Pengelolaan Keuangan daerah Perspektif Permendagri No. 13 Tahun 2006 Pada Pemerintah Kota Binjai
PADA PEMERINTAH KOTA BINJAI
TESIS
Oleh
SYAFRIDA FITRIE
067024023/SP
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2008
(2)
PADA PEMERINTAH KOTA BINJAI
TESIS
Untuk Memperoleh Gelar Magister Studi Pembangunan (MSP)
dalam Program Studi Pembangunan pada Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara
Oleh
SYAFRIDA FITRIE
067024023/SP
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
M E D A N
2008
(3)
Nama Mahasiswa : Syafrida Fitrie Nomor Pokok : 067024023
Program Studi : Studi Pembangunan
Menyetujui, Komisi Pembimbing
(Drs. M. Husni Thamrin Nst, M.Si) Ketua
(Drs. Agus Suriadi, M.Si) Anggota
Ketua Program Studi,
(Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA)
Direktur,
(Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, MSc)
(4)
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Drs. H. M. Husni Thamrin, M.Si Anggota : 1. Drs. Agus Suriadi, M.Si
2. Drs. Kariono, M.Si 3. Drs. Sudirman, MSP 4. Drs. Subhilhar, MA, Ph.D
(5)
PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH
PERSPEKTIF PERMENDAGRI NO. 13 TAHUN 2006 PADA PEMERINTAH KOTA BINJAI
TESIS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Medan, 14 April 2008 Penulis,
(6)
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Pengelolaan Keuangan Daerah Kota Binjai Provinsi Sumatera Utara yang mencakup peran Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). Menganalisis Pengelolaan Keuangan Daerah Kota Binjai berdasarkan perpektif Permendagri No. 13 Tahun 2006 bagi kepentingan pelayanan publik dan pelayanan aparat/ penyelenggara pemerintahan.
Data yang digunakan adalah data kualitatif dari Pemerintah Kota Binjai, yang diperoleh dari setiap SKPD Kota Binjai. Penelitian ini menggunakan analisis deskriptif kualitatif yang bersifat eksploratif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah di Kota Binjai belum mencerminkan sepenuhnya aspirasi masyarakat daerah di mana arah dan kebijakan umum anggaran lebih didominasi oleh kepentingan elit lokal diatasnya serta belum optimalnya peranan panitia anggaran Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Binjai sebagai wakil rakyat di daerah.
(7)
The objective of the research is to know the regional financial administration of Binjai City, North Sumater, covering the Regional Taskforce (SKPD), and then to analyze the regional financial administration of Binjai City by perpective of Permendagri No. 13/ 2006 for interst public service and apparatus service/ administrative.
The data used is qualitative data from adminstrative authority of Binjai City, gained from each SKPD of Binjai City. This reseach uses explorative qualitative and descriptive analiysis.
The result of research indicates that the prosess of Regional Budget drafting of Binjai City does not reflect completely the regional people’s aspiration in which direction and general policy of budget is more dominated by local elite interst and suboptimum role of budgeting committee by representative boards of Binjai City. Keywords : Public Policy, Regional Financial
(8)
Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufiq serta hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini, dengan tujuan untuk menganalisis bagaimana Pengelolaan Keuangan Daerah Perpektif Permendagri No. 13 Tahun 2006 Pada Pemerintah Kota Binjai yang merupakan salah satu Kota di Sumatera Utara. Dengan harapan akan bermanfaat bagi daerah tersebut dalam rangka merumuskan kebijakan penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) nantinya.
Berbagai pihak memberikan bantuan yang sangat berharga dalam penyelesaian tesis ini. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp.A (K) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.
2. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, MSc selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. 3. Bapak Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA selaku Ketua Program Studi Magister
Studi Pembangunan Universitas Sumatera Utara dan sekaligus sebagai penguji. 4. Bapak Drs. M. Husni Thamrin, M.Si selaku dosen pembimbing I yang telah
membimbing dengan arief dan penuh kesabaran di sela-sela kesibukan beliau. 5. Bapak Drs. Agus Suriadi, M.Si selaku dosen pembimbing II yang juga telah
(9)
7. Bapak Drs. Sudirman, MSP selaku dosen pembanding II yang juga telah memberikan sumbangan dan saran pemikiran dalam penulisan tesis ini.
8. Segenap tim pengajar Program Studi Magister Studi Pembangunan (M.SP) Universitas Sumatera Utara yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah berupaya mencurahkan ilmu pengetahuannya kepada penulis.
9. Bapak Drs. H. A. Azis Angkat, MSP yang telah memberikan pemikiran dalam penulisan tesis ini kepada penulis.
10. Para Pegawai Pemerintah Kota Binjai yang telah memberi kemudahan pada penulis dalam proses penyusunan tesis ini.
11. Teman-teman Angkatan IX (Achmad Fadly, Ahmad Muzawwir, Analisman Zalukhu, Andy Siregar, Dedy Rustam Alamsyah Nst, Denni Rovi S. Meliala, Eli Sudarman, Fahri Azhari, Ghazali Rahman, Hendra Dermawan Siregar, Lantika Purba, Latifah Hanum Daulay, Maya Soraya, Meilani Tarigan, Muhammad Abduh Riza, Murniati, Ody Dody Prasetyo, Onggung P.G. Purba, Pardomuan Nasution, Pinta Omastri Pandiangan, Rehia Karenina Isabella Barus, Sri Rahmayani, Syahrul Halim, Teuku Al fiady dan Valdesz Junianto Nainggolan). 12. Seluruh Pegawai Administratif Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Program Magister Studi Pembagunan (Dina Rahma, S.Sos, Iwan dan Dadek) yang telah memudahkan proses administrasi penulis.
(10)
dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ayahanda DR. H. Syahdansyah Putra dan Ibunda Hj. Nurhalimah Nst, Suamiku Iwan Zulkarnain Lubis dan Anakku M. Zulfiansyah Lubis serta seluruh keluarga lainnya yang telah dengan sabar mendo’akan dan memberi motivasi bagi penulis.
Penulis menyadari dengan pengetahuan dan kemampuan yang terbatas, sudah barang tentu terdapat banyak kekurangan dalam tesis ini, untuk itu kritik dan saran yang konstruktif sangat penulis hargai demi kesempurnaannya, sehingga tesis ini akan bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengatahuan dan siapa saja yang membaca serta dapat dipergunakan sebagai masukan untuk pengkajian lebih lanjut.
Medan, 14 April 2008 Penulis,
(11)
Nama : Syafrida Fitrie Tempat Lahir : Medan
Tanggal Lahir : 17 Oktober 1967 Jenis Kelamin : Perempuan Kewarganegaraan : Indonesia
Agama : Islam
Status Perkawinan : Sudah Menikah Golongan Darah : AB
Alamat : Komp. Tasbi 2 Blok XI No. 38 Medan Nomor Telp/ HP : 061-8222349/ 0811647647/ 77563040 Pengalaman Organisasi :
1. Ketua Regu Jambore Nasional Tahun 1977
2. Manager Tim Olah Raga Gulat Sumatera Utara Pon XV Surabaya Tahun 2002 3. Bendahara Umum Himpunan Pengusaha Muda Kota Medan Tahun 1999 s/d
2003
4. Bendahara Umum Himpunan Pengusaha Muda Sumatera Utara Tahun 2003 s/d 2006
5. Ketua Persatuan Perempuan KOSGORO 57 Sumatera Utara Tahun 2002 s/d sekarang
(12)
ABSTRAK ... i
ABSTRACT ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
RIWAYAT HIDUP ... vi
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR TABEL ... ix
DAFTAR GAMBAR ... x
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang Masalah ... 1
1.2 Perumusan Masalah ... 7
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 9
2.1 Kebijakan Publik ... 9
2.2 Implementasi Kebijakan ... 11
2.3 Pengelolaan Keuangan Daerah ... 13
2.4 Tujuan Pengelolaan Keuangan Daerah ……… .... 20
2.5 Prinsip-prinsip Penyusunan Anggaran Daerah... 22
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 26
3.1 Jenis Penelitian ... 26
3.2 Definisi Konsep ... 27
3.3 Operasionalisai Variabel ... 27
3.4 Informan Penelitian ... 28
3.5 Teknik Pengumpulan Data ... 29
3.6. Lokasi Penelitian ... 29
3.7 Analisis Data ... ... 29
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... . 31
4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian... 31
4.1.1 Sejarah Singkat Kota Binjai ... 31
4.1.2 Geografi/ Luas Wilayah Kota Binjai... 36
4.1.3. Tipologi ... 37
(13)
4.1.8. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)
Kota Binjai ... 40
4.1.9. Kependudukan... 42
4.1.10. Mata Pencaharian Penduduk ... 43
4.1.11. Transfortasi ... 44
4.1.12. Komunikasi ... 45
4.1.13. Air Minum... 45
4.1.14. Energi Tenaga Listrik... 46
4.1.15. Agama ... 48
4.1.16. Kesehatan ... 48
4.2 Hasil Penelitian... 49
4.3 Analisis Data dan Pembahasan ... 50
4.3.1. Proses Penyusunan APBD Kota Binjai ... 52
4.3.2. Pelaksanaan Program SKPD Kota Binjai... 56
4.3.3. Uraian Laporan Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD Kota Binjai ... 59
4.3.4 Mekanisme Penyusunan APBD Kota Binjai ... 62
4.3.5. Hasil Wawancara dan Analisis Terhadap Penge- lolaan Keuangan Pemerintah Kota Binjai ... 66
BAB V PENUTUP ... 71
5.1 Kesimpulan ... 71
5.2 Saran-saran ... 72
(14)
Nomor Judul 1 Jenis Penggunaan Lahan atau Tanah di 5 (Lima) Kecamatan
Kota Binjai Tahun 2006 ... 40
2 Pembagian BWK di Kota Binjai Tahun 2001 – 2010 ... 41
3 Jumlah Penduduk Tiap Kecamatan Kota Binjai Tahun 1994 – 2004 ………... 42
4 Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin dan Pertumbuhan Penduduk Kota Binjai Tahun 1994-2004 ……….. 43
5 Jumlah dan Kepadatan Penduduk Kota Binjai di Setiap Kecamatan Tahun 2004 ………. 43
6 Pola Pencari Kerja Menurut Tingkat Pendidikan ... 44
7 Penunjuk Jalan Menurut Jenis Permukaan Tahun 1999 ... 44
8 Perkembangan Angkutan Umum yang Beroperasi ... 44
9 Perkembangan Unit Pelayanan Pelanggan ………. 45
10 Perkembangan Jumlah Pelanggan Air Minum PDAM ... 45
11 Perkembangan Jumlah Pelanggan Listrik ... 46
12 Jumlah Sekolah Perkecamatan di Kota Binjai ... 46
13 Jumlah Penduduk Masa Usia Sekolah ... 47
14 Daya Tampung Siswa Rata - rata di Tiap - tiap Sekolah Per Kecamatan ……….. 47
15 Jumlah Lokal / Ruang Kelas yang dibutuhkan di Tiap - tiap Kecamatan ………. 47
16 Sarana Kesehatan yang ada di Kota Binjai pada waktu sekarang ini ... 48
17 Jumlah Sarana Kesehatan pada Masing - masing Kecamatan ... 48 Halaman
(15)
Nomor Judul 1 Laporan Keuangan ... 61 2 Mekanisme Penyusunan APBD Pemerintah Kota Binjai …... 63 Halaman
(16)
Nomor Judul 1 Daftar Panduan Wawancara Penelitian ………... 78 2 Permendagri No. 13 Tahun 2006 ……… 81 Halaman
(17)
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kebijakan-kebijakan pemerintah pusat terutama kebijakan dalam keuangan negara haruslah melibatkan pemerintah daerah. Sebab, kinerja dan pengelolaan keuangan daerah saat ini menduduki posisi penting dalam strategi pemberdayaan pemerintah daerah terlebih lagi dalam mewujudkan pelaksanaan otonomi daerah dan mewujudkan desentralisasi yang luas, nyata dan bertanggungjawab. Tuntutan terhadap pengelolaan keuangan rakyat (publik money) secara baik merupakan issue utama yang harus dilakukan pemerintah daerah dalam mewujudkan tujuan pemerintahan yang bersih (clean goverment), dimana pengelolaan keuangan daerah yang baik adalah kemampuan mengontrol kebijakan keuangan daerah secara ekonomis, efisien, transparan dan akuntabel.
