Lalat penggorok daun Liriomyza spp dan parasitoidnya pada sayuran dataran tinggi dengan perhatian utama pada parasitoid Opius chromatomyiae Belokobylskij & Wharton

(1)

LALAT PENGOROK DAUN Liriomyza spp. (DIPTERA:

AGROMYZIDAE) DAN PARASITOIDNYA PADA SAYURAN

DATARAN TINGGI DENGAN PERHATIAN UTAMA PADA

PARASITOID Opius chromatomyiae BELOKOBYLSKIJ &

WHARTON (HYMENOPTERA: BRACONIDAE)

RUSLI RUSTAM

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009


(2)

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Lalat Pengorok Daun Liriomyza spp. (Diptera: Agromyzidae) dan Parasitoidnya pada Sayuran Dataran Tinggi dengan Perhatian Utama pada Parasitoid Opius chromatomyiae Belokobylskij & Wharton (Hymenoptera: Braconidae) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Januari 2009

Rusli Rustam NIM. A 461040021


(3)

ii RUSLI RUSTAM. Leafminers Liriomyza spp. (Diptera: Agromyzidae) on Highland Vegetables and Their Parasitoids with The Emphasis on Opius chromatomyiae Belokobylskij & Wharton (Hymenoptera: Braconidae). Supervised by AUNU RAUF, NINA MARYANA, PUDJIANTO and DADANG.

Leafminers Liriomyza spp. are major pest on highland vegetables in Indonesia. The objectives of the research were to (1) evaluate leafminer and its parasitoids on higland vegetables, (2) study the intensity of parasitism of O. chromatomyiae in various host plants, (3) study the population dynamic of leafminer and its parasitoid in shallot, (4) evaluate the impact of three insecticides on parasitoid O. chromatomyiae, and (5) evaluate the demographic parameters and functional response of parasitoid O. chromatomyiae. Surveys of leafminer population and its parasitoid were undertaken by collecting 20-40 infested leaves. Leafminer flies and parasitoids emerged were collected and identified. Level of parasitism was calculated based on the number of parasitoids emerged divided by the total number of flies and wasps emerged. The population dynamic of leafminer and its parasitoids were studied on two varieties of green onion, by collecting 20 leaves and counting number of flies catched on yellow traps every week. The impact of insecticides on both leafminers and parasitoids was conducted by applying three different insecticides: abamectin, azadirachtin, and cartaphydrochloride once a week at the recommended dosage. Life table of O. chromatomyiae was studied to determine the population growth potential of the parasitoid, by calculating reproduction rate, intrinsic rate of increase, generation time, and stable age distribution. Functional response was evaluated by exposing O. chromatomyiae on the third instar larvae of L. huidobrensis at eight different host densities (2, 4, 8, 10, 12, 16, 20, and 24) of. Our surveys revealed that Liriomyza huidobrensis, L. sativae, L. chinensis and Chromatomyia horticola were associated with various highland vegetables. Eight parasitoids emerged from leafminer-infested leaves: Hemiptarsenus varicornis, Asecodes deluchii, Neochrysocharis okazakii, N. formosa, Neocrhysocharis sp. Quadrastitchus liriomyzae, O. chromatomyiae and Gronotoma micromorpha. Parasitoid Opius chromatomyiae emerged from 13 different species of vegetables infested by leafminers.. Number of leafminers and parasitoids emerged, and crop damage were significantly different between two green onion varieties tested. Cartap hydrochloride was the most effective insecticide in term for reducing leafminer populations. Even though not as effective as cartap hydrochloride, abamectin and azadirachtin could reduce level of leafminer damage and had lower detrimental effects on natural enemies. Life table studies showed that longevity of females Opius chromatomyiae (9.95 days) shorter than males (11.73 days). Females laid 104.73 eggs with the oviposition rate was 9.31 eggs/days. Reproductive output (R0) was 28.55 with generation time (T) was about 15.96 days and intrinsic rate of

increase was 0.21. The stable age ditribution was 37.93% eggs, 24.92% larvae, 20.36% pupae and 16.78% adults. Functional response of O. chromatomyiae is type II (hyperbolic curve) with searching time was 0.0777/hour and handling time was 2.5818/hour.


(4)

iii RUSLI RUSTAM. Lalat Pengorok Daun Liriomyza spp. (Diptera: Agromyzidae) dan Parasitoidnya pada Sayuran Dataran Tinggi dengan Perhatian Utama pada Parasitoid Opius chromatomyiae Belokobylskij & Wharton (Hymenoptera: Braconidae). Dibimbing oleh AUNU RAUF, NINA MARYANA, PUDJIANTO, dan DADANG.

Tabuhan Opius chromatomyiae adalah parasitoid yang dominan berasosiasi dengan larva pengorok daun pada pertanaman sayuran dataran tinggi di Indonesia. Penelitian bertujuan untuk (1) mengidentifikasi spesies lalat pengorok daun pada pertanaman sayuran dataran tinggi serta parasitoid yang berasosiasi, (2) mengetahui tingkat parasitisasi O. chromatomyiae pada berbagai jenis tanaman inang, (3) mengkaji dinamika populasi lalat pengorok daun dan parasitoidnya pada tanaman bawang daun, (4) mengevaluasi selektifitas beberapa insektisida terhadap parasitoid O. chromatomyiae (5) mengkaji potensi keefektifan parasitoid O. chromatomyiae berdasarkan parameter demografi yang meliputi laju pertambahan intristik (r), reproduksi bersih (Ro), masa generasi (T) dan proporsi persebaran usia stabil (px), (6) mengkaji potensi keefektifan parasitoid O. chromatomyiae berdasarkan tanggapnya terhadap peningkatan kelimpahan inang, serta menetapkan laju pelacakan inang (a) dan masa penanganan inang (Th).

Survei lalat pengorok daun dan parasitoidnya dilakukan dengan mengambil 20-40 helai daun tanaman sayuran yang memperlihatkan gejala korokan lalat pengorok daun. Imago lalat pengorok daun dan parasitoid yang muncul dari daun diidentifikasi. Tingkat parasitisasi dihitung dengan membandingkan jumlah parasitoid dengan lalat pengorok daun yang muncul. Percobaan dinamika populasi lalat pengorok daun dan parasitoidnya dilakukan pada dua varietas tanaman bawang daun. Pengamatan dilakukan setiap minggu dengan mengambil 20 helai daun terserang dan pemasangan perangkap kuning. Percobaan aplikasi insektisida pada tanaman bawang daun dan pengaruhnya terhadap parasitoid dilakukan pada tiga jenis insektisida, yaitu abamektin, azadirakhtin, dan kartap dengan dosis sesuai anjuran pada label kemasan insektisida. Aplikasi insektisida dilakukan setiap minggu. Pengamatan dilakukan dengan mengambil 15 helai daun tanaman terserang dan pemasangan perangkap kuning. Data dianalisis dengan pengamatan data berulang. Sedangkan percobaan parameter demografi O. chromatomyiae dilakukan pada 50 individu cohort awal dengan mengamati pertumbuhan dan perkembangan parasitoid mulai dari telur sampai imago mati. Parameter yang diamati adalah keperidian, laju pertumbuhan intrinsik, masa generasi, dan persebaran umur stabil. Percobaan tanggap fungsional O. chromatomyiae dilakukan di laboratorium dengan menggunakan larva lalat pengorok daun instar-3 sebagai serangga inangnya. Percobaan tanggap fungsional dilakukan pada kerapatan inang 2, 4, 8, 12, 16, 20, dan 24 dengan analisis regresi logistik dan regresi non linear.

Hasil penelitian menunjukkan terdapat empat spesies lalat pengorok daun yang menyerang pertanaman sayuran dataran tinggi, yakni Liriomyza huidobrensis, L. sativae, L. chinensis dan Chromatomyia horticola. Diketahui delapan spesies parasitoid berassosiasi dengan lalat pengorok daun, enam spesies dari famili Eulophidae, yaitu Hemiptarsenus varicornis, Asecodes deluchii,


(5)

iv liriomyzae dan masing-masing satu spesies dari famili Braconidae dan Eucoilidae yaitu O. chromatomyiae dan Gronotoma micromorpha. Parasitoid O. chromatomyiae merupakan parasitoid yang dominan pada tingkat ketinggian 1001-1300 dan 1301-1600 m di atas permukaan laut dengan tingkat parasitisasi berkisar antara 1.84 – 62.26%. Dari 16 spesies tanaman yang diinfestasi oleh lalat pengorok daun, O. chromatomyiae dapat memparasitisasi lalat pengorok daun pada 13 tanaman yang terserang.

Analisis pengamatan berulang mingguan menunjukkan bahwa perbedaan varietas bawang daun tidak mempengaruhi jumlah Liriomyza yang tertangkap perangkap kuning namun mempengaruhi jumlah Liriomyza dan parasitoid yang muncul dari daun contoh. Terdapat dua spesies pengorok daun yang menyerang pertanaman bawang daun, yaitu L. huidobrensis dan L. chinensis dengan rerata jumlah Liriomyza yang muncul dari bawang daun varietas Erwor dan RP berturut-turut sebanyak 54,50 individu/20 daun dan 18.65 individu/20 daun. Jumlah parasitoid yang muncul dari bawang daun varietas Erwor (13.68 individu/20 daun) jauh berlimpah dibandingkan varietas RP (6.9 individu/20 daun). Spesies parasitoid yang muncul dari daun contoh kedua varietas adalah H. varicornis dan O. chromatomyiae dengan tingkat parasitisasi kedua spesies hampir sama. Tingkat kerusakan tanaman lebih berat terjadi pada bawang daun varietas Erwor namun tidak mempengaruhi jumlah anakan karena jumlah anakan pada varietas Erwor dua kali lipat dibandingkan varietas RP.

Aplikasi insektisida abamektin, azadirahtin dan kartap tidak berpengaruh terhadap jumlah imago Liriomyza yang terperangkap perangkap kuning namun berpengaruh terhadap jumlah Liriomyza yang muncul dari daun, tingkat kerusakan tanaman dan parasitoid yang berasosiasi dengan lalat ini. Insektisida kartap lebih efektif dalam mengendalikan lalat pengorok daun pada tanaman bawang daun sehingga tingkat kerusakan tanaman jauh lebih rendah dibandingkan dua insektisida lainnya. Namun demikian aplikasi insektisida kartap yang merupakan insektisida sintetis menyebabkan jumlah parasitoid O. chromatomyiae dan H. varicornis yang muncul dari daun lebih rendah dibandingkan pada perlakuan insektisida abamektin dan azadiraktin. Aplikasi abamektin dan azadirakhtin cukup mampu menurunkan tingkat serangan lalat pengorok daun dan aman terhadap musuh alami. Aplikasi insektisida tidak berpengaruh terhadap bobot kotor bawang daun dan jumlah anakan.

Opius chromatomyiae merupakan endoparasitoid yang memperlihatkan lama hidup imago betina (9.95 hari) lebih singkat dibandingkan imago jantan (11.73 hari). Keperidian imago betina 104.73 individu dengan laju peneluran 9.31 butir/hari, sementara itu, laju reproduksi bersih (Ro) 28.55 dengan masa generasi (T) 15.96 hari dan laju pertumbuhan intrinsik sebesar 0.21 pada proporsi persebaran usia stabil 37.93% telur, 24.92% larva, 20.36% pupa dan 16.78% imago. O. chromatomyiae mempunyai tanggap fungsional tipe II dengan laju pencarian inang 0.0777/jam dan masa penanganan inang 2.5818 jam. Jumlah inang yang diparasit O. chromatomyie meningkat dengan bertambahnya kerapatan inang.


(6)

v

©

Hak Cipta Milik IPB, tahun 2009

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebahagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(7)

vi

AGROMYZIDAE) DAN PARASITOIDNYA PADA SAYURAN

DATARAN TINGGI DENGAN PERHATIAN UTAMA PADA

PARASITOID Opius chromatomyiae BELOKOBYLSKIJ &

WHARTON (HYMENOPTERA: BRACONIDAE)

RUSLI RUSTAM

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Entomologi/Fitopatologi

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009


(8)

vii Penguji pada Ujian Tertutup : Dr. Ir. R. Yayi Munara Kusumah, M.S.

