Kajian Pengaruh Penambahan Dietilen Glikol sebagai Pemlastis pada Karakteristik Bioplastik dari Poli-Beta-Hidroksialkanoat (PHA) yang Dihasilkan Ralstronia eutropha pada Substrat Hidrolisat Pati Sagu

(1)

KAJIAN PENGARUH PENAMBAHAN DIETILEN GLIKOL SEBAGAI PEMLASTIS PADA KARAKTERISTIK BIOPLASTIK

DARI POLI-β-HIDROKSIALKANOAT (PHA) YANG DIHASILKAN

Ralstronia eutropha PADA SUBSTRAT HIDROLISAT PATI SAGU

Oleh VICO DELVIA

F34102030

2006

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

Vico Delvia. F34102030. Kajian Pengaruh Penambahan Dietilen Glikol Sebagai Pemlastis pada Karakteristik Bioplastik dari Poli-β-hidroksialkanoat (PHA) yang Dihasilkan Ralstronia Eutropha Pada Substrat Hidrolisat Pati Sagu. Dibawah bimbingan Khaswar Syamsu. 2006

RINGKASAN

Plastik merupakan salah satu produk yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat secara besar-besaran. Plastik yang biasa digunakan saat ini adalah plastik sintetis berbasis petrokimia yang sangat sulit diuraikan secara hayati ketika dibuang ke lingkungan. Limbah plastik tergolong sampah yang tidak mudah didegradasi (dihancurkan) oleh mikroorganisme sehingga berpeluang “abadi” mengendap di tanah. Limbah sampah plastik menjadi masalah serius yang dihadapi dunia, tidak hanya pada negara-negara maju tetapi juga negara berkembang seperti Indonesia. Penggunaan Poli-β-hidroksialkanoat (PHA) sebagai bahan baku bioplastik menjadi salah satu solusi yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan yang ditimbulkan plastik sintetis ini karena PHA mampu didegradasi oleh lingkungan dan sumber bahan bakunya bersifat dapat diperbaharui (renewable).

Salah satu bakteri yang dapat memproduksi PHA di dalam sel adalah Ralstonia eutropha. Proses kultivasi R. eutropha dengan substrat hidrolisat pati sagu mampu menghasilkan PHA berupa Poli-β-hidroksibutirate (PHB) yang memiliki sifat yang mirip dengan polipropilen (PP). Proses kultivasi yang dilakukan secara fed batch mampu menghasilkan biomassa sebesar 4,04 g/l dan PHA 25-40% dari bobot biomassa. PHA yang dihasilkan memiliki sifat yang kaku dan rapuh sehingga perlu ditambahkan pemlastis untuk memperbaiki sifat ini. Pemlastis yang digunakan pada penelitian ini adalah dietilen glikol (DEG). Pembuatan lembaran bioplastik dilakukan dengan melarutkan PHA pada kloroform dan menambahkannya dengan pemlastis DEG dengan konsentrasi 0% (kontrol), 10%, 20%, 30% dan 40%. Lembaran bioplastik dengan konsentrasi DEG 0%, 10%, 20% dan 30% mampu membentuk lembaran bioplastik sedangkan pada konsentrasi diatas 40% tidak mampu membentuk lembaran bioplastik. Untuk melihat pengaruh penambahan DEG, dilakukan uji karakteristik lembaran bioplastik seperti kuat tarik, perpanjangan putus, sifat termal, derajat kristalinitas, gugus fungsi dan densitas.

Pengujian kuat tarik dari lembaran bioplastik 0%, 10%, 20% dan 30% DEG adalah 0,12 ± 0,09 MPa; 0,11 ± 0,09 MPa; 0,07 ± 0,02 MPa; 0,03 ± 0,03 MPa yang menunjukkan bahwa penambahan DEG akan menyebabkan kuat tarik lembaran bioplastik menurun. Persen perpanjangan putus dari lembaran bioplastik 0%, 10%, 20% dan 30% DEG adalah 7,00 ± 3,44%; 6,46 ± 2,96%; 7,01 ± 0,59% dan 3,41 ± 3,30%. Persen perpanjangan putus terbaik dimiliki oleh lembaran bioplastik 20% DEG karena memiliki nilai perpanjangan putus tertinggi dan bersifat lebih plastis. Dengan sifat mekanis ini, dinyatakan bahwa bioplastik 20% DEG merupakan bioplastik terbaik.

Dari uji sifat termal dengan DSC diketahui bahwa titik leleh lembaran bioplastik 0% DEG adalah 168,72oC sedangkan lembaran bioplastik 20% DEG


(3)

adalah 167,51oC. Penambahan pemlastis menyebabkan penurunan titik leleh lembaran bioplastik. Begitu juga untuk derajat kristalinitas yang mengalami penurunan ketika dilakukan penambahan DEG. Derajat kristalinitas bioplastik 0% DEG adalah 50,52% sedangkan 20% DEG 31,45%.

PHA memiliki gugus fungsi dominan karbonil ester C=O, ikatan polimerik -C-O-C- , -OH, -CH-, -CH2 dan hal tersebut dibuktikan dengan hasil FTIR untuk penentuan gugus fungsi. Gugus fungsi CH3 juga ditemukan. Hal tersebut menunjukkan bahwa PHA yang dihasilkan adalah PHB. Pada hasil FTIR 20% DEG ditemukan adanya gugus fungsi O-H yang merupakan ikatan hidrogen dan gugus eter yang merupakan gugus fungsi DEG. Densitas bioplastik dengan penambahan DEG 0%, 10%, 20%, dan 30% adalah 0,97 g/cm3; 0,88 g/cm3; 0,67 g/cm3; 0,67 g/cm3.


(4)

Vico Delvia. F34102030. Study on The Addition of Diethylene Glycol (DEG) as Plasticizer on Bioplastic Characteristics of Poly-β-Hydroxyalkanoates (PHA) Produced by Ralstronia eutropha on Hydrolysed Sago Starch. Supervised by Khaswar Syamsu. 2006

SUMMARY

Plastic is a product which is used by society in many fields. Recently, plastic that is usually used is synthetic plastic which is based on petrochemical. Plastic waste is rubbish which is not easily degraded by microorganisms. Plastic waste becomes a serious problem that world faces today, not only in a developed country but also in developing country like Indonesia. One of raw material resources of bioplastic is polyhydroxyalkanoates (PHA). PHA which is produced by specific microorganism is a natural plastic seed (biopolymer). This biopolymer is one of solutions that can solve the problems of synthetic plastic because PHA is easy to degrade and its raw material is renewable.

One of bacteria which can produce PHA in its cells is Ralstonia eutropha. Cultivation process of R. eutropha with sago starch hydrolysate as substrate can produce PHA especially polyhidroxybutyrate (PHB) which has the characteristic like polypropylene (PP). Biomass of R. eutropha can be produced up to 4.04 g/l with PHA content of PHA 25-40% from the biomass. PHA is rigid and brittle. Plasticizer is added to improve this characteristic. Plasticizer which is used is diethylene glycol (DEG). Bioplastic was made by dissolving PHA in chloroform and then added with DEG at concentration 0% (control), 10%, 20%, 30% and 40%. Bioplastic with concentration DEG 0%, 10%, 20% and 30% can form a sheet of bioplastic, but concentration of more than 40% can not. Effect of DEG which is added can be evaluated by tensile strength test, elongation test, thermal characterization, degree of crystalinity, functional group and density.

Tensile strength of 0%, 10%, 20%, and 30% DEG are 0.12 ± 0.09 MPa; 0.11 ± 0.09 MPa; 0.07 ± 0.02 MPa; 0.03 ± 0.03 MPa, respectively. It shows that the addition of DEG decreases the tensile strength of bioplastic sheet. Elongation of 0%, 10%, 20%, and 30% DEG are 7.00 ± 3.44%; 6.46 ± 2.96%; 7.01 ± 0.59% dan 3.41 ± 3.30%, respectively. Bioplastic sheet with 20% DEG has the best elongation because it has the highest point and more plastic. With this mechanical characteristic, it is decided that bioplastic with 20% DEG is the best bioplastic sheet in this research. Bioplastic were then characterized for melting point, degree of crystalinity, and functional group.

Melting point of control is 168.72oC and bioplastic sheet 20% DEG is 167.51oC. The addition of plasticizer decreases the melting point of bioplastic sheet. Degree of crystalinity also decreases when bioplastic sheet is added with DEG. Crystalline degree of control is 50.52% and bioplastic 20% DEG is 31.45%.

FTIR analysis result shows that the dominant functional group of PHA are carbon-ester C=O, and polymeric bond -C-O-C-, -OH, -CH-, -CH2. CH3 functional group is also found in this result and it indicates that the kind of the PHA is PHB. Density of bioplastic when it is added with DEG 0%, 10%, 20%, and 30% are 0.97 g/cm3; 0.88 g/cm3; 0.67 g/cm3; 0.67 g/cm3, respectively.


(5)

KAJIAN PENGARUH PENAMBAHAN DIETILEN GLIKOL SEBAGAI PEMLASTIS PADA KARAKTERISTIK BIOPLASTIK

DARI POLI-β-HIDROKSIALKANOAT (PHA) YANG DIHASILKAN

Ralstronia eutropha PADA SUBSTRAT HIDROLISAT PATI SAGU

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh Vico Delvia

F34102030

2006

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(6)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

KAJIAN PENGARUH PENAMBAHAN DIETILEN GLIKOL SEBAGAI PEMLASTIS PADA KARAKTERISTIK BIOPLASTIK

DARI POLI-β-HIDROKSIALKANOAT (PHA) YANG DIHASILKAN

Ralstronia eutropha PADA SUBSTRAT HIDROLISAT PATI SAGU

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh Vico Delvia

F34102030

Dilahirkan pada tanggal 30 Maret 1985 Di Jambi

Tanggal Lulus: 18 Oktober 2006

Menyetujui, Bogor, 31 Oktober 2006

Dr. Ir. Khaswar Syamsu, MSc. Dosen Pembimbing


(7)

RIWAYAT HIDUP

Vico Delvia dilahirkan di Jambi, 30 Maret 1985. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara, putri dari pasangan Abdul Manan dan Nursiah. Penulis menyelesaikan sekolah dasar di SD Negeri 95/IV pada tahun 1996 dan melanjutkan ke SLTP Negeri 17 Jambi pada tahun yang sama. Tahun 1999, Penulis menyelesaikan masa belajarnya di SLTP dan melanjutkan ke SMU Negeri 1 Jambi (1999-2002). Pada tahun 2002, Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI. Penulis masuk di Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Selama masa kuliah, Penulis aktif dalam berbagai organisasi dan kegiatan di Universitas. Penulis bergabung dalam kepengurusan Himpunan Mahasiswa Teknologi Industri (HIMALOGIN) sejak tahun 2003 dan memprioritaskan diri pada bidang Public Relations HIMALOGIN. Pada tahun yang sama, Penulis bergabung sebagai anggota Paduan Suara FATETA serta menjadi Asisten Praktikum di Departemen TIN. Penulis menyelesaikan masa kuliah di IPB pada tahun 2006 dengan menyelesaikan tugas akhir berupa skripsi berjudul “Kajian Pengaruh Penambahan Dietilen Glikol Sebagai Pemlastis pada Karakteristik Bioplastik dari Poli-β-Hidroksialkanoat (PHA) yang Dihasilkan Ralstronia eutropha Pada Substrat Hidrolisat Pati Sagu”.


