Fenomena Bintang Tampak Berkelip Dan Kaitannya Dengan Posisinya Di Jagat Raya Menurut Teori Relativitas Einstein

(1)

FENOMENA BINTANG TAMPAK BERKELIP DAN KAITANNYA

DENGAN POSISINYA DI JAGAT RAYA MENURUT TEORI

RELATIVITAS EINSTEIN

SKRIPSI

IZKAR HADIYA

050801017

DEPARTEMEN FISIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2010


(2)

FENOMENA BINTANG TAMPAK BERKELIP DAN KAITANNYA DENGAN POSISINYA DI JAGAT RAYA MENURUT TEORI

RELATIVITAS EINSTEIN

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Sains

IZKAR HADIYA 050801017

DEPARTEMEN FISIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2010


(3)

PERSETUJUAN

Judul : FENOMENA BINTANG TAMPAK BERKELIP

DAN KAITANNYA DENGAN POSISINYA DI JAGAT RAYA MENURUT TEORI RELATIVITAS EINSTEIN

Kategori : SKRIPSI

Nama : IZKAR HADIYA

Nomor Induk Mahasiswa : 050801017

Program Studi : SARJANA (S1) FISIKA Departemen : FISIKA

Fakultas : MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

ALAM (MIPA) UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Diluluskan di

Medan, Maret 2010

Diketahui/ Disetujui

Departemen Fisika FMIPA USU Pembimbing Ketua,

Dr. Marhaposan Situmorang Drs. Milangi Ginting, MS NIP. 195510301980031003 NIP.194708231981021001


(4)

PERNYATAAN

FENOMENA BINTANG TAMPAK BERKELIP DAN KAITANNYA DENGAN POSISINYA DI JAGAT RAYA MENURUT TEORI

RELATIVITAS EINSTEIN

SKRIPSI

Saya mengakui bahwa skripsi ini adalah hasil kerja saya sendiri, kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbenya.

Medan, Maret 2010

IZKAR HADIYA 050801017


(5)

PENGHARGAAN

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT Yang Maha Pemurah dan Maha Penyayang, karena berkat limpah rahmat dan karunia-Nya, tugas akhir yang berjudul : “Fenomena Bintang Tampak Berkelip Dan Kaitannya Dengan Posisinya Di Jagat Raya Menurut Teori Relativitas Einstein” dapat diselesaikan tepat pada waktunya.

Ucapan terimakasih saya sampaikan kepada pihak-pihak yang telah banyak membantu serta mendukung saya dalam menyelesaikan skripsi ini yang antara lain :

1. Drs. Milangi Ginting, MS selaku pembimbing yang telah memberikan panduan dengan penuh kepercayaan kepada saya untuk menyempurnakan kajian ini dan meluangkan waktunya yang berharga untuk membimbing saya sampai skripsi ini selesai dengan baik sesuai dengan harapan.

2. Ketua dan Sekretaris Departemen Fisika, Dr. Marhaposan Sitomorang dan Dra. Justinon, M.Si yang telah banyak membantu dalam bidang administrasi baik selama masa perkuliahan sampai pelaksanaan tugas akhir yang meliputi, pengajuan pembimbing, seminar proposal dan hasil serta ujian skripsi.

3. Dekan dan Pembantu Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) USU serta staf pegawai dekanat yang mengurus administrasi selama perkuliahan dan pelaksanaan tugas akhir.

4. Dosen penguji/pembanding dalam pelaksanaan tugas akhir yaitu Drs. Tenang Ginting, MS, Dra. Agustina Siregar, M.Si, Drs. Mimpin Sitepu, MS, Drs. H.Sudjono, MS dan Drs. Nerrus Tarigan, M.Si (Alm) yang banyak memberikan saran dan perbaikan demi kesempurnaan skripsi ini.

5. Seluruh dosen pada Departemen Fisika FMIPA USU yang telah memberikan bimbingan selama perkuliahan.

6. Pegawai Departemen Fisika USU yang membantu penulis mengurus administrasi selama perkuliahan.

7. Rekan-rekan kuliah saya yaitu antara lain Nurwahyu hidayati, Wulan Sari, Shinta Novianti, Dian Triana Sari, Fitriyani, Zulfikar dan seluruh stambuk fisika FMIPA USU yang telah memberikan dukungan berupa semangat, menemani saya dalam proses perkuliahan dan menolong saya dalam berbagai kesulitan.

8. Teman-teman kos yaitu Yustanti Marpaung, A.Md, Nurwahyu Hidayati, Ayu Nurul Huda, Risna Nur Rahayu dan Fitri Amelia yang terus memberikan semangat dan dukungan selama perkuliahan dan pengerjaan tugas akhir.

9. Istimewa dan tidak terlupakan kepada Ayahanda saya Sanusi Mustafa, S.Pd, Ibunda saya Dra. Khairul Kamariah, Kakanda saya Ighfar Ilaina, dan adinda saya Iqbal Ridha dan Ikmal Maulana serta semua ahli keluarga yang telah yang telah memberikan saya dukungan moril dan meteril yang tak ternilai besarnya. 10. Semua pihak yang telah membantu penulis yang tak bisa saya urutkan satu

persatu semoga Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa membalas segala amal baik mereka.


(6)

ABSTRAK

Dalam tulisan ini, fenomena bintang tampak berkelip dijelaskan dengan mengacu kepada teori relativitas Einstein tentang gerak relatif suatu kerangka acuan terhadap kerangka acuan lainnya yakni bintang terhadap pengamat di bumi. Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan hubungan antara posisi bintang dan fenomena bintang tampak berkelip sehingga didapatkan penyebab bintang tampak berkelip. Dari pengumpulan literatur yang dilakukan didapatkan bahwa fenomena bintang tampak berkelip terjadi karena radiasi bintang tidak dapat diterima pengamat secara kontinu setiap saat. Perubahan posisi bintang terhadap pengamat memberikan pengaruh terhadap pengamat berupa perbedaan intensitas penerimaan cahaya akibat perubahan arah penerimaan cahaya oleh pengamat. Ketiadaan kerangka acuan universal menyebabkan fenomena ini bersifat relativistik bagi setiap peninjauan. Efek Doppler yang ditimbulkan dari gerak relatif bintang terhadap pengamat yang berada di bumi tidak menimbulkan perubahan warna spektrum bintang tetapi cukup untuk menunjukkan terjadinya pelemahan atau penguatan frekuensi cahaya yang diterima pengamat.


(7)

THE STARS SEEM TO FLICKER PHENOMENON AND RELATIONSHIP WITH POSITION IN UNIVERSE BY REFERENCE TO

EINSTEIN’S RELATIVITY THEORY

ABSTRACT

In this writing, the stars seem to flicker phenomenon is described by reference to Einstein's relativity theory about motion of a frame of reference relative to the other frame of reference that is the star to the observer on the earth. This research was conducted to obtain the relationship between the positions of stars and the stars seemed to flicker phenomenon so that obtain causes of stars seem to flicker. From the literature’s collection have done, was found that stars seem to flicker phenomenon occurs because radiation of star can not be accepted continuously at all times by observer. The Change of position of the star to the observer give effect formed of acceptance differences of light intensity due because changes of reception light direction by the observer. The absence of universal frame of reference causing this phenomenon are relativistic for each review. The Doppler effect arising from relative motion of the star to the observer in the earth do not cause change color spectrum, but is enough to show the weakening or strengthening of the star light frequency received by the observer.


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

Persetujuan ii

Pernyataan iii

Penghargaan iv

Abstrak v

Abstract vi

Daftar Isi vii

Daftar Tabel viii

Daftar Gambar ix

BAB 1. PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang Masalah 1

1.2 Batasan Masalah 2

1.3 Tujuan Penelitian 2

1.4 Manfaat Penelitian 3

1.5 Metodologi Penelitian 3

1.6 Sistematika Penulisan 4

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 5

2.1 Atmosfer Bumi 5

2.1.1 Pembagian Lapisan Atmosfer Bumi 6

2.1.2 Komposisi Atmosfer Bumi 9

2.1.3 Perambatan Cahaya Melalui Atmosfer Bumi 10

2.2 Sifat Fisis Cahaya 13

2.2.1 Pembagian Spektrum Gelombang Elektromagnetik. 13 2.2.2 Pemantulan dan Pembiasan Cahaya oleh Medium. 15 2.2.3 Sifat-Sifat Khusus Lainnya Yang Dimiliki Cahaya 16

2.2 Bintang 16

2.2.1 Jarak bintang 17

2.2.2 Perubahan posisi bintang 18

2.2.3 Karakteristik bintang 20

2.2.4 Evolusi bintang 24

2.2.5 Hubungan jarak bintang dengan kecerahannya 27

2.2.6 Diagram Hertzprung-Russell 30

2.2.7 Materi antar bintang 31

2.2.8 Perambatan cahaya melalui ruang antar bintang 32

2.3 Efek Dopler 34

2.4 Gerak bumi dan matahari 35

2.5 Teori Relativitas Einstein 36

2.5.1 Teori Relativitas Khusus 37

2.5.2 Teori Relativitas Umum 38


(9)

2.5.4 Transformasi Lorentz 40

BAB 3. HASIL DAN PEMBAHASAN 42

3.1 Fenomena Bintang Tampak Berkelip dan Kaitannya dengan 42 Posisinya di Jagat Raya Menurut Teori Relativitas Einstein.

3.2 Efek Doppler Dan Pengaruhnya Terhadap Fenomena Bintang 51 Tampak Berkelip.

BAB 4. KESIMPULAN DAN SARAN 55

4.1 Kesimpulan 55

4.2 Saran 56

DAFTAR PUSTAKA


(10)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1 Komposisi gas atmosfer pada ketinggian 0 km di atas permukaan

Laut. 9

Tabel 2.2 Klasifikasi Bintang Berdasarkan Temperaturnya 20


(11)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1 Pembagian lapisan atmosfer berdasarkan suhu 6

Gambar 2.2 Lapisan termosfer 8

Gambar 2.3 Perambatan cahaya bintang melalui atmosfer bumi 10 Gambar 2.4 Pemantulan dan pembiasan cahaya melalui dua medium dengan

Indeks bias (n1 > n2) 15

Gambar 2.5 Paralaks bintang 18

Gambar 2.6 Pergeseran Besar Susunan Bintang Sekarang dan yang Diperkirakan

Terlihat 100.000 Tahun yang Lalu 19

Gambar 2.7 Diagram Hertzprung-Russel 30

Gambar 2.8 Sistem koordinat ruang K dan K’ 41 Gambar 3.1 Gerak relatif bintang terhadap pengamat 44 Gambar 3.2 Gerak relatif bintang menurut pengamat di bumi 47 Gambar 3.3 Posisi bintang dan arah pengamatan dari pengamat akibat 50 terjadinya pembiasan di lapisan atmosfer.


(12)

ABSTRAK

Dalam tulisan ini, fenomena bintang tampak berkelip dijelaskan dengan mengacu kepada teori relativitas Einstein tentang gerak relatif suatu kerangka acuan terhadap kerangka acuan lainnya yakni bintang terhadap pengamat di bumi. Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan hubungan antara posisi bintang dan fenomena bintang tampak berkelip sehingga didapatkan penyebab bintang tampak berkelip. Dari pengumpulan literatur yang dilakukan didapatkan bahwa fenomena bintang tampak berkelip terjadi karena radiasi bintang tidak dapat diterima pengamat secara kontinu setiap saat. Perubahan posisi bintang terhadap pengamat memberikan pengaruh terhadap pengamat berupa perbedaan intensitas penerimaan cahaya akibat perubahan arah penerimaan cahaya oleh pengamat. Ketiadaan kerangka acuan universal menyebabkan fenomena ini bersifat relativistik bagi setiap peninjauan. Efek Doppler yang ditimbulkan dari gerak relatif bintang terhadap pengamat yang berada di bumi tidak menimbulkan perubahan warna spektrum bintang tetapi cukup untuk menunjukkan terjadinya pelemahan atau penguatan frekuensi cahaya yang diterima pengamat.


