101
BAB IV KELEMAHAN PENGATURAN DIVERSI DAN RESTORATIVE JUSTICE
UNDANG-UNDANG NO. 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK
Kegiatan perlindungan anak setidaknya memiliki dua aspek yang pertama, berkaitan dengan kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang mengatur
mengenai perlindungan hak-hak anak dan aspek kedua menyangkut menyangkut pelaksanaan kebijakan dan peraturan-peraturan tersebut.
100
A. Perbedaan antara Undang-Undang No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan Undang-Undang No. 3 tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak dalam menerapkan konsep diversi dan
restorative justice
Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 sebagai peraturan yang mengatur mengenai peradilan anak
menjadi jawaban atas kelemahan dari undang-undang yang mengatur mengenai peradilan anak sebelumnya yaitu undang-undang No. 3 Tahun 1997. Pengaturan
Undang-Undang ini juga masih memiliki celah yang menjadi kelemahan dalam memberikan perlindungan terhadap anak khususnya dalam hal ini dalam mengatur
diversi dan restorative justice.
Hadirnya peraturan perundang-undangan mengenai anak memberikan nafas baru terhadap perhatian bangsa kepada generasi penerus. Salah satunya
dengan lahirnya Undang-undang no. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak pada tanggal 3 Januari 1997 sebagai perangkat hukum yang lebih baik dan memadai
100
Nashriana, Op.Cit, hlm.3
Universitas Sumatera Utara
102
dalam melaksanakan pembinaan dan memberikan perlindungan terhadap anak. Seiring dengan perkembangan zaman yang semakin modern pengaturan tentang
perlindungan hukum yang diatur di dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak sudah tidak lagi sesuai dengan perkembangan dan
kebutuhan hukum masyarakat karena belum secara komprehensif memberikan perlindungan kepada anak yang berhadapan dengan hukum. Sistem peradilan
pidana yang di usung dalam undang-undang ini memulai penyelesaian perkara anak dari tingkat penyidikan hingga tahap selesai menjalani pidana. Perbedaan
antara kedua peraturan perundang-undangan ini terutama dalam menerapkan konsep diversi dan restorative justice perlu untuk diperhatikan. Ada pun hal
tersebut sebagai berikut :
1. Diversi
Diversi sebagai bentuk pengalihan penyelesaian perkara anak ke luar proses peradilan pidana dipertegas di dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2012
tentang Sistem peradilan Pidana Anak. Hal ini dapat di lihat di dalam Bab II mengenai diversi yang mewajibkan setiap tingkatan penyidikan, penuntutan dan
pemeriksaan di pengadilan melakukan upaya diversi. Hal ini mendorong terciptanya perdamaian antara korban dan pelaku, meningkatkan penyelesaian
perkara anak di luar pengadilan, menghindarkan stigma negatif terhadap anak, serta adanya partisipasi yng besar yang diperankan oleh masyarakat.
Undang-undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak sama sekali tidak memberikan pengertian mengenai diversi, namun pada tingkat penyidikan
Universitas Sumatera Utara
103
anak hanya tersirat upaya diversi yaitu terhadap anak yang belum berumur 8 delapan tahun telah melakukan atau diduga melakukan tindak pidana setelah
dilakukan pemeriksaan oleh Penyidik maka Penyidik dengan kewenangan yang dimilikinya dapat mengembalikan anak untuk dibina oleh orang tuawali, atau
orang tua asuhnya. Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, penyidik diberi kesempatan untuk melakukan kewajibannya dalam
mengupayakan proses diversi selama 30 tiga puluh hari setelah 7 tujuh hari anak telah penyidikan dimulai.
Pada tingkat penuntutan dan pemeriksaan di Pengadilan di dalam Undang- Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak sama sekali
tidak ada upaya diversi. Hal ini berarti tertutupnya gerbang penggunaan diskresi yang seharusnya dimiliki oleh para aparat penegak hukum untuk dapat
memberikan perlindungan kepada anak. Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem peradilan Pidana Anak mewajibkan pada tingkat penuntutan dan
pemeriksaan di Pengadilan melakukan upaya diversi masing-masing selama 30 tiga puluh hari.
