Tinjauan Hukum Terhadap Penyelesaian Kredit Macet Dengan Jaminan Fidusia (Studi Pada PT. Pegadaian (Persero) Kanwil I Medan)

(1)

DAFTAR PUSTAKA Buku

Abdulkadir, Muhammad , 2000. Lembaga Keuangan dan Pembiayaan, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Darus Badrulzaman, Mariam, 2001. Kompilasi Hukum Perikatan, Aditya Bakti, Bandung.

---, 2003. Bab-bab Tentang Creditverband, Gadai dan Fidusia, Alumni, Bandung.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta.

Djumhana, Muhammad, 1996. Hukum Perbankan di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Fuady, Munir, 2000. Hukum Perbankan Modern Berdasarkan Undang – Undang

Tahun 1998, Buku Kesatu, Citra Aditya Bakti, Bandung.

---, 2000. Jaminan Fidusia, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Harahap, M. Yahya, 1986. Segi-segi Hukum Perjanjian, Alumni, Jakarta.

---, 1991. Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata,

cet.3, Gramedia, Jakarta.

Hasan, Djuhaendah, 1996. Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lain yang Melekat Pada Tanah Dalam Konsepsi Penetapan Asas Pemisahan Horizontal, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Kamello, Tan, 2004. Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan yang didambakan, Alumni, Medan.

Mertokusumo, Soedikno, 1988. Mengenal Hukum (SuatuPengantar), Liberty, Yogyakarta.

Moleong, Lexy, 2002Metode Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung.

Patrik, Purwahid dan Kashadi, 2005. Hukum Jaminan Edisi Revisi dengan UUHT, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang.

Raharjo, Handri, 2010. Cara Pintar Memilih dan Mengajukan Kredit, Pustaka Yustisia, Yogyakarta.


(2)

Salim, HS, 2005. Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Satrio, J, 1991. Hukum Jaminan, Hak-hak Kebendaan, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Soedewi Masjchun Sofwan, Sri, 1977. Beberapa Masalah Pelaksanaan Lembaga Jaminan Khususnya Fidusia di Dalam Praktek dan Pelaksanaannya di Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Bulaksmur, Yogyakarta.

Subekti, R dan R. Tjitrosudibio, 1989. Hukum Acara Perdata, cet. 3, Binacipta, Bandung.

---, 2004. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, cet. 34, Pradnya

Paramita, Jakarta

Supramono, Gatot, 2009. Perbankan dan Masalah Kredit :Suatu Tinjauan, Djambatan, Jakarta.

Sutantio, Retnowulan dan Iskandar Oeripkartawinata, 1997. Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek, Mandar Maju, Bandung.

Suyanto, Thomas dkk, 1993. Dasar-dasar Perkreditan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

---, 2007. Dasar-dasar Perkreditan, edisi ke empat, cetakan ke sebelas, Gramedia Pustaka Umum, Jakarta.

Syahrani, Riduan, 2004. Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, Alumni, Bandung.

Usman, Rachmadi, 2001. Aspek-aspek Hukum Perbankan di Indonesia, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

---, 2008. Hukum Jaminan Keperdataan, Sinar Grafika.

Widjaja, Gunawan dan Ahmad Yani, 2003. Jaminan Fidusia, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Undang-Undang

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 1999 tanggal 30 September 1999 tentang Jaminan Fidusia.

Undang-undang Republik Indonesia nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan.


(3)

Surat Edaran Nomor 11/US.2.00/2005 Tentang Pedoman Operasional Kredit Angsuran Sistem Fidusia.

Surat Edaran Nomor 51/ UL.4.00.22 4/2008 Tentang Prosedur Pengikatan Jaminan Fidusia Pada Kredit Kreasi.

Peraturan Bank Indonesia No.7/ 2/ PBI/ 2005 tentang Kualitas Aktiva Bank Umum.

Internet


(4)

BAB III

JAMINAN FIDUSIA DAN EKSEKUSINYA

A. Tinjauan Umum tentang Jaminan Fidusia

1. Pengertian Fidusia dan Jaminan Fidusia

Fidusia berasal dari kata fiduciair atau fides, yang artinya kepercayaan, yakni penyerahan hak milik atas benda secara kepercayaan sebagai jaminan (agunan) bagi pelunasan piutang kreditur. Pemberi fidusia percaya bahwa penerima fidusia mau mengembalikan hak milik barang yang telah diserahkan setelah dilunasi utangnya, sebaliknya penerima fidusia percaya bahwa pemberi fidusia tidak akan menyalahgunakan barang jaminan yang berada dalam kekuasaannya. Penyerahan hak milik atas benda ini dimaksudkan hanya sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yaitu memberikan kedudukan yang

diutamakan kepada penerima fidusia (kreditur) terhadap kreditur lainnya.31

Pranata jaminan fidusia sudah dikenal dan diberlakukan dalam masyarakat hukum Romawi. Ada dua bentuk jaminan fidusia, yaitu Fiducia cum creditoire

dan fiducia cum amico.32Keduanya timbul dari perjanjian yang disebut pactum

fiduciae yang kemudian diikuti dengan penyerahan hak atau in iure cessio. Pada bentuk yang pertama atau lengkapnya Fiducia cum creditoirecontracta yang berarti janji kepercayaan yang dibuat dengan kreditur, dikatakan bahwa debitur akan mengalihkan kepemilikan atas suatu benda kepada kreditur sebagai jaminan

31Rachmadi Usman, Hukum Jaminan Keperdataan, Sinar Grafika, Jakarta: 2008, hlm. 151. 32Gunawan Widjaya dan Ahmad Yani, Op. Cit, hlm. 113.


(5)

atas utangnya dengan kesepakatan bahwa kreditur akan mengalihkan kembali

kepemilikan tersebut kepada debitur apabila utangnya sudah dibayar lunas.33

Apabila dihubungkan dengan sifat yang ada pada setiap pemegang hak, maka dikatakan bahwa debitur mempercayakan kewenangan atas suatu barang kepada kreditur untuk kepentingan kreditur sendiri (sebagai jaminan pemenuhan perikatan oleh kreditur).

Fidusia lazim disebut dengan istilah Fiduciare Eigendom Overdract (FEO) dalam berbagai literatur yaitu penyerahan hak milik berdasarkan atas kepercayaan. Pasal 1 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia yang selanjutnya disingkat UUJF dijumpai pengertian sebagai berikut:

“Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tetap dalam penguasaan pemilik benda.”

“Jaminan fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang

berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap Kreditur lainnya.”

Berdasarkan rumusan di atas, dapat diketahui unsur-unsur fidusia itu, yaitu:

a. Pengalihan hak kepemilikan suatu benda;

b. Dilakukan atas dasar kepercayaan;

c. Kebendaannya tetap dalam penguasaan pemilik benda.