(13)

THE STARS SEEM TO FLICKER PHENOMENON AND RELATIONSHIP WITH POSITION IN UNIVERSE BY REFERENCE TO

EINSTEIN’S RELATIVITY THEORY

ABSTRACT

In this writing, the stars seem to flicker phenomenon is described by reference to Einstein's relativity theory about motion of a frame of reference relative to the other frame of reference that is the star to the observer on the earth. This research was conducted to obtain the relationship between the positions of stars and the stars seemed to flicker phenomenon so that obtain causes of stars seem to flicker. From the literature’s collection have done, was found that stars seem to flicker phenomenon occurs because radiation of star can not be accepted continuously at all times by observer. The Change of position of the star to the observer give effect formed of acceptance differences of light intensity due because changes of reception light direction by the observer. The absence of universal frame of reference causing this phenomenon are relativistic for each review. The Doppler effect arising from relative motion of the star to the observer in the earth do not cause change color spectrum, but is enough to show the weakening or strengthening of the star light frequency received by the observer.


(14)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah

Fenomena bintang tampak berkelip yang sering kita perhatikan saat memandang langit malam tentunya menimbulkan pertanyaan dalam benak kita tentang penyebab terjadinya. Bintang kita ketahui memancarkan cahaya sendiri dari reaksi fusi berantai yang terjadi pada bagian inti dari bintang. Jarak bintang yang sangat jauh menyebabkan bintang tampak hanya berupa titik cahaya padahal banyak sekali bintang di jagat raya yang ukurannya jauh lebih besar dari matahari dengan tingkat kecerahan yang lebih tinggi dari matahari. Hal ini menyadarkan kita bahwa posisi (jarak) bintang terhadap bumi merupakan suatu faktor yang menyebabkan bintang tampak berkelip.

Pergerakan bintang mengelilingi pusat galaksi mempunyai gerak harian dari timur ke barat, sedangkan matahari bergerak ke arah timur relatif terhadap bintang dengan kelajuan sekitar 10 setiap harinya. Pengamat di bumi akan bergerak mengikuti gerak rotasi bumi yang terjadi dari timur ke barat dan gerak revolusinya mengelilingi matahari dari timur ke barat, sehingga untuk dapat menjelaskan gerak relatif bintang terhadap pengamat harus digunakan teori relativitas Einstein yang bersifat lebih umum dibandingkan hukum gerak Newton yang hanya berlaku untuk keadaan v<<c.

Oleh karena gerak relatif bintang terhadap pengamat dijelaskan menurut teori relativitas Einstein maka persamaan transformasi yang digunakan untuk menghubungkan keadaan gerak setiap kerangka inersia yang bergerak relatif terhadap kerangka inersia lainnya adalah persamaan transformasi Lorentz yang akan tereduksi kembali menjadi persamaan transformasi Galilean bila didapatkan besar kelajuan


(15)

relatif kerangka inersia bintang terhadap kerangka inersia pengamat (v) jauh lebih kecil dari kelajuan cahaya (c).

Fenomena bintang tampak berkelip dalam kajian ini akan ditinjau hubungannya dengan posisi bintang di Jagat raya yakni bagaimana pengaruh perubahan posisi bintang terhadap fenomena bintang tampak berkelip sehingga dapat disimpulkan penyebab bintang tampak berkelip.

1.2Batasan Masalah

Dalam penelitian ini kita akan membatasi pembahasan kita hanya pada :

1. Apakah penyebab bintang tampak berkelip berdasarkan pengamatan yang dilakukan pengamat di bumi.

2. Bagaimana teori relativitas Einstein menjelaskan fenomena ini.

3. Seberapa besar pengaruh dari posisi bintang di jagat raya terhadap timbulnya fenomena ini.

1.3Tujuan Penelitian

1. Mendapatkan hubungan antara posisi bintang dengan fenomena bintang tampak berkedip.

2. Mengidentifikasi fenomena bintang tampak berkelip menurut teori relativitas Einstein.

3. Mengetahui penyebab dari bintang tampak berkelip berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh pengamat di bumi.


(16)

1.4Manfaat Penelitian

1. Menjawab pertanyaan kita selama ini tentang fenomena bintang tampak berkedip secara ilmiah.

2. Menjadikan kita lebih peka terhadap fenomena yang terjadi di alam semesta. 3. Dapat memanfaatkan berbagai teori yang ada untuk menjelaskan fenomena

tersebut.

1.5Metodologi Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan kajian literatur berupa buku bacaan yang berhubungan dan informasi terbaru dari internet. Setelah pengumpulan informasi, dilakukan pengkajian terhadap informasi yang ada dengan membandingkan setiap informasi yang ada berdasarkan keseragaman dan kesesuaian dengan kegiatan penelitian ini.

Langkah-langkahnya dirincikan sebagai berikut :

1. Pengumpulan literatur yang dilaksanakan dengan mencari data informasi dari buku bacaan yang didapatkan dari perpustakaan atau membeli buku tersebut dari toko buku dan melalui media internet. Literatur yang dikumpulkan mengenai teori relativitas Einstein, optik sifat-sifat dari cahaya, bintang dan benda langit lainnya, fisika modern, efek Doppler, fisika kuantum dan mekanika kuantum dan lain–lain. 2. Pengkajian literatur dan penyesuaian dengan permasalahan yang dibahas dalam

penelitian ini sehingga didapatkan informasi atau data yang diinginkan.

3. Pengolahan informasi/data dengan menganalis informasi/data sehingga didapatkan informasi yang dapat digunakan untuk menyelesaikan permasalahan dari penelitian ini.

4. Merangkum suatu kesimpulan yang merupakan jawaban dari setiap permasalahan yang akhirnya menghadirkan suatu fakta ilmiah mengenai fenomena ini.


(17)

1.6Sistematika Penulisan

Tugas akhir ini terdiri dari beberapa bab dan masing-masing bab dipecah beberapa sub-bab dengan memerinci pokok-pokok permasalahan sehingga penyajian tugas akhir ini dapat dilakukan secara sistematis.

Bab I : Pendahuluan;

Berisi uraian mengenai hal-hal yang melatarbelakangi penulisan, permasalahan, batasan permasalahan, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan.

Bab II : Tinjauan Pustaka

Berisi teori dasar yang berhubungan dengan kajian yang meliputi bumi dan atmosfernya, sifat-sifat fisis cahaya, bintang dan karakteristiknya, efek Dopler, dan teori relativitas Einstein.

Bab III : Hasil dan Pembahasan.

Berisi hubungan bintang tampak berkelip dan posisi bintang di jagat raya menurut teori relativitas Einstein, efek Doppler dan pengaruhya terhadap fenomena bintang tampak berkelip.

Bab V : Kesimpulan dan Saran

Berisi hasil-hasil yang didapatkan dari penelitian ini dan saran-saran untuk penelitian lebih lanjut.


(18)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Atmosfer Bumi

Atmosfer berasal dari bahasa Yunani yaitu atmos (uap) dan sphaira (bola/bumi). Jadi atmosfer menurut bahasanya dapat diartikan selubung berwujud gas yang mengelilingi bumi. Atmosfer terdiri atas sejumlah lapisan. Penamaanya didasarkan pada perbedaan karakteristik masing-masing lapisan. Atmosfer memiliki banyak manfaat yaitu diantaranya;

1. Oksigen dan nitrogennya yang sangat penting untuk kelangsungan kehidupan di bumi.

2. Melindungi manusia dan makhluk hidup lainnya dari bahaya sinar ultraviolet dan sinar gamma yang dipancarkan matahari dan bintang.

3. Menjaga kesinambungan siklus air di permukaan bumi 4. Untuk proses pelapukan bebatuan.

5. Memberikan kontribusi terhadap perubahan bentuk permukaan bumi, dan 6. Memungkinkan untuk terjadinya komunikasi radio jarak jauh.

(Konrad, Beiser , 1960).

Bagi para astronom yang berada di Bumi ( astronom terrestrial), keberadaan atmosfer bumi memberikan gangguan yang cukup berarti. Untuk dapat mengamati benda langit secara keseluruhan maka akan terdapat kesalahan yang ditimbulkan dari fungsi atmosfer sebagai filter yang hanya melewatkan spektrum gelombang elektromagnetik pada daerah jangkauan panjang gelombang tertentu, sehingga diciptakan roket astronomi untuk dapat mengamati benda langit di luar pengaruh atmosfer bumi.


(19)

Atmosfer bumi menimbulkan efek langit biru yang menyebabkan bintang tidak tampak pada siang hari. Cahaya matahari yang dipancarkan ke segala arah, hanya sebagian kecil yang sampai ke bumi. Sebagian besarnya diserap, dipantulkan dan dihamburkan oleh gas dan debu yang berukuran sangat kecil (mikroskopik). Partikel debu memiliki kemampuan yang lebih baik daripada molekul gas dalam memantulkan dan menghamburkan cahaya. (Stuard J. Inglish, 1963)

2.1.1 Pembagian Lapisan Atmosfer Bumi.

Dengan memakai suhu sebagai dasar pembagian atmosfer, maka atmosfer terdiri dari lapisan troposfer, stratosfer, mesosfer dan thermosfer. Gambar 2.1 menunjukkan pembagian wilayah lapisan atmosfer bumi.

Gambar 2.1 Pembagian lapisan atmosfer berdasarkan suhu.

1. Lapisan Troposfer

Gejala cuaca (awan, petir, topan, badai dan hujan) terjadi di lapisan troposfer. Pada lapisan ini terdapat penurunan suhu yang terjadi karena pada lapisan troposfer penyerapan radiasi gelombang pendek dari matahari sangat sedikit. Pertukaran panas banyak terjadi pada troposfer bawah. Permukaan tanah akan mendistribusikan panas yang diterimanya ke lapisan atmosfer di atasnya melalui konduksi, konveksi, kondensasi dan sublimasi, sehingga suhu


(20)

pada lapisan troposfer semakin turun dengan pertambahan ketinggian yaitu sekitar 0,5oC sampai 1o C untuk setiap kenaikan ketinggian 100 meter.

Tropopause adalah lapisan udara yang berada diantara troposfer dan stratosfer. Ketinggian tropopause berbeda antara di kutub dengan di khatulistiwa. Di kutub, lapisan tropopause berada pada ketinggian 6 km dengan suhu -40oC, sedangkan di khatulistiwa lapisan tropopause berada pada ketinggian 18 km dengan suhu -80oC. Hal ini menunjukkan bahwa lapisan atmosfer di khatulistiwa lebih tebal daripada di kutub.

2. Lapisan Stratosfer

Lapisan atmosfer diatas tropopause merupakan lapisan inversi yaitu lapisan yang suhunya semakin tinggi seiring pertambahan ketinggiannya (kebalikan dari lapisan traposfer). Lapisan Stratosfer disebut juga lapisan isotermis. Kenaikan suhu yang terjadi pada lapisan stratosfer disebabkan keberadaan ozon pada lapisan ini yang memiliki kemampuan menyerap radiasi ultraviolet dari matahari. Bagian atas stratosfer dibatasi oleh lapisan stratopause yang berada pada ketinggian 60 km dengan suhu 0oC.

3. Lapisan Mesosfer

Lapisan mesosfer ditandai dengan penurunan suhu 0,4oC setiap kenaikan ketinggian sebesar 100 meter, lapisan ini mempunyai keseimbangan radiasi yang negatif. Lapisan ini terletak pada ketinggian antara 60-85 km dari permukaan bumi. Lapisan ini melindungi bumi dari meteor atau benda langit lainnya yang menuju bumi. Temperatur terendahnya berada pada lapisan mesopause yaitu sekitar -100oC.

4. Lapisan Termosfer (Ionosfer)

Lapisan ini terletak pada ketinggian 85 dan 300 km yang ditandai dengan kenaikan suhu dari kenaikan suhu dari -100o C sampai ratusan bahkan


(21)

ribuan derajat. Lapisan yang paling tinggi dalam termosfer adalah termopause. Termperatur pada lapisan termopause konstan terhadap ketinggian, tetapi berubah terhadap waktu seperti tampak pada gambar 2.2 berikut.

Gambar 2.2 Lapisan Termosfer.

Pada lapisan ini terjadi ionisasi partikel udara akibat penyerapan radiasi sinar gamma dan sinar ultra violet, sehingga memungkinkan terjadinya pemantulan/ perambatan gelombang radio yang sangat bermanfaat dalam komunikasi jarak jauh.