Penguji pada Ujian Terbuka : Prof. Dr. Ir. Utomo Kartosuwondo, M.S.


(9)

viii dan Parasitoidnya pada Sayuran Dataran Tinggi dengan Perhatian Utama pada Parasitoid Opius chromatomyiae Belokobylskij & Wharton (Hymenoptera: Braconidae) Nama : Rusli Rustam

NIM : A461040021

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Aunu Rauf, M.Sc. Dr. Ir. Nina Maryana, M.S. Ketua Anggota

Dr. Ir. Pudjianto, M.S. Dr. Ir. Dadang, M.Sc. Anggota Anggota

Mengetahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Entomologi/Fitopatologi

Dr. Ir. Sri Hendrastuti Hidayat, M.Sc. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.


(10)

ix Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia- Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2006 ini adalah parasitoid, dengan judul Lalat Pengorok Daun Liriomyza spp. (Diptera: Agromyzidae) dan Parasitoidnya pada Sayuran Dataran Tinggi dengan Perhatian Utama pada Parasitoid Opius chromatomyiae Belokobylskij & Wharton (Hymenoptera: Braconidae.

Disertasi ini memuat satu judul yang merupakan pengembangan dari naskah artikel yang diajukan ke jurnal ilmiah. Judul 1, Lalat pengorok daun dan parasitoidnya pada pertanaman sayuran dataran tinggi di Kabupaten Cianjur-Bogor, Jawa Barat telah diterbitkan (JNI 11: 1 tahun 2008).

Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof. Dr. Ir. Aunu Rauf, M.Sc., Dr. Ir. Nina Maryana, M.S., Dr. Ir. Pudjianto, M.S., dan Dr. Ir. Dadang, M.Sc. yang telah membimbing penulis dengan sabar dan hati yang ikhlas mulai dari penyusunan proposal sampai penulisan disertasi ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Dekan Fakultas Pertanian Universitas Riau (UNRI) dan Bapak Rektor UNRI, atas izin dan kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti program Doktor (S3) di IPB. Terima kasih disampaikan pula kepada Direktur Program pascasarjana IPB dan Tim Pengelola Beasiswa BPPS Depdiknas atas kesempatan dan dukungan biaya yang telah diberikan sehingga proses penyelesaian studi penulis dapat berjalan dengan baik. Kepada Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian IPB, khususnya Program Studi Entomologi-Fitopatologi penulis sangat berterima kasih atas kesungguhan hati para dosennya dalam mentransfer ilmu pengetahuan melalui perkuliahan, diskusi, dan seminar.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan pula kepada Bapak Saodik, Bapak Wawan Laboran Laboratorium Ekologi Serangga dan Ibu Aisyah Laboran Laboratorium Biosistematika Serangga yang telah banyak membantu penulis selama melaksanakan penelitian. Kepada saudara Acep yang telah membantu penulis dalam melaksanakan penelitian di Cipanas, penulis ucapkan terima kasih.

Kepada rekan di program studi Entomologi/Fitopatologi dan rekan-rekan di laboratorium Ekologi Serangga dan Biosistematika Serangga, penulis mengucapkan terima kasih atas budi baik dan kerjasama yang telah penulis rasakan selama ini. Rekan-rekan telah banyak memberi bantuan melalui kegiatan diskusi dan tukar pikiran yang bermanfaat bagi penulis. Akhirnya penulis menyampaikan terima kasih kepada seluruh keluarga, khususnya kepada istri tercinta Jum’atri Yusri atas bantuan moril dan materil serta keihklasannya selama penulis mengikuti pendidikan di IPB. Disertasi yang tidak luput dari kekurangan dan kelemahan ini mudah-mudahan dapat bermanfaat bagi kita semua.

Bogor, Januari 2009


(11)

x Penulis dilahirkan di Padang pada tanggal 11 November 1969 sebagai anak keenam dari sembilan bersaudara dari pasangan Rustam (alm.) dan Rosna Zein (almh.). Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Andalas Padang, lulus tahun 1993. Pada tahun 2000, penulis diterima di Program Studi Entomologi-Fitopatologi, Program Pascasarjana IPB dan menamatkannya pada tahun 2002. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada program studi dan pada perguruan tinggi yang sama diperoleh pada tahun 2004. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia.

Penulis bekerja sebagai staff pengajar di Program Studi Hama dan Penyakit Tumbuhan, Jurusan Agronomi, Fakultas Pertanian, Universitas Riau sejak tahun 1999. Mata kuliah yang menjadi tanggung jawab penulis adalah Dasar-Dasar Perlindungan Tanaman.

Selama mengikuti program S3, penulis menjadi anggota Perhimpunan Entomologi Indonesia (PEI). Karya ilmiah berjudul Lalat Pengorok Daun dan Parasitoidnya pada Pertanaman Sayuran Dataran Tinggi di Kabupaten Cianjur dan Bogor, Jawa Barat telah disajikan pada Seminar Nasional PEI Bogor di Cibinong-Bogor pada bulan Maret 2008. Studi parasitoid Opius chromatomyiae Belokobylskij & Wharton (Hymenoptera: Braconidae) sebagai agens pengendalian hayati lalat pengorok daun telah disajikan pada Pekan Kentang Nasional 2008 di Lembang, Jawa Barat pada bulan Agustus 2008. Sebuah artikel berjudul Lalat pengorok daun dan parasitoidnya pada pertanaman sayuran dataran tinggi di Kabupaten Cianjur-Bogor, Jawa Barat telah diterbitkan pada Jurnal Natur Indonesia (JNI) tahun 2008 volume 11 no. 1. Karya-karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari program S3 penulis.


(12)

xi

Halaman

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Pendekatan Masalah ... 2

Tujuan Penelitian ... 4

Manfaat Penelitian ... 4

TINJAUAN PUSTAKA Lalat Pengorok Daun ... 5

Kerusakan dan Kehilangan Hasil Akibat Serangan Lalat Pengorok 7

Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Populasi Pengorok Daun ... 8

Pengendalian Lalat Pengorok Daun ... 10

Faktor yang Mempengaruhi Keberadaan Musuh Alami ... 11

Pemilihan Inang oleh Parasitoid ... 12

Biologi Opius sp. ... 14

Parameter Pertumbuhan Populasi ... 15

Respon Pemangsaan ... 17

Hubungan antara Inang, Parasitoid, dan Tanaman ... 18

Aplikasi Insektisida dalam Pengendalikan Liriomyza ... 19

1. LALAT PENGOROK DAUN DAN PARASITOIDNYA PADA PERTANAMAN SAYURAN DATARAN TINGGI DI KABUPA- TEN CIANJUR - BOGOR, JAWA BARAT Abstrak ... 21

Abstract ... 21

Pendahuluan ... 22

Bahan dan Metode ... 23

Hasil dan Pembahasan ... 25

Kesimpulan ... 35

Daftar Pustaka ... 35

2. DINAMIKA POPULASI Liriomyza spp. (DIPTERA: AGROMYZIDAE) DAN PARASITOIDNYA PADA DUA VA- RIETAS TANAMAN BAWANG DAUN (Allium fistulosum L.) Abstrak ... 40

Abstract ... 40

Pendahuluan ... 41

Bahan dan Metode ... 42

Hasil dan Pembahasan ... 44


(13)

xii 3. APLIKASI BEBERAPA JENIS INSEKTISIDA UNTUK MENGEN-

DALIKAN LALAT PENGOROK DAUN DAN PENGARUH SAM-PINGNYA TERHADAP PARASITOID

Abstrak ... 59

Abstract ... 59

Pendahuluan ... 60

Bahan dan Metode ... 61

Hasil dan Pembahasan ... 64

Kesimpulan ... 73

Daftar Pustaka ... 73

4. PARAMETER DEMOGRAFI PARASITOID Opius chromatomyiae (HYMENOPTERA: BRACONIDAE) PADA LALAT PENGOROK DAUN Liriomyza huidobrensis (DIPTERA: AGROMYZIDAE) Abstrak ... 75

Abstract ... 75

Pendahuluan ... 75

Bahan dan Metode ... 76

Hasil dan Pembahasan ... 79

Kesimpulan ... 85

Daftar Pustaka ... 85

5. TANGGAP FUNGSIONAL Opius chromatomyiae (HYMENOPTERA: BRACONIDAE) PADA LALAT PENGOROK DAUN Liriomyza huidobrensis (DIPTERA: AGROMYZIDAE) Abstrak ... 88

Abstract ... 88

Pendahuluan ... 88

Bahan dan Metode ... 89

Hasil dan Pembahasan ... 92

Kesimpulan ... 95

Daftar Pustaka ... 95

PEMBAHASAN UMUM ... 97

KESIMPULAN DAN SARAN ... 102


(14)

xiii

Halaman

1.1 Lokasi pengambilan sampel daun ... 24 1.2 Spesies tanaman yang terserang lalat pengorok daun ... 25 1.3 Spesies lalat pengorok daun pada berbagai jenis tanaman inangnya . 29 1.4 Parasitoid yang menyerang lalat pengorok daun ... 29 1.5 Kelimpahan lalat pengorok daun dan tingkat parasitisasi parasitoid

pada berbagai jenis tanaman inang ... 30 1.6 Kelimpahan spesies Liriomyza dan parasitoid per daun pada

tanaman bawang daun ... 32 2.1 Deskripsi tanaman bawang daun ... 42 2.2 Kriteria skor kerusakan daun akibat serangan Liriomyza ... 44 2.3 Perbandingan beberapa peubah infestasi Liriomyza pada petak

pertanaman bawang daun varietas RP dan Erwor berdasarkan sidik ragam pengukuran berulang ... 45 2.4 Rataan beberapa peubah infestasi Liriomyza dan parasitoid pada

petak pertanaman bawang daun varietas RP dan Erwor berdasarkan analisis ragam pengukuran berulang ... 46 2.5 Perbandingan beberapa peubah parasitoid Liriomyza pada petak

pertanaman bawang daun varietas RP dan Erwor berdasarkan sidik ragam pengukuran berulang ... 49 3.1 Kriteria skor kerusakan daun akibat serangan lalat pengorok daun ... 63 3.2 Perbandingan beberapa peubah infestasi Liriomyza pada petak

pertanaman bawang daun yang diaplikasi insektisida dan petak kontrol berdasarkan sidik ragam pengukuran berulang ... 64 3.3 Rataan beberapa peubah infestasi Liriomyza pada petak pertanaman

bawang daun yang diaplikasi insektisida dan petak kontrol berdasarkan analisis ragam pengukuran berulang ... 66 3.4 Perbandingan kelimpahan parasitoid dan tingkat parasitisasi pada

pertanaman bawang daun yang diaplikasi beberapa jenis insektisida dan pada petak kontrol berdasarkan analisis ragam pengukuran berulang ... 68 3.5 Rataan beberapa peubah parasitoid pada pada petak pertanaman

bawang daun yang diaplikasi insektisida dan petak kontrol berdasarkan analisis ragam pengukuran berulang ... 68 3.6 Tingkat serangan, bobot bawang daun dan jumlah anakan pada


(15)

xiv 4.2 Parameter demografi Opius chromatomyiae ... 82 4.3 Proporsi berbagai fase perkembangan Opius chromatomyiae pada

persebaran umur stabil ... 84 5.1 Hasil analisis regresi logistik proporsi larva Liriomyza huidobrensis

yang terparasit oleh Opius chromatomyiae pada berbagai kerapatan inang ... 93 5.2 Nilai penduga parameter laju pencarian (a) dan masa penanganan

(Th) parasitisasi Opius chromatomyiae dengan peningkatan kelimpahan inang ... 94


(16)

xv

Halaman

1.1 Kelimpahan populasi lalat pengorok daun pada tanaman bawang daun, brokoli, seledri, ketimun, dan kacang kapri pada berbagai ketinggian tempat ... 27 1.2 Kelimpahan populasi lalat pengorok daun pada tanaman kaylan,

tomat, horenso, buncis, tang och, bayam, dan caisim di berbagai ketinggian tempat ... 28 1.3 Komposisi parasitoid menurut ketinggian tempat ... 30 1.4 Tingkat parasitisasi Opius chromatomyiae ... 31 2.1 Rataan banyaknya Liriomyza yang tertangkap perangkap kuning

pada bawang daun varietas RP dan Erwor ... 46 2.2 Rataan banyaknya Liriomyza yang muncul dari daun contoh pada

bawang daun varietas RP dan Erwor ... 47 2.3 Kelimpahan populasi Liriomyza huidobrensis dan Liriomyza

chinensis pada bawang daun varietas RP dan Erwor ... 48 2.4 Kelimpahan populasi Hemiptarsenus varicornis dan Opius

chromatomyiae pada bawang daun variatas RP dan Erwor ... 50 2.5 Rataan tingkat parasitisasi parasitoid pada bawang daun varietas RP

dan Erwor ... 51 2.6 Perkembangan tingkat kerusakan tanaman pada bawang daun

varietas RP dan Erwor ... 51 2.7 Rerata jumlah anakan bawang daun per rumpun ... 52 3.1 Rataan banyaknya imago lalat pengorok daun yang tertangkap

perangkap kuning (ekor/perangkap) pada pertanaman bawang daun yang diaplikasikan insektisida ... 65 3.2 Jumlah Liriomyza huidobrensis (A) dan Liriomyza chinensis (B)

yang muncul dari tanaman bawang daun yang di aplikasikan abamektin, azadiraktin, kartap hidroklorida, dan kontrol ... 67 3.3 Skor kerusakan tanaman bawang daun akibat serangan Liriomyza

pada petak yang mendapat perlakuan abamektin, azadiraktin, kartap hidroklorida, dan kontrol ... 67 3.4 Rataan banyaknya Opius chromatomyiae (A) dan Hemiptarsenus

varicornis (B) yang muncul dari daun contoh yang dikoleksi dari tanaman bawang daun yang diaplikasikan abamektin, azadiraktin, kartap dan kontrol ...