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN... ix

I. PENDAHULUAN ... 1

A. LATAR BELAKANG ... 1

B. TUJUAN ... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 4

A. POLIHIDROKSIALKANOAT... 4

B. Ralstronia eutropha... 6

C. HIDROLISAT PATI SAGU ... 9

D. PELARUT KLOROFORM ... 10

E. PEMLASTIS DIETILEN GLIKOL... 12

F. PROSES KULTIVASI PHA ... 13

G. PROSES HILIR PHA ... 16

H. PEMBUATAN LEMBARAN BIOPLASTIK ... 17

I. KARAKTERISTIK BIOPLASTIK ... 18

III.BAHAN DAN METODE ... 22

A. BAHAN DAN ALAT ... 22

1. Bahan ... 22

2. Alat ... 22

B. TAHAPAN PENELITIAN ... 23

1. Persiapan Bahan Baku Bioplastik ... 23

a. Persiapan Substrat ... 23

b. Produksi PHA secara Fed Batch ... 25

c. Proses Hilir PHA ... 26

2. Pembuatan Lembaran Bioplastik ... 27


(9)

C. ANALISIS DATA ... 28

IV.HASIL DAN PEMBAHASAN ... 29

A. PERSIAPAN BAHAN BAKU BIOPLASTIK ... 29

1. Persiapan Substrat ... 29

2. Produksi PHA secara Fed Batch... 29

3. Proses Hilir PHA ... 30

B. PEMBUATAN LEMBARAN BIOPLASTIK ... 33

C. KARAKTERISASI BIOPLASTIK... 36

1. Kuat Tarik dan Perpanjangan Putus ... 37

2. Sifat Termal ... 41

3. Derajat Kristalinitas ... 44

4. Gugus Fungsi ... 45

5. Densitas ... 48

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 50

DAFTAR PUSTAKA ... 52


(10)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1. Kelarutan PHB pada berbagai pelarut... 11 Tabel 2. Komposisi media propagasi dan media fermentasi... 24 Tabel 3. Formulasi bahan dalam pembuatan lembaran bioplastik ... 34 Tabel 4. Perbandingan sifat fisik dan kimia PP, PHB, PHA dan lembaran

bioplastik (DEG 20%) ... 37 Tabel 5. Hasil identifikasi spektrum FTIR lembaran bioplastik ... 47


(11)

KAJIAN PENGARUH PENAMBAHAN DIETILEN GLIKOL SEBAGAI PEMLASTIS PADA KARAKTERISTIK BIOPLASTIK

DARI POLI-β-HIDROKSIALKANOAT (PHA) YANG DIHASILKAN

Ralstronia eutropha PADA SUBSTRAT HIDROLISAT PATI SAGU

Oleh VICO DELVIA

F34102030

2006

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(12)

Vico Delvia. F34102030. Kajian Pengaruh Penambahan Dietilen Glikol Sebagai Pemlastis pada Karakteristik Bioplastik dari Poli-β-hidroksialkanoat (PHA) yang Dihasilkan Ralstronia Eutropha Pada Substrat Hidrolisat Pati Sagu. Dibawah bimbingan Khaswar Syamsu. 2006

RINGKASAN

Plastik merupakan salah satu produk yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat secara besar-besaran. Plastik yang biasa digunakan saat ini adalah plastik sintetis berbasis petrokimia yang sangat sulit diuraikan secara hayati ketika dibuang ke lingkungan. Limbah plastik tergolong sampah yang tidak mudah didegradasi (dihancurkan) oleh mikroorganisme sehingga berpeluang “abadi” mengendap di tanah. Limbah sampah plastik menjadi masalah serius yang dihadapi dunia, tidak hanya pada negara-negara maju tetapi juga negara berkembang seperti Indonesia. Penggunaan Poli-β-hidroksialkanoat (PHA) sebagai bahan baku bioplastik menjadi salah satu solusi yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan yang ditimbulkan plastik sintetis ini karena PHA mampu didegradasi oleh lingkungan dan sumber bahan bakunya bersifat dapat diperbaharui (renewable).

Salah satu bakteri yang dapat memproduksi PHA di dalam sel adalah Ralstonia eutropha. Proses kultivasi R. eutropha dengan substrat hidrolisat pati sagu mampu menghasilkan PHA berupa Poli-β-hidroksibutirate (PHB) yang memiliki sifat yang mirip dengan polipropilen (PP). Proses kultivasi yang dilakukan secara fed batch mampu menghasilkan biomassa sebesar 4,04 g/l dan PHA 25-40% dari bobot biomassa. PHA yang dihasilkan memiliki sifat yang kaku dan rapuh sehingga perlu ditambahkan pemlastis untuk memperbaiki sifat ini. Pemlastis yang digunakan pada penelitian ini adalah dietilen glikol (DEG). Pembuatan lembaran bioplastik dilakukan dengan melarutkan PHA pada kloroform dan menambahkannya dengan pemlastis DEG dengan konsentrasi 0% (kontrol), 10%, 20%, 30% dan 40%. Lembaran bioplastik dengan konsentrasi DEG 0%, 10%, 20% dan 30% mampu membentuk lembaran bioplastik sedangkan pada konsentrasi diatas 40% tidak mampu membentuk lembaran bioplastik. Untuk melihat pengaruh penambahan DEG, dilakukan uji karakteristik lembaran bioplastik seperti kuat tarik, perpanjangan putus, sifat termal, derajat kristalinitas, gugus fungsi dan densitas.

Pengujian kuat tarik dari lembaran bioplastik 0%, 10%, 20% dan 30% DEG adalah 0,12 ± 0,09 MPa; 0,11 ± 0,09 MPa; 0,07 ± 0,02 MPa; 0,03 ± 0,03 MPa yang menunjukkan bahwa penambahan DEG akan menyebabkan kuat tarik lembaran bioplastik menurun. Persen perpanjangan putus dari lembaran bioplastik 0%, 10%, 20% dan 30% DEG adalah 7,00 ± 3,44%; 6,46 ± 2,96%; 7,01 ± 0,59% dan 3,41 ± 3,30%. Persen perpanjangan putus terbaik dimiliki oleh lembaran bioplastik 20% DEG karena memiliki nilai perpanjangan putus tertinggi dan bersifat lebih plastis. Dengan sifat mekanis ini, dinyatakan bahwa bioplastik 20% DEG merupakan bioplastik terbaik.

Dari uji sifat termal dengan DSC diketahui bahwa titik leleh lembaran bioplastik 0% DEG adalah 168,72oC sedangkan lembaran bioplastik 20% DEG


(13)

adalah 167,51oC. Penambahan pemlastis menyebabkan penurunan titik leleh lembaran bioplastik. Begitu juga untuk derajat kristalinitas yang mengalami penurunan ketika dilakukan penambahan DEG. Derajat kristalinitas bioplastik 0% DEG adalah 50,52% sedangkan 20% DEG 31,45%.

PHA memiliki gugus fungsi dominan karbonil ester C=O, ikatan polimerik -C-O-C- , -OH, -CH-, -CH2 dan hal tersebut dibuktikan dengan hasil FTIR untuk penentuan gugus fungsi. Gugus fungsi CH3 juga ditemukan. Hal tersebut menunjukkan bahwa PHA yang dihasilkan adalah PHB. Pada hasil FTIR 20% DEG ditemukan adanya gugus fungsi O-H yang merupakan ikatan hidrogen dan gugus eter yang merupakan gugus fungsi DEG. Densitas bioplastik dengan penambahan DEG 0%, 10%, 20%, dan 30% adalah 0,97 g/cm3; 0,88 g/cm3; 0,67 g/cm3; 0,67 g/cm3.


(14)

Vico Delvia. F34102030. Study on The Addition of Diethylene Glycol (DEG) as Plasticizer on Bioplastic Characteristics of Poly-β-Hydroxyalkanoates (PHA) Produced by Ralstronia eutropha on Hydrolysed Sago Starch. Supervised by Khaswar Syamsu. 2006

SUMMARY

Plastic is a product which is used by society in many fields. Recently, plastic that is usually used is synthetic plastic which is based on petrochemical. Plastic waste is rubbish which is not easily degraded by microorganisms. Plastic waste becomes a serious problem that world faces today, not only in a developed country but also in developing country like Indonesia. One of raw material resources of bioplastic is polyhydroxyalkanoates (PHA). PHA which is produced by specific microorganism is a natural plastic seed (biopolymer). This biopolymer is one of solutions that can solve the problems of synthetic plastic because PHA is easy to degrade and its raw material is renewable.

One of bacteria which can produce PHA in its cells is Ralstonia eutropha. Cultivation process of R. eutropha with sago starch hydrolysate as substrate can produce PHA especially polyhidroxybutyrate (PHB) which has the characteristic like polypropylene (PP). Biomass of R. eutropha can be produced up to 4.04 g/l with PHA content of PHA 25-40% from the biomass. PHA is rigid and brittle. Plasticizer is added to improve this characteristic. Plasticizer which is used is diethylene glycol (DEG). Bioplastic was made by dissolving PHA in chloroform and then added with DEG at concentration 0% (control), 10%, 20%, 30% and 40%. Bioplastic with concentration DEG 0%, 10%, 20% and 30% can form a sheet of bioplastic, but concentration of more than 40% can not. Effect of DEG which is added can be evaluated by tensile strength test, elongation test, thermal characterization, degree of crystalinity, functional group and density.

Tensile strength of 0%, 10%, 20%, and 30% DEG are 0.12 ± 0.09 MPa; 0.11 ± 0.09 MPa; 0.07 ± 0.02 MPa; 0.03 ± 0.03 MPa, respectively. It shows that the addition of DEG decreases the tensile strength of bioplastic sheet. Elongation of 0%, 10%, 20%, and 30% DEG are 7.00 ± 3.44%; 6.46 ± 2.96%; 7.01 ± 0.59% dan 3.41 ± 3.30%, respectively. Bioplastic sheet with 20% DEG has the best elongation because it has the highest point and more plastic. With this mechanical characteristic, it is decided that bioplastic with 20% DEG is the best bioplastic sheet in this research. Bioplastic were then characterized for melting point, degree of crystalinity, and functional group.

Melting point of control is 168.72oC and bioplastic sheet 20% DEG is 167.51oC. The addition of plasticizer decreases the melting point of bioplastic sheet. Degree of crystalinity also decreases when bioplastic sheet is added with DEG. Crystalline degree of control is 50.52% and bioplastic 20% DEG is 31.45%.

FTIR analysis result shows that the dominant functional group of PHA are carbon-ester C=O, and polymeric bond -C-O-C-, -OH, -CH-, -CH2. CH3 functional group is also found in this result and it indicates that the kind of the PHA is PHB. Density of bioplastic when it is added with DEG 0%, 10%, 20%, and 30% are 0.97 g/cm3; 0.88 g/cm3; 0.67 g/cm3; 0.67 g/cm3, respectively.


(15)

KAJIAN PENGARUH PENAMBAHAN DIETILEN GLIKOL SEBAGAI PEMLASTIS PADA KARAKTERISTIK BIOPLASTIK

DARI POLI-β-HIDROKSIALKANOAT (PHA) YANG DIHASILKAN

Ralstronia eutropha PADA SUBSTRAT HIDROLISAT PATI SAGU

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh Vico Delvia

F34102030

2006

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(16)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

KAJIAN PENGARUH PENAMBAHAN DIETILEN GLIKOL SEBAGAI PEMLASTIS PADA KARAKTERISTIK BIOPLASTIK

DARI POLI-β-HIDROKSIALKANOAT (PHA) YANG DIHASILKAN

Ralstronia eutropha PADA SUBSTRAT HIDROLISAT PATI SAGU

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh Vico Delvia

F34102030

Dilahirkan pada tanggal 30 Maret 1985 Di Jambi

Tanggal Lulus: 18 Oktober 2006

Menyetujui, Bogor, 31 Oktober 2006

Dr. Ir. Khaswar Syamsu, MSc. Dosen Pembimbing


(17)

RIWAYAT HIDUP

Vico Delvia dilahirkan di Jambi, 30 Maret 1985. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara, putri dari pasangan Abdul Manan dan Nursiah. Penulis menyelesaikan sekolah dasar di SD Negeri 95/IV pada tahun 1996 dan melanjutkan ke SLTP Negeri 17 Jambi pada tahun yang sama. Tahun 1999, Penulis menyelesaikan masa belajarnya di SLTP dan melanjutkan ke SMU Negeri 1 Jambi (1999-2002). Pada tahun 2002, Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI. Penulis masuk di Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Selama masa kuliah, Penulis aktif dalam berbagai organisasi dan kegiatan di Universitas. Penulis bergabung dalam kepengurusan Himpunan Mahasiswa Teknologi Industri (HIMALOGIN) sejak tahun 2003 dan memprioritaskan diri pada bidang Public Relations HIMALOGIN. Pada tahun yang sama, Penulis bergabung sebagai anggota Paduan Suara FATETA serta menjadi Asisten Praktikum di Departemen TIN. Penulis menyelesaikan masa kuliah di IPB pada tahun 2006 dengan menyelesaikan tugas akhir berupa skripsi berjudul “Kajian Pengaruh Penambahan Dietilen Glikol Sebagai Pemlastis pada Karakteristik Bioplastik dari Poli-β-Hidroksialkanoat (PHA) yang Dihasilkan Ralstronia eutropha Pada Substrat Hidrolisat Pati Sagu”.