5. Lapisan Eksosfer.

Lapisan ini merupakan lapisan terluar dari atmosfer bumi dan merupakan lapisan paling panas sehingga terjadi gerakan partikel udara secara tidak beraturan. Lapisan ini tersusun dari gas hidrogen dan tekanan udaranya mendekati 0 cmHg (daerah vakum).

Mempelajari pembagian dari lapisan atmosfer dan karakteristik dari setiap lapisan diperlukan untuk mengetahui pengaruh keberadaan atmosfer terhadap perambatan cahaya yang bersumber dari matahari dan bintang.(Muhammadiyah,M., 2010)


(22)

2.1.2 Komposisi Atmosfer

Komposisi udara bersih sangat bervariasi untuk setiap daerah di permukaan bumi Rata-rata persentase (per volume) gas dalam udara bersih dan kering yaitu nitrogen sebanyak 78%, oksigen sebanyak 20,8%, argon sebanyak 0,9% dan gas lainnya sebanyak 0,3%.

Komposisi gas lainnya yang sebanyak 0,3% ini terdiri dari gas permanen dan gas yang tidak permanen. Gas permanen adalah gas yang selalu ditemukan pada setiap kondisi dan ketinggian sedangkan gas yang tidak permanen keberadaannya sangat dipengaruhi oleh kondisi dan ketinggian. Adapun gas yang keberadaannya tetap (gas permanen) yaitu helium, neon, krypton, xenon, hydrogen, dan metana. Gas yang tidak permanen misalnya karbondioksida, ozon, amoniak, uap air, karbonmonoksida, sulfurdioksida. Daerah gurun (udara kering) mengandung kadar uap air yang lebih kecil dari daerah tropis. Daerah hutan tropis (udara basah ) kandungan uap airnya adalah sebesar 0,018 %. (Muhammadiyah, M, 2010)

Tabel 2.1 menunjukkan komposisi gas di atmosfer pada ketinggian permukaan laut (ketinggian 0 km).

Gas Persentase

Nitrogen Oksigen Argon

Karbon dioksida Neon

Helium Metana Krypton

Hidrogen, karbon monoksida, xenon, ozon, radon

78.08 20,95 0,93 0,03 0,0018 0,00052 0,00015 0,00011 <0,0001


(23)

Gaya gravitasi bumi menahan agar molekul udara di lapisan atmosfer tidak terlepas ke angkasa luar. Untuk dapat melepaskan diri dari pengaruh atmosfer bumi, molekul udara tersebut harus bergerak berlawanan dengan arah gaya gravitasi bumi dengan kecepatan yang cukup besar. Kecepatan molekul udara untuk dapat lolos dari pengaruh gravitasi bumi adalah sebesar 1,169 x 104 meter/detik sedangkan bulan hanya sebesar 0,25 x 104 meter /detik. (Konrad, Beiser, 1960)

2.1.3 Perambatan Cahaya Melalui Atmosfer Bumi

Sebelum sampai ke permukaan bumi, cahaya yang berasal dari matahari atau bintang akan melewati atmosfer bumi. Molekul udara yang terdapat di lapisan atmosfer bumi akan menyerap sebagian cahaya tersebut, memantulkannya kembali ke luar angkasa dan selebihnya akan diteruskan. Penyerapan dan pemantulan cahaya yang terjadi di lapisan atmosfer menyebabkan intensitas cahaya yang diterima pengamat di permukaan bumi berkurang sehingga bintang tampak lebih redup. Gambar 2.3 berikut ini memperlihatkan perambatan cahaya bintang melalui lapisan atmosfer bumi.

Zenit

Atmosfer atas A B

S

ζ

Permukaan bumi

P P

X

ζ

dx ds

Gambar 2.3 Perambatan cahaya bintang melalui atmosfer bumi

Misalkan P adalah posisi pengamat di bumi. Cahaya bintang menembus atmosfer bumi sejauh s dan membentuk sudut sebesar ζ terhadap zenit. Besar penyerapan cahaya yang berasal dari bintang per cm dapat dinyatakan dengan


(24)

koefisien absorbsi σλ yang nilainya bergantung pada panjang gelombang cahaya yang

diserap . Maka pengurangan intensitas cahaya bintang yang terjadi akibat penyerapan adalah sebesar,

ds E

dEλ =− λσλ atau ds E

dE

λ λ

λ =σ (2.1)

dengan : λ

dE adalah besar pengurangan fluks pancaran akibat penyerapan yang terjadi di lapisan atmosfer bumi yang bergantung pada panjang gelombang cahaya yang diserap dinyatakan dalam Watt /m2

λ

E adalah Fluks pancaran yang diterima pengamat setelah terjadinya penyerapan dinyatakan dalam Watt /m2.

ds jarak yang ditempuh cahaya untuk sampai ke pengamat dinyatakan dalam meter atau centimeter.

Tanda negatif berarti fluks berkurang dengan pertambahan jarak. Apabila diintegrasikan persamaan (2.1) akan didapatkan:

λ

=

λ

λ λ

σ

E E s

ds

E

dE

oλ 0

(2.2)

= s ds

E E 0 0 ln λ λ

λ σ (2.3)

      −

=

s ds

E E 0 0 ) exp λ λ

λ σ (2.4)

      −

=E

s ds

E

0 0λexp λ

λ σ (2.5)

λ 0

E adalah fluks yang di amati di atas lapisan atmosfer. Bila didefinisikan tebal optis

(τλ) untuk jarak yang ditempuh cahaya sejauh s adalah :

= s ds

0 λ

λ σ

τ (2.6)


(25)

)

exp(

0λ λ

λ

=

E

τ

E

atau

E

λ

=

E

e

−τλ (2.7)

Jika m adalah magnitudo bintang yang diamati di atas atmosfer dan mλ adalah magnitudo yang diamati di bumi, maka dari rumus Pogson yaitu,

λ λ λ λ E E m m 0

0 − =−2,5log (2.8)

Dan dengan mensubstitusikan persamaan (2.7) ke persamaan (2.8) diperoleh,

λ λ τ τ 0λ 0λ λ

0λ 2,5log(e ) 2,5τ log(e) 1,086τ

e E E 2,5log m m λ

λ =− =− =−

− =

(2.9)

Persamaan (2.9) di atas menunjukkan bahwa cahaya bintang pada waktu melewati atmosfer bumi dilemahkan sebesar 1,0856τλ.

Selain itu karena rotasi bumi maka ζ yaitu besar sudut yang dibentuk bintang terhadap zenit pengamat berubah terhadap waktu pengamatan, maka harga ekstingsi atmosfer (pengurangan intensitas cahaya bintang karena diserap dan disebarkan oleh atmosfer bumi) juga berubah terhadap waktu pengamatan. Sehingga harga ekstingsi atmosfer dinyatakan sebagai fungsi waktu sebagai berikut,

Dari gambar 2.3 diperoleh,

dx

ds=secζ (2.10)

Oleh karena ζ berubah terhadap waktu bukan terhadap jarak maka bila persamaan (2.10) disubstitusikan ke dalam persamaan (2.6) yaitu

=

=

=

s s s

dx dx

ds

0 0 0

ζ sec ζ sec λ λ λ

λ σ σ σ

τ (2.11)

Maka pada saat sudut zenit ζ=0 , sec = 1 persamaan (2.11) dapat dituliskan menjadi, ζ

=

s

dx

0 0λ σλ

τ (2.12)

λ

τ0 adalah tebal optis atmosfer bumi saat bintang berada di zenit pengamat. Sehingga bila persamaan (2.12) disubstitusikan ke dalam persamaan (2.11) diperoleh,

τ =λ τ0λsecζ (2.13) Selanjutnya bila persamaan (2.13) disubstitusikan ke dalam persamaan (2.9) diperoleh besar perubahan magnitudo ( kecerahan relatif) bintang akibat penyerapan cahayanya oleh lapisan atmosfer bumi sebesar,


(26)

ζ

sec 086 ,

1 0

0λ λ

λ −m = τ

m (2.14)

Untuk menentukan harga τ0λ bintang harus dilakukan pengamatan paling sedikit dalam dua posisi. Sebagai contoh, pada waktu pengamatan pertama (t1), magnitudo sebuah bintang yang diamati adalah mλ1dengan besar sudut zenit ζ1. Pada

waktu pengamatan kedua (t2), magnitudo yang diamati adalah mλ2 dan besar sudut zenitnya ζ2. Jadi dari persamaan (2.14) diperoleh,

mλ1 = m0λ + 1,086 τ0λ sec ζ1

mλ2 = m0λ+ 1,086 τ0λ sec ζ2

mλ1- mλ2 = 1,086 τ(sec ζ1 - sec ζ2)

atau

) sec (sec

086 ,

1 1 2

2 1

0 ζ ζ

= λ λ

λ

τ m m (2.15)

melalui persamaan (2.15) kita dapat mengetahui besar pengurangan intensitas cahaya yang diterima pengamat dan dapat ditentukan magnitudo bintang sebelum mengalami penyerapan oleh atmosfer bumi.

2.2 Sifat Fisis Cahaya.

2.2.1 Pembagian Spektrum Gelombang Elektromagnetik.

Bintang yang mendapatkan energi melalui reaksi fusi nuklir berantai akan meradiasi energinya tersebut dalam bentuk radiasi gelombang eletromagnetik dan radiasi partikel. Radiasi partikel yang dipancarkan bintang disebut sebagai yang berwujud pancaran tetap partikel-partikel bermuatan bintang.. Gelombang elektromagnetik yang dipancarkan benda langit tersebut terjadi dalam berbagai variasi panjang gelombang. Cahaya yang kita amati hanya merupakan bagian dari gelombang elektromagnet.

Pancaran gelombang elektromagnetik dapat dibagi dalam beberapa jenis bergantung pada panjang gelombangnya (λ). Pembagiannya adalah sebagai berikut :


(27)

1.Pancaran gelombang radio dengan λ antara beberapa milimeter sampai 20 meter.

2. Pancaran gelombang inframerah, dengan λ ≈ 7500 o

Asampai sekitar 1 mm. 3. Pancaran gelombang optik (cahaya tampak) dengan λ sekitar 3800

o

A sampai 7500

o

A. Panjang gelombang optik terbagi atas;

- warna merah λ : 6300-7500 Ao -warna hijau λ : 5100-5500 o

A

- warna merah-jingga λ : 6000-6300Ao -warna hijau biru λ: 4800- 5100Ao - warna jingga λ : 5900-6000Ao -warna biru λ: 4500-4800Ao - warna kuning λ : 5700-5900Ao -warna biru ungu λ: 4200-4500

o

A

- warna kuning hijau λ : 5500-5700Ao -warna ungu λ: 3800-4200 o

A

4. Pancaran gelombang ultraviolet, sinar x dan sinar γ mempunyai λ< 3500 Ao

Bintang memancarkan semua jenis gelombang elektromagnetik, tetapi tidak semua pancaran gelombang elektromagnetik tersebut sampai ke bumi. Atmosfer bumi hanya meneruskan sebagian panjang gelombang itu, sedangkan sebagian lainnya diserap oleh molekul gas yang terdapat di atmosfer. Gelombang elektromagnetik yang tidak diteruskan (atau mengalami penyerapan di lapisan atmosfer bumi yaitu gelombang mikro dan gelombang inframerah yang mengalami penyerapan oleh gas CO2 dan H2O, gelombang ultraviolet yang diserap oleh gas O3 dan sinar x dan γ yang diserap oleh molekul lainnya yang terdapat di atmosfer. Sementara itu gelombang elektromagnetik yang diteruskan (bisa menembus atmosfer bumi) yaitu gelombang cahaya kasat mata (optik) dan gelombang radio.

Dengan mengamati pancaran gelombang elektromagnetik kita dapat mempelajari beberapa hal yaitu :

1. Arah pancaran akan menunjukkan letak dan gerak benda yang memancarkannya.

2. Kuantitas pancaran akan menunjukkan kuat atau kecerahan pancaran dan, 3. Kualitas pancaran akan menunjukkan warna, spektrum dan polarisasinya. (Chatief Kunjaya,2006)


(28)

2.2.2 Pemantulan dan Pembiasan Cahaya oleh Medium.

Gambar 2.4 berikut akan menunjukkan bagaimana pemantulan dan pembiasan cahaya oleh dua medium yang berbeda kerapatannya (indeks biasnya).