69 4.1 Kurva sintasan imago betina Opius chromatomyiae ... 81 4.2 Nilai reproduksi Opius chromatomyiae menurut umur ... 83


(17)

xvi chromatomyiae ... 84 5.1 Kurva tanggap fungsional (tipe II) Opius chromatomyiae pada


(18)

xvii

Halaman

1.1

Spesies lalat pengorok daun yang menyerang pertanaman sayuran pada dataran tinggi (skala pembanding adalah 1 mm) ... 38 1.2 Spesies parasitoid lalat pengorok daun dataran tinggi (skala

pembanding adalah 1 mm) ... 39 2.1 Gambar tanaman bawang daun varietas RP dan Erwor ... 58


(19)

Latar Belakang

Dalam kurun waktu 14 tahun terakhir ini, pertanaman sayuran di Indonesia diinvasi oleh tiga hama eksotik yang tergolong genus Liriomyza (Diptera: Agromyzidae). Invasi diawali oleh L. huidobrensis (Blanchard) sekitar tahun 1994 (Rauf 1995), dan dua tahun kemudian diikuti oleh L. sativae Blanchard (Rauf et al. 2000). Jenis yang ke tiga adalah L. chinensis Kato yang dilaporkan pertama kali di Indonesia tahun 2000 (Rauf & Shepard 2001). Sebelumnya telah terdapat satu spesies lalat pengorok daun yang keberadaannya sudah lama di Indonesia, yakni Chromatomyiae horticola (Goureau) yang dikenal sebagai hama penting pada tanaman kacang kapri (Kalshoven 1981).

Asal lalat pengorok daun Liriomyza spp. adalah Amerika Selatan (Spencer 1973) dan diperkirakan masuk ke Indonesia melalui perdagangan bunga potong dan produk sayuran segar (Rauf 1995). Sekarang hama ini telah menyebar hampir ke seluruh wilayah sayuran di Indonesia, menjadi hama utama pada pertanaman sayuran dataran rendah sampai dataran tinggi. Menurut Rauf dan Shepard (1999), hama ini ditemukan pada 45 spesies tanaman dari Famili Cruciferae, Liliaceae, Cucurbitaceae, Umbelliferae, Compositae, Amaranthaceae, Chenopodiaceae, Solanaceae, Euphorbiaceae, Convolvulaceae, Basellaceae, dan Labitaceae.

Kerusakan yang ditimbulkan ketiga spesies hama ini adalah sama, yaitu kerusakan jaringan mesofil daun akibat aktifitas makan larva sehingga menyebabkan kemampuan tanaman dalam melakukan fotosintesis menurun (Minkenberg & van Lenteren 1986). Bekas tusukan ovipositor imago tampak berupa bercak-bercak putih pada daun, sedangkan korokan yang dibuat larva berbentuk seperti terowongan kecil yang berliku dan larvanya berada pada ujung liang. Serangan berat dapat mengakibatkan daun mengering dan gugur sebelum waktunya, sehingga menurunkan kuantitas dan kualitas hasil. Serangan hama ini dapat menurunkan hasil antara 30% sampai 70% (Rauf & Shepard 1999).

Upaya pengendalian yang umum dilakukan oleh petani adalah penggunaan insektisida profenofos, dengan frekuensi penyemprotan 2-3 kali per minggu (Rauf 1999). Namun, tindakan tersebut sering tidak mampu menurunkan tingkat


(20)

serangan karena lalat pengorok daun yang menyebar ini diduga berasal dari populasi yang telah resisten (Parrella & Keil 1984), dan karena larva berada dalam jaringan tanaman sehingga terlindung dari pengaruh insektisida (Parrella 1987). Di pihak lain, penggunaan insektisida yang berlebihan dikhawatirkan dapat menimbulkan dampak buruk seperti resistensi dan resurgensi hama, terbunuhnya musuh alami, dan pencemaran lingkungan secara umum (CEQ 1972).

Untuk mengatasi kerugian pada produksi pertanian dan kesulitan dalam pengendalian hama pengorok daun karena tidak efektifnya insektisida yang digunakan serta untuk mencegah atau mengurangi dampak penggunaan insektisida seperti matinya musuh alami, perlu dicari alternatif pengendalian hama tersebut.

Pendekatan Masalah

Di antara alternatif yang ada, pengendalian hama pengorok daun yang dapat dipilih adalah pemanfaatan musuh alami. Musuh alami merupakan salah satu komponen dalam pengendalian hama terpadu (PHT) yang aman terhadap lingkungan sehingga keberhasilan parasitoid dalam menekan populasi hama akan mengurangi penggunaan insektisida dalam pengendalian hama.

Parasitoid adalah salah satu kelompok musuh alami yang dapat dimanfaatkan dalam pengendalian hama terpadu. Di antara rangkaian penelitian yang telah dilakukan untuk mendukung pengendalian hama terpadu lalat pengorok daun adalah survei musuh alami. Hingga kini di Indonesia dilaporkan terdapat 18 jenis parasitoid yang berasosiasi dengan larva Liriomyza spp. yaitu Asecodes deluchii (Baucek), Chrysocharis sp., Cirropillus ambiguus (Hanson & LaSalle), Closterocerus sp., Hemiptarsenus varicornis (Girault), Neochrysocharis formosa (Westwood), Neochrysocharis sp., Pnigalio sp., Quadrastichus sp., Zagrammosoma sp., Stenomesius sp., Pediobius sp. (semuanya Hymenoptera: Eulophidae), Gronotoma sp., Kleidotoma sp. dan Norlanderia sp. (Hymenoptera: Eucoilidae), Opius chromatomyiae Belokobylskij & Wharton (Hymenoptera: Braconidae) dan Sphegigaster sp. (Hymenoptera: Pteromalidae) (Supartha 1998; Rauf et al. 2000; Susilawati 2002; Purnomo 2003). Pada pertanaman sayuran dataran tinggi, jenis parasitoid yang paling dominan adalah H. varicornis dan O. chromatomyiae (Supartha 1998; Subaidi 2002). O. chromatomyiae merupakan


(21)

endoparasitoid larva-pupa (Rustam 2002), sedangkan H. varicornis merupakan ektoparasitoid larva. Informasi parasitoid H. varicornis sebagai agens hayati lalat pengorok daun di Indonesia telah banyak diteliti oleh Hidrayani (2003 ) dan Thamrin (2004).

O. chromatomyiae adalah endoparasitoid yang umum ditemui memarasit hama pengorok daun. Menurut Rauf dan Shepard (1999), tingkat parasitisasi parasitoid sangat dipengaruhi oleh tanaman inang dan ketinggian tempat. Oleh karena itu, survei lalat pengorok daun dan parasitoidnya, khususnya O. chromatomyiae, menjadi sangat berguna dalam pemanfaatan parasitoid tersebut sebagai agens pengendalian hayati. Lalat pengorok daun mudah beradaptasi dengan lingkungan sehingga penyebaran lalat pengorok cepat terjadi di lapangan. Penyebaran lalat pengorok daun akan diikuti oleh penyebaran parasitoidnya.

Dari survei pendahuluan yang dilakukan, bawang daun merupakan tanaman yang dominan terserang lalat pengorok daun dan pengorok ini menimbulkan kerugian yang besar. Informasi tentang dinamika populasi lalat pengorok daun maupun parasitoidnya pada bawang daun menjadi sangat penting untuk diketahui sehingga pengendalian lalat pengorok daun ini dapat dilakukan dengan efisien dan efektif.

O. chromatomyiae merupakan parasitoid yang diandalkan dapat mengendalikan lalat pengorok daun di daerah dataran tinggi. Namun dalam pemanfaatan di lapangan perlu kajian yang lebih dalam seperti bioekologi parasitoid dan hubungan parasitoid dengan tanaman inang, sehingga pelepasan di lapangan akan lebih tepat dan bermakna. Kajian bioekologi parasitoid seperti neraca kehidupan yang meliputi laju reproduksi, laju pertumbuhan instristik, persebaran umur stabil, dan waktu generasi serta kajian tanggap parasitoid terhadap kelimpahan inang (tanggap fungsional) menjadi sesuatu yang utama dalam pemanfaatan parasitoid ini.

Penggunaan insektisida untuk mengendalikan serangga hama merupakan sesuatu yang lazim. Dalam konsep pengendalian hama terpadu (PHT), insektisida merupakan salah satu komponen yang keberadaanya kadang kala masih sangat diperlukan di samping komponen pengendalian yang lain. Namun dalam aplikasinya harus dilakukan secara hati-hati dan selektif karena penggunaan


(22)

insektisida dapat berakibat buruk bagi keberadaan musuh alami lalat pengorok daun (Johnson et al. 1980). Oleh karena itu, diperlukan penelitian tentang insektisida yang dapat mengendalikan lalat pengorok daun, tetapi aman terhadap musuh alami.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengidentifikasi spesies lalat pengorok daun pada pertanaman sayuran dataran tinggi serta parasitoid yang berasosiasi, (2) mengetahui tingkat parasitisasi parasitoid khususnya O. chromatomyiae pada berbagai jenis tanaman inang, (3) mengkaji dinamika populasi lalat pengorok daun dan parasitoidnya pada tanaman bawang daun (4) mengevaluasi selektifitas beberapa jenis insektisida terhadap parasitoid khususnya O. chromatomyiae (5) mengevaluasi potensi keefektifan parasitoid O. chromatomyiae berdasarkan parameter demografi yang meliputi laju pertambahan intristik (r), reproduksi bersih (Ro), dan masa generasi (T), proporsi usia stabil (px), dan (6) mengevaluasi potensi keefektifan parasitoid O. chromatomyiae berdasarkan tanggapnya terhadap peningkatan kelimpahan inang, serta menetapkan laju pelacakan inang (a) dan masa penanganan inang (Th).

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan pertanaman sayuran yang terserang lalat pengorok daun dapat dikendalikan dengan parasitoid O. chromatomyiae sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan petani dan menghasilkan tanaman sayuran yang bebas residu insektisida sintetis


(23)

TINJAUAN PUSTAKA

Lalat Pengorok Daun

Menurut Parrella (1987), lalat pengorok daun mempunyai lebih dari 300 spesies yang sebagian besar tersebar di daerah beriklim sedang dan beberapa spesies ditemukan di daerah tropis. Spencer dan Steyskal (1986) menyebutkan terdapat tiga spesies lalat pengorok daun yang bersifat polifag yaitu Liriomyza huidobrensis (Blanchard), L. sativae Blanchard dan L. trifolii (Burgess).