Dalam pengelolaan keuangan daerah telah diatur dalam Permendagri No. 13 Tahun 2006 sebagai pengganti Kepmen No. 29 Tahun 2002 tentang Pedoman Pengurusan, Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah serta Tata Cara Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
Regulasi aturan-aturan tersebut dirasakan sangat menyulitkan dalam hal pelaksanaannya karena di samping butuh waktu untuk mempelajari sekaligus
(18)
memahami, kendala berikutnya adalah adanya aturan-aturan pelaksanaan yang belum dikeluarkan, baik itu turunan dari undang-undang maupun peraturan-peraturan pemerintah itu sendiri sampai sekarang belum diwujudkan, tapi pemerintah tentunya tidak boleh hanya menunggu dengan tidak melaksanakan aturan yang ada.
Kalau hal ini dilakukan sudah pasti apabila ada pemeriksaaan, maka akan menjadi temuan tentunya. Perubahan-perubahan aturan yang demikian cepat akan banyak menimbulkan masalah-masalah dalam hal pengelolaan keuangan daerah terutama pada pertanggungjawaban akhir kegiatan.
Akhirnya yang sangat merasakan dampaknya adalah masyarakat di daerah pada khususnya dan rakyat Indonesia pada umumnya, akibat dari banyaknya peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh regulator tapi kemudian diperbaharui, dicabut, diganti kembali sehingga tidak ada kepastian hukum. Hal ini juga mengakibatkan resiko bisnis di Indonesia dan khususnya di daerah-daerah, menimbulkan banyak problem, salah satunya adalah problem institusi-institusi kunci lemah dalam memberikan kepastian hukum.
Perubahan-perubahan pada aturan pelaksanaan inilah yang sangat merepotkan pada tatanan implementasi di Pemerintah Kota Binajai karena perubahan-perubahan aturan tersebut. Namun, upaya untuk itu Pemerintah Kota Binjai melakukan pelatihan-pelatihan dan menghadirkan para ahli keuangan untuk mengatasi ketidak pahaman aparatur pemerintah di masing-masing unit kerja yang ada.
Regulasi yang baik adalah penting, sebab diharapkan dapat menciptakan pelaksanaan pemerintahan yang baik (good governance), sehingga dalam pembuatan
(19)
aturan-aturan pelaksanaan harus juga professional dan bertanggung jawab, jadi tidak hanya pihak-pihak yang akan melaksanakan saja yang harus mematuhi atau mengikuti aturan-aturan tapi pihak regulator atau pembuat aturan tidak mau mendengar, melihat dan memperhatikan best practice sekaligus diadakan uji publik dahulu, setelah itu baru diimplementasikan. Sehingga tidak membuat aparatur di daerah menjadi bingung. Hal ini dapat dimaklumi karena aparatur pemerintah daerah baru memahami dan melaksanakan aturan yang diberlakukan tahun anggaran 2003 (Kepmendagri No. 29 Tahun 2002) kemudian pada tahun anggaran 2004 harus berubah total mengikuti aturan Permendagri No. 13 tahun 2006.
Masih banyaknya daerah, termasuk aparatur Pemerintahan Kota Binjai, yang belum memahami Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permedagri) No. 13 Tahun 2006 yang menjadi salah satu kendala implementasi penyusunan anggaran tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Tetapi masalah ini tidak akan berlangsung lama, asalkan setiap daerah memiliki komitmen untuk segera mengimplementasikannya.
Berbicara mengenai kebijakan pengelolaan keuangan daerah tidak terlepas dari kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah yang dilakukan dengan menekankan pada konsekuensi hubungan keuangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Terbitnya Undang-undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah sebagai pengganti Undang-undang No. 22 tahun 1999 memberikan warna baru landasan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Pengelolaan keuangan daerah berdasarkan pada Undang-undang No. 32 tahun 2004 tersebut bertumpu pada upaya
(20)
peningkatan efisiensi, efektifitas, akuntabilitas, dan transparansi pengelolaan keuangan publik baik dari sisi pendapatan maupun belanja. Inti perubahan yang akan dilakukan antara lain mempertajam esensi pengelolaan keuangan daerah dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan daerah yang menyangkut penjabaran terhadap hak dan kewajiban daerah dalam mengelola keuangan publik, meliputi mekanisme penyusunan, pelaksanaan dan penatausahaan, pengendalian dan pengawasan, serta pertanggungjawaban keuangan daerah.
Dalam rangka mendukung terwujudnya good governance, pengelolaan keuangan daerah Pemerintah Kota Binjai dilakukan secara profesional, terbuka, dan bertanggungjawab sesuai dengan perudang-undangan yang berlaku. Pengelolaan keuangan daerah meliputi seluruh kegiatan perencanaan, penguasaan, penggunaan, pengawasan dan pertanggung jawaban. Keuangan daerah harus dikelola secara tertib, taat perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Dengan memperhatikan Undang-undang No. 17 Tahun 2003 dan Permendagri No. 13 Tahun 2006 pengelolaan keuangan daerah dapat dibagi menjadi:
1. Penyusunan dan Penetapan APBD
Anggaran sebagai perencanaan dan perwujudan pengelolaan keuangan daerah merupakan alat akuntabilitas, manajemen, dan kebijakan ekonomi. Penyusunan dan penetapan APBD dimaksudkan sebagai pedoman tercapainya tujuan penyelenggaraan pemerintahan. Sebagai instrumen kebijakan ekonomi, anggaran berfungsi untuk
(21)
mewujudkan pertumbuhan dan stabilitas perekonomian serta pemerataan pendapatan dalam rangka pencapaian tujuan.
2. Pelaksanaan APBD
Pelaksanaan APBD merupakan tindak lanjut dari perencanaan APBD yang ditetapkan dengan keputusan kepala daerah. Realisasi pelaksanaan APBD selama semester pertama harus dilaporkan dan dibuat kembali untuk pelaksanaan semester selanjutnya. Perubahan dan penyesuaian dalam pelaksanaan APBD dapat dilakukan apabila terjadi hal-hal berikut : perkembangan yang tidak sesuai dengan asumsi kebijakan umum daerah, keadaan yang mengharuskan terjadinya pergeseran anggaran, serta keadaan yang menyebabkan saldo anggaran lebih tahun sebelumnya harus digunakan untuk pembiayaan anggaran berjalan.
3. Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD
Pertanggungjawaban pelaksanaan APBD disampaikan dalam bentuk Laporan Keuangan yang sekurang-kurangnya meliputi Laporan Realisasi Anggaran, Neraca, Laporan Arus Kas, dan Catatan atas Laporan Keuangan. Laporan keuangan tersebut
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Pemerintah Kota Binjai merupakan salah
satu upaya konkrit pemerintah daerah dalam mewujudkan asas transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan pengelolaan keuangan daerah. Laporan keuangan disusun dan disajikan tepat waktu dengan bentuk dan isi yang sesuai standar akuntansi pemerintahan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2005.
(22)
Sebagai perwujudan akuntabilitas laporan maka Laporan Keuangan diaudit oleh lembaga independen (dalam hal ini adalah BPK) sebelum disampaikan kepada DPRD dan pihak yang memerlukan.
Dalam pelaksanaan pengelolaan keuangan daerah Pemerintah Kota Binjai nyatanya masih dijumpai kendala-kendala sebagai berikut :
1. Peraturan pemerintah sebagai tindak lanjut pelaksanaan undang-undang belum seluruhnya diterbitkan.
2. Masih belum tersedianya sumber daya manusia yang memadai.
3. Belum optimalnya sinkronisasi jadwal penyusunan antara APBN, APBD Propinsi, dan APBD Kabupaten/ Kota.
4. Transparansi penetapan formula pengalokasian dana-dana di luar DAU belum nyata (daerah kesulitan menentukan asumsi penerimaan untuk tahun yang akan datang).
5. Banyaknya dana dari pusat yang langsung diberikan kepada berbagai instansi sementara pemerintah Kabupaten/ Kota tidak diberitahu berapa alokasi dana yang diberikan maupun peruntukannya.
Dengan melihat kendala di atas Pemerintah Kota Binjai melakukan upaya-upaya sebagai berikut :
1. Membentuk kerjasama dengan instansi terkait untuk mengadakan pelatihan pelaksanaan pengelolaan keuangan daerah.
(23)
2. Mengikuti pelatihan dan workshop mengenai perkembangan peraturan pengelolaan keuangan yang dilaksanakan oleh pemerintah pusat maupun lembaga keuangan lainnya.
3. Mengupayakan adanya informasi sedini mungkin dari Pemerintah Pusat agar prediksi penerimaan daerah yang masuk ke dalam APBD makin realistis. 4. Meningkatkan koordinasi antar instansi untuk memonitor dan melaporkan
pengelolaan keuangan yang menjadi tanggungjawabnya.
Melihat pentingnya pengelolaan keuangan daerah dalam penyelenggaraan pembangunan daerah, serta untuk mengetahui lebih lanjut mengenai pengelolaan keuangan yang dilakukan pada Pemerintah Kota Binjai tersebut, maka penulis tertarik untuk melakukan suatu penelitian yang berjudul : Pengelolaan Keuangan Daerah
Perspektif Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permedagri) No. 13 Tahun 2006 pada Pemerintah Kota Binjai.”
1.2 Perumusan Masalah
Dari uraian di atas, sehubungan terjadinya permasalaha-permasalahan dalam mengimplementasikan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permedagri) No. 13 Tahun 2006, maka permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah:”Bagaimana
Pengelolaan Keuangan Daerah Perspektif Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permedagri) No. 13 Tahun 2006 pada Pemerintah Kota Binjai.”
(24)
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian Adapun tujuan penelitian adalah :
a. Untuk mengetahui bagaimana Pengelolaan Keuangan Daerah Menurut Perspektif Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permedagri) No. 13 Tahun 2006 pada Pemerintah Kota Binjai.
b. Untuk melihat apa saja yang terjadi sehubungan dengan Pengelolaan Keuangan Daerah Menurut Perspektif Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permedagri) No. 13 Tahun 2006 pada Pemerintah Kota Binjai.
Adapun manfaat penelitian adalah :
a. Sebagai wahana untuk menambah dan pengembangan pegetahuan dalam membuat suatu karya tulis ilmiah.
b. Sebagai bahan informasi dan masukan bagi Pemerintahn Kota Binjai dalam mengimplementasikan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permedagri) No. 13 Tahun 2006.
c. Sebagai bahan informasi bagi peneliti selanjutnya dalam meneliti permasalahan yang sama dimasa yang akan datang.
(25)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kebijakan Publik
Kebijakan adalah suatu istilah yang menunjukkan adanya proses, karena merupakan hasil keputusan atau perbuatan yang mempunyai sifat untuk dilaksanakan. Kebijakan merupakan hasil perbuatan atau pemikiran seseorang, maka mengandung berbagai macam kegiatan dan keputusan lainnya yang berkaitan dengan terealisirnya tujuan kebijakan itu. Oleh karenanya kebijakan mempunyai sifat yang dinamis
(dynmic concept).
Menurut Wojowasito (2003 : 35) mengartikan kebijakan sebagai : skill (keterampilan, ability (kemampuan), capability (kecakapan), insight (kemampuan memahami sesuatu).
Dari uraian di atas maka jelas bahwa sifat ”bijak” adalah sifat-sifat
(character) yang melekat pada manusianya dan ”bijaksana” adalah sifat-sifat yang
melekat pada sikap, tingkah laku dan perbuatannya. Dengan demikian, maka dalam membuat suatu kebijakan yang baik haruslah bersifat rasional, institusional, kondisional, dan situasional dengan suatu proses sebagai berikut :
1. Rasional, maksudnya pengambilan keputusan itu benar-benar mempergunakan data-data dan informasi-informasi yang selengkap-lengkapnya. Data diolah dengan seksama untuk menjadi informasi yang penting, sedang informasi dikumpulkan selengkap mengkin dari ilmu-ilmu
(26)
pengetahuan dan pengalaman-pengalaman, baik pengalan sendiri, mapun pengalaman orang lain.