(18)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN... ix

I. PENDAHULUAN ... 1

A. LATAR BELAKANG ... 1

B. TUJUAN ... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 4

A. POLIHIDROKSIALKANOAT... 4

B. Ralstronia eutropha... 6

C. HIDROLISAT PATI SAGU ... 9

D. PELARUT KLOROFORM ... 10

E. PEMLASTIS DIETILEN GLIKOL... 12

F. PROSES KULTIVASI PHA ... 13

G. PROSES HILIR PHA ... 16

H. PEMBUATAN LEMBARAN BIOPLASTIK ... 17

I. KARAKTERISTIK BIOPLASTIK ... 18

III.BAHAN DAN METODE ... 22

A. BAHAN DAN ALAT ... 22

1. Bahan ... 22

2. Alat ... 22

B. TAHAPAN PENELITIAN ... 23

1. Persiapan Bahan Baku Bioplastik ... 23

a. Persiapan Substrat ... 23

b. Produksi PHA secara Fed Batch ... 25

c. Proses Hilir PHA ... 26

2. Pembuatan Lembaran Bioplastik ... 27


(19)

C. ANALISIS DATA ... 28

IV.HASIL DAN PEMBAHASAN ... 29

A. PERSIAPAN BAHAN BAKU BIOPLASTIK ... 29

1. Persiapan Substrat ... 29

2. Produksi PHA secara Fed Batch... 29

3. Proses Hilir PHA ... 30

B. PEMBUATAN LEMBARAN BIOPLASTIK ... 33

C. KARAKTERISASI BIOPLASTIK... 36

1. Kuat Tarik dan Perpanjangan Putus ... 37

2. Sifat Termal ... 41

3. Derajat Kristalinitas ... 44

4. Gugus Fungsi ... 45

5. Densitas ... 48

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 50

DAFTAR PUSTAKA ... 52


(20)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1. Kelarutan PHB pada berbagai pelarut... 11 Tabel 2. Komposisi media propagasi dan media fermentasi... 24 Tabel 3. Formulasi bahan dalam pembuatan lembaran bioplastik ... 34 Tabel 4. Perbandingan sifat fisik dan kimia PP, PHB, PHA dan lembaran

bioplastik (DEG 20%) ... 37 Tabel 5. Hasil identifikasi spektrum FTIR lembaran bioplastik ... 47


(21)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Struktur molekul PHA... 5

Gambar 2. Struktur molekul dietilen glikol ... 13

Gambar 3. Bioreaktor kapasitas 15 liter... 26

Gambar 4. PHA kering hasil ekstraksi dengan NaOCl ... 31

Gambar 5. PHA hasil ekstraksi dengan kloroform ... 33

Gambar 6. Reaksi polimer-pelarut dan reaksi penambahan pemlastis ... 34

Gambar 7. Lembaran bioplastik dengan konsentrasi DEG 10-40% ... 35

Gambar 8. Ilustrasi struktur kimia polimer PHA dengan penambahan pemlastis DEG... 36

Gambar 9. Grafik hubungan konsentrasi DEG dan kuat tarik ... 39

Gambar 10. Grafik hubungan konsentrasi DEG dan perpanjangan putus ... 39

Gambar 11. Ilustrasi proses uji kuat tarik dan perpanjangan putus ... 41

Gambar 12. Spectra DSC ... 42

Gambar 13. Spectra FTIR ... 46


(22)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1. Diagram alir pembuatan hidrolisat pati sagu secara

enzimatis... 60 Lampiran 2. Diagram alir kultivasi PHA ... 61 Lampiran 3. Diagram alir proses hilir ... 62 Lampiran 4. Diagram alir proses pembuatan lembaran bioplastik ... 64 Lampiran 5. Prosedur analisis karakter lembaran bioplastik ... 65 Lampiran 6. Prosedur analisis total gula dengan metode fenol-sulfat ... 68 Lampiran 7. Contoh penghitungan selama proses penelitian... 69 Lampiran 8. Hasil pengujian kuat tarik dan perpanjangan putus ... 71 Lampiran 9. Hasil pengujian densitas lembaran bioplastik ... 73


(23)

I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Plastik merupakan salah satu produk yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat. Penggunaan plastik dilakukan secara besar-besaran sebagai bahan kemasan, produk rumah tangga hingga peralatan kantor dan fasilitas umum. Plastik yang biasa digunakan saat ini adalah plastik sintetis berbasis petrokimia yang sangat sulit diuraikan secara hayati ketika dibuang ke lingkungan.

Limbah plastik tergolong sampah yang tidak mudah didegradasi (dihancurkan) oleh mikroorganisme sehingga berpeluang “abadi” mengendap di tanah. Limbah sampah plastik menjadi masalah serius yang dihadapi dunia, tidak hanya pada negara-negara maju tetapi juga negara berkembang seperti Indonesia. Menurut Indonesia Plastic Industries, kebutuhan plastik dari 220 juta penduduk Indonesia pada tahun 2003 mencapai sekitar 1,35 juta ton sedangkan kemampuan pengolahan sampah oleh pemerintah hanya sekitar 20-30% saja (Anonima, 2006). Proses pengolahan yang dilakukan pemerintah pun hanya sebatas penimbunan di area landfill. Peningkatan kesadaran masyarakat akan pentingnya kelestarian lingkungan, peranan dan kebijakan pemerintah yang mendukung penggunaan bioplastik serta sumber substrat yang mudah diperoleh di Indonesia akan mendukung pemanfaatan bioplastik yang merupakan alternatif untuk memecahkan masalah penanganan limbah sampah plastik. Selain itu, berdasarkan Laporan Biro Pusat Statistik (Badan Pusat Statistik, 1999) mengenai proyeksi kebutuhan bioplastik diketahui bahwa perkembangan industri bioplastik dimasa datang akan mampu menjadi industri besar.

Salah satu sumber bahan baku bioplastik yang sudah banyak diteliti adalah Polihidroksialkanoat (PHA). PHA yang terkandung didalam sel mikroorganisme jenis tertentu merupakan bijih plastik alami (biopolimer). Biopolimer ini adalah cadangan makanan bagi mikroorganisme yang apabila tidak dikonsumsi akan menumpuk di dalam sel. PHA yang diproduksi dari


(24)

sumber yang terbaharui digunakan sebagai bahan baku bioplastik karena dapat didegradasi secara sempurna ketika dibuang ke lingkungan. PHA dapat berfungsi sebagai plastik karena memiliki sifat-sifat seperti termoplastik atau elastomer yang tergantung dari monomer penyusunnya. PHA memiliki kekuatan dan kekerasan yang baik, resisten terhadap kelembaban dan memiliki permeabilitas O2 yang sangat rendah (Van Wegen et al., 1998).

Poli-β-hidroksibutirat (PHB) adalah homopolimer dari β -hidroksibutirat yang merupakan anggota dari PHA. Polimer PHB memiliki struktur yang mirip poli propilena (Lee, 1996). Bakteri yang dapat memproduksi PHB di dalam sel adalah Burkholderia cepacia (Pseudomonas cepacia), Ralstonia eutropa (Alcaligenes eutrophus), Azotobacter beijerinckii, Bradyrhizobium japonicum dan beberapa spesies Rhizobium (Anderson dan Dawes, 1990).

Bidang aplikasi PHA sangat luas, namun produksi PHA masih terbatas karena harganya yang mahal. Setiap kilogramnya dibutuhkan dana sekitar US $16-17, sementara plastik konvensional hanya membutuhkan dana sebesar US $1 sehingga perlu dilakukan berbagai upaya penelitian untuk menurunkan biaya produksi PHA, salah satunya dengan penggunaan hidrolisat pati sagu (Anonima, 2006). Potensi sagu di Indonesia sangat besar, Papua dan Maluku memiliki hutan sagu seluas 1,25 juta hektar (ha), 148 ribu ha lahan sagu semibudidaya di kepulauan Riau, Mentawai, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua. Lahan sagu ini terbesar di dunia. Berdasarkan catatan BPPT, produksi sagu saat ini mencapai 200 ribu ton per tahun, namun baru 56% saja yang dimanfaatkan dengan baik (Humas, 2006). Melihat peluang tersebut, maka penggunaan hidrolisat pati sagu diharapkan mampu menjadi substrat yang murah dan terbaharukan.

Untuk menghasilkan lembaran bioplastik, PHA murni perlu ditambahkan dengan bahan-bahan tambahan seperti pemlastis, penstabil, pewarna, anti shock dan antistatik untuk mendapatkan hasil akhir bioplastik yang diinginkan. Saat pembuatan lembaran bioplastik, dibutuhkan suatu pelarut untuk melarutkan PHA sehingga mempermudah proses pembuatannya. Salah satu pelarut yang dapat digunakan adalah kloroform (CHCl3) yang


(25)

memiliki kemampuan yang sangat baik untuk melarutkan PHA (Atkinson dan Mavituna, 1991). Sifat rapuh dan kaku dari PHA dapat diperbaiki dengan penambahan pemlastis dietilen glikol (DEG) yang merupakan salah satu pemlastis yang banyak digunakan oleh industri.

Zahra (2003) telah melakukan penelitian mengenai pengaruh penambahan dietilen glikol (DEG) terhadap karakteristik bioplastik dari PHA dengan menggunakan substrat kultivasi berupa hidrolisat minyak sawit. PHA yang dihasilkan memiliki derajat kristalinitas yang rendah yaitu 2,88%. Hal ini disebabkan oleh metode pembuatan bioplastik yang dilakukan tanpa pemanasan.

Proses pembuatan bioplastik pada penelitian ini dilakukan dengan cara pencampuran PHA dan pelarut kloroform. Kloroform berfungsi untuk melarutkan bahan polimer padat sehingga memudahkan pengolahan dalam proses selanjutnya. Larutan PHA-kloroform kemudian dicampurkan dengan pemlastis dietilen glikol agar dihasilkan suatu lembaran bioplastik yang plastis. Proses pencampuran yang dilakukan pada penelitian ini menggunakan suhu dan perbandingan tertentu.

B. TUJUAN

Tujuan penelitian ini adalah untuk merancang proses pembuatan lembaran bioplastik dan mendapatkan informasi mengenai pengaruh konsentrasi pemlastis dietilen glikol (DEG) terhadap karakteristik lembaran bioplastik yang dihasilkan serta mengetahui konsentrasi DEG terbaik dalam pembuatan lembaran bioplastik berbahan dasar Poli-β-hidroksialkanoat (PHA).


(26)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. POLIHIDROKSIALKANOAT (PHA)

Poli-β-hidroksialkanoat (PHA) merupakan salah satu famili poliester termoplastis bermolekul besar yang terbentuk secara alami atau melalui cara bioteknologi khusus (Utz et al, 1991). Menurut Choi dan Lee (1999), polyhydroxyalkanoates (PHA) merupakan cadangan karbon intraseluler dan energi yang terakumulasi dalam sel bakteri serta terbentuk pada kondisi pertumbuhan yang tidak seimbang. Kelompok poliester PHA terdiri dari poly-β-hydroxybutyrate (PHB), poly-β-hydroxyvalerate (PHV), poly-β -hydroxycaproate (PHC), poly-β-hydroxyheptanoate (PHH), poly-β -hydroxyoctanoate (PHO), poly-β-hydroxynonanoat (PHN), poly-β -hydroxydecanoate (PHD), poly-β-hydroxyundecanoate (PHUD), dan poly-β -hydroxydodecanoate (PHDD) (Atkinson dan Mavituna, 1991).

PHB adalah homopolimer dari β-hidroksibutirat yang merupakan anggota dari polihidroksialkanoat (PHA) dan digunakan sebagai sumber energi dan cadangan karbon yang disintesis dan diakumulasikan secara intraseluler oleh beberapa mikroorganisme pada saat nutrisi esensial seperti nitrogen, fosfor, oksigen, sulfur terbatas namun dilain pihak sumber karbon berlebih (Anderson dan Dawes, 1990; Lee, 1996). PHB yang merupakan cadangan makanan bagi bakteri terbentuk sebagai granular-granular di dalam sel. Pasokan yang tidak memadai akan membuat sel-sel mendepolimerisasi cadangan makanan menghasilkan asam β-hidroksibutirat yang bersifat dapat larut dan mudah dicerna (Bailey dan Ollis, 1991).

Ukuran diameter granula PHB berkisar antara 100 nm sampai 800 nm, dan biasanya berbentuk seperti bola. PHB yang telah diisolasi memiliki komposisi kira-kira 98% PHB dan 2% protein. PHB memiliki densitas 1,171-1,260 g/cm3, melting point antara 157-188oC, dekomposisi secara cepat dapat terjadi diatas suhu 283oC. Densitas yang lebih rendah menunjukkan densitas amorf, sedangkan densitas yang lebih tinggi menunjukkan densitas kristalin


(27)

(Lafferty et al. di dalam Rehm dan Reid, 1988). Berikut adalah gambar struktur molekul PHA menurut Randall et al. (2001):

H

--- O—C— (CH2)n-- C ---

R O 100-30000 n = 1 R = methyl: polymer = poly(3-hydroxybutyrate) R = ethyl: polymer = poly(3-hydroxyvalerate) n = 2 R = hydrogen: polymer = poly(4-hydroxybutyrate) n = 3 R = hydrogen: polymer = poly(5-hydroxybutyrate) Gambar 1. Struktur Molekul PHA (Randall et al, 2001)

Sifat dan kelebihan dari PHB adalah berbentuk kristalin, tahan panas, dapat diproduksi dari sumber yang dapat diperbaharui, tidak beracun, tingkat polimerisasinya tinggi dan tidak larut dalam air (Herawati, 2001). Menurut Lee (1996), polimer PHB dapat diuraikan secara hayati sehingga dapat dimanfaatkan sebagai pembawa bahan aktif pada obat-obatan, bahan sekali pakai, benang bedah dan pembalut luka.

Menurut Poirer et al. (1995), PHB sering dibandingkan dengan polipropilen (PP) karena sifat fisiknya yang sama, namun PHB lebih rapuh dengan rasio elastisitas PHB hampir dua kali lebih rendah dibandingkan dengan PP. Meskipun PHB bersifat rapuh dan lebih sensitif terhadap pelarut dibandingkan poliester komersial, tetapi PHB memiliki daya tahan yang lebih besar terhadap radiasi sinar UV dan bersifat dapat didegradasi (Crueger dan Crueger, 1984).

Aplikasi PHA difokuskan pada 3 hal yaitu kesehatan dan farmasi, pertanian, dan kemasan produk (Lafferty et al. di dalam Rehm dan Reid, 1988; Lee, 1996). PHB dapat dikembangkan dalam berbagai bidang seperti bidang medis sebagai benang jahit pada operasi bedah, pembalut luka, pemasangan pembuluh darah, pemasangan tulang dan lempeng tulang, stimulasi pertumbuhan tulang (karena PHA mempunyai sifat piezoelektrik) serta


(28)

pembawa bahan aktif pada obat-obatan. Bidang industri, PHB dapat digunakan sebagai pembawa bahan aktif pada herbisida, fungisida, insektisida atau pupuk, kemasan kontainer, botol, pembungkus, kantong, dan film serta bahan-bahan sekali pakai seperti popok bayi dan pembalut wanita (Brandl et al. di dalam Babel dan Steinbuchel, 2001).

