Pengaruh Suhu, Jenis dan Perbandingan Pelarut Terhadap Kelarutan Bioplastik Dari Pha (Poly-Β-Hydroxyalkanoates) yang Dihasilkan Ralstonia Eutropha Pada Substrat Hidrolisat Pati Sagu

(1)

PENGARUH SUHU, JENIS DAN PERBANDINGAN PELARUT TERHADAP KELARUTAN BIOPLASTIK DARI PHA

(Poly-β-Hydroxyalkanoates) YANG DIHASILKAN Ralstonia eutropha PADA SUBSTRAT HIDROLISAT PATI SAGU

Oleh

DOSSI RAHDUMI ANATIA F34102044

2007

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

Dossi Rahdumi Anatia. F34102044. Pengaruh Suhu, Jenis dan Perbandingan Pelarut Terhadap Kelarutan Bioplastik dari PHA (Poly-β-Hydroxyalkanoates) Yang Dihasilkan Ralstonia EutrophaPada Substrat Hidrolisat Pati Sagu Di bawah bimbingan Muslich dan Khaswar Syamsu. 2007.

RINGKASAN

Plastik banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari dan industri, karena mempunyai keunggulan-keunggulan seperti kuat, ringan dan stabil. Kebanyakan plastik yang dipakai adalah plastik sintetis yang berasal dari minyak bumi, yang sifatnya tidak terbarukan. Sampah plastik ini sulit terombak oleh mikroorganisme dalam lingkungan sehingga menyebabkan masalah lingkungan yang sangat serius. Pemecahan masalah sampah plastik dapat dilakukan melalui beberapa pendekatan seperti daur ulang, teknologi pengolahan sampah plastik dan pengembangan bahan plastik baru dari bahan baku yang terbarukan yang dapat hancur dan terurai dalam lingkungan yang dikenal dengan sebutan plastik biodegradabel.

PHA (Poly-β-hydroksialkanoates) merupakan salah satu poliester degradabel yang paling menjanjikan. PHA dapat dihasilkan melalui proses kultivasi menggunakan bakteri Ralstonia Eutropha. PHA memiliki kekuatan dan kekerasan yang baik serta dapat divariasikan untuk berbagai penggunaan dengan mengubah komposisinya. Penggunaan hidrolisat pati sagu dalam produksi bertujuan untuk mereduksi biaya bahan baku produksi PHA dan memberikan nilai tambah kepada sagu Indonesia (51.3 % dari luas areal sagu didunia).

PHA dari hidrolisat pati sagu dapat dibuat bioplastik dengan teknik solution casting menggunakan pelarut. Diperlukan pelarut yang sesuai agar PHA dapat berikatan baik dengan pemlastis dalam pembuatan film bioplastik. Perlakuan yang diberikan dalam pelarutan film bioplastik ini adalah perlakuan jenis pelarut, (kloroform, asam asetat glasial dan dimetilformamida), perbandingan PHA-pelarut (1:10, 1:20, dan 1:30) dan suhu pelarutan (suhu kamar (25 0C) dan suhu 500 C). Analisa kinerja pelarut bioplastik dan pengamatan fisik dilakukan untuk mengetahui kondisi pelarutan yang sesuai. Analisa kinerja pelarut bioplastik dilakukan melalui pengukuran sifat fisik larutan yaitu nilai optical density (absorbansi), kekeruhan, viskositas, dan indeks swelling larutan

Nilai absorbansi terendah didapatkan pada pelarut kloroform dengan perbandingan PHA-pelarut 1:30 pada suhu 50o C yaitu sebesar 0.375 untuk ulangan pertama dan 0.25 untuk ulangan yang kedua. Semakin rendah nilai absorbansi maka semakin baik kelarutan PHA didalam pelarut tersebut karena absorbansi menunjukkan pola dispersi dan ukuran partikel PHA yang terlarut di- dalam larutan. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa jenis pelarut, perbandingan PHA-pelarut, suhu, blok, dan interaksi antara jenis pelarut dengan suhu berpengaruh nyata terhadap nilai absorbansi larutan PHA.

Hasil pengukuran kekeruhan menunjukkan nilai kekeruhan yang terbesar terdapat pada perlakuan pelarut asam asetat dengan suhu 50 0 C dan perbandingan PHA-pelarut 1:10 yang bernilai 490 FTU untuk ulangan pertama dan 552 FTU untuk ulangan kedua, sedangkan nilai kekeruhan yang terkecil adalah pada perlakuan pelarut kloroform dengan suhu kamar dan perbandingan PHA-pelarut


(3)

1:30 yaitu sebesar 38 FTUpada ulangan pertama sedangkan untuk ulangan kedua bernilai 39 FTU. Analisis keragaman menunjukkan bahwa blok, perlakuan jenis pelarut, perlakuan suhu, perlakuan perbandingan PHA-pelarut, interaksi antara jenis pelarut dengan suhu serta interaksi antara suhu dengan perbandingan PHA-pelarut memberikan pengaruh nyata terhadap nilai kekeruhan.

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa blok, perlakuan jenis pelarut, perlakuan suhu, perlakuan perbandingan PHA-pelarut, interaksi antara jenis pelarut dengan suhu serta interaksi antara jenis pelarut dengan perbandingan PHA-pelarut memberikan pengaruh nyata terhadap peningkatan nilai viskositas. Pada penelitian ini didapatkan hasil bahwa peningkatan nilai viskositas terkecil adalah pada perlakuan pelarut dimetilformamida dengan perbandingan PHA-pelarut 1:30 pada suhu ruang yaitu 0.06 Cp (ulangan pertama) dan 0.09 Cp (ulangan kedua), sedangkan peningkatan nilai viskositas terbesar adalah pada perlakuan pelarut kloroform dengan perbandingan PHA-pelarut 1:10 pada suhu 500C sebesar 0.384 Cp (ulangan pertama) dan 0.537 Cp (ulangan kedua). Peningkatan nilai viskositas disebabkan oleh perubahan ukuran dan bentuk polimer terlarut di dalam pelarut.

Ratio/indeks swelling merupakan rasio dari volume pengembangan polimer menjadi semacam gel dalam keseimbangan dengan pelarut murni (Gordon, 1963). Nilai swelling index larutan PHA pada perlakuan pelarut kloroform dengan suhu 50 0C dan perbandingan PHA-pelarut 1:30 menunjukkan nilai swelling index yang terbesar jika dibandingkan dengan semua perlakuan yang diujikan yaitu sebesar 115.197 (ulangan pertama) dan 132.28 (ulangan kedua) sedangkan nilai swelling index yang terkecil adalah pada perlakuan pelarut dimetilformamida dengan perbandingan PHA-pelarut 1:10 pada suhu kamar. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa blok, perlakuan jenis pelarut, perlakuan suhu, perlakuan perbandingan PHA-pelarut dan interaksi perlakuan jenis pelarut dengan suhu berpengaruh nyata nilai swelling index.

Berdasarkan hasil pengamatan fisik yang dilakukan, dari semua sampel yang diujikan, hanya sampel yang menggunakan pelarut kloroform yang dapat membentuk lembaran setelah dilakukan proses pelarutan. Blanko (PHB komersial) membentuk lembaran hanya pada perlakuan pelarut kloroform pada suhu 50 0C sedangkan pelarutan pada suhu ruang tidak menghasilkan lembaran.


(4)

DOSSI RAHDUMI ANATIA. F34102044. The Effect of Temperature Solvent Types and Solvent Ratio on Dissolve of Bioplastic from PHA (Poly-β-hydroksialkanoates ) Produced by Ralstonia Eutropha Using Hydrolyzed Sago Starch. Supervised by Muslich and Khaswar Syamsu. 2007.

SUMMARY

The reasons of using conventional plastics or often called plastics in many purposes in houseware and heavily entrenched in many industries are of its tough, light in weight and have more stable chemical structure. Most of conventional plastics are synthetic polymer is made from mineral-oil. These subtances made from unrenewable things that hard to be broken down into other substances by activities of naturally occuring microorganism. In fact, the conventional plastics has taken seriously environmental problem. The solutions are recycling, conducting technology of plastic degradation and the interesting solutions found in the developing biopolymers made from biorenewable resources, degraded in natural environments, and these called biodegradable polymers.

PHA (Poly-β-hydroksialkanoate) is one of degradable polyesters that prominent to develop in the future. Substance of PHA can be produced through cultivation process of Ralstonia Eutropha bacteria. Substance of PHA has characteristics : high in strength, hard and can be used in several directions by adjusting on its composition. The objective of this research using material hidrolyzed sago starch was to reduce the cost of production PHA substance, all at once giving added value for Indonesian sago production that reachs 51.2% of production worlwide.

In the case of PHA produced using hidrolysed sago starch, it can be made bioplastic using solution techniques, with the help of the kind of solvent. Of course, this procedure needs the right kind of solvent, including its concentration, to ensure PHA substances associated well to plasticizer to perform bioplastic film. The treatment on dissociate bioplastic film in this research are three types of solvent (chloroform, acetic acid glacial and dimetiformamide), three kind of ratio of concentration PHA-solvent (1:10, 1:20, 1:30) and two degree of celcius temperature (25oC (room temperature) and 50o C). This research then was completed with several analyse such analyse of performance of dissociation (i.e. absorbans test, turbidity test, viscosity test and swelling index test) and physical observation.

The optimum value of abosorbans was obtained by chloroform at ratio of concentration of PHA-chloroform 1:30 run at temperature of 50 oC, valued as 0.375 on first repeating treatment, and as 0.25 on the second repeating treatment. This parameter values show that dissolved PHA in the solvent better with decrease in the values, because absorbans values describe model of dispersion and depend on the size of particle of PHA dissolved in the solvent. ANAVA Test showed that solvent, ratio of concentration PHA-solvent, temperature, block and the interaction between solvent and temperature, all had significant effect in the value of absorbans of PHA dilution.


(5)

Turbidity test showed that the highest value obtained on the combination treatment of acetic acid on concentration of 1:10, run at temperature of 50 oC, that valued as 490 FTU on first repeating treatment, and valued as 552 FTU on the second repeating treatment. While the lowest value was on combination treatment of chloroform at ratio of concentration PHA-chloroform 1:30, run at room temperature, valued as 38 FTU on the first repeating treatment and valued as 39 FTU on the second repeating treatment. ANAVA test showed that block, solvent, temperature, ratio of concentration PHA-solvent, interaction between types of solvent and temperature and interaction between solvent and ratio of concentration PHA-solvent, all had significant effect in the value of Turbidity.

ANAVA test showed that block, types of solvent, temperature, ratio of concentration PHA-solvent, interaction between types of solvent and temperature and interaction between solvent and ratio of concentration PHA-solvent, all had significant effect in the increment of the value of viscosity. The lowest increment of value had obtained on the combination treatment of dimetilformamide on ratio of concentration PHA-solvent 1:30, run at room temperature, that valued as 0.06Cp (first repeating treatment) and as 0.09 Cp (second repeating treatment), while the highest increment of value had obtained on the combination treatment of chloroform on ratio of concentration PHA-solvent 1:10, run at temperature of 50oC, valued as 0.384 Cp (first repeating treatment) and as 0.537 Cp (on second repeating treatment). The changing size and formation of polymer dissolved in the solvent are considered as increased viscosity level.

The ratio/swelling index is the ratio of swelling volume of polymer become such kind of gelatin, balanced with pure-solvent (Gordon, 1963). The Swelling index of PHA dilution on the combination treatment of chloroform on ratio of concentration PHA-chloroform 1:30, run at temperature of 50o C as the optimum value compared with another combination treatment, that valued as 115.197 (on first repeating treatment) and as 132.28 (second repeating treatment). The lowest value obtained on the combination treatment of dimetilformamide on ratio of concentration PHA-dimetilformamide 1:10, run at room temperature. ANAVA test showed that block, solvent, temperature, ratio of concentration PHA-solvent and interaction between solvent and temperature, all had significant effect in the value of swellingindex.

Based on physical observation on tested sample, the result refering to chloroform is considered to perform layer again after treatment. Blanko sample (commercial pure PHA) perform the layer only on the treatment using chloroform that conduct at temperature of 50° C, while other combination treatment conducted at room temperature was failed to produce thin film.


(6)

BIODATA RINGKAS

Dossi Rahdumi Anatia dilahirkan di Bojonegoro, 17 Juli 1984. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara, putri dari pasangan Soegianto dan Murdji’ah. Penulis menyelesaikan sekolah dasar di SD Negeri Sukorejo I, Bojonegoro pada tahun 1996 dan melanjutkan ke SLTP Negeri I Bojonegoro pada tahun yang sama. Tahun 1999, penulis menyelesaikan masa belajarnya di SLTP dan melanjutkan ke SMU Negeri I Bojonegoro (1999-2002). Pada tahun 2002, penulis diterima di Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI.