θ1 θ1'

θ2

Garis normal

Sinar pantul Sinar datang

Sinar bias Medium I Medium II

Gambar 2.4 Pemantulan dan Pembiasan Cahaya Melalui dua medium dengan Indeks Bias (n1 > n2)

Keadaan seperti yang ditunjukkan pada gambar 2.4 dapat dijelaskan oleh hukum-hukum mengenai pemantulan dan pembiasan sebagai berikut :

1. Sinar yang dipantulkan, sinar yang dibiaskan dan garis normal terletak pada satu bidang datar.

2. Untuk pemantulan, θ11'. 3. Untuk pembiasan, 21

1 2 2 1 sin sin

n n n

= = θ θ

dengan : 1

θ adalah sudut yang dibentuk sinar datang dan garis normal. '

1

θ adalah sudut yang dibentuk sinar pantul dan garis normal

1

n adalah indeks bias medium 1 2

n adalah indeks bias medium 2 21

n adalah indeks bias relatif medium 2 terhadap medium 1. (Halliday, Resnick, 1992)


(29)

Teori tentang prinsip pembiasan dan pemantulan cahaya untuk dua medium yang memiliki indeks bias yang berbeda perlu dijabarkan untuk menjelaskan pembiasan yang dialami cahaya ketika melalui lapisan atmosfer yang memiliki kerapatan yang berbeda.

2.2.3 Sifat-Sifat Khusus Lainnya Yang Dimiliki Cahaya

Selain cahaya mengalami pembiasan dan pemantulan cahaya juga mempunyai sifat khas lainnya yaitu :

1. Cahaya merambat membentuk garis lurus. Sinar merupakan kata lain untuk cahaya tunggal yang merambat, sedangkan berkas sinar terdiri dari beberapa sinar yang merambat dalam arah tertentu. Berkas sinar dapat berupa kumpulan sinar sejajar, divergen (menyebar), atau konvergen (mengumpul).

2. Cahaya dapat berinterferensi atau mengalami penguatan/pelemahan intensitas karena penggabungan dua gelombang cahaya. Penguatan atau pelemahan ditentukan oleh beda fase masing-masing gelombang cahaya.

3. cahaya juga mengalami difraksi yakni dibelokkan ke arah tertentu oleh celah kecil serta polarisasi yakni pengkutupan arah getaran gelombang cahaya.

Dengan mengetahui sifat-sifat cahaya, kita dapat lebih memahami tentang bagaimana cahaya merambat dari sumbernya sampai ke mata kita. Bintang yang tampak berupa titik cahaya dapat kita pastikan sebagai cahaya tunggal, bukan sebagai berkas cahaya.

2.3 Bintang

Bintang merupakan benda langit yang memancarkan cahayanya sendiri.. Menurut ilmu astronomi, definisi bintang adalah semua benda massif (bermassa antara 0,08 hingga 200 kali massa matahari) yang sedang atau pernah melakukan pembangkitan energi melalui fusi nuklir berantai. Oleh sebab itu bintang katai putih yang sudah tidak memancarkan cahaya atau energi juga tetap disebut sebagai bintang.


(30)

Reaksi fusi nuklir (reaksi termonuklir) adalah sebuah proses saat dua inti atom bergabung, membentuk inti atom yang lebih besar dan melepaskan energi. F adalah sumber energi yang menyebabkan bintang bersinar. Proses ini membutuhkan energi yang besar untuk menggabungkan inti nuklir. Energi yang dihasilkan dari reaksi fusi nuklir ini lebih besar dari energi yang dibutuhkan untuk menggabungkan dua inti atom menjadi inti atom yang lebih besar. Ada dua jenis reaksi fusi hidrogen, yaitu rantai proton-proton dan siklus CNO yang keberlangsungannya bergantung pada ukuran bintang. Untuk bintang-bintang seukuran matahari atau lebih kecil, reaksi rantai proton-proton mendominasi, sementara untuk bintang berukuran lebih besar dari matahari siklus CNO yang mendominasi. Reaksi inti lainnya seperti reaksi fusi helium dan karbon juga terjadi bergantung terutama pada tahapan evolusi bintang. Reaksi fusi antara dua inti atom yang lebih ringan daripada besi dan nikel, melepaskan energi. Sedangkan, reaksi fusi antara dua inti atom yang lebih berat daripada besi dan nikel, menyerap energi. (A.W, Wisnu,2000)

Planet merupakan benda langit yang tidak mengalami fusi nuklir pada intinya. Planet tampak bercahaya karena memantulkan cahaya matahari atau bintang yang berada di dekatnya. Cahaya yang dipantulkan planet sangat lemah dan planet terlihat sebagai piringan cahaya dan tidak berkelip seperti halnya bintang. (Chatief Kunjaya, 2006)

2.3.1 Jarak Bintang

Jarak bintang terhadap matahari merupakan karakteristik yang sulit untuk ditentukan tetapi sangat penting. Semua proses kehidupan bintang ditentukan oleh rata-rata jumlah dan jenis energi yang diradiasikan. Jumlah energi bintang yang diradiasikan ke jagat raya tidak dapat diketahui sampai jaraknya dapat ditentukan.

Metode pertama yang digunakan untuk menentukan jarak bintang dari matahari yaitu metode heliosentrik paralaks yang memiliki sifat yang terbatas. Bila bintang terdekat nampak berotasi membelakangi dan kemudian berada di depan latar belakang bintang disebabkan revolusi bumi terhadap matahari, maka sudut paralaks p (gambar


(31)

2.4) menunjukkan besar perubahan posisi bintang. Sudut ini dapat ditinjau secara trigonometri yaitu dengan mengambil radius orbit bumi dan jarak OS.

S2

S1

Star S O

900

E2

E1

matahari bumi

p

Gambar 2.5 Paralaks bintang

Dari gambar, jarak bintang terhadap matahari dapat ditentukan dari,

OS OE p=

tan (2.16)

OE merupakan radius orbit bumi dan OS merupakan jarak bintang terhadap matahari. Apabila jarak matahari terhadap bintang diketahui maka jarak bintang terhadap bumi juga dapat ditentukan. Satuan yang sering digunakan dalam astronomi untuk menyatakan jarak suatu bintang adalah parsek dan tahun cahaya. Satu parsek (pc) didefinisikan sebgai jarak bintang yang paralaksnya satu detik busur sedangkan satu tahun cahaya (ly) didefinisikan sebagai jarak yang ditempuh cahaya selama satu tahun.

Pergeseran posisi tahunan yang terlihat terhadap bintang terdekat inilah yang disebut heliosentrik paralaks. Ketika posisi bumi di E1 maka bintang seolah-olah tampak berada di S1 dan enam bulan kemudian ketika posisi bumi di E2 maka bintang seolah-olah berada di S2. (Stuard J. Ingglis, 1963). Paralaks bintang tampak sebagai pergeseran posisi yang cukup besar untuk ribuan bintang terdekat. Bintang terdekat adalah Proxima Centauri yang berjarak 4 x 1016 meter dari matahari.

2.3.2 Perubahan Posisi Bintang

Kecepatan bintang berubah posisi (berpindah) mendekat atau menjauh dari bumi dapat diperhatikan dari pergeseran Doppler dalam garis spektrumnya. Perubahan posisi bintang yang terlihat sesuai dengan arah pengamatan. Besar perubahan posisi bintang


(32)

yang terjadi menunjukkan bahwa perpindahannya terlalu lambat, sangat lambat sehingga bintang dianggap seperti tidak berpindah.

A B

Gambar 2.6 Pergeseran besar susunan bintang sekarang dan yang diperkirakan terlihat 100.000 tahun yang lalu

Susunan bintang A merupakan susunan bintang sekarang dan susunan bintang B merupakan susunan bintang yang terlihat 100.000 tahun yang lalu. Banyak bintang berpindah tidak sepanjang atau bersebrangan dengan arah pengamatan melainkan membentuk sudut miring terhadapnya. Spektrum bintang menunjukkan bahwa bintang bergerak dengan kecepatan tertentu mendekati atau menjauhi pengamat, dan arah pengamatan menunjukkan perpindahan posisi terjadi dalam arah tertentu yaitu bersebrangan dari arah garis pengamatan. Bila jarak bintang diketahui, maka kecepatan perubahan posisi dapat dihitung. Perubahan posisi bintang dapat ditentukan melalui penjumlahan vektor kecepatan yang diamati. Dari perhitungan yang dilakukan sedemikian didapatkan banyak bintang bergerak dengan kecepatan ribuan meter per detik.

Dari perubahan posisi bintang dapat diasumsikan bahwa matahari juga bergerak. Perubahan posisi bintang terjadi secara beraturan. Bila matahari bergerak mendekati daerah tertentu dari jagat raya, bintang dalam arah rata-ratanya akan terlihat mendekati kita. Perubahan posisi bintang rata-rata dapat diamati dari gugusan bintang. Kajian lebih lanjut dari gerak ini menunjukkan bahwa matahari dan kerabat planetnya bergerak mendekati Hercules dengan kecepatan sekitar 2 x 104 meter per detik. (Konrad K., Arthur Beiser, 1960)


(33)

2.3.3 Karakteristik Bintang

Karakteristik bintang dalam pembahasan ini dibahas antara lain temperatur, diameter, massa jenis, kecepatan dan kecerahan bintang. Pembahasan ini dianggap penting karena dengan mengetahui karakteristik bintang maka dapat dibedakan bintang dengan benda langit lainnya yang nampak seperti bintang.

1. Temperatur.

Temperatur bintang ditentukan dari spektrumnya. Berikut ini merupakan deretan spektrum bintang dari bintang terpanas sampai bintang yang paling dingin yang disusun berdasarkan alfabet untuk mempermudah mengingat yaitu bintang tipe O B A F G K M R N S. Bintang tipe R, N dan S memiliki komposisi kimia yang sedikit berbeda dari bintang lainnya relatif dingin.

No Tipe Bintang Temperatur (K) Keterangan

1 M 2500-3000

Pita TiO mendominasi, garis logam netral tampak jelas dan berwarna merah. Contoh bintang Betelgeues dan Antares.

2 K 3500-5000

Garis logam mendominasi, gas hidogen lemah sekali dan berwarna jingga kemerahan. Contoh: Arcturus dan Aldebaran

3 G 5000-6000

Garis hidrogen lebih lemah dari kelas F. Garis logam netrala tampak dan berwarna putih kekuningan. Contoh : Matahari dan Capella

4 F 6000-7500

Garis hdrogen lebih lemah dari bintang kelas A, garis logam lainnya mulai terlihat dan berwarna biru keputihan. Contoh : Canopus dan Proycon

5 A 7500-11000 Garis hidrogen tampak kuat dan berwarna biru. Contoh: Sirrius


(34)

6 B 11000-30000

Garis hidrogen tampak lebih jelas dari bintang tipe O dan berwarna biru. Contoh : Bintang Rigel dan Spica

7 Garis absorbsi yang nampak sangat sedikit

dan berwarna biru. Contoh bintang : 10 Lacerta.

Tabel 2.2 Klasifikasi bintang berdasarkan temperaturnya.

Bintang dengan garis-garis serapan sangat kuat dari atom hidrogen digolongkan sebagai tipe I berwarna putih, bintang dengan garis-garis serapan sangat kuat dari bintang dengan pita-pita serapan lebar digolongkan sebagai tipe III berwarna merah berdasarkan hasil pengamatan

Temperatur permukaan bintang sangat dekat hubungan dengan warnanya. Umumnya dapat dikatakan bintang terpanas tampak berwarna biru-putih, bintang dengan temperatur sedang berwarna putih kekuningan dan yang paling dingin berwarna merah. (Chatief Kunjaya, 2006)

Bintang yang dapat diamati oleh pengamat di bumi dengan mata telanjang adalah bintang yang kecerahan semunya (magnitudo) lebih kecil dari 6, dan bintang yang kecerahan semunya lebih besar dari 6 tidak dapat diamati karena sangat redup. Bintang bermagnitudo semu 1 lebih cerah 100 kali lebih cerah dibandingkan bintang bermagnitudo semu 6.

