Sifat Termal H. dan J. F. Wilkinson, 1958 di dalam Lafferty et al.,1988.

menjadi menurun hingga bernilai nol pada lembaran bioplastik 40 DEG karena lembaran bioplastik dengan DEG 40 tidak dapat terbentuk. Bila dibandingkan dengan PP, nilai perpanjangan putus lembaran bioplastik yang dihasilkan pada penelitian ini sangat rendah. Hal ini disebabkan oleh struktur molekul yang sangat berbeda. Pada PP, struktur molekul berupa rantai lurus sehingga pada saat diregangkan, PP yang awalnya merupakan gulungan rantai lurus akan mulai teregang secara terarah diilustrasikan seperti pada Gambar 11. Berbeda halnya dengan lembaran bioplastik yang memiliki ikatan hidrogen antara DEG dan PHA yang membentuk struktur amorf. Struktur amorf tersusun tidak teratur dan kurang kompak sehingga lembaran bioplastik tidak dapat dimulurkan hingga 400. Gambar 11. Ilustrasi proses uji kuat tarik dan perpanjangan putus Allcock dan Lampe, 1981 Tegang an Tegang Gulungan rantai makro-molekul Terarah an Berdasarkan uji perpanjangan putus, lembaran bioplastik dengan penambahan DEG sebesar 20 menghasilkan sifat fisik yang terbaik karena lebih plastis. Oleh karena itu sampel lembaran bioplastik 0 dan 20 DEG digunakan untuk pengujian DSC dan FTIR guna mengetahui sifat kristalinitas, titik leleh dan gugus fungsi. Hasil uji kuat tarik dan perpanjangan putus dapat dilihat pada Lampiran 8.

2. Sifat Termal

Sifat termal lembaran bioplastik berupa suhu leleh melting point, T m dan suhu transisi kaca glass transition temperature, T g yang dapat diketahui dengan menggunakan Differential Scanning Calorimetry DSC. Pengujian sifat termal dilakukan untuk mengetahui karakteristik suatu bahan berdasarkan fungsi suhu dan waktu. Sampel dipanaskan atau didinginkan pada laju konstan. Saat sampel dipanaskan, didinginkan atau didiamkan pada suhu konstan, DSC akan mengukur energi panas yang diserap atau dilepaskan oleh sampel lembaran bioplastik. Hasil analisa sifat termal dapat dilihat pada Gambar 12. 73,76 Jg T m : 168,72 o C a T m : 167,51 o C 46,67 Jg T m : 167,51 o C 46,67 Jg b Gambar 12. Spektra DSC lembaran bioplastik 0 DEG a, 20 DEG b Hasil uji DSC menghasilkan peak yang mengarah kebawah. Hal ini menandakan bahwa sampel menyerap energi kalor sehingga entalpi akan berubah. Oleh karena sampel menyerap energi maka proses yang terjadi adalah proses endoterm. Penyerapan energi menyebabkan terjadinya pelelehan sampel. Pada suhu terjadinya pelelehan sampel, dicapai puncak absorbsi energi kalor yang ditunjukkan dengan peak. Peak tersebut merupakan suhu pelelehan sampel T m . Dari hasil spektra DSC terhadap lembaran bioplastik 0 DEG dan 20 DEG yang merupakan hasil terbaik dari lembaran bioplastik dengan konsentrasi lain menghasilkan jumlah peak yang berbeda. Bioplastik 0 DEG memiliki dua buah peak yaitu pada 149,84 o C dan 168,72 o C. Peak 149,84 o C berbentuk landai dan tidak terjaltajam sedangkan peak 168,72 berbentuk sangat tajam. Berbeda halnya dengan lembaran bioplastik 20 DEG. Lembaran bioplastik ini memiliki tiga buah peak yaitu pada suhu 32,71 o C; 133,1 o C dan 167,51 o C. Peak 31,71 o C dan 133,1 o C berbentuk landai seperti lembah sedangkan peak 167,51 o C berbentuk tajam seperti jurang. Jumlah peak yang terbentuk dari tiap mengujian menandakan banyaknya komponen yang terkandung didalam sampel. Pada bioplastik 0, terdapat dua buah peak dan komponen dominan yang terkandung dalam sampel akan ditunjukkan dengan bentuk peak yang lebih tajam. Pada hasil uji ini, suhu 168,72 o C merupakan titik leleh dari PHA karena suhu 168,72 o C memiliki peak yang lebih tajam dibandingkan peak pada suhu 149,84 o C. Titik leleh 168,72 o C juga mendekati titik leleh PHB yaitu 171 o C Brandl et al.,1990 dalam Atkinson dan Mavituna, 1991. Peak 149,84 o C diduga merupakan titik leleh dari komponen lain yang terkandung di dalam lembaran bioplastik dan merupakan pengotor pada lembaran bioplastik. Sama halnya dengan hasil DSC pada bioplastik 0 DEG, pada lembaran bioplastik 20 DEG diperoleh adanya tiga buah peak yang menandakan bahwa sampel lembaran bioplastik yang diuji terdiri dari tiga komponen. Peak pada suhu 167,51 o C diduga merupakan titik leleh lembaran bioplastik karena pada suhu ini terbentuk peak yang paling tajam bila dibandingkan dengan dua peak lainnya. Selain itu suhu ini juga dekat dengan titik leleh PHB yang terdapat pada Brandl et al. 1990 dalam Atkinson dan Mavituna 1991. Dua peak lainnya yang ditemukan pada uji DSC ini dimungkinkan adalah titik leleh pengotor yang ada pada lembaran bioplastik karena kemurnian yang dimiliki PHA dari hidrolisat pati sagu hanya berkisar 70-80 Atifah, 2006. Bila dibandingkan titik leleh lembaran bioplastik 0 dan 20, dapat dilihat bahwa terjadi penurunan titik leleh setelah penambahan DEG. Hal ini dikarenakan terbentuknya ikatan hidrogen yang menyebabkan struktur molekul menjadi tidak teratur. Struktur yang semakin tidak teratur menunjukkan peningkatan fraksi amorf dan penurunan fraksi kristalin Allcock dan Lampe, 1981. Penurunan fraksi kristalin menyebabkan penurunan titik leleh bahan. Selain itu, jika suatu polimer semikristalin mendapat tambahan pemlastis maka akan terjadi penurunan suhu pelelehan T m dan derajat kristalinitas, pemlastis akan lebih banyak berinteraksi dengan fase amorf dan sangat sedikit yang berinteraksi dengan fase kristalin Billmeyer, 1994. T g dapat terdeteksi oleh adanya peak yang berbentuk seperti anak tangga tanpa puncak yang menunjukkan terjadinya peralihan bentuk dari kaca glass ke karet untuk struktur molekul amorf dan peralihan bentuk dari berkristalkaca ke termoplastik yang fleksibel untuk struktur molekul kristalin Allcock dan Lampe, 1981. Pada hasil DSC tidak terlihat adanya peak seperti anak tangga ini baik untuk sampel lembaran bioplastik 0 maupun 20. Hal ini dapat terjadi karena T g bahan tidak termasuk pada rentang suhu yang diuji. Namun melihat luasnya rentang yang digunakan -90 sampai 200 o C, tidak munculnya T g mungkin dikarenakan faktor lain seperti kemampuan sensor alat yang kurang baik.