Selama kuliah, penulis aktif dalam berbagai organisasi kemahasiswaan antara lain menjadi bendahara Departemen PSDM BEM TPB (2002-2003), staff Departemen Kewirausahaan HIMALOGIN (Himpunan Mahasiswa Teknologi Industri) pada masa kepengurusan 2003-2004, staff Biro Kesekretariatan FBI-F (Forum Bina Islami Fateta) 2003-2004, bendahara internal Paguyuban Angling Dharma (Perhimpunan Mahasiswa dan Masyarakat Bojonegoro Bogor) kepengurusan 2003-2004, bendahara Dewan Permusyawaratan Mahasiswa Fakultas Teknologi Pertanian (DPM-F) pada masa kepengurusan 2004-2005 dan Badan Khusus HIMALOGIN 2004-2005 . Selain itu, penulis aktif terlibat dalam berbagai kegiatan ilmiah dan penelitian diantaranya adalah tentang Studi Kelayakan Pendirian Industri Vegetable Leather yang didanai oleh HaKI.

Penulis ditunjuk untuk menjadi asisten praktikum beberapa mata kuliah dasar pada Tingkat Persiapan Bersama (TPB) yaitu asisten praktikum Kimia Dasar I, Biologi Dasar dan Pendidikan Agama Islam (PAI). Selain itu juga penulis menjadi asisten praktikum pada Departemen Teknologi Industri Pertanian diantaranya asisten Laboratorium Bioproses dan Laboratorium Lingkungan. Penulis menyelesaikan masa kuliah di IPB pada tahun 2006 dengan menyelesaikan tugas akhir berupa skripsi berjudul “Pengaruh Suhu, Jenis dan Perbandingan Pelarut Terhadap Kinerja Pelarutan Bioplastik dari PHA


(7)

(Poly-β-Hydroxyalkanoates) Yang Dihasilkan Ralstonia Eutropha Pada Substrat Hidrolisat Pati Sagu”.


(8)

PENGARUH SUHU, JENIS DAN PERBANDINGAN PELARUT TERHADAP KELARUTAN BIOPLASTIK DARI PHA

(Poly-β-Hydroxyalkanoates) YANG DIHASILKAN Ralstonia eutropha PADA SUBSTRAT HIDROLISAT PATI SAGU

Oleh

DOSSI RAHDUMI ANATIA F34102044

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

2007

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(9)

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

PENGARUH SUHU, JENIS DAN PERBANDINGAN PELARUT TERHADAP KELARUTAN BIOPLASTIK DARI PHA

(Poly-β-Hydroxyalkanoates) YANG DIHASILKAN Ralstonia eutropha PADA SUBSTRAT HIDROLISAT PATI SAGU

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh

DOSSI RAHDUMI ANATIA F34102044

Dilahirkan pada tanggal 17 Juli 1984 di Bojonegoro – Jawa Timur

Tanggal lulus : Februari 2007

Ir. Muslich, MSi Dr. Ir. Khaswar Syamsu,MSc


(10)

BIODATA RINGKAS

Dossi Rahdumi Anatia dilahirkan di Bojonegoro, 17 Juli 1984. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara, putri dari pasangan Soegianto dan Murdji’ah. Penulis menyelesaikan sekolah dasar di SD Negeri Sukorejo I, Bojonegoro pada tahun 1996 dan melanjutkan ke SLTP Negeri I Bojonegoro pada tahun yang sama. Tahun 1999, penulis menyelesaikan masa belajarnya di SLTP dan melanjutkan ke SMU Negeri I Bojonegoro (1999-2002). Pada tahun 2002, penulis diterima di Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI.

Selama kuliah, penulis aktif dalam berbagai organisasi kemahasiswaan antara lain menjadi bendahara Departemen PSDM BEM TPB (2002-2003), staff Departemen Kewirausahaan HIMALOGIN (Himpunan Mahasiswa Teknologi Industri) pada masa kepengurusan 2003-2004, staff Biro Kesekretariatan FBI-F (Forum Bina Islami Fateta) 2003-2004, bendahara internal Paguyuban Angling Dharma (Perhimpunan Mahasiswa dan Masyarakat Bojonegoro Bogor) kepengurusan 2003-2004, bendahara Dewan Permusyawaratan Mahasiswa Fakultas Teknologi Pertanian (DPM-F) pada masa kepengurusan 2004-2005 dan Badan Khusus HIMALOGIN 2004-2005 . Selain itu, penulis aktif terlibat dalam berbagai kegiatan ilmiah dan penelitian diantaranya adalah tentang Studi Kelayakan Pendirian Industri Vegetable Leather yang didanai oleh HaKI.

Penulis ditunjuk untuk menjadi asisten praktikum beberapa mata kuliah dasar pada Tingkat Persiapan Bersama (TPB) yaitu asisten praktikum Kimia Dasar I, Biologi Dasar dan Pendidikan Agama Islam (PAI). Selain itu juga penulis menjadi asisten praktikum pada Departemen Teknologi Industri Pertanian diantaranya asisten Laboratorium Bioproses dan Laboratorium Lingkungan. Penulis menyelesaikan masa kuliah di IPB pada tahun 2006 dengan menyelesaikan tugas akhir berupa skripsi berjudul “Pengaruh Suhu, Jenis dan Perbandingan Pelarut Terhadap Kinerja Pelarutan Bioplastik dari PHA (Poly-β-Hydroxyalkanoates) Yang Dihasilkan Ralstonia Eutropha Pada Substrat Hidrolisat Pati Sagu”.


(11)

PENGARUH SUHU, JENIS DAN PERBANDINGAN PELARUT TERHADAP KELARUTAN BIOPLASTIK DARI PHA

(Poly-β-Hydroxyalkanoates) YANG DIHASILKAN Ralstonia eutropha PADA SUBSTRAT HIDROLISAT PATI SAGU

Oleh

DOSSI RAHDUMI ANATIA F34102044

2007

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(12)

Dossi Rahdumi Anatia. F34102044. Pengaruh Suhu, Jenis dan Perbandingan Pelarut Terhadap Kelarutan Bioplastik dari PHA (Poly-β-Hydroxyalkanoates) Yang Dihasilkan Ralstonia EutrophaPada Substrat Hidrolisat Pati Sagu Di bawah bimbingan Muslich dan Khaswar Syamsu. 2007.

RINGKASAN

Plastik banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari dan industri, karena mempunyai keunggulan-keunggulan seperti kuat, ringan dan stabil. Kebanyakan plastik yang dipakai adalah plastik sintetis yang berasal dari minyak bumi, yang sifatnya tidak terbarukan. Sampah plastik ini sulit terombak oleh mikroorganisme dalam lingkungan sehingga menyebabkan masalah lingkungan yang sangat serius. Pemecahan masalah sampah plastik dapat dilakukan melalui beberapa pendekatan seperti daur ulang, teknologi pengolahan sampah plastik dan pengembangan bahan plastik baru dari bahan baku yang terbarukan yang dapat hancur dan terurai dalam lingkungan yang dikenal dengan sebutan plastik biodegradabel.

PHA (Poly-β-hydroksialkanoates) merupakan salah satu poliester degradabel yang paling menjanjikan. PHA dapat dihasilkan melalui proses kultivasi menggunakan bakteri Ralstonia Eutropha. PHA memiliki kekuatan dan kekerasan yang baik serta dapat divariasikan untuk berbagai penggunaan dengan mengubah komposisinya. Penggunaan hidrolisat pati sagu dalam produksi bertujuan untuk mereduksi biaya bahan baku produksi PHA dan memberikan nilai tambah kepada sagu Indonesia (51.3 % dari luas areal sagu didunia).

PHA dari hidrolisat pati sagu dapat dibuat bioplastik dengan teknik solution casting menggunakan pelarut. Diperlukan pelarut yang sesuai agar PHA dapat berikatan baik dengan pemlastis dalam pembuatan film bioplastik. Perlakuan yang diberikan dalam pelarutan film bioplastik ini adalah perlakuan jenis pelarut, (kloroform, asam asetat glasial dan dimetilformamida), perbandingan PHA-pelarut (1:10, 1:20, dan 1:30) dan suhu pelarutan (suhu kamar (25 0C) dan suhu 500 C). Analisa kinerja pelarut bioplastik dan pengamatan fisik dilakukan untuk mengetahui kondisi pelarutan yang sesuai. Analisa kinerja pelarut bioplastik dilakukan melalui pengukuran sifat fisik larutan yaitu nilai optical density (absorbansi), kekeruhan, viskositas, dan indeks swelling larutan

Nilai absorbansi terendah didapatkan pada pelarut kloroform dengan perbandingan PHA-pelarut 1:30 pada suhu 50o C yaitu sebesar 0.375 untuk ulangan pertama dan 0.25 untuk ulangan yang kedua. Semakin rendah nilai absorbansi maka semakin baik kelarutan PHA didalam pelarut tersebut karena absorbansi menunjukkan pola dispersi dan ukuran partikel PHA yang terlarut di- dalam larutan. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa jenis pelarut, perbandingan PHA-pelarut, suhu, blok, dan interaksi antara jenis pelarut dengan suhu berpengaruh nyata terhadap nilai absorbansi larutan PHA.

Hasil pengukuran kekeruhan menunjukkan nilai kekeruhan yang terbesar terdapat pada perlakuan pelarut asam asetat dengan suhu 50 0 C dan perbandingan PHA-pelarut 1:10 yang bernilai 490 FTU untuk ulangan pertama dan 552 FTU untuk ulangan kedua, sedangkan nilai kekeruhan yang terkecil adalah pada perlakuan pelarut kloroform dengan suhu kamar dan perbandingan PHA-pelarut


(13)

1:30 yaitu sebesar 38 FTUpada ulangan pertama sedangkan untuk ulangan kedua bernilai 39 FTU. Analisis keragaman menunjukkan bahwa blok, perlakuan jenis pelarut, perlakuan suhu, perlakuan perbandingan PHA-pelarut, interaksi antara jenis pelarut dengan suhu serta interaksi antara suhu dengan perbandingan PHA-pelarut memberikan pengaruh nyata terhadap nilai kekeruhan.

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa blok, perlakuan jenis pelarut, perlakuan suhu, perlakuan perbandingan PHA-pelarut, interaksi antara jenis pelarut dengan suhu serta interaksi antara jenis pelarut dengan perbandingan PHA-pelarut memberikan pengaruh nyata terhadap peningkatan nilai viskositas. Pada penelitian ini didapatkan hasil bahwa peningkatan nilai viskositas terkecil adalah pada perlakuan pelarut dimetilformamida dengan perbandingan PHA-pelarut 1:30 pada suhu ruang yaitu 0.06 Cp (ulangan pertama) dan 0.09 Cp (ulangan kedua), sedangkan peningkatan nilai viskositas terbesar adalah pada perlakuan pelarut kloroform dengan perbandingan PHA-pelarut 1:10 pada suhu 500C sebesar 0.384 Cp (ulangan pertama) dan 0.537 Cp (ulangan kedua). Peningkatan nilai viskositas disebabkan oleh perubahan ukuran dan bentuk polimer terlarut di dalam pelarut.

Ratio/indeks swelling merupakan rasio dari volume pengembangan polimer menjadi semacam gel dalam keseimbangan dengan pelarut murni (Gordon, 1963). Nilai swelling index larutan PHA pada perlakuan pelarut kloroform dengan suhu 50 0C dan perbandingan PHA-pelarut 1:30 menunjukkan nilai swelling index yang terbesar jika dibandingkan dengan semua perlakuan yang diujikan yaitu sebesar 115.197 (ulangan pertama) dan 132.28 (ulangan kedua) sedangkan nilai swelling index yang terkecil adalah pada perlakuan pelarut dimetilformamida dengan perbandingan PHA-pelarut 1:10 pada suhu kamar. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa blok, perlakuan jenis pelarut, perlakuan suhu, perlakuan perbandingan PHA-pelarut dan interaksi perlakuan jenis pelarut dengan suhu berpengaruh nyata nilai swelling index.

Berdasarkan hasil pengamatan fisik yang dilakukan, dari semua sampel yang diujikan, hanya sampel yang menggunakan pelarut kloroform yang dapat membentuk lembaran setelah dilakukan proses pelarutan. Blanko (PHB komersial) membentuk lembaran hanya pada perlakuan pelarut kloroform pada suhu 50 0C sedangkan pelarutan pada suhu ruang tidak menghasilkan lembaran.


(14)

DOSSI RAHDUMI ANATIA. F34102044. The Effect of Temperature Solvent Types and Solvent Ratio on Dissolve of Bioplastic from PHA (Poly-β-hydroksialkanoates ) Produced by Ralstonia Eutropha Using Hydrolyzed Sago Starch. Supervised by Muslich and Khaswar Syamsu. 2007.

