ANALISIS CFD TERHADAP PROFIL TEMPERATUR UNTUK KONDENSASI UAP AIR PANAS POSISI AKSIAL PADA PIPA KONSENTRIK HORIZONTAL DENGAN PENDINGIN ALIRAN SEARAH DI DALAM RUANG ANULUS

(1)

KONSENTRIK HORIZONTAL DENGAN PENDINGIN ALIRAN SEARAH DI DALAM RUANG ANULUS

Diajukan Guna Memenuhi Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Teknik Program Studi Teknik Mesin Fakultas Teknik

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Disusun Oleh : Lucky.K.Octatriandi

20120130068

PROGRAM STUDI S-1 TEKNIK MESIN FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA


(2)

iii

perguruan tinggi. Sepengetahuan saya tidak ada terdapat karya atau jurnal yang pernah dipublikasiakan yang sama atau mirip dengan tugas akhir saya. Kecuali yang secara tertulis disebutkan dalam sumber atau naska di dalam daftar pustaka.

Yogyakarta, 2016


(3)

iv

Skripsi ini saya persembahkan untuk:

Kedua orang tua saya, beliau bapak Kasidi dan Ibu Yunanai Ibra, sebagai ungkapan rasa syukur dan terimakasi atas kasisayang yang telah diberikan, cinta

dan segalanya yang telah di berikan.

Kaka dan adik-adik saya serta saudara yang selalu mendukung, mendoakan, memberi motivasi dan kepercayaan kepada penyusun.

Terimakasi mas Azhim yang telah membimbing dan membantu penyusun dalam melakukan penelitian.

Pihak dan Tim kelompok tugas akhir yang banyak membantu khususnya Immawan Wahyudi Ahyar dan Haris Setiawan yang telah banyak memberi bantuaan dan selalu menyemangati kepada penyusun sekaligus partner dalam

tugas akhir ini.

Sahabat-sahabat kontrakan Agis Safarel, Dimas Niko Ramadan, Evin Dondri, Haris Setiawan, Immawan Wahyudi Ahyar terimakasi atas motivasi dan saran-saranya yang telah diberikan kepada penyusun walaupun saran-saranya tidak adayang

bermanfaat.

Teman-teman Teknik Mesin angkatan 2012 atas motivasi, kekompakan dan kerjasama yang telah terjalin selama ini.


(4)

vi

ANALISIS CFD TERHADAP PROFIL TEMPERATUR UNTUK

KONDENSASI UAP AIR PANAS POSISI AKSIAL PADA PIPA KONSENTRIK HORIZONTAL DENGAN PENDINGIN ALIRAN SEARAH DI DALAM RUANG ANULUS ‘’. Yang bertujuan untuk mensimulasikan terjadinya kondensasi di dalam pipa anulus yang bisa menimbulakan terjadinya water hammer

dalam pipa.

Tugas akhir ini disusun sebagai salah satu persyaratan untuk bisa menyandang gelar Sarjana Teknik (S-1) di Program Studi Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Dalam proses penyusunan tugas akhir ini, penyusun telah di bantu oleh banyak pihak, dan sebagai ungkapan terima kasi, penyusun ingin memberikan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Novi Caroko S. T., M. Eng. selaku Ketua Prodi S1 Teknik Mesin UMY.

2. Dr. Sukamta S.T., selaku dosen pembimbing tugas akhir atas bimbingan, bantuan dan saran - saran yang telah diberikan kepada penyusun dalam menyelesaikan tugas akhir.

3. Ir. Sudarja M.T selaku dosen pembimbing tugas akhir atas bimbingan, bantuan dan saran-saran yang telah diberikan kepada penyusun dalam menyelesaikan tugas akhir.

4. Azihm Asyratul Azim S.T selaku pembimbing dan guru dalam mengajarkan simulasi ini, yang sangat membantu penulis agar bisa menyelesaikan tugas akhir.

5. Teman-teman kontrakan: Agis safarel, Dimas Nikoramadan, Haris setiawan dan Immawan wahyudi anyar terimakasi banyak atas motivasi yang diberikan agar penyusun lebih giat dalam mengerjakan tugas akhir. Penyusun dengan senang hati menerima saran dan kritik dari pembaca demi perbaikan dan penyempurnaan dalam penyusunan tugas akhir ini. Apabila terdapat kesalahan dalam penyusunan atau penulisan, penyusun mohon maaf yang sebesar-besarnya. Semoga tugas akhir ini dapat memberikan ilmu yang berguna bagi kita semua.


(5)

(6)

viii

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

HALAMAN PERNYATAAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

INTISARI ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR NOTASI ... xiii

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumus Masalah ... 2

1.3. Batasan Masalah... 2

1.4. Tujuan Penelitian ... 3

1.5. Manfaat Penelitian ... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN DASAAR TEORI 2.1. Tinjauan Pustaka ... 4

2.2. Dasar Teori ... 6

2.2.1. Definisi Fluida ... 6

2.2.2. Aliran Fluida ... 6

2.2.3. Pola Aliran Fluida Dua Fasa ... 8

2.2.4. Kondensasi ... 11

2.2.5. Komputasi Dinamika Fluida ... 12

2.2.6. Proses CFD ... 15


(7)

ix BAB III METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Perangkat Penelitian ... 29

3.2. Diagram Alir Penelitian ... 29

3.2.1. Pre-Procesing... 30

3.2.2. Processing ... 34

3.2.3. Post-Processing ... 41

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Penelitian ... 48

4.2. Pembahasan ... 52

BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan ... 67

5.2. Saran ... 67

DAFTAR PUSTAKA ... 68


(8)

x

Gambar 2.2. Aliran Turbulen (Munson dkk, 2012) ... 8

Gambar 2.3. Aliran Transisi (Munson dkk, 2012) ... 8

Gambar 2.4. Bubly Flow ... 9

Gambar 2.5. Plug Flow ... 9

Gambar 2.6. Stratified Flow ... 10

Gamabr 2.7. Wavy Flow ... 10

Gambar 2.8. Slug Flow... 10

Gambar 2.9. Annular Flow ... 11

Gambar 2.10. Flowchat Proses FLUENT ... 15

Gambar 2.11. Bentuk Sel Dua Dimensi ... 16

Gambar 2.12. Bentuk Sel Tiga Dimensi ... 16

Gambar 2.13. Structured Mesh ... 17

Gambar 2.14. Unstructured Mesh ... 17

Gambar 2.15. Contoh Displaying Mesh ... 22

Gambar 2.16. Contoh Tampilan Kontur Tekanan Statik ... 23

Gambar 2.17. Contoh Tampilan Kontur Tekanan Statik Dalam Flat ... 23

Gambar 2.18. Contoh Tampilan Vektor Kecepatan ... 24

Gambar 2.19. Contoh tampilan Pathlines ... 24

Gambar 2.20. Logo OpenFOAM® ... 25

Gambar 2.21. Preview OPenFOAM® ... 25

Gambar 2.22. Logo Ansys FLUENT® ... 26

Gambar 2.23. Preview Ansys FLUENT® ... 26

Gambar 2.24. Preview Postprocessing Ansys FLUENT® ... 27

Gambar 2.25. Logo XFlow® ... 28

Gambar 2.26. Preview Tampilan XFlow® ... 28


(9)

xi

Gambar 3.4. Proses Name Selection ... 32

Gambar 3.5. Hasil Mesing (Tampak Samping) ... 33

Gambar 3.6. Hasil Mesing (Tampak Depan) ... 33

Gamabr 3.7. Hasil Mesing ... 34

Gambar 3.8. User Interface General Menu ... 35

Gambar 3.9. User Interface Menu Models ... 35

Gambar 3.10. Menu Models viscous ... 36

Gambar 3.11. User Interface Menu Materials ... 36

Gambar 3.12. User Interface Menu Cell Zone Condition ... 37

Gambar 3.13. User Interface Menu Boundary Condition ... 38

Gambar 3.14. User Interface Solution Methods ... 39

Gambar 3.15. Tampilan Menu Residual Monitor ... 40

Gambar 3.16. Toolbar Solution Inilization ... 40

Gambar 3.17. Toolbar Run Calculation ... 41

Gambar 3.18. Toolbar plane... 42

Gambar 3.19. Tampilan YZ plane... 42

Gambar 3.20. Tampilan XY Plane Pada Titik Z koordinaat 80 cm Dari inlat... 43

Gambar 3.21. Toolbar Kontur ... 43

Gamabr 3.22. Tampilan YZ Contour ... 44

Gambar 3.23. Tampilan XY Contour Pada Titik Koordinat 80 cm Dari inlet... 44

Gambar 3.24. Toolbar Legend ... 45

Gambar 3.25. Legend Temperatur ... 45

Gambar 4.1. Profil Temperatur Pada Posisi Aksial Variasi (Psti = 108825 Pa, ṁco,i = 6.9 x 10-4 kg/s) ... 48


(10)

xii

(Psti = 108825 Pa, ṁco,i = 1.6 x 10 kg/s) ... 50 Gambar 4.4. Profil Temperatur Pada Posisi Aksial Variasi

(Psti = 108825 Pa, ṁco,i = 1.6 x 10-3 kg/s) ... 51 Gambar 4.5. Profil Temperatur Pada Posisi Aksial Variasi

(Psti = 108825 Pa, ṁco,i = 1.9 x 10-2 kg/s) ... 52 Gambar 4.6. Grafik Temperatur Pada Posisi Aksial

(ṁco,i = 6.9 x 10-4 kg/s) ... 53 Gambar 4.7. Grafik Temperatur Pada Posisi Aksial

(ṁco,i = 1.4 x 10-3 kg/s) ... 53 Gambar 4.8. Grafik Temperatur Pada Posisi Aksial

(ṁco,i = 1.6 x 10-3 kg/s) ... 54 Gambar 4.9. Grafik Temperatur Pada Posisi Aksial

(ṁco,i = 2.7 x 10-3 kg/s) ... 54 Grafik 4.10. Grafik Temperatur Pada Posisi Aksial

(ṁco,i = 1.9 x 10-2 kg/s) ... 55 Gambar 4.11. Grafik Profil Temperatur Pada Posisi Atas di

Dalam Pipa Aksial... 62 Gambar 4.12. Grafik Profil Temperatur Pada Posisi Samping di

Dalam Pipa Aksial... 63 Gambar 4.13. Grafik Profil Temperatur Pada Posisi Bawah di

Dalam Pipa Aksial... 63 Gambar 4.14. Grafik Profil Temperatur Pada Posisi Atas Di

Dalam Pipa Aksial... 64 Gambar 4.15. Grafik Profil Temperatur Pada Posisi Samping Di

Dalam Pipa Aksial... 65 Gambar 4.16. Grafik Profil Temperatur Pada Posisi Samaping Di


(11)

(12)

(13)

KONDENSASI UAP AIR PANAS POSNI AKSIAL PADA PIPA KONSEI{TRIK HORIZONTAL DENGAI\I PENDINGIN ALIRAN SEARAH

DI DALAM RUAIYG AI\IULUS

Disusun Oleh:

Luclry.ILoctatriandi

20120130068

Telah Diperiksa dan Disetujui oleh:

Mengetahui

Dmen Pembimbing

I

{w+*

Ilr. Sukamta. S.T..

M.T

Penguii

\6.*-,

M.Nadiib. S.T.. M.Ene I\[II(. 1966061619902 123 033

Tugas altdr ini telah dinyatakan sah sebagai salah satu persyaratan untuk

memperoleh gelar Sarjana Teknik Tangsal

lJ/

2016.

(a

Mengetahui

Dosen Pembimbing

II

+a-

_r--*J'

1''-

/a'-Ir. Sudaria.

M.T


(14)

v

pada pipa konsentrik horizontal di dalam ruang anulus dan membandingkan hasil simulasi dengan hasil ekperimental yang dilakukan sebelumnya.