Dengan demikian diartikan bahwa dalam fidusia telah terjadi penyerahan dan pemindahan dalam kepemilikan atas suatu benda yang dilakukan atas dasar fiduciair dengan syarat bahwa benda yang hak kepemilikannya tersebut

33


(6)

diserahkan dan dipindahkan kepada penerima fidusia tetap dalam penguasaan pemilik benda (pemberi fidusia). Dalam hal ini yang diserahkan dan dipindahkan itu dari pemiliknya kepada kreditur (penerima fidusia) adalah hak kepemilikan atas suatu benda yang dijadikan sebagai jaminan, sehingga hak kepemilikan secara yuridis atas benda yang dijaminkan beralih kepada kreditur (penerima gadai). Sementara itu hak kepemilikannya secara ekonomis atas benda yang

dijaminkan tersebut tetap berada di tangan atau dalam penguasaan pemiliknya.34

A. Hamzah Senjum Manulang mengartikan fidusia sebagai suatu cara pengoperan hak milik dari pemiliknya (debitur) berdasarkan adanya perjanjian pokok (perjanjian utang piutang) kepada kreditur, akan tetapi yang diserahkan hanya haknya saja secara yuridise-levering dan hanya dimiliki oleh debitur, juga bukan lagi sebagai eigenaar maupun bezitter, melainkan hanya sebagai debitur

atau hounder dan atas nama kreditur – eigenaar.35

Berdasarkan definisi jaminan fidusia pada Pasal 1 angka 2 UUJF

terkandung unsur – unsur jaminan fidusia sebagai berikut :

a. Adanya hak jaminan ;

b. Adanya objek, yaitu benda yang bergerak baik yang berwujud maupun

yang tidak berwujud dan benda bergerak, khususnya bangunan yang tidak dibebani dengan hak tanggungan ini berkaitan dengan pembebanan jaminan rumah susun;

c. Benda menjadi objek jaminan tetap berada dalam penguasaan pemberi

fidusia; dan

d. memberikan kedudukan yang utama kepada kreditur.

34Ibid, hlm. 152.


(7)

Definisi yang diberikan UUJF juga dapat dikatakan bahwa dalam jaminan fidusia terjadi pengalihan hak kepemilikan. Pengalihan itu terjadi atas dasar kepercayaan dengan janji benda yang hak kepemilikannya dialihkan tetap dalam penguasaan pemilik benda.36

2. Asas-asas Jaminan Fidusia

Salah satu unsur yuridis dalam sistem hukum jaminan adalah asas hukum. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya asas hukum dalam suatu undang-undang. Secara umum ada beberapa asas yang berlaku bagi Hak Jaminan, baik Gadai, Fidusia, Hak Tanggungan, dan Hipotik. Menurut Sutan Remy Sjahdeni, asas-asas

tersebut adalah.37

a. Hak jaminan memberikan kedudukan yang didahulukan bagi kreditur

pemegang hak jaminan terhadap para kreditur lainnya

b. Hak jaminan merupakan hak accessoir terhadap perjanjian pokok yang

dijamin tersebut. Perjanjian pokok yang dijamin tersebut ialah perjanjian utang piutang antara kreditur dan debitur. Artinya apabila perjanjian pokoknya berakhir, maka perjanjian hak jaminan demi hukum berakhir pula.

c. Hak jaminan memberikan hak separatis bagi kreditur pemegang hak

jaminan itu bukan merupakan harta pailit dalam hal debitur dinyatakan pailit oleh pengadilan.

d. Hak jaminan merupakan hak kebendaan. Artinya, hak jaminan itu akan

selalu melekat di atas benda tersebut (atau selalu mengikuti benda tersebut) kepada siapapun juga benda beralih kepemilikannya. Sifat kebendaan dari hak jaminan diatur dalam Pasal 528 Kitab Undang-undang Hukum Perdata

e. Kreditur pemegang hak jaminan mempunyai kewenangan penuh untuk

melakukan eksekusi atas hak jaminannya. Artinya, kreditur pemegang hak jaminan itu berwenang untuk menjual sendiri, baik berdasarkan penetapan pengadilan maupun berdasarkan kekuasaan yang diberikan undang-undang, benda yang dibebani dengan hak jaminan tersebut untuk melunasi piutangnya kepada debitur.

f. Karena hak jaminan merupakan hak kebendaan, maka hak jaminan berlaku

bagi pihak ketiga. Oleh karena hak jaminan berlaku asas publisitas. Artinya hak jaminan tersebut harus didaftarkan di kantor pendaftaran hak

36

Gunawan Widjaya, Jaminan Fidusia, Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2003, hlm. 136.

37Riduan Syahrani, Op.Cit, dikutip dari Sutan Remy Sjahdeni, Hak Jaminan Dan Kepailitan,

Makalah yang disampaikan dalam sosialisasi Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999, Jakarta: 9-10 Mei 2000, hlm. 7.


(8)

jaminan yang bersangkutan. Asas publisitas tersebut dikecualikan bagi hak jaminan gadai.

Asas-asas hukum jaminan fidusia yang terdapat dalam UUJF adalah:

a. Asas preferensi, yaitu bahwa kreditur penerima fidusia berkedudukan

sebagai kreditur yang diutamakan dari kreditur-kreditur lainnya. Asas ini dapat ditemukan dalam Pasal 1 Angka 2 UUJF. Lebih lanjut UUJF tidak memberikan pengertian tentang apa yang dimaksud dengan kreditur yang diutamakan dari kreditur kreditur lainnya. Namun, di bagian lain yakni Pasal 27 UUJF dijelaskan pengertian tentang hak yang didahulukan terhadap kreditur-kreditur lainnya. Hak yang didahulukan adalah hak penerima fidusia untuk mengambil pelunasan piuatangnya atas hasil eksekusi benda yang menjadi objek fidusia.

b. Asas bahwa jaminan fidusia tetap mengikuti benda yang menjadi objek

jaminan fidusia dalam tangan siapapun benda tersebut berada. Pengakuan asas ini dalam UUJF menunjukkan bahwa jaminan fidusia merupakan hak kebendaan (zakelijkrecht) dan bukan hak perorangan (persoonlijkrecht). Dengan demikian, hak jaminan fidusia dapat dipertahankan terhadap siapapun juga dan berhak untuk menuntut siapa saja yang mengganggu hak tersebut. Pengakuan asas bahwa hak jaminan fidusia mengikuti bendanya dalam tangan siapapun benda itu berada memberikan kepastian hukum bagi kreditur pemegang jaminan fidusia untuk memperoleh pelunasan utang dari hasil penjualan objek jaminan fidusia apabila debitur pemberi jaminan fidusia wanprestasi. Kepastian hukum atas hak tersebut bukan saja benda jaminan masih berada pada debitur pemberi jaminan


(9)

fidusia bahkan ketika benda jaminan fidusia itu telah berada pada pihak ketiga.