2. Diameter bintang

Pengukuran temperatur bintang dan kecerahan intrinsiknya memberi kemungkinan dalam menentukan besar diameternya. Dikarenakan temperatur menentukan intensitas radiasi dari permukaan bintang, maka pengukuran temperatur akan menunjukkan jumlah radiasi yang dipancarkan per luas permukaan bintang. Kecerahan intrinsik adalah suatu pengukuran total radiasi bintang yang sampai ke permukaannya. Hanya dibutuhkan pembagian total


(35)

radiasi per centimeter persegi untuk dapat menentukan luas permukaan bintang. Dari luas permukaan bintang dapat ditentukan diameter dan volume bintang dengan mudah.

Suatu bintang yang mempunyai kecepatan 1,67 x 105 meter per detik terlihat perpindahannya dari bumi sangat kecil dibandingkan perpindahan sebenarnya. Demikian juga beberapa bintang yang memiliki diameter lebih besar dari matahari akan terlihat hanya berupa titik cahaya. Hal ini terjadi karena posisi bintang sangat jauh dari bumi.

3. Massa jenis

Bila massa dan volume bintang diketahui maka massa jenis rata-rata bintang dengan perhitungan sederhana dapat ditentukan. Seperti halnya parameter lainnya yang menjadi karakteristik bintang, massa jenis bintang juga sangat bervariasi. Bintang berukuran raksasa seperti Antares memiliki rapat massa 1000 kali lebih kecil dari massa jenis udara vakum di bumi. Hal ekstrim lainnya adalah massa jenis beberapa bintang yang berukuran kecil seperti bintang Sirius memiliki rapat massanya sangat besar yaitu 6,1 x10-2 ton/cm3 atau 6,1 x 107 kg/m3 (Konrad, Beiser, 1960)

4. Kecepatan

Pergeseran spektrum Doppler dapat digunakan untuk menentukan kecepatan bintang dalam arah pengamatan yang disebut kecepatan radial. Kecepatan yang ditunjukkan memang hanya dalam satu arah, tetapi tentu saja bintang tidak hanya bergerak menjauhi atau mendekati matahari. Sehingga untuk itu harus ada setidaknya dua jenis kecepatan yang disebut kecepatan nyata. Komponen kecepatan lainnya selain kecepatan radial adalah kecepatan tangensial yang memperlihatkan bahwa bintang bergerak tegak lurus terhadap arah pengamatan. Kecepatan tangensial dapat digambarkan sebagai perubahan sudut per satuan waktu yaitu satu detik busur per tahun yang disebut besar perubahan posisi sebenarnya. Kecepatan relatif bintang terhadap matahari didapatkan melalui teorema Phytagoras dari kecepatan radial dan kecepatan


(36)

tangensialnya. Kecepatan relatif inilah yang disebut dengan kecepatan bintang terhadap matahari.

Bila perubahan posisi matahari terhadap kelompok bintang lokal dikurangi kecepatan relatifnya akan didapatkan kecepatan istimewa bintang. Kecepatan kebanyakan bintang yang bertetangga dengan matahari hampir sama dengan matahari yaitu 2 x 104 meter per detik tetapi terdapat bintang tertentu yang berkecepatan tinggi mencapai 1,67 x 105 meter per detik.

Kecepatan bintang mengelilingi kelompok bintang lokal di sekitar pusat galaksi disebut kecepatan rotasi karena gerak bintang merupakan bagian dari rotasi galaksi. (Stuart J. Inglis, 1963)

5. Kecerahan bintang

Berdasarkan hukum Stefan-Boltzmann, temperatur bintang menentukan berapa energi yang dipancarkan per satuan luas permukaan bintang. Bila ada dua bintang yang memiliki ukuran yang sama maka bintang paling panas di antara keduanya akan memancarkan energi yang lebih besar. Pada dasarnya kecerahan bintang ditentukan oleh dua faktor yaitu temperatur dan ukurannya.

Kecerahan bintang seperti yang terlihat di langit tidak hanya bergantung pada luminositasnya ( jumlah energi yang dipancarkan per satuan waktu) tetapi juga bergantung pada jaraknya terhadap matahari. Bila kita memiliki 3 bintang dengan luminositas yang sama pada jarak 1, 2 dan 3 parsek, kecerahannya semakin berkurang dengan pertambahan jarak sesuai dengan hukum kuadrat invers.

Magnitudo bintang merupakan angka yang menunjukkan tingkat kecerahan suatu bintang. Magnitudo bintang ditentukan dengan membandingkan kecerahan bintang yang satu dengan bintang lainnya. Hipparchos seorang astronom Yunani sekitar tahun 129 SM membagi bintang


(37)

menurut kecerahannya dalam enam kelompok. Bintang yang paling terang bermagnitudo 1 danyang lebih lemah bermagnitudo 2 dan seterusnya. Luminositas bintang dapat ditentukan apabila jarak bintang diketahui. Skala yang digunakan untuk mengukur luminositas mendekati skala magnitudo kecerahan yang terlihat yang biasanya. Skala luminositas bintang merupakan magnitudo mutlaknya yang merupakan suatu indikasi jumlah total cahaya yang diradiasikan bintang.

2.3.4 Evolusi Bintang

Bintang seperti halnya dengan makhluk hidup di bumi mengalami tahapan kehidupan yaitu bintang dilahirkan, berkembang dan akhirnya cahayanya padam (mati). Bintang terbentuk di dalam awan molekul. Gaya gravitasi antar molekul gas yang terdapat dalam awan molekul memegang peranan penting dalam proses pembentukan bintang. Peristiwa ini dimulai dengan ledakan bintang yang menyebabkan materi antar bintang disekitarnya menjadi lebih mampat. Bagian terluar dari kumpulan materi antar bintang akan tertarik oleh gravitasi materi ke bagian dalamnya, sehingga awan molekul akan mengalami kondensasi. Akibat dari kondensasi ini, tekanan di dalam awan molekul meningkat dan melawan pengerutan. Bila gaya gravitasi materi di dalamnya tidak dapat mengimbangi tekanan yang timbul akibat proses kondensasi maka awan molekul akan tercerai kembali dan tidak membentuk awan molekul yang lebih besar.

Di dalam awan molekul yang besar ini terdapat juga ratusan bahkan ribuan awan molekul yang terus mengalami pengerutan gravitasi. Pengerutan gravitasi meningkatkan suhu dari awan molekul sehingga awan molekul tersebut memijar dan menjadi embrio bintang (protostar). Bintang tidak terbentuk sendiri tetapi melainkan terbentuk dalam suatu kesatuan berupa gugusan bintang.

Protostar yang telah mengakhiri proses fragmentasinya akan terus mengerut akibat gravitasinya sendiri. Materi yang terdapat dalam protostar sebagian besar adalah hidrogen dengan kerapatan seragam. Evolusi protostar ditandai dengan keruntuhan yang sangat cepat. Pada tahap ini, temperatur pusat bintang cukup tinggi


(38)

yaitu mencapai 10 juta Kelvin sehingga terjadi reaksi fusi nuklir di inti bintang. Ketika tekanan di dalam bintang cukup tinggi, pengerutannya pun berhenti. Bintang selanjutnya menjadi bintang deret penting. Bila massa bintang terlalu kecil, suhu di pusat bintang tidak akan cukup tinggi untuk terjadinya reaksi fusi nuklir sehingga bintang akhirnya mendingin menjadi bintang katai gelap tanpa ada reaksi inti yang berarti.

Reaksi fusi nuklir yang terjadi di matahari dan kebanyakan bintang adalah reaksi fusi hidrogen menjadi helium. Di jagat raya, hidrogen merupakan unsur yang paling besar jumlahnya (kelimpahannya) yaitu sekitar 90 % dan kurang dari 10 % merupakan unsur helium. Reaksi fusi nuklir yang terjadi dalam inti bintang mempunyai dua tahapan yaitu reaksi rantai proton dan siklus CNO. Reaksi rantai proton yaitu sebagai berikut :

1

H1 + 1H1 2H1 + e+ + v (Q = 1,44 MeV) 2

H1 + 1H1 3He2 + γ (Q = 5,49 MeV) 3

He2 + 3He2 4He2 + 2 1H1 + v (Q = 12,86 MeV)

Sehingga reaksi perubahan 4 atom hidrogen menjadi 1 atom helium seperti ditunjukkan berikut ini akan menghasilkan energi sebesar 26,7 MeV.

41H1 4He2 + 2 e+ + 2v

Bintang yang mencapai deret utama memiliki komposisi materi yang masih homogen yang mencerminkan komposisi awan antar bintang yg membentuknya. Perlahan-lahan, akibat reaksi fusi pada inti bintang yaitu helium dari penggabungan atom hidrogen merubah komposisi di pusat bintang yakni hidrogen berkurang dan helium bertambah sehingga struktur bintang berubah menjadi lebih terang, jari-jarinya bertambah besar dan temperatur efektifnya berkurang.

Ketika reaksi penggabungan atom hidrogen membentuk atom helium telah menghasilkan 10 % sampai 20 % helium di inti bintang maka dimulailah tahapan reaksi fusi lainnya yakni reaksi fusi helium (penggabungan unsur helium untuk membentuk unsur bermassa lebih besar). Reaksi fusi helium akan membentuk unsur yang lebih berat pada bagian inti dari bintang. Tahapan reaksi lainnya pun terjadi yaitu siklus karbon atau siklus CNO yaitu :


(39)

12

C6 + 1H1 13N7 + γ 13

N7 13C6 + e++ v

13

C6 + 1H1 14N7 + C 14

N7 15O8 + γ 15

O8 15N7 + e+ + v 15

N7 +1H1 12C6 + 4He2

Dalam kasus ini 12C6 bertindak sebagai katalis untuk membantu proses fusi. Siklus karbon berjalan lebih cepat dari pada siklus proton-proton. Siklus karbon dominan terjadi pada temperatur yang lebih tinggi daripada temperaur terjadinya proton-proton. Bintang yang telah mengubah seluruh hidrogen yang dimilikinya akan mengalami reaksi fusi helium yaitu 34He2 12C6 pada temperatur yang lebih tinggi yang dibutuhkan untuk menetrasi gaya coulomb.( Kenneth S., Krane, 1987)

Terdapat perbedaan pada proses evolusi bintang. Proses evolusi bintang bergantung pada ukuran bintang tersebut. Bintang berukuran besar akan lebih cepat menghabiskan persediaan hidrogennya dan pada akhirnya mengalami reaksi siklus CON yang terkonsentrasi di inti bintang. Bintang tipe ini, pada bagian selubungnya tidak terjadi reaksi inti sehingga komposisi materinya tidak mengalami perubahan yang disebut pusat konveksi. Lain halnya dengan bintang berukuran kecil, pembangkitan energi tidak terkonsentrasi di pusatnya. Reaksi fusi hidrogen menjadi helium berlangsung dalam kurun waktu yang sangat lama, dan setelah persedian hidrogen habis terjadi siklus CNO.

Akibat reaksi fusi hidrogen menjadi helium, jumlah helium di pusat bintang bertambah, sehingga terjadi pengerutan gravitasi secara perlahan. Bila massa helium di pusat bintang ini mencapai 10 % hingga 20% massa bintang, pusat helium tidak lagi mengerut dengan perlahan namun runtuh dengan cepat. Saat itu struktur bintang berubah, bagian luar bintang akan memuai dengan cepat, bintang berubah menjadi bintang raksasa merah. Saat itu, bintang mempunyai dua sumber energi yaitu reaksi fusi hidrogen menjadi helium di selubung bintang dan reaksi fusi helium menjadi unsur yang lebih berat di pusat bintang.


(40)

Evolusi tahap akhir suatu bintang tidak dapat dipastikan. Dari perhitungan yang dilakukan didapatkan unsur kimia yg lebih berat dari karbon terbentuk di pusat bintang. Inti helium berubah menjadi karbon yang selanjutnya membentuk oksigen. Hal ini menyebabkan temperatur pusat meningkat. Pada saat mencapai suhu 600oK, inti karbon akan berinteraksi membentuk magnesium, neon dan natrium. Demikian seterusnya akan terjadi pembakaran unsur kimia dalam bintang sampai akhirnya terbentuk inti besi. Besi merupakan inti yg paling mantap dan tidak akan bereaksi membentuk inti yang lebih berat. Selanjutnya, terjadi keruntuhan gravitasi menuju pusat bintang yang terdiri dari unsur besi, dan akhirnya meledak menjadi supernova.