Penelitian ini terdiri dari dua buah pipa yang terbuat dari tembaga dengan ukuran diameter dalam 17,2 mm dan diameter luar 19 mm, pipa bagian luar dari besi galvanis dengan diameter dalam 108,3 mm dan diameter luar 114,3 mm panjang kedua pipa 1,6 m. Uap air mengalir pada bagian dalam pipa dan air pendingin mengalir searah pada pipa bagian luar. Dalam penelitian ini menggunakan variasi laju aliran massa cooling waterṁco,i = 6,9 x 10 -4 kg/s, ṁco,i = 1,4 x 10-3kg/s, ṁco,i = 1,6 x 10-3kg/s, ṁco,i = 2,7 x 10-3kg/s, dan ṁco,i = 1,9 x 10 -2 kg/s.

Hasil dari penelitian ini pada variasi ṁco,i = 6,9 x 10-4kg/s, ṁco,i = 1,4 x 10-3

kg/s dan ṁco,i = 1,9 x 10-2 kg/s terjadi kondensasi pada titik 75 cm sampai 150 cm

dari sisi inlet. Sedangkan pada variasi ṁco,i = 1,6 x 10-3kg/s dan ṁco,i = 2,7 x 10-3 kg/s terjadi kondensasi setelah melewati titik 150 cm dari sisi inlet atau mendekati sisi outlet. Dari hasil perbandingan simulasi dan eksperimental dapat disimpulkan hasil dari distribusi pola aliran pada percobaan simulasi lebih kecil dibandingkan hasil eksperimental. Perbedaan distribusi temperatur tersebut dapat disebabkan faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi hasil dari eksperimental.


(15)

1

Fluida merupakan suatu zat yang dapat mengalami perubahan bentuk secara

continue bila terkena tekanan gaya geser walaupun gaya tersebut relativ kecil atau

dapat juga dikatakan suatu zat yang mengalir. Manusia tidak dapat dipisahkan dari fluida karena manusia akan selalu berhubungan dengan fluida. Ilmu mekanika fluida memiliki peran yang sangat penting dalam berbagai bidang contohnya adalah dalam bidang industri seperti dalam bidang perminyakan, geothermal, petrokimia dan lain-lainya. Ilmu mekanika fluida sangat berpengaruh dalam perancangan sistem perpipaan pada aliran minyak atau distribusi air bersi.

Setiap aliran fluida akan ada potensi untuk terjadinya water hammer yang disebabkan oleh fenomena kondensasi. Efek yang muncul dari terbentuknya pola aliran adalah adanya fluktuasi aliran karena bercampunya fase gas dan fase cair yang tidak homogen sehingga densitas aliran pun tidak homogen yang dapat menimbulkan fluktuasi gaya. Dalam proses perancangan sistem untuk aliran fluida diperlukan perhitungan yang tepat agar dapat menghindari atau meminimalisir terjadinya fenomena kondensasi di dalam sistem perpipaan yang bisa menyebabkan terjadinya water hammer.

Sekarang telah ditemukan sebuah metode berbasis sistem komputer yang dapat membantu dalam melakukan suatu simulasi dan analisa pada aliran fluida. Sehingga dengan metode ini kemungkinan buruk yang terjadi didalam suatu sistem perpipaan halnya fenomena water hammer dapat dihindari karena dalam perancangan pipa dapat disimulasikan terlebih dahulu. Hasil dari simulasi tersebut dapat diketahui pola aliran yang akan terjadi didalam sistem perpipaan.

Computation Fluid Dynamic (CFD) merupakan metode yang cocok

digunakan dalam analisa terhadap sebuah sistem yang rumit dan sulit dipecahkan dengan perhitungan manual. Software ANSYS sering digunakan untuk melakukan


(16)

analisa CFD terhadap suatu pola sebuah sistem. Adapaun software yang sering digunakan adalah FLUENT, XFlow, Open FOAM, dll.

D.Bhanuchandrarao dkk (2013) menggunakan aplikasi CFD ANSYS

FLUENT 12.1 untuk menganalisis penurunan temperatur pada heat exchanger

dengan model aliran paralel dan berlawanan arah.

Penelitian ini akan melakukan analisis terhadap profil temperatur uap air panas dengan pendingin searah pada pipa konsentrik horisontal mengunakan

Software ANSYS FLUENT 15.0 guna mengetahui pola aliran dan penurunan

temperatur pada sistem tersebut.

Untuk menghindari kemungkinan terburuk yang diakibatkan oleh fenomena

water hammer diperlukan early warning system guna mengetahui potensi bahaya

yang akan terjadi di sistem. Penggunaan software ANSYS Fluent ini yang akan melakukan proses simulasi guna mendapat pola aliran pada instalasi perpipaan dan memberikan early warning system terhadap instalasi yang akan digunakan.

1.2. Rumusan Masalah

Perancangan sistem perpipaan memerlukan ketelitian dan kecermatan lenear agar dapat mengatasi terjadi fenomena water hammer kapan saja. Atas dasar itulah perlu adanya early warning system melalui proses simulasi ini agar dapat melihat penurunan temperatur dan pola aliran yang terbentuk guna mengetahui fenomena water hammer Pada sistem perpipaan.

1.3. Batasan Masalah

Untuk mengetahui permasalahan di atas, maka dalam penelitian ini perlu di ambil batasan masalah sebagai berikut:

1. Penelitihan ini berbasis modeling (simulasi) menggunakan aplikasi


(17)

2. Penelitian ini menggunakan laptop Asus X550Z dengan spesifikasi Prosesor AMD A10 – 7400P Radeon R6, 10 Compute cores 4C+6G 2,50 GHz dengan RAM 4.00 GB, HHD 1TB.

3. Mengetahui terjadinya penurunan temperatur pada uap air panas.

4. Mengetahui aliran cooling water steady atau unstedy state pada sistem perpipaan.

5. Mengetahui jenis aliran laminer atau turbulent pada sistem.

1.4. Tujuan

Tujuan dari penelitian ini untuk memperoleh hasil penurunan temperatur dan pola aliran yang terjadi di dalam simulasi sistem perpipaan dengan pendingin searah pada pipa konsentrik horizontal di dalam ruang anulus dan membandingkan hasil simulasi dengan hasil ekperimental yang di lakukan sebelumnya.

1.5. Manfaat

Manfaat dari penelitian ini agar dapat membantu dalam pembuatan desai yang optimal pada sistem perpipaan bertemperatur tinggi guna menghindari atau meminimalisir terjadinya fenomena water hammer dengan mekanisme early warning sistel.


(18)

(19)

4 2.1. Tinjauan Pustaka

Sejumlah penelitian berbasis modeling untuk memprediksi suatu perpindahan kalor di dalam pipa telah banyak dilakukan untuk mengantisipasi terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan. Behera (2013) dari National Institute of Technology Rourkela menganalisis pengaruh counter flow pada Heat Exchanger

dari pipa spiral menggunakan Ansys 13. Material pipa spiral yang digunakan terbuat dari tembaga dengan fluida yang digunakan adalah air. Behera dalam melakukan penelitian ini menggunakan variasi temperatur fluida dan diameter pipa.

Kanade, dkk (2015) meneliti tentang efek dari baffle alumunium pada

Double Pipe Heat Exchanger (DPHE). Baffle diambil dalam bentuk geometri

setengah lingkaran dan seperempat lingkaran yang diatur pada pipa bagian dalam DPHE. Parameter yang diteliti adalah total Residence time, penurunan tekanan,

heat transfer coefficient, dan tingkat perpindahan panas. Pada kondisi yang sama,

heat exchanger dengan baffle seperempat lingkaran memiliki laju peprindahan

panas lebih tinggi dibanding pipa dengan baffle setengah lingkaran dan pipa tanpa

baffle.

Akhtari, dkk (2013) dengan menggunakan Ansys Fluent 12.1 melakukan penelitian terkait studi numerik pada Heat Exchanger dari a-A1203/air nanofluid yang mengalir melalui pipa ganda. Dalam penelitian ini Akhtari menganalisa pengaruh parameter seperti tingkat laju aliran volume, suhu nanofluid, dan konsentrasi nano partikel pada karakteristik perpindahan panas. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa performa Heat Exchanger meningkat seiring meningkatnya laju aliran volume serta konsentrasi partikel dan suhu inlet nanofluid.


(20)

Eyitayo, dkk (2013) melakukan perbandingan hasil penelitian berbasis eksperimental dan modeling untuk kasus aliran satu fasa pada pipa separator menggunakan metode Reynold Stress Method. Pengukuran dilakukan pada tiga posisi aksial yang berbeda. Hasil dari simulasi tersebut menunjukkan perbandingan yang cukup seragam. Metode CFD yang dilakukan menggunakan

software Ansys Fluent mampu memprediksi pola aliran dengan benar dan dapat

memberikan metode alternatif untuk mempelajari dinamika fluida di dalam pipa. Shengwei, dkk (2014) dengan menggunakan software Fluent melakukan penelitian berbasis modeling tentang aliran gas pada pipa bercabang dengan sudut 42°. Hasil dari simulasi tersebut divalidasi dengan hasil percobaan eksperimental dan menunjukkan bahwa hasil simulasi dan eksperimental memiliki kecenderungan tren data yang konsisten. Perbedaan antara hasil simulasi dan eksperimen kurang dari 8%.

Sukamta (2011) melakukan pengukuran lokasi perpindahan panas dari uap kondensat yang mengalir berlawanan arah di dalam pipa kondenser horisontal dengan keliling distribusi temperatur sepanjang dinding tabung kondenser di ukur untuk mengetahui karakteristik perpindahan panas sekitar kondenser. Pipa anulus dengan bagian dalam pipa uji terbuat dari bahan tembaga (din = 17,2 mm, do = 19 mm) dan pipa uji bagian luar terbuat dari besi galvanis ( din =108,3 mm, do = 114,3 mm) dengan panjang kedua pipa 1,6 m. Suhu diukur dengan lima variasi laju aliran massa uap panas dengan perpindahan panas koefisien lokal yang di pengaruhi oleh radial dan aksial posisi inlet dan diikuti juga pada sisi atas dan bagian bawah.

Pada penelitian ini akan membandingkan hasil eksperimental dengan hasil modeling menggunakan software ANSYS Fluent 15.0 guna memprediksi pola aliran, temperatur, dan kondensasi yang terjadi di dalam sistem perpipaan. Dalam penelitiaan ini ukuran pipa di samakan dengan hasil eksperimental dan memberikan parameter tekanan dan temperatur pada sistem.


(21)

2.2. Dasar Teori 2.2.1. Definisi Fluida

Fluida adalah suatu zat yang dapat mengalami perubahan bentuk secara continue bila terkena tekanan atau gaya geser walaupun relatif kecil atau bisa juga dikatakan suatu zat yang mengalir, fluida juga mencakup zat cair, air dan udara karena zat-zat ini dapat mengalir.

2.2.2. Aliran Fluida

Aliran pada fluida berbeda dengan zat padat hal tersebut dikarenakan kemampuannya untuk mengalir. Fluida lebih mudah untuk mengalir karena ikatan molekul pada fluida lebih kecil dibandingkan dengan ikatan molekul pada zat padat akibat fluida mempunyai hambatan yang relatif kecil pada perubahan bentuk karena gesekan.

Beberapa jenis aliran sangat terpengaruh oleh bilangan Reynolds. Bilangan Reynolds adalah bilangan tidak berdimensi yang penting digunakan untuk penelitian aliran fluida pada pipa. Adapun persamaan bilangan Reynolds untuk aliran di dalam pipa sebagai berikut:

……….(2.1)

Dengan : V = Kecepatan Fluida (m/s) D = Diameter Dalam Pipa (m)

= Massa Jenis Fluida (kg/m³)


(22)

Aliran fluida dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu : a. Kondisi aliran terhadap waktu :

a. Aliran Steady

Suatu aliran dimana kecepatannya tidak terpengaruh oleh perubahan waktu sehingga kecepatan konstan pada setiap titik (tidak mempunyai percepatan).

b. Aliran Transient

Suatu aliran dimana terjadi perubahan kecepatan terhadap waktu.

b. Kondisi aliran terhadap pola aliran : a. Aliran Laminar

Aliran laminar didefinisikan sebagai aliran dengan fluida yang bergerak dalam lapisan–lapisan atau lamina–lamina dengan satu lapisan meluncur secara lancar. Aliran laminar ini mempunyai nilai bilangan Reynoldsnya kurang dari 2300 (Re < 2300).