2. Institusional, maksudnya pengambilan keputusan harus senantiasa dengan mengingat tujuan organisasi serta memperhatikan pula hak-hak dan kewenagannya.
3. Kondisional, maksudnya harus selalu ingat bhwa suatu kejadian, masalah, peristiwa itu tidak akan lepas dari lingkungannya, baik lingkungan alam
(natural environment), lingkungan fisik (pysical environment), maupun
lingkungan sosial (social environment).
4. Situasional, maksudnya bahwa keputusan yang diambil itu haruslah sesuai dan dapat terselenggara dalam situasi yang hidup pada waktu itu. Suatu keputusan yang benar, namun tidak dapat dilaksanakan, maka tentulah tidak ada manfaatnya; keputusan yang demikian merupakan keputusan yang tidak baik.
Sehubungan dengan itu, menurut Michael Howlet dan M. Ramesh (1995: 11) menyatakan bahwa proses kebijakan publik terdiri dari lima tahapan sebagai berikut :
1. Penyusunan agenda (agenda setting), yaitu suatu proses agar suatu masalah bisa mendapat perhatian dari pemerintah.
2. Formulasi kebijakan (policy formulation), yaitu proses perumusan pilihan-pilihan kebijakan oleh pemerintah.
(27)
3. Pembuatan kebijakan (decision making), yaitu proses ketika pemerintah memilih untuk melakukan suatu tindakan atau tidak melakukan suatu tindakan.
4. Implementasi kebijakan (policy implementation), yaitu proses untuk melaksanakan kebijakan supaya mencapai hasil.
5. Evalusi kebijakan (policy evalution), yaitu proses untuk memonitor dan menilai hasil atau kinerja kebijakan.
2.2 Implementasi Kebijakan
Kebijakan yang telah direkomendasikan untuk dipilih oleh pembuat kebijakan
(policy makers) bukanlah jaminan bahwa kebijakan tersebut pasti berhasil dalam
implementasinya. Ada banyak yang mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan baik yang bersifat individual maupun kelompok atau institusi. Implementasi dari suatu program melibatkan upaya-upaya policy makers untuk mempengaruhi prilaku birokrat pelaksana agar bersedia memberikan pelayanan dan mengatur prilaku kelompok sasaran.
Dalam berbagai sistem politik, kebijakan publik diimplementasikan oleh badan-badan pemerintah, baik pusat maupun daerah. Badan-badan tersebut melaksanakan pekerjaan-pekerjaan pemerintah dari hari ke hari yang membawa dampak pada warga negaranya.
Keberhasilan implementasi kebijakan akan ditentukan oleh banyak variabel atau faktor, dan masing-masing variabel tersebut saling berhubungan satu sama lain.
(28)
Untuk memperkaya pemahaman, dalam kesempatan ini penulis mengutip menurut pandangan Edwards III, implementasi kebijakan dipengaruhi oleh 4 (empat) variabel yang satu sama lain saling berhubungan, yaitu :
1. Komunikasi
Keberhasilan implementasi kebijakan yang mensyaratkan agar implementor mengetahui apa yang harus dilakukan. Apa yang menjadi tujuan dan sasaran kebijakan harus ditransmisikan kepada kelompok sasaran (target group) sehingga akan mengurangi distorsi implementasi.
2. Sumber Daya Manusia
Walaupun isi kebijakan sudah dikomunikasikan secara jelas dan konsisten, tetapi apabila implementor kekurangan sumberdaya untuk melaksanakan, maka implementasi tidak akan berjalan efektif.
3. Disposisi
Disposisi adalah watak dan karekteristik yang dimiliki oleh implementor, seperti komitmen, kejujuran dan sifat demokratis.
4. Struktur Birokrasi
Struktur Birokrasi organisasi yang bertugas mengimplementasikan kebijakan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap implementasi kebijakan. Stuktur organisasi yang terlalu panjang akan cenderung melemahkan pengawasan dan menimbulkan prosedur birokrasi yang rumit dan kompleks.
(29)
Menurut Meter dan Horn, ada 5 (lima) variabel yang mempengaruhi kinerja implementasi kebijakan, yaitu :
1. Standart dan sasaran kebijakan
Standart dan sasaran kebijakan harus jelas dn terukur sehingga dapat direalisir. Apabila standart dan sasaran kebijakan kabur, maka akan terjadi multi interpretasi dan mudah menimbulkan konflik di antara para agen implementasi.
2. Sumber daya
Implementasi kebijakan perlu dukungan sumber daya, yaitu sumber daya manusia (human resources).
3. Hubungan antar organisasi
Dalam banyak program, implementasi sebuah program perlu dukungan dan koordinasi dengan instansi lain. Untuk itu, diperlukan koordinasi dan kerjasama antara instansi bagi keberhasilan suatu program.
2.3 Pengelolaan Keuangan Daerah
Dalam rangka meningkatkan kinerja anggaran daerah, salah satu aspek penting adalah masalah pengelolan keuangan daerah dan anggaran daerah. Untuk itu diperlukan pengelolaan keuangan daerah yang mampu mengontrol kebijakan keuangan daerah secara ekonomis, efisien, efektif, transparan dan akuntabel. World Bank (1998:46), menyebutkan bahwa dalam pencapaian visi dan misi daerah, penganggaran dan pengelolaan keuangan dilaksanakan dengan prinsip-prinsip pokok
(30)
meliputi komprehensif dan disiplin, akuntabilitas, kejujuran, transparansi, fleksebilitas, terprediksi, dan informatif.
Kemudian menurut Jaya (1999 : 11), keuangan daerah adalah seluruh tatanan, perangkat kelembagaan dan kebijaksnaan anggaran daerah yang meliputi pendapatan dan belanja daerah. Kemudian menurut Mamesah (1995 : 16) keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, demikian pula segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan kekayaan daerah sepanjang belum dimiliki atau dikuasai oleh negara atau daerah yang lebih tinggi, serta pihak lain sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku.
Mengenai pengturan pengelolaan keuangan daerah menurut Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 pasal 330 dijelaskan bahwa :
1. Ketentuan tentang pokok-pokok pengelolaan keuangan daerah diatur dengan perturan daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 2. Berdasarkan peraturan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepala
daerah menetapkan peraturan kepala daerah tentang sistem dan prosedur pengelolaan keuangan daerah.
3. Sistem dan prosedur pengelolaan keuangan daerah sebagaiman dimaksud pada ayat (2) mencapkup tata cara penyusunan, pelaksanaan, penataausahaan dan akuntansi, pelaporan, pengawasan dan pertnggungjawaban keuangan daerah.
4. Peraturan kepala daerah tentang sistem dan prosedur pengelolaan keuangan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), juga memuat tata cara
(31)
penunjukan pejabat yang diberi wewenag BUD, kuasa BUD, pengguna anggaran/ kuasa pengguna anggaran, bendahara penerimaan, dan bendahara pengeluaran berhalangan.
Mardiasmo (2000 : 3), mengatakan bahwa dalam pemberdayaan pemerintah daerah, maka perspektif perubahan yang diinginkan dalam pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah adalah :
1. Pengelolaan keuangan daerah harus bertumpu pada kepentingan publik
(public oriented).
2. Kejelasan tentang misi pengelolaan keuangan daerah pada umumnya dan anggran pada daerah khususnya.
3. Desentralisasi pengelolaan keuangan dan kejelasan peran partisipasi yang terkait dalam pengelolaan anggaran, DPRD, Sekda, dan perangkat daerah lainnya.
4. Kerangka hukum dan administrasi atas pembiayaan, investasi dan pengelolaan keuangan daerah berdasarkan kaidah mekanisme pasar, value for money, tranparansi dan akuntabilitas.
5. Kejelasan tentang kedudukan keuangan DPRD dan PNS Daerah, baik ratio maupun dasar perimbangannya.
6. Ketentuan bentuk dan struktur anggaran, anggaran kerja dan anggaran multi tahunan.
(32)
8. Prinsip akuntansi pemerintah daerah, laporan keuangan, peran DPRD, peran akuntan publik dan pengawasan, pemberian opini dan rating kinerja anggaran, dan transparansi informasi anggaran kepada publik.
9. Aspek pembinaan dan pengawasan yang meliputi batasan pembinaan, peran asosiasi dan peran anggota masyarakat guna pengembangan profesionalisme aparat pemerintah daearah.
10. Pengembangan sistem informasi keuangan daerah untuk meyediakan informasi anggaran yang akurat dan pengembangan komitmen pemerintah daerah terhadap penyebarluasan informasi.
Prinsip-prinsip yang mendasari pengelolaan keuangan daerah seharusnya senantiasa dipegang teguh dan dilaksanaan oleh penyelenggara pemerintah, karena pada dasarnya masyarakat memiliki hak dasar terhadap pemerintah. Hak masyarakat tersebut menurut Waluyo (2007 : 223) antara lain adalah sebagai berikut :
1. Hak untuk mengetahui (righ to know), yaitu mengetahui kebijakan pemerintah, apa keputusan yang diambil pemerintah dan alasan dilakukannya kebijakan dan keputusan tersebut.
2. Hak untuk diberi informasi (right ti be informed) yang meliputi hak untuk diberi penjelasan secara terbuka atas permasalahan-permasalahan tertentu yang menjadi perdebatan publik.
3. Hak untuk didengar pendapat dan aspirasinya (rigt to be heard and to be
(33)
Selanjutnya, Waluyo (2007 : 224) menjelaskan bahwa dalam pengelolaan keuangan daerah dilaksanakan oleh masing-masing kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) selaku pejabat pengguna anggaran atau barang daerah. Adapun tugas pejabat pengelola keuangan daerah adalah sebagai berikut :
a. Menyusun dan melaksanakan kebijakan pengelolaan APBD. b. Menyusun rancangan APBD dan rancangan perubahan APBD.
c. Melaksanakan pemugutan pendapatan daerah yang telah ditetapkan dalam peraturan daerah.
d. Melakukan fungsi bendaharawan daerah.
e. Menyusun laporan keuangan yang merupakan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD.
Sedangkan kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) menurut Waluyo (2007 : 226) selaku pejabat pengguna anggaran atau barang daerah mempunyai tugas sebagai berikut :
a. Menyusun anggaran SKPD yang dipimpinnya.
b. Menyusun dokumen pelaksana anggaran SKPD yang dipimpinnya. c. Melaksanakan anggaran SKPD yang dipimpinnya.
d. Melaksanakan pemungutan penerimaan bukan pajak.
e. Mengelola utang piutang daerah yang menjadi tanggung jawab SKPD yang dipimpinnya.
(34)
f. Mengelola barang milik atau kekayaan daerah yang menjadi tanggung jawab SKPD yang dipimpinya.
g. Menyusun dan menyampaikan laporan keuangan daerah yang dipimpinnya.
Menurut Waluyo (2007 :218), jika berbicara tentang pengelolaan keuangan daerah tidak lepas dari sistem pengelolaan keuangan daerah yang meliputi tiga siklus pokok yaitu antara lain:
1. Perencanaan 2. Pelaksanaan
3. Pelaporan dan pertanggungjawaban
Pada tahap perencanaan, input yang digunakan adalah aspirasi masyarakat yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah dan DPRD, yang hasilnya kemudian dijabarkan dalam usulan kegiatan masing-masing satu unit kerja yang dengan memperhatikan Standart Analisis Biaya (SAB) sehingga setiap aktivitas kegiatan yang diusulkan mencerminkan dukungan terhadap pencapaian visi, misi tujuan dan sasaran serta hasil yang telah ditetapkan. Selanjutnya anggaran yang diusulkan juga akan mencerminkan anggaran yang berbasiskan kinerja. Pada tahap pelaksanaan, input yang digunakan adalah APBD yang telah ditetapkan yang kemudian dilaksanakan dan dicatat melalui sistem akuntansi untuk menghasilkan laporan pelaksanaan APBD, baik berupa laporan yang sifatnya triwulan maupun tahunan bahkan bulanan kalau mungkin sebagai laporan pertanggungjawaban kepala daerah.