Di Indonesia, lalat pengorok daun diperkirakan sudah ada sejak tahun 1990-an, namun pertama kali ditemukan dan diketahui sebagai hama sekitar bulan Sepetember 1994 di daerah Cisarua, Bogor (Rauf 1995). Tiga spesies yang telah dilaporkan banyak menimbulkan kerugian di berbagai daerah di Indonesia adalah L. huidobrensis, L. sativae dan L. chinensis (Rauf & Shepard 2001).

Liriomyza huidobrensis (Blanchard)

Lalat pengorok daun, L. huidobrensis berasal dari Amerika Selatan. Hama ini tersebar di Eropa, Afrika, dan Asia. Persebaran di Asia meliputi Malaysia, Indonesia, Filipina, Vietnam, Thailand, Srilangka, India, Pakistan, Laos, China, dan Banglades (Weintraub & Horowitz 1994; Rauf & Shepard 2001). Di Indonesia L. huidobrensis dilaporkan telah ditemukan di Jawa, Sumatra dan Sulawesi Selatan (Rauf 1995).

Imago L. huidobrensis berukuran 1.7-2.3 mm. Imago betina umumnya berukuran lebih besar dari imago jantan, dan muncul dari puparium yang berukuran lebih besar (Parrella 1987). Lama hidup imago betina berkisar antara 6-14 hari, sedang jantan 3-9 hari (Supartha 1998).

Betina meletakan telur rata-rata 8-14 butir per hari. Jumlah telur yang diletakkan selama hidupnya berkisar antara 42-301 butir (Supartha 1998). Telur diletakkan satu per satu pada permukaan daun (Parrella 1987). Telur bening dan berukuran 0.28 x 0.5 mm (Parrella 1987). Stadium telur berlangsung selama 2-4 hari (Supartha 1998). Larva terdiri atas tiga instar, dengan waktu perkembangan untuk setiap instar 2-4 hari (Supartha 1998). Periode puparium berkisar antara 8-11 hari (Parrella 1987).


(24)

Liriomyza sativae Blanchard

Menurut Spencer (1973), negara asal L. sativae adalah Amerika. Di Indonesia, L. sativae telah tersebar di dataran rendah Jalur Pantura mulai dari Karawang sampai Brebes. Selain itu, L. sativae juga tersebar di daerah Bogor-Jawa Barat dan Banjar-Kalimantan Selatan (Rauf & Shepard 2001; Susilawati 2002).

Imago L. sativae berukuran kecil yaitu panjang 1.5 mm dengan warna hitam kecoklatan dan terdapat bintik kuning pada tubuhnya. Imago betina lebih besar dibandingkan dengan imago jantan. Lama hidup imago berkisar antara 10-20 hari tergantung pada kondisi lingkungan dengan kemampuan menghasilkan telur 600-700 butir (Mau & Kessing 1991; Capinera 2001).

Telur L. sativae bewarna putih, berbentuk lonjong dengan panjang 0.23 mm dan lebar 0.13 mm. Telur diletakkan satu per satu di dalam jaringan mesofil, di bawah permukaan daun. Tiga hari kemudian telur akan menetas menjadi larva. Larva terdiri dari tiga instar dan masing-masing instar memerlukan waktu pertumbuhan 2-3 hari (Mau & Kessing 1991; Capinera 2001). Larva instar akhir akan keluar dari daun dan menjatuhkan diri ke tanah untuk membentuk puparium (Parrella 1987). Periode puparium berlangsung selama 5-12 hari (Mau & Kessing 1991)

Liriomyza chinensis (Kato)

L. chinensis berasal dari daerah Asia bagian Timur (Taiwan dan Jepang) dan sekarang telah tersebar di Eropa (Spencer 1973; Dempewolf 2004). L. chinensis diduga masuk ke Indonesia melalui sayuran yang diimpor dari wilayah Asia bagian Timur (Rauf 2001).

Imago L. chinensis berukuran 2.00-2.39 mm. Imago betina mempunyai ukuran yang lebih besar dari imago jantan (Nawin 2003). Imago yang baru muncul bersifat fototaksis positif dan naik ke bagian atas tanaman (Parrella 1987). Lama hidup imago berkisar antara 8-12 hari dengan kemampuan menghasilkan telur 17-95 butir (Nawin 2003).

Telur L. chinensis bewarna putih bening yang diletakkan secara tunggal, tetapi seringkali diletakkan secara bertumpuk. Larva yang baru keluar dari telur langsung memakan jaringan mesofil. Larva berbentuk selinder bewarna putih


(25)

kekuningan yang mengecil pada bagian depan. Larva terdiri atas empat instar (Parrella 1987). Larva instar akhir akan keluar dari rongga daun untuk membentuk puparium di dalam tanah. Puparium berwarna kuning hingga coklat kekuningan (Nawin 2003).

Chromatomyia horticola Goureau

C. horticola tersebar di Eropa, Afrika Utara, Mesir, Libia, Maroko, Afrika Selatan, Madagaskar, Kamerun, Kenya, Turki, India, Cina, Jepang, Iran, Filipina, Malaysia, Korea dan Nepal (Spencer 1973; Dempewolf 2004). Hama ini telah lama dilaporkan keberadaanya di Indonesia (Kalshoven 1981).

Seekor betina C. horticola dapat menghasilkan 100-500 telur, dan setiap harinya mampu meletakkan 50 butir telur (Dempewolf 2004). Telur diletakkan oleh betina dalam permukaan atas dan permukaan bawah daun (Tandon 1965 dalam Dempewolf 2004). Telur menetas menjadi larva instar awal 1-4 hari setelah peletakan. Periode larva berkisar antara 5-6 hari. Larva mengorok daun secara tidak teratur.

Larva berkembang menjadi puparium dengan periode puparium selama 9-5 hari. Pupa tetap tinggal di dalam jaringan daun. Puparium bewarna abu-abu. Imago bewarna hitam dengan panjang sayap 2.2 – 2.7 mm (Dempewolf 2004).

Kerusakan dan Kehilangan Hasil Akibat Serangan Lalat Pengorok Kerusakan pada tanaman dapat disebabkan oleh aktifitas peneluran dan makan imago serta korokan larva. Perilaku peneluran dan makan imago serta korokan larva Liriomyza dapat menyebabkan dua bentuk kerusakan. Bentuk kerusakan pertama disebabkan oleh tusukan ovipositor imago untuk keperluan peneluran dan makan, yang merusak sel-sel jaringan daun tanaman. Gejala kerusakan yang ditimbulkan adalah bintik-bintik putih pada permukaan daun atas (Spencer 1973). Bentuk kerusakan ke dua disebabkan oleh larva yang memakan jaringan dengan membuat korokan berliuk-liuk seperti gambar gerakan ular yang menyebabkan rusaknya sel-sel jaringan pagar dan bunga karang mesofil (Cardova & Karel 1990). Kedua bentuk kerusakan tersebut dapat mengurangi luas bagian daun yang berfotosintesis sehingga menurunkan hasil dan kualitas daun sebagai bahan sayuran (Cardova & Karel 1990).


(26)

Gejala serangan lalat pengorok daun dimulai pada daun bagian bawah, kemudian daun bagian tengah, dan yang lebih parah pada bagian pucuk (Cisneros & Mujica 2000). Chavez dan Raman (1987) melaporkan bahwa di Amerika Serikat dan Peru, serangan L. huidobrensis dapat mengakibatkan kehilangan hasil pada kentang sekitar 35% sedang di Lembang kehilangan hasil sekitar 34% (Soeriaatmadja & Udiarto 1996). Lebih lanjut dikemukakan oleh Rauf et al. (2000) bahwa berdasarkan hasil survei di Bandung dan Garut (Jawa Barat), Banjarnegara dan Wonosobo (Jawa Tengah), Alahan Panjang (Sumatera Barat), dan Karo (Sumatera Utara), petani setempat melaporkan kehilangan hasil akibat serangan Liriomyza pada tanaman kentang sekitar 30 – 70%.

Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Populasi Pengorok Daun Naik turunnya populasi organisme di suatu ekosistem dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan fisik, inang atau sumber pakan, ruang populasi itu sendiri, dan spesies atau organisme lain. Faktor-faktor tersebut berperan dalam menentukan laju natalitas, mortalitas dan migrasi (Dent 1995).

Faktor lingkungan fisik antara lain adalah suhu dan kelembaban, baik pada tajuk tanaman maupun di permukaan tanah. Lama perkembangan Liriomyza lebih singkat pada suhu yang tinggi. Pada suhu 20 °C, lama perkembangan berkisar antara 23.7-27.0 hari, sedang pada suhu 25 °C berkisar antara 15.0-20.9 hari (Parrella 1987). Perkembangan L. trifolii dengan tingkat mortalitas rendah membutuhkan suhu optimum sekitar 25-30 °C (Leibee 1984). Pada tanaman krisan, imago yang keluar dari puparium pada suhu 15.6, 21.2, 26.7, 32.2, dan 37.8 °C masing-masing adalah 68, 80, 92.5, 75.5, dan 0 % (Minkenberg & van Lenteren 1986). Pada suhu 15 °C kematian L. trifolii tinggi terutama pada fase telur dan larva (Parrella 1987; Minkenberg 1988).

Kelembaban relatif udara mempengaruhi perilaku makan, jumlah imago yang muncul dan daya bertahan hidup. Jumlah puparium yang berhasil menjadi imago meningkat bila udara pada permukaan pupariumnya lebih lembab. Pada tanaman kentang, populasi Liriomyza meningkat pada musim kering dan menurun bila hujan turun terus menerus (Debiyanto et al. 1996). Populasi puparium meningkat bila kelembaban udara tinggi. Pada kelembaban nisbi 15-62% terjadi puparium 22-65%, sedangkan


(27)

pada kelembaban 76-100% dapat dihasilkan puparium sebanyak 65-88% (Parrella 1987).

Perkembangan populasi Liriomyza spp. dipengaruhi oleh jenis, kuantitas, dan kualitas tanaman inang sebagai sumber makanan. Distribusi dan kerapatan trikoma, kandungan fenolat dan nutrisi tanaman mempengaruhi pemilihan tanaman inang oleh imago Liriomyza spp. (Fagoonee & Toory 1983). Kandungan N (nitrogen) daun tanaman inang berkorelasi positif dengan kelimpahan populasi Liriomyza di lapangan (Minkenberg & van Lenteren 1986; Parrella 1987). Pada kandungan nitrogen daun yang lebih tinggi, aktifitas makan dan keperidian Liromyza meningkat (Minkenberg & van Lenteren 1986). Ketersediaan berbagai jenis tanaman inang di lapangan selain membantu pertumbuhan dan perkembangan serangga, juga membantu pemencarannya. Selain itu, sifat polifag yang dimiliki Liriomyza spp. memungkinkan memencar lebih cepat (Supartha 1998).

Faktor spesies atau organisme lain meliputi pesaing dan musuh alami. Musuh alami Liriomyza yang banyak ditemukan adalah predator dan parasitoid (Minkenberg & van Lenteren 1986).

Liriomyza dapat dimangsa oleh berbagi jenis serangga predator (Coleoptera, Hemiptera, Diptera, Dermaptera, Hymenoptera) dan laba-laba (Cisneros & Mujica 2000; Harwanto et al. 2002). Hampir semua predator bersifat generalis, kecuali Dolichopodidae dan Empididae (Diptera) yang bersifat spesialis. Kemampuan predator dalam mempengaruhi perkembangan populasi Liriomyza sulit untuk dievaluasi (Cisneros & Mujica 2000).

Ragam spesies parasitoid Liriomyza spp. tidak selalu sama pada masing-masing jenis tanaman inang dan daerah geografis yang berbeda (Minkenberg & van Lenteren 1986). Terdapat 40 spesies parasitoid yang memarasit Liriomyza spp. pada fase larva dan puparium (Oatman 1959 dalam Supartha 1998), diantaranya ada empat famili yang berasosiasi dengan L. trifolii dan L. sativae pada tanaman tomat, yaitu Braconidae, Cynipidae, Eulophidae, dan Pteromalidae (Schuster & Wharton 1993).

Di Indonesia telah diketahui 18 spesies parasitoid pengorok daun L. hudibrensis dan L. sativae yang tergolong famili Eulophidae, Eucoilidae dan


(28)

Braconidae (Rauf et al. 2000; Susilawati 2002). Hemiptarsenus varicornis (Eulophidae) dan Opius chromatomyiae (Braconidae) merupakan spesies yang dominan ditemukan pada pertanaman sayuran dataran tinggi (Purnomo 2003).