B. Ralstonia eutropha

Mikroorganisme dapat mensintesa PHA sekitar 30-80% dari bobot kering selnya. Jenis mikroba yang mampu mensintesa PHA ini berjumlah sekitar 300 jenis, namun hanya sejumlah bakteri termasuk Ralstonia eutropha, Alcaligenes latus, Azotobacter venelandii, Chromobacterium violaceum, metilotrof, pseudomonad, dan rekombinan E. Coli yang prospektif digunakan dalam komersialisasi produksi PHA karena produktifitasnya lebih besar dari 2 g/l/jam (Lee, 1996; Lee dan Choi di dalam Babel dan Steinbuchel, 2001).

Klem di dalam Robinson et al. (1999) menyatakan berdasarkan kajian sekuens dan hibridisasi 16S RNA, Alcaligenes eutrophus sekarang dikelompokkan ke dalam genus Ralstonia dengan nama baru Ralstonia eutropha. Ralstonia eutropha merupakan bakteri kemoautotrof fakultatif yang dapat mengakumulasi poli-β-hidroksialkanoat (PHA) sebagai cadangan energi dalam kondisi kultur yang mengandung sedikit mineral atau oksigen. Genus Ralstonia eutropha berbentuk batang, batang bulat atau bulat dengan diameter 0,5-1,0 mikrometer dan panjang 0,5-2,6 mikrometer. Ralstonia eutropha memiliki flagel berbentuk peritrichous dan bersifat aerob obligat (Ishizaki dan Tanaka, 1991). Bakteri ini dapat tumbuh di air dan tanah, bersifat saprofit, inhibitor pada usus vertebrata, serta dapat diisolasi dari bahan klinis seperti darah, urin, kotoran, cairan suntikan, luka, dan kadang-kadang menyebabkan infeksi pada manusia (Breed et al., 1974).

Menurut Byrom (1992) setelah berdiskusi dengan industri penghasil PHA yaitu ICI, diketahui bahwa pemilihan Ralstonia sp. oleh ICI dikarenakan Ralstonia sp. mampu memproduksi PHA yang mudah diekstrak dengan bobot molekul yang tinggi. Galur bakteri dan sumber karbon yang digunakan sangat


(29)

berpengaruh terhadap PHA yang dihasilkan, misalnya Alcaligenes eutrophus (Ralstonia eutropha) dapat memproduksi PHB (poli-β-hidroksibutirat) menggunakan glukosa dan memproduksi PHV (poli-β-hidroksivalerat) dengan menggunakan glukosa dan asam propionat (Ayorinde et al.,1998).

Pertumbuhan pada bakteri dan mikroorganisme lain biasanya mengacu pada perubahan di dalam hasil panen sel dan bukan perubahan individu organisme. Penentuan populasi bakteri terhadap waktu tertentu dapat dilakukan dengan cara memetakan logaritma jumlah sel terhadap waktu yang kemudian biasa disebut daur pertumbuhan normal atau kurva pertumbuhan (Pelczar dan Chan, 2005). Pada awal pertumbuhannya, bakteri Ralstonia eutropha berada pada kondisi yang kaya glukosa sebagai sumber karbon dan mengkonsumsinya hingga “gemuk” (Fiechter, 1990). Sumber karbon yang dapat digunakan untuk pertumbuhannya adalah glukosa, fruktosa, D-glukonat, asetat, adipat, dan itakonat (John et al., 1994). Bakteri tersebut tumbuh menggunakan sumber nitrogen sebagai nutrisi esensialnya secara terbatas dan perlahan, sebagian besar sumber nitrogen digunakan untuk memproduksi kopolimer PHB-HV (Fiechter, 1990).

R. eutropha memiliki operon tunggal yang mengandung 3 jenis gen yang diperlukan untuk sintesa PHB, yaitu phbA, phbB, dan phbC. PhbA (yaitu ketothiolase) bergabung dengan 2 molekul asetil-KoA untuk menghasilkan asetoasetil-KoA yang kemudian direduksi menjadi R-β-hidroksibutiril-KoA oleh phbB (yaitu suatu reduktase asetosetil-CoA yang membutuhkan NADPH). Molekul R-β-hidroksibutiril-KoA membentuk unit monomer PHB, kemudian dipolimerisasi melalui ikatan ester oleh phbC (yaitu suatu PHB sintetase). Pada lingkungan yang kaya, PHB secara enzimatis didegradasi menjadi asetil-KoA yang masuk ke jalur primer metabolisme dan dimineralisasi menjadi karbondioksida. Degradasi dimulai oleh depolimerase yang dikode sebagai gen phbZ (Klem, 1999).

R. eutropha menghasilkan PHB pada kondisi terbatasnya nitrogen, oksigen, dan fosfor (Klem di dalam Robinson et al, 1999). Secara umum, suplai nutrien yang tidak seimbang, misalnya nitrogen atau oksigen, akan menurunkan kompleksitas dan menyalurkan rangkaian karbon ke satu arah


(30)

jalur, misalnya PHB. Babel dan Steinbuchel, (2001) menyatakan jika nitrogen (dalam bentuk ammonia) merupakan pembatas pertumbuhan maka potensi penggunaan asetil-KoA dan NAD(P)H menjadi terbatas. NAD(P)H yang dilepaskan tidak dapat dikonsumsi untuk sintesa reduktif, misalnya pada asam amino, sehingga dapat menghambat enzim sitrat sintetase (yaitu enzim yang mengkatalisis sumber karbon menjadi asetil-KoA). Hal ini menyebabkan terhambatnya siklus TCA sehingga asetil-KoA menjadi tersedia untuk β -ketothiolase dan dapat memasuki jalur sintesa PHB. Pembatasan oksigen menyebabkan peningkatan rasio NADH2/NAD intraseluler sehingga menghambat siklus TCA dan meningkatkan ketersediaan asetil-KoA intraseluler. Hal ini kemudian akan meningkatkan laju sintesa PHB (Atkinson dan Mavituna, 1991). Babel dan Steinbuchel, (2001) menyatakan bahwa fosfat juga merupakan faktor pembatas, bakteri tidak dapat menghasilkan ATP (dengan cara memfosforilasi ADP) sehingga 2/H/ tidak dapat mengalir dan terakumulasi sedangkan asetil-KoA menjadi tersedia. Kedua substrat tersebut kemudian diasimilasi dan dikumpulkan secara intraseluler sebagai PHB.

Ralstonia eutropha mampu mengakumulasi PHB selama fase stationer. Dalam keadaan ini NADH/NADPH yang diakumulasikan di dalam sel dapat mengakibatkan hambatan arus balik (feed back repression) terhadap enzim siklus asam tri karboksilat (TCA) yaitu sitran sintase yang mengkatalisis kondensasi asetil CoA dengan oksaloasetat, sehingga asetil CoA terakumulasi. Akumulasi asetil CoA menginduksi asetil CoA asetil transferase untuk memulai sintesis PHB (Page, 1989). Polimer PHB akan diuraikan kembali menjadi asetil CoA apabila mikroba membutuhkan cadangan karbon. Reaksi yang terjadi di dalam sel adalah reaksi dapat balik. Apabila PHB dibutuhkan maka polimer ini akan dengan cepat terurai dengan bantuan enzim depolimerase membantu membentuk asetil CoA yang selanjutnya akan digunakan sebagai sumber karbon pada siklus TCA.


(31)

C. HIDROLISAT PATI SAGU

Sagu merupakan tumbuhan monokotil dari keluarga Palmae, genus Metroxylon dari ordo Spadiciflorae dan pati sagu merupakan hasil ekstraksi pati dari batang empulur tanaman sagu. Di Indonesia tanaman utama penghasil pati sagu adalah Metroxylon yang tumbuh di lahan basah dan Arenga microcarpha (sagu baruk) yang tumbuh di lahan kering (Abner dan Miftahorrahman, 2002). Setiap batang sagu mengandung sekitar 200 kg sagu sehingga setiap hektar tanaman sagu mampu memproduksi 20-25 ton per hektar. Menurut Deputi Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Bidang Agroindustri dan Bioteknologi Wahono Sumaryono di dalam Humas (2006), kadar pati kering dalam sagu mampu mencapai 25 ton per hektar (ha) yakni jauh diatas kandungan pati beras yang hanya 6 ton per ha dan pati jagung yang hanya 5,5 ton. Berdasarkan data Perhimpunan Pendayagunaan Sagu Indonesia (PPSI), produksi sagu nasional saat ini (2006) mencapai 200.000 ton per tahun atau baru mencapai sekitar 5 persen dari potensi sagu nasional.

Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan α-glikosidik yang terdiri dari dua fraksi yaitu amilosa dan amilopektin. Amilosa mempunyai struktur rantai lurus dengan ikatan α-(1,4)-D-glukosa sedangkan amilopektin selain mempunyai rantai lurus juga mempunyai cabang dengan ikatan α -(1,6)-D-glukosa sebanyak 4-5% dari bobot total (Winarno, 1989).

Sirup glukosa (hidrolisat pati) adalah cairan jernih dan kental dengan komponen utama glukosa dan diperoleh dari proses hidrolisa pati dengan cara kimia atau enzimatik (Badan Standarisasi Nasional, 1992). Suspensi pati dalam aquades untuk hidrolisis pati sagu secara enzimatis adalah 30% (Akyuni, 2003). Menurut Hebeda dalam Nagodawithana dan Reed (1993), konsentrasi pati yang terlalu tinggi dapat menyebabkan proses gelatinisasi berlangsung tidak sempurna. Konsentrasi pati yang tinggi juga dapat mempersulit proses difusi enzim dalam substrat dan pengadukan.

Penepatan pH suspensi pati sebelum proses likuifikasi dilakukan berdasarkan kestabilan enzim α-amilase yang menurut Olsen dalam Kearsley dan Dziedzig (1995) memiliki kestabilan yang baik pada pH 6,5 dibandingkan


(32)

6,0. Namun pH yang tinggi akan menghasilkan produk sampingan berupa maltulosa dan hidrolisat pati sagu yang dihasilkan akan berwarna lebih gelap (coklat).

Konversi pati secara enzimatis terdiri dari dua tahap, yaitu likuifikasi dan sakarifikasi. Likuifikasi terjadi setelah gelatinisasi dengan adanya aktifitas enzim α-amilase yang memecah ikatan α-1,4 di bagian dalam rantai polisakarida secara acak menghasilkan glukosa, maltosa, maltodekstrin, dan α -limit dekstrin dalam waktu sekitar 60 menit. Sakarifikasi dengan enzim amiloglukosidase (AMG) akan mengubah maltodekstrin menjadi glukosa dan memakan waktu yang lebih lama yaitu 24-96 jam (Fullbrook di dalam Dzieldzic dan Kearsley, 1984).

Menurut Akyuni (2003) enzim α-amilase ini bekerja optimum pada suhu 90oC dan masih bekerja aktif sampai suhu 110oC. Waktu proses likuifikasi adalah selama 210 menit karena pada waktu tersebut mulai dihasilkan nilai gula pereduksi yang konstan. PH hasil proses likuifikasi ditepatkan menjadi 4-4,5 sebelum dilanjutkan ke proses sakarifikasi menggunakan enzim amiloglukosodase (AMG). Proses sakarifikasi dilakukan pada suhu 60oC selama 48 jam karena pada waktu tersebut nilai ekuivalen dekstrosa sudah mencapai nilai tertinggi.

D. PELARUT KLOROFORM

Penggunaan pelarut (solvent) pada saat proses pembuatan plastik dimaksudkan untuk melarutkan bahan polimer padat sehingga memudahkan pengolahan dalam proses selanjutnya. Pengklasifikasian jenis pelarut didasarkan pada tingkat penguapan, struktur kimia, dan kekuatan pelarut (Frados, 1959).

Poli-β-hidroksialkanoat (PHA) dapat larut pada berbagai pelarut seperti kloroform, metilen klorida, etilen klorida, piridin atau campuran diklorometan/etanol (Atkinson dan Mavituna, 1991). Van Wegen et al. (1998) menyatakan bahwa dengan metode pelarutan PHA seperti ekstraksi menggunakan kloroform dapat diperoleh kemurnian yang tinggi, namun


(33)

metode tersebut memerlukan sejumlah besar pelarut yang mudah menguap, bersifat toksik terhadap lingkungan dan meningkatkan total biaya produksi.

Kloroform (CHCl3) memiliki sifat tidak mudah terbakar, sangat mudah menguap, memiliki rasa yang manis dan bau yang khas. Kloroform dapat digunakan sebagai pelarut untuk lemak, minyak, karet, alkaloid, lilin, gutta percha, resin dan sebagai cleansing agent. Kloroform berbahaya bila dihirup pada dosis tinggi karena dapat menyebabkan hipotensi, gangguan pernafasan dan miokardial dan bahkan kematian (Merck, 1999).