Gambar 2.1. Aliran Laminar (Munson dkk, 2012)

b. Aliran Turbulen

Aliran dimana pergerakan dari partikel-partikel fluida sangat tidak menentu karena mengalami percampuran serta putaran partikel antar lapisan, yang mengakibatkan saling tukar momentum dari satu bagian fluida ke bagian fluida yang lain dalam skala yang besar. Dimana nilai bilangan Renoldsnya lebih besar dari 4000 (Re>4000).


(23)

Gambar 2.2. Aliran Turbulen (Munson dkk, 2012)

c. Aliran Transisi

Aliran transisi merupakan aliran peralihan dari aliran laminar ke aliran turbulen, nilai bilangan Reynoldsnya antara 2300 sampai dengan 4000 (2300<Re<4000) .

Gambar 2.3. Aliran Transisi (Munson dkk, 2012)

2.2.3. Pola Aliran Fluida Dua Fasa

Pola aliran fluida adalah gambaran dari suatu aliran fluida yang membentuk suatu pola tertentu, pola aliran ini dapat digunakan sebagai parameter untuk mengetahui keadaan suatu aliran fluida. Aliran dua fasa, distribusi aliran pada masing-masing fasa liquid dan uap menjadi aspek yang penting. Distribusi masing-masing alirannya memiliki karakeristik yang dapat dilihat pada pola aliran dua fasa.

Pola aliran fluida dua fasa pada pipa horisontal cenderung memiliki karakteristik yang lebih rumit dibanding dengan pola aliran pada pipa vertikal. Hal ini disebabkan karena adanya pengaruh gaya gravitasi yang menyebabkan fluida yang memiliki massa jenis lebih berat akan cenderung berada di posisi


(24)

bagian bawah pipa dan fluida yang memiliki massa jenis lebih ringan cenderung berada diatas.

Ada beberapa pola aliran dalam pipa horisontal, yaitu:

a. Bubbly flow

Dalam aliran terdapat penyebaran gelembung gas kecil seragam dalam zat cair menyeluruh. Gelembung terbentuk pada bagian atas pipa. Pola aliran ini terjadi pada aliran fluida yang memiliki laju aliran massa uap tinggi.

Gambar 2.4. Bubly Flow (Pietro, 2007)

b. Plug flow

Dalam aliran ini gelembung-gelembung akan berdesakan dan membentuk gelembung yang lebih besar yang bentuknya mirip dengan peluru.

Gambar 2.5. Plug Flow (Pietro, 2007)

c. Stratified flow

Dalam aliran ini terjadi pemisahan fasa karena perbedaan massa jenis dan gaya gravitasi, dimana fasa gas mengalir pada bagian atas pipa dan fasa cair mengalir pada dasar pipa.


(25)

Gambar 2.6. Stratified Flow (Pietro, 2007)

d. Wavy flow

Pola aliran ini terjadi karena naiknya kecepatan aliran uap yang berada di bagian atas pipa yang mengakibatkan garis batas uap-liquid

terganggu dan terbentuk gelombang.

Gambar 2.7. Wavy Flow (Pietro, 2007)

e. Slug flow

Pola ini terjadi ketika kecepatan uap terus meningkat dan mengakibatkan gelombang yang signifikan pada garis batas uap-liquid

sehingga liquid akan menempel pada bagian atas pipa dan terbentuklah busa (forthy slug).

Gambar 2.8. Slug Flow (Pietro, 2007)

f. Annular flow

Dalam aliran ini, aliran gas terdistribusi diantara lapisan cairan yang mengalir disekitar dinding pipa dimana butiran air mengalir bersama fase gas. Pada pipa horisontal tebal lapisan cairan pada dasar


(26)

pipa lebih tebal dari pada bagian atas pipa, hal tersebut dikarenakan pengaruh gravitasi.

Gambar 2.9. Annular Flow (Pietro, 2007) 2.2.4. Kondensasi

Kondensasi adalah perubahan wujud dari uap menjadi cairan. Proses kondensasi melibatkan perpindahan kalor dan massa secara simultan. Banyak faktor yang mempengaruhi koefisien perpindahan kalor selama proses kondensasi, seperti sifat fisis dan kimia uap, sifat embun, dan geometri saluran. Berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhinya, proses kondensasi dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

 Jenis kondensasi: Homogenous, heterogeneous, dropwise, film atau direct contact.

 Kondisi uap: Satu komponen, multi komponen dengan semua komponen mampu terkondensasi, multi komponen termasuk komponen tidak mampu terkondensasi, dll.

 Geometri sistem: Plane surface, external, internal, dll.

Dari klasifikasi diatas sangat mungkin ada kategori dari metode klasifikasi yang berbeda terjadi overlaps, artinya pada kategori proses kondensasi yang satu masih berhubungan dengan kategori proses kondensasi yang lain (Ghiaasiaan, 2008).

Temperatur jenuh suatu zat dapat diketahui dengan mencari titik embun

(dew point temperature). Apabila temperatur uap berada di titik dew point

temperature (Tdp) maka akan terjadi kondensasi (Yunus dkk, 2006). Dew point


(27)

Tdp = Tsat@Pv ………(2.2) dengan,

Pv = Tekanan uap

2.2.5. Komputasi Dinamika Fluida

Komputasi Dinamika Fluida atau Computational Fluid Dynamics (CFD) adalah ilmu yang mempelajari cara memprediksi pola aliran fluida, perpindahan panas, reaksi kimia dan fenomena lainnya dengan menyelesaikan persamaan-persamaan matematika atau model matematika.

Pada umumnya proses perhitungan untuk aliran fluida diselesaikan dengan menggunakan persamaan energi, momentum dan kontinuitas. Persamaan yang digunakan adalah persamaan Navier-Stokes, persamaan ini ditemukan oleh G.G. Stokes di Inggirs dan M. Navier di Perancis sekitar tahun awal tahun 1800. Adapun persamaan-persamaannya (Versteeg, 1995) adalah sebagai berikut:

a. Persamaan Kontinuitas

b. Persamaan Momentum Momentum pada sumbu X:


(28)

Momentum pada sumbu Z

c. Persamaan Energi

Dengan: x = Koordinat Sumbu X y = Koordinat Sumbu Y z = Koordinat Sumbu Z u = Komponen Kecepatan U v = Komponen Kecepatan V w = Komponen Keceptan W t = Waktu

ρ = Densitas

Et = Energi Total P = Tekanan q = Heat Flux

Re = Bilangan Reynold Pr = Bilangan Prandtl


(29)

Pada dasarnya CFD mengganti persamaan-persamaan diferensial parsial dari kontinuitas, momentum, dan energi dengan persamaan-persamaan aljabar. Persamaan yang asalnya kontinum (memiliki jumlah sel tak terhingga) diubah menjadi model diskrit (jumlah sel terhingga).

Ada tiga teknik solusi numerik aliran yang berbeda, yaitu finite diffrence,

finite element dan finite volume methods. Beberapa metode diskritisasi yang

digunakan untuk memecahkan persamaan-persamaan diferensial parsial (Versteeg, 1995) diantaranya adalah:

a. Metode Beda Hingga (finite difference method)

Dalam metode ini area aliran dipisahkan menjadi satu set poin grid dan fungsi kontinyu (kecepatan, tekanan, dan lainnya) didekati dengan nilai-nilai diskrit dan fungsi-fungsi ini dihitung pada titik-titik grid. Turunan dari fungsi didekati dengan menggunakan perbedaan antara nilai fungsi pada titik lokal grid dibagi dengan jarak grid.

b. Metode Elemen Hingga (finite element method)

Metode adalah teknik numerik untuk menemukan solusi perkiraan ke batas nilai masalah untuk persamaan diferensial parsial. Metode ini membagi masalah besar menjadi lebih kecil dan sederhana yang disebut elemen hingga.

Persamaan sederhana yang memodelkan seluruh kasus kemudian disusun menjadi sebuah sistem persamaan yang lebih luas. Persamaan konservasi kekekalan massa, momentum, dan energi ditulis dalam bentuk yang tepat untuk setiap elemen, dan hasil dari set persamaan aljabar untuk bidang aliran diselesaikan secara numerik.

c. Metode Volume Hingga (finite volume method)

Finite volume method adalah metode untuk mewakili dan mengevaluasi

persamaan diferensial parsial dalam bentuk aljabar. Metode ini sama seperti

finite difference method dan finite element method, nilai-nilai dihitung di tempat terpisah pada geometri yang di mesh. Metode ini mengacu pada volume kecil disekitar node pada mesh.


(30)

Dalam metode ini, volume integral dalam persamaan diferensial yang memiliki istilah divergensi dikonversi ke surface integrals menggunakan teori divergensi.

Metode diskritisasi yang dipilih pada umumnya menentukan kestabilan dari program numerik/CFD yang dibuat atau program software yang ada.

2.2.6. Proses CFD

Kode CFD disusun dengan menggunakan algoritma numerik yang dapat mengatasi masalah aliran fluida. Secara garis besar proses kerja pada FLUENT dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu preprocessing, processing, dan post processing.

Gambar 2.10. Flowchart proses FLUENT® 2.2.6.1. Preprocessing

Tahap preprocessing merupakan tahap awal dari proses CFD, pada tahap ini akan dilakukan beberapa proses sebagai berikut :

a. Definisi geometri dari benda kerja.

Pada proses ini akan dilakukan proses pemodelan dari benda kerja. Proses pemodelanbisa langsung menggunakan software CFD, tetapi untuk benda kerja yang rumit bentuknya sebaiknya menggunakan software assembly

seperti SolidWork.

b. Pembuatan grid (mesh) atau disebut sebagai meshing.

Preprocessing

Post Processing Processing


(31)

Meshing adalah proses membagi komponen yang akan dianalisis menjadi elemen-elemen kecil atau diskrit. Semakin baik kualitas mesh maka akan semakin tinggi tingkat konvergensinya.

Secara umum bentuk sel dari proses meshing dibagi menjadi dua jenis, yaitu dua dimensi dan tiga dimensi. Untuk sel dua dimensi terdapat dua jenis bentuk sel yaitu Triangle dan Quadrilateral.

Gambar 2.11. Bentuk Sel Dua Dimensi (https://en.wikipedia.org/wiki/Types_of_mesh)

Bentuk sel tiga dimensi terbagi kedalam empat jenis, yaitu Tetrahedron, Pyramid, Triangular Prism, Hexahedron.

Gambar 2.12. Bentuk Sel Tiga Dimensi (https://en.wikipedia.org/wiki/Types_of_mesh)

Dalam proses meshing terdapat klasifikasi mesh yangterbagi ke dalam tiga jenis, yaitu:

a. Structured mesh

Structured mesh adalah meshing terstruktur dapat dikenali dari


(32)

menggunakan structured mesh adalah Quadrilateral di 2D dan Hexahedra di 3D.

Gambar 2.13. Structured Mesh

b. Unstructured mesh

Unstructured mesh merupakan mesh yang konektivitas meshnya tidak

beraturan. Mesh ini biasanya menggunakan triangle pada 2D dan tetrahedra pada 3D.

Gambar 2.14. Unstructured Mesh

( http://www.cfd-online.com/Forums/ansys-meshing/126893-structured-mesh-stirred-tank.html )


(33)

c. Hybrid mesh.

Struktur mesh yang ketiga adalah Hybrid mesh yang merupakan kombinasi

dari Unstructured mesh dan Structured mesh.