Pengendalian Lalat Pengorok Daun

Teknik pengendalian yang umum dilakukan terhadap lalat pengorok daun di negeri asalnya adalah cara budidaya, kimiawi, dan pengendalian hayati. Cara budidaya yang biasa diterapkan adalah sanitasi, penyiangan gulma, pemangkasan bagian daun yang terserang dan pemasangan penutup tanah dari plastik hitam. Penggunaan perangkap kuning berperekat di rumah-rumah kaca juga hasilnya dinilai kurang memuaskan sehingga kurang layak dimasyarakatkan (Minkenberg & van Lenteren 1986). Walaupun demikian, cara pengendalian yang disebut terakhir di Peru dinilai efektif mengendalikan L. huidobrensis (Chaves & Raman 1987; Raman 1988; Raman & Radcliffe 1992).

Insektisida yang mengandung zat pengatur tumbuh (ZPT) serangga lebih efektif dibandingkan dengan insektisida lain yang berspektrum luas yang telah digunakan dalam usaha pengendalian Liriomyza spp. Dua jenis ZPT tersebut adalah Tripene ZR-619 dan Kinoprene ZP-777. Kedua ZPT tersebut dilaporkan sangat berbahaya bagi parasitoid penting seperti Opius dimiatus Ash. (Minkenberg & van Lenteren 1986).

Penggunaan insektisida kimiawi seperti organoklorin, organfosfat dan karbamat yang berspektrum luas sudah lama direkomendasikan sebagai cara pengendalian hama, walaupun cara tersebut dinilai terlalu berbahaya. Cardova dan Karel (1990) melaporkan bahwa penggunaan insektisida telah banyak memacu ledakan hama tersebut. Menurut Schreiner et al. (1986), Liriomyza menjadi resisten terhadap sejumlah insektisida piretroid yang digunakan seperti permetrin, fenvalerat, dan sipermetrin. Masalah resistensi tersebut telah dilaporkan sekitar 20 tahun yang lalu oleh Chaves dan Raman (1987). Oleh karena itu, kalangan peneliti mencari alternatif insektisida lain yang lebih selektif dan efektif (Spencer 1973). Untuk kasus resistensi tersebut Keil dan Parrella (1983 dalam Minkenberg & van Lenteren 1986) menyarankan agar melakukan pergiliran penggunaan jenis insektisida. Selain itu, penggunaan insektisida harus didasari atas hasil pengamatan agroekosistem untuk mengetahui ambang


(29)

ekonominya berdasarkan keadaan populasi lalat dan musuh alaminya di lapangan (Trumble 1985).

Pengendalian hayati Liriomyza spp. dengan menggunakan parasitoid telah banyak dilakukan. Semenjak tahun1980, pengendalian hayati itu telah dilakukan di Belanda pada areal seluas lebih kurang 30 ha per tahun. Dalam tahun 1985 dengan pelepasan sebanyak 10 000-20 000 per ha dengan perbandingan kira-kira satu parasitoid per empat tanaman, telah menunjukkan keberhasilan pengendalian Liriomyza spp. selama musim tanam. Dacnusa sibirica Telenga (Hymenoptera: Braconidae) diketahui efektif mengendalian L. trifolii di Belanda, sedangkan di Inggris dan Swedia, pengendalian dengan D. sibirica tidak berhasil (Minkenberg 1990). Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya adalah kemungkinan terjadinya imigrasi lalat pengorok, waktu pelepasan parasitoid yang tidak tepat, jumlah parasitoid yang dilepas tidak mencukupi dan mungkin kualitas parasitoid tidak bagus (Minkenberg 1990).

Faktor yang Mempengaruhi Keberadaan Musuh Alami

Agroekosistem tanaman semusim merupakan ekosistem ephemeral, yang berarti usianya singkat dan sering mengalami gangguan. Jenis gangguan yang sering terjadi pada agroekosistem adalah praktek budidaya misalnya pengolahan tanah, penyiangan, pemakaian insektisida dan pemanenan. Praktek budidaya tersebut secara ekologi sering tidak mendukung kehidupan musuh alami. Aplikasi insektisida menyebabkan musuh alami terbunuh, dan praktek budidaya bersih menyebabkan tanaman inang dan sumber daya tambahan berkurang ketersediannya (DeBach 1973). Keadaan tersebut pada akhirnya berdampak terhadap agroekosistem (Altieri & Whitcomb 1979).

Menurunnya keseimbangan dan keanekaragaman dalam agroekosistem, terutama keanekaragaman musuh alami dapat mendorong terjadinya ledakan hama. Upaya pengelolaan agroekoisistem yang dapat meningkatkan keanekaragaman musuh alami dan sekaligus menurunkan kerapatan populasi hama di antaranya adalah diversifikasi habitat seperti mempertahankan vegetasi liar di lahan pinggir, tumpang sari, rotasi, tanaman penutup tanah, bahan organik, tanam tidak serempak dan pengolahan tanah minimum (Altieri & Whitcomb 1979; Herlinda 2000).


(30)

Pemanfaatan parasitoid sebagai agens pengendalian hayati hama dapat diterapkan melalui metode konservasi dan augmentasi inundatif. Metode konservasi diarahkan untuk mempertahankan pelepasan musuh alami agar tetap lestari, sedangkan augmentasi inundatif merupakan pelepasan musuh alami dalam jumlah yang relatif besar dengan harapan segera dapat mengendalikan populasi hama dalam waktu yang singkat (Sosromarsono 1999). Sebelum metode tersebut dilaksanakan, terlebih dahulu harus diketahui karakter biologi, perilaku, serta kondisi ekologis yang diperlukan agar musuh alami dapat bekerja dengan baik di lapangan.

Pemilihan Inang oleh Parasitoid

Sebagian besar parasitoid Hymenoptera dapat memarasit beberapa jenis inang dan hanya sedikit spesies yang spesifik memarasit satu spesies inang. Parasitoid yang spesifik tersebut, pada kondisi laboratorium bahkan juga sering dapat dipelihara pada inang lain yang secara alamiah bukan merupakan inang karena adanya hambatan waktu dan ruang yang memisahkannya. Kenyataan bahwa parasitoid dapat dibiakkan di laboratorium dengan serangga bukan inang alamiah menjadi penting dalam pembiakkan masal parasitoid (Doutt 1959).

Menurut Doutt (1959), terdapat empat tahapan yang harus dilewati agar parasitoid berhasil memarasit inangnya, yaitu 1) penemuan habitat inang, 2) penemuan inang, 3) penerimaan inang, dan 4) kesesuaian inang. Selanjutnya Vinson (1981) menambahkan pengaturan inang sebagai tahap yang kelima karena keberhasilan parasitisme juga ditentukan oleh kemampuan parasitoid dalam mengatur fisiologi inangnya.

Dalam penemuan habitat inang, parasitoid terutama dipandu oleh rangsangan kimia yang berasal dari senyawa-senyawa volatil tanaman. Rangsangan tersebut dapat berupa bau yang berasal dari makanan atau tanaman yang terluka atau yang rusak, organisme yang berasosiasi dengan inang atau inang itu sendiri. Tanaman merupakan isyarat utama karena tanaman mempunyai peran yang dominan dalam mendukung suatu habitat yang khas. Akibatnya, suatu parasitoid terkadang tertarik pada tanaman tertentu meskipun di situ tidak terdapat inang. Parasitoid juga memarasit inang yang terdapat pada jenis tanaman tertentu dan tidak pada jenis tanaman yang lain (Vinson 1981).


(31)

Penemuan inang oleh parasitoid dipandu oleh rangsangan fisik dan kimia yang dikeluarkan oleh inang. Rangsangan fisik yang berperan terutama suara dan gerakan. Rangsangan kimia dapat dibagi menjadi dua kelompok. Pertama, rangsangan kimia yang dapat diterima dari jarak jauh misalnya bau inang. Rangsangan yang diterima memungkinkan parasitoid untuk melokalisasi areal pencarian inang. Kedua, rangsangan kimia yang dapat dideteksi hanya dari jarak dekat, yaitu setelah terjadi kontak fisik. Rangsangan ini biasanya berasal dari senyawa-senyawa padat atau cair misalnya kotoran inang, sekresi dari kelenjar labium inang, produk inang lain dan bekas parasitoid lain. Adanya rangsangan ini memungkinkan terjadinya kontak antara parasitoid dengan inangnya yang dicirikan oleh perilaku pengujian oleh parasitoid berupa pergerakan memutar dengan cepat dan perubahan kecepatan pergerakan. Faktor lain yang ikut menentukan penemuan inang adalah pengalaman dan perilaku orientasi parasitoid (Weseloh 1981).

Penerimaan inang atau pengenalan inang adalah proses diterima atau ditolaknya inang untuk peletakkan telur setelah terjadi kontak (Arthur 1981). Proses tersebut dibagi dalam empat fase yaitu: 1) kontak dan pemeriksaan, 2) penusukan dengan ovipositor, 3) pemasukan ovipositor dan 4) peletakan telur. Keempat fase tersebut harus lengkap dan berurutan sehingga bila terjadi hambatan pada salah satu fase, proses dimulai lagi dari awal.

Seperti halnya tahap sebelumnya, penerimaan inang juga dipandu terutama oleh rangsangan fisik dan kimia. Selain itu, pengalaman parasitoid sebelumnya, termasuk tempat perkembangan parasitoid, juga akan berpengaruh pada proses penerimaan inang. Rangsangan fisik yang berperan adalah kondisi fisik inangnya seperti ukuran, bentuk, tekstur atau bentuk permukaan, warna dan kandungan air. Rangsangan lainnya adalah pergerakan inang misalnya kegiatan makan inang dan perkembangan embrio dalam telur. Rangsangan kimia dapat berasal dari senyawa-senyawa yang terdapat di luar dan di dalam tubuh inang yang dapat dideteksi dengan antena, tarsi atau ovipositor. Senyawa-senyawa tersebut dapat disekresikan melalui kutikula, disekresikan bersama-sama kotoran atau terdapat pada jaringan-jaringan tertentu dalam tubuh inang (Arthur 1981).


(32)

Kesesuaian inang yang menentukan keberhasilan perkembangan parasitoid sampai menjadi imago tergantung pada beberapa faktor, yaitu: 1) kemampuan parasitoid dalam menghindari atau melawan sistim pertahanan inang, 2) kompetisi dengan parasitoid lain, 3) adanya toksin yang mengganggu atau merusak telur atau larva parasitoid, dan 4) kesesuaian makanan parasitoid. Faktor lain yang berpengaruh adalah infeksi patogen, kerentanan inang, faktor lingkungan dan pengaruh hormon-hormon pengendali serangga (Vinson & Iwantsch 1980).

Biologi Opius sp.

Parasitoid Opius sp. merupakan endoparasit larva-pupa. Studi biologi dan morfologi O. dissitus telah diteliti pada inang L. trifolii oleh Bordat et al. (1995), O. melleus Gahan pada larva lalat buah Famili Tephritidae (Lathrop & Newton 1933) dan Opius sp. pada inang L. huidobrensis (Rustam 2002).

Telur O. dissitus berbentuk lonjong dengan warna putih dan tembus pandang. Ukuran telur rata-rata 0.22 mm dan stadium telur 1-3 hari (Bordat et al. 1995), sedangkan stadium telur O. melleus lebih lama yakni 3-6 hari (Lathrop & Newton 1933). Pada inang L. huidobrensis, stadium telur Opius sp. adalah 2 hari dengan ukuran telur lebih besar dibandingkan dengan O. dissitus yakni 0.26 mm (Rustam 2002). Setelah telur diletakkan, telur mengalami pertumbuhan dan perkembangan di dalam tubuh inang.