Kloroform mendidih pada suhu 61,7oC. Kloroform larut dengan mudah pada etanol dan eter tetapi tidak dapat bercampur dengan air. Kloroform dihasilkan dengan mereaksikan klorin dengan etanol dan dengan mereduksi karbon tetraklorida (CCl4). Kloroform dahulu dimanfaatkan sebagai obat bius saat proses pembedahan namun saat ini sudah digantikan dengan bahan yang lebih tidak beracun, obat bius yang lebih aman yaitu eter. Secara kimia, kloroform digunakan sebagai pelarut lemak, alkaloid, iodin dan bahan lainnya. Ketika kloroform terbuka di udara dan terkena sinar matahari maka kloroform akan berubah menjadi gas yang beracun (Anonimb, 2006).

Tabel 1. Kelarutan PHB pada berbagai pelarut* (Bogensberger, 1985 di dalam Lafferty et al.,1988)

Kelarutan Tinggi Kloroform

Diklorometan

Di-, tri-, tetra-kloroetan Dikloroasetat

Etilenkarbonat Propilenkarbonat Trifluoroetanol Asetik anhidrid

1 N sodium hidroksida

Dimetilformamid Ethilaseto asetat Triolein

Asam asetik

Alkohol (> 3 atom C) Kelarutan Sedang Dioksan Oktanol Toluene Piridin Tidak Larut

H2O Metanol Etanol 1-propanol 2-propanol Sikloheksanol Karbontetraklorida Alkaline hidriklorit Dietilether Benzen Heksan Sikloheksanon Etil asetat Etilmetilketon Butil asetat Tributil sitrat


(34)

Menurut Lee (1996), 20 bagian pelarut digunakan untuk melarutkan 1 bagian polimer karena kekentalan larutan PHA tinggi sehingga diperlukan jumlah pelarut yang besar. Pengaruh kelarutan pada PHB dapat diamati secara efektif pada lapisan endapan yang terbentuk dari gel hasil pelarutan dengan temperatur yang semakin menurun. Suhu ekstraksi yang tinggi memungkinkan terdegradasinya molekul PHB tersebut. Penelitian degradasi akibat panas telah dilakukan (Grassie et al. di dalam Rehm dan Reid, 1984), yaitu pada suhu lebih dari 338oC dan kondisi vakum, PHB akan mengalami degradasi menjadi dimer, trimer, tetramer, iso-clotonic acid dan clotonic acid.

E. PEMLASTIS DIETILEN GLIKOL

Cuq et al. (1997) mendefinisikan pemlastis sebagai molekul kecil yang tidak mudah menguap serupa dengan polimer pembentuk film. Penambahan pemlastis pada saat proses pembuatan lembaran plastik dimaksudkan untuk memperbaiki sifat plastik. Penambahan pemlastis pada bahan polimer mengakibatkan terjadinya modifikasi pada susunan tiga dimensi molekul, menurunkan gaya tarik intramolekul, meningkatkan mobilitas rantai dan menurunkan Tg (glass transition temperature) bahan amorf. Ditambahkan oleh Cowd (1991), bahwa penurunan Tg tersebut dikarenakan pengurangan gaya antar-rantai sehingga gerakan bagian rantai lebih mudah.

Perbedaan utama antara pemlastis dengan pelarut adalah kemampuan penguapan kedua bahan tersebut. Pelarut lebih mudah menguap sedangkan pemlastis tidak mudah menguap. Persyaratan ideal yang harus dimiliki suatu pemlastis meliputi kecocokan (compatibilitas), permanen atau tidaknya pemlastis tersebut berada dalam polimer, dan efisiensi penggunaannya. Pemlastis umumnya memiliki sifat-sifat tidak berbau, tidak berasa, tidak beracun dan tidak mudah terbakar (Beeler dan Finney di dalam Modern Plastics Encyclopedia, 1958).

Menurut Frados (1959) terdapat beberapa metode penambahan pemlastis pada resin, yaitu pencampuran kering (dry blending), pencampuran dengan panas (hot mixing), metode plastisol dan organosol, serta metode


(35)

pencampuran tanpa pemanasan. Pada penelitian ini, metoda penambahan pemlastis dilakukan dengan cara hot mixing.

Dietilen glikol (HO-CH2-CH2-O-CH2-CH2-OH) merupakan senyawa yang tidak berwarna, hampir tidak berbau, dan higroskopis dengan titik didih 244-245oC. Dietilen glikol dapat bercampur dengan air, alkohol, eter, aseton, etilen glikol dan tidak dapat bercampur dengan karbon tetraklorida, benzene dan toluen (Merck, 1999). Struktur molekul dietilen glikol dapat dilihat pada Gambar 2.

Menurut Bandrup et al. (1999), kelarutan pemlastis dalam polimer diperkirakan dari perbandingan nilai δ polimer dan δ yang ditambahkan. Nilai

δ merupakan nilai yang menunjukkan kuat tarik antar molekul suatu bahan. Perbedaan parameter kelarutan yang kecil (δ polimer – δ pemlastis/pelarut) menunjukkan kelarutan yang baik.

OH CH2 CH2 OH

CH2 O CH2

Gambar 2. Struktur Molekul Dietilen Glikol (Merck, 1999).

F. PROSES KULTIVASI PHA

Dua macam media yang secara umum digunakan pada bioreaktor adalah media buatan yang mengandung sumber karbon seperti glukosa, fruktosa dan karbohidrat lainnya, serta CO2.(NH4)2SO4 atau amonia sebagai sumber nitrogen. Beberapa komposisi lain seperti phospor, magnesium, kalsium juga dibutuhkan oleh mikroorganisme (Anonim, 1999). Media propagasi dan fermentasi mengandung berbagai komposisi yang dibutuhkan untuk pertumbuhan R. eutropha, salah satunya adalah hidrolisat pati sagu yang merupakan sumber karbon (C) bagi R. eutropha. Kebutuhan hidrolisat pati sagu pada media adalah 30 gram per liter (Atifah, 2006).

Rasio C:N dalam biosintesis PHB sangat berpengaruh. Rasio C:N yang tinggi akan meningkatkan sintesis PHB di dalam sel (Lafferty et al. di dalam


(36)

Rehm dan Reid, 1988). Menurut Suryani et al. (2001) perbandingan sumber karbon (C) dan sumber nitrogen (N) 10 : 1 mampu menghasilkan rendemen PHA oleh R. eutropha yang tertinggi. Chakroborty et al. (2004) juga melaporkan bahwa pada rasio C : N adalah 10 : 1, R. eutropha menunjukkan laju pertumbuhan spesifik dan pertumbuhan sel yang optimum bila dibandingkan dengan rasio 5 : 1 atau 15 : 1.

Pada bioreaktor, mikroorganisme tumbuh pada kondisi yang terkendali. Sistem biologis sangat sensitif terhadap perubahan kondisi lingkungan, suhu, pH, konsentrasi oksigen terlarut pada proses aerob dan parameter-parameter lain yang harus dikontrol secara hati-hati dan tepat (Anonim, 1999).

Menurut Anonim (1999), proses produksi PHA baik secara batch, semi-batch maupun continue diketahui mampu bekerja memproduksi PHA. Namun menurut Atifah (2006), perlakuan pengumpanan pada fermentasi fed-batch berpengaruh signifikan terhadap peningkatan konsentrasi PHA dan rendemen PHA dalam sel, tetapi tidak berpengaruh terhadap peningkatan konsentrasi sel dibandingkan dengan fermentasi secara batch. Menurut Atifah (2006), bahan yang diumpankan pada proses kultivasi adalah hidrolisat pati sagu karena pengumpanan dengan hidrolisat pati sagu pada awal fase stationer merupakan perlakuan terbaik untuk menghasilkan konsentrasi sel dan konsentrasi PHA tertinggi.

Disampaikan juga oleh Atifah (2006) bahwa pertumbuhan R. eutropha pada hidrolisat pati sagu mengalami fase pertumbuhan secara logaritmik sampai jam ke-24 kemudian melambat dan memasuki fase stationer mulai jam ke-48. Pada jam ke-48 dilakukan pengumpanan hidrolisat pati sagu karena diperkirakan bahwa sumber karbon yang terdapat di dalam cairan kultivasi mulai habis sedangkan kondisi bakteri untuk dapat memproduksi PHA adalah pada keadaan sumber karbon yang tersedia berlebih sedangkan sumber lain seperti nitrogen sangat terbatas.

Proses pengumpanan dilakukan untuk menjaga konsentrasi sumber karbon tetap berada pada rentang yang optimal bagi akumulasi PHA (Lee dan Choi dalam Babel dan Steinbuchel, 2001). Menurut Atifah (2006), secara


(37)

umum sumber karbon yang diumpankan pada awal fase stasioner tidak banyak digunakan untuk memperbanyak sel. Substrat dikonsumsi tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan karbon, energi dan komponen struktural untuk pertumbuhan sel, namun juga digunakan untuk pemeliharaan viabilitas sel seperti mekanisme perbaikan sel, proses transpor substrat, pemeliharaan membran, dan pembentukan produk PHA. Dengan perlakuan pengumpanan, sel mengalami fase stasioner yang panjang. Sampai akhir fermentasi, sel belum masuk pada fase penurunan yaitu laju kematian lebih besar dibandingkan laju pertumbuhan. Sel cenderung survive dengan adanya PHA di dalam sel yang berfungsi sebagai cadangan karbon/energi.

Menurut Zahra (2003), terjadi kecenderungan penurunan pH selama kultivasi R. eutropha akibat terjadinya pembentukan asam sebagai hasil metabolisme R. eutropha. Mekanisme penurunan pH akibat penambahan amoniak (Wang et al., 1978) yaitu amoniak yang dalam keadaan terdisosiasi (NH4+) akan mengalami penggabungan dengan mikroorganisme membentuk R-NH3 dan selanjutnya melepaskan ion H+ ke dalam kultur. PH optimum untuk pertumbuhan bakteri umumnya adalah 6,5-7,5 sehingga jika pH dibawah 5,0 atau diatas 8,5 akan menyebabkan pertumbuhan bakteri menjadi tidak baik (Fardiaz, 1987).

Kim et al. (1994) menyatakan bahwa biomassa yang dihasilkan dari kultivasi R. eutropha yang dihasilkannya adalah 164 g/l dan PHB yang dihasilkan 121 g/l atau produktivitas polimer mencapai 2,42 g/l/jam. Nilai ini merupakan nilai yang paling tinggi yang pernah dilaporkan untuk produksi PHA dengan cara fermentasi. Sugiarti (2003) telah menghasilkan total biomassa sebesar 4,45 g/l sedangkan Ayorinde et al. (1998) hanya menghasilkan biomassa sebesar 0,15-0,28 g/l. Menurut Lafferty et al. dalam Rehm dan Reed (1988), akumulasi PHA dapat ditingkatkan dengan membuat kondisi pertumbuhan yang tidak seimbang misalnya ketika nutrisi seperti nitrogen phospor atau sulfat dibatasi, ketika konsentrasi oksigen rendah atau ketika perbandingan C:N pada substrat yang diumpankan tinggi.


(38)

G. PROSES HILIR PHA

Menurut Doi (1990) dan Lee (1996), ada beberapa metode yang telah banyak digunakan untuk memperoleh PHA. Metode itu antara lain ekstraksi pelarut, proses digest dengan sodium hipoklorit dan proses digest secara enzimatis. Menurut Lafferty et al. dalam Rehm dan Reed (1988), proses pemisahan biomassa yang mengandung PHA biasa dilakukan dengan cara sentrifugasi atau flokulasi dan sentrifugasi, kemudian tahap selanjutnya adalah pemisahan PHB/PHAs dari biomassa.

Metoda ekstraksi pelarut dapat diaplikasikan pada berbagai mikroorganisme penghasil PHA, walaupun jumlah pelarut yang dibutuhkan besar karena larutan PHA memiliki kekentalan yang sangat tinggi (Randall et al, 2001). Menurut Lee (1996), PHA dapat larut kedalam pelarut seperti kloroform, metil klorida atau 1,2-dikloroetana. Ketiga pelarut ini dapat digunakan untuk mengekstrak PHA dari biomassa bakteri. PHA memiliki kelarutan yang tinggi dalam kloroform (Laffarty et al. dalam Rehm dan Reed, 1988). Doi (1990) menjelaskan metoda ekstraksi dengan kloroform. PHA di ekstrak dengan kloroform panas dalam sebuah soxhlet apparatus selama 1 jam. Kemudian, PHA yang telah diekstrak dipisahkan dari lemak dengan menggunakan dietil eter, heksan, methanol atau etanol. Tahap terakhir, PHA dilarutkan kembali ke dalam kloroform dan kemudian dimurnikan dengan heksan. Lain halnya dengan Randall et al. (2001) yang melakukan ekstraksi PHA dengan cara menambahkan 50 ml kloroform kedalam biomassa kering dan diaduk dengan menggunakan stirer pada suhu 50oC selama 24 jam. Senior et al. (1982) menyatakan bahwa sel kering diekstraksi dengan pelarut pada suhu diatas 40oC dan bobot pelarut saat proses ekstraksi adalah 10-100 kali dari bobot kering sel.

Metoda digest menggunakan hipoklorit mampu memisahkan sebagian besar materi sel non-PHA selama proses. Hal ini mengakibatkan terpisahnya PHA dari sel. Namun konsentrasi hipoklorit yang tinggi mampu mendegradasi PHA. Proses degradasi PHA oleh hipoklorit akan meningkat seiring dengan meningkatnya konsentasi hipoklorit yang digunakan (Hahn et al. 1994).