Upaya diversi juga sangat berhubungan dengan batas umur si anak. Di dalam Undang-undang Pengadilan Anak ditentukan secara limitatif yakni minimal
8 delapan tahun sampai maksimal 18 delapan belas tahun, dan belum pernah kawin. Sedangkan di dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana anak batas
umur anak diberikan antara 12 dua belas tahun sampai dengan umur 18 delapan belas tahun. Salah satu faktornya adalah dengan batas umur 12 dua belas tahun
bagi anak untuk dapat diajukan ke disang anak didasarkan pada pertimbangan
Universitas Sumatera Utara
104
sosiologis, psikologis, dan pedagogis bahwa anak yang belum mencapai umtu 12 dua belas tahun belum dapat dipertanggungjawabkan perbuatannya. Umur anak
juga ikut berpengaruh untuk menentukan prioritas pemberian diversi dan semakin muda umur anak semakin tinggi prioritas diversi.
2. Pendekatan Keadilan Restoratif restorative justice
Pemulihan merupakan tujuan utama dari konsep ini yang sangat bertentangan dengan retributive justice yang selama ini dianut dalam pengenaan
pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana khususnya pidana anak. Konsep ini lahir di dalam Undang-undang No. 11 tahun 2012 untuk memberikan ruang
dalam menyelesaikan perkara anak dengan melibatkan seluruh pihak yang berkepentingan seperti keluarga dari pelaku dan korban, serta pihak lain yang
menekankan pemulihan kembali pada keadaaan semula. Sistem Peradilan Pidana Anak mewajibkan seluruh proses di dalam sistem tersebut yaitu dimulai dari
penyidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani masa pidana mengutamakan pendekatan keadilan restoratif.
Undang-undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak tidak menerapkan konsep restorative justice. Keterlibatan orang tuawali pelaku
maupun korban serta pihak lainnya seperti masyarakat sangat minim perannya untuk menyelesaikan perkara anak tersebut. Salah satu keikutsertaan orang
tuawali atau keluarga dari pelaku dan korban terlihat pada sidang perkara anak, namun pendekatan keadilan restoratif hanya merupakan bentuk pemenuhan hak
anak untuk tetap didampingi selama proses acara peradilan perkara anak. Terlihat
Universitas Sumatera Utara
105
bahwa sistem retributif masih sangat kental di dalam undang-undang ini yaitu untuk melakukan pembalasan terhadap kenakalan anak.
B. Kelemahan Pengaturan Diversi dan Restoratif Justice di dalam Undang- Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
Diversi seperti yang telah dinyatakan sebelumnya wajib dilakukan melalui pendekatan Keadilan Restoratif yang dimulai dari tingkat penyidikan, penuntutan
dan pemeriksaan di Pengadilan Negeri. Pada tiap tingkatan tersebut terdapat beberapa kelemahan dalam pengaturannya, antara lain adalah :
1. Kewajiban diversi
Polisi. Jaksa dan hakim dalam tiap tingkatannya diwajibkan untuk mengupayakan diversi dalam waktu paling lama 30 tiga puluh hari. Kewajiban
tersebut perlu untuk dipertegas dengan hadirnya sanksi pidana terhadap ketiga apart penegak hukum tersebut dinyatakan pada Pasal 96 berupa pidana penjara
paling lama 2 dua tahun atau denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 dua ratus juta rupiah.
Diversi seperti menjadi 2 dua sisi koin yang satu untuk menghindari timbulnya stigmatisasi dan pemenjaraan bagi anak, namun di sisi lainnya
merupakan kewajiban yang sengaja dilakukan untuk menghindari sanksi pidana yang akhirnya tidak berhasil mewujudkan kesadaran aparat penegak hukum
terhadap kepentingan terbaik bagi si anak. Pasal 18 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak menyatakan bahwa dalam menangani perkara anak maka
apara penegak hukum wajib mengusahakan suasana kekeluargaan agar tetap
Universitas Sumatera Utara
106
terpelihara. Hal ini tidak dapat dilakukan selama aparat penegak hukum melakukan kewajibannya hanya untuk menghindari sanksi pidana terhadap
mereka. 2.