3. Derajat Kristalinitas

Dokumen yang terkait

Pengaruh Konsentrasi Tributil Fosfat terhadap Karakteristik Bioplastik dari Poli-B-Hidroksialkanoat (PHA) yang dihasilkan oleh Ralstonia eutropha dengan Substrat Hidrolisat Minyak Sawit

0 5 97

Pengaruh Konsentrasi Pemlastis Dietil Glikol Terhadap Karakteristik Bioplastik dari Polyhydroxyalkanoates (PHA) yang dihasilkan Ralstonia eutropha pada Substrat Hidrolisat Minyak Sawit

0 7 94

Pembuatan dan Karakterisasi Bioplastik dari Poly-3-Hidroksialkanoat (PHA) yang Dihasilkan Ralstonia Eutropha pada Hidrolisat Pati Sagu dengan Penambahan Dimetil Ftlat (DMF)

0 19 102

Produksi bioplastik poli-3-hidroksialkanoat (pha) oleh ralstonia eutropha menggunakan substrat hidrolisat pati sagu (metroxylon.sp) sebagai sumber karbon

0 34 2

Pembuatan Bioplastik Poli-Β-Hidroksialkanoat (Pha) Yang Dihasilkan Oleh Rastonia Eutropha Pada Substrat Hidrolisat Pati Sagu Dengan Pemlastis Isopropil Palmitat

1 12 98

Pengaruh Suhu, Jenis dan Perbandingan Pelarut Terhadap Kelarutan Bioplastik Dari Pha (Poly-Β-Hydroxyalkanoates) yang Dihasilkan Ralstonia Eutropha Pada Substrat Hidrolisat Pati Sagu

1 14 132

Produksi Bioplastik Poli-3-Hidroksialkanoat (PHA) oleh Ralstonia Eutropha Menggunakan Substrat Hidrosilat Pati Sagu (Metroxylon sp.) sebagai Sumber Karbon

0 9 1

Pengaruh penambahan polioksietilen-(20)-sorbitan monolaurat pada karakteristik bioplastik poli-hidroksialkanoat (pha) yang dihasilkan Ralstonia eutropha pada substrat hidrollsat pati sagu

0 4 6

Pengaruh Konsentrasi Peg 400 terhadap Karakteristik Bioplastik Polihidroksialkanoat (Pha) yang Dihasilkan Oleh Ralstonia Eutropha Menggunakan Substrat Hidrolisat Pati Sagu

1 28 96

Pengaruh konsentrasi pemlastis dietil glikol terhadap karakteristik bioplastik dari polyhydroxyalkanoates (PHA) yang dihasilkan Ralstonia eutropha pada substrat hidrolisat minyak sawit

0 4 3