SUMMARY

The reasons of using conventional plastics or often called plastics in many purposes in houseware and heavily entrenched in many industries are of its tough, light in weight and have more stable chemical structure. Most of conventional plastics are synthetic polymer is made from mineral-oil. These subtances made from unrenewable things that hard to be broken down into other substances by activities of naturally occuring microorganism. In fact, the conventional plastics has taken seriously environmental problem. The solutions are recycling, conducting technology of plastic degradation and the interesting solutions found in the developing biopolymers made from biorenewable resources, degraded in natural environments, and these called biodegradable polymers.

PHA (Poly-β-hydroksialkanoate) is one of degradable polyesters that prominent to develop in the future. Substance of PHA can be produced through cultivation process of Ralstonia Eutropha bacteria. Substance of PHA has characteristics : high in strength, hard and can be used in several directions by adjusting on its composition. The objective of this research using material hidrolyzed sago starch was to reduce the cost of production PHA substance, all at once giving added value for Indonesian sago production that reachs 51.2% of production worlwide.

In the case of PHA produced using hidrolysed sago starch, it can be made bioplastic using solution techniques, with the help of the kind of solvent. Of course, this procedure needs the right kind of solvent, including its concentration, to ensure PHA substances associated well to plasticizer to perform bioplastic film. The treatment on dissociate bioplastic film in this research are three types of solvent (chloroform, acetic acid glacial and dimetiformamide), three kind of ratio of concentration PHA-solvent (1:10, 1:20, 1:30) and two degree of celcius temperature (25oC (room temperature) and 50o C). This research then was completed with several analyse such analyse of performance of dissociation (i.e. absorbans test, turbidity test, viscosity test and swelling index test) and physical observation.

The optimum value of abosorbans was obtained by chloroform at ratio of concentration of PHA-chloroform 1:30 run at temperature of 50 oC, valued as 0.375 on first repeating treatment, and as 0.25 on the second repeating treatment. This parameter values show that dissolved PHA in the solvent better with decrease in the values, because absorbans values describe model of dispersion and depend on the size of particle of PHA dissolved in the solvent. ANAVA Test showed that solvent, ratio of concentration PHA-solvent, temperature, block and the interaction between solvent and temperature, all had significant effect in the value of absorbans of PHA dilution.


(15)

Turbidity test showed that the highest value obtained on the combination treatment of acetic acid on concentration of 1:10, run at temperature of 50 oC, that valued as 490 FTU on first repeating treatment, and valued as 552 FTU on the second repeating treatment. While the lowest value was on combination treatment of chloroform at ratio of concentration PHA-chloroform 1:30, run at room temperature, valued as 38 FTU on the first repeating treatment and valued as 39 FTU on the second repeating treatment. ANAVA test showed that block, solvent, temperature, ratio of concentration PHA-solvent, interaction between types of solvent and temperature and interaction between solvent and ratio of concentration PHA-solvent, all had significant effect in the value of Turbidity.

ANAVA test showed that block, types of solvent, temperature, ratio of concentration PHA-solvent, interaction between types of solvent and temperature and interaction between solvent and ratio of concentration PHA-solvent, all had significant effect in the increment of the value of viscosity. The lowest increment of value had obtained on the combination treatment of dimetilformamide on ratio of concentration PHA-solvent 1:30, run at room temperature, that valued as 0.06Cp (first repeating treatment) and as 0.09 Cp (second repeating treatment), while the highest increment of value had obtained on the combination treatment of chloroform on ratio of concentration PHA-solvent 1:10, run at temperature of 50oC, valued as 0.384 Cp (first repeating treatment) and as 0.537 Cp (on second repeating treatment). The changing size and formation of polymer dissolved in the solvent are considered as increased viscosity level.

The ratio/swelling index is the ratio of swelling volume of polymer become such kind of gelatin, balanced with pure-solvent (Gordon, 1963). The Swelling index of PHA dilution on the combination treatment of chloroform on ratio of concentration PHA-chloroform 1:30, run at temperature of 50o C as the optimum value compared with another combination treatment, that valued as 115.197 (on first repeating treatment) and as 132.28 (second repeating treatment). The lowest value obtained on the combination treatment of dimetilformamide on ratio of concentration PHA-dimetilformamide 1:10, run at room temperature. ANAVA test showed that block, solvent, temperature, ratio of concentration PHA-solvent and interaction between solvent and temperature, all had significant effect in the value of swellingindex.

Based on physical observation on tested sample, the result refering to chloroform is considered to perform layer again after treatment. Blanko sample (commercial pure PHA) perform the layer only on the treatment using chloroform that conduct at temperature of 50° C, while other combination treatment conducted at room temperature was failed to produce thin film.


(16)

BIODATA RINGKAS

Dossi Rahdumi Anatia dilahirkan di Bojonegoro, 17 Juli 1984. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara, putri dari pasangan Soegianto dan Murdji’ah. Penulis menyelesaikan sekolah dasar di SD Negeri Sukorejo I, Bojonegoro pada tahun 1996 dan melanjutkan ke SLTP Negeri I Bojonegoro pada tahun yang sama. Tahun 1999, penulis menyelesaikan masa belajarnya di SLTP dan melanjutkan ke SMU Negeri I Bojonegoro (1999-2002). Pada tahun 2002, penulis diterima di Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI.

Selama kuliah, penulis aktif dalam berbagai organisasi kemahasiswaan antara lain menjadi bendahara Departemen PSDM BEM TPB (2002-2003), staff Departemen Kewirausahaan HIMALOGIN (Himpunan Mahasiswa Teknologi Industri) pada masa kepengurusan 2003-2004, staff Biro Kesekretariatan FBI-F (Forum Bina Islami Fateta) 2003-2004, bendahara internal Paguyuban Angling Dharma (Perhimpunan Mahasiswa dan Masyarakat Bojonegoro Bogor) kepengurusan 2003-2004, bendahara Dewan Permusyawaratan Mahasiswa Fakultas Teknologi Pertanian (DPM-F) pada masa kepengurusan 2004-2005 dan Badan Khusus HIMALOGIN 2004-2005 . Selain itu, penulis aktif terlibat dalam berbagai kegiatan ilmiah dan penelitian diantaranya adalah tentang Studi Kelayakan Pendirian Industri Vegetable Leather yang didanai oleh HaKI.

Penulis ditunjuk untuk menjadi asisten praktikum beberapa mata kuliah dasar pada Tingkat Persiapan Bersama (TPB) yaitu asisten praktikum Kimia Dasar I, Biologi Dasar dan Pendidikan Agama Islam (PAI). Selain itu juga penulis menjadi asisten praktikum pada Departemen Teknologi Industri Pertanian diantaranya asisten Laboratorium Bioproses dan Laboratorium Lingkungan. Penulis menyelesaikan masa kuliah di IPB pada tahun 2006 dengan menyelesaikan tugas akhir berupa skripsi berjudul “Pengaruh Suhu, Jenis dan Perbandingan Pelarut Terhadap Kinerja Pelarutan Bioplastik dari PHA


(17)

(Poly-β-Hydroxyalkanoates) Yang Dihasilkan Ralstonia Eutropha Pada Substrat Hidrolisat Pati Sagu”.


(18)

PENGARUH SUHU, JENIS DAN PERBANDINGAN PELARUT TERHADAP KELARUTAN BIOPLASTIK DARI PHA

(Poly-β-Hydroxyalkanoates) YANG DIHASILKAN Ralstonia eutropha PADA SUBSTRAT HIDROLISAT PATI SAGU

Oleh

DOSSI RAHDUMI ANATIA F34102044

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

2007

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(19)

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

PENGARUH SUHU, JENIS DAN PERBANDINGAN PELARUT TERHADAP KELARUTAN BIOPLASTIK DARI PHA

(Poly-β-Hydroxyalkanoates) YANG DIHASILKAN Ralstonia eutropha PADA SUBSTRAT HIDROLISAT PATI SAGU

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh

DOSSI RAHDUMI ANATIA F34102044

Dilahirkan pada tanggal 17 Juli 1984 di Bojonegoro – Jawa Timur

Tanggal lulus : Februari 2007

Ir. Muslich, MSi Dr. Ir. Khaswar Syamsu,MSc


(20)

BIODATA RINGKAS

Dossi Rahdumi Anatia dilahirkan di Bojonegoro, 17 Juli 1984. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara, putri dari pasangan Soegianto dan Murdji’ah. Penulis menyelesaikan sekolah dasar di SD Negeri Sukorejo I, Bojonegoro pada tahun 1996 dan melanjutkan ke SLTP Negeri I Bojonegoro pada tahun yang sama. Tahun 1999, penulis menyelesaikan masa belajarnya di SLTP dan melanjutkan ke SMU Negeri I Bojonegoro (1999-2002). Pada tahun 2002, penulis diterima di Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI.

Selama kuliah, penulis aktif dalam berbagai organisasi kemahasiswaan antara lain menjadi bendahara Departemen PSDM BEM TPB (2002-2003), staff Departemen Kewirausahaan HIMALOGIN (Himpunan Mahasiswa Teknologi Industri) pada masa kepengurusan 2003-2004, staff Biro Kesekretariatan FBI-F (Forum Bina Islami Fateta) 2003-2004, bendahara internal Paguyuban Angling Dharma (Perhimpunan Mahasiswa dan Masyarakat Bojonegoro Bogor) kepengurusan 2003-2004, bendahara Dewan Permusyawaratan Mahasiswa Fakultas Teknologi Pertanian (DPM-F) pada masa kepengurusan 2004-2005 dan Badan Khusus HIMALOGIN 2004-2005 . Selain itu, penulis aktif terlibat dalam berbagai kegiatan ilmiah dan penelitian diantaranya adalah tentang Studi Kelayakan Pendirian Industri Vegetable Leather yang didanai oleh HaKI.

Penulis ditunjuk untuk menjadi asisten praktikum beberapa mata kuliah dasar pada Tingkat Persiapan Bersama (TPB) yaitu asisten praktikum Kimia Dasar I, Biologi Dasar dan Pendidikan Agama Islam (PAI). Selain itu juga penulis menjadi asisten praktikum pada Departemen Teknologi Industri Pertanian diantaranya asisten Laboratorium Bioproses dan Laboratorium Lingkungan. Penulis menyelesaikan masa kuliah di IPB pada tahun 2006 dengan menyelesaikan tugas akhir berupa skripsi berjudul “Pengaruh Suhu, Jenis dan Perbandingan Pelarut Terhadap Kinerja Pelarutan Bioplastik dari PHA (Poly-β-Hydroxyalkanoates) Yang Dihasilkan Ralstonia Eutropha Pada Substrat Hidrolisat Pati Sagu”.


(21)

v DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... x

I. PENDAHULUAN ... 1

A. LATAR BELAKANG ... 1

B. TUJUAN ... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 4

A. PATI SAGU ... 4

B. HIDROLISAT PATI SAGU ... 5

C. PHA (Poly-β-Hydroxyalkonoates) ... 7

D. PHB (Poly-β-Hydroxybutyrate) ... 8

E. Ralstonia eutropha ... 10

F. PROSES PRODUKSI PHA ... 12

G. PROSES HILIR PHA ... 14

H. PELARUT BIOPLASTIK ... 15

1. Kloroform ... 18

2. Asam Asetat Glasial ... 19

3. Dimetilformamida ... 20

III.BAHAN DAN METODE ... 23

A. BAHAN DAN ALAT ... 23

1. Bahan ... 23

2. Alat ... 23

B. METODE PENELITIAN ... 24

1. Tahapan Penelitian ... 24

a. Menentukan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kelarutan PHA ... 25


(22)

vi c. Menentukan Pengaruh Perlakuan Dalam Pembentukan

Lembaran PHA ... 26 2. Prosedur Penelitian ... 27 a. Pembuatan Bahan Baku (PHA) ... 27 b. Pembuatan Larutan Bioplastik ... 27 IV.HASIL DAN PEMBAHASAN ... 35

A. MENENTUKAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

KELARUTAN PHA ... 29 a. Absorbansi (Optical Density) ... 32 b. Kekeruhan (Turbidimetry) ... 34 c. Viskositas ... 36 d. Swelling Index ... 38 B. INTERAKSI FAKTOR-FAKTOR PERLAKUAN ... 40 a. Absorbansi (Optical Density) ... 40 b. Kekeruhan (Turbidimetry) ... 42 c. Viskositas ... 44 d. Swelling Index ... 46 C. MENENTUKAN PENGARUH PERLAKUAN DALAM

PEMBENTUKAN LEMBARAN PHA ... 47 V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 54 A. KESIMPULAN ... 54 B. SARAN ... 55 DAFTAR PUSTAKA ... 57 LAMPIRAN ... 63