2.2.6.2 Processing

Processing merupakan proses kedua dari CFD, didalam tahap ini akan

dilakukan penentuan kondisi batas (boundary condition) dan pemilihan metode inisiasi. Dalam penentuan kondisi batas dapat dimasukkan nilai dari parameter-parameter yang dibutuhkan. Adapun parameter-parameter yang termasuk kondisi batas adalah:

a. Velocity inlet

Digunakan untuk mendefinisikan kecepatan aliran dan besaran skalar lainnya pada sisi masuk aliran. Kondisi batas ini hanya digunakan untuk aliran inkompresibel.

b. Mass flow inlet

Pada kondisi batas ini harus dimasukkan data laju aliran massa atau fluks massa, temperatur fluida (apabila mengaktifkan persamaan energi), tekanan

gauge pada sisi masuk, arah aliran, dan besaran turbulen.

c. Pressure inlet

Pada Pressure inlet akan dimasukkan data tekanan total (absolute), tekanan gauge, temperatur, arah aliran, dan besaran turbulen.

d. Pressure outlet

Pada Kondisi batas ini dipakai pada sisi keluar fluida dan data tekanan pada sisi keluar diketahui atau minimal dapat diperkirakan mendekati sebenarnya. Pada kondisi batas ini harus dimasukkan nilai tekanan statik, temperatur aliran balik (backflow), dan besaran turbulen aliran balik.

e. Outflow

Kondisi batas ini digunakan apabila data aliran pada sisi keluar tidak diketahui. Data pada sisi keluar diekstrapolasi dari data yang ada pada aliran sebelum mencapai sisi keluar.


(34)

f. Pressure far-field

Kondisi batas ini digunakan untuk memodelkan aliran kompresibel, besaran yang harus dimasukkan nilainya adalah tekanan gauge, bilangan March, temperatur aliran, arah aliran dan besaran turbulensi pada sisi keluar.

g. Inlet vent dan outlet vent

Kondisi batas ini digunakan untuk model saluran masuk/keluar aliran dimana terdapat peralatan ventilasi di sisi luar saluran masuk/keluar yang dapat menimbulkan kerugian tekanan pada aliran. Data yang harus dimasukkan pada kondisi batas ini sama dengan data pada kondisi batas

pressure inlet/pressure outlet, hanya terdapat tambahan data untuk kerugian

tekanan.

h. Intake fan dan exhaust fan

Kondisi batas ini digunakan untuk model saluran masuk/keluar aliran dimana terdapat fan/blower di sisi luar saluran masuk/keluar untuk menghembus/menghisap fluida di dalam saluran. Data yang harus dimasukkan pada kondisi batas ini sama dengan data pada kondisi batas

pressure inlet/pressure outlet, hanya terdapat tambahan data untuk kenaikan

tekanan setelah melewati fan/blower(pressure-jump).

i. Dinding (wall)

Kondisi batas ini digunakan sebagai dinding untuk aliran fluida dalam saluran atau dapat disebut juga sebagai dinding saluran. Kondisi batas ini digunakan juga sebagai pembatas antara daerah fluida (cair dan gas) dan padatan.

j. Symmetry dan axis

Kondisi batas simetri digunakan apabila model geometri kasus yang bersangkutan dan pola aliran pada model tersebut simetri. Kondisi batas ini juga dapat digunakan untuk memodelkan dinding tanpa gesekan pada aliran viskos. Sedangkan kondisi batas axis digunakan sebagai garis tengah (centerline) untuk kasus 2D axisymmetry.


(35)

k. Periodic

Kondisi batas periodik digunakan untuk mengurangi daya komputasi pada kasus tertentu. Kondisi batas ini hanya dapat digunakan pada kasus yang mempunyai medan aliran dan geometri yang periodic, baik secara translasi atau rotasi.

l. Cell zone fluid

Kondisi batas ini digunakan pada bidang model yang didefinisikan sebagai fluida. Data yang dimasukkan hanya material fluida. Dapat didefinisikan sebagai media berpori.

m. Cell zone solid

Kondisi batas ini digunakan pada bidang model yang didefinisikan sebagai padatan. Data yang harus dimasukkan hanya material padatan. Dapat didefinisikan heat generation rate pada kontinum solid (opsional).

n. Porous Media

Porous zone merupakan pemodelan khusus dari zona fluida selain padatan dan fluida. Kondisi batas ini digunakan dengan cara mengaktifkan pilihan

porous zone pada panel fluida. Digunakan untuk memodelkan aliran yang

melewati media berpori dan tahanan yang terdistribusi, misalnya: packed beds, filter papers, perforated plates, flow distributors, tube banks.

o. Kondisi batas internal

Selain kondisi batas yang telah disebutkan di atas, masih terdapat beberapa kondisi batas lagi yang dapat dikelompokkan menjadi kelompok kondisi batas internal. Yang termasuk dalam kondisi batas internal adalah: fan, radiator, porous jump, interior. Kondisi batas ini digunakan untuk bidang yang berada di tengah medan aliran dan tidak mempunyai ketebalan.

Kondisi batas fan, radiator, dan porous jump digunakan untuk memodelkan adanya fan, radiator, atau media berpori di tengah-tengah aliran, sehingga tidak perlu dibuat model fan atau radiator, cukup dengan menentukan kenaikan tekanan yang terjadi setelah melewati alat tersebut. Sedangkan kondisi batas interior digunakan untuk bidang yang kedua sisinya dilewati oleh fluida.


(36)

Proses selanjutnya adalah pemilihan metode inisiasi, dalam metode inisiasi terdapat beberapa metode solusi, adapun jenis dari metode solusi adalah sebagai berikut:

a. SIMPLE

SIMPLE (Semi-Implicit Method for Pressure Linked Equation) merupakan metode yang menggunakan hubungan antara kecepatan dan tekanan untuk mendapatkan nilai konservasi massa dan nilai bidang tekan (Ansys User Guide,2013)

Dalam metode ini persamaan kecepatan dikoreksi untuk menghitung satu set baru fluks konservatif. Persamaan momentum yang telah terdiskritisasi dan koreksi kecepatan diselesaikan secara implisit dan koreksi kecepatan

diselesaikan secara eksplisit, hal ini adalah alasan disebutnya “Semi-Implisit

Metode”

b. SIMPLEC

SIMPLEC (Semi-Implicit Method for Pressure Linked Equation-Consistent). Metode ini pada dasarnya merupakan modifikasi dari metode SIMPLE, metode ini merupakan prosedur numerik yang biasa digunakan dalam CFD untuk memecahkan persamaan Navier Stokes.

Pada metode SIMPLEC metode SIMPLE sedikit dilakukan variasi dimana persamaan momentum dimanipulasi untuk memungkinkan koreksi kecepatan SIMPLEC dihilangkan untuk menghilangkan nilai yang kurang penting, pada dasarnya SIMPLEC mencoba untuk mencegah efek dropping velocity dan faktor koreksi lainnya.

c. PISO

PISO, (Pressure Implict With Splitting Of Operators). metode ini didasarkan pada tingkatan yang lebih tinggi dari hubungan pendekatan antara faktor koreksi tekanan dan kecepatan. Untuk meningkatkan efisiensi perhitungan, metode piso menggunakan dua faktor koreksi tambahan, yaitu


(37)

Neighbor correction adalah proses iterasi yang disebut sebagai koreksi momentum atau neighbor correction. Dengan tambahan neighbor

correction maka Control Processing Unit (CPU) pada komputer mengalami

penambahan waktu untuk melakukan proses solver iterasi, akan tetapi akan menurunkan nomor iterasi yang dibutuhkan untuk mencapai konvergensi.

Skewness correction adalah proses penghitungan ulang untuk gradien

koreksi tekanan yang digunakan untuk memperbarui koreksi fluks massa.

2.2.6.3. Post Processing

Post processing merupakan tahapan terakhir dari proses CFD, pada tahapan

ini akan ditampilkan hasil dari proses perhitungan kondisi batas dan metode

solver yang digunakan. Dalam post processing dapat memberikan tampilan grafis

yang menunjukkan mesh, kontur, vektor dan pathline.

a. Displaying Mesh

Displaying Mesh digunakan untuk menampilkan mesh pada model yang

sedang dikerjakan pada saat setup kondisi batas atau pada saat memeriksa

solution.

Gambar 2.15. Contoh Displaying Mesh


(38)

b. Displaying Contours dan Profiles

Pada menu display ini akan ditampilkan bentuk kontur dan profil dari model yang sedang diteliti. Kontur dan profil yang ditampilkan dapat berupa tekanan, temperatur ataupun kecepatan.

Gambar 2.16. Contoh Tampilan Kontur TekananStatik (Ansys User Guide, 2013)

Gambar 2.17. Contoh Tampilan Kontur TekananStatik Dalam Bentuk flat


(39)

c. Displaying Vectors

Pada menu display ini akan ditampilkan bentuk vektor dari model yang sedang diteliti. vektor yang ditampilkan dapat berupa tekanan, temperatur ataupun kecepatan.

Gambar 2.18. Contoh Tampilan Vektor Kecepatan (Ansys User Guide, 2013)

d. Displaying Pathlines

Pathlines digunakan untuk memvisualisasikan aliran partikel tak bermassa

yang menjadi domain permasalahan.

Gambar 2.19. Contoh Tampilan Pathlines


(40)

2.2.7. Software CFD

Dalam dunia teknik dan sains sangat banyak software CFD yang digunakan, diantaranya adalah sebagai berikut:

a. OpenFOAM

OpenFOAM® (Open Field Operation and Manipulation) adalah CFD

Toolbox gratis yang bersifat non-komersil, karena merupakan paket perangkat lunak open source yang diproduksi oleh OpenCFD Ltd. OpenFOAM memiliki basis pengguna yang cukup besar pada bidang keteknikan dan sains, baik dari organisasi komersial maupun akademik. OpenFOAM memiliki berbagai pilihan fitur untuk memecahkan permasalahan apa pun dari aliran fluida yang kompleks yang melibatkan reaksi kimia, turbulensi dan perpindahan panas, dinamika struktur padat dan elektromagnetik

Gambar 2.20. Logo OpenFOAM®


(41)

b. FLUENT

FLUENT adalah salah satu dari jenis program CFD yang menggunakan metode volume hingga. FLUENT dapat menyelesaikan kasus aliran fluida dengan mesh (grid) yang tidak terstruktur sekalipun dengan cara yang relatif mudah, karena FLUENT menyediakan fleksibilitas mesh yang lengkap.

FLUENT didukung oleh jenis mesh tipe 2D triangular-quadrilateral, 3D

tetrahedral-hexahedral-pyramid-wedge, dan mesh campuran (hybrid).

FLUENT juga memungkinkan untuk memperhalus atau memperbesar mesh

yang sudah ada.

Gambar 2.22. Logo Ansys FLUENT®


(42)

Gambar 2.24. PreviewPostprocessing Ansys FLUENT®

FLUENT memiliki struktur data yang efisien dan lebih fleksibel, karena FLUENT ditulis dalam bahasa C. FLUENT juga dapat dijalankan sebagai proses terpisah secara simultan ada klien desktop workstation dan computer server.

FLUENT sering digunakan karena memiliki kelebihan sebagai berikut: 1. FLUENT mudah untuk digunakan

2. Model yang realistic (tersedia berbagai pilihan solver)

3. Diskritisasi atau meshing model yang efisien (dalam GAMBIT) 4. Cepat dalam penyajian hasil (bisa dengan paralel komputer) 5. Visualisasi yang mudah untuk dimengerti

Dalam dunia industry, FLUENT sering digunakan untuk desain suatu sistem fluida, juga untuk mencari sumber atau analsis kegagalan suatu sistem fluida. klasifikasi penggunaan FLUENT dalam dunia industri (secara umum): Aerospace, Otomotif, Biomedical, Proses kimia, Semikonduktor, Pertambangan, Petrokimia, Polimer, Pembangkit tenaga, Turbomachinery. c. XFlow

XFlow adalah salah satu software CFD yang dirancang khusus untuk perusahaan yang membutuhkan akurasi data pada simulasi aliran, contohnya


(43)

pada kasus transient aerodynamic, pengelolaan alir, proses kimia, otomotif, mikrofluida, dan interaksi struktur fluida.

Gambar 2.25. Logo XFlow®

Dalam mekanika statistik non-ekuilibrium, persamaan Boltzmann yang ada pada XFlow mampu memproduksi batas hidrodinamik dan juga dapat melakukan modeling yang rumit untuk aplikasi aerospace. XFlow memiliki proses meshing yang lebih baik dibandingkan dengan beberapa software CFD

lainnya. Tampilan dari XFlow juga lebih simpel dibandingkan dengan software CFD lainnya.