Tetapi tidak semua bintang mengakhiri hidupnya dengan meledak menjadi supernova yaitu hanya terjadi pada bintang yang massanya 8 kali massa matahari atau lebih massif dari matahari. Supernova akan terjadi ketika bintang tersebut tidak lagi memiliki cukup bahan bakar untuk proses fusi di inti bintang sehingga menciptakan tekanan keluar yang dipicu terjadinya dorongan gravitasi ke arah inti bintang.

Saat ledakan terjadi, bintang akan melepaskan sejumlah besar energi dan memuntahkan unsur berat seperti kalisum dan besi ke ruang antar bintang. Materi yang dilepaskan ini kemudian menjadi unsur pengisi awan debu dan gas dimana bintang dan planet baru akan dilahirkan.

Bintang yang bermassa sedang yaitu sebesar matahari atau lebih kecil akan berubah menjadi bintang katai putih. Bintang bermassa 1,4 – 3 kali massa matahari setelah membentuk bintang super raksasa merah akan berubah menjadi bintang neutron. Sedangkan yang massanya lebih besar dari 3 kali massa matahari akan berubah menjadi lubang hitam. (Diayri, 2006)

2.3.5 Hubungan Jarak Bintang dan Kecerahannya.

Seperti yang kita ketahui, kecerahan bintang tidak hanya bergantung kepada luminositasnya tetapi juga bergantung kepada jaraknya terhadap matahari. Bintang yang memiliki jarak 2 parsecs, kecerahannya 14 kali bintang yang berjarak 1 parsecs


(41)

dari matahari. Kecerahan yang dimaksud disini adalah magnitudo semu (magnitdo yang terlihat) oleh pengamat.

Fenomena bintang tampak berkelip sangat dipengaruhi oleh magnitudo semunya. Semakin cerah suatu bintang maka semakin mudah kita dapat mengamatinya. Persamaan hubungan kecerahan dengan jarak bintang adalah :

2

D L

B = (2.17)

dengan B merupakan kecerahan bintang, L luminositasnya dan D adalah jarak bintang terhadap matahari.

Luminositas bintang sendiri adalah jumlah total energi yang dipancarkan setiap detik. Luminositas bintang sangat bergantung pada temperatur dan diameter bintang.

Menurut Planck, suatu benda hitam yang memiliki temperatur permukaan (T) akan memancarkan energi dengan panjang gelombang antara λ d an λ + d λ d eng an intensitas spesifik sebesar Bλ(T)dλ dengan :

1 1 2 ) ( / 5 2 −

= hc kT

e hc T

Bλ λ

λ (2.18)

dengan :

h adalah konstanta Plank yaitu 6,626 x 10-34 J.s

c adalah nilai cepat rambat cahaya di ruang hampa yaitu 3 x 108 m/s

k adalah konstanta Stefan Boltzman yaitu 1,38 x 10-23 J/K

Tadalah temperatur permukaan bintang.

Energi total yang dipancarkan benda hitam untuk setiap panjang gelombang atau frekuensi dapat ditentukan dengan mengintegrasikan Bλ(T) yaitu :

∞ = 0 ) ( )

(T Bλ T dλ

B (2.19)

Dari integrasi ini diperoleh,

2 3 4 15 ) ( 2 ) ( c h kT T


(42)

atau B(T) T4

π σ

= (2.21)

dengan 3 2 4 5 15

2

c h

k

π

σ = = 5,67 x 10-5erg cm-2K-4s-1 (2.22)

Persamaan (2.21 ) disebut Hukum Stefan-boltzmann dengan σ disebut tetapan Stefan Boltzmann.

Dari intensitas spesifik B(T) dapat ditentukan jumlah energi yang dipancarkan per cm2 oleh permukaan benda hitam per detik ke segala arah, yaitu:

FB(T) (2.23) atau 4

T

F =σ (2.24)

Besaran F disebut fluks energi benda hitam (J m-2 s-1)

Jika suatu benda berbentuk bola dengan jari-jari R dan temperatur T memancarkan radiasi seperti benda hitam, energi yang dipancarkan benda tersebut ke semua arah per detik adalah :

L=4πR2F (2.25)

atau 2 4

4 R T

L= π σ (2.26)

L adalah luminositas benda dan temperatur bintang yang ditentukan dari hukum Stefan Boltzmann disebut temperatur efektif yaitu temperatur paling luar dari suatu bintang.

Jumlah energi yang diterima pengamat yang berjarak d dari benda hitam, bintang dianggap sebagai benda hitam karena bintang dengan temperatur 54.000 K distribusi energinya hampir sama dengan benda hitam adalah :

2

4 d

L E

π

= (2.27)

E adalah fluks pancaran pada jarak d. Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa semakin jauh bintang dari pengamat maka energi yang diterima pengamat semakin kecil dan bintang akan tampak lebih redup atau bahkan tidak dapat diamati dengan mata telanjang.


(43)

2.3.6Diagram Hertzsprung-Russel.

Massa dan volume kecil

dan massa jenis besar

-4

-2

0

+2

+4

+6

+8

+10

+12

+14

P

eni

ngk

at

an

k

ec

er

ahan

B A F G K M

Penurunan temperatur

Massa dan volume besar

dan massa jenis kecil

Raksasa

Der et

utam a

Katai puth

maharaksa sa

Gambar 2.7 Diagram Herztsprung-Russel

Gambar 2.6 merupakan diagram Hertzprung-Russel. Diagram ini menunjukkan hubungan kecerahan bintang dan temperatur efektif). Diagram ini ditemukan secara terpisah oleh dua orang astronom, Ejnar Hertzsprung di Denmark dan Henry Norring Russel di Amerika. Dari diagram dapat dilihat bahwa sebagian besar bintang menempati suatu jalur dari kiri ke atas (bintang-bintang yang panas dengan tingkat kecerahan yang tinggi) dan ke kanan bawah (bintang-bintang yang dingin dengan kecerahan yang rendah). Deret ini disebut deret utama. Matahari berada pada deret ini. Selain deret utama, ada pengelompokan lain yaitu bintang maharaksasa dan, raksasa dan katai putih. Diagram Hertzprung-Russel menunjukkan tahapan evolusi bintang. (Konrad K., Arthur Beiser, 1960)


(44)

2.3.7Materi Antar Bintang

Materi antar bintang dapat dibedakan ke dalam tiga golongan yaitu : nebula terang (bright nebulae), nebula gelap (dark nebulae), gas dan debu antar bintang.

1. Nebula terang (bright nebulae)

Nebula terang yang dikenal dengan nebula difusi berkaitan erat dengan luminositas bintang. Bintang merupakan penyebab nebula menjadi terang. Gas murni tidak dapat memantulkan cahaya karena komposisi atom masing-masing gas terlalu kecil, sehingga para astronom mengansumsikan bahwa cahaya dipantulkan oleh partikel kecil dari debu angkasa. Selain itu nebula menjadi terang karena gas dalam nebula yang memiliki tekanan rendah yang memancarkan cahaya. Hal ini ditunjukkan oleh spektogram nebula orion.

Pemantulan bintang terjadi jika nebula memiliki bintang yang jenis spektrumnya di atas kelompok bintang B2. Nebula yang di dalamnya terdapat kelompok bintang di atas B2 akan memantulkan lebih banyak cahaya sehingga spektrum nebulanya tidak sama seperti spektrum absorbsi bintang yang paling terang tetapi merupakan spektrum kontinu yang redup dengan garis emisi yang lebih terang berada di atasnya.

2. Nebula gelap (dark nebulae)

Gas nebula yang tidak memantulkan cahaya dari bintang di sekelilingnya dan tidak juga memancarkan cahayanya sendiri disebut nebula gelap. Keberadaannya dapat ditemukan dengan keberadaan benda cerah yang tersembunyi di belakangnya.

Nebula gelap tidak sepenuhnya menyembunyikan cahaya bintang di belakangnya tetapi hanya menyebabkan bintang tersebut terlihat lebih redup sehingga jumlah bintang memiliki magnitudo yang masih dapat terlihat dalam


(45)

wilayah yang tertutupi gas gelap masih dapat dihitung. Nebula gelap memiliki komposisi yang terlihat hampir sama seperti material penyusun nebula terang.

3. Gas antar bintang

Kita dapat mengetahui suatu daerah tertutupi dengan efek yang ditimbulkan ketika cahaya melewatinya. Terdapat dua kemungkinan yaitu bila material terdiri dari partikel debu, cahaya mengalami sedikit pemerahan oleh hamburan dan bila material terdiri dari gas menyebabkan garis absorpsi spektrum bintang yang cahayanya menembus material tersebut meningkat.

Banyak kajian yang menunjukkan keberadaan gas dan debu antar bintang dapat ditentukan dengan menganalisa adakah terjadi penurunan intensitas spektrum bintang B. Massa jenis gas antar bintang sangat kecil dibandingkan dengan nebula emisi. Hal ini menunjukkan bahwa dalam awan gas antar bintang rata-rata terdapat 200 atom per inc3 atau 1,05 x 107 atom per m3 tetapi ada juga awan yang di dalamnya hanya terdapat 1,05 x 106 atom per m3 atau hanya sepersepuluhnya yang merupakan daerah vakum tinggi. Komposisi gas antar bintang yang mengandung nebula difusi tidak tampak berbeda jauh dari komposisi gas yang ditemukan di matahari

2.2.8 Perambatan Cahaya Melalui Ruang Antar Bintang.

Telah dibahas sebelumnya bahwa ruang antar bintang tidak hampa melainkan terdapat materi antar bintang yang berupa debu dan gas antar bintang, nebula terang dan nebula gelap. Seperti halnya pada lapisan atmosfer bumi, pelemahan cahaya bintang juga terjadi ketika cahaya bintang melalui ruang antar bintang. Materi antar bintang akan menyerap cahaya bintang yang melewatinya dan membelokkannya.

Misalkan σλ adalah koefisien absorbsi dalam cm-1 yang bergantung pada λ. Ketebalan optis τλ antara bumi dengan bintang pada jarak s adalah


(46)

= s ds

0 λ

λ σ

τ (2.28)

Akibat penyerapan oleh materi antar bintang ini, maka fluks yang diamati di bumi (di luar atmosfer) adalah :

E0λ =Eλe−τλ (2.29)

dengan E adalah fluks pancaran sebelum diserap materi antar bintang yang melemahkan magnitudonya sebesar,

mλ =mλm0λ =1,086τλ (2.30) dengan mλ adalah magnitudo yang diamati di bumi dan m adalah magnitudo bintang sebenarnya atau magnitudo intrinsik (magnitudo sebelum diserap oleh materi antar bintang). Untuk menyatakan besarnya penyerapan atau absorbsi ini digunakan simbol Aλ yaitu,

λ λ λ

λ m m A

m = − =

0 (2.31)

Untuk magnitudo intrinsik harus ditambah koreksi penyerapan oleh materi antar bintang yaitu,

λ λ

λ M d A

m = −5+5log + (2.32) Dengan melakukan pengamatan dalam dua panjang gelombang misalkan λ1 dan λ2 persamaan (2.31) dapat dituliskan menjadi,

1 1 0

1 λ λ

λ m A

m − =

2 2 0

2 λ λ

λ m A

m − =

(

mλ1−m0λ1

) (

mλ2 −m0λ2

)

= Aλ1−Aλ2

(

mλ1 −mλ2

) (

mλ1 −mλ2

)

0 = Aλ1−Aλ2

(

mλ1−mλ2

)

0disebut warna intrinsik dan

(

mλ1−mλ2

) (

mλ1−mλ2

)

0 disebut ekses warna yang diberi simbol Eλ12. Sehingga dapat didefinisikan perbandingan absorbsi sebagai :

12 1 λ λ E A

R= (2.33)

Makin besar R maka absorbsi yang disebabkan oleh Materi antar bintang juga akan semakin besar. Absorbsi cahaya bintang oleh materi antar bintang disebut juga sebagai efek pemerahan. (Chatief Kunjaya, 2006)


(47)

2.3 Efek Doppler

Efek Doppler untuk kasus bunyi, berubah bergantung dari apakah sumber atau pengamatnya atau keduanya bergerak. Keadaan ini seakan-akan bertentangan dengan prinsip relativitas. Tetapi gelombang bunyi itu sendiri sangat bergantung pada keberadaan medium yang merupakan kerangka acuan dimana terhadap kerangka inilah gerak sumber dan pengamat dapat diamati dan diukur. Keberadaan medium inilah yang membedakan efek Doppler untuk bunyi dengan efek Doppler untuk cahaya.