Larva O. dissitus terdiri atas dua instar, dengan ukuran masing-masing 0.47 mm dan 0.99 mm, sedangkan O. melleus, Diachasma tryoni (Hymenoptera: Braconidae), larva terdiri atas empat instar (Pemberton & Willard 1918; Lathrop & Newton 1933; Bordat et al. 1995). Larva O. chromatomyiae terdiri atas dua instar dengan ukuran yang lebih besar dibandingkan dengan larva O. dissitus dan O. melleus (Rustam 2002). Larva instar satu mempunyai bagian kapsul kepala yang kokoh dengan dua pengait yang runcing, tubuhnya ramping dan pada ujungnya terlihat kasar. Larva instar dua berbentuk bulat, dimana pengaitnya telah hilang dan berada dalam puparium inang yang panjang dengan warna putih krem (Bordat et al. 1995; Rustam 2002) dan bersifat tidak aktif (Lathrop & Newton 1933).

Pembentukan pupa ditandai dengan terbentuknya tonjolan bakal tungkai dan antena yang dapat dibedakan dengan mudah dari bentuk larva. Bagian tubuh,


(33)

kepala, toraks dan abdomen dapat terlihat jelas. Pada awalnya pupa berwarna kuning pucat dan lama kelamaan berwarna gelap. Tubuh pupa yang berumur lanjut berwarna hitam dengan ukuran 1.62 mm (Bordat et al. 1995; Rustam 2002), pembentukan pupa terjadi di dalam puparium inang (Pemberton & Willard 1918) dan masa perkembangan pupa berlangsung selama 5.93 hari (Rustam, 2002). Imago O. chromatomyiae berwarna coklat kehitaman dengan ukuran yang hampir sama antara jantan dan betina, yaitu rata-rata 1.72 mm dan 1.80 mm. Jantan dan betina sulit dibedakan dengan mata biasa, namun dengan bantuan kaca pembesar terlihat betina mempunyai ovipositor sebagai alat untuk peletakan telur (Rustam 2002). Antena imago O. dissitus panjang, hitam, dan panjangnya hampir sama dengan tubuhnya (Bordat et al. 1995). Pada O. chromatomyiae jantan dan betina sudah bisa dibedakan berdasarkan jumlah ruas antenanya dimana antena jantan terdiri atas 23 ruas sedangkan betina terdiri atas 25 ruas (Rustam 2002). Pada O. melleus ovipositor relatif panjang dan merupakan ciri khasnya (Lathrop & Newton 1933).

Imago parasitoid keluar dengan cara merobek puparium inang. Opius betina yang baru muncul dapat melakukan parasitisasi dengan menusukkan ovipositornya ke dalam rongga tubuh larva inang tanpa mematikan atau melumpuhkannya. Larva inang terparasit tetap hidup dan mengorok daun hingga menjadi pupa. Parasitoid tetap berkembang di dalam tubuh inang sampai keluar menjadi imago (Bordat et al. 1995; Rustam 2002). Clausen (1940) melaporkan bahwa imago betina O. fulvicornis dapat langsung meletakkan telur setelah keluar dari puparium inang.

Menurut Rustam (2002), umumnya imago jantan muncul lebih awal dibandingkan imago betina. Sebanyak 85.71% dari imago yang muncul pada hari pertama adalah jantan. Lebih lanjut Rustam (2002) menjelaskan bahwa seekor imago betina mempunyai keperidian berkisar antara 49-187 butir telur dengan nisbah kelamin keturunan yang bias betina yakni sebesar 73.47 %.

Parameter Pertumbuhan Populasi

Neraca kehidupan (life table) merupakan teknik menghitung angka kelahiran dan angka kematian suatu populasi. Dari data yang dihasilkan dapat dihitung berapa lama harapan hidup yang masih tersisa pada suatu populasi. Price


(34)

(1997), menyatakan bahwa dari angka kelahiran dan angka kematian dapat disusun suatu neraca hidup yang menjelaskan perubahan–perubahan kuantitatif dari suatu populasi selama satu generasi.

Ada dua tipe neraca kehidupan yaitu yang bersifat spesifik umur (age spesific) atau tabel kehidupan horizontal, serta yang bersifat spesifik waktu (time spesific) atau tabel kehidupan vertikal. Neraca kehidupan yang berspesifik waktu menganalisis data yang diambil pada suatu kejadian tunggal, ketika diasumsikan bahwa semua generasinya sudah saling lingkup dengan sempurna, oleh karena itu kelas umur secara simultan sama. Neraca kehidupan yang bersifat spesifik umur mencakup perhitungan yang berulang terhadap suatu kelompok (cohort) tunggal yang terdiri dari individu yang sama umurnya sepanjang waktu. Tabel ini sering digunakan dalam entomologi (Bellow & van Driesche 1992).

Menurut Poole (1974), perumusan neraca kehidupan merupakan langkah pertama dalam menghitung laju pertumbuhan intrinsik (r). Dua data utama yang dibutuhkan dalam perhitungan tersebut adalah lx, peluang bertahan pada umur x; dan mx, rataan jumlah keturunan betina yang dihasilkan dalam satu unit waktu oleh seekor betina berumur x (Birch 1948). Disamping nilai r, dari data tersebut dapat juga dihitung laju reproduksi kotor (GRR), laju reproduksi bersih (Ro), dan waktu generasi (T) (Birch 1948; Price 1997).

Neraca kehidupan merupakan riwayat perkembangan cohort yang bersifat dinamis, mulai dari umur 0 sampai umur dimana semua individu dalam populasi mati. Dari neraca kehidupan dapat diketahui laju reproduksi bersih (Ro), lama waktu generasi (T) dan laju pertambahan instrinsik (r) (Tarumingkeng 1992).

Keefektifan musuh alami dalam mengendalikan hama sasaran biasanya diukur berdasarkan beberapa ciri biologinya, di antaranya adalah (a) kemampuan mencari inang yang tinggi, terutama pada saat kelimpahan inang rendah, (b) kekhususan terhadap inang tertentu, (c) potensi reproduksi yang tinggi, (d) kisaran toleransi terhadap lingkungan yang lebar serta kemampuan memarasit berbagai instar inang (DeBach 1973).

Salah satu parameter yang paling handal untuk mengukur potensi musuh alami adalah laju pertambahan intrinsik (r), karena telah mempertimbangkan parameter kehidupan serangga seperti masa hidup, keperidian, sintasan dan nisbah


(35)

kelamin (Carey 1993). Nilai r merupakan salah satu kriteria yang penting untuk mengevaluasi keefektifan atau potensi dari agens pengendalian hayati (Lee & Ahn 2000), serta dapat digunakan untuk menduga potensi pertumbuhan populasi musuh alami (Lysyk 2000).

Respon Pemangsaan

Preferensi makanan, selera parasitoid terhadap inangnya, kerapatan inang, kualitas makanan dan adanya makanan alternatif merupakan faktor lingkungan yang berperan dalam menentukan laju pemangsaan oleh suatu predator terhadap mangsanya atau parasitoid terhadap inangnya. Solomon (1949 dalam Tarumingkeng 1992) mengemukakan teori mengenai respon pemangsaan terhadap kerapatan inang dalam dua tipe, yaitu tanggap fungsional dan tanggap numerikal.

Tanggap fungsional merupakan salah satu ukuran untuk menentukan keefektifan suatu predator atau parasitoid sebagai agens dalam pengendalian hayati (Doutt 1973). Menurut Solomon (1949 dalam Hassel 2000) tanggap fungsional merupakan perubahan jumlah mangsa yang diserang oleh individu predator/parasitoid akibat perubahan kepadatan populasi mangsa per satuan waktu.

Holling (1959 dalam Price 1997) mengkategorikan tanggap fungsional menjadi tiga tipe: 1) Tipe respon fungsional linear (Tipe I), laju pemangsaan oleh predator meningkat atau menurun sebanding dengan kerapatan mangsa dan mencapai tahap kejenuhan. Tipe I ini biasanya ditemukan pada predator yang bersifat pasif seperti laba-laba, 2) Tipe respon fungsional hiperbolik (Tipe II), laju pemangsaan secara progresif semakin menurun. Respon ini sangat umum di antara serangga-serangga predator dan parasitoid dan 3) Tipe respon fungsional sigmoid (Tipe III), perubahan pemangsaan berlangsung lambat, diikuti dengan peningkatan kemudian mendatar (asimptotik).

Menurut Murdoch dan Oaten (1975 dalam Wang dan Ferro 1998), pada dasarnya tanggap fungsional merupakan komponen yang sangat essensial dari dinamika interaksi antara parasitoid dengan inang dan juga sangat penting untuk determinasi stabilitas dari sistem yang dikelola. Kajian mengenai tanggap fungsional dalam kaitannya dengan keefektifan musuh alami di lapangan telah


(36)

banyak dilakukan seperti yang diteliti oleh Wang dan Ferro (1998); Buchori (2003); Hidrayani (2003).

Respon pemangsaan yang kedua adalah tanggap numerik, yaitu pemangsaan menyebabkan perubahan kerapatan predator atau parasitoid pada suatu luasan pemangsaan tertentu. Ada dua mekanisme yang mendorong terjadinya tanggap numerik yaitu 1) peningkatan laju reproduksi predator atau parasitoid bila mangsa berlimpah dan 2) keterpikatan predator pada tempat begerombolnya mangsa, dikenal juga dengan tanggap agregasi.

Hubungan antara Inang, Parasitoid, dan Tanaman

Perilaku parasitoid terhadap inangnya tidak hanya dipengaruhi oleh senyawa-senyawa kimia yang dihasilkan oleh serangga inang, tetapi juga oleh makanan inang itu sendiri (Vinson 1984). Menurut Takabayashi et al. (1998), parasitoid merupakan musuh alami yang agak khusus yang menyerang sejumlah spesies herbivora tertentu. Kekhususan itu tidak hanya tergantung pada herbivoranya, tetapi juga tanaman inangnya. Parasitoid mungkin hanya dapat menemukan inang yang makan pada satu atau beberapa spesies tanaman saja, sedangkan diketahui bahwa serangga tersebut mempunyai kisaran inang yang luas.

Tingkat parasitisasi dan distribusi beberapa parasitoid pengorok daun tidak merata pada berbagai tanaman inang, dan berbeda-beda menurut jenis tanaman dan lokasi ditemukan. Selain itu parasitoid Liriomyza spp. dapat dikelompokkan sesuai dengan spesies serangga inang, tanaman inang, dan daerah geografis tempat tanaman inang tumbuh (Johnson & Hara 1987; Rauf et al. 2000).

Di Indonesia, parasitoid yang dominan memarasit L. huidobrensis adalah H. varicornis dan O. chromatomyaie (Hidrayani 2003; Purnomo 2003), sedangkan spesies parasitoid yang dominan memarasit L. sativae adalah Acecodes deluchii (Rauf et al. 2000; Susilawati 2002; Tapahillah 2002). Di California, spesies parasitoid yang dominan menyerang L. sativae adalah Chrysocharis parksi ( Zehnder & Trumble 1984).

Menurut Purnomo (2003), H. varicornis merupakan spesies parasitoid yang dominan ditemukan pada tanaman kentang, sedangkan Tran dan Takagi (2006) menemukan N. okazakii adalah spesies parasitoid yang dominan


(37)

ditemukan pada tanaman bawang daun. Distribusi parasitoid Liriomyza spp. pada berbagai tanaman inang tidak merata. Pengendalian biologi yang efektif memerlukan adanya kesesuaian antara spesies parasitoid dengan serangga inang dan tanaman inangnya.

Aplikasi Insektisda dalam Pengendalian Liriomyza

Penggunaan insektisida sintetik sangat beresiko karena dapat menimbulkan dampak negatif, khususnya terhadap parasitoid sebagai serangga musuh alami lalat pengorok daun. Menurut Purnomo (2003), jika insektisida terpaksa digunakan, hendaknya insektisida tersebut bersifat selektif dan tidak berdampak negatif bagi aktifitas musuh alami.

Penggunaan insektisida kimiawi seperti organoklorin, organofosfat, dan karbamat yang berspektrum luas sudah sejak lama direkomendasikan sebagai cara pengendalian hama, walaupun cara ini dinilai terlalu berbahaya. Penggunaan insektisida telah banyak memacu ledakan hama sekunder, karena Liriomyza menjadi resisten terhadap sejumlah insektisida yang digunakan. Oleh sebab itu penggunaan insektisida harus atas hasil pengamatan agroekosistem untuk mengetahui ambang ekonominya berdasarkan keadaan populasi lalat dan musuh alaminya (Cardova & Karel 1990).