(44)

(45)

29

dan ukuran diameter yang berbeda. Pipa bagian dalam terbuat dari tembaga dengan diameter dalam 17,2 mm dan diameter luar 19 mm. Pipa bagian luar terbuat dari besi galvanis ( galvanized iron pipe ) dengan diameter dalam 108,3 mm dan diameter luar 114,3 mm, Panjang dari kedua pipa tersebut adalah 1,6 m. Pipa bagian dalam akan dialirkan fluida berupa uap air, sedangkan untuk pendingin dari uap tersebut adalah air (H2O) yang akan mengalir pada pipa bagian dalam.

3.1. Perangkat penelitian

Penelitian ini menggunakan perangkat sebagai berikut:

1. Laptop asus X550z : dengan Prosesor AMD A10 – 7400P Radeon R6, 10 Compute cores 4C+6G 2,50 GHz dengan RAM 4.00 GB, HHD 1TB type 64-bit.

2. Aplikasi CFD ANSYS 15.0

3.2. Diagram Alir Penelitian

Pengaplikasian metode CFD digunakan antara lain kemampuanya untuk memperoleh parameter-parameter pengujian tanpa harus melakukan secara aktual. Secara umum proses simulasi CFD dibagi menjadi tiga tahapan yaitu Pre-Procesing, Processing, dan Post-Processing.


(46)

Gambar 3.1. Diagram alir proses simulasi menggunakan Ansys FLUENT® 15 3.2.1. Pre-Processing

Pre-Processing adalah tahap awal yang perlu dilakukan sebelum melakukan simulasi CFD seperti membuat geometri, meshing, mendefinisikan bidang batas pada geometri, dan melakukan pengecekan mesh.

a. Membuat Geometri

Pada dasarnya, dalam proses membuat geometri untuk simulasi pada ANSYS FLUENT®, selain menggunakan aplikasi ANSYS dapat dilakukan juga dengan aplikasi lain seperti Gambit, Solidwork, Autocad, dan lain sebagainya yang selanjutnya di impor ke aplikasi ANSYS FLUNT®.


(47)

Pada penelitian ini, geometri dibuat menggunakan aplikasi ANSYS FLUENT® dikarenakan lebih mudah dalam proses pembuatan desain. Geometri dalam penelitian ini berupa pipa anulus ganda dengan pipa dalam menggunakan material tembaga dan pipa luar menggunakan material besi galvanis dengan spesifikasi seperti gambar berikut :

Gambar 3.2. Pipa Anulus Ganda (Tampak depan)

Gambar 3.3. Pipa Anulus Ganda (Tampak samping) Din = 17,2 mm Dout = 19 mm

Din = 108,3 mm Dout = 114,3 mm


(48)

b. Meshing

Dalam proses ini geometri dibagi menjadi bagian-bagian kecil. Ukuran

mesh yang terdapat pada suatu obyek akan mempengaruhi ketelitian analisis CFD yang akan dilakukan. Semakin kecil ukuran mesh pada suatu obyek, maka hasil yang akan didapatkan semakin teliti.

Pada penelitin ini, mesh yang digunakan adalah jenis Quadrilateral karena cenderung lebih terstruktur. Kemudian, pada sisi dekat dinding pipa mesh

diperdetail dengan inflation.

Setelah melakukan meshing dilajutkan dengan pengidentifikasian bidang batas pada geometri name selection. Bidang yang diidentifikasi adalah inlet dan outlet pipa baik untuk uap dan air serta sisi luar pipa.


(49)

Gambar 3.5. Hasil Meshing (Tampak samping)


(50)

Gambar 3.7. Hasil Meshing

3.2.2. Processing

Pada tahap ini ada banyak hal yang perlu dilakukan kaitannya dengan penentuan kondisi batas dalam sebuah simulasi CFD. Proses ini merupakan proses paling penting karena hampir semua parameter penelitian diproses dalam tahapan ini seperti: models, materials, cell zone conditions, boundary conditions, mesh interfaces, dynamic mesh, reference values, solution methods, solution controls,

solution initialization, calculation activities, dan yang terakhir run calculation. a. General

Simulasi ini menggunakan metode solusi berdasarkan tekanan. Kemudian untuk velocity formulation menggunakan absolute. Aliran dalam sistem ini bersifat steady.


(51)

Gambar 3.8. User Interface General menu

b. Models

Pada tahap ini energy diseting on karena dalam simulasi ini memerlukan

energy dalam prosesnya. selanjutnya viscous diseting k-epsilon dan

memakai model Realizable. dalam simulasi ini, k-epsilon realizable dipilih karena memiliki tingkat ketelitian yang lebih baik dibandingkan dengan metode k-epsilon standard atau k-epsilon RNG.


(52)

Gambar 3.10. Menu Models viscous

c. Materials

Material yang digunakan dalam simulasi ini terbagi kedalam dua jenis, yaitu solid dan fluid. Material solid yang digunakan adalah galvanize steel

dan copper sedangkan untuk fluidanya menggunakan liquid dan vapor.

Gambar 3.11. User Interface Menu Materials

d. Cell Zone Conditions

Cell Zone Conditions berisi daftar zona sel yang dibutuhkan. Pada tahapan ini masing-masing zone diberinama dan jenis materialnya. Untuk Proses


(53)

Formulation yang berisi opsi untuk mengatur kecepatan simulasi diseting

default dengan memilih Superficial Velocity.

Gambar 3.12. User Interface Menu Cell Zone Condition

e. Boundary Conditions

Tahap ini merupakan proses untuk memberikan kondisi batas berupa data yang dibutuhkan pada simulasi ini. Data yang dimasukkan adalah data tekanan serta temperatur uap air pada inlet dan outlet. Untuk data terkait air, pada inlet menggunakan dua laju aliran massa disamping data temperaturnya. Untuk outlet air sama dengan uap air data yang dimasukkan adalah tekanan dan temperaturnya.


(54)

Gambar 3.13. User Interface Menu Boundary Condition

f. Solution Methods

Simulasi ini menggunakan skema PISO, persamaan yang digunakan untuk untuk mesh yang mengandung cells dengan skewness yang lebih tinggi dari rata-rata. Metode ini didasarkan pada tingkatan yang lebih tinggi dari hubungan pendekatan antara faktor koreksi tekanan dan kecepatan. Untuk meningkatkan efisiensi perhitungan, metode Piso menggunakan dua faktor koreksi tambahan, yaitu neighbor correcion dan skewness correction. Pada Spatial Discretization, untuk Gradient-nya menggunakan Least Squares

Cell based, Pressure menggunakan Second Order, dan untuk Momentum,

Turbulen Kinetic Energy, Turbulen Dissipation Rate, dan Energy


(55)

Gambar 3.14. User Interface Solution Methods

g. Monitors

Pada tahap ini akan diatur parameter yang digunakan untuk memantau konvergensi secara dinamis. Pada dasarnya konvergensi dapat ditentukan dengan merubah parameter pada residual, statistik, nilai gaya, dll.

Pada kasus ini equations pada residual monitors disetting sesuai kebutuhan yaitu akan menampilkan continuity, z-velocity, energy, k-epsilon, dan do-intensity.


(56)

Gambar 3.15. Tampilan Menu Residual Monitor

h. Solution Initialization

Initialization methods yang digunakan adalah standart initialization

dengan reference frame menggunakan relatife to cell zone


(57)

i. Run Calculation

Pada proses ini akan dilakukan iterasi hingga terjadi konvergensi. Number

of iterations adalah batasan iterasi yang ditentukan, sedangkan

konvergensi tidak terpaku oleh jumlah data number of iterations yang kita

masukkan. Konvergensi dipengaruhi oleh ketepatan dalam menentukan metode yang digunakan dalam simulasi ini.

Gambar 3.17. Toolbar Run Calculation

3.2.3. Post-Processing

Post-processing adalah langkah terakhir dalam analisa CFD. Tahapan akhir yang merupakan hasil perhitungan diinterpretasikan ke dalam gambar, grafik bahkan animasi dengan pola warna tertentu. Pada kasus penelitian ini, hasil yang dibutuhkan adalah contour temperature hasil dari kondensasi uap.

Ada 3 tahapan yang harus dilakukan untuk mengetahui hasil simulasi yang berupa pola aliran serta distribusi temperatur.

a. Plane

Plane ditampilkan dalam bentuk dua dimensi. Area tampilan dapat ditentukan berdasarkan sumbu kordinat geometri.


(58)

Gambar 3.18. Toolbar Plane

Gambar 3.19. Tampilan YZ Plane

Dalam penelitian ini selain menentukan area koordinat YZ juga menentukan koordinat XY untuk mengetahui area tampilan hasil pada tiap titik di sepanjang sumbu Z pipa anulus ganda ini.


(59)

Gambar 3.20. Tampilan XY Plane Pada Titik Z di Koordinat 80 cm dari Inlet

b. Contour

Dengan contour dapat diketahui dengan lebih detail terkait pola hasil dari simulasi berdasarkan variable yang dikehendaki pada setiap plane yang telah ditentukan sebelumnya. Contour dideskripsikan dengan warna dan angak untuk membaca temperatur pola aliran berdasarkan variable yang ditentukan.


(60)

Gambar 3.22. Tampilan YZ Contour

Gambar 3.23. Tampilan XY Contour Pada Titik Koordinat 80 cm dari Inlet


(61)

c. Legend

Setelah menentukan area tampilan dan pola aliran berdasarkan warna dari simulasi dengan plane dan countour, tahap selanjutnya adalah menentukan dimensi untuk membaca warna pola dengan menggunakan legend.

Gambar 3.24. Toolbar Legend


(62)

48

air panas posisi aksial pada pipa konsentrik horisontal untuk variasi laju aliran massa inlet. Pola aliran temperatur diperlihatkan pada Gambar 4.1 sampai dengan Gambar 4.5 merupakan hasil dari simulasi untuk melihat pola aliran temperatur pada posisi melintang pada pipa konsentrik horizontal ke arah sumbu z.

4.1. Hasil Penelitian

a. Profil temperatur pada variasi (ṁco,i = 6,9 x 10 -4 kg/s ) dari sisi inlet

Gambar 4.1. Profil Temperatur Pada Posisi Aksial Variasi (Psti = 108825 Pa ,

ṁco,i = 6,9 x 10 -4 kg/s)

Gambar 4.1 menunjukkan pola aliran temperatur pada pipa horisontal di sisi aksial. Pada sisi aksial terdapat perbedaan warna akibat terjadinya penurunan temperatur uap dari sisi inlet ke outlet, pada perlakuan pendinginan uap air panas di sisi atas, bawah dan samping. Pada titik 10 cm sampai 30 cm mengalami


(63)

kenaikan temperatur sebesar 1 oC dari sisi inlet, sedangkan di titik 75 cm sampai dengan 150 cm mengalami penurunan temperatur yang sangat tajam. Pada variasi ini mengindikasikan bahwa di titik 100 cm sampai 105 cm dari inlet tersebut sedang terjadi kondensai dengan dew point 80,12 oC.

b. Profil temperatur pada variasi (ṁco,i = 1,4 x 10 -3 Kg/s ) dari sisi inlet

Gambar 4.2. Profil Temperatur Pada Posisi Aksial Variasi (Psti = 108825 Pa ,

ṁco,i = 1,4 x 10 -3 kg/s)

Gambar 4.2 menunjukkan pola aliran temperatur pada pipa horisontal di sisi aksial. Pada sisi aksial terdapat perbedaan warna akibat dari penurunan temperatur uap dari sisi inlet ke outlet, diperlihatkan dengan perubahan warna pada pipa uap. Terlihat bahwa penurunan temperatur dari sisi atas, bawah, dan samping di titik 10 cm sampai dengan 75 cm terlihat konstan dari sisi inlet. Sedangkan pada titik 75 cm sampai 150 cm selisih penurunan suhunya sebesar 9 oC. Pada variasi ini terjadi kondensasi di titik 75 cm sampai 100 cm dari sisi inlet dengan dew point 57,02 oC.