(23)

vii DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1. Karakter fisik PHA dan pebandingannya dengan bahan

plastik lainnya ... 9

Tabel 2. Nilai parameter kelarutan pada beberapa pelarut ... 17

Tabel 3. Sifat-sifat fisik kimia kloroform ... 19

Tabel 4. Sifat fisik dan kimia asam asetat glasial ... 20

Tabel 5. Sifat fisik dan kimia dimetilformamida ... 21

Tabel 6 . Hasil pengamatan fisik pelarutan dengan kloroform ... 48

Tabel 7. Hasil pengamatan fisik pelarutan dengan asam asetat glasial ... 50

Tabel 8. Hasil pengamatan fisik pelarutan dengan dimetilformamida ... 51


(24)

viii DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1. Tanaman sagu ... 4

Gambar 2. Granula pati sagu ... 5

Gambar 3. Proses hidrolisis pati menjadi glukosa ... 6

Gambar 4. Struktur kimia PHA (Atkinson dan Mavituna, 1991) ... 7

Gambar 5. Struktur kimia molekul PHB (Laferty et al., 1988) ... 9

Gambar 6. Polimer PHB dalam sel Ralstonia eutropha ... 11

Gambar 7. Skema tahapan umum produksi PHA (Kessler et al. 2001) ... 13

Gambar 8. Struktur kimia kloroform ... 18

Gambar 9. Struktur kimia asam asetat ... 20

Gambar 10. Struktur kimia dimetilformamida ... 21

Gambar 11. Diagram alir tahapan penelitian ... 24

Gambar 12. Rangkaian alat proses pelarutan bioplastik ... 28

Gambar 13. Diagram alir prosedur penelitian ... 28

Gambar 14. Reaksi polimer dan pelarut dan reaksi penambahan

pemlastis ... 30

Gambar 15. Histogram hubungan antara jenis pelarut, perbandingan

PHA-pelarut dan suhu dengan nilai absorbansi ... 33

Gambar 16. Histogram hubungan antara jenis pelarut, perbandingan

PHA-pelarut dan suhu dengan nilai kekeruhan ... 35

Gambar 17. Histogram hubungan antara jenis pelarut, perbandingan

PHA-pelarut dan suhu dengan peningkatan nilai viskositas ... 37

Gambar 18. Histogram hubungan antara jenis pelarut, perbandingan

PHA-pelarut dan suhu dengan nilai swelling index ... 39

Gambar 19. Grafik interaksi antara jenis pelarut dan suhu pelarutan


(25)

ix Gambar 20. Histogram hasil uji lanjut perbandingan PHA-pelarut

terhadap nilai absorbansi ... 41

Gambar 21. Grafik interaksi antara jenis pelarut dengan suhu pelarutan

terhadap nilai kekeruhan ... 42

Gambar 22. Grafik interaksi antara suhu pelarutan dengan perbandingan PHA-pelarut terhadap nilai kekeruhan ... 43

Gambar 23. Grafik interaksi antara jenis pelarut dengan perbandingan

PHA-pelarut terhadap peningkatan nilai viskositas ... 44

Gambar 24. Grafik interaksi antara jenis pelarut dengan suhu pelarutan

terhadap peningkatan nilai viskositas... 45

Gambar 25. Grafik interaksi antara jenis pelarut dengan suhu pelarutan

terhadap nilai indeks swelling ... 46

Gambar 26. Histogram hasil uji lanjut perbandingan PHA-pelarut

terhadap nilai indeks swelling ... 47

Gambar 27. Foto hasil pengamatan fisik pelarutan PHA dengan

kloroform ... 49

Gambar 28. Foto hasil pengamatan fisik pelarutan PHA dengan

asam asetat glasial ... 50

Gambar 29. Foto hasil pengamatan fisik pelarutan PHA dengan

dimetilformamida ... 52


(26)

x DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1. Lintasan umum biosintesis dan degradasi PHB oleh mikroba ... 63

Lampiran 2. Kelarutan PHA dalam berbagai pelarut ... 64

Lampiran 3. Prosedur pembuatan bahan baku (PHA) ... 65

Lampiran 4. Analisa kelarutan PHA ... 72

Lampiran 5. Data nilai pengujian kelarutan pada blanko ... 74

Lampiran 6. Data nilai absorbansi ... 75

Lampiran 7. Hasil analisis keragaman absorbansi ... 77

Lampiran 8. Hasil uji lanjut nilai absorbansi ... 78

Lampiran 9. Data nilai kekeruhan ... 79

Lampiran 10. Hasil analisis keragaman kekeruhan ... 81

Lampiran 11. Hasil uji lanjut nilai kekeruhan ... 82

Lampiran 12. Data nilai viskositas ... 83

Lampiran 13. Hasil analisis keragaman viskositas ... 85

Lampiran 14. Hasil uji lanjut nilai viskositas... 86

Lampiran 15 . Data swelling index hasil analisa pelarut ... 88

Lampiran 16. Hasil analisis keragaman uji swelling index ... 91


(27)

I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Plastik banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari, karena mempunyai keunggulan-keunggulan seperti kuat, ringan dan stabil. Disisi lain, plastik menyebabkan masalah lingkungan yang sangat serius karena sulit terombak oleh mikroorganisme dalam lingkungan. Pemecahan masalah sampah plastik dapat dilakukan beberapa melalui pendekatan seperti daur ulang, teknologi pengolahan sampah plastik dan pengembangan plastik biodegradabel.

PHA (Poly-β-hydroksialkanoates) merupakan salah satu jenis plastik biodegradabel yang paling menjanjikan. PHA memiliki kekuatan dan kekerasan yang baik serta dapat divariasikan untuk berbagai penggunaan dengan mengubah komposisinya. Poliester ini juga resisten terhadap kelembaban dan memiliki permeabilitas oksigen yang sangat rendah (Van Wegen et al., 1998). Poliester-poliester PHA dapat didegradasi secara biologis dan kompatibel untuk kisaran penggunaan yang luas mulai dari benang jahit pada operasi bedah sampai bahan-bahan kemasan.

Meskipun PHA menunjukkan sifat-sifat yang menguntungkan untuk berbagai aplikasi namun secara komersial masih menghadapi kendala ekonomi. Nilai jual produk plastik PHA yaitu $ 16/kg yang jauh lebih tinggi dibandingkan nilai jual produk plastik berbasis petrokimia yang hanya sekitar $ 1/kg. Penurunan biaya produksi dapat diupayakan melalui pengembangan strain-strain bakteri, substrat kultivasi yang lebih murah, proses kultivasi yang lebih efisien dan proses recovery yang lebih ekonomis.

Sagu merupakan salah satu alternatif bahan baku murah dan terbaharukan yang melimpah, memiliki potensi besar untuk dimanfaatkan hidrolisat patinya, karena kandungan glukosa yang cukup besar dalam sagu serta kemudahan untuk mengekstrak patinya. Indonesia merupakan pemilik areal sagu terbesar di dunia dengan luas areal sekitar 1,128 juta ha atau 51,3% dari 2,201 juta ha areal sagu dunia. Produksi pati sagu di Indonesia pada tahun 2000 mencapai 6.333,88 ton dan meningkat menjadi 13.883,12 ton pada


(28)

2 tahun 2001 (Abner dan Miftahorrahman, 2002). Cadangan pati sagu tiap tahunnya diperkirakan hanya 0,05 – 1 % yang dimanfaatkan untuk ekspor, 10 % sebagai bahan baku makanan tradisional dan 89 % beum termanfaatkan dengan baik (Wiyono et al., 1990).

Menurut penelitian Atifah (2006) tentang pemanfaatan hidrolisat pati sagu sebagai sumber karbon pada produksi bioplastik poli(3-hidroksialkanoat) oleh Ralstonia eutropha, PHA yang dihasilkan dengan substrat pati sagu termasuk jenis PHB (polihidroksibutirat) karena memiliki kemiripan titik leleh, gugus fungsional dan hasil metanolisis dengan PHB murni. PHB merupakan bahan termoplastik dengan banyak karakteristik menarik, salah satunya adalah kemiripannya dengan polipropilen. Permintaan pasar akan bahan termoplastik yang bersifat biodegradable ini juga sangat besar (Lafferty et al. di dalam Rehm and Reid, 1988). Kekurangan PHB sebagai bioplastik adalah bersifat rapuh dan kaku (Kim et al, 1994). Penggunaan bahan tambahan seperti pemlastis pada proses pembuatan bioplastik dari PHB diharapkan dapat memperbaiki kekurangan tersebut. Pemlastis tidak dapat dicampurkan begitu saja dengan PHB, diperlukan pelarut dan kondisi pelarutan yang sesuai agar PHB dengan pemlastis dapat bercampur dengan baik (Allcock dan Lampe, 1981).

PHB merupakan jenis polimer. Polimer memiliki molekul yang berbeda dengan molekul kebanyakan senyawa, karena memiliki rantai fleksibel yang sangat panjang, yang terdiri dari unit-unit yang berulang. Unit berulang ini memiliki ikatan yang fleksibel yang terbagi ke dalam segmen kinetik yang bergerak translasional sangat lambat jika dibandingkan dengan molekul kebanyakan (Furukawa, 2005), oleh karena itu pelarutan PHB dalam pelarut tidak mengikuti kaidah Ksp melainkan mengikuti kaidah sistem solven (interaksi dipol-dipol (Gaya van der waals) antara pelarut dengan zat terlarut) (Pine et al., 1988). PHB dapat larut dalam beberapa pelarut organik (Lafferty et al. didalam Rehm and Reid, 1988). Kloroform, dimetilformamida dan asam asetat glasial merupakan jenis pelarut yang memiliki kemampuan melarutkan bioplastik pada suhu ruang atau sedikit diatas suhu ruang (Durrans dan Davies, 1988). Ketiga pelarut ini memiliki kelarutan yang tinggi dalam


(29)

3 PHB dan merupakan pelarut yang biasa digunakan untuk melarutkan PHB (Lafferty et al. di dalam Rehm and Reid, 1988).

Menurut Day dan Underwood (1999), faktor-faktor penting yang mempengaruhi kelarutan adalah suhu, sifat dari pelarut dan kehadiran ion-ion lain dalam larutan. Suhu, komposisi (konsentrasi), pH, kekuatan ionik, dan irradiasi cahaya mempengaruhi sifat kelarutan polimer dalam suatu pelarut (Mark et al., 2004). Berdasarkan penelitian Wijanarko (2003) didapatkan pelarut terbaik adalah kloroform dengan perbandingan pelarut dan PHA 4:1, pelarut lain yang diujikan adalah aseton dan diklorometana. Wijanarko (2003) menyarankan adanya perlakuan suhu untuk menentukan kelarutan yang terbaik pada suhu diatas suhu ruang. Proses kimia dapat berjalan lebih cepat dengan naiknya suhu proses.

B. TUJUAN

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan pengaruh perlakuan suhu, jenis dan perbandingan PHA-pelarut terhadap kelarutan PHA. Selain itu juga untuk mendapatkan interaksi jenis pelarut dan kondisi pelarutan (perbandingan PHA-pelarut dan suhu) yang sesuai bagi pembentukan film bioplastik yang dihasilkan oleh Ralstonia eutropha pada substrat hidrolisat pati sagu.


(30)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. PATI SAGU

Sagu adalah tanaman berbiji tunggal (monokotil) yang berasal dari

keluarga Palmae, marga Metroxylon, Ordo Spadiciflorae (Gambar 1).

Keluarga Palmae yang memiliki kandungan pati cukup tinggi ini berasal dari

bahasa Yunani yang terdiri dari kata Metra yang berarti batang atau empulur

dan xylon yang berarti xylem. (Flach, 1997)

Gambar 1. Tanaman sagu

Potensi pemanfaatan sagu di Indonesia sangat besar. Saat ini setidaknya ada hutan sagu 1,25 juta hektare (Ha) di Papua dan Maluku, serta 148 ribu ha lahan sagu semi budidaya di kepulauan Riau, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua. Lahan tersebut merupakan lahan sagu terbesar di dunia. Sagu sangat potensial untuk dikembangkan sebagai bahan pangan alternatif bagi masyarakat Indonesia karena sagu mampu menghasilkan pati kering hingga 25 ton per hektare (Ha), jauh melebihi beras atau jagung. Kadar pati kering dalam sagu diatas kandungan pati beras yang hanya 6 ton per ha, sedangkan pati kering jagung hanya 5,5 ton (Humas, 2006).

Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan α-glikosidik yang

terdiri dari dua fraksi yaitu amilosa dan amilopektin. Amilosa mempunyai


(31)

5

selain mempunyai rantai lurus juga mempunyai cabang dengan ikatan α

-(1,6)-D-glukosa sebanyak 4-5% dari berat total (Winarno, 1997).

