ulang sampah juga pernah disosialisasikan oleh kelompok PKK, tetapi tidak berlangsung lama


(43)

karena keahlian masyarakat yang minim untuk mengelola sampah menjadi kreasi yang bernilai ekonomis dan dapat dimanfaatkan.

Melihat kondisi pemukiman Kampung Badur yang terlihat kumuh dan tidak layak untuk dihuni, berbagai Lembaga dan Pemerintah Kota juga sering mensosialisasikan mengenai bahaya tinggal di bantaran sungai. Respon masyarakat dari sosialisasi tersebut juga tidak mengubah pola pikir masyarakat untuk pindah dari tempat tinggal tersebut ke daerah yang lebih aman dan nyaman untuk dihuni. Masyarakat Kampung Badur tetap memilih tinggal di bantaran Sungai Deli karena mereka merasa mudah dalam mencari rezeki di daerah perkotaan.

4.5Makna Sampah Bagi Masyarakat Kampung Badur di Bantaran Sungai Deli

Bagi masyarakat Kampung Badur di Bantaran Sungai Deli sampah adalah material atau sisa-sisa barang yang tidak dipakai, kotor, serta dapat menimbulkan bau yang dapat mengganggu indera penciuman mereka. Hampir semua masyarakat Kampung Badur melihat sebagai material yang tidak bernilai, sehingga sampah harus dibuang dengan cara yang sudah biasa dianggap praktis mereka lakukan yaitu membuang sampah ke Sungai Deli. Kaum perempuan yang lebih banyak membuang sampah ke sungai dari hasil aktifitas rumah tangga sehari-hari. Sedangkan kaum laki-laki hanya membuang sampah yang sering dikonsumsi seperti sampah bungkus rokok.

Salah satu keluarga di Kampung Badur yang bekerja sebagai Pemulung menganggap sampah adalah material yang berharga, yang memiliki nilai


(44)

ekonomis. Sampah-sampah dari hasil aktifitas warga Badur sehari-hari bagi keluarga Pemulung ini dikumpulkan selama satu bulan kemudian dijual ke tempat penampungan barang bekas/botot. Hasil dari penjualan sampah dan barang bekas yang sebagian dibersihkan itu cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga Pemulung tersebut sehari-hari. Tidak hanya mengumpulkan sampah dan barang bekas di lingkungan tempat tinggalnya, keluarga Pemulung tersebut juga mengumpulkan sampah dan barang bekas di daerah warkop Elisabeth setiap harinya. Berikut wawancara dengan Ibu Pemulung memaknai sampah:

“Kalau warga disini merasa sampah gak ada nilainya, bagi Ibu sampah sangat bernilai. Dari sampahlah ibu bisa makan dan cukup lah untuk kebutuhan sehari-hari. Setiap hari Ibu mengumpulkan sampah-sampah yang bisa dijual, nanti sebulan sekali Ibu jual ke penampungan barang bekas. Ya.. hasilnya lumayan lah, biasanya Ibu dapat 1juta. Kalau sampah yang gak bisa dijual dan dibuang ke sungai hanya sampah daun dan sisa makanan aja.” (Roswati, 60)

Disisi lain, makna sampah bagi kriteria keluarga Pedagang dari hasil wawancara dapat dilihat sebagai berikut:

“Sampah menurut Ibu barang kotor, bau seperti dari sisa-sisa jualan Ibu yang tidak berguna lagi jadi harus dibuang. Kalau bagi Ibu sampah ya gak ada nilainya lah, namanya sampah pasti kotor, bau, mau diapain lagi ya langsung dibuang aja.” (Ani, 40) Dan berikut wawancara dengan warga yang berjualan makanan ringan:

“Ibu menganggap sampah itu ya.. kayak sampah plastik, daun-daun, dan sisa makanan yang tidak berguna dan harus dibuang. Sampah dari jualan Ibu ya banyak yang berjenis plastik dan memang sampah bisa menjadi berguna kalau diolah, tapi warga disini gak ada keahliannya mendaur ulang sampah gitu.” (Tiur, 47)

Dari hasil wawancara dengan warga Kampung Badur yang kriteria keluarga Pedagang, dapat disimpulkan bahwa keduanya memaknai sampah


(45)

sebagai jenis barang yang sudah tidak dapat digunakan lagi dan tidak memiliki nilai sama sekali. Terutama dalam kegiatan sehari-harinya berjualan, tentu volume sampah yang dihasilkan sehari-harinya lebih banyak. Namun salah satu diantaranya mengaku bahwa sampah bisa diolah menjadi barang yang bernilai, akan tetapi karena minimnya keterampilan untuk mengolah sampah menjadi hasil yang bisa bernilai menjadikan sampah tetap dimaknai sebagai material yang tidak berguna.

Wawancara dengan informan lainnya, yaitu dengan kriteria keluarga yang aktif dalam kegiatan PKK (Pembinaan Kesejahteraan Keluarga). Dapat dilihat bagaimana makna sampah bagi mereka sebagai berikut:

“Kalau bagi Saya sampah tidak bernilai, bisa jadi bernilai kalau sampah didaur ulang jadi barang yang bisa dipakai. Sempat diajarkan sama BLH dan mahasiswa waktu itu, tapi karena saya dan yang lain gak ada keahlian, jadi gak diteruskan. Gak tau juga mau dijual kemana, jadi hasil dari daur ulang waktu itu kami pake sendiri aja. Memang dari sampah daur ulang itu bisa mengajarkan sama kami, dan bermanfaat juga lah untuk mengurangi sampah yang dibuang ke sungai. Tapi karena masyarakat disini berpikir kalau sampah daur ulang itu susah untuk dijual jadi gak diteruskan lagi.” (Ana, 54)