Efek Doppler untuk kasus cahaya berkaitan dengan perubahan warna dari cahaya yang ditentukan oleh panjang gelombangnya. Perubahan warna bergantung pada kecepatan relatif antara sumber dan pengamat. Kecepatan ini sangat kecil dibandingkan dengan kecepatan cahaya yang tetap tidak bergantung terhadap jarak tempuhnya.

Bintang yang mendekati pengamat panjang gelombang cahayanya terlihat sedikit lebih pendek dan warnanya sedikit lebih biru. Keseluruhan spektrum cahaya bintang akan bergeser. Bila bintang menjauhi pengamat, panjang gelombangnya sedikit lebih panjang dan cahayanya sedikit lebih merah.

Jika v adalah kecepatan gerak relatif kerangka inersia bintang terhadap kerangka inersia pengamat, v dan v0masing-masing adalah frekuensi cahaya bintang yang diterima pengamat dan frekuensi cahaya bintang yang dipancarkan bintang (sumber cahaya) serta c adalah cepat rambat cahaya, maka untuk tiga macam keadaan gerak bintang terhadap pengamat akan diperoleh persamaan efek Dopplernya sebagai berikut :

1. Pengamat bergerak tegak lurus terhadap sumber cahaya (tranversal) Dalam kerangka acuan pengamat 2 2

0/ 1 v /c

t

t = − , jadi frekuensi yang diamati

2 2 0

0 2 2

v 1 v

1 1

c v

t c t

v = −

− =

= (2.34)


(48)

2. Pengamat menjauhi sumber cahaya.

Pengamat yang menempuh jarak vt menjauhi sumber cahaya maka cahaya mengambil waktu vt/c lebih panjang untuk sampai kepadanya sehingga, c c t c t t c t t T v -1 v 1 v 1 c v 1 c v 1 c v 1 c v -1 c v 1 v 0 0 2 2 0 + = − + + + = + = +

= (2.35)

dan didapatkan frekuensi yang teramati oleh pengamat adalah,

c c v c c t T v / v 1 / v 1 / v 1 / v 1 1 1 0 0 + − = − + =

= (2.36)

3. Pengamat mendekati sumber cahaya

Pengamatnya dalam hal ini menempuh jarak vt/c mendekati sumber cahaya, sehingga gelombang cahaya mengambil vt/c lebih pendek untuk sampai padanya. Dalam kasus ini T =t−vt c dan hasilnya

c c v v v 1 v 1 0 − +

= (2.37)

Frekuensi yang teramati lebih tinggi daripada frekuensi sumber. (Arthur Beiser, 1983)

2.4. Gerak Bumi dan Matahari

Matahari tidak pernah diam. Untuk menentukan pergerakan matahari digunakan bintang terdekat sebagai kerangka acuan untuk melihat arah gerak matahari. Dalam tabel 2.3 dipaparkan tentang 3 macam gerak matahari meliputi gerak matahari dalam galaksi bima sakti bersama dengan grup galaksi lokal. Sedangkan bumi mengalami tiga macam gerak yaitu rotasi, revolusi dan presesi. Gerak presesi bumi disebut juga gerak gasing bumi, maksudnya adalah perputaran sumbu rotasi mengedari suatu bidang ekliptika. Gerak ini terjadi akibat kemiringan sumbu bumi terhadap bidang ekliptika sebesar 66o30. Gerak presesi bumi ini terjadi 26.000 tahun sekali. (Clyde B. Clason , 1958)


(49)

Gerak Sumbu Pusat Kerangka Acuan Periode Kecepatan Gerak bumi 1. Rotasi 2. Revolusi 3. Presesi Gerak matahari

4. Dalam grup bintang lokal 5. Dengan grup bintang lokal 6. Dengan galaksi Bima Sakti

Sekitar sumbu bumi

Sekitar matahari Tegak lurus terhadap bidang orbit bumi - Pusat galaksi - Matahari atau bintang Bintang Bintang Grup bintang lokal Grup galaksi lokal Grup galaksi lokal 1 hari 1 tahun 26.000 Tahun - 200 juta tahun -

1.000 mil per jam di

khatulistiwa. 18,6 mil per detik

-

12 mil per detik

Sekitar 200 mil per detik 50 mil per detik Tabel 2.3 Gerak Bumi dan Matahari

2.5 Teori Relativitas Einstein

Dari tabel 2.3 dapat diketahui bahwa bumi melakukan gerak rotasi pada sumbunya, presesi dan berevolusi terhadap matahari. Setiap gerak ini dapat dikaitkan terhadap matahari atau bintang lainnya. Bumi bersama dengan matahari bergerak relatif terhadap bintang lokal dan bintang lokal (termasuk di dalamnya matahari) bergerak mengelilingi pusat galaksi bima sakti. Gerak galaksi ini menjadi acuan terhadap gerak galakasi lainnya. Gerak galaksi kita terhadap galaksi lainnya merupakan bentuk dari gerak grup galaksi lokal. Tidak terdapat gerak spesifik yang menunjukkan adanya kerangka acuan universal yang absolut. Konsep gerak relatif ini dinamakan teori relativitas.

Relativitas merupakan subjek yang penting berkaitan dengan pengukuran (pengamatan) tentang di mana dan kapan suatu kejadian terjadi dan bagaimana kejadian tersebut dianalisa (diukur) menurut suatu kerangka acuan yang bergerak relatif terhadap kerangka yang lain. Topik tentang relativitas sebenarnya ada 2 bagian


(50)

yaitu relativitas Khusus (Special Relativity) dan relativitas Umum (General Relativity).

Dalam Teori Relativitas Khusus subjek yang menjadi fokus adalah kerangka acuan yang inersial. Kerangka acuan yang inersial yaitu kerangka acuan yang padanya hukum gerak Newton berlaku. Sedangkan Teori relativitas umum berkaitan dengan situasi yang lebih rumit dimana kerangka acuan mengalami percepatan gravitasi. Teori Relativitas Khusus didasari pada postulat Einstein, yang mengubah pemahaman klasik tentang relativitas.

Postulat Einstein meskipun nampak aneh dan sulit dipahami, namun kenyataan eskperimen modern sesuai dengan postulat tersebut dan perkembangan teknologi modern saat ini semua didasari postulat tersebut. Ada tiga asas yang melandasi teori relatvitas khusus, yaitu :

1. Untuk setiap gerakan berkelajuan rendah (momentum rendah), konsep-konsep dan hukum relativistik yang muncul harus sesuai dengan konsep-konsep yang telah ada dalam teori Newton.

2. Semua hukum alam bersifat tetap bentuknya (kovarian) terhadap perpindahan peninjauan kerangka inersia satu menunju kerangka inersia yang lain.

3. Laju maksimal yang dapat dimiliki oleh isyarat tidak bergantung (invarian) dari kerangka inersia yang digunakan.

2.5.1 Teori Relativitas Khusus

Teori relativitas khusus telah mampu menampilkan persamaan Maxwell, yang merupakan persamaan dasar dalam elektrodinamika, dalam bentuk kovarian. Konsekuensi teori relativitas khusus adalah kelajuan gelombang elektromagnetik dalam vakum sama dengan c (laju cahaya di ruang hampa). Beberapa percobaan menunjukkan bahwa dalam elektromagnetik, tidak ada kerangka istimewa. Dalam kerangka inersia, kelajuan cahaya sama dengan c, dengan kata lain c merupakan besaran invarian. Selain itu sistem persamaan Maxwell berlaku dalam semua kerangka inersia, yang oleh karena itu konsep ruang-waktu dan momentum energi mutlak harus diganti.


(51)

Terdapat dua pendekatan yang digunakan untuk menelusuri kaedah transformasi antara besar-besaran fisis (transformasi lorentz) dari kerangka inersia yang satu (K) menuju kerangka inersia lainnya (K’) yang bergerak dengan kecepatan konstan v terhadap K.

Pendekatan pertama yang digunakan bersifat konvensional yaitu dengan memilih ruang dan waktu sebagai variabel awal yang digunakan dalam merumuskan kaedah transformasi Lorentz. Dengan pendekatan ini, kaedah transformasi untuk besaran momentum dan energi ditelusuri. Pendekatan kedua bersifat pendekatan energetika, yaitu dengan memilih momentum energi sebagai variabel awal. (Rinto Anugraha NQZ, 2004)

2.5.2 Teori Relativitas Umum

Relativitas umum (general relativity) adalah sebuah yang diperkenalkan ole gravitasi bukan sebagai yang dapat diilustrasikan yaitu dengan air yang tenang yang dimasukkan ke dalamnya suatu benda massif. Benda massif ini akan menghasilkan pusaran air disekelilingnya. Benda yang kurang massif yang ditempatkan dalam pusaran air tersebut akan mengikuti pergerakan pusaran air ini.

Banyak prediksi relativitas umum yang berbeda dengan prediksi fisika klasik, utamanya prediksi mengenai berjalannya waktu, geometri ruang, gerak benda pada Prediksi-prediksi relativitas umum telah dikonfirmasikan dalam semua pengamatan fisika. Walaupun relativitas umum bukanlah satu-satunya teori relativistik


(52)

gravitasi, teori relativitas umum merupakan teori paling sederhana yang konsisten dengan data-data eksperimen.

Teori Einstein memiliki implikasi astrofisika yang penting. Teori ini memprediksikan adanya keberadaan daerah terdistorsi sedemikiannya tiada satu pun, bahkan cahaya pun, yang dapat lolos darinya. Terdapat bukti bahwa lubang hitam bertanggungjawab terhada yang dipancarkan oleh objek-objek astronomi tertentu, seperti usaha yang dilakukan untuk mengukurnya secara langsung. Selain itu, relativitas umum adalah dasar dari model kosmologis untuk alam semesta yang terus berkembang.

2.5.3 Transformasi Galilean.

Transformasi Galilean adalah tranformasi yang bersifat invarian terhadap hukum mekanika Newton. Hukum mekanika Newton membahas tentang gerak relatif suatu kerangka inersia terhadap kerangka inersia lainnya. Pada awalnya ada penelitian tentang fenomena elektrodinamika, cahaya dianggap memiliki kecepatan tak berhingga, dan kejadian yang sama akan diamati dari kerangka inersia yang berbeda. Sistem inersia ini didefinisikan sebagai suatu kerangka acuan dimana hukum inersia Newton (hukum pertama Newton Berlaku).

Untuk suatu kejadian di titik p seperti ditunjukkan pada gambar 2.8 maka transformasi Galilean akan menunjukkan hubungan untuk dimensi ruang dan waktu dari kejadian p berdasarkan pengamatan yang dilakukan pengamat pada kerangka inersianya masing-masing sebagai berikut.

t x x'= −v

y y'=


(53)

z z'=

t

t'= (2.38)

2.5.4 Transformasi Lorentz

Hukum mekanika Newton invarian terhadap transformasi Galilean sehingga persamaan Newton menggambarkan hubungan kesamaan bentuk yang tidak bergantung terhadap kecepatan kerangka acuan. Ketika cahaya dan fenomena elektrodinamika diselediki timbullah suatu masalah baru yang disebabkan cahaya memiliki kecepatan berhingga, c sehingga peninjauan terhadap transformasi galilean bahwa kecepatan relatif terhadap seorang pengamat seharusnya bergantung terhadap kerangka acuannya maka lahirlah teori relativitas Einstein.