c. Asas bahwa jaminan fidusia merupakan perjanjian ikutan yang lazim

disebut asas asesoritas. Asas ini mengandung arti bahwa keberadaan jaminan fidusia ditentukan oleh perjanjian lain yakni perjanjian utama atau perjanjian principal. Perjanjian utama bagi jaminan fidusia adalah perjanjian utang piutang yang melahirkan utang yang dijamin dengan jaminan fidusia. Dalam UUJF Pasal 4, asas tersebut secara tegas dinyatakan bahwa jaminan fidusia merupakan perjanjian ikutan dari suatu perjanjian pokok. Pencantuman asas assesoritas adalah untuk menegaskan atau menghilangkan adanya keragu-raguan mengenai karakter jaminan fidusia apakah bersifat assessor atau merupakan perjanjian yang berdiri sendiri (zelfstandig). Asas assesoritas membawa konsekuensi hukum terhadap pengalihan hak atas piutang dari kreditur pemegang jaminan fidusia baru. Hal ini berarti terjadi pemindahan hak dan kewajiban dari kreditur pemegang jaminan fidusia lama kepada kreditur pemegang jaminan fidusia baru. Pihak yang menerima peralihan hak jaminan fidusia mendaftarkan perbuatan hukum (cessie) tersebut ke Kantor Pendaftaran

Fidusia.38

d. Asas bahwa jaminan fidusia dapat diletakkan atas utang yang baru akan

ada (kontinjen). Pasal 7 UUJF ditentukan bahwa objek jaminan fidusia dapat dibebankan kepada utang yang telah ada dan yang akan ada. Jaminan atas utang yang akan ada mengandung arti bahwa pada saat


(10)

dibuatnya akta jaminan fidusia, utang tersebut belum ada tetapi sudah

diperjanjikan sebelumnya dalam jumlah tertentu.39

e. Asas bahwa jaminan fidusia dapat dibebankan terhadap benda yang akan

ada. Pengaturan asas ini harus dilihat dalam kaitannya dengan sumber hukum jaminan yang diatur dalam Pasal 1131 KUH Perdata. Salah satu prinsip yang terkandung dalam pasal ini adalah bahwa benda yang akan ada milik debitur dapat dijadikan jaminan utang. Pengaturan asas ini adalah untuk mengantisipasi perkembangan dunia bisnis dan sekaligus dapat menjamin kelenturan objek jaminan fidusia yang terpaku pada benda yang sudah ada. Perwujudan asas tersebut merupakan penuangan cita-cita masyarakat dalam bidang hukum jaminan.

f. Asas bahwa jaminan fidusia dapat dibebankan terhadap bangunan/rumah

yang terdapat di atas tanah milik orang lain. Dalam ilmu hukum asas ini

disebut dengan asas pemisahan horizontal.40

g. Asas bahwa jaminan fidusia berisikan uraian secara detail terhadap subjek

dan objek jaminan fidusia. Subjek jaminan fidusia yang dimaksud adalah identitas para pihak yakni pemberi dan penerima jaminan fidusia, sedangkan objek jaminan yang dimaksudkan adalah data perjanjian pokok yang dijaminan fidusia, uraian mengenai jaminan fidusia, nilai penjaminan dan nilai benda yang menjadi objek jaminan. Dalam ilmu hukum asas ini

disebut asas spesialitas atau pertelaan.41

39

Tan Kamello, Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan yang didambakan, Alumni, Medan: 2004, hlm. 165.

40Penjelasan Pasal 3 huruf a Undang-Undang Jaminan Fidusia


(11)

h. Asas bahwa pemberi fidusia harus orang yang memiliki kewenangan hukum atas objek jaminan fidusia. Asas ini sekaligus menegaskan bahwa pemberi jaminan fidusia bukanlah orang yang berwenang berbuat.

i. Asas bahwa jaminan fidusia harus didaftarkan ke Kantor Pendaftaran

Fidusia. Dalam ilmu hukum asas ini disebut asas publikasi.42 Dengan

dilakukannya pendaftaran akta jaminan fidusia, berarti perjanjian fidusia lahir dan momentum tersebut menunjukkan perjanjian jaminan fidusia adalah perjanjian kebendaan. Asas publikasi juga melahirkan adanya kepastian hukum dari jaminan fidusia.

j. Asas bahwa benda yang dijadikan objek jaminan fidusia tidak dapat

dimiliki oleh kreditur penerima jaminan fidusia sekalipun hal itu

diperjanjikan.43

k. Asas bahwa jaminan fidusia memberikan hak prioritas kepada kreditur

penerima fidusia yang terlebih dahulu mendaftarkan ke Kantor

Pendaftaran Fidusia daripada kreditur yang mendaftarkan kemudian.44

l. Asas bahwa pemberi jaminan fidusia yang tetap menguasai benda jaminan

harus mempunyai itikad baik. Asas itikad baik di sini memiliki arti subjektif sebagai kejujuran bukan arti objektif sebagai kepatutan seperti

dalam hukum perjanjian.45 Dengan asas ini diharapkan bahwa pemberi

jaminan fidusia wajib memelihara benda jaminan, tidak mengalihkan, menyewakan, dan menggadaikannya kepada pihak lain.

42Pasal 12 Undang-Undang Jaminan Fidusia

43Pasal 1 Ayat (3) dan Pasal 33 Undang-undang Jaminan Fidusia. 44Pasal 28 Undang-Undang Jaminan Fidusia.


(12)

m. Asas bahwa jaminan fidusia mudah di eksekusi. 46 Kemudahan

pelaksanaan eksekusi dilakukan dengan mencantumkan irah-irah “ Demi

Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” pada sertifikat jaminan fidusia dengan titel eksekutorial ini menimbulkan konsekuensi yuridis bahwa jaminan fidusia mempunyai kekuatan yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Dalam hal penjualan benda jaminan fidusia selain melalui titel eksekutorial, dapat

juga dilakukan dengan cara melelang secara umum dan di bawah tangan.47

3. Subjek dan Objek Jaminan Fidusia

Asas ketujuh jaminan fidusia dalam pembahasan sebelumnya disebutkan bahwa yang menjadi subjek jaminan fidusia yakni pemberi dan penerima fidusia. Pemberi fidusia adalah orang perseorangan atau korporasi pemilik benda yang menjadi objek jaminan fidusia, sedangkan penerima fidusia adalah orang perseorangan atau korporasi yang mempunyai piutang yang pembayarannya dijamin dengan jaminan fidusia. Pemberi fidusia dapat dilakukan oleh debitur sendiri dan dapat juga dilakukan oleh pihak ketiga. Oleh karena pendaftaran jaminan fidusia dilaksanakan di tempat kedudukan pemberi fidusia dan notaris yang membuat akta jaminan fidusia harus notaris Indonesia, maka pemberi fidusia tidak dapat dilakukan oleh warga negara asing atau badan hukum asing kecuali

penerima fidusia, karena hanya berkedudukan sebagai kreditur penerima fidusia.48

Barang yang dapat menjadi objek fidusia pada prinsipnya adalah barang bergerak. Hal ini disebabkan karena latar belakang fidusia sebagai jaminan utang

46

Pasal 15 Undang-Undang Jaminan Fidusia.

47Pasal 29 Undang-Undang Jaminan Fidusia.