Informan ibu anggota PKK lainnya mengungkapkan sebagai berikut: “Kalau Ibu sampah itu ya... sisa-sisa yang kotor dan tidak bisa dipakai lagi. Pernah mahasiswa ngajari kami buat kreasi dari sampah, tapi sebentar aja. Pernah juga membuat pupuk, menanam sayuran seperti kangkung dalam pot. Hasilnya memang bisa dimanfaatkan untuk kami, tapi selanjutnya kami buat seperti itu lagi hanyut disapu sama banjir, jadi kami gak buat lagi tanaman-tanaman itu disini. Kami kan juga ada kegiatan lain.” (Yul, 44)

Dari hasil pernyataan kedua informan, keduanya sama-sama memaknai sampah sebagai barang yang tidak bisa dipakai lagi dan harus dibuang. Mereka juga menyatakan sampah bisa bernilai jika sampah itu diolah menjadi material yang bisa dimanfaatkan. Sampah bisa bermakna kalau ada yang memperdayakan


(46)

mereka, karena jika mereka dibantu dalam kegiatan mengelola sampah di lingkungannya, mereka akan ikut serta dalam kegiatan tersebut. Dapat disimpulkan bahwa masyarakat akan melakukan tindakan jika diperdayakan oleh lembaga atau pemerintah. Bukan karena kesadaran mereka untuk mengatasi masalah sampah di lingkungan mereka sendiri.

Berikutnya wawancara mengenai makna sampah dengan informan kriteria Ibu Rumah Tangga:

“Menurut saya sampah itu barang yang tidak berguna lagi, jadi dibuang lah kalau sampah udah menumpuk. Saya setiap hari buang sampah ke sungai aja, karena biar praktis, setelah dibuang ke sungai kan sampah mengalir dibawa air gak nampak lagi. Memang pernah disediakan “tong sampah”, ya.. dampaknya lumayan juga untuk mengurangi banjir, tapi karena masyarakat disini semua buang sampah ke sungai, jadi balik lagi kebiasaan buang sampah ke sungai. Banjir udah menjadi hal yang biasa buat kami yang tinggal disini.” (Ade, 30)

”Sampah itu bagi saya seperti kotoran yang menyebabkan bau tidak sedap dan harus dibuang. Setiap hari saya buang sampah ke sungai, semua warga disini buang sampah kesungai. Memang udah seperti itu kebiasaan warga disini.” (Armiyati, 40)

Dari wawancara informan kriteria Ibu Rumah Tangga, makna sampah bagi kedua informan juga sebagai material yang tidak ada gunanya dan tidak bisa dimanfaatkan lagi, yang merupakan hasil dari sisa-sisa kegiatan rumah tangga sehari-hari. Kehadiran sampah dari hasil kegiatan sehari-hari sangat mengganggu bagi mereka, karena bersifat kotor dan terkadang juga menimbulkan bau tidak sedap. Sehingga sampah-sampah yang ada setiap hari akan dikumpulkan mereka dan dengan cara yang mudah sampah dibuang ke sungai.

Makna dan perilaku masyarakat Kampung Badur terhadap sampah dengan tidak memikirkan keselamatan lingkungan mencerminkan minimnya kesadaran masyarakat dan tidak menghargai alam yang memberikan manfaat bagi


(47)

masyarakat sekitarnya. Dari perilaku masyarakat terhadap sampah yang semena-mena membuang ke sungai, menjadi tanggung jawab masyarakat itu sendiri juga Pemerintah lingkungan setempat seperti Kepala Lingkungan dan Kepala Kelurahan yang harus menyadarkan masyarakat untuk tidak membuang sampah ke Sungai Deli dan menjelaskan dampak yang timbul akibat perilaku masyarakat itu sendiri.

Makna sampah dilihat dari aspek Kepercayaan bagi umat Islam terdapat dalam slogan “Kebersihan adalah Sebagian Dari pada Iman”. Jika manusia memiliki fondasi iman yang kuat, maka kesadaran akan lingkungan yang bersih akan tercipta. Berikut hasil wawancara informan yang mengungkapkan:

“Dari agama Islam diajarkan untuk hidup bersih dan menghargai lingkungan dengan menjaga dari berbagai perilaku yang dapat merusak lingkungan. Saya rasa semua agama juga mengajarkan untuk menjaga kebersihan lingkunga. Hanya saja bagaimana kesadaran manusia itu sendiri dalam mengatasi masalah sampah di lingkunganya. Tentu saja fondasi dari kesadaran itu sendiri beradasarkan dari iman manusianya. Kesadaran manusia dalam kegiatan bergotong-royong juga dapat menyadarkan manusia lainnya. Tetapi karena masyarakat Badur rendah kesadarannya, maka masalah sampah tidak akan teratasi.” (Karim, 57)

Sedangkan informan yang beragama Kristen menyatakan:

“kalau di agama saya tidak ada ajaran untuk kebersihan, tergantung imannya sama kesadarannya aja. Dengan slogan ‘kebersihan sebagian dari pada iman’ itu saya rasa sudah berlaku untuk umum. Tergantung manusianya saja kalau ingin hidup bersih pasti lingkungannya juga bersih.” (Evlin, 29)

Berikut wawancara mengenai makna sampah dari dilihat dari segi suku: “Dari suku Aceh, saya masih mempercayai nilai-nilai kebersihan yang diajarkan dari nenek saya seperti ‘jangan menyapu malam hari dan jangan buang sampah, sampah dikumpulkan pada malam hari hingga besok pagi baru


(48)

dibuang’. Saya masih percaya dengan nilai-nilai itu yang katanya tidak baik kalau membuang sampah malam hari.” (Nurmala, 49)

Tanggapan Kepala Lingkungan dan Kepala Kelurahan melihat masyarakat Kampung Badur dalam memaknai sampah dan cermin perilaku masyarakat dapat dilihat dari penjelasan sebagai berikut:

“Saya lihat masyarakat Badur memaknai sampah hanya sebatas sampah yang tidak berguna dan tidak ada nilainya sama sekali. Terlihat dari perilaku mereka yang kurang peduli terhadap sampah. Saya sering meninjau ke Kampung Badur dan sering mengingatkan masyarakat untuk selalu tertib membuang sampah ke tempat pembuangan sampah yang sudah disediakan Pemko di Kampung Aur, bukan ke Sungai Deli. Tetapi masyrakatnya terkadang sulit disadarkan dalam mengatasi sampah. Kegiatan gotong-royong juga terkadang dilakukan dari Kelurahan, meskipun belum rutin jadwalnya. Tetapi masyarakatnya hanya bergerak kegiatan kebersihan lingkungan kalau digerakkan, kalau dengan kesadaran sendiri itu sangat minim. Padahal masyarakat masih memanfaatkan sungai untuk mandi, mencuci, dan buang air. Melihat kondisi mereka sangat miris rasanya, tetapi yang bisa merubah lingkungannya tetap dari kesadaran diri mereka sendiri. Padahal mereka juga sudah pernah diperdayakan oleh mahasiswa dalam mendaur ulang sampah dan membuat pupuk, namun tidak berlanjut lagi. Dari lingkungan kotor dan bau seperti itu tak jarang masyarakat terkena penyakit seperti TB, diare, dan gatal-gatal pada kulit. Sudah seperti itu pun mereka tetap berperilaku segaimana biasanya. Mereka sudah melekat dengan kondisi lingkungan yang seperti itu.” (Emi, 47)

Kemudian Kepala Kelurahan juga mengungkapkan pendapatnya mengenai masyarakat Kampung Badur dalam memaknai dan berperilaku terhadap sampah:

“Menurut saya masyarakat Kampung Badur memaknai sampah itu hanya kumpulan material yang sama sekali tidak berguna, sehingga semena-mena sampah dibuang ke Sungai Deli. Kegiatan mendaur-ulang sampah oleh ibu-ubu PKK juga pernah dilakukan, tetapi tidak berlangsung lama, kemauan masyarakatnya dan kesadaran masyarakat terhadap sampah itu sangat minim, masyarakat cenderung tidak bergerak untuk mengurangi sampah di sungai. Dalam hal ini Pemerintah Kota


(49)

juga sudah sering mensosialisasikan mengenai kebersihan lingkungan sekaligus menyadarkan masyarakat untuk berperilaku yang bersih untuk kebaikan masyarakat sendiri. Pemerintah juga mengingatkan bahaya yang akan terjadi jika masyarakat tinggal dengan jangka panjang di bantaran Sungai Deli. Tetapi masyarakat merasa egois dan tidak berpikir untuk jangka panjang resiko mereka tinggal daerah yang kumuh seperti itu. Lingkungan kumuh itu tercermin dari perilaku masyrakatnya yang minim akan kesadaran untuk menciptakan lingkungan yang bersih. Tempat sampah yang sudah disediakan juga hanya bersifat sementara di lingkungan tersebut, tetap saja mereka membuang sampah ke sungai semaunya. Gotong-royong juga tetap berjalan, tetapi tetap masyarakatnya susah diatur. Masyarakat juga manja dengan bantuan yang sering diberi oleh Pemerintah, dan dari PTPN IV yang sering memberikan dana dan sembako untuk masyarakat Kampung Badur, sehingga masyarakat selalu bergantung dengan bantuan yang selalu diberi Pemerintah jika banjir menghampiri rumah mereka. Jadi intinya lingkungan yang bersih dari sampah dan tidak membuang sampah ke sungai itu harus dari kesadaran manusianya sendiri. Saya merasa miris melihat kondisi seperti itu.” (Fadlin, 55)

Dapat diberi kesimpulkan dari hasil wawancara dengan Kepala lingkungan dan Kepala Kelurahan menggambarkan masyarakat Kampung Badur dalam memaknai sampah sama sekali material yang tidak memiliki arti sehingga masyarakat berperilaku membuang sampah ke Sungai deli. Minimnya kesadaran masyarakat terhadap kebersihan lingkungan membuat masyarakat bertindak semena-mena terhadap sampah, tanpa berpikir sampah akan memiliki nilai dengan cara mendaur-ulang menjadi benda yang bisa dimanfaatkan dan bernilai ekonomis. Seperti yang sudah dilakukan oleh masyarakat yang diperdayakan oleh Badan Lingkungan Hidup dan mahasiswa. Masyarakat Kampung Badur harus selalu diingatkan untuk membuang sampah pada tempat yang telah disediakan dan harus terus diperdayakan untuk mengubah pola pikir mereka terhadap sampah dan menjadi masyarakat yang sadar untuk melestarikan lingkungan sekitarnya.


(50)

Dari keseluruhan wawancara terhadap informan yaitu: Pemulung, Pedagang, Ibu Rumah Tangga, Ibu-ibu PKK aktif lingkungan. Dan informan biasa yang menaungi masyarakat Kampung Badur seperti Kepala Lingkungan dan Kepala Kelurahan, maka dapat diberi kesimpulan bahwa hanya bagi keluarga Pemulung saja sampah memiliki makna yang bernilai ekonomis. Bagi tiga keluarga lainnya masing-masing menanggap sampah sebagai material yang tidak bernilai dan harus dimusnahkan dengan cenderung dibuang ke sungai. Membuang sampah ke sungai dianggap sebagai cara praktis untuk menangani sampah dari lingkungan mereka. Dengan makna yang demikian tercermin masyarakat Kampung Badur yang kurang peduli dengan kondisi lingkungan yang lebih bersih dan nyaman. Selain itu dampak banjir yang terjadi akibat perilaku masyarakat yang tidak henti membuang sampah ke sungai, dimaknai masyarakat Kampung Badur sebagai anugerah yang tetap disyukuri. Seringnya bencana banjir yang menghampiri rumah-rumah masyarakat membuat masyarakat terbiasa dengan kondisi seperti itu, selain itu masyarakat juga merasa bencana banjir yang sudah pernah menghampiri rumah mereka membuat masyarakat semakin erat tali persaudaraannya. Mereka bahkan tidak menganggap banjir sebagai kondisi yang membahayakan.