Penggunaan bioinsektisida merupakan salah satu alternatif yang tepat untuk mengurangi dampak negatif yang ditimbulkan oleh insektisida sintetik. Menurut Copping dan Menn (2000), istilah bioinsektisda mencakup berbagai bahan pengendalian hama seperti: mikroorganisme (virus, bakteri, cendawan), nematoda entomopatogen, insektisida botani, metabolit sekunder yang dihasilkan mikroorganisme, dan feromon serangga. Penelitian mengenai pemanfaatan bahan-bahan alami untuk perlindungan tanaman semakin gencar dilakukan selama tiga dekade terakhir. Hingga saat ini terdapat tiga sumber insektisida alami yang penting dan memiliki prospek yang baik untuk dikembangkan lebih lanjut, yaitu tumbuhan, mikroorganisme tanah, dan organisme laut (Prijono 1999).

Insektisida berupa ekstrak daun dan biji nimba (Azadirachta indica A. Juss) (Meliaceae), dengan bahan aktif azadiraktin dilaporkan sebagai insektisida selektif, memiliki aktifitas biologi insektisida, mengurangi keperidian imago betina, mengurangi lama hidup jantan L. trifolii, menghambat pertumbuhan dan


(38)

perkembangan larva, mengurangi terbentuknya puparium, menyebabkan pergantian kulit abnormal pada Musca autumnalis (Diptera: Muscidae) (Schmutterer 1995).

Abamektin merupakan salah satu bioinsektisida yang berasal dari mikroorgnisme yang merupakan hasil fermentasi dari bakteri Streptomyces avermitilis. Abamektin telah memperlihatkan hasil yang sangat efektif dalam pengendalian serangga hama (Pienkowski & Mehring 1983 dalam Leibee 1988). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Leibee (1988) memperlihatkan bahwa penggunaan abamektin untuk mengendalikan L. trifolii dapat membunuh larva pengorok sampai 99.5%. Sivapragasan dan Syed (1999) menginformasikan bahwa abamektin merupakan salah satu bioinsektisida yang populer digunakan di Malaysia dalam mengendalikan Liriomyza spp. Siromazin merupakan kelompok zat pengatur tumbuh serangga yang efektif digunakan untuk mengendalikan Liriomyza spp. yang telah terdaftar dan diizinkan oleh Menteri Pertanian dengan nama formulasi Trigad 75 WP (Komisi Pestisida 1998).


(39)

1. LALAT PENGOROK DAUN DAN PARASITOIDNYA PADA

PERTANAMAN SAYURAN DATARAN TINGGI DI

KABUPATEN CIANJUR-BOGOR, JAWA BARAT

Abstrak

Lalat pengorok daun Liriomyza spp. adalah hama yang banyak menimbulkan kerusakan pada berbagai pertanaman sayuran dataran tinggi di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi spesies Liriomyza yang menyerang pertanaman sayuran dataran tinggi, parasitoid yang berasosiasi dengan pengorok dan tingkat parasitisasi Opius chromatomyiae pada pertanaman sayuran dataran tinggi. Survei dilakukan dengan mengambil 20-40 helai daun tanaman sayuran yang mempelihatkan gejala korokan lalat pengorok daun. Imago lalat pengorok daun dan parasitoid yang muncul dari daun contoh diidentifikasi. Parasitisasi dihitung dengan membandingkan jumlah parasitoid dan imago lalat pengorok daun. Terdapat empat spesies lalat pengorok daun yang menginfestasi pertanaman sayuran dataran tinggi, yakni Liriomyza huidobrensis, L. chinensis, L. sativae, dan Chromatomyia horticola. Diketahui delapan spesies parasitoid yang berasosiasi dengan lalat pengorok daun, enam spesies dari famili Eulophidae, yaitu Hemiptarsenus varicornis, Asecodes deluchii, Neochrysocharis okazakii, N. formosa, Neochrysocharis sp., Quadrastichus liriomyzae dan masing-masing satu spesies dari famili Braconidae dan Eucoilidae yaitu Opius chromatomyiae dan Gronotoma micromorpha. Parasitoid O. chromatomyiae merupakan parasitoid yang dominan pada skala ketinggian 1001-1300 m dan 1301-1600 m dari permukaan laut dengan tingkat parasitisasi berkisar antara1.84 – 62.26%. Dari 16 spesies tanaman yang diinfestasi oleh lalat pengorok daun, O. chromatomyiae dapat memarasit lalat pengorok daun pada 13 tanaman.

Kata kunci: lalat pengorok daun, Liriomyza spp., parasitoid, sayuran

Abstract

Leafminer, Liriomyza spp. is the most important pest of highland vegetables in Indonesia. The objectives of the research were to (1) identify Liriomyza species attacking higland vegetables and its parasitoids and, (2) investigate paratism rate of Opius chromatomyiae. Surveys on leafminer and its parasitoids were conducted by collecting 20-40 damage leaves. Adults of leafminer and its parasitoids were then identified. Parasitism was counted by dividing the number of parasitoid by total individuals emerging. As a result, there were four leafminers species were found associating with various kinds of vegetables. They were Liriomyza huidobrensis, L. chinensis, L. sativae, and Chromatomyia horticola. Moreover, this study also revealed that there were eight species of parasitoid associated with the leafminers. Parasitoids Hemiptarsenus varicornis, Asecodes deluchii, Neochrysocharis okazakii, N. formosa, Neocrhysocharis sp., and Quadrastichus liriomyzae belong to family of Eulophidae, Opius chromatomyiae belongs to familiy of Braconidae, and Gronotoma micromorpha is under family of Eucoilidae. Along altitudinal gradient, O. chromatomyiae was found in 1001-1300 m ASL and 1301-1600 m


(40)

asl in which the parasitism reached to approximatelly 1.84–62.26%. Among 16 crop spesies, O. chromatomyiae could be found on 13 host plants.

Keywords: Leafminers, Liriomyza spp., parasitoid, vegetables

Pendahuluan

Hama lalat pengorok daun, Liriomyza spp. merupakan hama utama pada pertanaman sayuran. Sejak ditemukan pertama kali tahun 1994 di daerah Cisarua, Bogor (Rauf 1995), hingga saat ini, serangan hama lalat pengorok daun masih menjadi kendala utama bagi petani, khususnya petani sayuran. Hama ini bersifat polifag, serangannya pada tanaman kentang dapat menurunkan hasil hingga 70% (Rauf & Shepard 1999).

Lalat Liriomyza diketahui berasal dari Amerika Selatan (Rauf 1995). Genus Liriomyza terdiri dari 300 spesies dan diketahui ada tiga spesies yang bersifat polifag yang menimbulkan kerugian di berbagai negara (Spencer & Steyskal 1986). Ketiga spesies tersebut adalah L. trifolii (Burgess), L. sativae Blanchard dan L. huidobrensis (Blanchard). Menurut Rauf (1999), L. huidobrensis merupakan spesies yang pertama kali masuk ke Indonesia.

Aktifitas peneluran dan makan imago serta aktifitas makan larva pengorok daun dapat menyebabkan rusaknya sel-sel jaringan daun tanaman dengan gejala berupa bintik-bintik putih serta liang korokan larva yang berkelok-kelok dan bewarna keperakan. Akibatnya luas bagian daun yang berfotosintesis berkurang sehingga menurunkan kualitas dan kuantitas hasil (Parrella 1987; Cardova & Karel 1990), menurunkan nilai estetika, tanaman lebih mudah tertular penyakit, dan daun lebih cepat gugur (Supartha 1998).

Umumnya petani sampai sekarang ini masih mengandalkan aplikasi insektisida untuk mengendalikan lalat pengorok daun. Namun aplikasi insektisida hingga dua kali per minggu dilaporkan belum bisa menekan populasi hama pengorok daun (Rauf 1999). Pengendalian hayati dengan memanfaatkan musuh alami, merupakan salah satu strategi PHT yang menawarkan solusi pengendalian hama yang lebih ramah lingkungan. Beberapa parasitoid dilaporkan berasosiasi dengan Liriomyza, diantaranya adalah Hemiptarsenus varicornis, Opius chromatomyiae, Asecodes deluchii, Neochrysocharis formosa, Gronotoma micromorpha (Rauf et al. 2000; Susilawati 2002; Purnomo 2003) Tabuhan O.


(41)

chromatomyiae merupakan endoparasitoid yang dilaporkan dominan menyerang lalat pengorok daun (Rustam 2002). Hasil survei yang dilakukan ini, belum mengungkapkan tingkat parasitisasi O. chromatomyiae dan penyebaran inangnya pada berbagai ketinggian tempat.

Pemanfaatan parasitoid ini belum banyak dilakukan karena kajian tentang O. chromatomyaie ini masih sangat terbatas. Hubungan antara parasitoid dengan inangnya, serta faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi interaksinya di lapangan, misalnya ketinggian lokasi dan tanaman inang merupakan aspek-aspek yang perlu diketahui untuk merumuskan strategi pengendalian hayati yang tepat.

Penelitian bertujuan untuk mengidentifikasi spesies lalat Liriomyza spp. pada pertanaman sayuran dataran tinggi serta parasitoid yang berasosiasi dengan lalat pengorok daun. Selain itu, penelitian juga bertujuan untuk mengetahui tingkat parasitisasi O. chromatomyiae pada berbagai ketinggian dan jenis tanaman inang.

Bahan dan Metode

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di pertanaman sayuran pada berbagai ketinggian tempat di Kabupaten Cianjur dan Bogor (Tabel 1.1). Pemeliharaan dan identifikasi lalat pengorok daun dan parasitoidnya dilaksanakan di Laboratorium Lapangan Agropolitan, Cianjur dan Laboratorium Ekologi Serangga, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian berlangsung dari bulan Juni sampai Desember 2006.

Pengambilan Daun Contoh

Daun-daun contoh diambil dari berbagai jenis tanaman sayuran yang terserang lalat pengorok daun. Untuk setiap lokasi pengambilan masing-masing diambil 20-40 helai daun. Daun contoh dimasukkan ke dalam kantung plastik transparan dan diberi label yang memuat informasi lokasi, tanggal pengambilan koleksi, umur tanaman, dan ketinggian tempat di atas permukaan laut (dpl). Kantung plastik yang berisi daun contoh disimpan di dalam kotak pendingin untuk selanjutnya dibawa ke laboratorium. Ketinggian tempat diukur dengan alat


(42)

Geografis Position System (GPS) dan ketinggian dikelompokkan atas tiga skala yaitu 700-1000 m, 1001-1300, dan 1301-1600 m dpl.

Tabel 1.1 Lokasi pengambilan sampel daun

Kabupaten Kecamatan Desa Ketinggian

( m dpl) Cianjur Bogor Cipanas Cugenang Pacet Sukaresmi Cisarua Cimacan Sindang Jaya Sindang Laya Sukatani Cibeureum Cijedil Nyalindung Cibodas Ciherang Ciloto Ciputri Cipendawa Cibadak Kawung Luwuh Batu Layang Tugu Utara 1047 1173-1513 965-1015 1203-1600 894-929 791 927 847-865 969-1060 1203-1218 1069-1082 1076 902 831-854 903 980

Pengamatan di Laboratorium

Daun contoh yang dikoleksi dibersihkan dari serangga- serangga lain dan kotoran yang menempel pada daun dengan menggunakan kuas, kemudian dimasukkan ke dalam wadah plastik berbentuk silinder dengan diameter 25 cm dan tinggi 15 cm. Pada bagian tengah wadah dipasang sekat kawat kasa sebagai penyangga daun, dan pada bagian tutup wadah dibuat ventilasi udara berbentuk bujur sangkar dengan ukuran 15 cm x 15 cm. Jenis dan jumlah imago pengorok daun dan parasitoid yang muncul diamati dan dihitung setiap hari sampai seluruh imago keluar.

Imago Liriomyza dan parasitoid yang muncul dimasukkan ke dalam botol film yang berisi alkohol 70% untuk dikoleksi serta diidentifikasi. Tingkat parasitisasi parasitoid dihitung dengan rumus:

Jumlah imago parasitoid

Tingkat parasitisasi = x 100%


(1)

Messian FJ, Hanks JB. 1998. Host plant alters of the shape of the fuctional response of an aphid predator (Coleoptera: Coccinellidae). Environ Entomol

27:1196-1202.