Pati sagu merupakan hasil ekstraksi pati dari batang empulur tanaman sagu dengan bantuan air. Tahapan proses pengolahan pati sagu secara tradisional meliputi: penebangan pohon, pemotongan dan pembelahan, penokokan atau pemarutan, pemerasan, penyaringan, pengendapan dan pengemasan (Haryanto dan Pangloli, 1992). Menurut Abner dan Miftahorrahman (2002), secara teoritis, dari satu batang pohon sagu dapat dihasilkan 100-600 kg pati sagu kering. Rendemen untuk pengolahan yang ideal adalah 15 %.

Pati sagu merupakan butiran atau granula yang berwarna putih mengkilat, tidak berbau dan tidak berasa. Pati sagu memiliki granula yang

berbentuk elips agak terpotong dengan ukuran granula sebesar 20-60 μm dan

suhu gelatinisasinya berkisar antara 60-72 0C (Knigt, 1969). Gambar granula

pati sagu dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Granula pati sagu (Winarno, 1997)

B. HIDROLISAT PATI SAGU

Sirup glukosa (hidrolisat pati) adalah nama dagang dari larutan hidrolisis pati, larutan ini merupakan cairan jernih dan kental dengan komponen utama glukosa dan diperoleh dari proses hidrolisa pati dengan cara kimia atau enzimatik. Proses hidrolisis pati menjadi molekul glukosa dapat dilihat pada Gambar 3.


(32)

6

(C6H10O5)n + n H2O (C6H12O6)n

pati Katalis, panas Glukosa

Gambar 3. Proses hidrolisis pati menjadi glukosa(Winarno, 1997)

Hidrolisis pati secara kimiawi dengan menggunakan asam lebih mudah dilakukan dibandingkan secara enzimatis. Peralatan yang diperlukan juga tidak terlalu rumit. Namun timbul beberapa masalah, seperti peralatan yang

digunakan harus tahan korosi dan DE (dextrose equivalent) yang dihasilkan

lebih rendah dibanding hidrolisis secara enzimatis (Berghmans, 1981). Hidrolisis enzimatis memiliki beberapa keuntungan, yaitu lebih spesifik prosesnya dan produk yang dihasilkan sesuai dengan yang diinginkan. Kondisi proses yang dapat dikontrol, biaya pemurnian murah, dihasilkan lebih sedikit produk samping dan abu serta kerusakan warna yang dapat diminimalkan (Norman di dalam Birch et al., 1981).

Pembuatan sirup glukosa dengan hidrolisis enzim terdiri atas tiga tahapan dalam mengkonversi pati yaitu : gelatinisasi, likuifikasi dan sakarifikasi. Gelatinisasi merupakan pembentukan suspensi kental dari larutan

pati yang disebabkan adanya kenaikan suhu (di atas 55oC), likuifikasi

merupakan proses hidrolisis pati parsial yang ditandai dengan menurunnya viskositas. Likuifikasi terjadi setelah gelatinisasi dengan adanya aktifitas

enzim α-amilase yang memecah ikatan α-(1,4)-glikosidik di bagian dalam

rantai polisakarida secara acak menghasilkan oligosakarida yang mengandung 6-7 maltosa (Fullbrook di dalam Dzieldzic dan Kearsley, 1984).

Proses selanjutnya adalah sakarifikasi. Sakarifikasi merupakan proses hidrolisis oligosakarida (hasil dari tahap likuifikasi) lebih lanjut oleh enzim tunggal atau enzim campuran menjadi glukosa (Chaplin dan Bucle, 1990). Sakarifikasi dengan enzim amiloglukosidase (AMG) selanjutnya akan memutuskan rantai molekul maltosa menjadi glukosa bebas. Tidak seperti likuifikasi yang hanya memakan waktu sekitar 60 menit, sakarifikasi biasanya memakan waktu yang lebih lama yaitu 24-96 jam (Fullbrook di dalam Dzieldzic dan Kearsley, 1984).

Menurut penelitian Akyuni (2004) tentang pemanfaatan sagu untuk membuat sirup glukosa menyatakan bahwa produksi hidrolisat pati sagu


(33)

7 secara enzimatis memiliki nilai DE tertinggi (50,83) pada tahap likuifikasi

diperoleh dengan waktu proses selama 210 menit dan pada konsentrasi α

-amilase 1,75 U/g pati, pH hasil proses likuifikasi ditepatkan menjadi 4-4,5 sebelum dilanjutkan ke proses sakarifikasi. Pada tahap sakarifikasi, nilai DE tertinggi (98,99) diperoleh pada konsentrasi amiloglukosidase 0,3 U/g pati dan waktu sakarifikasi 48 jam.

C. PHA (Poly-β-Hydroxyalkanoates)

PHA (Poly-β-Hydroxyalkanoates) adalah suatu famili poliester

thermoplastis bermolekul tinggi yang terbentuk secara alami atau melalui cara

bioteknologi khusus (Utz et al., 1991). PHB (Poly-β-Hydroxybutyrate) dan

kopolimer Poly-β-Hydroxybutyrate dengan Poly-β-Hydroxyvalerate

(PHB-co-PHV) merupakan dua tipe famili PHA yang paling banyak diteliti secara intensif dan telah banyak dijumpai di pasaran. PHA alami mengandung

sekelompok n-alkil. Struktur PHA dapat dilihat pada Gambar 4.

Berbeda dengan plastik konvensional yang dibuat dari bahan berbasis petrokimia, PHA dibuat dari bahan baku tumbuhan yang dapat diperbarui

yang digunakan sebagai substrat fermentasi (Yoshida et al., 1996). PHA

(Poly-β-Hydroxyalkanoates) terakumulasi di dalam bakteri sebagai hasil ketidakseimbangan nutrisi yang terjadi saat kelebihan karbon dan energi. PHA memiliki sifat termoplastik dan elastomer tergantung dari komposisi monomernya dan dapat terdegradasi secara sempurna.

PHA dibentuk dalam sitoplasma sel, bentuknya dapat berupa granula dan kristal. Granula tersebut mengandung PHA depolimerase yang terdapat dalam membran protein atau pada sitoplasma yang menyebabkan terjadinya

O

R O

O n

PHA rantai pendek R = H, CH3, CH2CH3

PHA rantai menengah R = (CH2)2CH3–(CH2)8CH3


(34)

8 degradasi polimer. PHA memiliki karakteristik kimia dan fisik yang dibutuhkan bagi penggunaannya sebagai termoplastik komersial. Polimer ini dapat digunakan lebih lanjut melalui pencetakan larutan maupun pelelehan untuk membentuk serat, film, plastik fleksibel, dan plastik rigid (Timmins et al., 1993).

Menurut Lafferty et al. di dalam Rehm and Reid (1988) PHA

memiliki densitas yang berkisar antara 1.171 dan 1.260 g.cm-3. Nilai densitas

yang lebih rendah berhubungan dengan densitas amorf, sedangkan nilai densitas yang lebih tinggi berkenaan dengan densitas kristalin. Titik leleh

PHA bervariasi dan biasanya berada diantara 157 dan 188oC. PHA memiliki

karakteristik thermoplastik dan dapat diekstrusi dan/atau diberi penekanan. PHA telah dibuktikan bersifat biodegradabel dalam lingkungan mikrobial aktif baik aerobik maupun anaerobik seperti pada limbah kompos aerobik dan anaerobik, sediman estuarin, tanah, air sungai, dan air laut

(Krupp dan Jewel, 1992; Page et al., 1992; Doi et al., 1991). PHA dapat

digunakan sebagai benang jahit pada operasi medis, peralatan rekaman karena sifat piezoelektrik yang baik, substitusi untuk poliester sintetis pada pembuatan serat dan sebagai bahan kemasan. Selain itu PHA dapat juga ditenun menyerupai wool katun sehingga cocok digunakan sebagai popok bayi (Crueger dan Crueger, 1984).

D. PHB (Poly-β-Hydroxybutyrate)

Poly-β-Hydroxybutyrate (PHB) sebagai salah satu jenis PHA merupakan suatu polimer linier dan di bawah kondisi normal merupakan

komponen yang relatif tidak reaktif. PHB dengan kopolimer

Poly-β-Hydroxybutyrate dengan Poly-β-Hydroxyvalerate (PHB-co-PHV) memiliki sifat-sifat termoplastik yang baik. PHB sering dibandingkan dengan polipropilen karena sifat fisiknya yang serupa. Perbedaannya adalah bahwa PHB sangat rapuh untuk beberapa penggunaan, dengan rasio elastisitas hampir dua kelas lebih rendah dibandingkan dengan polipropilen. Perbandingan sifat-sifat kimia PHB dan polipropilen dapat dilihat pada Tabel 1.


(35)

9

Tabel 1. Sifat fisik dan kimia polipropilen (PP) dan poly-β-hydroxybutyrate (PHB)

PARAMETER PP PHB

Titik Cair, Tm (oC) 171-186 171-182

Suhu Transisi Kaca, Tg (oC) -15 5-10

Kristalinitas (%) 65-70 65-80

Densitas (gcm-3) 0,905-0,94 1,23-1,5

Bobot Molekul, (Mw (x105) 2,2-7,0 1-8

Distribusi Bobot Molekul 5-12 2.2-3.0

Modulus Kelenturan (Gpa) 1,7 3,5-4,0

Kekuatan Tarik (Mpa) 39 40

Pemanjangan Hingga Putus (%) 400 6-8

Retensi Terhadap Ultraviolet Buruk Baik

Retensi Terhadap Pelarut Baik Buruk

Permeabilitas Oksigen (cm3m-2atm-1d-1) 1700 45

Sumber : Timmins et al., (1993)

Kopolimer PHB-co-PHV lebih fleksibel sehingga lebih disukai untuk

beberapa penggunaan (Poirier et al.,1995 seperti dikutip oleh

Ayorinde et al., 1998). Sperling dan Carraher di dalam Kroschwitz (1990)

menambahkan bahwa dengan kandungan komonomer yang rendah polimer tersebut menyerupai polivinilklorida yang tidak plastis, sedangkan dengan kandungan monomer yang cukup polimer ini memiliki sifat seperti polipropilen. Struktur kimia molekul PHB dapat dilihat pada Gambar 5.

O O

n

CH3

| CH

CH2

O || C

Gambar 5. Struktur kimia molekul PHB (Lafferty et al. di dalam


(36)

10 Pada konsentrasi yang tinggi dengan menurunnya kristalinitas, maka polimer ini lunak dan liat seperti polietilen. Meskipun PHB lebih rapuh dan lebih sensitif terhadap pelarut dibandingkan dengan poliester komersial, namun PHB memiliki resistansi yang lebih besar terhadap radiasi ultraviolet dan bersifat dapat didegradasi (Crueger dan Crueger di dalam Brock, 1984). Ketahanan kimia PHB terhadap minyak sangat baik dan polimer tersebut juga

bersifat tahan terhadap cairan dan impermeable (Kemmis, 1993).

Penggunaan PHB memberikan keuntungan dari sisi pertimbangan lingkungan karena sifatnya yang dapat didegradasi secara biologis. Dawes dan Sutherland (1976) menyatakan bahwa PHB merupakan polimer linier. Degradasinya memerlukan aktivitas proteolitik yang diikuti dengan hidrolisis oleh PHB depolimerase menjadi dimer dan selanjutnya dipecah menjadi monomer-monomer.

Menurut Hrabak (1992), PHB mempunyai karakteristik mirip polipropilen dengan tiga keunikan, yaitu termoplastik, 100% tahan air, dan

100% biodegradable. Lindsay (1992) dan Holmes di dalam Bassett (1988)

menambahkan bahwa PHB mempunyai beberapa karakteristik yang banyak diinginkan seperti ketahanan terhadap uap air dan tidak larut di air. Karakter

inilah yang membedakan PHB dengan biodegradable plastik yang lain. PHB

juga mempunyai impermeabilitas yang baik terhadap oksigen.

E. Ralstonia eutropha

Menurut Ishizaki dan Tanaka (1991) Ralstonia eutropha merupakan

bakteri kemoautotrof fakultatif yang dapat mengakumulasi poli-β

-hydroksyalkanoates (PHA) sebagai cadangan energi dalam kondisi kultur

yang mengandung sedikit mineral atau oksigen. Genus Ralstonia eutropha

berbentuk batang, batang bulat atau bulat dengan diameter 0,5-1,0 mikrometer

dan panjang 0,5-2,6 mikrometer. Ralstonia eutropha memiliki flagel


(37)

11

Gambar 6. Polimer PHB dalam sel Ralstonia eutropha

(www.metabolix.com, 2006)

Ralstonia eutropha termasuk dalam bakteri gram negatif yang mampu

mengakumulasi PHA (Poly-β-Hydroxyalkanoates) sebagai cadangan energi di

bawah kondisi kultur yang mengandung sedikit mineral atau oksigen (Ishizaki dan Tanaka, 1991). Akumulasi PHA terjadi setelah kondisi keterbatasan oksigen terjadi. Bobot kering sel dan perolehan PHA lebih tinggi pada kondisi keterbatasan oksigen dibandingkan kondisi keterbatasan amonium. Kemmish

(1993) mengatakan bahwa Ralstonia eutropha mampu mengakumulasi hingga

80 % polimer dalam berat kering sel.