Perilaku membuang sampah ke sungai ternyata tidak hanya dilakukan oleh masyarakat Kampung Badur. Masyarakat Badur merasa sudah sedikit mengurangi volume sampah di Sungai Deli dengan menimbun sampah di tanah yang sudah mereka alokasikan. Masyarakat luar yang melintasi jembatan Sungai Deli ternyata setiap harinya membuang sampah ke sungai dengan berbagai jenis sampah. Bahkan pada kenyataannya yang membuang sampah ke Sungai Deli tersebut


(51)

adalah masyarakat kaya yang tinggal di daerah elite perkotaan. Artinya, minimnya kesadaran untuk tidak membuang sampah ke Sungai Deli tidak hanya tercermin pada masyarakat yang tinggal di pemukiman kumuh saja, dengan pengetahuan dan pendidikan yang rendah. Tetapi kesadaran untuk tidak membuang sampah ke Sungai Deli juga berlaku pada masyarakat elite yang sering membuang sampah ke Sungai Deli. Dengan demikian dapat diberi kesimpulan bahwa pendidikan yang tinggi dan materi yang berlimpah juga menjamin perilaku masyarakat yang peduli lingkungan. Hal ini semakin membuat masyarakat merasa sama dengan masyarakat lain yang memiliki kebiasaan membuang sampah di Sungai Deli. Keterbatasan masyarakat Badur untuk melarang masyarakat luar membuang sampah ke Sungai Deli dan kesadaran masyarakat itu sendiri membuat kondisi sampah di sungai semakin bertambah. Dan semakin sulit untuk mengatasi masalah sampah di Sungai Deli.

4.6 Cara Pengelolaan Sampah Masyarakat Kampung Badur di Bantaran Sungai Deli

Masyarakat Kampung Badur dalam mengatasi sampah dari lingkungannya tidak hanya membuang sampah ke Sungai Deli. Ada beberapa cara pengelolaan sampah yang dilakukan oleh masyarakat Kampung Badur dapat dilihat dari penjelasan masyarakat sebagai berikut:

“Kalau saya sampah yang ada setiap hari dikumpulkan dulu disudut rumah, baru dibuang ke sungai. Rata-rata warga disini buang sampahnya kesungai.” (Ana, 54)

“Biasanya Ibu buang sampah dikumpulkan dalam plastik dan dibuang ke sungai lebih praktis. Kadang-kadang sampah Ibu bakar, atau dimasukkan ke dalam karung goni dan ditimbun oleh


(52)

tanah sekalian untuk membenteng air sungai. Banyak sampah di sungai bukan kami aja yang buang, dari masyarakat luar yang lewat dari jembatan Sungai Deli juga setiap hari ada yang membuang sampah. Malah kami berusaha mengurangi buang sampah supaya gak banjir besar dengan menimbun sama membuat batas sampah turun kesungai dari bambu-bambu yang ditanam tanah pinggir sungai.” (Bu Ani, 40)

“Ibu setiap hari buang sampah ke sungai aja. Ya memang kalau buang sampah ke sungai mencemari sungai jadi makin jorok, tapi itu uda kebiasaan warga disini buang sampah ke sungai semua. Ya.. Ibu pun pake air sungai untuk nyuci lihat-lihat airnya dulu, kalau airnya agak bersih, gak keruh Ibu nyuci. Kalau gak Ibu pakai PDAM.” (Tiur, 47)

”Ibu biasanya buang sampah di tempat sampah ibu sendiri, nanti uda penuh dibuang kesungai lah. Kalau mau bersih ya itu kesadaran masing-masing. Kalau Cuma beberapa orang aja yang jaga kebersihan dari sampah, yang lainnya gak ya sama aja lah. Lagian siapa yang larang kami buang sampah ke sungai, gak ada yang larang kan? Jadi selagi gak ada yang larang kami, ya buang sampah aja ke sungai. Paling sesekali kepling ngajak gotong royong aja membersihkan lingkungan. Kalau soal banjir, kami udah biasa sama banjir.” (Yul, 44)

“Saya setiap hari buang sampah ke sungai aja, karena biar praktis, setelah dibuang ke sungai kan sampah mengalir dibawa air gak nampak lagi. Memang pernah disediakan “tong sampah”, ya.. dampaknya lumayan juga untuk mengurangi banjir, tapi karena masyarakat disini semua buang sampah ke sungai, jadi balik lagi kebiasaan buang sampah ke sungai. Banjir udah menjadi hal yang biasa buat kami yang tinggal disini.” (Ade, 30)

Pernyataan Kepala Lingkungan Kampung Badur juga mengungkapkan cara pengelolaan masyarkat terhadap sampah sebagai berikut:

“Kalau yang saya lihat cara masyarakat mengatasi sampah adalah dengan dibakar, ditanam atau ditimbun dan dibuang ke Sungai Deli setiap harinya. Padahal seringkali diingatkan untuk buang sampah ke tempat sampah yang disediakan di Kampung Aur. Tetapi karena masyarakatnya yang gak sadar dan malas untuk membuangnya kesana dianggap gak prkatis, jadi yang lebih sering dilakukan masyarakat membuang sampah ke sungai.” (Emi, 47)


(53)

Jadi cara masyarakat Kampung Badur dalam mengelola sampah dengan cara: sampah dikumpulkan oleh masing-masing warga kemudian dibakar di tanah bantaran sungai; cara yang lain yaitu, sampah dikumpulkan dan dimasukkan ke dalam karung hingga sampah padat kemudian sampah ditimbun di tanah. Fungsi pengelolaan sampah dengan cara ditimbun dalam tanah tersebut untuk mengurangi volume sampah di Sungai Deli, juga sebagai benteng untung membatasi kemungkinan air sungai naik menghampiri rumah masyarakat Badur. Cara pengelolaan ini dianggap efektif bagi masyarakat Badur dan hingga sekarang masih dilakukan oleh masyarakat untuk mengurangi sampah di sungai.