(35)
Selanjutnya laporan pertanggungjawaban adalah penyampaian kepada DPRD, proses evaluasi laporan pertanggungjawaban serta keputusan evaluasi yang telah dilakukan bersama-sama dengan DPRD, yang kemudian akan disampaikan dalam Papat Paripurna DPRD.
Pengelolaan keuangan daerah yang diatur dengan tata caranya dalam berbagai macam perturan tentunya tidak lepas dari pola atau azas umum pengelolaan keuangan daerah, yaitu :
1. Tertib, yaitu bahwa keuangan daerah dikelola secara tepat waktu dan tepat guna yang didukung dengan bukti-bukti administrasi yang dapat dipertanggungjawabkan.
2. Taat pada peraturan perundang-undangan, yaitu bahwa pengelolaan keuangan daerah harus berpedoman pada peraturan perundang-undangan.
3. Efektif, yaitu pencapaian hasil program dengan target yang telah ditetapkan dengan membandingkan dengan keluaran dengan hasil.
4. Efisien, yaitu pencapaian keluaran yang maksimum dengan masukan tertentu atau penggunaan masukan terendah untuk mencapai keluaran tertentu.
5. Ekonomis, yaitu pemerolehan masukan dengan kualitas dan kuantitas tertentu pada tingkat harga yang terendah.
6. Transparan, yaitu prinsip keterbukaan yang memungkinkan masyarakat untuk mengetahui dan mendapatkn akses informasi seluas-luasnya tentang keuangan daerah.
(36)
7. Bertanggungjawab, yaitu perwujudan kewajiban seseoranguntuk mempertanggungjawabkan pengelolaan dan pengendalian sumber daya dan pelaksanaan kebijakan yang dipercayakan kepadanya dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditetapkan.
8. Keadilan, yaitu keseimbangan distribusi kewenangan dan pendanaannya dan atau keseimbangan distribusi hak dan kewajiban berdasarkan pertimbangan yang obyektif.
9. Kepatutan, yaitu tindakan atau suatu sikap yang dilakukan dengan wajar dan proporsional.
10. Manfaat untuk masyarakat, yaitu bahwa keuangan daerah diutamakan untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat.
2.4 Tujuan Pengelolaan Keuangan Daerah
Pengelolaan keuangan daerah berarti mengurus dan mengatur keuangan daerah itu sendiri dengan prinsip-prinsip pengelolaan keuangan daerah menurut (Devas, dkk., 1987; 279-280) adalah sebagai berikut :
a. Tanggung jawab (accountability)
Pemerintah daerah harus mempertanggungjawabkan keuangannya kepada lembaga atau orang yang berkepentingan yang sah, lembaga atau orang itu termasuk pemerintah pusat, DPRD, Kepala Daerah dan masyarakat umum. Adapun unsur-unsur penting dalam tanggung jawab adalah mencakup keabsahan yaitu setiap transaksi keuangan harus berpangkal pada wewenang
(37)
hukum tertentu dan pengawasan yaitu tata cara yang efektif untuk menjaga kekayaan uang dan barang serta mencegah terjadinya penghamburan dan penyelewengan dan memastikan semua pendapatan yang sah benar-benar terpungut jelas sumbernya dan tepat penggunaannya.
b. Mampu memenuhi kewajiban keuangan
Keuangan daerah harus ditata dan dikelola sedemikian rupa sehingga mampu melunasi semua kewajiban atau ikatan keuangan baik jangka pendek, jangka panjang maupun pinjaman jangka panjang pada waktu yang telah ditentukan. c. Kejujuran
Hal-hal yang menyangkut pengelolaan keuangan daerah pada prinsipnya harus diserahkan kepada pegawai yang betul-betul jujur dan dapat dipercaya.
d. Hasil guna (efectiveness) dan daya guna (efficiency)
Merupakan tata cara mengurus keuangan daerah harus sedemikian rupa sehingga memungkinkan program dapat direncanakan dan dilaksanakan untuk mencapai tujuan pemerintah daerah dengan biaya yang serendah-rendahnya dan dalam waktu yang secepat-cepatnya.
e. Pengendalian
Para aparat pengelola keuangan daerah, DPRD dan petugas pengawasan harus melakukan pengendalian agar semua tujuan tersebut dapat tercapai.
(38)
2.5 Prinsip-prinsip Penyusunan Anggaran Daerah
Menurut Menteri Negara Otonomi Daerah Republik Indonesia dan PAU-SE (Universitas Gadjah Mada) terdiri dari :
a. Keadilan Anggaran
Keadilan merupakan salah satu misi utama yang diemban pemerintah daerah dalam melakukan berbagai kebijakan, khususnya yang berkaitan dengan pengelolaan anggaran daerah. Pelayanan umum akan meningkat dan kesempatan kerja juga akan makin bertambah apabila fungsi alokasi dan distribusi dalam pengelolaan anggaran telah dilakukan dengan benar, baik melalui alokasi belanja maupun mekanisme perpajakan serta retribusi yang lebih adil dan transparan. Hal tersebut mengharuskan pemerintah daerah untuk merasionalkan pengeluaran atau belanja secara adil untuk dapat dinikmati hasilnya secara proporsional oleh para wajib pajak, retribusi maupun masyarakat luas. Penetapan besaran pajak daerah dan retribusi daerah harus mampu menggambarkan nilai-nilai rasional yang transparan dalam menentukan tingkat pelayanan bagi masyarakat daerah.
b. Efisiensi dan Efektivitas Anggaran
Hal yang perlu diperhatikan dalam prinsip ini adalah bagaimana memanfaatkan uang sebaik mungkin agar dapat menghasilkan perbaikan pelayanan kesejahteraan yang maksimal guna kepentingan masyarakat. Secara umum, kelemahan yang sangat menonjol dari anggaran selama ini adalah keterbatasan Daerah untuk mengembangkan instrumen teknis perencanaan anggaran yang berorientasi pada kinerja, bukan pendekatan incremental yang sangat lemah
(39)
landasan pertimbangannya. Oleh karenanya, dalam penyusunan anggaran harus memperhatikan tingkat efisiensi alokasi dan efektivitas kegiatan dalam pencapaian tujuan dan sasaran yang jelas. Berkenan dengan itu, maka penetapan standar kinerja proyek dan kegiatan serta harga satuannya akan merupakan faktor penentu dalam meningkatkan efisiensi dan efektivitas anggaran.
c. Anggaran Berimbang dan Defisit
Pada hakekatnya penerapan prinsip anggaran berimbang adalah untuk menghindari terjadinya hutang pengeluaran akibat rencana pengeluaran yang melampaui kapasitas penerimaannya. Apabila penerimaan yang telah ditetapkan dalam APBD tidak mampu membiayai keseluruhan pengeluaran, maka dapat dipenuhi melalui pinjaman daerah yang dilaksanakan secara taktis dan strategis sesuai dengan prinsip defisit anggaran. Penerapan prinsip ini agar alokasi belanja yang dianggarkan sesuai dengan kemampuan penerimaan daerah yang realistis, baik berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), dana perimbangan keuangan, maupun pinjaman daerah. Di sisi lain, kelebihan target penerimaan tidak harus selalu dibelanjakan, tetapi dicantumkan dalam perubahan anggaran dalam pasal cadangan atas pengeluaran tidak tersangka, sepanjang tidak ada rencana kegiatan mendesak yang harus segera dilaksanakan;
(40)
d. Disiplin Anggaran
Struktur anggaran harus disusun dan dilaksanakan secara konsisten. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah adalah rencana pendapatan dan pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah untuk 1 (satu) tahun anggaran tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah, sedangkan pencatatan atas penggunaan anggaran daerah sesuai dengan prinsip akuntansi keuangan daerah Indonesia. Tidak dibenarkan melaksanakan kegiatan/proyek yang belum/tidak tersedia kredit anggarannya dalam APBD/perubahan APBD. Bila terdapat kegiatan baru yang harus dilaksanakan dan belum tersedia kredit anggarannya, maka perubahan APBD dapat disegerakan atau dipercepat dengan memanfaatkan pasal pengeluaran tak tersangka, bila masih memungkinkan. Anggaran yang tersedia pada setiap pos/pasal merupakan batas tertinggi pengeluaran, oleh karenanya tidak dibenarkan melaksanakan kegiatan/proyek melampaui batas kredit anggaran yang telah ditetapkan. Di samping itu pula, harus dihindari kemungkinan terjadinya duplikasi anggaran baik antar Unit Kerja antara Belanja Rutin dan Belanja Pembangunan serta harus diupayakan terjadinya integrasi kedua jenis belanja tersebut dalam satu indikator kinerja. Pengalokasian anggaran harus didasarkan atas skala prioritas yang telah ditetapkan, terutama untuk program yang ditujukan pada upaya peningkatan pelayanan masyarakat. Dengan demikian, akan dapat dihindari pengalokasian anggaran pada proyek-proyek yang tidak efisien;
(41)
e. Transparansi dan Akuntabilitas Anggaran
Transparansi dan akuntabilitas dalam penyusunan anggaran, penetapan anggaran, perubahan anggaran dan perhitungan anggaran merupakan wujud pertanggungjawaban pemerintah daerah kepada masyarakat, maka dalam proses pengembangan wacana publik di daerah sebagai salah satu instrumen kontrol pengelolaan anggaran daerah, perlu diberikan keleluasaan masyarakat untuk mengakses informasi tentang kinerja dan akuntabilitas anggaran. Oleh karena itu, anggaran daerah harus mampu memberikan informasi yang lengkap, akurat dan tepat waktu untuk kepentingan masyarakat, pemerintah daerah dan pemerintah pusat, dalam format yang akomodatif dalam kaitannya dengan pengawasan dan pengendalian anggaran daerah. Sejalan dengan hal tersebut, maka perencanaan, pelaksanaan dan pelaporan proyek dan kegiatan harus dilaksanakan secara terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan secara teknis maupun ekonomis kepada pihak legislatif, masyarakat maupun pihak-pihak yang bersifat independen yang memerlukan.
(42)
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan aplikasi pengukuran implementasi pengelolaan keuangan daerah. Melalui pendekatan ini dapat diketahui secara obyektif tingkat efektivitas pelaksanaan pengelolaan keuangan daerah Pemerintah Kota Binjai yang dikelola oleh pemerintah daerah ditinjau dari kajian akdemis mengenai pencapaian tujuan atau sasaran dan proses pengeleolaan serta pertanggung jawaban keuangan daerah.
Oleh karena itu, dalam rangka pendalaman terhadap implementasi kebijakan pengelolaan keuangan daerah dengan metode penelitian deskriptif kualitatif yaitu, proses pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan objek penelitian secara jelas dan lebih mendetail (konprehenshif) serta untuk menarik generalisasi yang menjelaskan variabel yang menyebabkan suatu gejala atau kenyataan sosial.
Penelitian deskriptif kualitatif bertujuan untuk memperoleh informasi-informasi keadaan saat ini dan kaitannya dengan variabel-variabel yang ada pada penelitian ini. Penelitian ini tidak menguji hipotesis melainkan hanya mendeskripsikan informasi apa adanya sesuai dengan yang diteliti.
(43)
3.2 Definisi Konsep
Pengelolaan Keuangan Daerah, yaitu semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk didalamnya segala bentuk kekayaan daerah, dalam kerangka Angaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang dilakukan secara tertib, efisien, efektif, transparan dan bertanggungjawab dengan memperhatikan asas keadilan dan kepatuhan sehingga Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah dalam tahun anggaran yang berorientasi bagi kepentingan masyarakat.