48Purwahid Patrik dan Kashadi, Hukum Jaminan Edisi Revisi dengan UUHT, Fakultas Hukum


(13)

berawal dari masalah yang dihadapi oleh jaminan gadai yang prosedurnya wajib menyerahkan barang kepada kreditur untuk dikuasainya. Sebelum berlakunya UUJF, objek jaminan fidusia adalah benda-benda bergerak, baik yang sudah ada maupun yang akan ada, misalnya: perkakas rumah tangga (radio, almari es, mesin jahit) kendaraan bermotor (sepeda motor, mobil, truk), alat-alat pertanian, alat-alat inventaris perusahaan, timbunan tembakau dalam gudang, barang-barang persediaan dalam perusahaan, barang-barang persediaan pada pengecer, semuanya

itu dapat dipakai sebagai jaminan fidusia.49

Sejalan perkembangan jaman, ternyata bukan hanya barang bergerak saja yang dapat difidusiakan, akan tetapi barang tidak bergerak juga dapat dijaminkan

dengan jaminan tersebut walaupun sifatnya terbatas.50

Setelah berlakunya UUJF , yang dimaksud dengan benda (yang dapat dibebani jaminan fidusia) yaitu segala sesuatu yang dapat dimiliki dan dialihkan, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud, yang terdaftar maupun yang tidak terdaftar, yang bergerak maupun yang tidak bergerak, yang tidak dapat

dibebani Hak Tanggungan atau Hipotik.51

Mengenai barang bergerak yang dapat menjadi objek fidusia adalah sama dengan objek gadai. Seperti telah diketahui bahwa barang bergerak meliputi barang bergerak yang bertubuh dan barang bergerak yang tidak bertubuh. Barang bergerak yang bertubuh adalah barang yang dapat dilihat secara kasat mata dan dapat dipegang atau diraba. Barang bergerak tidak bertubuh meskipun barangnya

49Sri Soedewi Masjchun Sofwan, Beberapa Masalah Pelaksanaan Lembaga Jaminan

Khususnya Fidusia di Dalam Praktek dan Pelaksanaannya di Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada Bulaksmur, Yogyakarta: 1977, hlm. 31.

50Gatot Supramono, Op. Cit, hlm.235.


(14)

tidak kelihatan, tetapi dapat dirasakan manfaatnya antara lain seperti hak tagih,

hak cipta, hak merk dan sebagainya.52

Objek fidusia berupa barang tidak bergerak, ruang lingkupnya terbatas pada barang berupa bangunan yang tidak dapat dibebani dengan hak tanggungan. Bangunan dikatakan sebagai barang tidak bergerak karena pada umumnya bangunan sengaja dibuat untuk menyatu dengan tanah dan tidak mungkin dapat dipindah-pindahkan dari tempatnya. Mengenai objek tanggungan dalam UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah, telah ditentukan bahwa objek hak tanggungan adalah tanah yang berstatus hak milik, hak guna usaha, serta hak guna bangunan dan

bangunan yang ada diatasnya merupakan suatu kesatuan dengan tanahnya.53

Pasal 2 UUJF diberikan batas ruang lingkup berlakunya fidusia yaitu berlaku terhadap setiap perjanjian yang bertujuan untuk membebani benda dengan jaminan fidusia. Dipertegas dalam Pasal 3 UUJF dinyatakan bahwa Undang-undang jaminan fidusia ini tidak berlaku terhadap:

a. Hak tanggungan yang berkaitan dengan tanah dan bangunan, sepanjang

peraturan perundangan yang berlaku menentukan jaminan atas benda-benda tersebut wajib didaftarkan. Bangunan di atas milik orang lain yang tidak dapat dibebani hak tanggungan berdasarkan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 dapat dijadikan objek jaminan fidusia.

b. Gadai. Pihak pemberi fidusia sebagai pemilik benda adalah pemilik benda

yang dibebani jaminan fidusia sehingga berwenang mengalihkan hak kepemilikan benda tersebut, akan tetapi apabila benda yang menjadi objek

52Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang Jaminan Fidusia.


(15)

jaminan fidusia itu benda bergerak yang tidak terdaftar menurut undang-undang seperti barang perhiasan sangat sulit bagi penerima fidusia untuk menyelidiki apakah pemberi fidusia benar-benar sebagai pemilik atas benda itu, karena Pasal 1977 Kitab Undang-undang Hukum Perdata ditentukan barangsiapa yang menguasai suatu kebendaan, ia dianggap

sebagai pemilik.54

4. Proses terjadinya Jaminan Fidusia

Perjanjian jaminan fidusia berdasarkan UUJF dilaksanakan melalui 2 (dua) tahap, yaitu tahap pembebanan dan tahap pendaftaran jaminan fidusia. Tahap pembebanan kebendaan dengan jaminan fidusia dibuat dengan akta Notaris dalam bahasa Indonesia yang merupakan akta jaminan fidusia (Pasal 5 ayat (1) UUJF). Dalam akta jaminan fidusia tersebut selain dicantumkan hari dan tanggal, juga dicantumkan mengenai waktu pembuatan akta tersebut.

Pasal 6 UUJF disebutkan bahwa akta jaminan fidusia sekurang-kurangnya memuat:

a. Identitas pihak pemberi dan penerima fidusia. Identitas tersebut meliputi

nama lengkap, agama tempat tanggal lahir, jenis kelamin, status perkawinan dan pekerjaan.

b. Data perjanjian pokok yang dijamin fidusia yaitu mengenai macam

perjanjian dan utang yang dijamin dengan fidusia

c. Uraian mengenai benda yang menjadi objek jaminan fidusia.

Uraian mengenai benda yang menjadi objek jaminan fidusia cukup dilakukan dengan mengidentifikasi benda tersebut, dan dijelaskan


(16)

mengenai surat bukti kepemilikannya. Dalam hal benda yang menjadi objek fidusia merupakan benda persediaan (inventory) yang selalu berubah-ubah dan atau tidak tetap, seperti stok bahan baku, barang jadi, atau portofolio perusahaan efek, maka dalam akta jaminan fidusia dicantumkan uraian mengenai jenis, merk, kualitas dari benda tersebut.

d. Nilai penjaminan; dan

e. Nilai benda yang menjadi objek jaminan fidusia.

Sejalan dengan ketentuan yang mengatur mengenai hipotek dan Undang-undang Hak Tanggungan, maka akta jaminan fidusia juga harus dibuat oleh dan atau di hadapan pejabat yang berwenang. Pasal 1870 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata disebutkan bahwa akta notaris merupakan akta otentik yang mempunyai kekuatan pembuktian sempurna tentang apa yang dimuat di dalamnya di antara para pihak beserta para ahli warisnya atau para pengganti haknya. Itu sebabnya mengapa undang-undang jaminan fidusia menetapkan perjanjian fidusia harus dibuat dengan akta notaris. Mengingat objek jaminan fidusia pada umumnya adalah benda bergerak yang tidak terdaftar, sudah sewajarnya bentuk akta otentiklah yang dianggap paling dapat menjamin kepastian hukum berkenaan dengan objek jaminan fidusia.

Ketentuan Pasal 9 UUJF ditetapkan bahwa jaminan fidusia dapat diberikan terhadap satu atau lebih satuan atau jenis benda, termasuk piutang, baik yang telah ada pada saat jaminan diberikan maupun yang diperoleh kemudian. Berdasarkan hukum, benda ini dibebani dengan jaminan fidusia. Benda dimaksud menjadi milik pemberi fidusia.