Seperti halnya hukum gerak Newton yang kesamaan hubungannya dihubungkan transformasi Lorentz maka teori relativitas Einstein dijelaskan dengan tentang kelajuan cahaya diamati invarian dalam setiap kerangka acuan yang bergerak uniform terhadap kerangka acuan yang lain dihubungkan dengan suatu pendekatan yaitu transformasi Lorentz yang persamaan transformasinya dinyatakan dalam persamaan (2.38)

Bila dikaji lebih lanjut, koordinat ruang dan koordinat waktu mempunyai kaitan erat. Waktu pengamatan untuk setiap pengamat tidaklah sama; t’ bergantung pada x dan juga pada t. Jika dibiarkan c→∝ maka persamaan Lorentz akan tereduksi menjadi persamaan Galilean.(Halliday, Resnick, 1992)

Berikut ini merupakan sistem persamaan yang diketahui sebagai transformasi Lorentz yang ditunjukkan dalam gambar 2.8 yang memperlihatkan dua sistem koordinat yaitu sistem koordinat K yang diam dan sistem koordinat K’ yang bergerak yang dinyatakan oleh x,y,z,t dan x’.y’,z’ dan t’. Transformasi ini harus menunjukka n bahwa kecepatan cahaya c sama untuk semua kerangka acuan yang bergerak secara uniform.


(54)

z

y

K

K’

y’

x’ z’

v

v

v

x

P

Gambar 2.8 Sistem Koordinat ruang K dan K’

Dari sistem koordinat yang ditunjukkan dalam gambar 2.8 didapatkan penyelesaian yaitu persamaan :

2 2 c v 1

vt x x

− − =

'

y'=y z'=z

2 2 2

c v 1

.x c

v t t'

− − =

(2.39)


(55)

BAB 3

HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Fenomena Bintang Tampak Berkelip dan Kaitannya dengan Posisinya di Jagat Raya Menurut Teori Relativitas Einstein.

Teori relativitas Einstein adalah sebutan untuk kumpulan dua teori fisika yaitu teori relativitas umum dan teori relativitas khusus. Kedua teori ini diciptakan untuk menjelaskan bahwa gelombang elektromagnetik tidak sesuai dengan mekanika Newton. Hukum mekanika Newton hanya dapat digunakan dalam kasus gerak dengan kelajuan v << c dan tidak dapat digunakan pada laju yang mendekati laju cahaya.

Teori Relativitas khusus menjelaskan bahwa jika ada dua orang pengamat yang masing-masing berada dalam kerangka acuan lembam (inersia) dan kerangka acuan yang bergerak dengan kecepatan sama relatif terhadap pengamat lain, maka kedua pengamat tersebut tidak dapat menentukan kerangka acuan lainnya bergerak relatif terhadapnya atau diam. Teori relativitas khusus disandarkan pada postulat bahwa kelajuan cahaya akan sama terhadap semua pengamat yang berada dalam kerangka acuan inersia dan hukum fisika memiliki bentuk matematis yang sama dalam kerangka acuan lembam manapun.

Gelombang elektromagnetik kelajuannya konstan tanpa dipengaruhi gerakan pengamat dapat dibuktikan dari pemikiran bahwa dua orang pengamat yang masing-masing berada pada kerangka inersia yang berbeda yang bergerak relatif satu sama lain akan mendapatkan waktu dan interval ruang yang berbeda untuk kejadian yang sama tetapi hukum fisika yang berlaku pada masing-masing kerangka inersia memiliki bentuk matematis yang sama.


(56)

Teori relativitas umum menggantikan hukum gravitasi Newton. Teori ini menggunakan matematika geometri diferensial dan tensor untuk menjelaskan gravitasi. Teori ini memiliki bentuk yang sama bagi seluruh pengamat, baik bagi pengamat yang bergerak dalam kerangka acuan lembam ataupun bagi pengamat yang bergerak dalam kerangka acuan yang dipercepat. Dalam relativitas umum, gravitasi bukan lagi sebuah gaya (seperti dalam Hukum gravitasi Newton) tetapi merupakan konsekuensi dari kelengkungan (curvature) ruang-waktu. Relativitas umum menunjukkan bahwa kelengkungan ruang-waktu ini terjadi akibat kehadiran massa.

Matahari memiliki massa dan energi yang besar sehingga menyebabkan pusaran lengkung Ruang-Waktu itu. Lengkungan yang berbentuk pusaran itulah yang menyebabkan Bumi terus berputar-putar mengelilingi matahari, seakan-akan bumi terjebak dalam pusarannya dan Bumi juga membentuk pusaran yang menjebak bulan untuk terus mengelilinginya.

Keadaan ini dapat diilustrasikan pada air yang diaduk dalam sebuah gelas, maka akan tercipta pusaran. Pusaran tengahnya anggap sebagai matahari. Bila dalam pusaran diletakkan sebutir kacang dalam putaran itu, maka kacang itu akan terus berputar-putar dalam pusaran itu. Seperti itulah dasarnya Bumi terus mengitari Matahari.

Fenomena bintang tampak berkelip terjadi karena pengamat tidak dapat menerima cahaya yang dipancarkan bintang dengan intensitas konstan setiap saat. Hal ini disebabkan oleh gerak relatif bintang terhadap pengamat dan keberadaan atmosfer bumi.

Gerak relatif bintang terhadap pengamat dapat digambarkan seperti pada gambar 3.1. Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa bintang berada pada posisi yang berbeda menurut setiap pengamat. Pengamat yang berada dalam kerangka inersia bumi akan melihat bintang berada pada posisi (x, y, z, t) sedangkan pengamat yang berada dalam kerangka acuan yang sama dengan bintang melihat bintang berada pada posisi (x’, y’, z’, t’).


(57)

Atmosfer bumi z y K K’ y’ x’ z’ v v v x Bintang (x, y, z, t) (x’, y’, z’, t’)

Pengamat

Pengamat

Gambar 3.1 Gerak relatif bintang terhadap pengamat.

Hubungan posisi bintang yang terlihat menurut pengamat di bumi ( kerangka acuan K) dan pengamat yang berada dalam kerangka acuan yang sama dengan bintang ( kerangka acuan K’) melalui persamaan transformasi Lorentz adalah sebagai berikut.

2 2 c v 1 vt x x' − −

= y'= y

2 2 2 c v 1 c v -t t' − = x z =

z' (3.1)

Oleh karena kelajuan relatif kerangka acuan K’ terhadap kerangka acuan K yaitu v sangat kecil dibandingkan cepat rambat cahaya c maka persamaan transformasi Lorentz akan tereduksi menjadi persamaan transformasi galilean yaitu :

t x

x' = −v z' =z

y

y' = t' =t

(3.2)

Kelajuan relatif bintang terhadap pengamat dibumi dari persamaan transformasi Lorentz didapatkan sebagai berikut :


(1)

Fenomena bintang tampak berkelip akibat efek Doppler yang disebabkan gerak relatif bintang terhadap pengamat merupakan efek pelemahan yang terjadi bila bintang bergerak relatif menjauhi pengamat dan penguatan bila bintang bergerak relatif mendekati pengamat tanpa diikuti perubahan warna pancaran dari cahaya bintang yang diteima pengamat.


(2)

BAB 4

KESIMPULAN

4.1 Kesimpulan.

Dari pembahasan tersebut di atas dapat diambil kesimpulan bahwa :

1. Fenomena bintang tampak berkelip terjadi karena radiasi bintang tidak dapat diterima pengamat secara kontinu setiap saat. Keberadaan medium di antara pengamat dan bintang yang memiliki kemampuan memantulkan, menyerap dan membiaskan sebagian radiasi yang dipancarkan bintang dan gerak relatif bintang terhadap pengamat yang menyebabkan perubahan arah pancaran cahaya yang diterima pengamat menyebabkan cahaya bintang tidak dapat diterima pengamat dengan intensitas yang sama (kontinu) setiap saat.

2. Perubahan posisi bintang terhadap pengamat memberikan pengaruh terhadap fenomena bintang tampak berkelip, hal ini disebabkan perubahan posisi bintang yang tampak sangat kecil (tidak berubah) ini menyebabkan perubahan arah penerimaan cahaya oleh pengamat yang diam dalam kerangka inersianya. Perubahan arah penerimaan cahaya ini menyebabkan intensitas cahaya yang diterima pengamat tampak berbeda setiap saatnya. Keadaan ini didukung oleh keberadaan udara di lapisan atmosfer yang memiliki kemampuan membiaskan, memantulkan dan menyerap pancaran cahaya bintang.

3. Pada fenomena bintang tampak berkelip, ketiadaan kerangka acuan yang bersifat universal menyebabkan fenomena bintang tampak berkelip ini merupakan fenomena yang bersifat relativistik bagi setiap peninjauan dari setiap kerangka inersia. Hal ini dapat dibuktikan dari hukum fisika yang berlaku pada kerangka inersia tersebut memiliki bentuk matematis yang sama dan kelajuan cahaya untuk setiap kerangka inersia bernilai konstan.


(3)

4. Efek Doppler yang ditimbulkan dari gerak relatif bintang menjauhi atau mendekati pengamat tidak menyebabkan perubahan warna spektrum yang terlalu besar yang dapat menyebabkan pengamat melihat bintang dalam warna yang berbeda setiap saat tetapi memberikan pengaruh berupa pelemahan atau penguatan tergantung gerak relatif bintang tersebut mendekati atau menjauhi pengamat.

4.2 Saran

Kajian ini hanya membahas tentang hubungan fenomena bintang tampak berkedip dengan gerak relatif bintang terhadap pengamat sehingga diharapkan lebih lanjut dapat dikembangkan dengan sejumlah perhitungan matematis dengan konsep relativitas yang lebih mendalam untuk mengkaji fenomena alam lainnya yang belum pernah dikaji sebelumnya.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Anugraha, Rinto. 2005. Pengantar Teori Relativitas dan Kosmologi. Yokyakarta: Gajah Mada University Press.

Arya W., Wisnu. 2000. Reaksi Nuklir Sebagai Sumber Energi Matahari. Diakses tanggal 24 Februari 2010.

Beiser, Arthur. 1982. Konsep Fisika Modern. Edisi Ketiga. Jakarta: Erlangga.

Bohm, David, 1989. The Special Theory of Relativity. Newyork: Addison-Wesley Publishing Company.

Clason, Clyde B. 1958. Exploring The Distant Stars. Newyork. G.P Putnams Sons, Diayri. 2006. Evolusi Bintang. Diakses tanggal 9 Februari 2010.

Halliday, Resnick. 1992. Fisika. Jilid 2. Edisi Ketiga. Terjemahan Pantur Silaban dan Erwin Sucipto. Jakarta: Erlangga.

Hanief Trihartono. 2008. Mengapa Bintang Tampak Berkedip. Diakses tanggal 5 September 2008. (Langit Selatan. Com).

Ingglish, Stuard J.. 1963. Planet, Stars and Galaxies. Newyork. John Wiley and Sons, inc.

Krasskopf, K. Dan A. Beiser,1960. The Physical Universe. Newyork. Mc Graw Hill Book Company inc.

Kenneth S., Krane. 1987. Introductory Nuclear Physics. Newyork. John Wiley & Sons inc.

Kunjaya, Chatief. 2006. Menuju Olimpiade Astronomi. Jilid 1. Diktat Persiapan. Bandung: Kelompok Keahlian Astronomi FMIPA ITB.

Muhammadiyah, Mualimin. 2010. Atmosfer, Materi Geografi. Diakses tanggal 9 Februari 2010.

Resnick,R.1968. Introduction to Special Relativity. United States of America: Jhon Wiley & Sons, inc.


(5)

Russel, Bertrand. 1960. Teori Relativitas Einstein (Penjelasan Populer untuk Umum). Yokyakarta. Pustaka Pelajar.

Soedojo, Peter, 2000. Azas-Azas Mekanika Analitik. Yokyakarta: Gajah Mada University Press.

. . 2010. Teori Relativitas. Diakses tanggal 9 Februari 2010.


(6)

LAMPIRAN

Besaran dalam Astronomi

1 satuan astronomi (SA) = 149,6 x 106 km (215 radius matahari) 1 tahun cahaya = 9,4605 x 1012 km = 6,324 x 104 SA 1 parsec (pc) = 3,086 x 1013 km = 3,262 tahun cahaya Kecepatan cahaya = 2,9979 x 108 m/s

Radius bumi = 6371 km Radius matahari = 696.000 km Radius galaksi bimasakti = 12 500 pc

Konstanta stefan-Boltzmann = 5,669 x 10-8 W/m2/K4 1 detik busur matahari = 726 km.