(64)

c. Profil temperatur pada variasi (ṁco,i = 1,6 x 10 -3 kg/s ) dari sisi inlet

Gambar 4.3. Profil Temperatur Pada Posisi Aksial Variasi (Psti = 108825 Pa ,

ṁco,i = 1,6 x 10 -3 kg/s)

Gambar 4.3 menunjukkan pola aliran temperatur uap pada pipa konsentrik

horisontal di sisi aksial. Pada sisi aksial terdapat perbedaan warna akibat pola aliran temperatur uap pada setiap posisi atas, bawah dan samping. Penurunan temperatur yang hampir konstan pada titik 10 cm sampai dengan 75 cm dan di titik 75 cm sampai 150 cm penurunanya tidak terlalu drastis hanya selisih 1 oC dari sisi inlet. Pada variasi ini terjadi kondensasi pada titik 160 cm mendekati outlet dengan dew point 80,4 oC.


(65)

d. Profil temperatur pada variasi (ṁco,i = 2,7 x 10 -3 kg/s ) dari sisi inlet

Gambar 4.4. Profil Temperatur Pada Posisi Aksial Variasi (Psti = 108825 Pa ,

ṁco,i = 2,7 x 10 -3 kg/s)

Gambar 4.4 menunjukkan pola aliran temperatur pada pipa konsentrik horisontal di sisi aksial. Pada sisi aksial terdapat perbedaan warna akibat penurunan temperatur uap. Penurunan temperatur uap pada posisi atas, samping, dan bawah di titik 10 cm sampai dengan 150 cm dari sisi inlet hanya selisi 1 oC. Sedangkan terjadi kondensasi di titik 160 cm mendekati outlet dengan dew point 68,34 oC.


(66)

e. Profil temperatur pada variasi (ṁco,i = 1,9 x 10 -2 kg/s ) dari sisi inlet

Gambar 4.5. Profil Temperatur Pada Posisi Aksial Variasi (Psti = 108825 Pa ,

ṁco,i = 1,9 x 10 -2 kg/s)

Gambar 4.5 menunjukkan pola aliran temperatur pada pipa konsentrik horisontal di posisi aksial. Pada sisi aksial terdapat perbedaan warna akibat pola aliran temperatur uap air panas. Penurunan temperatur uap air panas pada posisi atas, bawah, dan samping di titik 10 cm sampai dengan 75 cm pola aliran temperatur uap air panas hampir konstan. Di titik 75 cm sampai dengan 150 cm penurunan suhu selisihnya 2 oC. Sedangkan terjadi kondensasi pada titik 100 cm sampai 150 cm dengan dew point 93,36 oC.

4.2. Pembahasan

Data temperatur dari hasil simulasi akan ditunjukkan pada gambar 4.6 sampai 4.10. Data diambil berdasarkan lokasi atas, samping dan bawah dari uap air panas.


(67)

Gambar 4.6. Grafik Temperatur Pada Posisi Aksial (ṁco,i = 6,9 x 10 -4 kg/s)

Gambar 4.7. Grafik Temperatur Pada Posisi Aksial (ṁco,i = 1,4 x 10 -3 kg/s)

0 20 40 60 80 100

0 25 50 75 100 125 150

T e m p e ra tu r ( oC)

Lokasi Aksial (cm)

Atas Side Bawah Pendingin

0 20 40 60 80

0 25 50 75 100 125 150

T e m p e ra tu r ( oC)

Lokasi Aksial (cm)


(68)

Gambar 4.8. Grafik Temperatur Pada Posisi Aksial (ṁco,i = 1,6 x 10 -3 kg/s)

Gambar 4.9. Grafik Temperatur Pada Posisi Aksial (ṁco,i = 2,7 x 10 -3 kg/s)

0 20 40 60 80 100

0 25 50 75 100 125 150

T e m p e ra tu r ( oC)

Lokasi Aksial (cm)

Atas Samping Bawah Pendingin

0 20 40 60 80 100

0 25 50 75 100 125 150

T e m p e ra tu r ( oC)

Lokasi Aksial (cm)


(69)

Gambar 4.10. Grafik Temperature Pada Posisi Aksial (ṁco,i = 1,9 x 10 -2 kg/s) Gambar 4.6 sampai Gambar 4.10 menggambarkan pola aliran temperatur pada sisi aksial pipa anulus horisontal. Gambar 4.6 terdapat hasil dari simulasi pengukuran temperatur yang hampir konstan pada titik 10 cm sampai dengan 75 cm. Sedangkan pada titik 100 cm diarah samping dan bawah terlihat konstan dengan besaran di titik bawah terlihat rendah hal ini mengindikasikan sedang terjadi kondensai di bawah titik 100 cm. kemudian pada titik 150 cm pada posisi atas, bawah dan samping cenderung mengalami penurunan temperatur ke bawah secara tajam. Hal ini mengindikasi bahwa telah terjadi kondesasi pada titik ini. Diperkirakan pada variasi ṁco,i = 6,9 x 10 -4 kg/s ini telah terjadi pola aliran wavy. Pada dew point 80,12 oC terjadi diantara titik 100 cm dan 150 cm.

Gambar 4.7 pada variasi ṁco,i = 1,4 x 10 -3 kg/s terdapat hasil dari simulasi pengukuran temperatur yang hampir konstan pada titik 10 cm sampai 75 cm pada posisi atas, bawah, dan samping dari sisi inlet. Sedangkan di titik 75 cm sudah terjadi kondensai sampai dengan 150 cm dari sisi inlet. Diperkirakan Pada variasi

ṁco,i = 1,4 x 10 -3 kg/s sudah terjadi pola aliran wavy. Pada dew point 57,02 oC.

0 20 40 60 80 100

0 25 50 75 100 125 150

T e m p e ra tu r ( oC)

Lokasi Aksial (cm)


(70)

Berdasarkan Gambar 4.8 dan 4.9 dapat dijelaskan temperatur pada titik 10 cm sampai 75 cm dari inlet pada posisi atas, bawah, dan samping berturut-turut juga relatif konstan dengan besaran pada posisi bawah lebih rendah sedangkan pada titik 75 cm sampai dengan 150 cm penurunan hanya sebesar 1 0C sedangkan terjadi kondensai setelah titik 150 cm dari inlet. Sedangkan pada gambar 4.10 terlihat pada titik 10 cm sampai titik 75cm dari sisi atas bawah dan samping terlihat konstan. Sedangkan pada titik 100 cm sampai 150 cm sedang terjadi kondensasi pada titik

ini. Diprerkirakan pada variasi ṁco,i = 1,9 x 10 -2 kg/s telah terjadi pola aliran wavy. Pada dew point 93.36 oC karena di titik ini temperaturnya sudah di bawah suhu saturasi.

Kekurangan pada penelitian ini adalah hasil dari simulasi hanya menunjukkan profil temperatur berdasarkan warna, sehinga fenomena kondensasi pada aliran uap yang memungkinkan terjadi didalam sistem simulasi ini tidak muncul secara visusal. Untuk itu, guna mengetahui terjadinya fenomena kondensai agar lebih sepesifik letak terjadinya kondensasi maka dilakukan pengecekan secara teoritis dengan menghitung dew point (Tdp) untuk masing-masing variasi percobaan.

a. Dew pointuntuk ṁco,i = 6,9 x 10-4 kg/s Diketahui,

T1 = 97,721 °C (dengan tekanan jenuh air sebesar 93,75 kPa) T2 = 81,113 °C (dengan tekanan jenuh air sebesar 49,74 kPa) P = 101,325 kPa

hg1 = 2671,8 kJ/kg hf2 = 339,69 kJ/kg hfg2 = 2305,1 kJ/kg Cp,steam = 1,8723 kJ/kg.K

Tdp = Tsat@Pv Pv = �Pg@97.721 °C


(71)

ω =Cp T − T + ω hh − h

ω = . Pg2

P2−Pg2 =

, x ,

, − , = , kg H2O/kg dry air

ω = , x , − ,, − ,+ , x , = , kg H2O/kg dry air

� = , , x+ . , , = , 1

Sehingga,

Pv = 0,51 x 93,75 = 47,81 kPa Tdp = Tsat 47,81 kPa = 80,12 °C

b. Dew pointuntuk ṁco,i = 1,4 x 10-3kg/s Diketahui,

T1 = 103,94 °C (dengan tekanan jenuh air sebesar 116,77 kPa) T2 = 62,276 °C (dengan tekanan jenuh air sebesar 22,26 kPa) P = 101,325 kPa

hg1 = 2681,7 kJ/kg hf2 = 260,71 kJ/kg hfg2 = 2352,10 kJ/kg Cp,steam = 1,8723 kJ/kg.K

Tdp = Tsat@Pv Pv = �Pg@97.721 °C


(72)

ω =Cp T − T + ω h h − h

ω = , Pg2

P2−Pg2 =

, x ,

, − , = , kg H2O/kg dry air

ω = , x , −, −, ,+ , x , = , kg H2O/kg dry air

� = , , x+ , , , = ,

Sehingga,

Pv = 0,15 x 116,77 = 17,51 kPa Tdp = Tsat 17,51 kPa = 57,02 °C

c. Dew pointuntuk ṁco,i = 1,6 x 10-3 kg/s Diketahui,

T1 = 98,548 °C (dengan tekanan jenuh air sebesar 96,53 kPa) T2 = 81,476 °C (dengan tekanan jenuh air sebesar 50,5 kPa) P = 101,325 kPa

hg1 = 2673,2 kJ/kg hf2 = 341,21 kJ/kg hfg2 = 2304,2 kJ/kg Cp,steam = 1,8723 kJ/kg.K

Tdp = Tsat@Pv Pv = �Pg@98.548 °C

� = , ω P+ ω P


(73)

ω = . Pg2

P2−Pg2 =

, x ,

, − , = , kg H2O/kg dry air

ω = , x , − ,, − ,+ , x , = , kg H2O/kg dry air

� = , , x+ , , , = , 0

Sehingga,

Pv = 0,50 x 96,53 = 48,265 kPa Tdp = Tsat 48,265 kPa = 80,4 °C

d. Dew pointuntuk ṁco,i = 2.7 x 10-3 kg/s Diketahui,

T1 = 96,07 °C (dengan tekanan jenuh air sebesar 88,20 kPa) T2 = 94,198 °C (dengan tekanan jenuh air sebesar 82,29 kPa) P = 101,325 kPa

hg1 = 2669,3 kJ/kg hf2 = 394,71 kJ/kg hfg2 = 2276,6 kJ/kg Cp,steam = 1,8723 kJ/kg.K

Tdp = Tsat@Pv Pv = �Pg@96.07 °C

� = , ω P+ ω P


(74)

ω = , Pg2

P2−Pg2 =

, x ,

, − , = , kg H2O/kg dry air

ω = , x , − ,, − ,+ , x , = , kg H2O/kg dry air

� = , , x+ , , , = ,

Sehingga,

Pv = 0,33 x 88,20 = 29,106 kPa Tdp = Tsat 29,106 kPa = 68,34°C

e. Dew pointuntuk ṁco,i = 1,9 x 10-2 kg/s Diketahui,

T1 = 99,252 °C (dengan tekanan jenuh air sebesar 98,90 kPa) T2 = 93,697 °C (dengan tekanan jenuh air sebesar 80,84 kPa) P = 101,325 kPa

hg1 = 2674,4 kJ/kg hf2 = 392,6 kJ/kg hfg2 = 2272,9 kJ/kg Cp,steam = 1,8723 kJ/kg.K

Tdp = Tsat@Pv Pv = �Pg@97.091 °C

� = , ω P+ ω P

ω =Cp T − T + ω hh − h

ω = , Pg2

P2−Pg2 =

, x ,


(75)