Selain itu masyarakat juga membuat batas sampah yang turun ke sungai dengan mendirikan batang bambu-bambu di tanah bantaran sungai, sehingga sampah yang dibuang oleh masyarakat kampung sebelah yaitu Kampung Aur ditampung oleh bambu-bambu yang sudah dibuat. Dengan demikian sampah akan tertahan dan tidak jatuh ke sungai. Tetapi ketika air Sungai Deli naik akibat curah hujan yang tinggi, tidak menutup kemungkinan sampah yang dibatasi bambu tersebut terbawa oleh air sungai.


(54)

BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Dari hasil penelitian mengenai Makna dan Perilaku Masyarakat terhadap sampah di Kampung Badur Bantaran Sungai Deli, maka dapat ditarik kesimpulan yaitu sebagai berikut:

1. Makna sampah bagi sebagian besar masyarakat Kampung Badur adalah material yang tidak berguna dan bernilai yang tidak menguntungkan bagi mereka, sehingga sampah-sampah tersebut harus dibuang.

2. Masyarakat Kampung Badur di bantaran Sungai Deli keseluruhannya membuang sampah ke Sungai Deli. Namun upaya untuk mengurangi volume sampah ke sungai juga dikurangi oleh masyarakat dengan membakar, menimbun, dan membatasi sampah dengan bambu-bambu untuk mencegah sampah mengalir ke sungai.

3. Kesadaran masyarakat mengenai kebersihan lingkungan dan menangani sampah masih sangat kurang peduli, sehingga masalah sampah di lingkungan Kampung Badur Sungai Deli tersebut masih belum teratasi hingga saat ini. Selain itu, perilaku masyarakat yang melintas dari jembatan Sungai Deli juga menambah volume sampah yang mencemari air sungai. Sehingga masyarakat pasrah dan tetap membuang sampah ke sungai meskipun mereka menyadari perilaku mereka itu mengakibatkan Sungai Deli kerap kali mendatangkan banjir dan mengenai rumah mereka. Namun hal ini sudah menjadi hal yang biasa bagi mereka.


(55)

4. Kondisi banjir yang kerap kali menghampiri tempat tinggal masyarakat Badur membuat masyarakat semakin erat taki persaudaraannya. Karena sering berada dalam kondisi sosial yang sama.

5. Masyarakat akan melakukan kegiatan kebersihan lingkungan berdasarkan kemauan dan kesadaran mereka sendiri. Akan tetapi jika dihimbau oleh Pemerintah kota, masyarakat akan aktif ikut dalam kegiatan, namun terlepas dari pantauan Pemerintah, masyarakat kembali dengan perilakunya semula.

5.2 Saran

Dari hasil penelitian, maka saran dari peneliti yaitu:

1. Masyarakat Kampung Badur sebaiknya berpikir dengan jangka panjang untuk tingga di daerah bantarn sungai. Karena tinggal di bantaran sungai sangat membahayakan masyarakat jika air sungai naik menghampiri rumah masyarakat. Alangkah baiknya jika masyarakat tinggal di daerah yang lebih layak dan lebih nyaman yaitu di rumah susun yang akan dibangun oleh Pemerintah.

2. Sebaiknya masyarakat lebih menyadari akibat dari membuang sampah ke sungai. Dan memanfaatkan sampah dengan cara mendaur ulang sehingga dapat mengurangi masalah sampah di Sungai Deli, hasilnya juga bisa dimanfaatkan oleh masyarakat sendiri.

3. Pemerintah dan masyarakat harus bekerja sama dalam mengatasi masalah sampah di Sungai Deli dengan berbagai program kegiatan kebersihan lingkungam. Antara Pemerintah dan masyarakat bantaran


(56)

Sungai Deli harus memiliki hubungan kerjasama yang baik untuk mengatasi masalah sampah. Pemerintah juga harus tegas untuk memberi sanksi yang tegas kepada masyarakat yang membuang sampah di Sungai.


(57)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Definsi Sampah

Sampah adalah sesuatu yang tidak dipakai, tidak disenangi atau sesuatu yang harus dibuang yang umumnya berasal dari kegiatan yang dilakukan oleh manusia tetapi bukan biologis karena kotoran manusia tidak termasuk di dalamnya dan umumnya bersifat padat (air bekas tidak termasuk di dalamnya) (Azwar, 2002).

Produksi sampah perorangan maupun rumah tangga setiap harinya tidak dapat dipisahkan dari setiap kegiatan kehidupan manusia itu sendiri. Khususnya sampah rumah tangga, berkaitan juga dengan tingkat pendapatan, tingkat pendidikan, dan besarnya keluarga (Dainur,1995).

Pengelolaan sampah di pedesaan pada umumnya dilakukan dengan cara sungai dan bahkan menumpuk dipekarangan atau kebun. Para ahli telah menemukan berbagai cara penanggulangan sampah, termasuk cara pendaur-ulangan, namun cara-cara tersebut masih belum memecahkan masalah sampah yang semakin meningkat jumlah dan jenisnya, baik di pedesaan maupun di daerah kumuh perkotaan (Dainur, 1995). (Rohani, 2007:1)

Dari penelitian (Rohani, 2007) mengenai perilaku masyarakat dalam pengelolaan sampah di Desa Medan Senembah terdapat perbedaan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti di Kampung Badur, Kelurahan Hamdan. Dalam penelitian (Rohani, 2007) perilaku masyarakat dapat dilihat dari keberhasilan aspek teknis yang mendukung dalam pengelolaan sampah yang


(58)

dilakukan dengan penanganan yang tepat. Masyarakat membuang sampah tepat pada tempat sampah yang sudah disediakan, karena masyarakat di Desa tersebut memiliki kesadaran yang cukup tinggi dengan pengetahuan sampah dari sosialisasi yang sering dilakukan oleh beberapa instansi. Semua masyarakat ikut berperan dalam mengatasi sampah di lingkungannya. Sehingga tercermin dari perilaku tersebut dengan lingkungan yang bersih, dan nyaman bebas dari polusi bau yang menyebabkan berbagai penyakit.