(39)

H. PEMBUATAN LEMBARAN BIOPLASTIK

Menurut Ramsay et al. (1993), terdapat dua macam cara pembuatan film PHB. Solvent-cast film dibuat dengan cara menuangkan larutan kloroform-PHB 5% (b/v) pada sebuah plat kaca atau teflon. Pelarut kemudian dievaporasi dan film yang terbentuk dibiarkan selama dua minggu pada suhu ruang untuk mencapai keseimbangan kristalinitas. Lafferty et al. di dalam Rehm dan Reid, (1998) menjelaskan bahwa derajat kristalisasi PHB sangat dipengaruhi oleh penyiapan bahan PHB tersebut. Jika lelehan sampel PHB (dipanaskan sampai 160oC) didinginkan secara lambat (24 jam) sampai suhunya mencapai suhu ruang, kristalinitas PHB yang terbentuk dapat mencapai 86%. Sampel amorf PHB dapat diperoleh dengan cara melakukan pendinginan lelehan PHB secara cepat ke suhu ruang. Heat-pressed film dibuat dengan cara menuangkan larutan 25% PHB (b/v) pada plat kaca, lalu dikeringkan semalam pada suhu ruang dan kemudian ditempatkan diantara dua lembar lempeng cetakan yang dibungkus aluminium foil. PHB dalam cetakan lalu di-press pada suhu 155-160oC pada tekanan 5000 lb/in2 selama satu menit.

Menurut Latief (2001), kemampuan suatu bahan dasar dalam pembentukan film dapat diterangkan melalui fenomena fase transisi kaca. Pada fase tertentu diantara fasa cair dengan padat, massa dapat dicetak atau dibentuk menjadi suatu bentuk tertentu pada suhu dan kondisi lingkungan yang tertentu. Fase transisi kaca biasanya terjadi pada bahan berupa polimer. Suhu saat fase transisi kaca terjadi disebut sebagai titik fase kaca (glassy point). Pada suhu tersebut bahan padat dapat dicetak menjadi suatu bentuk yang dikehendaki, misalnya bentuk lembaran tipis (film) kemasan.

Spink dan Waychoff di dalam Modern Plastic Encyclopedia (1958) menjelaskan teori mengenai reaksi yang terjadi antara pemlastis dan suatu polimer. Pemlastis yang ditambahkan pada suatu bahan polimer resin akan tersisip secara fisika di antara rantai-rantai polimer tersebut. Penambahan pemlastis dapat mengakibatkan terbentuknya ‘ikatan yang hilang’. Ikatan baru yang terbentuk biasanya ikatan jembatan hidrogen antara polimer resin dan pemlastis tersebut (Spink dan Waychoff di dalam Modern Plastic


(40)

Encyclopedia, 1958). Ikatan hidrogen merupakan sejenis interaksi elektrostatis diantara molekul yang hidrogennya terikat pada atom elektronegatif (F, N, O). Ikatan tersebut terjadi akibat adanya gaya tarik-menarik elektron dari atom elektronegatif. Kekuatan ikatan hidrogen kira-kira sepersepuluh ikatan kovalen normal. Meskipun demikian, ikatan hidrogen mempengaruhi sifat fisik (Sukardjo, 1985).

I. KARAKTERISTIK BIOPLASTIK

Keberhasilan suatu proses pembuatan film kemasan plastik biodegradabel dapat dilihat dari karakteristik film yang dihasilkan. Karakteristik film yang dapat diuji adalah karakteristik mekanik, permeabilitas dan nilai biodegradabilitasnya (Latief, 2001).

Kuat tarik adalah tegangan regangan maksimum yang dapat diterima sampel (Surdia dan Saito, 1995). Kuat tarik dapat dipengaruhi oleh bahan pemlastis yang ditambahkan dalam proses pembuatan film, sedangkan perpanjangan putus adalah perubahan panjang maksimum yang dialami plastik pada saat pengujian kuat tarik (Datsko, 1996).

Elastisitas akan menurun seiring dengan meningkatnya jumlah bahan pemlastis dalam film. Elastisitas adalah sifat benda yang mengalami perubahan bentuk atau deformasi secara tidak permanen (Dede, 2006). Benda dapat dikatakan elastis sempurna artinya jika gaya penyebab perubahan bentuk hilang maka benda akan kembali ke bentuk semula. Banyak benda yang bersifat elastis sempurna yaitu mempunyai batas-batas deformasi yang disebut limit elastis sehingga jika melebihi dari limit elastik maka benda tidak akan kembali ke bentuk semula. Sifat yang lain adalah sifat plastis atau sifat tidak elastis dan perubahan cenderung tidak kembali ke bentuk semula, misalnya lilin. Perbedaan antara sifat elastis dan plastis adalah pada tingkatan dalam besar atau kecilnya deformasi yang terjadi (Dede, 2006).

Permeabilitas suatu film kemasan adalah kemampuan film melewatkan partikel gas dan uap air pada suatu unit luasan bahan pada suatu kondisi


(41)

tertentu. Nilai permeabilitas sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor sifat kimia polimer, struktur dasar polimer, dan sifat komponen permeant (Latief, 2001).

Titik leleh (Tm) adalah suhu pada saat rantai polimer berada dalam daerah berkristal polimer terpisah, sehingga memungkinkan polimer untuk mengalir (meleleh). Penentuan titik leleh dilakukan dengan menggunakan DSC (Differential Scanning Calorymetry) (Cowd, 1991). Pada DSC terdapat dua wadah kecil berbahan logam, satu diisikan sampel polimer dan yang lainnya dengan bahan kontrol. Masing-masing wadah berisi sampel dan bahan kontrol dipanaskan dan suhu tiap wadah dimonitor oleh sensor panas. Jika sampel secara tiba-tiba menyerap panas selama proses transisi, perubahan akan dideteksi oleh sensor. Perubahan ini akan menyebabkan mulai dialirkannya arus panas yang lebih besar untuk mengganti kehilangan panas yang terjadi. Jika perubahan ini dimonitor secara teliti, maka akan menghasilkan ukuran suhu transisi (Allcock dan Lampe, 1981).

Aplikasi spektroskopi infra merah sangat luas baik untuk analisis kualitatif maupun kuantitatif. Kegunaan yang paling penting adalah untuk identifikasi senyawa organik karena spektrumnya sangat kompleks terdiri dari banyak puncak-puncak. Spektrum infra merah dari senyawa organik mempunyai sifat fisik yang khas, artinya kemungkinan dua senyawa mempunyai spektrum sama adalah kecil sekali (Nur, 1989).

FTIR (Fourier Transform Infra Red Spectroscopy) digunakan untuk menganalisis gugus-gugus fungsi penyusun bioplastik. Dengan spektrum infra merah tersebut akan dapat diketahui beberapa sifat dari suatu senyawa. Menurut Nur (1989), teori spektoskopi absorpsi infra merah yakni senyawa organik menyerap radiasi elektromagnetik pada daerah inframerah. Radiasi inframerah tidak mempunyai energi yang cukup untuk mengeksitasi elektron tapi dapat menyebabkan senyawa organik mengalami rotasi dan vibrasi. Radiasi inframerah dengan frekuensi kurang dari 100 cm-1 atau dengan panjang gelombang lebih dari 100 µm diserap oleh molekul organik dan dikonversi ke dalam energi rotasi molekul. Bila radiasi inframerah dengan frekuensi dalam kisaran 10000 sampai 100 cm-1 atau dengan panjang


(42)

gelombang 1-100 µm diserap oleh molekul organik dan dikonversi ke dalam energi vibrasi molekul.

Semua molekul terdiri dari atom yang dihubungkan melalui ikatan kimia. Atom-atom di dalam suatu molekul tidak diam melainkan bervibrasi (bergetar) dengan frekuensi tertentu. Pergerakan internal pada sistem meningkat jika ada energi (infra merah) melewatinya. Infra merah yang dipancarkan pada suatu bahan akan mengakibatkan molekul-molekul bahan menyerap energi pada bagian ikatannya sehingga sinar yang berhasil melewati bagian tersebut akan berkurang intensitasnya. Persentase intensitas infra merah yang diserap diplotkan dengan frekuensi sehingga diperoleh spektrum infra merah (Kemp, 1979). Ditambahkan oleh Nur (1989), bahwa detektor pada spektrofotometer infra merah merupakan alat yang dapat mengukur atau mendeteksi energi radiasi akibat pengaruh panas. Signal yang dihasilkan dari detektor kemudian direkam sebagai spektrum infra merah yang berbentuk puncak-puncak absorpsi. Spektrum infra merah ini menunjukkan hubungan antara absorbsi dan frekuensi atau bilangan gelombang atau panjang gelombang. Sebagai absis adalah frekuensi (cm-1) atau bilangan gelombang (cm-1) atau panjang gelombang (µm) dan sebagai ordinat adalah transmitant atau absorbans.

Pengukuran derajat kristalinitas dilakukan dengan pendekatan hasil uji DSC berdasarkan perubahan entalpi yang terjadi saat tercapai suhu pelelehan. Menurut Hahn et al. (1995), PHA dengan derajat kristalinitas 100% akan mempunyai perubahan entalphi sebesar 146 J/g. Menurut Knapczyk dan Simon di dalam Kent (1996), struktur molekul yang susunan keteraturannya tinggi disebut kristalin. Daerah kristalin disebut kristalit yang berada pada daerah matriks polimer. Struktur molekul yang susunannya tidak teratur disebut amorf. Secara umum termoplastik yang kristalinnya tinggi, lebih resistan terhadap pelarut dan meleleh lebih tajam pada suhu tinggi daripada polimer amorf atau polimer yang kristalinnya rendah. Disisi lain, polimer dengan kristalin tinggi mempunyai kekakuan yang tinggi, lebih banyak yang rapuh atau ketahanan guncang yang rendah daripada polimer amorf.


(43)

Menurut Anonimc (2006), massa jenis (densitas) adalah pengukuran massa setiap satuan volume benda. Semakin tinggi massa jenis suatu benda, maka semakin besar pula massa setiap volumenya. Satuan SI massa jenis adalah kg/m3, sedangkan satuan lainnya adalah g/cm3. Rumus untuk menentukan massa jenis adalah:

Keterangan: ρ adalah massa jenis,

m adalah massa,


(44)

III.BAHAN DAN METODE

A. BAHAN DAN ALAT

1. Bahan

Bahan baku yang digunakan untuk pembuatan lembaran bioplastik adalah poli-β-hidroksialkanoat terutama poli-β-hidroksibutirat (PHB) yang merupakan hasil kultivasi aerob bakteri Ralstonia eutropha dengan substrat hidrolisat pati sagu. Proses kultivasi tersebut menggunakan strain bakteri Ralstonia eutropha IAM 12368 yang diperoleh dari IAM Culture Collection, Institute of Molecular and Celular Bioscience, The University of Tokyo. Sumber karbon yang digunakan dalam substrat kultivasi adalah hidrolisat pati sagu (Metroxylon sp) yang dipersiapkan melalui hidrolisis enzimatis pati sagu dengan enzim α-amilase dan amiloglukosidase.

Bahan-bahan untuk kultivasi bakteri dan isolasi PHA adalah nutrient broth, hidrolisat pati sagu, (NH4)2HPO4, K2HPO4, KH2PO4, MgSO4 0,1 M, larutan mikro elemen (FeSO4.7H2O, MnCl2.4H2O, CoSO4.7H20, CaCl2.7H2O, CuCl2.2H2O, ZnSO4.7H2O), NaOH 0,2 M dan 4 M, H3PO4 1,33 M, antifoam, NaOCl dan methanol untuk proses hilir PHA serta kloroform yang berguna dalam pemurnian PHA. Pembuatan lembaran bioplastik dilakukan dengan menggunakan pelarut kloroform untuk melarutkan PHA dan dietilen glikol sebagai pemlastis.

2. Alat

Alat-alat yang digunakan untuk kultivasi PHA dan pembuatan lembaran bioplastik adalah bioreaktor dengan volume kerja 10 liter, sentrifuse, clean bench, hot plate, pendingin tegak, penyaring vakum, oven, waterbath shaker, termometer, neraca analitik, rotary shaking inkubator, autoklaf, pH meter, freezer, desikator, pipet mikro dan alat-alat gelas. Cetakan kaca digunakan pada saat pembuatan lembaran bioplastik.


(45)

Peralatan yang digunakan untuk karakterisasi lembaran bioplastik adalah FTIR (Fourier Transform Infra-Red Spectrofotometer) untuk mengetahui gugus fungsi PHA dan lembaran bioplastik, DSC (Differential Scanning Calorimetry) untuk mengetahui Tm (melting point) dan derajat kristalinitas PHA maupun lembaran bioplastik, dan Universal Testing Machine (UTM) untuk mengetahui kuat tarik dan perpanjangan putus lembaran bioplastik.