Purnomo. 2003. Liriomyza huidobrensis (Blanchard) (Diptera: Agromyzidae): Kesesuaian inang, perkembangan populasi, dan pengaruh insektisida translamina [disertasi]. Bogor; Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Rauf A. 1995. Liriomyza: hama pendatang baru di Indonesia. Bul HPT 8(1):

46– 48.

Rauf A, Shepard BM, Johnson MW. 2000. Leafminers in vegetables, ornamental plants and weeds in Indonesia: surveys of host crops, species compositio and parasitoids. Intern J Pest Manage 46(4):257-266.

Rustam R. 2002. Biologi Opius sp. (Hymenoptera: Braconidae) parasitoid lalat pengorok daun kentang [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

SAS Institute. 1990. SAS/STAT user’s guide: statistics. Version 6. Cary, NC: SAS Institute.

Supartha IW. 1998. Bionomi lalat pengorok daun, Liriomyza huidobrensis

(Blanchard) (Diptera: Agromyzidae), pada pertanaman kentang [disertasi]. Bogor; Program Pascasarjana IPB.

Tapahillah T. 2002. Survei lalat pengorok daun Liriomyza spp. (Diptera: Agromyzidae) dan parasitoidnya pada berbagai tumbuhan inang dan ketinggian tempat di Jawa Barat [skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Wang B, Ferro DX. 1998. Functional responses of Trichogramma ostriniae

(Hymenoptera: Trichrogrammatidae) to Ostrinia nubilalis (Lepidoptera: Pyralidae) under laboratory and field condition. Environ Entomol 27(3):752-758.


(2)

PEMBAHASAN UMUM

Hasil survei lalat pengorok daun pada pertanaman sayuran dataran tinggi di Kabupaten Cianjur dan Bogor mendapatkan empat spesies lalat pengorok daun, yaitu L. huidobrensis, L. sativae, L. chinensis, dan C. horticola. Dua spesies yang pertama merupakan lalat pengorok daun yang polifag, sedangkan dua spesies terakhir hanya ditemukan masing-masing pada tanaman bawang daun dan kacang kapri. Lalat pengorok daun L. huidobrensis, L. sativae, dan L. chinensis

merupakan hama eksotik yang keberadaannya pertama kali diketahui tahun 1990 an (Rauf 1995), sedangkan C. horticola diduga juga merupakan spesies eksotik namun keberadaannya sudah lama di Indonesia, jauh sebelum kedatangan lalat pengorok daun spesies Liriomyza spp. Lalat pengorok daun L. chinensis yang pertamakali dilaporkan menyerang pertanaman bawang daun dataran rendah (Rauf & Shepard 2001), namun sekarang spesies ini telah dapat menyerang pertanaman bawang daun pada daerah dataran tinggi sampai ketinggian 1500 m dpl.

Pertanaman bawang daun dataran tinggi telah dinfestasi oleh dua spesies lalat pengorok daun, yaitu L. huidobrensis dan L. chinensis. Populasi L. huidobrensis lebih berlimpah dibandingkan L. chinensis, karena L. huidobrensis

di daerah asalnya juga menyerang pertanaman sayuran dataran tinggi. Suhu yang sesuai dengan daerah asal lalat pengorok daun dan makanan yang berlimpah sangat mendukung perkembangan L. huidobrensis. L. chinensis sebelumnya dilaporkan hanya menyerang pertanaman sayuran dataran rendah. Serangan kedua lalat pengorok daun ini pada tanaman bawang daun telah menyebabkan tingkat kerusakan yang tinggi. Bawang daun varietas RP lebih toleran terhadap serangan lalat pengorok daun sehingga bawang daun varietas RP lebih baik digunakan dalam budidaya tanaman bawang daun. Disamping itu, harga bawang daun varietas RP lebih mahal dibandingkan Erwor.

Aplikasi insektisida kartap hidroklorida pada pertanaman bawang daun sangat efektif dalam menekan populasi lalat pengorok daun. Namun kartap hidroklorida berdampak negatif terhadap parasitoid sebagai musuh alami lalat pengorok daun. Walaupun aplikasi insektisida kartap hidroklorida


(3)

memperlihatkan tingkat parasitisasi yang tinggi, namun jumlah parasitoid yang muncul dari daun contoh lebih rendah dibandingkan perlakuan insektisida lainnya.

Berdasarkan hasil survei yang dilakukan pada pertanaman sayuran dataran tinggi diketahui delapan spesies parasitoid yang berassosiasi dengan lalat pengorok daun. H. varicornis dan O. chromatomyiae merupakan spesies yang dominan ditemukan di lapangan. Kedua parasitoid ini merupakan parasitoid penting dalam pengendalian lalat pengorok daun pada pertanaman bawang daun.

H. varicornis merupakan ektoparasitoid larva, sedangkan O. chromatomyiae

adalah endoparasitoid larva-pupa. Kajian tentang parasitoid H. varicornis telah banyak dilakukan baik di Indonesia maupun di luar negri, sedangkan O. chromatomyiae merupakan spesies yang hanya ditemukan di Indonesia. Diduga parasitoid ini sebelumnya telah berasosiasi dengan lalat pengorok daun C. horticola yang merupakan hama penting pada tanaman kacang kapri. Menurut Spencer (1973), Hemiptarsenus sp. dan Opius sp. merupakan parasitoid yang berasosiasi dengan lalat pengorok daun C. horticola yang merupakan hama utama pada tanaman kacang kapri.

Studi parasitoid di laboratorium memperlihatkan bahwa parasitoid O. chromatomyiae merupakan parasitoid yang handal untuk mengendalikan lalat pengorok daun pada pertanaman sayuran dataran tinggi. Hasil penelitian laboratorium mengungkapkan data bahwa O. chromatomyiae mempunyai kemampuan reproduksi tinggi (104.73 individu). Angka ini lebih tinggi dibandingkan parasitoid lalat pengorok daun yang lain, seperti H. varicornis

(51.65 individu). Kemampuan reproduksi yang tinggi ini akan mampu mengimbangi pertumbuhan populasi lalat pengorok daun yang mempunyai laju reproduksi 88.27 butir, apalagi bila kedua parasitoid ini dapat bekerja sama dalam mengendalikan populasi lalat pengorok daun di lapangan. Kedua parasitoid ini mempunyai cara yang berbeda dalam membunuh inangnya. O. chromatomyiae

merupakan endaparasitoid larva pupa sedangkan H. varicornis ektoparasitoid larva. Hasil penelitian menggambarkan parasitoid O. chromatomyiae sebagai parasitoid efektif yang sesuai Menurut De Bach (1973) ciri-ciri parasitoid yang handal/efektif tersebut adalah keperidian yang tinggi, mempunyai kekhususan terhadap inang, singkron dengan inang, kerapatan meningkat dengan


(4)

meningkatnya kerapatan inang, membutuhkan satu atau sedikit inang untuk melengkapi siklus hidupnya, dan mempunyai kemampuan mencari mangsa yang tinggi, terutama pada saat populasi inang yang rendah.

Disamping kemampuan reproduksi yang tinggi, parasitoid O. chromatomyiae mempunyai laju pertumbuhan instrinsik (r) sebesar 0.21 betina/induk/hari. Nilai r merupakan laju pertumbuhan populasi parasitoid pada keadaan sumber daya yang tidak terbatas dan kematian hanya karena faktor fisiologis dan mengambarkan banyaknya keturunan betina yang dihasilkan per induk per hari. Karena yang bertindak sebagai agens pengendali inang adalah parasitoid betina, semakin besar nilai r maka parasitoid tersebut semakin efektif dalam mengontrol populasi inangnya di lapangan. Keefektifan parasitoid O. chromatomyiae juga didukung dengan nisbah kelamin keturunan yang bias betina. Laju pertambahan intrinsik O. chromatomyiae lebih tinggi dibandingkan laju pertumbuhan inangnya yaitu L. huidobrensis (0.12). Keadaan ini akan dapat mengimbangi pertumbuhan populasi lalat pengorok daun, sehingga populasi hama ini dapat ditekan oleh parasitoid O. chromatomyiae sampai batas ambang ekonomi.

Keefektifan O. chromatomyiae sebagai agens pengendalian hayati lalat pengorok daun juga terlihat dari respon yang diperlihatkannya terhadap perubahan kerapatan inang dan kemampuan beradaptasi dengan tanaman yang terserang lalat pengorok daun. O. chromatomyiae dapat meningkatkan jumlah inang yang diparasit dengan meningkatnya jumlah kerapatan inang. Disamping itu, O. chromatomyiae dapat memarasit inang pada saat kerapatan inang rendah (kepadatan 2), dengan demikian parasitoid mampu mengendalikan populasi lalat pengorok daun lebih awal. Kemampuan parasitoid berassosiasi dengan berbagai jenis tanaman sayuran yang terserang lalat pengorok daun, mengindikasikan parasitoid ini dapat digunakan dalam mengendalikan berbagai jenis tanaman sayuran yang terserang lalat pengorok daun.

Keberhasilan perbanyakan parasitoid secara massal di laboratorium, juga merupakan keunggulan O. chromatomyiae sebagai agens pengendalian hayati lalat pengorok daun. Penggunaan tanaman kacang merah sebagai tanaman inang lalat pengorok daun, dan lalat pengorok daun instar-3 (Rustam 2002) sebagai larva


(5)

inang, serta larutan madu 10% sebagai sumber makan parasitoid, telah menghasilkan populasi parasitoid yang berlimpah di laboratorium sebagai sumber agens pengendalian hayati lalat pengorok daun yang bisa digunakan di lapangan.

Pemanfaatan parasitoid sebagai agens pengendalian hayati lalat pengorok daun di lapangan dapat dilakukan secara konservasi dan augmentasi. O. chromatomyiae telah berada di lapangan, maka pengendalian secara konservasi merupakan hal yang tepat dilakukan terhadap parasitoid ini maupun terhadap parasitoid lain yang sudah ada di lapangan. Pengendalian secara konservasi dapat dilakukan dengan memanipulasi lingkungan pertanaman sayuran. Manipulasi dapat dilakukan dengan menjaga keberadaan vegetasi liar/gulma berbunga di sekitar pertanaman, karena nektar yang dihasilkan vegetasi tersebut dapat mendukung kehidupan imago parasitoid O. chromatomyiae. Nektar merupakan sumber nutrisi bagi parasitoid. Gulma babadotan (Ageratum conyzoides) merupakan gulma berbunga yang menghasilkan nektar yang banyak ditemukan di lapangan. Disamping sebagai tanaman sumber nektar bagi parasitoid, gulma ini juga dapat berperan sebagai tanaman reservoar. Menurut Purnomo (2003), tumbuhan liar di sekitar pertanaman dapat menjadi reservoar parasitoid lalat pengorok daun.

Konservasi parasitoid lalat pengorok daun dapat juga dilakukan dengan selektifitas terhadap aplikasi insektisida. Insektisida yang digunakan harus dapat menekan populasi hama, namun tidak membunuh parasitoid yang merupakan musuh alami lalat pengorok daun. Abamektin dan azadiraktin merupakan insektisida biologi yang masih mampu menurunkan tingkat serangan lalat pengorok daun di bawah kontrol. Apabila parasitoid, dalam hal ini Opius chromatomyiae tidak mampu menurunkan populasi lalat pengorok daun, maka dapat dilakukan pengendalian dengan aplikasi insektisida abamektin dan azadiraktin, karena kedua insektisida ini aman terhadap musuh alami lalat pengorok daun.

Parasitoid O. chromatomyiae merupakan parasitoid yang unggul sebagai agens pengendalian hayati di daerah dataran tinggi, karena populasinya meningkat dengan meningkatnya ketinggian tempat dari permukaan laut. Semakin tinggi ketinggian tempat dari permukaan laut, maka semakin rendah suhu daerah


(6)

tersebut. Namun hal ini menjadi kelemahan O. chromatomyiae, karena kurang baik digunakan sebagai agens pengendalian hayati lalat pengorok daun pada daerah dataran rendah. Walaupun penelitian Susilawati (2002) menemukan parasitoid ini pada dataran rendah namun jumlahnya sangat sedikit. Masih diperlukan penelitian lanjutan dengan melihat pengaruh kisaran suhu terhadap biologi dan perkembangan O. chromatomyiae.