Penelitian yang dilakukan di Kampung Badur, dapat dilihat dari aspek perilaku masyarakat terhadap sampah sangat memprihatinkan dengan cara membuang sampah tanpa berfikir akibat yang akan timbul dari perilaku tersebut. Masyarakat Badur minim kesadaran dalam mengatasi sampah dengan baik di lingkunngannya. Kehadiran sampah di lingkungan dimaknai sebagai material yang kotor dan harus segera dimusnahkan. Kecenderungan masyarakat yang membuang sampah ke sungai juga bentuk dari makna sampah masyarakat Badur. Namun ada beberapa cara lain yang dianggap dapat mengurangi volume sampah di sungai. Masyarakat Badur mengelola sampah dengan cara dikumpulkan dan di buang ke sungai, dikumpulkan kemudian dibakar, dan sampah dikumpulkan lalu di masukkan kedalam karung kemudia sampah ditimbun dengan tanah. Perbedaan cara masyarakat dalam pengelolaan sampah terlihat cukup signifikan antara Desa Medan Senembah dengan masyarakat Kampung Badur.

2.2 Teori Interaksionisme Simbolik Herbert Blumer

Perspektif interaksionisme simbolik memusatkan perhatiannya pada arti-arti apa yang ditemukan orang pada perilaku orang lain, bagaimana arti-arti tersebut


(59)

diturunkan dan bagaimana orang lain menanggapinya. Para ahli perspektif interaksi telah banyak sekali memberikan sumbangan terhadap perkembangan kepribadian dan perilaku manusia. Akan tetapi, kurang membantu dalam studi terhadap kelompok-kelompok besar dan lembaga-lembaga sosial.

Menurut Blumer (1969: 2) interaksionisme simbolik bertumpu pada tiga premis, yaitu:

1. Manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna yang ada pada sesuatu itu bagi mereka.

2. Makna tersebut berasal dari “interaksi sosial seseorang dengan orang lain”.

3. Makna-makna tersebut disempurnakan disaat proses interaksi sosial berlangsung.

Menurut Blumer tindakan manusia bukan disebabkan oleh beberapa “kekuatan luar” tidak pula disebabkan oleh “kekuatan dalam”. Blumer (1969: 80) menyanggah individu bukan dikelilingi oleh lingkungan obyek-obyek potensial yang mempermainkannya dan membentuk perilakunya. Manusia merupakan aktor yang sadar dan refleksif, yang menyatukan obyek-obyek yang diketahuinya melalui apa yang disebut Blumer (1969: 81) sebagai proses self-indication. Self-indication adalah “proses komunikasi yang sedang berjalan di mana individu mengetahui sesuatu, menilainya, memberinya makna, dan memutuskan untuk bertindak berdasarkan makna itu”. Proses self-indication terjadi dalam konteks sosial di mana individu mencoba “mengantisipasi tindakan-tindakan orang lain dan menyesuaikan tindakannya sebagaimana dia menafsirkan tindakan itu”.


(60)

Tindakan manusia penuh dengan penafsiran dan pengertian. Tindakan-tindakan mana saling diselaraskan dan menjadi apa yang disebut kaum fungsionalis sebgai struktur sosial. Blumer (1969: 17) menyebut fenomena ini sebagai tindakan bersama, atau “pengorganisasian secara sosial tindakan-tindakan yang berbeda dari partisipan yang berbeda”. Setiap tindakan berjalan dlama bentuk prosesual, dan masing-masing saling berkaitan dengan tindakan-tindakan prosesual orang lain.

Menurut Blumer studi masyarakat harus merupakan studi dari tindakan bersama, ketimbang prasangka terhadap apa yang dirasanya sebagai sistem yang kabur dan berbagai prasyarat fungsional yang sukar dipahami. Masyarakat merupakan hasil interaksi-simbolis dan aspek ini yang merupakan masalah bagi para sosiolog. Bagi Blumer keistimewaan pendekatan kaum interaksionisme simbolik adalah manusia dilihat saling menfasirkan atau membatasi masing-masing tindakan mereka dan bukan hanya saling bereaksi kepada setiap tindakan itu menurut mode stimulus-respon. Seseorang tidak langsung memberi respon pada tindakan orang lain, tetapi didasari oleh pengertian yang diberikan kepada tindakan itu. Blumer (1969: 79) menyatakan, “dengan demikian interaksi manusia dijembatani oleh penggunaan simbol-simbol, oleh penafsiran, oleh kepastian makna dari tindakan-tindakan orang lain. Dalam kasus perilaku manusia, mediasi ini sama dengan penyisapan suatu proses penafsiran di antara stimulus dan respon”.

Blumer (1969: 84-85) tidak mendesakkan prioritas dominasi kelompok atau struktur, tetapi melihat tindakan kelompok sebagai kumpulan dari tindakan individu: “Masyarakat harus dilihat sebagai bentuk yang terdiri dari tindakan


(61)

orang-orang dan kehidupan masyarakat terdiri dari tindakan-tindakan orang itu”. Blumer menyatakan bahwa kehidupan kelompok yang demikian merupakan respon pada situasi-situasi di mana orang menemukan dirinya.

Interaksionisme simbolik yang ditengahkan Blumer mengandung sejumlah “root images” atau ide-ide dasar, yang dapat diringkas sebagai berikut:

1. Masyarakat terdiri dari manusia yang berinteraksi. Kegiatan tersebut saling bersesuaian melalui tindakan bersama, membentuk apa yang dikenal sebagai organisasi atau struktur sosial.