B. TAHAPAN PENELITIAN

1. Persiapan Bahan Baku Bioplastik

Persiapan bahan baku bioplastik terdiri dari tiga tahap, yaitu persiapan substrat, kultivasi Ralstonia eutropha, dan proses hilir PHA.

a. Persiapan Substrat

Tahap persiapan substrat meliputi proses pembuatan hidrolisat pati sagu secara enzimatis serta persiapan kultur dan media fermentasi. Proses pembuatan hidrolisat pati sagu dilakukan berdasarkan penelitian dari Akyuni (2003) yang dimodifikasi dari Maiden (1970), Fullbrook (1984) dan Subarna (1984). Proses pembuatan tersebut dilakukan secara enzimatis yang terdiri dari dua tahap yaitu likuifikasi dan sakarifikasi. Proses likuifikasi menggunakan enzim α-amilase dan dilakukan pada suhu 90-95oC sedangkan proses sakarifikasi menggunakan enzim amiliglikosidase. Diagram proses pembuatan hidrolisat pati sagu dapat dilihat pada Lampiran 1.

Media propagasi dan fermentasi mengandung berbagai komposisi yang dibutuhkan untuk pertumbuhan R. eutropha, salah satunya adalah hidrolisat pati sagu yang merupakan sumber karbon (C) bagi R. eutropha. Kebutuhan hidrolisat pati sagu pada media adalah 30 gram per liter (Atifah, 2006) atau sekitar 9,608 ml untuk media propagasi II setelah dikonversi dengan perhitungan yang dapat dilihat pada Lampiran 7.


(46)

Pemeliharaan kultur R. eutropha dilakukan dengan cara menyimpan kultur dalam bentuk kering-beku, selain itu juga dipelihara dalam media cair nutrient broth pada suhu 4oC dan disegarkan setiap 2 minggu dengan kondisi inkubasi 34oC selama 24 jam untuk pertumbuhan R. eutropha. Persiapan kultur dilakukan dengan menumbuhkan R. eutropha sebanyak 10% v/v ke dalam media propagasi I yang berupa nutrient broth (NB) steril (1 ml kultur kedalam 9 ml NB). Nutrient broth adalah media pertumbuhan yang baik bagi bakteri sehingga R. eutropha yang merupakan bakteri gram negatif (Fardiaz, 1992) diharapkan dapat tumbuh dengan baik pula pada media NB. Setelah propagasi I, kultur NB dikocok dalam waterbath shaker dengan kondisi suhu 34oC dan agitasi 150 rpm selama 24 jam. Kondisi ini berdasarkan penelitian yang dilakukan Atifah (2006).

Media fermentasi yang digunakan merupakan media E (Ayorinde et al., 1998) yang dimodifikasi sehingga rasio C/N adalah 10 : 1 (Wicaksono, 2003), konsentrasi awal fosfat (K2HPO4) 5,8 g/l (Atifah, 2006) dengan hidrolisat pati sagu sebagai sumber karbon, (NH4)2HPO4 sebagai sumber nitrogen serta (NH4)2HPO4 dan KH2PO4 sebagai sumber fosfat. Sumber nitrogen (N) yang digunakan pada kultivasi RE adalah (NH4)2HPO4. Perhitungan jumlah (NH4)2HPO4 yang dibutuhkan dapat dilihat pada lampiran 7.

Komposisi media propagasi dan media fermentasi (Atifah, 2006) dapat dilihat pada Tabel 2 berikut:

Media

Bahan Propagasi II

(90 ml)

Propagasi III (900 ml)

Fermentasi (9000 ml)

Sirup 9,608 ml 96,085 ml 960,854 ml

(NH4)2HPO4 0.566 gr 5.658 gr 56.577 gr

K2HPO4 0.522 gr 5.22 gr 52.2 gr

KH2PO4 0.342 gr 3.42 gr 34.2 gr

MgSO4 0.1 M 0.9 ml 9.0 ml 90 ml


(47)

Larutan mikroelemen (dalam g/l HCl 1 N) terdiri dari 2,78 g FeSO4.7H2O, 1,98 g MnCl2.4H2O, 2,81 g CoSO4.7H20, 1,67 g CaCl2.2H2O, 0,17 g CuCl2.2H2O, dan 0,29 g ZnSO4.7H2O. Hidrolisat pati sagu ditepatkan pH-nya menjadi ±7 dengan NaOH 4 M sedangkan media E modifikasi diset pH-nya menjadi ±7 dengan H3PO4 1,33 M. Komposisi media fermentasi dapat dilihat pada Tabel 2. Pelarutan masing-masing garam dalam aquades secara terpisah akan lebih mudah terjadi bila dibandingkan dengan melarutkan seluruh garam secara bersama-sama. Semua bahan untuk media fermentasi kecuali gula kemudian dicampurkan secara merata. Penepatan volume media dilakukan dengan penambahan aquades. PH campuran garam dan gula kemudian ditepatkan menjadi 7 dengan menggunakan NaOH 4 M dan H3PO4 1,33 M. Hidrolisat pati sagu dan media E modifikasi kemudian disterilisasi pada wadah terpisah dengan suhu 121oC selama 15 menit untuk menghindari reaksi pencoklatan. Selanjutnya media didinginkan (30oC) dan siap digunakan sebagai media propagasi maupun media fermentasi.

b. Produksi PHA secara Fed Batch

Produksi PHA dengan cara kultivasi secara fed batch dengan R. eutropha dilakukan pada bioreaktor skala 15 liter, volume kerja 10 liter (Gambar 3). Kultivasi dilakukan pada suhu 34oC, agitasi 150 rpm, pH 7 dan aerasi 0,2 vvm. Proses kultivasi dilakukan selama 96 jam dengan pengumpanan pada jam ke-48. Umpan berupa hidrolisat pati sagu yang setara dengan 20 gram gula per liter kultur atau sekitar 640,57 ml dengan kecepatan pengumpanan konstan 16,6 ml/menit. Diagram alir kultivasi PHA dapat dilihat pada Lampiran 2.


(48)

Gambar 3. Bioreaktor kapasitas 15 liter

c. Proses hilir PHA (modifikasi Van Wegen et al., 1998, Williamson, D. H. dan J. F. Wilkinson, 1958 di dalam Lafferty et al.,1988).

Proses hilir PHA diawali dengan proses ektraksi menggunakan NaOCl dan dilanjutkan dengan proses pemurnian dengan cara ekstraksi pelarut. Proses ekstraksi menggunakan NaOCl dilakukan melalui sentrifugasi lima tahap dengan kecepatan 13000 rpm. Waktu sentrifugasi pada masing-masing tahap adalah sepuluh menit. Sentrifugasi tahap pertama bertujuan untuk memisahkan biomassa dengan fase cair. Endapan yang diperoleh pada sentrifugasi pertama dicuci dengan aquades. Sentrifugasi tahap kedua dilakukan untuk mengambil biomassa sel yang telah dicuci. Biomassa yang telah dicuci kemudian ditambah NaOCl 0,2% dan kemudian dilakukan proses digest selama satu jam untuk mengeluarkan PHA dari biomassa sel. Proses sentrifugasi ketiga dilakukan untuk memisahkan hasil digest dengan fase cairnya (NaOCl). Presipitat dari hasil sentrifugasi ketiga dibilas dengan aquades, kemudian dilakukan sentrifugasi tahap keempat. Presipitat dari hasil sentrifugasi keempat diambil dan ditambahkan dengan methanol, kemudian dilakukan sentrifugasi kelima. Hasil sentrifugasi kelima berupa presipitat dipindahkan ke


(49)

cawan petri dan dioven pada suhu 50oC selama 24 jam sehingga diperoleh PHA kering.

PHA kering yang telah dihasilkan kemudian direfluks dengan menggunakan kloroform sebagai pelarut. Proses refluks dilakukan dengan cara melarutkan PHA dalam kloroform. Perbandingan PHA : kloroform adalah 1 : 50 (b/v) dan proses refluks dilakukan dengan pengadukan selama 24 jam pada suhu ± 50oC. Pada akhir proses refluks, larutan disaring dengan sistem penyaringan vakum menggunakan kertas saring whatman 42. Filtrat hasil penyaringan diuapkan pada suhu ruang sehingga diperoleh PHA yang siap digunakan untuk membuat lembaran bioplastik. Diagram alir proses hilir dapat dilihat pada Lampiran 3.

2. Pembuatan Lembaran Bioplastik

Proses pembuatan lembaran bioplastik dilakukan dengan cara pencampuran (blending) antara PHA-pelarut kloroform-pemlastis dietilen glikol. Pencampuran dilakukan dengan menggunakan stirer diatas hot plate yang memberikan pemanasan (50oC) selama pengadukan dan pendingin tegak pada bagian penutup wadah untuk menghindari proses penguapan pelarut dengan adanya proses kondensasi pada pendingin tegak.

Pencampuran dilakukan dengan melarutkan 0,260 g PHA ke dalam pelarut kloroform. Perbandingan antara PHA dengan pelarut kloroform-pemlastis adalah 1 : 35. Konsentrasi pelarut kloroform dan kloroform-pemlastis dietilen glikol yang digunakan tergantung dari persentase pemlastis yang ingin diuji.

Pembuatan lembaran bioplastik dilakukan dengan penambahan pemlastis DEG pada berbagai konsentrasi. Konsentrasi yang digunakan adalah 0% sebagai kontrol (PHA), 10%, 20%, 30% dan 40% (b/b) dari bobot campuran PHA-DEG. Tahap pertama yang dilakukan yaitu melarutkan PHA ke dalam kloroform (50oC) selama satu jam. Campuran


(50)

PHA yang telah larut sempurna kemudian ditambahkan dengan pemlastis DEG sesuai dengan konsentrasi yang telah direncanakan pada penelitian ini selama 0,5 jam pada suhu 50oC hingga homogen.

Larutan homogen yang diperoleh kemudian dicetak pada cetakan kaca dan diuapkan pada suhu ruang. Setelah seluruh pelarut kloroform menguap, lembaran bioplastik yang terbentuk dikeluarkan dari cetakan dan siap untuk diuji karakteristiknya. Diagram alir proses pembuatan bioplastik dapat dilihat pada Lampiran 4.

3. Karakterisasi Lembaran Bioplastik

Karakterisasi lembaran bioplastik dilakukan dengan pengujian sifat mekanis, sifat termal, derajat kristalinitas, gugus fungsi dan densitas lembaran bioplastik. Pengujian sifat mekanis, pengukuran titik leleh dan derajat kristalinitas dilakukan di Sentra Teknologi Polimer (STP), Puspiptek-Serpong sedangkan pengukuran gugus fungsi dilakukan di Laboratorium Rekayasa Reaksi Kimia dan Konversi Gas Alam, Fakultas Teknik-Universitas Indonesia. Prosedur analisa karakteristik bioplastik dapat dilihat pada Lampiran 5.

C. ANALISA DATA

Analisa data yang digunakan adalah statistika deskriptif. Statistika deskriptif adalah metode-metode yang berkaitan dengan pengumpulan dan penyajian suatu gugus data sehingga memberikan informasi yang berguna (Walpole, 1995).


(51)

IV.HASIL DAN PEMBAHASAN

A. PERSIAPAN BAHAN BAKU BIOPLASTIK

1. Persiapan Substrat

Substrat yang digunakan pada kultivasi R. eutropha adalah hidrolisat pati sagu yang merupakan sumber karbon bagi R. eutropha dan diperoleh dengan cara menghidrolisis pati sagu secara enzimatis. Proses hidrolisis secara enzimatis terdiri dari dua tahap yaitu likuifikasi dan sakarifikasi. Likuifikasi dengan enzim α-amilase berfungsi untuk memecah ikatan α-(1,4) di bagian dalam rantai polisakarida secara acak menghasilkan glukosa, maltosa, maltodekstrin, dan α-limit dekstrin sedangkan sakarifikasi dengan enzim amiloglikosidase (AMG) mengubah maltodekstrin menjadi glukosa.

Hidrolisat pati sagu yang dihasilkan pada persiapan substrat ini berwarna coklat. Pemucatan dengan menggunakan arang aktif tidak dilakukan karena parameter penting hidrolisat pati sagu yang digunakan sebagai substrat kultivasi adalah nilai total gulanya. Selain itu, hidrolisat pati sagu yang dihasilkan ternyata masih banyak mengandung kotoran-kotoran seperti serat kasar sehingga dilakukan penyaringan dengan sistem vakum.

Hasil hidrolisis dari 270 g pati sagu adalah ± 900 ml hidrolisat pati sagu. Perhitungan nilai total gula dari hidrolisat pati sagu dilakukan dengan menggunakan metode fenol-sulfat. Nilai total gula yang diperoleh adalah 281 g/l. Prosedur analisa metode fenol-sulfat dapat dilihat pada Lampiran 6.

2. Produksi PHA secara Fed Batch

Proses kultivasi dilakukan secara fed-batch (semi-sinambung). Kultivasi sistem fed-batch mampu meningkatkan konsentrasi PHA dan


(52)

rendemen PHA di dalam sel sebesar lebih dari dua kali lipat apabila dibandingkan dengan kultivasi sistem curah. Bahan yang diumpankan pada proses kultivasi adalah hidrolisat pati sagu karena pengumpanan dengan hidrolisat pati sagu pada awal fase stationer menghasilkan konsentrasi sel dan konsentrasi PHA yang tinggi (Atifah, 2006).