Klem di dalam Robinson et al. (1999) menyatakan berdasarkan kajian

sekuens dan hibridisasi 16S RNA, Alcaligenes eutrophus sekarang

dikelompokkan ke dalam genus Ralstonia dengan nama baru Ralstonia

eutropha. Pada R. eutropha terdapat operon tunggal yang mengandung tiga jenis gen yang diperlukan untuk sintesa PHB, yaitu phaA, phbB, dan phbC. PhbA (yaitu ketothiolase) bergabung dengan dua molekul asetil-KoA untuk

menghasilkan asetoasetil-KoA yang kemudian direduksi menjadi D-β

-hidroksibutiril-KoA oleh phbB (yaitu suatu reduktase asetosetil-CoA yang

membutuhkan NADPH). Molekul D-β-hidroksibutiril-KoA membentuk unit

monomer PHB, kemudian dipolimerisasi melalui ikatan ester oleh phbC (yaitu suatu PHB sintetase). Pada lingkungan yang kaya, PHB secara enzimatis didegradasi menjadi asetil-KoA yang masuk ke jalur primer metabolisme dan dimineralisasi menjadi karbondioksida. Degradasi dimulai oleh dipolimerase


(38)

12

yang dikode sebagai gen phbZ. Jalur metabolisme dan degradasi PHB oleh R.

eutropha dari karbohidrat secara lebih lengkap dapat dilihat pada Lampiran 1.

Babel et al. di dalam Scheper (2001) menyatakan bahwa meskipun

faktor-faktor pembatas (ammonium, oksigen, fosfat, sulfat, K+, Mg2+ atau

Fe2+) memiliki peran dan pengaruh fisiologis yang berbeda, namun secara

kualitatif bakteri merespon pembatasan-pembatasan tersebut dalam bentuk yang hampir sama. Konsentrasi intraseluler asetil-KoA yang tinggi akan menunjang sintesis asetoasetil-KoA, sementara itu ekivalen pereduksi (reducing equivalent) harus ada untuk menarik asetoasetil-KoA yang terbentuk dari reaksi kesetimbangan. Secara umum, pasokan nutrisi yang tidak seimbang, misalnya nitrogen atau oksigen, akan menurunkan kompleksitas metabolisme dan menyalurkan rangkaian karbon ke jalur sintesis PHB. Ketika siklus TCA dihambat maka laju pelepasan 2/H/ (melalui siklus TCA) dan jumlah 2/H/ yang tersedia menurun. Jika siklus TCA terhenti maka reaksi sebelum siklus TCA harus menyediakan 2/H/ yang dibutuhkan untuk mereduksi asetoasetil-KoA menjadi 3-hidroksibutiril-KoA. Dengan demikian, jika ditambahkan glukosa maka siklus TCA tertunda dan sintesis PHB terjadi (Babel et al. di dalam Scheper, 2001).

F. PROSES PRODUKSI PHA

Proses produksi PHA secara umum terdiri dari dua tahap utama, yaitu kultivasi dan isolasi PHA. Tahap kultivasi merupakan tahap pertumbuhan biomas sel dan akumulasi biopolimer PHA. Setelah kultivasi berakhir, dilakukan pemanenan biomassa dan biopolimer yang diikuti dengan tahap isolasi biopolimer. Pemisahan biopolimer dapat dilakukan dengan pelarut (solvent based) maupun tanpa pelarut (non-solvent-based). Pemisahan tanpa pelarut pada dasarnya adalah proses melarutkan biomassa non-PHA, diikuti dengan sentrifugasi atau ultrafiltrasi. Pemisahan dengan pelarut merupakan proses ekstraksi PHA dengan pelarut, diikuti dengan presipitasi dengan

air/metanol (Kessler et al. di dalam Scheper, 2001). Tinjauan umum proses


(39)

13 KULTIVASI

TAHAP 1

PRODUKSI BIOMASSAA

Perkembangbiakan sel pada kondisi pertumbuhan seimbang

KULTIVASI TAHAP 2

AKUMULASI POLIMER PHA

Akumulasi polimer cadangan pada kondisi nutrisi terbatas

PEMANENAN

ISOLASI

Tanpa Pelarut

• Pelarutan biomassa

non-PHA

• Sentrifugasi / ultrafiltrasi

Dengan Pelarut

• Ekstraksi PHA dengan

pelarut

• Presipitasi dengan metanol

/air

Gambar 7. Skema tahapan umum produksi PHA (Kessler et al. di dalam Scheper, 2001).

Secara teknis PHA dapat diproduksi dengan kultivasi batch (curah),

fed-batch (terumpani) maupun kontinyu (sinambung). Sistem fed-batch

banyak diterapkan terutama untuk memicu peningkatan akumulasi PHA

di-dalam sel. Pada saat pergantian operasi dari batch ke fed-batch, densitas

biomassa telah mencapai level yang tinggi dan konsentrasi substrat kunci menurun dan hampir habis. Level substrat pembatas yang rendah tersebut dipertahankan dengan pengumpanan perlahan substrat berkonsentrasi tinggi

secara konstan (Nielsen dan Villadsen di dalam Rehm et al., 1993). Terkait

dengan penggunaan glukosa sebagai sumber karbon bagi R. eutropha,

beberapa strategi pengumpanan substrat telah dikembangkan selama kultivasi

fed-batch untuk menjaga konsentrasi glukosa agar tetap berada dalam rentang yang optimal bagi akumulasi PHB (Lee dan Choi di dalam Babel dan Steinbuthchell, 2001).

Menurut Atifah (2006), hidrolisat pati sagu dapat digunakan sebagai

sumber karbon bagi R. eutropha untuk tumbuh dan memproduksi PHA baik

pada kultivasi batch (curah) maupun pada kultivasi fed-batch. Akan tetapi,

kultivasi fed-batch dengan jenis umpan hidrolisat pati sagu adalah yang paling efektif diterapkan untuk meningkatkan konsentrasi PHA dan rendemen PHA


(40)

14 di dalam sel meskipun tidak efektif untuk meningkatkan konsentrasi sel. Konsentrasi PHA dan rendemen PHA di dalam sel dapat meningkat lebih dari dua kali lipat (3,72 g/L atau 76,54% dari bobot kering sel) dibandingkan dengan hasil kultivasi batch (1,44 g/L atau 32,65% dari bobot kering sel) pada kondisi karbon berlebih dengan indikasi nutrisi pembatas berupa magnesium,

sulfat, nitrogen dan fosfat. Ralstonia eutropha tumbuh paling baik pada

konsentrasi gula awal 30 g/L dengan laju pertumbuhan spesifik maksimal 0,108/jam dan rendemen molekuler (Yx/s) sebesar 0,227 g sel/g gula.

G. PROSES HILIR PHA

Ketika tahapan kultivasi telah selesai, sel yang mengandung PHA harus dipisahkan dari media kultivasi dengan berbagai prosedur konvensional seperti sentrifugasi, filtrasi atau flokulasi-sentrifugasi. Sel selanjutnya dipecah

agar polimer di dalamnya dapat diisolasi (Kessler et al. di dalam Scheper,

2001). Hal ini senada dengan Lafferty et al. di dalam Rehm and Reid (1988),

proses pemisahan biomassa yang mengandung PHA biasa dilakukan dengan cara sentrifugasi atau flokulasi dan sentrifugasi, kemudian tahap selanjutnya adalah pemisahan PHB/PHAs dari biomassa. Pemisahan PHA/PHB dari

biomassanya dapat dilakukan dengan ekstraksi pelarut, proses digest dengan

sodium hipoklorit dan proses digest secara enzimatis (Lee, 1996).

Metode yang paling sering digunakan untuk mengisolasi PHA adalah ekstraksi polimer dari biomassa menggunakan pelarut (seperti: kloroform, metilen klorida, propilen karbonat, dikloroetan) namun proses tersebut membutuhkan pelarut dalam jumlah besar (Lee, 1996). Beberapa metode lain juga dikembangkan, misalnya penggunaan sodium hipoklorit untuk memecah bahan-bahan sel non-PHA secara bertahap. Meskipun efektif, sodium hipoklorit dapat mendegradasi PHA sehingga menurunkan berat molekulnya (Kessler et al. di dalam Scheper, 2001).

Lee et al. (1999) melakukan pemecahan sel rekombinan E. coli yang

mengandung 69% PHB dengan NaOH 0,2 N selama satu jam pada suhu 30oC

dan PHB yang diperoleh menunjukkan kemurnian 97%. Apabila waktu


(41)

15 meningkat menjadi 98%, begitu juga jika konsentrasi NaOH ditingkatkan menjadi 2 N. Pemecahan bahan-bahan sel non-PHA dengan NaOH (NaOH

digestion) memiliki beberapa kelebihan, yaitu murah dan ramah lingkungan, PHB yang diperoleh memiliki kemurnian tinggi (>98%) dan selama proses ekstraksi tidak terjadi degradasi PHB.

PHA diketahui dapat larut dalam kloroform (Lafferty et al. di dalam

Rehm and Reid, 1988) dan cara ini telah lama digunakan untuk mengekstrak PHA dari biomassa mikrobial. Larutan PHA-kloroform dipanaskan pada suhu

40oC selama 20 jam. PHA-kloroform selanjutnya disaring dengan kertas

saring whatman 40 untuk memisahkan ampas dan larutan PHA-kloroform.

Kloroform diuapkan pada ruang asam sehingga PHA yang tersisa membentuk suatu lapisan PHA kering yang lebih murni.

H. PELARUT BIOPLASTIK

Mellan (1950) menjelaskan bahwa pelarut dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok polar dan non polar. Terdapat kecenderungan kuat bagi senyawa non polar untuk larut dalam pelarut non polar dan bagi senyawa kovalen polar atau senyawa ion untuk larut dalam pelarut polar, dengan

perkataan lain, sejenis melarutkan sejenis (Keenan et al., 1984). Perbedaan

dari kedua kelompok tersebut adalah potensial elektrik. Kelompok non polar tidak memiliki potensial elektrik pada molekulnya, sedangkan kelompok polar memiliki potensial elektrik pada molekulnya. Pelarut yang memiliki gugus karboksil (alkohol) dan karbonil (keton) termasuk dalam pelarut non polar. Pelarut yang bersifat non polar, misalnya hidrokarbon hanya dapat melarutkan senyawa yang bersifat non polar. Senyawa polar hanya dapat larut dalam pelarut polar, misalnya air (Mellan,1950) .

Terdapat berbagai gaya antar rantai di dalam polimer. Jika rantai mengandung atom yang sangat elektronegatif, seperti oksigen, maka efek induktif (dorongan elektron dalam ikatan kovalen menuju elektron yang lebih elektronegatif) menyebabkan rantai terpolarkan. Oleh karenanya tarikan

dipol-dipol terjadi dan bagian σ- suatu rantai akan tertarik ke bagian σ+ rantai


(42)

16 tetangganya, sehingga menyebabkan terjadinya tarikan antar rantai. Gaya tarik antara dipol-imbasan dan dipol tetap disebut gaya imbas (gaya induksi) dan biasanya kecil. Jenis gaya ini dikenal dengan gaya London atau gaya dispersi. Elektron pada suatu saat tertentu dalam atom, tidak tersebar secara setangkup diseputar intinya, karena lebih banyak elektron berada pada suatu sisi daripada sisi yang lainnya. Akibatnya terjadi dipol sementara, dengan cara yang sama dipol sementara terjadi pada rantai polimer dan mengimbas dipol pada rantai tetangganya, menghasilkan tarikan antar rantai. Untuk rantai polimer yang mempunyai dipol, gaya tarik atau gaya Van Der Waals, dan sebagian besar disebabkan oleh gaya London (Cowd didalam Clark, 1991).

Gaya Van Der Waals tersusun dari beberapa gaya tarik antar molekul. Gaya-gaya tersebut adalah gaya orientasi, gaya induksi dan gaya dispersi/London. Apabila molekul-molekul yang membentuk kristal molekuler mempunyai momen dipol dan molekul-molekul mempunyai orientasi yang tepat, maka akan terjadi gaya tarik dipol-dipol. Gaya yang timbul disebut gaya orientasi. Gaya tarik molekul atau atom non polar dengan molekul polar cukup besar karena adanya induksi kepada molekul atau atom yang non polar. Gaya tarik yang terjadi disebut gaya induksi, sedangkan molekul-molekul polar seperti gas mulia tidak mempunyai dipol, molekulnya simetris, adanya perpindahan sedikit dari kedudukan inti dan elektron dalam molekul, menyebabkan terjadinya dipol pada molekul lain akibat induksi, hingga terjadi gaya tarik, yang disebut gaya tarik dispersi (Sukardjo, 1989).