2. Interaksi terdiri dari berbagai kegiatan manusia yang berhubungan dengan kegiatan manusia lain. Interaksi-interaksi nonsimbolis mencakup stimulus-respon yang sederhana. Interaksi simbolis mencakup “penafsiran tindakan”.

3. Obyek-obyek, tidak mempunyai makna yang intrinsik, makna lebih merupakan produk interaksi-simbolis. Obyek-obyek dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kategori yang luas: (a) obyek fisik seperti meja, mobil, tanaman, (b) obyek sosial seperti ibu, guru, teman, (c) obyek abstrak seperti nilai-nilai, hak dan peraturan. Blumer (1969: 10-11) membatasi obyek sebagai “segala sesuatu yang berkaitan dengannya”.

4. Manusia tidak hanya mengenal obyek eksternal, mereka dapat melihat dirinya sebagai obyek.

5. Tindakan manusia adalah tindakan interpretatif yang dibuat oleh manusia itu sendiri. Blumer menulis (1969: 15) :

Pada dasarnya tindakan manusia terdiri dari pertimbangan atas berbagai hal yang diketahuinya dan melahirkan serangkaian kelakuan atas dasar


(62)

bagaimana mereka menafsirkan hal tersebut. Hal-hal yang dipertimbangkan mencakup berbagai masalah seperti keinginan dan kemauan, tujuan dan sarana yang tersedia untuk mencapainya, serta tindakan yang diharapkan dari orang lain, gambaran tentang diri sendiri, dan mungkin hasil dari cara bertindak tertentu.

6. Tindakan tersebut saling dikaitkan dan disesuaikan oleh anggota-anggota kelompok; hal ini disebut sebagai tindakan bersama yang dibatasi sebagai; “organisasi sosial dari perilaku tindakan-tindakan berbagai manusia” (Blumer, 1969: 17). Sebagian besar tindakan bersama tersebut berulang-ulang dan stabil, melahirkan apa yang disebut para sosiolog sebagai “kebudayaan” dan “aturan sosial”. (Poloma, 2007: 258-266).

2.3Perspektif Interaksionisme Simbolik dalam mengkaji Makna Sampah Pada Masyarakat

Interaksionisme simbolik adalah interaksi yang terjadi antara individu maupun masyarakat dengan menggunakan simbol yang berarti, simbol-simbol yang telah memiliki makna, dengan obyek-obyek yang telah ditafsirkan. Tindakan-tindakan bersama yang mampu membentuk struktur disebabkan oleh interaksi simbolis dalam menyampaikan makna menggunakan isyarat dan bahasa. (Poloma, 2007: 274).

Masalah sampah dalam perspektif interaksionisme simbolik yaitu melihat perilaku seseorang tergantung pada definisi situasi yang diberikan. Pemaknaan terhadap situasi yang berbeda tentang sampah akan melahirkan perbedaan perlakuan terhadap sampah yang dilakukan manusia. Sebagai tanda sosial,


(63)

sampah memiliki nilai makna yang luas bagi masyarakat baik dari sisi material maupun sosial. Sampah dapat diterjemahkan sebagai tanda sosial yang sarat dengan makna untuk kemudian direnungkan bersama oleh warga masyarakat. Dengan memahami atau mendefinisikan sampah dalam konteks kehidupan manusia, maka akan dapat dirumuskan apa yang harus dilakukan masyarakat terhadap sampah itu sendiri (Sudarma, 2005). (Alfitri, 2009: 35).

Masyarakat Kampung Badur di bantaran Sungai Deli memaknai sampah pada umumnya sebagian besar masyarakat masih memaknai sampah sebagai material yang tidak terpakai dan tidak berguna. Sehingga sampah hanya benar-benar diposisikan sebagai takdir material yang berakhir dengan makna “buang”. Makna sampah yang muncul pada masyarakat Badur dihasilkan dari interaksi masyarakat dengan perilaku masyarakat lainnya yang kecenderungannya membuang sampah ke sungai. Bagi masyarakat Kampung Badur sampah sudah sangat melekat bagi kehidupan mereka yang tinggal dengan kondisi banyak sampah di sekitar rumah mereka, juga di sungai sebagai tempat masyarakat membuang sampah. Sehingga makna sampah bagi masyarakat Kampung Badur sebagai material yang biasa dibuang saja, bukan memiliki arti yang bernilai. Pemaknaan pada sampah sudah sepatutnya diubah oleh masyarakat untuk menangani masalah sampah di bantaran Sungai Deli. Sampah sudah sewajarnya dimaknai sebagai material yang memiliki nilai ekonomis dan bisa dimanfaatkan bagi masyarakat bantaran Sungai Deli.


(1)

dan kebersamaan untuk membahagiakan orang tua yang kita dengan ridho Allah SWT.

2. Nenek tersayang Hj.Nuraini yang juga tidak henti memanjatkan doa-doa kepada anak dan cucunya. Semoga Allah SWT selalu memberikan kesehatan untuk nenek.

3. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara, dan seluruh Pembantu Dekan serta seluruh staf pegawai.

4. Ibu Dra. Lina Sudarwati, M.Si sebagai Ketua Jurusan Departemen Sosiologi sekaligus Dosen Pembimbing yang telah memberi kesempatan dan membantu dalam pengarahan serta bimbingan kepada penulis selama menyelesaikan skripsi.

5. Bapak Drs. Muba Simanihuruk, M.Si selaku Sekretaris Jurusan Sosiologi sekaligus dosen penguji yang telah memberikan masukan pandangan secara ilmiah dalam proses penyelesaian skripsi ini.