(17)

Pembebanan jaminan fidusia tersebut tidak perlu dilakukan dengan perjanjian jaminan tersendiri. Hal ini karena atas benda tersebut sudah dilakukan

pengalihan hak kepemilikan”sekarang untuk nantinya” (nu voor alsdan).

Ketentuan yang menetapkan bahwa benda yang diperoleh kemudian hari dapat dibebani dengan jaminan fidusia ini penting dipandang dari segi komersil. Hal ini menunjukkan undang-undang ini menjamin fleksibilitas yang berkenaan dengan hal ikhwal benda yang dapat dapat dibebani jaminan fidusia bagi pelunasan utang.

Khusus mengenai hasil atau ikutan dari kebendaan yang menjadi objek

jaminan fidusia, Pasal 10 UUJF dinyatakan bahwa kecuali diperjanjikan lain:55

a. Jaminan fidusia meliputi hasil dari benda yang menjadi objek jaminan

fidusia, yaitu segala sesuatu yang diperoleh dari benda yang dibebani jaminan fidusia.

b. Jaminan fidusia meliputi klaim asuransi, dalam hal benda yang menjadi

objek fidusia diasuransikan. Dengan demikian apabila benda tersebut diasuransikan, maka klaim asuransi tersebut merupakan hak penerima fidusia. Bahkan menurut Pasal 25 ayat (2) UUJF menetapkan bahwa musnahnya benda yang menjadi objek jaminan fidusia tidak menghapuskan klaim asuransi tersebut. Klaim asuransi tersebut akan menjadi pengganti objek jaminan fidusia tersebut.

Tahap pendaftaran jaminan fidusia terdapat dalam Pasal 11 UUJF yang mewajibkan benda yang dibebani dengan jaminan fidusia harus didaftarkan pada Kantor Pendaftaran Fidusia yang terletak di Indonesia. Kewajiban bahkan tetap berlaku meskipun kebendaan yang dibebani dengan jaminan fidusia berada di luar wilayah Indonesia.

Pendaftaran benda yang dibebani dengan jaminan fidusia dilaksanakan di tempat kedudukan pemberi fidusia, dan pendaftarannya mencakup benda, baik yang berada di dalam maupun berada di luar wilayah negara Republik Indonesia


(18)

untuk memenuhi asas publisitas, sekaligus merupakan jaminan kepastian terhadap kreditur lainnya mengenai benda yang telah dibebani jaminan fidusia. Segala keterangan mengenai benda yang menjadi objek jaminan fidusia yang ada pada

Kantor Pendaftaran Fidusia terbuka untuk umum.56

Permohonan pendaftaran jaminan fidusia dilakukan oleh penerima fidusia, kuasa atau wakilnya dengan melampirkan pernyataan pendaftaran jaminan fidusia,

yang memuat:57

a. Identitas pihak pemberi fidusia dan penerima fidusia;

b. Tanggal, nomor akta jaminan fidusia, nama dan tempat kedudukan notaris

yang membuat akta jaminan fidusia;

c. Data perjanjian pokok yang dijamin fidusia;

d. Uraian mengenai benda yang menjadi objek jaminan fidusia ;

e. Nilai penjaminan fidusia; dan

f. Nilai benda yang menjadi objek jaminan fidusia.

Selanjutnya Kantor Pendaftaran Fidusia mencatat jaminan fidusia dalam buku daftar fidusia pada tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan pernohonan pendaftaran. Ketentuan ini dimaksudkan agar Kantor Pendaftaran Fidusia tidak melakukan penilaian terhadap kebenaran yang dicantumkan dalam pernyataan pendaftaran jaminan fidusia, akan tetapi hanya melakukan pengecekan data yang dimuat dalam pernyataan pedaftaran fidusia. Tanggal pencatatan jaminan fidusia dalam buku daftar fidusia ini dianggap saat lahirnya jaminan fidusia.

Dengan demikian, pendaftaran jaminan fidusia dalam buku daftar fidusia merupakan perbuatan konstitutif yang melahirkan jaminan fidusia. Penjelasan lebih lanjut dapat kita lihat dalam ketentuan Pasal 28 UUJF yang menyatakan atas benda yang sama menjadi objek jaminan fidusia lebih dari 1 (satu) perjanjian

56Pasal 18 Undang-Undang Jaminan Fidusia. 57Pasal 13 ayat 2 Undang-Undang Jaminan Fidusia.


(19)

jaminan fidusia, maka kreditur yang terlebih dahulu mendaftarkannya adalah penerima fidusia. Hal ini penting diperhatikan oleh kreditur yang menjadi pihak dalam perjanjian jaminan fidusia, karena hanya penerima fidusia, kuasa atau wakilnya yang boleh melakukan pendaftaran jaminan fidusia.

Sebagai bukti bagi kreditur bahwa ia merupakan pemegang jaminan fidusia adalah sertifikat jaminan fidusia yang diterbitkan Kantor Pendaftaran Fidusia pada tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan permohonan pendaftaran jaminan fidusia. Penyerahan sertifikat ini kepada penerima fidusia juga dilakukan pada tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan permohonan pendaftaran. Sertifikat Jaminan Fidusia ini sebenarnya merupakan salinan dari Buku Daftar Fidusia yang memuat mengenai hal-hal yang sama dengan data dan keterangan yang ada pada saat pernyataan pendaftaran.

5. Hapusnya Jaminan Fidusia

Sesuai dengan Pasal 4 UUJF, jaminan fidusia ini merupakan perjanjian assesoir dari perjanjian dasar yang menerbitkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi suatu prestasi. Sebagai suatu perjanjian assesoir, jaminan fidusia ini, demi hukum hapus apabila utang pada perjanjian pokok, yang menjadi sumber lahirnya perjanjian penjaminan fidusia atau utang yang dijamin dengan jaminan fidusia hapus. Di samping itu Pasal 25 UUJF menyatakan secara tegas bahwa jaminan fidusia hapus karena hapusnya hutang yang dijamin dengan fidusia, pelepasan hak atas jaminan fidusia oleh penerima fidusia, atau musnahnya benda yang menjadi objek jaminan fidusia.


(20)

Alasan tersebut akan dibahas satu per satu sebagaimana di bawah ini:

a. Hapusnya hutang yang dijamin dengan fidusia.

Dasar membuat jaminan fidusia adalah perjanjian utang piutang sebagai perjanjian pokoknya. Kedudukan jaminan fidusia merupakan perjanjian accesoir, yaitu perjanjian yang selalu mengikuti perjanjian pokoknya. Apabila utang debitur sudah dibayar lunas maka berakibat perjanjian pokoknya berakhir. Berakhirnya perjanjian pokok tersebut secara otomatis akan mengakhiri jaminan fidusia yang mengikutinya karena jaminan fidusia tersebut bukan merupakan perjanjian yang berdiri sendiri.

b. Pelepasan hak atas jaminan fidusia oleh penerima fidusia.