Ketidakjelasan pengaturan tindak pidana di bawah 7 tujuh tahun Diversi berdasarkan Pasal 7 ayat 2 huruf a, hanya dapat dilaksanakan
terhadap tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara dibawah 7 tujuh tahun. Tindak pidana yang di bawah 7 tujuh tahun seharusnya dicantumkan oleh
legislator sehingga terdapat kejelasan dalam pengaturannya. Penjelasan Pasal 9 disebutkan bahwa tindak pidana yang di ancam dengan pidana penjara di atas 7
tujuh tahun digolongkan menjadi tindak pidana berat seperti pembunuhan berencana, terorisme, pemerkosaan, dll. Tindak pidana yang dilakukan oleh anak
sudah hampir sama dengan tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa sehingga perlu untuk membedakan secara tegas tindak pidana yang patut untuk di
diversi. Modus operandi yang semakin hari semakin meluas juga semakin
bervariatif sehingga menjadi tantangan bagi penegakan hukum terlebih lagi apabila kejahatan tersebut dilakukan oleh anak. Menurut Suhariyono salah satu
anggota RUU SPPA tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara di bawah 7 tujuh tahun jika tidak dicantumkan dengan jelas akan menjadi tantangan
tersendiri oleh aparat penegak hukum untuk melakukan penyelesaiannya.
101
3. Lemahnya Prinsip Kepentingan terbaik anak
101
http:www.hukumonline.comrevisi-uu-perlindungan-anak-kedepankan-diversi
Universitas Sumatera Utara
107
Kesepakatan diversi harus mendapatkan persetujuan korban danatau keluarga korban serta kesediaan anak danatau keluarganya, sehingga dalam hal
ini yang menjadi tolak ukurnya adalah adanya perdamaian antara korban dan anak bukan kepentingan terbaik untuk anak. ICJR memandang bahwa mestinya proses
diversi mengutamakan kepentingan terbaik bagi anak, bukan perdamaian antara korban dengan anak.
102
Perdamaian antara korban dan anak sangat berbeda jika memandang terhadap asas kepentingan terbaik bagi anak. Artinya, kesepakatan diversi tersebut
tidak akan pernah tercapai jika melihat persetujuan oleh korban danatau keluarganya, tanpa memandang kepentingan terbaik bagi anak. Menurut Hadi
Supeno, apabila kesepakatan diversi tidak tercapai maka akan besar terbuka peluang untuk terjadi pemenjaraan bagi anak.
Pasal 3 ayat 1 Konvensi Hak Anak menyatakan bahwa, “dalam semua tindakan yang menyangkut anak yng dilakukan lembaga-lembaga kesejahteraan
social pemerintah maupun swasta, lembaga peradilan, lembaga pemerintah atau badan legislative maka kepentingan yang terbaik bagi anak harus menjadi
pertimbangan yang utama.” Kepentingan terbaik anak merupakan salah satu asas dalam sistem peradilan pidana anak yang merupakan segala pengambilan
keputusan harus selalu mempertimbangkan kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak.
103
102
http:icjr.or.idselamat-datang-tindak-pidana-diversi yang diakses pada tanggal 14 Maret 2014 pkl 19.00 WIB
103
Hadi Supeno, Op.Cit., hlm. 210
Universitas Sumatera Utara
108
4. Terbukanya Peluang menggunakan Penyidik, Penuntut Umum dan Hakim
atas tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak memberikan syarat terhadap penyidik, penuntut umum, dan hakim yang menyelesaikan perkara anak yang meliputi :
1 Telah berpengalaman sebagai penyidikpenuntut umumhakim;
2 Mempunyai minat, perhatian, dedikasi dan memahami masalah anak;
3 Telah mengikuti pelatihan teknis tentang peradilan anak.
Syarat-syarat tersebut apabila tidak terpenuhi maka akan dilaksanakan oleh penyidik, penuntut umum, hakim yang melakukan tugas masing-masing
penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa. Syarat-syarat tersebut bukanlah syarat yang mudah untuk
mendapatkan aparat penegak hukum yang benar-benar memahami realitas anak, terlebih lagi tidak meratanya sumber daya manusia serta kemampuan tiap daerah
untuk melakukan pola pelatihan teknis tersebut. Selain diversi yang wajib menggunakan pendekatan keadilan restoratif,
tahap peradilan pidana lainnya juga menerapkan pendekatan ini yaitu dalam hal pembinaan, pengawasan, pendampingan selama proses pelaksanaan pidana atau
tindakan dan seteleha menjalani tindak pidana. Ada pun beberapa kelemahan pengaturan restorative justice yang dapat mempengaruhi proses peradilan pidana
anak, antara lain : 1.
Berlakunya masa penahanan terhadap anak
Universitas Sumatera Utara
109
Penahanan terhadap anak dihalalkan di dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, terhadap anak yang telah berumur 14 empat belas atau
lebih dan di duga melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara 7 tujuh tahun atau lebih. Penahanan yang dilakukan memang harus mendapatkan
ijin persetujuan dari orang tua, wali atau lembaga yang mengasuh anak tersebut, dan tidak menghilangkan barang bukti serta tidak akan mengulangi tindak pidana.