6. Bapak dan Ibu Dosen berserta staf di Departemen Sosiologi yang telah mendidik dan memberi ilmu pengetahuan kepada penulis selama menuntut ilmu di Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

7. Kak Feni dan Kak Bety, terima kasih telah membantu dalam segala urusan administrasi di Departemen Sosiologi.


(2)

9. Terima kasih kepada para sahabat Sely Arfa, Anggi Rara, Hera, Maya yang tetap setia memberikan motivasi.

10. Terima kasih kepada Kak Wila dan Keluarga yang juga tiada henti memberi nasehat dan dukungan.

11. Terima kasih juga kepada teman-teman Jurusan Sosiologi angkatan 2008 yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

12. Seluruh pihak yang telah memberikan bantuan kepada penulis untuk menyusun skripsi ini, namun tidak dapat disebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa di dalam penelitian dan penyelesaian skripsi ini masih banyak terdapat ketidaksempurnaan. Namun penulis berharap agar skripsi ini nantinya dapat bermanfaat bagi pembaca. Semoga penelitian ini dapat menjadi pedoman pada penelitan-penelitian selanjutnya.

Medan, 27 Agustus 2014 Penulis


(3)

DAFTAR ISI

Abstrak ... i

Kata Pengantar ... ii

Daftra Isi ... v

Daftar Tabel ... vi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 6

1.3 Tujuan Penelitian ... 7

1.4 Manfaat Penelitian ... 7

1.5 Definisi Konsep ... 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Sampah ... 10

2.2 Teori Interaksionisme Simbolik Herbert Blumer ... 11

2.3 Perspektif Interaksionisme Simbolik dalam mengkaji Makna Sampah Pada Masyarakat... 15

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian ... 17


(4)

3.5 Interpretasi Data ... 19

3.6 Jadwal Kegiatan ... 21

3.7 Keterbatasan Penelitian ... 21

BAB IV DESKRIPSI DAN INTERPRETASI DATA PENELITIAN 4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian ... 23

4.2 Gambaran Umum Kelurahan Hamdan ... 24

4.2.1 Letak Geografis Kelurahan Hamdan ... 24

4.2.2 Keadaan Penduduk ... 25

4.2.3 Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin ... 26

4.2.4 Jumlah Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian .... 26

4.2.5 Jumlah Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan . 28 4.2.6 Jumlah Penduduk Berdasarkan Agama/Kepercayaan 29

4.2.7 Jumlah Penduduk Berdasarkan Etnis ... 30

4.2.8 Jumlah Lembaga Masyarakat Kelurahan Hamdan .... 31

4.3 Gambaran Masyarakat Lingkungan X Kampung Badur, Kelurahan Hamdan ... 32

4.4 Profil Informan ... 34

4.5 Makna Sampah Bagi Masyarakat Kampung Badur di Bantaran Sungai Deli ... 52

4.6 Cara Pengelolaan Sampah Masyarakat Kampung Badur di Bantaran Sungai Deli ... 61


(5)

BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan ... 64 5.2 Saran ... 65

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(6)

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Jumlah Penduduk Kelurahan Hamdan Berdasarkan Jenis Kelamin 26 Tabel 4.2 Jumlah Penduduk Kelurahan Hamdan Berdasarkan Mata

Pencaharian ... 27 Tabel 4.3 Jumlah Penduduk Kelurahan Hamdan Berdasarkan Tingkat

Pendidikan ... 28 Tabel 4.4 Jumlah Penduduk Kelurahan Hamdan Berdasarkan Agama ... 29 Tabel 4.5 Jumlah Penduduk Kelurahan Hamdan Berdasarkan Etnis ... 30


Dokumen yang terkait

Jarak Sosial Masyarakat Elite dan Masyarakat Pinggiran/Kumuh”( studi deskriptif di Jl. Badur, Lingkungan 10 Kelurahan Hamdan, Kecamatan Medan Maimun)

28 118 112

Jarak Sosial Masyarakat Elite dan Masyarakat Pinggiran/Kumuh”( studi deskriptif di Jl. Badur, Lingkungan 10 Kelurahan Hamdan, Kecamatan Medan Maimun)

2 36 112

STRATEGI BERTAHAN HIDUP (STUDI KASUS MASYARAKAT DI KAWASAN BANTARAN SUNGAI KELURAHAN HAMDAN, KECAMATAN MEDAN MAIMUN, KOTA MEDAN).

4 13 28

Jarak Sosial Masyarakat Elite dan Masyarakat Pinggiran Kumuh”( studi deskriptif di Jl. Badur, Lingkungan 10 Kelurahan Hamdan, Kecamatan Medan Maimun)

0 0 9

Makna Dan Perilaku Terhadap Sampah Pada Masyarakat di Bantaran Sungai Deli (Studi Deskriptif Pada Sembilan Keluarga yang Tinggal di Kampung Badur, Kelurahan Hamdan, Kecamatan Medan Maimun)

0 0 9

Makna Dan Perilaku Terhadap Sampah Pada Masyarakat di Bantaran Sungai Deli (Studi Deskriptif Pada Sembilan Keluarga yang Tinggal di Kampung Badur, Kelurahan Hamdan, Kecamatan Medan Maimun)

0 0 1

Makna Dan Perilaku Terhadap Sampah Pada Masyarakat di Bantaran Sungai Deli (Studi Deskriptif Pada Sembilan Keluarga yang Tinggal di Kampung Badur, Kelurahan Hamdan, Kecamatan Medan Maimun)

0 0 9

Makna Dan Perilaku Terhadap Sampah Pada Masyarakat di Bantaran Sungai Deli (Studi Deskriptif Pada Sembilan Keluarga yang Tinggal di Kampung Badur, Kelurahan Hamdan, Kecamatan Medan Maimun)

0 0 7

Makna Dan Perilaku Terhadap Sampah Pada Masyarakat di Bantaran Sungai Deli (Studi Deskriptif Pada Sembilan Keluarga yang Tinggal di Kampung Badur, Kelurahan Hamdan, Kecamatan Medan Maimun)

0 0 2

Makna Dan Perilaku Terhadap Sampah Pada Masyarakat di Bantaran Sungai Deli (Studi Deskriptif Pada Sembilan Keluarga yang Tinggal di Kampung Badur, Kelurahan Hamdan, Kecamatan Medan Maimun)

0 0 5