Hapusnya jaminan fidusia salah satunya adalah kreditur melepaskan haknya selaku penerima fidusia karena suatu alasan. Pelepasan hak tersebut sangat tergantung kepada penerima fidusia karena dipengaruhi alasan yang sifatnya subjektif, misalnya seorang debitur menjaminkan mobilnya dengan jaminan fidusia. Suatu saat debitur membeli mobil baru dengan tujuan hendak mengganti mobil lama tersebut. Karena utangnya belum lunas maka debitur tidak dapat menjual mobil lama yang difidusiakan. Untuk itu debitur harus menjaminkan mobil barunya dengan tujuan untuk mengganti jaminan fidusia yang lama. Dengan adanya penggantian jaminan fidusia tersebut kreditur melepaskan haknya terhadap fidusia mobil yang lama.

Dengan melepas haknya sebagai penerima fidusia, berarti kreditur sudah tidak menghendaki lagi utang debitur dijamin dengan fidusia. Dengan hilangnya atas hak jaminan fidusia, berakibat menjadi berakhir jaminan


(21)

tersebut. Pelepasan hak harus dibuat dengan surat pernyataan oleh kreditur karena akan diberitahukan kepada pihak yang berkepentingan, antara lain kantor pendaftaran fidusia.

c. Musnahnya benda yang menjadi objek jaminan fidusia.

Musnahnya suatu barang dapat terjadi karena bermacam-macam alasan seperti kebakaran, banjir, pencurian, kecelakaan dan sebagainya. Musnahnya barang jaminan berakibat jaminan fidusia menjadi hapus karena pihak kreditur tidak mungkin dapat mengeksekusi barang jaminan untuk pelunasan utang debitur. Maka apapun alasan musnahnya barang tetap mengakibatkan hapusnya jaminan fidusia.

Musnahnya benda yang menjadi objek jaminan fidusia tidak menghapuskan klaim asuransi. Jadi jika benda yang dijadikan objek jaminan fidusia musnah dan benda tersebut diasuransikan maka klaim asuransi menjadi pengganti objek jaminan fidusia tersebut.

Hapusnya jaminan fidusia perlu diikuti dengan roya atau pencoretan terhadap catatan fidusia dalam buku daftar fidusia yang ada di kantor pendaftaran fidusia supaya sinkron keadaannya. Hal ini untuk menghindari jangan sampai secara yuridis fidusia sudah hapus, tetapi secara administratif fidusia masih ada

karena masih tercatat dalam buku daftar fidusia.58

Apabila terdapat petugas yang mengetahui sendiri hapusnya fidusia atau mengetahui dari pihak lain yang berasal dari pihak kantor pendaftaran fidusia, tidak serta merta kantor pendaftaran tersebut akan melakukan pencoretan fidusia.


(22)

Pencoretan fidusia baru akan dilakukan kantor pendaftaran apabila ada

permohonan dari pihak yang berkepentingan.59

Sehubungan dengan hapusnya jaminan fidusia, maka penerima fidusia harus memberitahukan kepada Kantor Pendaftaran Fidusia mengenai hapusnya jaminan fidusia tersebut. Pada saat pemberitahuan tersebut harus dilampirkan pula pernyataan mengenai hapusnya utang. Pelepasan hak atau musnahnya benda yang menjadi objek jaminan fidusia tersebut. Adanya ketentuan seperti ini akan berguna untuk memberi kepastian kepada Kantor Pendaftaran Fidusia untuk mencoret pencatatan jaminan fidusia dari buku daftar fidusia dan menerbitkan surat keterangan yang menyatakan sertifikat jaminan fidusia yang bersangkutan tidak berlaku lagi.

B. Tinjauan Umum tentang Eksekusi Jaminan Fidusia

1. Pengertian Eksekusi

Sehubungan dengan penjaminan, apa yang harus dilakukan oleh penerima fidusia apabila pemberi fidusia melalaikan kewajibannya atau cidera janji yang berupa lalainya pemberi fidusia memenuhi kewajibannya pada saat pelunasan utangnya sudah matang untuk ditagih, maka dalam peristiwa seperti itu, penerima

fidusia bisa melaksanakan eksekusinya atas benda jaminan fidusia.60

Eksekusi dalam bahasa Belanda disebut Executie atau Uitvoering, dalam kamus hukum diartikan sebagai Pelaksanaan Putusan Pengadilan. Pasal 29 UUJF disebutkan bahwa eksekusi adalah pelaksanaan titel eksekutorial oleh penerima

59Ibid

60 J. Satrio, Hukum Jaminan, Hak-hak Kebendaan, Citra Aditya Bakti, Bandung: 1991, hlm.


(23)

fidusia, berarti eksekusi langsung dapat dilaksanakan tanpa melalui pengadilan dan bersifat final serta mengikat para pihak untuk melaksanakan putusan tersebut.

Secara umum eksekusi merupakan pelaksanaan atau keputusan pengadilan atau akta, maka pengambilan pelunasan kewajiban kreditor melalui hasil penjualan benda-benda tertentu milik debitur. Tujuan dari pada eksekusi adalah pengambilan pelunasan kewajiban debitur melalui hasil penjualan benda-benda

tertentu milik debitur atau pihak ketiga pemberi jaminan.61

Menurut R. Subekti, eksekusi adalah upaya dari pihak yang dimenangkan dalam putusan guna mendapatkan yang menjadi haknya dengan bantuan kekuatan

hukum, memaksa pihak yang dikalahkan untuk melaksanakan putusan62, lebih

lanjut dikemukakannya bahwa pengertian eksekusi atau pelaksanaan putusan, mengadung arti, bahwa pihak yang dikalahkan tidak mau melaksanakan putusan tersebut secara sukarela, sehingga putusan itu harus dipaksakan padanya dengan bantuan kekuatan hukum. Dengan kekuatan hukum ini dimaksudkan kepada polisi,

bahkan jika perlu kepada polisi militer (Angkatan bersenjata).63

Hal yang sama dikemukakan oleh Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata yang menyatakan bahwa, eksekusi adalah tindakan paksaan oleh Pengadilan terhadap pihak yang kalah dan tidak mau melaksanakan putusan

dengan sukarela. 64 Sejalan dengan pendapat tersebut, M. Yahya Harahap

menyatakan, eksekusi merupakan suatu tindakan hukum yang dilakukan oleh pengadilan kepada pihak yang kalah pada suatu perkara yang diajukan di hadapan Pengadilan. Dapat dikatakan eksekusi tiada lain adalah suatu tindakan yang

61Ibid, hlm. 320.

62

Subekti, Hukum Acara Perdata, Bina Cipta, Bandung: 1989, hlm.128.

63Ibid, hlm. 130.

64Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata Dalam Teori


(24)

berkesinambungan dari keseluruhan proses hukum acara perdata.65 Istilah lain yang sering dipergunakan selain kata eksekusi yakni “pelaksanaan putusan”.