Pada awal kultivasi, warna cairan kultivasi berwarna mendekati warna hidrolisat pati sagunya. Hal ini dikarenakan hidrolisat pati sagu yang dihasilkan pada saat hidrolisis pati sagu berwarna coklat karena tidak dilakukan pemucatan saat proses hidrolisis. Pada jam ke-24, cairan kultivasi mulai mengalami perubahan yakni warna yang semakin memucat dan tidak jernih serta viskositas cairan kultivasi meningkat. Hal ini menunjukkan adanya aktivitas pertumbuhan R. eutropha.

Aktivitas pertumbuhan R. Eutropha saat kultivasi juga dapat diketahui dengan penurunan pH cairan kultivasi. Hal ini disebabkan terjadinya pembentukan asam sebagai hasil samping dari proses metabolisme dan adanya penambahan amonia yang merupakan sumber nitrogen bagi bakteri. Namun kondisi pH optimum untuk pertumbuhan R. eutropha adalah 7,0 sehingga saat terjadi perubahan pH saat kultivasi, dilakukan penambahan NaOH 4 M atau H3PO4 1,33 M hingga pH 7,0 kembali tercapai.

3. Proses Hilir PHA

Proses hilir dilakukan setelah proses kultivasi selama 96 jam. Proses hilir bertujuan untuk memisahkan PHA dari komponen pengotor seperti asam nukleat, protein, lemak maupun sisa media yang masih ada. Proses hilir PHA diawali dengan proses ekstraksi melalui digest menggunakan NaOCl dan dilanjutkan dengan proses pemurnian melalui ekstraksi menggunakan kloroform.

Proses ekstraksi biomassa dari cairan kultivasi dilakukan dengan cara sentrifugasi lima tahap. Sentrifugasi tahap pertama bertujuan memisahkan biomassa sel dalam cairan kultivasi. Biomassa sel yang


(53)

diperoleh dicuci dengan menggunakan akuades. Pencucian ini dimaksudkan untuk memperoleh biomassa yang lebih bersih sehingga nantinya dapat meningkatkan kemurnian PHA yang dihasilkan. PHA merupakan produk intraseluler sehingga harus dikeluarkan dari biomassa sel dengan cara digest menggunakan NaOCl. Proses digest dilakukan dengan menambahkan larutan NaOCl ke dalam biomassa sel yang telah dicuci, kemudian larutan biomassa dalam NaOCl diaduk dengan menggunakan shaker. Selama proses digest, dinding sel dan komponen non-PHA akan terlarut dalam NaOCl sementara PHA tidak larut. PHA yang tidak larut tersebut dapat dipisahkan dari larutan NaOCl melalui sentrifugasi. Penambahan methanol pada PHA yang diperoleh akan melarutkan pengotor yang mungkin masih terkandung dalam PHA, seperti lemak dan pigmen yang berasal dari biomassa sel. Selain itu diketahui bahwa methanol tidak dapat melarutkan PHA sehingga pada proses penambahan methanol tidak berpeluang terjadi degradasi molekul PHA. Hal ini sesuai dengan yang disampaikan Senior et al. (1982) yang menyatakan bahwa methanol tidak dapat melarutkan PHA yang terdapat di dalam sel bakteri tetapi dapat melarutkan lemak dan pigmen yang terdapat di dalam sel. Cairan yang tidak dapat melarutkan PHB adalah aseton dan methanol. Pada akhir proses ekstraksi diperoleh PHA kering hasil pengovenan seperti yang terlihat pada Gambar 4. Rendemen dari proses ekstraksi dengan NaOCl sebesar 4,04 g/l cairan kultivasi.


(1)

Lampiran 7. Contoh Penghitungan Selama Proses Penelitian

1. Contoh penghitungan konsentrasi karbon dan nitrogen

Diketahui : Konsentrasi total gula stok hidrolisat sagu = 281 g/L Persentase C pada sirup sagu = 40% Persentase N pada (NH4)2HPO4 = 21,21%

Rasio C/N media yang diinginkan = 10:1

Pada basis media 9 liter {karena 1 liter (0,1 v/v) merupakan kultur}, untuk mencapai konsentrasi gula 30 g/l maka:

hidrolisat sagu yang dibutuhkan = (30 g/l) / (281 g/l) x 9000 ml = 960,854 ml

dimana [C] pada sirup sagu = 40% x 30 g/l = 12 g/l

Agar C/N 10:1 maka [N] = 1,2 g/l

Jadi, (NH4)2HPO4yang dibutuhkan = (100/21,21) x 1,2 g/l = 5,6577 g/l

2. Contoh penghitungan konsentrasi sirup glukosa untuk pengumpanan Diketahui : Konsentrasi total gula stok hidrolisat sagu = 281 g/l

Persentase C pada sirup sagu = 40%

Pada basis media 9 liter (karena 1 liter diambil sebagai sempling sebelum pengumpanan), untuk mencapai konsentrasi gula stok 20 g/l maka:

Gula stok yang dibutuhkan = (20 g/l) / (281 g/l) x 9000 ml = 640,5694 ml Jadi, jumlah gula stok yang diumpankan ke dalam bioreaktor adalah sebesar 640,57 ml

3. Contoh perhitungan lama waktu pengumpanan

Diketahui : Laju pengumpanan = 16,6 ml/menit (Atifah, 2006) Lama waktu pengumpanan = Jumlah gula stok yang diumpankan

Laju pengumpanan

= 640,57 ml : 16,6 ml/menit = 38,59 menit ~ 39 menit


(2)

4. Contoh perhitungan komposisi pembuatan bioplastik

Diketahui : Perbandingan PHA dan kloroform+DEG = 1 : 35

= 0,26 g : 9,1 g

Bobot PHA = 0,260 g Densitas DEG = 1120 g/l Densitas Kloroform = 1470 g/l

Konsentrasi DEG yang diinginkan = 10%, 20%, 30% dan 40% Untuk menghasilkan bioplastik dengan konsentrasi DEG 10%:

10% = DEG x 100% PHA + DEG

0,1 DEG + 0,026 = DEG sehingga diperoleh bobot DEG = 0,029 g Volume DEG yang ditambahkan saat proses = 0,029 g x 1000 /1120

= 0,026 ml

Bobot kloroform untuk melarutkan PHA = 9,1 g – 0,029 g = 9,071 g Volume kloroform yang digunakan = 9,071 g x 1000/1470


(3)

Lampiran 8. Hasil Pengujian Kuat Tarik dan Perpanjangan Putus

1. Hasil Pengujian pada Lembaran Bioplastik dengan Konsentrasi DEG 0%:

Kode Sampel Tebal (mm) Lebar (mm) Kuat Tarik (MPa) Perpanjangan Putus (%) Tegangan Maksimal (Kgf) BP0%DEG-A1 BP0%DEG-A2 BP0%DEG-A3 BP0%DEG-B4 BP0%DEG-B5 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 7,00 7,00 7,00 7,00 7,00 0,08 0,06 0,21 0,05 0,20 4,02 3,56 10,11 6,29 11,02 0,55 0,45 1,45 0,38 1,43

Rata-rata 1,00 7,00 0,12 7,00 0,85

2. Hasil Pengujian pada Lembaran Bioplastik dengan Konsentrasi DEG 10%:

Kode Sampel Tebal (mm) Lebar (mm) Kuat Tarik (MPa) Perpanjangan Putus (%) Tegangan Maksimal (Kgf) BP10%DEG-A1 BP10%DEG-A2 BP10%DEG-A3 BP10%DEG-B4 BP10%DEG-B5 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 6,78 6,78 6,78 8,90 9,01 0,04 0,09 0,20 0,08 0,12 3,89 5,15 7,58 6,27 9,42 0,30 0,58 1,33 0.73 1,10

Rata-rata 1,00 7,65 0,11 6,46 0,81

3. Hasil Pengujian pada Lembaran Bioplastik dengan Konsentrasi DEG 20%:

Kode Sampel Tebal (mm) Lebar (mm) Kuat Tarik (MPa) Perpanjangan Putus (%) Tegangan Maksimal (Kgf) BP20%DEG-A1 BP20%DEG-A2 BP20%DEG-B3 BP20%DEG-B4 BP20%DEG-B5 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 7,82 6,90 6,90 7,00 7,00 0,06 0,07 0,05 0,09 0,09 6,42 6,67 7,36 7,57 7,02 0,45 0,48 0,35 0,65 0,60


(4)

4. Hasil Pengujian pada Lembaran Bioplastik dengan Konsentrasi DEG 30%:

Kode Sampel Tebal (mm)

Lebar (mm)

Kuat Tarik (MPa)

Perpanjangan Putus (%)

Tegangan Maksimal

(Kgf) BP30%DEG-A1

BP30%DEG-A2 BP30%DEG-A3 BP30%DEG-B4 BP30%DEG-B5

1,00 1,00 1,00 1,00 1,00

6,62 7,11 7,23 6,85 6,89

0,02 0,03 0,03 0,06 0,03

2,03 3,13 2,62 6,71 2,58

0,15 0,18 0,20 0,43 0,18


(5)

Lampiran 9. Hasil Pengujian Densitas Lembaran Bioplastik

1. Hasil pengujian densitas lembaran bioplastik dengan konsentrasi DEG 0%: Pengukuran Panjang (cm) Lebar (cm) Tebal (cm) Hasil Pengukuran 2,70

2,70

2,70 2,70

0,007 0,007 0,006 0,003 0,002

Rata-Rata (cm) 2,70 2,70 0,005

Bobot = 0,0356 g Volume = 0,0366 cm3

Densitas = 0,0356 g / 0,0366 cm3 = 0,97 g/ cm3

2. Hasil pengujian densitas lembaran bioplastik dengan konsentrasi DEG 10%: Pengukuran Panjang (cm) Lebar (cm) Tebal (cm) Hasil Pengukuran 3,13

3,12

0,62 0,62

0,005 0,007 0,007 0,007 0,007

Rata-Rata (cm) 3,13 0,62 0,007

Bobot = 0,012 g Volume = 0,0136 cm3

Densitas = 0,012 g / 0,0136 cm3 = 0,88 g/ cm3

3. Hasil pengujian densitas lembaran bioplastik dengan konsentrasi DEG 20%: Pengukuran Panjang (cm) Lebar (cm) Tebal (cm) Hasil Pengukuran 1,53

1,51

0,61 0,58

0,003 0,004 0,005 0,002 0,003

Rata-Rata (cm) 1,52 0,60 0,003

Bobot = 0,002 g Volume = 0,003 cm3


(6)

4. Hasil pengujian densitas lembaran bioplastik dengan konsentrasi DEG 30%: Pengukuran Panjang (cm) Lebar (cm) Tebal (cm) Hasil Pengukuran 1,73

1,72

1,22 1,24

0,007 0,008 0,008 0,010 0,010

Rata-Rata (cm) 1,73 1,23 0,009

Bobot = 0,013 g Volume = 0,0192 cm3


Dokumen yang terkait

Pengaruh Konsentrasi Tributil Fosfat terhadap Karakteristik Bioplastik dari Poli-B-Hidroksialkanoat (PHA) yang dihasilkan oleh Ralstonia eutropha dengan Substrat Hidrolisat Minyak Sawit

0 5 97

Pengaruh Konsentrasi Pemlastis Dietil Glikol Terhadap Karakteristik Bioplastik dari Polyhydroxyalkanoates (PHA) yang dihasilkan Ralstonia eutropha pada Substrat Hidrolisat Minyak Sawit

0 7 94

Pembuatan dan Karakterisasi Bioplastik dari Poly-3-Hidroksialkanoat (PHA) yang Dihasilkan Ralstonia Eutropha pada Hidrolisat Pati Sagu dengan Penambahan Dimetil Ftlat (DMF)

0 19 102

Produksi bioplastik poli-3-hidroksialkanoat (pha) oleh ralstonia eutropha menggunakan substrat hidrolisat pati sagu (metroxylon.sp) sebagai sumber karbon

0 34 2

Pembuatan Bioplastik Poli-Β-Hidroksialkanoat (Pha) Yang Dihasilkan Oleh Rastonia Eutropha Pada Substrat Hidrolisat Pati Sagu Dengan Pemlastis Isopropil Palmitat

1 12 98

Pengaruh Suhu, Jenis dan Perbandingan Pelarut Terhadap Kelarutan Bioplastik Dari Pha (Poly-Β-Hydroxyalkanoates) yang Dihasilkan Ralstonia Eutropha Pada Substrat Hidrolisat Pati Sagu

1 14 132

Produksi Bioplastik Poli-3-Hidroksialkanoat (PHA) oleh Ralstonia Eutropha Menggunakan Substrat Hidrosilat Pati Sagu (Metroxylon sp.) sebagai Sumber Karbon

0 9 1

Pengaruh penambahan polioksietilen-(20)-sorbitan monolaurat pada karakteristik bioplastik poli-hidroksialkanoat (pha) yang dihasilkan Ralstonia eutropha pada substrat hidrollsat pati sagu

0 4 6

Pengaruh Konsentrasi Peg 400 terhadap Karakteristik Bioplastik Polihidroksialkanoat (Pha) yang Dihasilkan Oleh Ralstonia Eutropha Menggunakan Substrat Hidrolisat Pati Sagu

1 28 96

Pengaruh konsentrasi pemlastis dietil glikol terhadap karakteristik bioplastik dari polyhydroxyalkanoates (PHA) yang dihasilkan Ralstonia eutropha pada substrat hidrolisat minyak sawit

0 4 3