menjadi menurun hingga bernilai nol pada lembaran bioplastik 40 DEG karena lembaran bioplastik dengan DEG 40 tidak dapat terbentuk.
Bila dibandingkan dengan PP, nilai perpanjangan putus lembaran bioplastik yang dihasilkan pada penelitian ini sangat rendah. Hal ini
disebabkan oleh struktur molekul yang sangat berbeda. Pada PP, struktur molekul berupa rantai lurus sehingga pada saat diregangkan, PP yang
awalnya merupakan gulungan rantai lurus akan mulai teregang secara terarah diilustrasikan seperti pada Gambar 11. Berbeda halnya dengan
lembaran bioplastik yang memiliki ikatan hidrogen antara DEG dan PHA yang membentuk struktur amorf. Struktur amorf tersusun tidak teratur dan
kurang kompak sehingga lembaran bioplastik tidak dapat dimulurkan hingga 400.
Gambar 11. Ilustrasi proses uji kuat tarik dan perpanjangan putus Allcock dan Lampe, 1981
Tegang an
Tegang Gulungan rantai
makro-molekul Terarah
an
Berdasarkan uji perpanjangan putus, lembaran bioplastik dengan penambahan DEG sebesar 20 menghasilkan sifat fisik yang terbaik
karena lebih plastis. Oleh karena itu sampel lembaran bioplastik 0 dan 20 DEG digunakan untuk pengujian DSC dan FTIR guna mengetahui
sifat kristalinitas, titik leleh dan gugus fungsi. Hasil uji kuat tarik dan perpanjangan putus dapat dilihat pada Lampiran 8.
2. Sifat Termal
Sifat termal lembaran bioplastik berupa suhu leleh melting point, T
m
dan suhu transisi kaca glass transition temperature, T
g
yang dapat diketahui dengan menggunakan Differential Scanning Calorimetry DSC.
Pengujian sifat termal dilakukan untuk mengetahui karakteristik suatu bahan berdasarkan fungsi suhu dan waktu. Sampel dipanaskan atau
didinginkan pada laju konstan. Saat sampel dipanaskan, didinginkan atau didiamkan pada suhu konstan, DSC akan mengukur energi panas yang
diserap atau dilepaskan oleh sampel lembaran bioplastik. Hasil analisa sifat termal dapat dilihat pada Gambar 12.
73,76 Jg
T
m
: 168,72
o
C
a
T
m
: 167,51
o
C 46,67 Jg
T
m
: 167,51
o
C 46,67 Jg
b Gambar 12. Spektra DSC lembaran bioplastik 0 DEG a, 20 DEG b
Hasil uji DSC menghasilkan peak yang mengarah kebawah. Hal ini menandakan bahwa sampel menyerap energi kalor sehingga entalpi akan
berubah. Oleh karena sampel menyerap energi maka proses yang terjadi adalah proses endoterm. Penyerapan energi menyebabkan terjadinya
pelelehan sampel. Pada suhu terjadinya pelelehan sampel, dicapai puncak absorbsi energi kalor yang ditunjukkan dengan peak. Peak tersebut
merupakan suhu pelelehan sampel T
m
. Dari hasil spektra DSC terhadap lembaran bioplastik 0 DEG dan
20 DEG yang merupakan hasil terbaik dari lembaran bioplastik dengan konsentrasi lain menghasilkan jumlah peak yang berbeda. Bioplastik 0
DEG memiliki dua buah peak yaitu pada 149,84
o
C dan 168,72
o
C. Peak 149,84
o
C berbentuk landai dan tidak terjaltajam sedangkan peak 168,72 berbentuk sangat tajam. Berbeda halnya dengan lembaran bioplastik 20
DEG. Lembaran bioplastik ini memiliki tiga buah peak yaitu pada suhu 32,71
o
C; 133,1
o
C dan 167,51
o
C. Peak 31,71
o
C dan 133,1
o
C berbentuk landai seperti lembah sedangkan peak 167,51
o
C berbentuk tajam seperti jurang.
Jumlah peak yang terbentuk dari tiap mengujian menandakan banyaknya komponen yang terkandung didalam sampel. Pada bioplastik
0, terdapat dua buah peak dan komponen dominan yang terkandung dalam sampel akan ditunjukkan dengan bentuk peak yang lebih tajam.
Pada hasil uji ini, suhu 168,72
o
C merupakan titik leleh dari PHA karena suhu 168,72
o
C memiliki peak yang lebih tajam dibandingkan peak pada suhu 149,84
o
C. Titik leleh 168,72
o
C juga mendekati titik leleh PHB yaitu 171
o
C Brandl et al.,1990 dalam Atkinson dan Mavituna, 1991. Peak 149,84
o
C diduga merupakan titik leleh dari komponen lain yang terkandung di dalam lembaran bioplastik dan merupakan pengotor pada
lembaran bioplastik. Sama halnya dengan hasil DSC pada bioplastik 0 DEG, pada
lembaran bioplastik 20 DEG diperoleh adanya tiga buah peak yang menandakan bahwa sampel lembaran bioplastik yang diuji terdiri dari tiga
komponen. Peak pada suhu 167,51
o
C diduga merupakan titik leleh
lembaran bioplastik karena pada suhu ini terbentuk peak yang paling tajam bila dibandingkan dengan dua peak lainnya. Selain itu suhu ini juga dekat
dengan titik leleh PHB yang terdapat pada Brandl et al. 1990 dalam Atkinson dan Mavituna 1991. Dua peak lainnya yang ditemukan pada uji
DSC ini dimungkinkan adalah titik leleh pengotor yang ada pada lembaran bioplastik karena kemurnian yang dimiliki PHA dari hidrolisat pati sagu
hanya berkisar 70-80 Atifah, 2006. Bila dibandingkan titik leleh lembaran bioplastik 0 dan 20,
dapat dilihat bahwa terjadi penurunan titik leleh setelah penambahan DEG. Hal ini dikarenakan terbentuknya ikatan hidrogen yang menyebabkan
struktur molekul menjadi tidak teratur. Struktur yang semakin tidak teratur menunjukkan peningkatan fraksi amorf dan penurunan fraksi kristalin
Allcock dan Lampe, 1981. Penurunan fraksi kristalin menyebabkan penurunan titik leleh bahan. Selain itu, jika suatu polimer semikristalin
mendapat tambahan pemlastis maka akan terjadi penurunan suhu pelelehan T
m
dan derajat kristalinitas, pemlastis akan lebih banyak berinteraksi dengan fase amorf dan sangat sedikit yang berinteraksi
dengan fase kristalin Billmeyer, 1994. T
g
dapat terdeteksi oleh adanya peak yang berbentuk seperti anak tangga tanpa puncak yang menunjukkan terjadinya peralihan bentuk dari
kaca glass ke karet untuk struktur molekul amorf dan peralihan bentuk dari berkristalkaca ke termoplastik yang fleksibel untuk struktur molekul
kristalin Allcock dan Lampe, 1981. Pada hasil DSC tidak terlihat adanya peak seperti anak tangga ini baik untuk sampel lembaran bioplastik 0
maupun 20. Hal ini dapat terjadi karena T
g
bahan tidak termasuk pada rentang suhu yang diuji. Namun melihat luasnya rentang yang digunakan
-90 sampai 200
o
C, tidak munculnya T
g
mungkin dikarenakan faktor lain seperti kemampuan sensor alat yang kurang baik.
3. Derajat Kristalinitas