Tarikan antar-rantai jenis lainnya yang penting adalah akibat ikatan hidrogen yang dapat dipandang sebagai suatu bentuk khas antar aksi dipol-dipol. Ketika atom hidrogen terikat pada atom yang sangat elektronegatif, maka inti hidrogen hampa akan elektron pelindung sebab awan pasangan elektron tertarik pada atom yang lebih elektronegatif (efek imbas). Inti hidrogen kemudian membentuk ujung yang positif dipol kuat dan mencari daerah kerapatan elektron tinggi misalnya atom elektronegatif (mempunyai muatan) yang terbentuk pada rantai tetangganya. Hasilnya adalah tarik menarik antar rantai yang kuat.


(43)

17 Cairan dapat menjadi pelarut yang baik bagi suatu polimer apabila molekul-molekul dari cairan tersebut menyerupai unit-unit struktural polimer secara kimia dan fisik (Allcock dan Lampe, 1981). Sedang menurut Rabek (1983), pelarut polimer yang baik adalah pelarut yang memiliki parameter kelarutan sama atau mirip dengan parameter kelarutan polimer yang akan dilarutkan. Parameter kelarutan itu adalah gaya dispersi, kapasitas ikatan hidrogen serta polaritas dan interaksi induksi. Parameter kelarutan ketiga pelarut dapat dilihat pada Tabel 2 .

Tabel 2. Nilai parameter kelarutan pada beberapa pelarut*

Pelarut

Gaya Dispersi

Kapasitas Ikatan Hidrogen

Polaritas dan Interaksi Induksi

Kloroform 8,65 1,5 2,8

Asam asetat 7,1 3,9 6,6

Dimetilformamida 8,52 6,7 5,5

*) Rabek, 1983

Suatu pelarut yang ideal ditandai oleh kemampuannya untuk melarutkan sejumlah polimer dalam selang temperatur yang dibatasi oleh temperatur kristalisasi larutan atau temperatur pengadukan yang rendah dan pada temperatur dimana tekanan uap larutan sebesar 1 torr (1 torr = 1/760 atm = 133,322 N m-2 (SI)). Pada prakteknya pelarut polimer ideal seperti itu tidak ada. Suatu bahan yang bersifat non-pelarut ditandai dengan ketidakmampuannya untuk melarutkan polimer pada temperatur berapapun di bawah tekanan atmosfer (Rabek,1983).

Allock dan Lampe (1981) menjelaskan bahwa pelarut yang baik bersifat mudah menguap sehingga akan menguap dengan laju penguapan yang sesuai pada suhu ruangan atau sedikit di atas suhu ruang. Pelarut ini juga tidak terlalu volatil sehingga tidak akan menguap terlalu cepat dan membentuk gelembung atau endapan semikristalin. Penguapan yang terlalu cepat dalam pembuatan film dapat menyebabkan pendinginan film sehingga menyebabkan terjadinya penarikan atau kondensasi air dan udara.


(44)

18

Poli-β-hidroksialkanoat (PHA) dapat larut pada berbagai pelarut

seperti kloroform, metilen klorida, etilen klorida, piridin atau campuran diklorometan/etanol (Atkinson dan Mavituna, 1991). Kelarutan PHB dalam beberapa pelarut dapat dilihat pada Lampiran 2.

1. Kloroform (CHCl3)

Kloroform adalah nama umum untuk triklorometana (CHCl3),

merupakan pelarut aprotik yaitu pelarut yang molekul-molekulnya tidak ikut serta dalam kesetimbangan yang melibatkan proton, memiliki tetapan dielektrik sebesar 4,81 (Rivai, 1995). Kloroform sering digunakan sebagai bahan pembius, meskipun kebanyakan digunakan sebagai pelarut nonpolar di laboratorium atau industri. Wujudnya pada suhu ruang berupa cairan, namun mudah menguap, memiliki stuktur molekul tetrahedral (Anonim3, 2005).

Gambar 8. Struktur kimia kloroform (Anonim3, 2005)

Kloroform merupakan cairan dengan berat molekul tinggi, tidak berwarna, berbau harum, dan sangat toksik. Senyawa ini bersifat toksik dan narkotik, sehingga tidak digunakan secara luas sebagai pelarut. Cairan ini juga bersifat stabil dengan titik didih rendah (Mellan, 1950). Kloroform juga memiliki daya larut yang sangat tinggi dan telah dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan khusus seperti pelarut lemak, minyak, lilin, alkaloid dan lain-lain. Kloroform digunakan sebagai pelarut yang umum pada industri

lemak, gum, minyak, parafin/lilin, plastik dan polimer (Anonim3, 2005).

Kloroform dapat larut dengan semua hidrokarbon terhalogenasi dan dengan sebagian besar pelarut lainnya. Sifat fisika dan kimia kloroform dapat dilihat pada Tabel 3.


(45)

19 Tabel 3. Sifat-sifat fisik kimia kloroform*

Parameter Nilai

Berat Molekul 119,3

Titik Didih 60-62 oC

Titik Beku -63,5 oC

Gravitasi Spesifik 1,499 (15 oC)

Panas Spesifik 0,233 Cal/g atau B.t.u/lb/oF

Kalor Laten Penguapan

59,1 Cal/g 106,4 B.t.u/lb

Viskositas

5,63 millipoise (20 oC) 5,10 millipoise (30 oC)

*) Mellan (1950)

2. Asam Asetat Glasial (CH3COOH)

Asam asetat glasial merupakan larutan yang mengandung 99.5 %

asam asetat (methane carboxylic acid atau ethanoic acid). Termasuk

dalam golongan senyawaan asam karboksilat. Jernih, asam organik yang tidak berwarna, memiliki bau yang khas seperti cuka, digunakan sebagai pelarut dalam industri karet, plastik, serat asetat, obat-obatan, dan fotografi. Asam asetat glasial mendidih pada suhu 118°C, dan memiliki densitas sebesar 1.049 g/mL pada 25°C. mudah terbakar pada titik nyala api 39°C. Asam asetat larut pada semua perbandingan dalam air, etil alkohol, dan dietil eter dengan ikatan hidrogen, bersifat sangat korosif (Anonim1, 2005).

Asam asetat glasial juga digunakan untuk sintesis anhidrat asam asetat, ester, garam, zat warna, zat wangi, bahan farmasi, plastik, serat

buatan, selulosa dan sebagai penambah makanan. Asam asetat glasial ini

bersifat racun, berbahaya dan termasuk bahan yang korosif. Cairan dan uapnya dapat menyebabkan luka bakar yang hebat pada seluruh jaringan tubuh manusia, jika tertelan dapat menyebabkan kerusakan yang fatal, dan jika terhirup berbahaya bagi paru-paru dan gigi, bersifat mudah terbakar


(1)

Tabel 2. Hasil pengamatan fisik pelarutan dengan asam asetat glasial

Konsentrasi Suhu kamar

(25o C) Suhu 50

0 C 1:10 Tidak terbentuk lembaran, berbutir kasar Tidak terbentuk lembaran, berbutir agak halus 1:20 tidak terbentuk lembaran, berbutir halus

tidak terbentuk lembaran, berbutir kasar 1:30 Tidak terbentuk lembaran, butiran seperti pasir Tidak terbentuk lembaran, butiran agak kasar

Pelarutan PHA dengan menggunakan dimetilformamida tidak menghasilkan bentuk lembaran untuk semua unit percobaan yang dilakukan, sama seperti pada perlakuan dengan menggunakan asam asetat glasial. Hal ini dikarenakan molekul PHA dalam pelarut dimetilformamida tidak membentuk interaksi dipol-dipol yang baik dengan kondisi perlakuan yang diberikan, dimetilfornamida tidak dapat berimbibisi dengan baik dalam molekul PHA (suspensi partikel-partikel kecil), sehingga rantai PHA yang membelit satu sama lain hanya mencapai radius yang tidak sampai mengakibatkan rantainya saling bertindih dan melingkar satu sama lain dan lembaran bioplastik pun tidak terbentuk. Kemungkinan kondisi pelarutan yang berbeda (misalkan dengan melarutkan dalam tekanan inert, suhu yang lebih besar dari 1000C) akan menghasilkan interaksi dipol yang baik ini karena menurut Lafferty et al. di dalam Rehm and Reid (1988) dimetilformamida memiliki kelarutan yang tinggi dalam PHB dan merupakan pelarut yang biasa digunakan untuk melarutkan PHB. Hasil pengamatan disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Hasil pengamatan fisik pelarutan dengan dimetilformamida

Konsentrasi Suhu kamar (25o C)

Suhu 500C

1:10 Tidak terbentuk lembaran,

berbutir kasar

Tidak terbentuk lembaran, berbutir halus

1:20 Tidak terbentuk lembaran,

berbutir kasar

Tidak terbentuk lembaran, berbutir halus

1:30 Tidak terbentuk lembaran,

butiran kasar

Tidak terbentuk lembaran, butiran halus

PHA setelah pelarutan menghasilkan serpihan-serpihan PHA yang ukurannya lebih besar dibandingkan ketika dilarutkan dalam asam asetat glasial. Perlakuan suhu mempengaruhi hasil pengamatan fisik, sehingga didapatkan serpihan

yang ukurannya lebih kecil dari perlakuan pada disuhu ruang.

Perlakuan yang sama juga dilakukan terhadap blanko (PHB murni) dari Sigma aldrich. Hasil penelitian menunjukkan, dari semua unit percobaan, hanya sampel yang dilarutkan pada kloroform dengan menggunakan suhu 500 C saja yang dapat membentuk lembaran.

PHA hidrolisat pati sagu mampu membentuk lembaran kembali pada berbagai perlakuan suhu baik pada suhu ruang (25oC) maupun suhu 500C. Hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut, proses hilir PHA hidrolisat pati sagu menggunakan kloroform sebagai pelarut. Ekstraksi dengan pelarut tertentu dapat mengubah kekuatan dielektrik sistem pelarut dan zat yang terlarut (Lafferty et al. di dalam Rehm and Reid, 1988). Selain itu, ekstraksi pelarut juga dapat menurunkan kepolaran media (konstanta dielektrik) dan meningkatkan interaksi elektrostatik (Harrison, 1990). Turunnya konstanta dielektrik dan meningkatnya interaksi elektrostatik PHA hidrolisat pati sagu terhadap kloroform (akibat proses hilir), maka PHA dapat larut dengan baik dalam kloroform dengan berbagai perlakuan suhu.

Tabel 4. Hasil pengamatan fisik pelarutan PHB murni

Pelarut Suhu kamar (25o C)

Suhu 500C

Kloroform Tidak terbentuk lembaran, berbutir halus seperti PHB murni awal

Terbentuk, sangat halus dan rata ketebalannya Asam asetat glasial Tidak terbentuk lembaran, berbutir halus seperti PHB murni awal Tidak terbentuk lembaran, berbutir halus seperti PHB murni awal Dimetylfor mamida Tidak terbentuk lembaran, berbutir halus seperti PHB murni awal Tidak terbentuk lembaran, berbutir halus seperti PHB murni awal

KESIMPULAN

Larutan dengan nilai absorbansi yang rendah menunjukkan kelarutan PHA yang tinggi terhadap pelarut. Meningkatnya suhu menyebabkan nilai absorbansi turun begitu pula ketika semakin banyak pelarut yang digunakan (meningkatnya perbandingan PHA-pelarut) maka semakin kecil pula nilai absorbansi. Namun interaksi antara jenis pelarut dan suhu menunjukkan bahwa dengan adanya peningkatan suhu maka nilai absorbansi untuk pelarut asam asetat glasial dan dimetilformamida cenderung meningkat. Hal ini berbeda dengan pelarut


(2)

kloroform yang memiliki nilai absorbansi yang cenderung menurun dengan peningkatan suhu. Perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan ukuran partikel PHA terlarut di dalam masing-masing pelarut.

Pengujian nilai kekeruhan menghasilkan hubungan yang positif dengan pengujian nilai absorbansi. Nilai kekeruhan yang kecil menunjukkan kelarutan PHA yang tinggi pada pelarut. Namun interaksi antara perlakuan jenis pelarut dengan suhu pelarutan menunjukkan ketiga pelarut mengalami kenaikan nilai kekeruhan seiring dengan kenaikan suhu. Perlakuan suhu berpengaruh terhadap nilai kekeruhan karena kenaikan suhu menyebabkan terjadinya browning (pencoklatan) terhadap molekul PHA akibat panas. Interaksi suhu pelarutan dengan perbandingan PHA-pelarut mempengaruhi pengukuran nilai kekeruhan PHA, nilai kekeruhan mengalami penurunan seiring dengan bertambahnya jumlah pelarut, dan bertambah seiring dengan naiknya suhu.