3.3 Operasionalisasi Variabel
Untuk memberikan kemudahan dalam memahami variabel yang akan diukur dalam penelitian ini, perlu dirumuskan pengertian dan istilah yang digunakan untuk memperoleh batasan yang jelas dan memudahkan dalam menentukan indikatornya. Variabel dalam penelitian ini menggunakan satu variabel atau variabel tunggal, yaitu pengelolaan keuangan daerah berdasarkan proses perencanaan, pelaksanaan/ implementasi dan pertanggungjawaban pengelolaan keuangan daerah :
1. Perencanaan, yaitu suatu input yang digunakan berdasarkan aspirasi masyarakat yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah dan DPRD, yang hasilnya kemudian dijabarkan dalam usulan kegiatan masing-masing satu unit kerja dengan memperhatikan Standart Analisis Biaya (SAB) sehingga
(44)
setiap aktivitas kegiatan yang diusulkan mencerminkan dukungan terhadap pencapaian visi, misi tujuan dan sasaran serta hasil yang telah ditetapkan. 2. Pelaksanaan/ implementasi, yaitu input yang telah direncanakan sebelumnya
digunakan dalam APBD yang telah ditetapkan, kemudian dilaksanakan dan dicatat melalui sistem akuntansi untuk menghasilkan laporan pelaksanaan APBD, baik berupa laporan yang sifatnya triwulan maupun tahunan bahkan bulanan kalau mungkin sebagai laporan pertanggungjawaban kepala daerah. 3. Pertanggungjawaban, yaitu perwujudan kewajiban seseorang untuk
mempertanggungjawabkan pengelolaan dan pengendalian sumber daya dan pelaksanaan kebijakan yang dipercayakan kepadanya dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditetapkan.
3.4 Informan Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif kualitatif, maka dalam penelitian ini tidak dikenal adanya sampel penelitian, melainkan informan penelitian. Informan adalah orang yang memberikan informasi tentang situasi dan kondisi latar belakang penelitian (Lexy, 1998: 80). Untuk dapat memperoleh informasi yang lebih jelas mengenai masalah penelitian yang sedang dibahas, maka penelitian menentukan informan kunci (key informan). Atas dasar pertimbangan tersebut ditentukan informan penelitian, yaitu : ”Para
(45)
3.5 Tehnik Pengumpulan Data
Tehnik pengumpulan data dilakukan dalam penelitian ini adalah : a. Studi Kepustakaan
Yakni penyerapan data-data yang relevan dengan permasalahan dari buku dan referensi dan naskah kerja yang berhubungan dengan objek yang diteliti. Data yang diperoleh tersebut data sekunder dan digunakan sebagai pendukung dalam analisa data.
b. Wawancara
Kegiatan berhadapan langsung dengan informan untuk mendapatkan informasi penelitian.
3.6 Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada Pemerintahan Kota Binjai Propinsi Sumatera Utara.
3.7 Analisis Data
Dalam penelitian ini data diperoleh melalui penelitian deskriptif kualitatif artinya tehnik ini berusaha menyimpulkan data yang berhubungan dengan objek penelitian serta berusaha menjelaskan dan menggambarkan variabel penelitian secara mendalam dan komprehenshif (mendetail) sesuai dengan tujuan penelitian yang sudah dirumuskan. Tetapi tehnik ini tidak menggambarkan hubungan satu variabel
(46)
dengan variabel lainnya serta tidak menghasilkan teori baru dalam melihat hubungan antara variabel tersebut.
Atas dasar itu dapat diketahui tentang pengelolaan keuangan daerah. Kemudian berdasarkan analisis tersebut dapat disusun dan ditentukan rekomendasi kebijakan terhadap permasalah yang ada.
(47)
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian 4.1.1 Sejarah Singkat Kota Binjai
Berdasarkan penuturan orang tua yang dianggap mengetahui asal mula timbulnya Binjai, dahulunya adalah sebuah kampung kecil yang terletak di tepi Sungai Bingai, Binjai sebenarnya adalah nama sebuah pohon besar, rindang, tumbuh dengan kokoh di tepi sungai Bingai yang bermuara di Sungai Wampu pada tahun 1923. Gubernur Inggris yang berkedudukan di Pulau Penang telah mengutus John Anderson untuk pergi kepesisir Sumatera Timur dan dari catatannya disebut di kampung yang bernama Ba Bingai (menurut buku Mission to the Eastcoast of
Sumatera – Edinburg 1826). Sebenarnya sejak tahun 1982. Binjai telah dijadikan
bandar/ pelabuhan dimana hasil pertanian lada yang di ekspor adalah berasal dari perkebunan lada disekitar ketapang (pungai) atau kelurahan kebun lada/ damai.
Perkembangan jaman terus berjalan, pada tahun 1864 Daerah Deli telah dicoba ditanami tembakau oleh pioner Belanda bernama J. Nienkyis dan 1866 didirikan Deli Maatschappy. Usaha untuk menguasai Tanah Deli oleh orang Belanda tidak terkecuali dengan menggunakan politik pecah belah melalui pengangkatan datuk-datuk. Usaha ini diketahui oleh Datuk Kocik, Datuk Jalil da Suling Barat yang tidak mau bekerja sama dengan Belanda bahkan melakukan perlawanan. Bersamaan dengan itu Datuk Sunggal tidak menyetujui konsesi tanah pada perusahaan
(48)
Rotterdanmy oleh Sultan Deli karena tanpa persetujuan dibawah kepemimpinan Datuk Sunggal bersama rakyatnya di Timbang Langkat (Binjai) dibuat benteng pertahanan untuk menghadapi Belanda.
Dengan tindakan Datuk Sunggal ini Belanda merasa terhina dan memerintahkan Kapten Koops untuk menumpas para Datuk yang menentang Belanda. Pada tanggal 12 Mei 1872 terjadilah pertempuran yang sangat sengit antara Datuk/ masyarakat dengan Belanda. Peristiwa perlawanan inilah yang menjadi tonggak sejarah dan ditetapkan hari jadi Kota Binjai. Perjuangan para Datuk/ masyarakat terus berkobar dan pada akhirnya tanggal 24 Oktober 1872 Datuk Kocik, Datuk Jalil, dan Suling Barat dapat ditangkap Belanda dan kemudian pada tahun 1873 dibuang ke Cilacap. Pada tahun 1917 oleh pemerintah Belanda dikeluarkan Instelling Ordonantie No. 12 dimana Binjai dijadikan Gemente dengan luas 267 Ha.
Pada tahun 1942 – 1945 Binjai dibawah Pemerintah Jepang dengan kepala pemerintahannya adalah Kagujawa dengan sebutan Guserbu dan tahun 1944 – 1945 Pemerintah Kota dipimpin oleh Ketua Dewan Eksekutif J. Runnanbi dengan anggota Dr. RM Djulham, Natangsa Sembiring dan Tan Hong Poh.
Pada tahun 1945 (saat revolusi) sebagai Kepala Pemerintahan Kota Binjai adalah RM. Ibnu dan pada 29 Oktober 1945 T. Amir Hamzah diangkat menjadi Residen Langkat oleh Komite Nasional dan pada masa kedudukan Belanda 1947 Binjai berada dibawah Asisten Residen J. Bunger dan RM. Ibnu sebagai Wakil Walikota Binjai pada tahun 1948 – 1950 Pemerintah Kota Binjai dipegang oleh ASC Moree.
(49)
Tahun 1950 – 1956 Binjai menjadi Kota Administrasi Langkat dan sebagai Walikota adalah OK. Salamiddin kemudian T. Ubaudullah tahun 1953 – 1956. Berdasarkan Undang-undang darurat No. 9 Tahun 1956 Kota Binjai menjadi Otonom Kotapraja dengan Walikota pertama SS. Parumuhan.
Dalam perkembanagan Kota Binjai sebagai salah satu Daerah Tingakat II di Provinsi Sumatera Utara telah membenahi dirinya dengan melakukan pemekaran wilayahnya.
Semenjak di tetapkan Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1986 tentang Wilayah Kota, Daerah Kota Binjai telah diperluas menjadi 9,023 km2 dengan 5 (lima) wilayah kecamatan yang terdiri dari 11 desa dan 19 kelurahan pada tahun 1993 maka jumlah desa menjadi 17 dan kelurahan 20. Berdasarkan keputusan Gubernur Sumatera Utara No. 1401395/ SK/ 1993 Tanggal 3 Juni 1993 tentang pembentukan SK Gubernur Sumatera Utara No. 146/ 2624/ SK/ 1996 Tanggal 17 Agustus 1996, 17 desa-desa menjadi kelurahan.
Pembagian wilayah kecamatan adalah sebagai berikut : I. Kecamatan Binjai Selatan
a. Kelurahan Tanah Merah b. Kelurahan Binjai Estate c. Kelurahan Tanah Seribu d. Kelurahan Pujidadi
e. Kelurahan Rambung Dalam f. Kelurahan Rambung Barat
(50)
g. Kelurahan Rambung Timur h. Kelurahan Bhakti Karya II. Kecamatan Binjai Kota
a. Kelurahan Berngam b. Kelurahan Satria c. Kelurahan Setia d. Kelurahan Kartini e. Kelurahan Tangsi f. Kelurahan Binjai g. Kelurahan Pekan Binjai III. Kecamatan Binjai Timur
a. Kelurahan Mencirim b. Kelurahan Tunggurono c. Kelurahan Timbang Langkat d. Kelurahan Tanah Tinggi e. Kelurahn Sumber Muliorejo f. Kelurahan Dataran Tinggi g. Kelurahan Sumber Karya IV. Kecamatan Binjai Utara
a. Kelurahan Pahlawan b. Kelurahan Jatinegara c. Kelurahan Nangka
(51)
d. Kelurahan Jati Karya e. Kelurahan Damai f. Kelurahan Kebun Lada g. Kelurahan Cengkeh Turi h. Kelurahan Makmur i. Kelurahan Utomo V. Kecamatan Binjai Barat
a. Kelurahan Bandar Sinembah b. Kelurahan Limau Mungkur c. Kelurahan Limau Sundai d. Kelurahan Paya Roba e. Kelurahan Suka Maju f. Kelurahan Suka Ramai
Untuk menjawab tantangan penyelenggaraan pemerintahan, maka pada tahun 2005 telah dilaksanakan beberapa kebijakan antara lain melakukan penataan organisasi/ kelembagaan.
Dengan semangat otonomi daerah berdasarkan Undang-undang No. 22 Tahun 1999 yang kemudian direvisi menjadi Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 84 Tahun 2000 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah. Dengan adanya peraturan pemerintah ini Pemeritah Daerah melakukan restrukturisasi organisasi dalam rangka meningkatkan pelayanan penyelenggaraan pemerintah terhadap masyarakat, sejalan
(52)
dengan tuntutan perkembangan pelayanan agar pelayanan pemerintah semakin baik dan kinerja semakin efisien dan efektif.
4.1.2 Geografi/ Luas Wilayah Kota Binjai
Kota Binjai adalah merupakan salah satu kota yang termasuk dalam Konsep Kota Membidang dalam Medan Metropolitan Urban Development Project (MMUDP). Kota Binjai sebagai salah satu kota di Propinsi Sumatera Utara yang hanya berjarak ± 22 Km dari Kota Medan ( ± 30 menit perjalan ), berbatasan langsung dengan Kabupaten Deli Serdang dan Kabupaten Langkat, serta berada pada Jalur Trasportasi Utama yang menghubungkan Provinsi Sumatera Utara dengan Provinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD) serta ke Objek Wisata Bukit Lawang Kabupaten Langkat.
Kota Binjai yang memiliki luas 9.023,62 Ha terdiri dari 5 (lima) Kecamatan dan 37 (tiga puluh tujuh) kelurahan serta mempunyai penduduk sebanyak 216.608 jiwa yang terdiri dari berbagai etnis yang mempunyai kesadaran politik dan keamanan yang cukup tinggi, sehingga mendukung kondisi keamanan yang sangat konduktif.
Secara geografis Kota Binjai terletak pada posisi 3o 31' 31" - 3o 40' 2" LU dan 98o 27' 3" - 98o 32' 32" BT yang berbatas dengan :
1. Sebelah Utara : berbatas dengan Kecamatan Binjai Kabupaten Langkat dan Kecamatan Hamparan Perak Kabupaten Deli Serdang.