ω = , x , −, − + , x, , = , kg H2O/kg dry air

� = , , x+ , , , =0,81 Sehingga,

Pv = 0,81 x 98,90 = 80,109 kPa Tdp = Tsat 80,109 kPa = 93,36 °C

Sebelumya pernah dilakukan percobaan eksperimental dengan kasus yang serupa dengan laju aliran massa uap air yang dilakukan oleh Sukamta, dkk (2011). Hasil dari percobaan eksperimental tersebut dijadikan pembanding dengan hasil simulasi menggunakan ANSYS dengan laju aliran masa air pendingin. Dari hasil pembanding antara eksperimental dengan simulasi didapatkan hasil sebagai berikut:

a. Grafik hasil perbandingan percobaan eksperimental 11 dan 12 pada variasi


(76)

Gambar 4.11. Grafik profil temperatur pada posisi atas di dalam pipa aksial

Gambar 4.12. Grafik profil temperatur pada posisi samping di dalam pipa aksial 0 20 40 60 80 100

0 25 50 75 100 125 150

T e m p e ra tu r ( oC)

Lokasi Aksial (cm)

m̊co,i =6,9 x 10 ⁻ ⁴ kg/s m̊co,i = 1,4 x 10 ⁻ ³ kg/s

m̊co,i = 1,6 x 10 ⁻ ³ kg/s m̊co,i = 2,7 x 10 ⁻ ³ kg/s

m̊co,i = 1,9 x 10 ⁻ ² kg/s sukamta m̊st,i = 8,9 x 10 ⁻ ³ kg/s sukamta m̊st,i = 1,1 x 10 ⁻ ² kg/s

0 20 40 60 80 100

0 25 50 75 100 125 150

T e m p e ra tu r ( oC)

Lokasi Aksial (cm)

m̊co,i = 6,9 x 10 ⁻ ⁴ kg/s m̊co,i = 1,4 x 10 ⁻ ³ kg/s

m̊co,i = 1,6 x 10 ⁻ ³ kg/s m̊co,i = 2,7 x 10 ⁻ ³ kg/s

m̊co,i = 1,9 x 10 ⁻ ² kg/s sukamta m̊st,i = 8,9 x 10 ⁻ ³ kg/s sukamta m̊st,i = 1,1 x 10 ⁻ ² kg/s


(77)

Gambar 4.13. Grafik profil temperatur pada posisi bawah di dalam pipa aksial

Dari hasil perbandingan eksperimental dengan simulasi di dapat hasil

seperti di atas pada variasi laju aliran massa uap air ṁst,i = 8,9 x 10 -3 kg/s dan ṁst,i = 1,1 x 10 -2 kg/s pada posisi atas, bawah dan samping. Memiliki pola aliran yang serupa dengan hasil dari simulasi laju aliran massa air pendingin pada tiga variasi

ṁco,i = 1,6 x 10 -3kg/s, ṁco,i = 2,7 x 10 -3 kg/s dan ṁco,i = 1,9 x 10 -2 kg/s. Hasil

simulasi yang berbeda ditunjukkan oleh variasi laju aliran massa air pendingin ṁco,i = 6,9 x 10 -4 kg/s dan ṁco,i = 1,4 x 10-3 kg/s dengan penurunan temperatur yang sangat tajam pada titik 100 cm dan 150 cm.

b. Grafik hasil perbandingan percobaan eksperimental 6 dan 7 pada variasi ṁst,i = 6,9 x 10 ⁻⁴kg/s dan ṁst,i = 1,4 x 10 ⁻ ³ kg/s

0 20 40 60 80 100

0 25 50 75 100 125 150

T e m p e ra tu r ( oC)

Lokasi Aksial (cm)

m̊co,i = 6,9 x 10 ⁻ ⁴ kg/s m̊co,i = 1,4 x 10 ⁻ ³ kg/s

m̊co,i = 1,6 x 10 ⁻ ³ kg/s m̊co,i = 2,7 x 10 ⁻ ³ kg/s

m̊co,i = 1,9 x 10 ⁻ ² kg/s sukamta m̊st,i = 8,9 x 10 ⁻ ³ kg/s sukamta m̊st,i = 1,1 x 10 ⁻ ² kg/s


(78)

Gambar 4.14. Grafik profil temperatur pada posisi atas di dalam pipa aksial

Gambar 4.15. Grafik profil temperatur pada posisi samping di dalam pipa

0 20 40 60 80 100

0 25 50 75 100 125 150

T e m p e ra tu r ( oC)

Lokasi Aksial (cm)

m̊co,i = 6,9 x 10 ⁻ ⁴ kg/s m̊co,i = 1,4 x 10 ⁻ ³ kg/s

m̊co,i = 1,6 x 10 ⁻ ³ kg/s m̊co,i = 2,7 x 10 ⁻ ³ kg/s

m̊co,i = 1,9 x 10 ⁻ ² kg/s sukamta m̊st,i = 6.9 x 10 ⁻ ⁴ kg/s sukamta m̊st,i = 1.4 x 10 ⁻ ³ kg/s

0 20 40 60 80 100

0 25 50 75 100 125 150

T e m p e ra tu r ( oC)

Lokasi Aksial (cm)

m̊co,i = 6,9 x 10 ⁻ ⁴ kg/s m̊co,i = 1,4 x 10 ⁻ ³ kg/s

m̊co,i = 1,6 x 10 ⁻ ³ kg/s m̊co,i = 2,7 x 10 ⁻ ³ kg/s

m̊co,i = 1,9 x 10 ⁻ ² kg/s sukamta m̊st,i = 6.9 x 10 ⁻ ⁴ kg/s sukamta m̊st,i = 1.4 x 10 ⁻ ³ kg/s


(79)

Gambar 4.16. Grafik profil temperatur pada posisi samping di dalam pipa Dari hasil perbandingan eksperimental dengan simulasi didapat hasil seperti di atas

dengan variasi laju aliran massa uap air ṁst,i = 6,9 x 10 ⁻⁴ kg/s dan m̊st,i = 1,4 x

10 ⁻ ³ kg/s pada posisi atas, bawah dan samping memiliki pola aliran yang hampir sama. Bedanya temperatur pada hasil simulasi lebih kecil dari hasil eksperimetal

pada variasi laju aliran massa uap air ṁst,i = 1,4 x 10 ⁻ ³ kg/s temperatur pada titik 150 cm suhu besarnya 50 oC pada posisi atas, bawah dan samping dari sisi inlet. Sedangkan hasil dari simulasi pada variasi yang sama temperaturnya sebesar 40 oC.

Pada variasi ṁco,i = 6,9 x 10 -4 kg/s di titik yang sama. Hasil yang berbeda

diperlihatkan oleh eksperimental pada variasi ṁst,i = 6,9 x 10 ⁻⁴ kg/s dengan hasil temperatur lebih besar dari hasil simulasi pada variasi yang sama.

0 20 40 60 80 100

0 25 50 75 100 125 150

T e m p e ra tu r ( oC)

Lokasi Aksial (cm)

m̊co,i = 6,9 x 10 ⁻ ⁴ kg/s m̊co,i = 1,4 x 10 ⁻ ³ kg/s

m̊co,i = 1,6 x 10 ⁻ ³ kg/s m̊co,i = 2,7 x 10 ⁻ ³ kg/s

m̊co,i = 1,9 x 10 ⁻ ² kg/s sukamta m̊st,i = 6.9 x 10 ⁻ ⁴ kg/s sukamta m̊st,i = 1.4 x 10 ⁻ ³ kg/s


(80)

67 kesimpulan sebagai berikut:

1. Pola aliran temperatur pada lima variasi cenderung memiliki perbeadaan penurunan temperatur pada tiap variasi laju aliran massa uap air pendingin.

2. Fenomena kondensasi yang terjadi di dalam pipa konsentrik horisontal

pada lima variasi berbeda. Variasi ṁco,i = 6,9 x 10 -4 kg/s, ṁco,i = 1,9 x 10 -2 kg/s terjadi kondensasi mendekati titik 100 cm dari inlet.

Sedangkan variasi ṁco,i = 1,4 x 10 -3 Kg/s terjadi kondensasi mendekati

titik 75 cm. Hasil yang berbeda ditunjukkan pada variasi ṁco,i = 1,6 x 10 -3 kg/s dan ṁco,i = 2,7 x 10 -3 kg/s yang mengalami kondensasi mendekati titik outlet.

3. Fenomena kondensai mempengaruhi pola aliran pada pipa yang bisa menimbulkan ketidakstabilan pada aliran fluida yang dapat menyebabkan gelombang pada aliran fluida.

4. Dari hasil perbandingan simulasi dan eksperimental dapat disimpulkan hasil dari distribusi pola aliran pada percobaan simulasi lebih kecil dibandingkan hasil eksperimental. Perbedaan distribusi temperatur tersebut bisa di sebabkan faktor lingkungan yang bisa mempengaruhi hasil dari eksperimental.

5.2. Saran

Dalam penelitian berbasis simulasi ini, hal pertama yang harus ditentukan adalah input parameter inlet dan outlet pada benda kerja, menggunakan metode yang cocok agar meminimalisir slug flow yang dapat menyebabkan terjadinya fenomena water hammer. Penelitian ini sebaiknya menggunakan perangkat komputer atau PC yang memiliki spesifikasi khusus untuk simulasi.


(81)

Afolabi, Eyitayo. A. & Lee. J. G. M. 2013. CFD Simulation of a Single Phase

Flow in a Pipe Separator Using Reynolds Stress Method. ARPN Journal of

Engineering and Applied Sciences Vol 8, No 7, July 2013.

Asinari, Pietro. 2007. Multiphase Flow Basic Physics and Engineering Modeling.

Ansys Fluent User’s Guide. 2013. Ansys, Inc. USA.

Behera, Siddharta Shankar. 2013. CFD Analysis of Heat Transfer in a Helical

Coil Heat Exchanger Using Fluent. Departement of Mechanical

Engineering, National Institute of Technology Rourkela.

Cengel A, Ynus & Cimbala M, John. 2006. Fluid Mechanich Fundamentals and Applications.

Ghisaasiaan, S.M. 2008. Two Phase Flow, Boiling, and Condensation in

Conventional and Miniatur System. Cambridge University Press Cambridge.

Munson, Bruce. R., Young, Donald. F. & Okiishin, Ted. H 2013. Fundamental of Fluid Mechanics. John wiley & Son, Inc.

Rahul H, Kanade. 2015. Heat Transfer Enhancement in a Double Pipe Heat

Exchanger Using CFD. International Research Journal of Engineering and

Technology (IRJET) Vol 02.

Song, Shengwei. 2014. Analysis of Y Type Branch Pipe Exhaust Ventilation Flow

Characteristics. Applied Mechanics ang Materials Vols. 556-562, pp

1054-1058. Trans Tech Publications, Switzerland.

Sukamta & Sudarja. 2011. Temperature Profiles Based on Multilocation of Condensation of Steam Flow Cooled With Parallel Flowing Water in the Outside of a Horizontal Pipe.

Tuakia, Firman. 2008. Dasar-dasar CFD Menggunakan Fluent. Informatika. Bandung.


(82)

(1)

cm pada posisi atas, bawah dan samping cenderung mengalami penurunan temperatur kebawah secara tajam. Hal ini mengindikasi bahwa telah terjadi kondesasi pada titik ini. Diperkirakan pada variasi ṁco,i = 6,9 x 10 -4

kg/s ini telah terjadi pola aliran wavy. Pada dew point 80,12 oC terjadi diantara titik 100 cm dan 150 cm.

Gambar 3.7 pada variasi ṁco,i = 1,4 x

10 -3 kg/s terdapat hasil dari simulasi pengukuran temperatur yang hampir konstan pada titik 10 cm sampai 75 cm pada posisi atas, bawah, dan samping dari sisi inlet. Sedangkan di titik 75 cm sudah terjadi kondensai sampai dengan 150 cm dari sisi inlet. Diperkirakan Pada variasi ṁco,i = 1,4 x

10 -3 kg/s sudah terjadi pola aliran wavy. Pada dew point 57,02 oC.