Jangka waktu penahanan terhadap anak dapat dilihat sebagai berikut : 1
Tahap penyidikan : 7 hari
2 Perpanjangan oleh PU
: 8 hari 3
Tahap penuntutan : 5 hari
4 Perpanjangan oleh Hakim
: 5 hari 5
Tahap pengadilan : 10 hari
6 Perpanjangan oleh Ketua PN : 15 hari
7 Tahap Banding
: 10 hari 8
Perpanjangan oleh Ketua PT : 15 hari 9
Tahap Kasasi : 15 hari
10 Perpanjangan oleh Ketua MA : 20 hari
Jumlah : 110 hari
Lamanya waktu untuk dilakukannya penahanan terhadap anak tidak dapat menciptakan suatu pemulihan terhadap anak, tetapi kembali memberikan
stigmatisasi terhadap anak. Penahanan terhadap anak memang dilakukan di dalam Lembaga Penempatan Anak Sementara LPAS atau di dalam Lembaga
Universitas Sumatera Utara
110
Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial LPKS, namun tempat tersebut tidak seutuhnya dapat memberikan kenyamanan dan keamanan terhadap diri anak.
2. Tidak ada Perbedaan secara jelas mengenai LPKA dan Lembaga
Pemasyarakatan Anak Pemenjaraan terhadap anak menjadi upaya terakhir dalam menangani
perkara anak. Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak memberikan istilah baru yaitu Lembaga Pembinaan Khusus Anak yang berbeda dengan Undang-
Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang memberikan istilah Lembaga Pemasyarakatan Anak. Apabila di dalam suatu daerah belum terdapat
LPKA maka anak tersebut dapat ditempatkan di Lembaga Pemaysarakatan yang penempatannya terpisah dari orang dewasa. Pengaturan LPKA di dalam Undang-
undang ini masih belum terlalu tegas dan jelas dan dapat dibedakan dengan Lemabga Pemasyarakatan Anak. Hal ini juga ikut mempengaruhi terciptanya
pemulihan bagi anak, karena tempatnya untuk menjalani pidana haruslah dapat membina dirinya dengan baik.
3. Masa Transisi Pembaharuan Lembaga-Lembaga Anak
Undang-Undang SPPA ini mensyaratkan adanya masa transisi selama 5 tahun dimana pemerintah dan Pengadilan diminta untuk menyesuaikan diri
dengan Undang-Undang terbaru ini dalam waktu 5 tahun. Masalahnya seperti yang biasa disaksikan adalah bagaimana jika masa transisi ini terlewati.
Contohnya, Jumlah Bapas untuk seluruh Indonesia hingga Desember 2011 adalah sejumlah 62 Bapas, sejak disahkannya UU No 3 Tahun 1997 maka kenaikan
Universitas Sumatera Utara
111
jumlah Bapas sangat tidak signifikan, apalagi Undang-Undang ini membebankan bahwa di tiap kotakabupaten harus dibangun Bapas dalam jangka waktu 5 tahun
yang artinya pada 2017 ratusan jumlah Bapas harus dibangun oleh pemerintah.
104
4. Petugas Kemasyarakatan
Lembaga-lembaga tersebut merupakan tugas utama oleh pemerintah karena lembaga tersebut sangat berpengaruh dalam memberikan perlindungan terhadap
anak dengan menciptakan suatu pemulihan yang signifikan.
Petugas Kemasyarakatan terdiri dari, Pembimbing Kemasyarakatan, Pekerja Sosial dan Tenaga Kesejahteraan Sosial yang juga ikut berperan dalam
menciptakan pemulihan terhadap anak. Keberadaannya sering sekali terbatas dikarenakan ketidakmerataan setiap daerah dalam sumber daya manusianya serta
jauhnya sumber infomasi untuk ketiga petugas tersebut melakukan pekerjaannya. Pengaturan mengenai petugas kemasyarakatan ini juga harus diseimbangkan
dengan anggaran yang mampu membantu mereka dalam mengerjakan tugas dan wewenang untuk membantu proses peradilan anak, dan hal tersebut harus ikut di
atur di dalam undang-undang ini.
104
http:anggara.org20120723beberapa-catatan-tentang-uu-sistem-peradilan-pidana- anak yang diakses pada tanggal 19 Maret 2014 pkl 20.30 WIB.
Universitas Sumatera Utara
112
BAB V PENUTUP