Ketentuan mengenai eksekusi ini dapat ditemukan pada peraturan perundang-undangan HIR dan RBg yang merupakan peraturan tata tertib beracara dibidang hukum perdata, yakni pada ketentuan Bab kesepuluh bagian V HIR dan title keempat RBg yang dinyatakan pengertian eksekusi sama dengan pengertian menjalankan putusan pengadilan tidak lain dari melaksanakan isi putusan pengadilan yakni melaksanakan secara paksa putusan pengadilan dengan bantuan kekuatan umum bila pihak yang kalah (Pihak tereksekusi/pihak tergugat) tidak

mau menjalankan secara sukarela.66

Berdasarkan pengertian eksekusi menurut para sarjana tersebut di atas tampak bahwa pengertian eksekusi terbatas pada eksekusi oleh Pengadilan (putusan hakim), padahal yang juga dapat dieksekusi menurut hukum acara perdata yang berlaku HIR dan RBg yang juga dapat dieksekusi adalah salinan /

grosse Akta yang memuat irah-irah “ Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan

Yang maha Esa” yang berisi kewajiban untuk membayar sejumlah uang. Jadi

dapat disimpulkan bahwa pengertian eksekusi dalam perkara perdata adalah upaya kreditur untuk merealisasikan haknya secara paksa jika debitur tidak secara sukarela memenuhi kewajibannya yang tidak hanya putusan hakim, tetapi pelaksanaan Grosse Akta serta pelaksanaan putusan dari institusi yang berwenang atau bahkan Kreditur secara langsung.

65M. Yahya Harahap, Ruang lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, edisi kedua,

Sinar Grafika, Jakarta: 2005, hlm. 1.


(25)

2. Asas-asas Eksekusi

a. Menjalankan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap

Pada asasnya putusan yang dapat dieksekusi adalah putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap, karena dalam putusan yang telah berkekuatan hukum yang tetap telah terkandung wujud hubungan hukum yang tetap dan pasti antara pihak yang berperkara. Hal ini disebabkan hubungan hukum antara pihak yang berperkara sudah tetap dan pasti yaitu, hubungan hukum itu mesti ditaati dan mesti dipenuhi oleh pihak yang dihukum (Pihak tergugat) baik

secara sukarela maupun secara paksa dengan bantuan kekuatan umum.67

Jadi, selama putusan belum mempunyai kekuatan hukum yang tetap, upaya dan tindakan eksekusi belum berfungsi. Eksekusi baru berfungsi sebagai tindakan hukum yang sah dan memaksa terhitung sejak tanggal putusan memperoleh kekuatan hukum yang tetap dan pihak tergugat (yang kalah), tidak mau mentaati dan memenuhi putusan secara sukarela.

Pengecualian terhadap asas ini dimana eksekusi tetap dapat dilaksanakan walaupun putusan tersebut belum mempunyai kekuatan hukum yang tetap

berdasarkan undang-undang adalah :68

1) Pelaksanaan Putusan lebih dahulu

Menurut Pasal 180, ayat (1) HIR, eksekusi dapat dijalankan pengadilan terhadap putusan pengadilan sekalipun putusan yang bersangkutan belum memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Pasal ini memberi hak kepada penggugat untuk mengajukan permintaan agar putusan dapat dijalankan eksekusinya lebih dahulu, sekalipun terhadap putusan itu pihak tergugat mengajukan banding atau kasasi. Permintaan gugatan yang demikian, hakim dapat menjatuhkan putusan yang memuat amar putusan dapat

dilaksanakan lebih dahulu, yang lazim disebut “putusan dapat dieksekusi

serta merta”.

67M. Yahya Harahap, Op. Cit, hlm. 7.


(26)

2) Pelaksanaan putusan provisi

Pengecualian yang kedua berlaku terhadap pelaksanaan putusan “provisi”. Pelaksanaan terhadap putusan provisi merupakan pengecualian eksekusi terhadap putusan yang telah memperoleh hukum tetap.

Pasal 180 ayat (1) HIR juga mengenal putusan provisi yaitu tuntutan lebih dahulu yang bersifat sementara mendahului putusan pokok perkara. Apabila hakim mengabulkan gugatan atau tuntutan provisi, maka putusan provisi tersebut dapat dilaksanakan (dieksekusi) sekalipun perkara pokoknya belum diputus (mendahului).

Berdasarkan pengecualian yang terkandung dalam putusan provisi, eksekusi sudah dapat berfungsi mendahului putusan pokok perkara. Bukan hanya putusan pokok perkara belum memperoleh kekuatan hukum tetap, bahkan putusan pokok perkaranya belum terwujud namun putusan provisinya sudah dapat dieksekusi.

3) Akta Perdamaian.

Bentuk pengecualian lain ialah akta perdamaian yang diatur dalam Pasal 130 HIR atau Pasal 154 RBg. Menurut ketentuan pasal dimaksud, selama persidangan berlangsung, kedua belah pihak yang berperkara dapat berdamai, baik atas anjuran hakim maupun atas inisiatif dan kehendak kedua belah pihak. Apabila terjadi perdamaian dalam persidangan maka hakim membuat akta perdamaian, diktum atau amarnya, menghukum kedua belah pihak untuk memenuhi isi akta perdamaian. Sifat akta perdamaian yang dibuat persidangan mempunyai kekuatan eksekusi seperti putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Dapat dilihat berdasarkan Pasal 130 HIR atau Pasal 154 RBg, terhadap akta perdamaian yang dibuat di persidangan oleh hakim dapat dijalankan eksekusi tak ubahnya seperti putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Maka sejak tanggal lahirnya akta perdamaian telah melekat pulalah kekuatan eksekutorial pada dirinya walaupun itu tidak merupakan putusan pengadilan yang memutus sengketa.

4) Eksekusi terhadap Grosse Akta

Sesuai Pasal 224 HIR eksekusi yang dijalankan ialah memenuhi isi perjanjian yang dibuat oleh para pihak. Pasal ini memperbolehkan eksekusi terhadap perjanjian, asal perjanjian itu berbentuk grosse akta. Jadi perjanjian dengan bentuk grosse akta telah dilekati oleh kekuatan eksekutorial.

5) Eksekusi atas Hak Tanggungan dan Jaminan Fidusia

Pengecualian lain adalah eksekusi atas Hak Tanggungan berdasarkan UU Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan dan eksekusi atas jaminan fidusia berdasarkan Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Terhadap kedua produk ini, pihak kreditur dapat langsung meminta eksekusi atas objek barang hak tanggungan dan jaminan fidusia apabila debitur melakukan wanprestasi membayar angsuran utang pokok atau bunga pinjaman. Bahkan dimungkinkan kreditur melakukan eksekusi penjualan lelang melalui Kantor Lelang tanpa campur tangan


(27)

b. Putusan tidak dijalankan secara sukarela Dua cara menjalankan isi putusan, yaitu:

1) Secara sukarela

Pihak yang kalah (tergugat) memenuhi sendiri dengan sempurna isi putusan pengadilan. Tergugat tanpa paksaan dari pihak manapun, menjalankan pemenuhan hubungan hukum yang dijatuhkan kepadanya. Oleh karena pihak tergugat dengan sukarela memenuhi isi putusan kepada penggugat, berarti isi putusan telah selesai dilaksanakan maka tidak diperlukan lagi tindakan paksa kepadanya (eksekusi).