Berdasarkan Gambar 3.8 dan 3.9 dapat dijelaskan temperatur pada titik 10 cm sampai 75 cm dari inlet pada posisi atas, bawah, dan samping berturut-turut juga relatif konstan dengan besaran pada posisi bawah lebih rendah sedangkan pada titik 75 cm sampai dengan 150 cm penurunan hanya sebesar 1 0C terjadi kondensai setelah titik

150 cm dari inlet. Sedangkan pada gambar 3.10 terlihat pada titik 10 cm sampai titik 75cm dari sisi atas bawah dan samping terlihat konstan. Sedangkan pada titik 100 cm sampai 150 cm sedang terjadi kondensasi pada titik ini. Diprerkirakan pada variasi ṁco,i = 1,9 x 10 -2 kg/s telah terjadi

pola aliran wavy. Pada dew point 93.36 oC karena di titik ini temperaturnya sudah di bawah suhu saturasi.

c. Menentukan titik dew point

Kekurangan pada penelitian ini adalah hasil dari simulasi hanya menunjukan profil temperatur berdasarkan warna, sehinga fenomena kondensasi pada aliran uap yang memungkinkan terjadi didalam system simulasi, ini tidak muncul secara visusal.

Untuk itu, guna mengetahui terjadinya fenomena kondensai agar lebih sepesifik letak terjadinya kondensasi maka dilakukan pengecekan secara teoritis dengan menghitung dew point (Tdp) untuk masing-masing variasi percobaan.

a. Dew point untuk ṁco,i = 6,9 x 10-4 kg/s

Diketahui,

T1 = 97,721 °C (dengan

tekanan jenuh air sebesar 93,75 kPa) T2 = 81,113 °C (dengan

tekanan jenuh air sebesar 49,74 kPa) P = 101,325 kPa

hg1 = 2671,8 kJ/kg

hf2 = 339,69 kJ/kg

hfg2 = 2305,1 kJ/kg

Cp,steam = 1,8723 kJ/kg.K

Tdp = Tsat@Pv

Pv = �Pg@97.721 °C

kg H2O/kg dry air

kg H2O/kg dry air


(2)

Sehingga,

Pv = 0,51 x 93,75 = 47,81 kPa Tdp = Tsat 47,81 kPa = 80,12 °C

b. Dew point untuk ṁco,i = 1,4 x 10-3kg/s

Diketahui,

T1 = 103,94 °C (dengan

tekanan jenuh air sebesar 116,77 kPa) T2 = 62,276 °C (dengan

tekanan jenuh air sebesar 22,26 kPa) P = 101,325 kPa

hg1 = 2681,7 kJ/kg

hf2 = 260,71 kJ/kg

hfg2 = 2352,10 kJ/kg

Cp,steam = 1,8723 kJ/kg.K

Tdp = Tsat@Pv

Pv = �Pg@97.721 °C

kg H2O/kg dry air

kg H2O/kg dry air

Sehingga,

Pv = 0,15 x 116,77 = 17,51 kPa Tdp = Tsat 17,51 kPa = 57,02 °C

c. Dew point untuk ṁco,i = 1,6 x 10-3 kg/s

Diketahui,

T1 = 98,548 °C (dengan

tekanan jenuh air sebesar 96,53 kPa) T2 = 81,476 °C (dengan

tekanan jenuh air sebesar 50,5 kPa) P = 101,325 kPa

hg1 = 2673,2 kJ/kg

hf2 = 341,21 kJ/kg

hfg2 = 2304,2 kJ/kg

Cp,steam = 1,8723 kJ/kg.K

Tdp = Tsat@Pv

Pv = �Pg@98.548 °C

kg H2O/kg dry air

kg H2O/kg dry air

0

Sehingga,

Pv = 0,50 x 96,53 = 48,265 kPa Tdp = Tsat 48,265 kPa = 80,4 °C


(3)

d. Dew point untuk ṁco,i = 2.7 x 10-3 kg/s

Diketahui,

T1 = 96,07 °C (dengan

tekanan jenuh air sebesar 88,20 kPa) T2 = 94,198 °C (dengan

tekanan jenuh air sebesar 82,29 kPa) P = 101,325 kPa

hg1 = 2669,3 kJ/kg

hf2 = 394,71 kJ/kg

hfg2 = 2276,6 kJ/kg

Cp,steam = 1,8723 kJ/kg.K

Tdp = Tsat@Pv

Pv = �Pg@96.07 °C

kg H2O/kg dry air

kg H2O/kg dry air

Sehingga,

Pv = 0,33 x 88,20 = 29,106 kPa Tdp = Tsat 29,106 kPa = 68,34°C

e. Dew point untuk ṁco,i = 1,9 x 10-2 kg/s

Diketahui,

T1 = 99,252 °C (dengan

tekanan jenuh air sebesar 98,90 kPa) T2 = 93,697 °C (dengan

tekanan jenuh air sebesar 80,84 kPa) P = 101,325 kPa

hg1 = 2674,4 kJ/kg

hf2 = 392,6 kJ/kg

hfg2 = 2272,9 kJ/kg

Cp,steam = 1,8723 kJ/kg.K

Tdp = Tsat@Pv

Pv = �Pg@97.091 °C

kg H2O/kg dry air

kg H2O/kg dry air

0,81 Sehingga,

Pv = 0,81 x 98,90 = 80,109 kPa Tdp = Tsat 80,109 kPa = 93,36 °C

d. Hasil perbandingan eksperimental dengan simulasi

Sebelumya pernah dilakukan percobaan eksperimental dengan kasus yang serupa dengan laju aliran massa uap air yang


(4)

dilakukan oleh Sukamta dkk (2011). Hasil dari percobaan eksperimental tersebut dijadikan pembanding dengan hasil simulasi menggunakan Ansys dengan laju aliran masa air pendingin. Dari hasil pembanding antara eksperimental dengan simulasi didapatkan hasil sebagai berikut:

a. Grafik hasil perbandingan percobaan eksperimental 11 dan 12 pada variasi ṁst,i = 8,9 x 10 ⁻ 4 kg/s dan ṁst,i = 1,1

x 10 ⁻ ² kg/s

Gambar 3.11 Grafik profil temperatur pada posisi atas di dalam pipa aksial

Gambar 3.12 Grafik profil temperatur pada posisi samping di dalam pipa aksial

Gambar 3.13 Grafik profil temperatur pada posisi bawah di dalam pipa aksial

Dari hasil perbandingan eksperimental dengan simulasi di dapat hasil seperti di atas pada variasi laju aliran massa uap air ṁst,i =

8,9 x 10 -3 kg/s dan ṁst,i = 1,1 x 10 -2 kg/s

pada posisi atas, bawah dan samping. Memiliki pola aliran yang serupa dengan hasil dari simulasi laju aliran massa air pendingin pada tiga variasi ṁco,i = 1,6 x 10 -3

kg/s, ṁco,i = 2,7 x 10 -3 kg/s dan ṁco,i = 1,9 x

10 -2 kg/s. Hasil simulasi yang berbeda ditunjukan oleh variasi laju aliran massa air pendingin ṁco,i = 6,9 x 10 -4 kg/s dan ṁco,i =

1,4 x 10-3 kg/s dengan penurunan temperatur yang sangat tajam pada titik 100 cm dan 150 cm.

b. Grafik hasil perbandingan percobaan eksperimental 6 dan 7 pada variasi ṁst,i = 6,9 x 10 ⁻⁴ kg/s dan ṁst,i = 1,4 x 10 ⁻ ³ kg/s


(5)

Gambar 3.14 Grafik profil temperatur pada posisi atas di dalam pipa aksial

Gambar 4.15 Grafik profil temperatur pada posisi samping di dalam pipa

Gambar 3.16 Grafik profil temperatur pada posisi samping di dalam pipa

Dari hasil perbandingan eksperimental dengan simulasi didapat hasil seperti di atas dengan variasi laju aliran massa uap air ṁst,i = 6,9 x 10 ⁻ ⁴ kg/s dan ṁst,i = 1,4 x 10 ⁻ ³ kg/s pada posisi atas, bawah dan samping memiliki pola aliran yang hampir sama. Bedanya temperatur pada hasil simulasi lebih kecil dari hasil eksperimetal pada variasi laju aliran massa uap air ṁst,i = 1,4 x 10 ⁻ ³ kg/s temperatur pada titik 150 cm suhu besarnya 50 oC pada posisi atas, bawah

dan samping dari sisi inlet. Sedangkan hasil dari simulasi pada variasi yang sama temperaturnya sebesar 40 oC. Pada variasi ṁco,i = 6,9 x 10 -4 kg/s di titik yang sama.

Hasil yang berbeda diperlihatkan oleh eksperimental pada variasi ṁst,i = 6,9 x 10 ⁻ ⁴ kg/s dengan hasil temperatur lebih besar dari hasil simulasi pada variasi yang sama. 4. Kesimpulan

Berdasarkan hasil simulasi dan pembahasan penelitian, didapatkan kesimpulan sebagai berikut :

1. Pola aliran temperatur pada lima variasi cenderung memiliki perbeadaan penurunan temperatur pada tiap variasi laju aliran massa uap air pendingin.


(6)

2. Fenomena kondensasi yang terjadi di dalam pipa konsentrik horisontal pada lima variasi berbeda. Variasi ṁco,i = 6,9 x

10 -4 kg/s,

co,i = 1,9 x 10 -2 kg/s terjadi

kondensasi mendekati titik 100 cm dari inlet. Sedangkan variasi ṁco,i = 1,4 x 10 -3

Kg/s terjadi kondensasi mendekati titik 75 cm. Hasil yang berbeda ditunjukkan pada variasi ṁco,i = 1,6 x 10 -3 kg/s dan

ṁco,i = 2,7 x 10 -3 kg/s yang mengalami

kondensasi mendekati titik outlet.

3. Fenomena kondensai mempengaruhi pola aliran pada pipa yang bisa menimbulkan ketidakstabilan pada aliran fluida yang dapat menyebabkan gelombang pada aliran fluida.

4. Dari hasil perbandingan simulasi dan eksperimental dapat disimpulkan hasil dari distribusi pola aliran pada percobaan simulasi lebih kecil dibandingkan hasil eksperimental. Perbedaan distribusi temperatur tersebut bisa di sebabkan faktor lingkungan yang bisa mempengaruhi hasil dari eksperimental. Refrensi

Akhtari, M., dkk,. 2013. Numerical and Experimental Investigation of Heat Transfer of α-Al2O3 / Water Nanofluid

in Double Pipe and Shell and Tube Heat Exchanger. Taylor & Francis Group, LLC.

Afolabi, Eyitayo. A. 2013. CFD Simulation of a Single Phase Flow in a Pipe Separator Using Reynolds Stress Method. ARPN Journal of Engineering and Applied Sciences Vol 8, No 7, July 2013.

Asinari Pietro, PhD. 2007. Multiphase Flow Basic Physics and Engineering Modeling.

Ansys Fluent User’s Guide. 2013. Ansys, Inc. USA.

Behera, Siddharta Shankar. 2013. CFD Analysis of Heat Transfer in a Helical Coil Heat Exchanger Using Fluent. Departement of Mechanical Engineering, National Institute of Technology Rourkela.

Ghisaasia, S.M. 2008. Two Phase Fplow, Boiling, and Condensation in Conventional and Miniatur System. Cambridge University Press Cambridge.

Munson, dkk. 2013. Fundamental of Fluid Mechanics. John wiley & Son, Inc. Rahul H, Kanade. 2015. Heat Transfer

Enhancement in a Double Pipe Heat Exchanger Using CFD. International Research Journal of Engineering and Technology (IRJET) Vol 02.

Song, Shengwei. 2014. Analysis of Y Type Branch Pipe Exhaust Ventilation Flow Characteristics. Applied Mechanics ang Materials Vols. 556-562, pp 1054-1058. Trans Tech Publications, Switzerland.

Sukamta, dkk. 2011. Temperature Profiles Based on Multilocation of Condensation of Steam Flow Cooled With Parallel Flowing Water in the Outside of a Horizontal Pipe.

Tuakia, Firman. 2008. Dasar-dasar CFD Menggunakan Fluent. Informatika. Bandung.

Versteeg H. K and Malalasekera. 1995. An Introduction to Computational Fluid Dynamics The Finite Volume Method.