(53)
3. Sebelah Selatan : berbatas dengan Kecamatan Sei Bingai Kabupaten Langkat dan Kabupaten Deli Serdang.
4. Sebelah barat : berbatas dengan Kecamatan Selesai Kabupaten Langkat.
4.1.3 Tipologi
Kota Binjai terletak di atas permukaan laut dengan ketinggian + 28 m, mempunyai luas 9062,23 Ha berpenduduk 218.827 jiwa. Sebahagian besar wilayah Kota Binjai datar dengan tingkat kemiringan lahan 0 – 2 % dengan luas 8.739,72 Ha (96,85 %). Hanya sekitar 3,15 % wilayah yang memiliki tingkat kemiringan lahan antara 2 – 15% (283,90 Ha). Selain itu Kota Binjai secara administrasi mempunyai 5 (lima) Kecamatan dan dialiri oleh 3 (tiga) sungai yaitu Sungai Bingai, Sungai Mencirim dan Sungai Bangkatan.
Kondisi demikian merupakan suatu kendala dalam pengembangan jaringan drainase dan saluran air kotor, sebab dengan tingkat kemiringan yang datar pengeringan dengan memanfaatkan gaya grafitasi relatif sulit. Hal ini akan mengakibatkan kondisi saluran drainase relatif tidak mengalir dan selalu tergenang.
4.1.4 Iklim
Keadaan musim di Kota Binjai pada umumnya sama dengan keadaan musim di daerah Kota lain dalam Provinsi Sumatera Utara ang dikenal dengan 2 (dua) musim yakni musim hujan dan musim kemarau. Musim Hujan terjadi antara bulan Nopember sampai dengan bulan April sedangkan musim kemarau terjadi antara bulan
(54)
Mei sampai dengan bulan Oktober. Sedangkan suhu maksimum rata-rata pertahun 31,80 C dan suhu minimum rata-rata 21,30 C.
Lamanya penyinaran matahari yang terendah adalah 35 % dan yang tertinggi sekitar 57 % yang berarti rata-rata penyinaran matahari adalah 46 %. Disamping itu berdasarkan temperatur/ suhu udara Kota Binjai mempunyai kelembaban rata-rata 85%.
4.1.5 Hidrologi
Di wilayah Kota Binjai terdapat lima buah sungai yang mengalir dari Selatan dan Utara. Kelima sungai tersebut adalah Sungai Bingei, Sungai Mencirim, Sungai Bangkatan, dan Sungai Diski serta Sungai Rambai. Dari kelima sungai tersebut, hanya Sungai Bingei dan Sungai Mencirim yang relatif besar. Sedangkan yang terbesar adalah Sungai Bingei. Sungai Bangkatan memiliki muara pada Sungai Mencirim, dan Sungai Mencirim memiliki muara pada Sungai Bingei.
Adapun Sungai Bingei memiliki muara pada Sungai Wampu di Wilayah Kabupaten Langkat. Selain itu juga terdapat beberapa sungai kecil (alur) yang hanya berair ketika musim hujan, sekitar Sungai Mencirim dan Sungai Bangkatan merupakan wilayah banjir, yaitu Kelurahan Setia, Kartini, Rambung Barat dan Tanah Tinggi. Banjir terjadi bila hujan sangat lebat dan berlangsung lama. Setelah hujan reda, banjir tesebut akan megering, lamanya tergantung pada volume air hujan dan lamanya hujan.
(55)
4.1.6 Geologi
Kota Binjai secara umum terdiri dari jenis tanah alluvial. Tanah alluvial merupakan deposit yang terbesar secara luas terutama disepanjang Sungai Bingai, Sungai Mencirim yang terletak di dalam wilayah Kota Binjai.
Oleh kerena itu, Kota Binjai tidak memiliki potensi bahan galian yang dapat menunjang bahan baku untuk industri. Bahan tambang yang terdapat di daerah ini adalah berupa bahan galian C terdapat di sepanjang Sungai Bingai dan Sungai Mencirim yang tersebar di Kecamatan Binjai Utara, Binjai Barat, Binjai Selatan dan Binjai Timur.
4.1.7 Penggunaan Lahan
Penggunaan lahan dalam suatu daerah secara tidak langsung dapat digunakan sebagai indikator mengenai kegiatan masyarakat yang bersangkutan berdasarkan penggunaannya maka dapat diklasifikasikan seperti perumahan, persawahan, perkebunan, tegalan/ ladang, kebun campuran dan lain-lain.
Penggunaan lahan di Kota Binjai pada tahun 2005 dikelompokkan menjadi 2 (dua) yaitu lahan terbangun dan non terbangun, dimana masing-masing 2.869,57 Ha dan 6.154,05 Ha. Dari data yang dapat diketahui, bahwa penggunaan lahan untuk perumahan yang terluas adalah di Kecamatan Binjai Selatan dimana mencapai 536,42 Ha dan terendah di Kecamatan Binjai Barat seluas 217,96 Ha.
(56)
Selain dari pada itu penggunaan lahan untuk perusahaan seluas 273,41 Ha, jasa seluas 201,21 Ha, untuk industri sebesar 55,12 Ha dan lain-lain seluas 532,29 Ha.
Sedangkan lahan non terbangun digunakan untuk sawah 2.484,27 Ha, perkebunan 1.383,43 Ha dan ladang campuran/ tegalan seluas 2.286,35 Ha. Untuk jelasnya dapat dilihat pada tbel di bawah ini :
Tabel. 1 Jenis Penggunaan Lahan atau Tanah di 5 (Lima) Kecamatan Kota Binjai Tahun 2006
No Jenis Penggunaan
Tanah
Luas Penggunaan Jalan Per Kecamatan (Ha) Jumlah
I Penggunaan Tanah Urban Binjai Utara Binjai Timur Binjai Kota Binjai Selatan Binjai Barat
1. Permukiman 464,16 362,26 226,74 536,42 217,96 1.807,54 2. Jasa 57,50 43,31 34,56 32,92 32,92 201,21 3. Perusahaan 32,44 16,36 28,94 27,64 168,03 273,41 4. Industri 17,92 6,08 4,00 12,16 14,96 55,12 5. Lain-lain 108,91 128,71 63,65 186,53 44,49 532,29 II Pengunaan Lahan Rural Binjai Utara Binjai Timur Binjai Kota Binjai Selatan Binjai Barat Jumlah 1. Sawah 1.363,68 275,42 35,27 752,96 56,94 2.484,27 2. Perkebunan - 1.067,51 - 315,92 - 1.383,43 3. Kebun
Camp/Tegalan
314,51 270,35 18,84 1.131,95 550,70 2.286,35 Jumlah 2.359,12 2.170,00 412,00 2.996,50 1.086,00 9.023,62 Sumber Data : BPS Pemerintah Kota Binjai, 2004
4.1.8 Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Binjai
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Binjai memuat materi regional Kota Binjai, potensi, konsepsi pengembangan struktur tata ruang kota, rencana
(57)
penggunaan lahan, rencana pengembangan sarana dan prasarana serta rencana penataan bangunan.
Agar pembangunan yang di lakukan di Kota Binjai dapat dilakukan secara lebih merata, maka Kota Binjai dibagi atas 5 (lima) Bagian Wilayah Kota (BWK) yang masing-masing memiliki karakteristik yang berbeda.
Agar penetapan rencana di lapangan dapat di lakukan, maka batas wilayah kelima BWK tersebut adalah batas-batas administrasi kecamatan yang ada di Kota Binjai. Karakteristik tiap-tiap BWK tersebut dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel. 2 Pembagian BWK di Kota Binjai Tahun 2001 – 2010
No BWK Lingkup Wilayah Luas (Ha) Kegiatan Utama
1 A Kec. Binjai Utara 2,359,12 Kawasan industri, permukiman, kepadatan sedang, perdagangan sedang, perdagangan dan jasa, pelayanan sosial ekonomi, peternakan burung walet
2 B Kec. Binjai Timur 2.170,00 Permukiman kepadatan sedang (perkebunan tebu), perdangan dan jasa, pelayanan sosial ekonomi, perkantoran pemerintah dan swasta
3 C Kec. Binjai Kota 412,00 Pemukiman kepadatan tinggi, pusat kota, pusat pemerintah, perdagangan dan jasa, pelayanan sosial dan ekonomi, perkantoran pemerintah dan swasta
4 D Kec. Binjai Barat 1.086,00 Pemukiman kepadatan sedang, pertanian/ kebun campuran, peternakan,
(58)
perdagangan dan jasa, pelayanan sosial dan ekonomi
5 E Kec. Binjai Selatan 2.996,50 Kawasan lindung (kebun
campuran, tegalan, perkebunan tebu dan sawah), kawasan cadangan (pemukiman, sawah dan tegalan) pemukiman kepadatan rendah, pelayanan sosial ekonomi,
kawasan wisata, perternakan
4.1.9 Kependudukan
Kepadatan Penduduk Per Kecamatan di Kota Binjai setiap tahunnya menunjukkan peningkatan dan perlu mendapat perhatian.
Tabel. 3 Jumlah Penduduk Tiap Kecamatan Kota Binjai Tahun 1994-2004 Kecamatan Luas
(Km2)
Rumah Tangga
Jumlah Penduduk
Kepadatan Penduduk (Jiwa/Km2)
Binjai Selatan 29,96 9.536 42.874 4,50
Binjai Kota 4,12 7.591 34.318 4,52
Binjai Timur 21,70 10.788 49.494 4,59
Binjai Utara 23,59 13.816 67.201 4,86
Binjai Barat 10,98 8.358 38.349 4,59
(59)
Tabel. 4 Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin dan Pertumbuhan Penduduk Kota Binjai Tahun 1994-2004
Tahun Laki-Laki (jiwa) Perempuan (jiwa) Jumlah (jiwa) Pertumbuhan (%)
1994 92.101 92.992 185.093 1,20
1995**) 99.357 100.169 199.526 7,80
1996 101.194 102.023 203.217 1,85
1997 102.653 103.497 206.150 1,44
1998 104.264 105.211 209.475 1,61
1999 105.919 106.886 212.805 1,59
2000 106.953 106.234 213.187 0,18
2001 107.985 107.538 215.523 1,10
2002 110.459 108.686 219.145 1,68
2003 111.967 111.484 223.451 1,96
2004 116.366 115.870 232.236 3,93
Pertumbuhan Rata-rata (%) 1,77
Sumber Data : BPS Pemerintah Kota Binjai, 2004
Tabel. 5 Jumlah dan Kepadatan Penduduk Kota Binjai di Setiap Kecamatan Tahun 2004
No Kecamatan Luas
(Ha)
Penduduk (jiwa)
Kepadatan (jiwa/Ha)
(1) (2) (3) (4) (5)
1 Binjai Selatan 2.996,50 42.874 14
2 Binjai Kota 412,00 34.318 83
3 Binjai Timur 2.170,00 49.494 23
4 Binjai Utara 2.359,12 67.201 28
5 Binjai Barat 1.086,00 38.349 35
Jumlah 9.023,62 232.236 26
Sumber Data : BPS Pemerintah Kota Binjai, 2004
4.1.10 Mata Pencaharian Penduduk
Mata pencaharian penduduk Kota Binjai didominasi sektor pertanian karena sektor tersebut tidak memerlukan modal besar serta teknologi tinggi dan merupakan lapangan kerja tradisional seperti halnya daerah-daerah lain di Indonesia.