Jenis pelarut mempengaruhi peningkatan nilai viskositas larutan karena masing-masing pelarut mempunyai sifat fisik dan kimia yang berbeda, hal ini menyebabkan interaksi yang berbeda pula antara pelarut dengan PHA. Interaksi jenis pelarut dengan perbandingan PHA-pelarut menunjukkan bahwa sejalan dengan meningkatnya konsentrasi, nilai viskositas semakin turun. Interaksi antara perlakuan jenis pelarut dan suhu menunjukkan bahwa dengan bertambahnya suhu pelarutan maka nilai viskositas ketiga pelarut juga menjadi ikut naik. Hal ini disebabkan pelarut dapat lebih mudah berimbibisi dalam molekul PHA ketika suhu naik tidak terlalu tinggi dari suhu ruang dan menyebabkan nilai viskositas yang terbaca naik.

Nilai swelling index yang besar menunjukkan bahwa PHA lebih mudah menyerap pelarut. Interaksi perlakuan jenis pelarut dengan suhu menunjukkan bahwa sejalan dengan peningkatan suhu, maka nilai indeks swelling mengalami kenaikan untuk semua jenis pelarut yang digunakan. Peningkatan perbandingan PHA-pelarut juga menyebabkan nilai indeks swelling mengalami kenaikan.

Pengaruh perlakuan dalam pembentukan lembaran PHA, dari semua unit percobaan yang diujikan, didapatkan hanya PHA yang dilarutkan dalam pelarut kloroform saja yang dapat membentuk lembaran. Lembaran yang paling baik teksturnya dan rata ketebalannya, yaitu pada kondisi perbandingan konsentrasi 1:30 suhu 50 0

C, sedangkan pelarutan PHA blanko yang hanya membentuk lembaran apabila dilarutkan pada kloroform dengan menggunakan suhu 500 C. Perlakuan yang sesuai yang dihasilkan dari analisa

kelarutan PHA dan pengamatan fisik adalah perlakuan pelarut kloroform dengan perbandingan PHA-pelarut 1:30 pada suhu 500 C.

SARAN

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui waktu pelarutan optimal sehingga didapatkan waktu proses yang lebih efisien, kelarutan PHA dalam kloroform teknis untuk mengurangi biaya produksi film bioplastik PHA, pelarut lain yang dapat melarutkan PHA selain ketiga pelarut yang telah digunakan pada penelitian ini dan pengaruh kecepatan pengadukan terhadap pelarutan bioplastik.

DAFTAR PUSTAKA

Akmaliah, P. 2003. Pengaruh Konsentrasi Pemlastis Dimetil Ftalat Terhadap Karakteristik Bioplastik Dari Polyhydroxyalkanoates (PHA) Yang Dihasilkan Ralstonia Eutropha Pada Substrat Hidrolisat Minyak Sawit. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor.

Akyuni, D. 2004. Pemanfaatan Pati Sagu (Metroxylon sp.) untuk Pembuatan Sirup Glukosa Menggunakan α-Amilase dan Amiloglukosidase. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian-Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Allcock, H.R. dan F.W. Lampe. 1981. Contemporary Polymer Chemistry. Prentice-Hall, Inc., Englewood Cliffs, New Jersey 07632

Anonim1. 2006. Tanya Jawab.

http://www.answers.com/topic/turbidimetry. [15 November 2006]

Anonim2. 2006. Gel Hidrokoloid. http://www.ebookpangan.com. [25 Desember 2006]

.Atifah, N. 2006. Pemanfaatan Hidrolisat Pati Sagu Sebagai Sumber Karbon Pada Produksi Bioplastik Poli-(3-Hidroksialkanoat) Secara Fed-Batch oleh Ralstonia eutropha. Tesis. Fakultas Teknologi Pertanian-Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Cowd. M. A. 1982. Polimer Chemistry. Di dalam Clark, J.G. (ed). 1982. Modern Chemistry background readers : John Murray (Publishers Ltd), London. Diterjemahkan Harry, F. 1991. Kimia Polimer. Penerbit : ITB. Bandung

Day, R.A. dan A. L. Underwood. 1980. Quantitative Analysis, 4 th edition. Diterjemahkan R. Soendoro,drs, Widaningsih. W, dan Sri Rahadjeng (eds). 1999. Analisis Kimia Kuantitatif. Edisi keenam. PT. Gelora Aksara Pratama, Erlangga. Jakarta.


(3)

Durrans, T.H., dan E.H. Davies. 1988. Solvent. Chapmann and Hall Ltd. London.

Furukawa, J. 2005. Physical Chemistry of Polymer Rheology. Kodansa, Springer. USA. Gordon, Manfred. 1963. High Polimers Structure

and Physical Properties. Addison-Wesley Publishing Company, Inc. London.

Harrison, S.T. 1990. The extraction and purification of Poly-β-hydroxybutirate from Alcaligenes eutrophus. Di dalam Van Wegen, R. J., Y. Ling dan A. P. J. Middleberg. 1998.

Industrial Production of Polyhydroxyalkanoates Using Escherichia

Coli: An Economic Analysis. Trans Chem E., Vol 76, Part A. pp. 417-426.

Hildebrand, J.H., J.M. Prausnitz dan R.L. Scott. 1970. Reguler and Related Solutions. Van Nonstrand, New York

Kim, B.S., S.C. Lee, S.Y. Lee, H.N. Chang dan S.I. Woo. 1994. Production of Poly-3-Hydroxybutiric Acid by Fed Batch Culture of Alcaligenes eutrophus with Glucose Concentration Control. Biotechnol. Bioeng. 43:892-898.

Lafferty RM, Korstko B dan Korsatko W. (1988). Microbial Production of Poly (3-hydroxybutyric acid). In: Rehm H.J. and Reed G. eds. Biotechnology, Vol. 6. Verlagsgesellschaft, Weinheim, Germany. pp. 135-176.

Lee,S.Y.1996.Bacterial Polyhydroxyalkanoates. Biotechnol. Bioeng. 49:1-14

.

Mark J, Ngai K, Graessley W, Mandelkern L, Samsulski E, Koenig J, dan Wignall G. 2004. Physical Properties of Polymers Third Edition. Cambridge University Press. USA. Noda, Isao. 1998. Solvent extraction of

polyhydroxy-alkanoates from biomass facilitated by the use of marginal nonsolvent. United States Patent 5821299.

Pine, S.H., J. B. Hendrickson, D.J. Cram, dan G.S. Hammand. 1980. Organic Chemistry Fourth Edition. Mc Graw-Hill, Inc. Diterjemahkan oleh Roehyanti, S. dan Sasanti W. 1988. Kimia Organik 2 (dala dua jilid). ITB : Bandung.

Pruett, K. M. 1988. Chemical Resistance for Elastomers. Compass Publications. California Rabek, J. F. 1983. Experimental Methods in Polymer Chemistry. Departement of Polymer Technology, The Royal Institute of Technology, Stockholm. Sweden. A. Wiley-Interscience Publication. Toronto.

Spink, W. P dan W.F. Waychoff 1958/1959. Plasticizers. Di dalam Modern Plastic Encyclopedia Issue. Hildrent Press, Inc. New York.

Srivastava, A.C. 1989. Instrumentation Technic. Diterjemahkan oleh Sutanto. Teknik Instrumentasi. Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta.

Sugiarti, R. 2003. Pengaruh Konsentrasi Tributil Fosfat Terhadap Karakteristik Bioplastik dari Poli-3-Hidroksialkanoat (PHA) Yang Dihasilkan Oleh Ralstronia eutropha Dengan Substrat Hidrolisat Minyak Sawit. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Sukardjo. 1985. Ikatan Kimia. Rineka Cipta, Yogyakarta.

Van Wegen, R. J., Y. Ling dan A. P. J. Middleberg. 1998. Industrial Production of Polyhydroxyalkanoates Using Escherichia Coli: An Economic Analysis. Trans Chem., Vol 76, Part A. pp. 417-426.Wang DIC, Cooney CL, Demain AL, Dunnil P, Humprey AE, Lilly MD. 1978. Fermentation and Enzyme Technology. New York : John Willey and Sons.

Wijanarko,Q. 2003. Pengaruh Jenis Pelarut Terhadapkarakteristik Biopolimer Yang Dihasilkan Oleh Alcaligenes eutrophus Pada Subtrat Hidrolisat Minyak Sawit . Skripsi . Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor.


(4)

PENGARUH SUHU, JENIS DAN PERBANDINGAN PELARUT TERHADAP

KELARUTAN BIOPLASTIK DARI PHA

(

Poly-

β

-Hydroxyalkanoates)

YANG DIHASILKAN

Ralstonia eutropha

PADA

SUBSTRAT HIDROLISAT PATI SAGU

Oleh

DOSSI RAHDUMI ANATIA

F34102044

2006

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(5)

PENGARUH SUHU, JENIS DAN PERBANDINGAN PELARUT TERHADAP

KELARUTAN BIOPLASTIK DARI PHA

(

Poly-

β

-Hydroxyalkanoates)

YANG DIHASILKAN

Ralstonia eutropha

PADA

SUBSTRAT HIDROLISAT PATI SAGU

Oleh

DOSSI RAHDUMI ANATIA

F34102044

JURNAL SKRIPSI

Sebagai satu syarat untuk melaksanakan sidang untuk memperoleh gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian

Fakultas Teknologi Pertanian

Institut Pertanian Bogor

2006

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(6)

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

PENGARUH SUHU, JENIS DAN PERBANDINGAN PELARUT TERHADAP

KELARUTAN BIOPLASTIK DARI PHA

(

Poly-

β

-Hydroxyalkanoates)

YANG DIHASILKAN

Ralstonia eutropha

PADA

SUBSTRAT HIDROLISAT PATI SAGU

JURNAL SKRIPSI

Sebagai satu syarat untuk melaksanakan sidang untuk memperoleh gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian

Fakultas Teknologi Pertanian

Institut Pertanian Bogor

Oleh

DOSSI RAHDUMI ANATIA

F34102044

Bogor, 29 Desember 2006

Menyetujui,

Ir. Muslich, MSi

Dosen Pembimbing I


Dokumen yang terkait

Produksi dan Karakterisasi Poly-β-hydroxyalkanoates (PHA) yang Dihasilkan oleh Ralstonia eutropha Menggunakan Substrat Hidrolisat Minyak Sawit

0 7 79

Pengaruh Konsentrasi Pemlastis Dietil Glikol Terhadap Karakteristik Bioplastik dari Polyhydroxyalkanoates (PHA) yang dihasilkan Ralstonia eutropha pada Substrat Hidrolisat Minyak Sawit

0 7 94

Pengaruh Konsentrasi PemIastis Dimetil Ftalat terhadap Karakteristik Bioplastik dari Polyhydroalkanoates (PHA) yang Dihasilkan oleh Ralstonia eutropha pada Substrat Hidrolisat Minyak Sawit

0 10 78

Pembuatan dan Karakterisasi Bioplastik dari Poly-3-Hidroksialkanoat (PHA) yang Dihasilkan Ralstonia Eutropha pada Hidrolisat Pati Sagu dengan Penambahan Dimetil Ftlat (DMF)

0 19 102

Kajian Pengaruh Penambahan Dietilen Glikol sebagai Pemlastis pada Karakteristik Bioplastik dari Poli-Beta-Hidroksialkanoat (PHA) yang Dihasilkan Ralstronia eutropha pada Substrat Hidrolisat Pati Sagu

0 13 96

Peran PEG 400 dalam Pembuatan Lembaran Bioplastik Polihidroksialkanoat yang Dihasilkan Oleh Ralstonia eutropha dari Substrat Hidrolisat Pati Sagu

0 7 7

Pembuatan Bioplastik Poli-Β-Hidroksialkanoat (Pha) Yang Dihasilkan Oleh Rastonia Eutropha Pada Substrat Hidrolisat Pati Sagu Dengan Pemlastis Isopropil Palmitat

1 12 98

Pengaruh penambahan polioksietilen-(20)-sorbitan monolaurat pada karakteristik bioplastik poli-hidroksialkanoat (pha) yang dihasilkan Ralstonia eutropha pada substrat hidrollsat pati sagu

0 4 6

Pengaruh Konsentrasi Peg 400 terhadap Karakteristik Bioplastik Polihidroksialkanoat (Pha) yang Dihasilkan Oleh Ralstonia Eutropha Menggunakan Substrat Hidrolisat Pati Sagu

1 28 96

Pengaruh Proporsi Hidrolisat Minyak Sawit dengan Asam Propanoat terhadap Perolehan dan Karakteristik Poly-β-Hydroxyalkanoates yang dihasilkan oleh Ralstonia eutropha

0 4 3