(60)
Tabel. 6 Pola Pencari Kerja Menurut Tingkat Pendidikan
No Pendidikan 1996 1997 1998 1999 2000
1 SD / Tdk Tamat SD 79 74 115 124 175
2 SLTP 94 189 170 183 280
3 SLTA 838 1.260 1.021 1.103 1.381
4 Akademi / S.Muda 104 88 137 148 159
5 Universitas / Sarjana 238 271 313 338 369
Jumlah 1.353 1.882 1.756 1.891 2.364
Sumber Data : BPS Pemerintah Kota Binjai, 2004
4.1.11 Transfortasi
Tabel. 7 Penunjuk Jalan Menurut Jenis Permukaan Tahun 1999 No Jenis Permukaan Jalan
Negara(Km)
Jalan Propinsi
(Km)
Jalan Kab / Kota (Km)
Jumlah
1 Aspal 12.000 14.480 211.208 298.048
2 Kerikil - - 31.131 31.131
3 Tanah - - 91.175 91.175
Jumlah 12.000 14.480 333.514 360.354
Sumber Data : BPS Pemerintah Kota Binjai, 2004
Tabel. 8 Perkembangan Angkutan Umum yang Beroperasi
No Jenis Angkutan 1996 2000 % Kenaikan
1 Mobil Penumpang 363 882 24,9
2 Mobil Gerobak 222 275 5,5
3 Mobil Bus 132 171 6,7
4 Becak Bermotor 864 2100 24,9
(61)
4.1.12 Komunikasi Kantor pos
Kantor pos yang terdapat di Kota Binjai hanya berjumlah 1 (satu) unit untuk kantor pos besar,dan 2 (dua) unit untuk kantor pos pembantu.
Telekomunikasi
Tabel. 9 Perkembangan Unit Pelayanan Pelanggan
No Uraian 1996 2000 Persentase
1 Sentral 1 1 -
2 Kapasitas 5710 9226 12,7
3 Jaringan Kabel 5058 8200 12,8
4 Telepon Umum (Coin) 72 58 -5,3
5 Telepon Kartu 16 7 18,7
6 Telepon Swasta lainnya (wartel)
6 12 19 Sumber Data : BPS Pemerintah Kota Binjai, 2004
4.1.13 Air Minum
Tabel. 10 Perkembangan Jumlah Pelanggan Air Minum PDAM
No Uraian 1996 2000 % Kenaikan
1 Sosial Umum / Khusus 55 127 22,0
2 Rumah Tangga 2.040 6.375 33,0
3 Instansi Pemerintah 275 340 5,5
4 Niaga 1.448 514 -23,0
5 Industri - 2 -
Jumlah 3.818 7.352
(62)
4.1.14 Energi Tenaga Listrik
Tabel. 11 Perkembangan Jumlah Pelanggan Listrik
No Jenis Pelanggan 1996 2000 % Kenaikan
1 Rumah Tangga 35.086 38.243 2,2
2 Komersil 2.017 3.513 15
3 Industri 109 43 -21
4 Publik / Umum 1.020 950 -2
Jumlah 38.232 42.749 2,8
Sumber Data : BPS Pemerintah Kota Binjai, 2004
Tabel. 12 Jumlah Sekolah Perkecamatan di Kota Binjai Kecamatan SD SMP Madrasah
Tsanawiyah
SMU Madrasah Aliyah
Total
Binjai Utara 45 16 5 12 7 85
Binjai Selatan 31 6 1 12 1 51
Binjai Timur 31 3 - 1 - 35
Binjai Barat 21 3 1 - - 25
Binjai Kota 26 9 2 6 2 45
Jumlah 154 37 9 31 10 241
Sumber Data : BPS Pemerintah Kota Binjai, 2004
Jumlah Total Sekolah yang ada dikota Binjai ada sebanyak 241 buah yang terdiri dari 154 Sekolah Dasar, 37 Buah Sekolah Menengah Pertama, 9 Buah Sekolah Madrasah setingkat SMP dan 31 buah Sekolah Menengah Umum serta 10 buah Sekolah Madrasah setingkat SMU.
(63)
Tabel. 13 Jumlah Penduduk Masa Usia Sekolah Kecamatan 5 - 12 Tahun (SD) 12 - 15 Tahun
(SMP)
15 - 19 Tahun (SMU)
Binjai Utara 6.360 2.228 5.031
Binjai Selatan 5.112 1.951 4.105
Binjai Timur 4.474 2.656 5.864
Binjai Barat 9.694 3.519 7.622
Binjai Kota 5.754 6.124 4.530
Jumlah 34.394 16.478 27.152
Sumber Data : BPS Pemerintah Kota Binjai, 2004
Tabel. 14 Daya Tampung Siswa Rata - rata di Tiap - tiap Sekolah Per Kecamatan
Kecamatan SD) SMP SMU
Binjai Utara 141 106 265
Binjai Selatan 165 289 316
Binjai Timur 241 885 5.864
Binjai Barat 412 880 7.622
Binjai Kota 221 358 566
Sumber Data : BPS Pemerintah Kota Binjai, 2004
Tabel. 15 Jumlah Lokal / Ruang Kelas yang dibutuhkan di Tiap - tiap Kecamatan
Kecamatan SD SMP SMU
Binjai Utara 182 67 144
Binjai Selatan 147 57 119
Binjai Timur 231 89 169
Binjai Barat 277 100 219
Binjai Kota 165 188 130
Jumlah 984 491 781
(64)
4.1.15 Agama
Jumlah rumah ibadah pada tahun 2000 di Kota Binjai tercatat sebanyak 343 buah yang terdiri dari 112 mesjid, 33 buah mushalla dan 165 langgar, 22 buah gereja, 2 buah pura dan 9 vihara.
4.1.16 Kesehatan
Tabel. 17 Sarana Kesehatan yang ada di Kota Binjai pada waktu sekarang ini adalah :
Sarana Kesehatan Jumlah
Rumah Sakit Umum/ Swasta 2 Buah
Puskesmas 6 Buah
Puskesmas Pembantu 13 Buah
Poliklinik / BPU 7 Buah
Klinik Bersalin 7 Buah
Poliklinik Induk 1 Buah
Apotik 10 Buah
Sumber Data : BPS Pemerintah Kota Binjai, 2004
Dengan jumlah penduduk Kota Binjai sebanyak 215.523 penduduk maka untuk satu Rumah Sakit akan melayani sejumlah 107.761 penduduk, sedangkan untuk satu Puskesmas / Puskesmas Pembantu akan melayani 11.343 penduduk, jadi masih banyak diperlukan lagi sarana kesehatan yang dibutuhkan di Kota Binjai.
Tabel. 18 Jumlah Sarana Kesehatan pada Masing - masing Kecamatan Kecamatan Rumah
Sakit
Puskesmas Puskesmas Pembantu
Klinik Bersalin
Poliklini/B PU
Binjai Utara - 1 4 3 -
Binjai Timur - 1 3 - 2
Binjai Kota 1 1 - 2 3
Binjai Selatan 1 2 3 2 -
Binjai Barat - 1 3 2 -
Jumlah 2 6 13 8 7
(65)
4.2 Hasil Penelitian
Sehubungan dengan ditetapkannya Permendagri No. 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, maka dalam rangka mewujudkan akuntabilitas dan transparansi di lingkungan pemerintah daerah dalam hal pengelolaan keuangan daerah dituntut untuk menyusun Perencanaan Pengelolaan Keuangan Daerah melalui RKA dan DPA. Dokumen tersebut disusun serta disampaikan dalam laporan pertanggungjawaban pengelolaan keuangan dengan cakupan yang lebih luas dan tetap waktu.
Menurut Undang-undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara ditegaskan bahwa Laporan Pertanggungjawaban Keuangan dimaksud dinyatakan dalam bentuk laporan keuangan yang setidak-tidaknya meliputi Laporan Realisasi Anggran, Neraca, Laporan Arus Kas, Catatan Atas Laporan Keuangan, dan disusun berdasarkan SAP.
Aspek yang sangat penting dalam praktek Akuntansi dan Pelaporan Keuangan di lingkungan pemeritah berhubungan dengan penetapan satuan kerja instansi yang memiliki tanggungjawab kepada masyarakat secara eksplisit, dimana laporan keuangan wajib di audit dengan opini dari lembaga pemeiksa yang berwenang. Instansi demikian merupakan sebagai Entitas Pelaporan. Dalam peraturan pemerintah ini ditetapkan bahwa yang termasuk Entitas Pelaporan adalah (1) Pemerintah Pusat, (2) Pemerintah Daerah, (3) Setiap Kementerian Negara/ Lembaga, dan (4) Bendahara Umum Negara. Sementara itu out dari setiap Kuasa Pengguna Anggaran, termasuk Entitas Pelaksana Dana Dekonsentrasi/ Tugas Pembantuan untuk Pemerintah Pusat,
(66)
Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), Bendahara Umum Daerah, dan Kuasa Pengguna Anggaran tertentu di tingkat daerah diwajibkan menyelenggarakan akuntansi sebagai Entitas Akuntasi.
Permendagri No. 13 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, menjabarkan lebih rinci komponen laporan keuangan yang wajib disusun dan disampaikan oleh setiap tingkatan Pengguna Anggaran, Pengelola Perbendaharaan serta Pemerintah Daerah. Selain itu, diatur pula hubungan kegiatan akuntansi mulai dari tingkat satuan kerja pelaksana sampai tersusunnya Laporan Keuangan Pemerintah Daerah dengan jadwal yang telah ditentukan.
4.3 Analisis Data dan Pembahasan
Analisis dalam penelitian ini digunakan untuk mengetahui proses pengelolan keuangan daerah Pemerintah Kota Binjai dimulai dari penyusunan anggaran dengan cara mendeskripsikan atau menggambarkan keadaan yang nyata terjadi, diamati dengan bertitik tolak pada pemahaman konsepsi serta pandangan atas teori yang terkait.
Untuk mengimplementasikan Permendagri No. 13 Tahun 2006 tersebut, khususnya yang terkait penyusunan Laporan Keuangan dan Penatausahaan Keuangan SKPD, yang mencakup beberapa aspek penting dalam Pengelolaan Keuangan Daerah:
(67)
I. a. Penyusunan RKA meliputi :
1. Penyusunan rancangan APBD dan kebijakan umum APBD secara prioritas dan plafon anggaran.
2. Rencana kerja Pemerintah Daerah.
3. Kebijakan Umum APBD serta prioritas dan platfon anggaran sementara. 4. Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran SKPD.
5. Rencana Kerja dan Anggaran SKPD.
b. Pelaksanaan APBD dan Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA) 1. Azas Umum Pelaksanaan APBD.
2. Dokumen pelaksanaan Anggaran (DPA) SKPD.
3. Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belana Daerah.
4. Kebijkan Umum Prioritas dan Platfon Anggaran Perubahan APBD. II. a. Penatausahaan Keuangan Daerah
1. Azas Umum penata Usahaan Keuangan Daerah. 2. Pelaksanaan Penata Usahaan Keuangan Daerah. 3. Penata Usahaan Penerimaan.
4. Penata Usahaan Pembayaran.
5. Permintaan dan prosedur pembayaran. 6. Permintaan membayar dan pencarian dana. 7. Pertanggung jawaban penggunaan dana.
(68)
b. Laporan Keuangan pada SKPD 1. Laporan Realisasi Anggaran SKPD. 2. Neraca SKPD.
3. Catatan Atas Laporan Keuangan SKPD. III. Sistem Akuntansi Keuangan SKPD
1. Proses Akuntansi Penerimaan Kas pada SKPD. 2. Prosedur Akuntansi Pengeluaran Kas pada SKPD. 3. Prosedur Akuntansi Selain Kas pada SKPD.
Kebijakan tersebut merupakan landasan bagi penyelenggaraan kegiatan akuntansi mulai dari satuan kerja pengguna anggaran, penyusunan laporan keuangan oleh Entitas Pelaporan dan penyajiannya kepada BPK untuk diaudit, hingga penyampaian Rancangan Peraturan Daerah tentang Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD.
4.3.1 Proses Penyusunan APBD Kota Binjai
Penyusunan Anggaran Belanja Daerah bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah yang disesuaikan dengan siklus anggaran dan merupakan suatu kegiatan menyeluruh, utuh dan terpadu baik melalui pendekatan top
down approach maupun bottom up approach. Penyusunan anggaran dengan
pendekatan top down approach dilakukan langsung oleh departemen dan lembaga non departemen dari pemerintah atasan/ pusat. Bottom up approach merupakan proses penyusunan anggaran yang dimulai dari pemerintahan terendah sampai kepada
(69)
pemerintahan yang tertinggi. Pendekatan ini mengutamakan aspirasi pembangunan dari masyarakat dalam menyusun usulan kegiatan daerah dan usulan proyek daerah. Proses penyusunan anggaran belanja daerah menurut pendekatan bottom up approach dimulai dari mengidentifikasi dan menginventarisasi kebutuhan masyarakat yang disalurkan dari pemerintahan desa/ kelurahan melalui musyawarah pembangunan desa (Musrenbangdes) dan diteruskan ke tingkat kecamatan melalui temu karya pembangunan, Rakorbang II di tingkat kabupaten/ kota, Rakorbang I di tingkat propinsi dan akhirnya Rakornas di tingkat nasional.
Usulan rencana anggaran belanja pembangunan pada tingkat desa/ kelurahan akan dibahas melalui musyawarah pembangunan desa. Hasil pembahasannya diusulkan kepada pemerintahan kecamatan yang akan dibahas dalam temu karya pembangunan. Hasil temu karya pembangunan akan diusulkan kepada pemerintah kabupaten dalam rapat koordinasi pembangunan (rakorbang) di tingkat kabupaten. Pada rakorbang di tingkat kota/ kabupaten ini akan muncul proyek-proyek yang akan dibiayai dari pendapatan asli daerah dan pemerintah atasan. Usulan rencana anggaran belanja pembangunan yang akan dibiayai oleh pemerintah atasan/ pusat akan dibahas dalam rapat koordinasi regional tingkat propinsi dan tingkat nasional. Anggaran belanja pembangunan dalam bentuk proyek yang telah disetujui oleh pemerintah atasan/ pusat serta proyek-proyek yang diprioritaskan pembiayaannya dari pendapatan asli daerah akan dijadikan bahan, pedoman dan acuan dalam penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
(70)
Proses penyusunan Anggaran Belanja Pemerintah Daerah Kota Binjai disusun berdasarkan tahap-tahap sebagai berikut:
1. Tahap Persiapan
a. Penyusunan anggaran daerah dimulai dengan pembentukan panitia anggaran eksekutif yang beranggotakan dari unsur pimpinan dan staf yang berkaitan dengan perencanaan anggaran seperti Walikota, Sekda, Para Asisten, Bappeda, Dinas Pendapatan Daerah, bagian Keuangan, bagian Hukum, bagian Umum dan bagian Penyusunan Program SKPD.
b. Panitia anggaran eksekutif melalui bagian Keuangan dalam hal ini sub bagian anggaran mengeluarkan surat edaran guna meminta usulan anggaran belanja rutin dari masing-masing Dinas/ Instansi dalam bentuk Daftar Usulan Kegiatan Daerah (DUKDA) yang menitikberatkan kepada kebutuhan rutin untuk menunjang penyelenggaraan kegiatan pemerintahan sehari-hari seperti belanja pegawai, belanja barang, belanja pemeliharaan, belanja perjalanan dinas dan belanja lain-lain. Anggaran belanja pembangunan surat edarannya dikeluarkan oleh pihak Bappeda yang meminta usulan belanja pembangunan dalam bentuk Daftar Usulan Proyek Daerah (DUPDA).
c. Usulan dan rencana kebutuhan tersebut direkapitulasi dengan berpedoman pada arah, sasaran dan tujuan sesuai pola dasar, Rencana Umum Pembangunan Tahunan Daerah (RUPTD), Rencana Umum Pembangunan Lima Tahunan Daerah (REPELITADA), dan pedoman penyusunan APBD,
(1)
dapat menjamin pengembalian kerugian daerah, kepala daerah segera mengeluarkan surat keputusan pembebanan penggantian kerugian sementara kepada yang bersangkutan.
Pasal 317
(1) Dalam hal bendahara, pegawai negeri sipil bukan bendahara, atau pejabat lain yang dikenai tuntutan ganti kerugian daerah berada dalam pengampuan, melarikan diri, atau meninggal dunia, penuntutan dan penagihan terhadapnya beralih kepada pengampu/yang memperoleh hak/ahli waris, terbatas pada kekayaan yang dikelola atau diperolehnya, yang berasal dari bendahara, pegawai negeri sipil bukan bendahara, atau pejabat lain yang bersangkutan.
(2) Tanggung jawab pengampu/yang memperoleh hak/ahli waris untuk membayar ganti kerugian daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi hapus apabila dalam waktu 3 (tiga) tahun sejak keputusan pengadilan yang menetapkan pengampuan kepada bendahara, pegawai negeri sipil bukan bendahara, atau pejabat lain yang bersangkutan, atau sejak bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, atau pejabat lain yang bersangkutan diketahui melarikan diri atau meninggal dunia, pengampu/yang memperoleh hak/ahli waris tidak diberi tahu oleh pejabat yang berwenang mengenai adanya kerugian daerah.
Pasal 318
(1) Ketentuan penyelesaian kerugian daerah sebagaimana diatur dalam peraturan menteri ini berlaku pula untuk uang dan/atau barang bukan milik daerah, yang berada dalam penguasaan bendahara, pegawai negeri sipil bukan bendahara, atau pejabat lain yang digunakan dalam penyelenggaraan tugas pemerintahan.
(2) Ketentuan penyelesaian kerugian daerah dalam peraturan menteri ini berlaku pula untuk pengelola perusahaan daerah dan badan-badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan daerah, sepanjang tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri.
Pasal 319
(1) Bendahara, pegawai negeri sipil bukan bendahara, dan pejabat lain yang telah ditetapkan untuk mengganti kerugian daerah dapat dikenai sanksi administratif dan/atau sanksi pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Putusan pidana atas kerugian daerah terhadap bendahara, pegawai negeri sipil bukan bendahara dan pejabat lain tidak membebaskan yang bersangkutan dari tuntutan ganti rugi.
(2)
Pasal 320
Kewajiban bendahara, pegawai negeri sipil bukan bendahara, atau pejabat lain untuk membayar ganti rugi, menjadi kedaluwarsa jika dalam waktu 5 (lima) tahun sejak diketahuinya kerugian tersebut atau dalam waktu 8 (delapan) tahun sejak terjadinya kerugian tidak dilakukan penuntutan ganti rugi terhadap yang bersangkutan.
Pasal 321
(1) Pengenaan ganti kerugian daerah terhadap bendahara ditetapkan oleh BPK.
(2) Apabila dalam pemeriksaan kerugian daerah ditemukan unsure pidana, BPK menindaklanjutinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 322
Pengenaan ganti kerugian daerah terhadap pegawai negeri sipil bukan bendahara ditetapkan oleh kepala daerah.
Pasal 323
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara tuntutan ganti kerugian daerah diatur dengan peraturan daerah dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan.
BAB XV
PENGELOLAAN KEUANGAN BADAN LAYANAN UMUM DAERAH
Pasal 324
(1) Pemerintah daerah dapat membentuk BLUD untuk :
a. menyediakan barang dan/atau jasa untuk layanan umum; dan
b. mengelola dana khusus dalam rangka meningkatkan ekonomi dan/atau pelayanan kepada masyarakat.
(2) Instansi yang menyediakan barang dan/atau jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, antara lain rumah sakit daerah, penyelenggara pendidikan, penerbit lisensi dan dokumen, penyelenggara jasa penyiaran publik, penyedia jasa penelitian dan pengujian, serta instansi layanan umum lainnya.
(3)
masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, antara lain instansi yang melaksanakan pengelolaan dana seperti dana bergulir usaha kecil menengah, tabungan perumahan, dan instansi pengelola dana lainnya.
Pasal 325
(1) BLUD dibentuk untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
(2) Kekayaan BLUD merupakan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan serta dikelola dan dimanfaatkan sepenuhnya untuk menyelenggarakan kegiatan BLUD yang bersangkutan
Pasal 326
(1) Pembinaan keuangan BLUD dilakukan oleh PPKD dan pembinaan teknis dilakukan oleh kepala SKPD yang bertanggung jawab atas urusan pemerintahan yang bersangkutan.
(2) Pembinaan keuangan BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pemberian pedoman, bimbingan, supervisi pendidikan dan pelatihan dibidang pengelolaan keuangan BLUD.
(3) Pembinaan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pemberian pedoman, bimbingan, supervisi, pendidikan dan pelatihan dibidang penyelenggaraan program dan kegiatan BLUD.
Pasal 327
BLUD dapat memperoleh hibah atau sumbangan dari masyarakat atau badan lain.
Pasal 328
Seluruh pendapatan BLUD dapat digunakan langsung untuk membiayai belanja BLUD yang bersangkutan.
Pasal 329
Pedoman teknis mengenai pengelolaan keuangan BLUD diatur lebih lanjut oleh Menteri Dalam Negeri setelah memperoleh pertimbangan Menteri Keuangan.
(4)
BAB XVI
PENGATURAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH
Pasal 330
(1) Ketentuan tentang pokok-pokok pengelolaan keuangan daerah diatur dengan peraturan daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Berdasarkan peraturan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepala daerah menetapkan peraturan kepala daerah tentang sistem dan prosedur pengelolaan keuangan daerah.
(3) Sistem dan prosedur pengelolaan keuangan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencakup tata cara penyusunan, pelaksanaan, penatausahaan dan akuntansi, pelaporan, pengawasan dan pertanggungjawaban keuangan daerah (4) Peraturan kepala daerah tentang sistem dan prosedur pengelolaan keuangan
daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), juga memuat tata cara penunjukan pejabat yang diberi wewenang BUD, kuasa BUD, pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran, bendahara penerimaan, dan bendahara pengeluaran berhalangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 216 ayat (8), Pasal 211 ayat (3), Pasal 194, dan Pasal 226.
BAB XVII
KETENTUAN PERALIHAN Pasal 331
Pada saat peraturan menteri ini ditetapkan, semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan daerah sepanjang belum diganti dan tidak bertentangan dengan peraturan menteri ini dinyatakan tetap berlaku.
Pasal 332
Dengan ditetapkannya peraturan menteri ini:
a. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1), Pasal 90 ayat (2), dan Pasal 296 ayat (4), tentang bendahara penerimaan dan bendahara pengeluaran, penyusunan RKA-SKPD dengan menggunakan pendekatan berdasarkan prestasi kerja, dan penyusunan laporan keuangan pemerintah daerah berdasarkan standar akuntansi pemerintahan dilaksanakan secara bertahap mulai tahun anggaran 2006.
(5)
b. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1) dan Pasal 116 ayat (1) tentang penyusunan rancangan PPAS dan penetapan APBD setelah dievaluasi mulai dilaksanakan untuk penyusunan dan pelaksanaan APBD tahun anggaran 2007.
c. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 233 ayat (2) tentang sistem akuntansi pemerintahan daerah yang mengacu pada standar akuntansi pemerintahan dilaksanakan secara bertahap mulai tahun anggaran 2007.
d. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (2) tentang penyusunan RKA-SKPD dengan menggunakan pendekatan kerangka pengeluaran jangka menengah daerah dilaksanakan mulai tahun anggaran 2009.
e. Peraturan daerah tentang pokok-pokok pengelolaan keuangan daerah ditetapkan paling lambat 2 tahun sejak ditetapkan peraturan menteri ini.
Pasal 333
Pada saat peraturan menteri ini ditetapkan, bagi pemerintah daerah yang belum menetapkan RPJMD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (1), dokumen perencanaan daerah lainnya dapat digunakan sebagai pedoman penyusunan RKPD.
BAB XVIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 334
(1) Direktur Jenderal Bina Administrasi Keuangan Daerah Departemen Dalam Negeri melakukan fasilitasi pelaksanaan peraturan menteri ini.
(2) Fasilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup mengkoordinasikan, menyempurnakan lampiran-lampiran sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, melaksanakan sosialisasi, supervisi dan bimbingan teknis, serta memberikan asistensi untuk kelancaran penerapan peraturan menteri ini.
Pasal 335
Dengan ditetapkannya peraturan menteri ini, Keputusan Menteri Dalam Negeri yang mengatur tentang pedoman pengurusan, pertanggungjawaban dan pengawasan keuangan daerah serta tata cara penyusunan anggaran pendapatan dan belanja daerah, pelaksanaan tata usaha keuangan daerah dan belanja daerah, serta petunjuk pelaksanaannya, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
(6)
Pasal 336
Peraturan menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 15 Mei 2006
MENTERI DALAM NEGERI,
ttd