Untuk menjamin pelaksanaan isi putusan secara sukarela, hendaknya pengadilan membuat berita acara pemenuhan putusan secara sukarela dengan disaksikan dua orang saksi yang dilaksanakan di tempat putusan tersebut dipenuhi dan ditandatangani oleh jurusita pengadilan, dua orang saksi dan para pihak sendiri (penggugat dan tergugat). Maksudnya agar kelak ada pembuktian yang dapat dijadikan pegangan oleh hakim.

Keuntungan menjalankan amar putusan secara sukarela adalah terhindar

dari pembebanan biaya eksekusi dan kerugian moral.69

2) Menjalankan putusan dengan jalan eksekusi

Eksekusi terjadi bila pihak yang kalah tidak mau menjalankan amar putusan secara sukarela, sehingga diperlukan tindakan paksa yang disebut eksekusi agar pihak yang kalah dalam hal ini tergugat mau menjalankan isi putusan pengadilan.


(28)

Pengadilan dapat mengutus jurusita pengadilan untuk melakukan eksekusi bahkan bila diperlukan dapat dimintakan bantuan kekuatan umum. Kerugian yang harus ditanggung oleh tergugat adalah harus membayar biaya eksekusi yang untuk saat ini relatif mahal, di samping itu dia juga harus menanggung beban moral yang tidak sedikit.

c. Putusan mengandung amar condemnatoir

Maksud putusan yang bersifat condemnatoir adalah putusan yang amar atau diktumnya mengandung unsur “Penghukuman”, sedang putusan yang amar atau diktumnya tidak mengandung unsur penghukuman tidak dapat dieksekusi (Non-exekutable).

Menurut sifatnya amar atau diktum putusan dapat dibedakan dalam tiga

macam, yaitu :70

1) Putusan Condemnatoir, yaitu yang amar putusannya berbunyi

“Menghukum dan seterusnya”,

2) Putusan Declaratoir, yaitu yang amar putusannya menyatakan suatu

keadaan sebagai sesuatu keadaan yang sah menurut hukum, dan

3) Putusan yang Konstitutif, yaitu yang amarnya menciptakan suatu keadaan

baru.

Putusan yang bersifat kondemnatoir biasanya terwujud dalam perkara

yang berbentuk kontentiosa (Contentiosa) dengan ciri-ciri:71

1) Berupa sengketa atau perkara yang bersifat partai,

2) Ada pihak penggugat yang bertindak mengajukan gugatan terhadap pihak

tergugat, dan

3) Proses pemeriksaannya berlangsung secara Contradictoir, yakni pihak

penggugat dan tergugat mempunyai hak untuk sanggah menyanggah.

4) Eksekusi atas perintah dan di bawah pimpinan Ketua Pengadilan (Pasal

195 ayat 1 HIR).

Asas ini diatur dalam pasal 195 ayat(1) HIR yaitu apabila ada putusan yang dalam tingkat pertama diperiksa dan diputus oleh satu Pengadilan Negeri,

70 R. Subekti, Hukum Acara Perdata, cet. 3, Binacipta, Bandung: 1989, hlm. 127. 71M. Yahya H. Op.Cit, hlm.14.


(29)

maka eksekusi atas putusan tersebut berada di bawah perintah dan pimpinan Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan. Eksekusi secara nyata dilakukan oleh panitera atau jurusita berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri yang dituangkan dalam bentuk surat penetapan. Tanpa surat penetapan, syarat formal eksekusi belum mamadai. Perintah eksekusi menurut Pasal 197 ayat 1 HIR harus dengan surat penetapan, tidak diperkenankan secara lisan dan ini merupakan syarat imperatif. Bentuk ini sangat sesuai dengan tujuan penegakan dan kepastian hukum serta pertanggungjawabannya. Karena dengan adanya surat penetapan maka akan tampak jelas dan terinci batas-batas eksekusi yang akan dijalankan oleh jurusita dan panitera, di samping hakim akan mudah melakukan pengawasan

terhadap eksekusi tersebut.72

3. Eksekusi menurut HIR/Rbg

Hukum Acara Perdata yang berlaku khusus untuk daerah Jawa dan Madura diatur dalam Herziene Inlandsch Reglement (HIR), sedangkan Hukum Acara Perdata yang berlaku untuk daerah luar Jawa dan Madura diatur dalam Rechtsreglement voor de Buitengewesten (RBg). Di dalam HIR diatur tentang eksekusi Putusan Pengadilan pada bagian kelima (Pasal 195 sampai dengan Pasal 224 HIR) sedangkan dalam RBG diatur pada bagian keempat (Pasal 206 sampai dengan Pasal 225).

a. Eksekusi yang diatur dalam Pasal 195 HIR dan seterusnya dimana seseorang

dihukum untuk membayar sejumlah uang.

Apabila seseorang enggan untuk dengan sukarela memenuhi bunyi putusan dimana ia dihukum untuk membayar sejumlah uang, maka apabila sebelum


(30)

putusan dijatuhkan telah dilakukan sita jaminan, maka sita jaminan itu setelah dinyatakan sah dan berharga menjadi sita eksekutorial. Kemudian eksekusi dilakukan dengan cara melelang barang milik orang yang dikalahkan, sehingga mencukupi jumlah yang harus dibayar menurut putusan hakim dan ditambah semua biaya sehubungan dengan pelaksanaan putusan tersebut.

Apabila sebelumnya belum dilakukan sita jaminan, maka eksekusi dilanjutkan dengan menyita sekian banyak barang-barang bergerak jika tidak cukup juga barang-barang tidak bergerak milik pihak yang dikalahkan sehingga cukup untuk membayar jumlah uang yang harus dibayar menurut putusan beserta biaya-biaya pelaksanaan putusan tersebut. Penyitaan yang dilakukan ini disebut sita eksekutorial.

b. Eksekusi yang diatur dalam Pasal 225 HIR, dimana seseorang dihukum untuk

melaksanakan suatu perbuatan.

Pasal 225 HIR mengatur tentang beberapa hal mengadili perkara yang istimewa. Apabila seseorang dihukum untuk melakukan suatu pekerjaan tertentu tetapi ia tidak mau melakukannya maka hakim tidak dapat memaksa terhukum untuk melakukan pekerjaan tersebut, akan tetapi hakim dapat menilai perbuatan tergugat dalam jumlah uang, lalu tergugat dihukum untuk membayar sejumlah uang untuk mengganti pekerjaan yang harus dilakukannya berdasarkan putusan hakim terdahulu. Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan yang berwenang menilai besarnya penggantian ini.

Dengan demikian maka dapatlah dianggap bahwa putusan hakim yang semula tidak berlaku lagi, atau dengan lain perkataan putusan yang semula ditarik


(31)

kembali, dan Ketua Pengadilan Negeri mengganti putusan tersebut dengan putusan lain. Perubahan putusan ini dilakukan oleh Ketua Pengadilan Negeri yang memimpin eksekusi tersebut, jadi tidak di dalam sidang terbuka.

4. Eksekusi Jaminan Fidusia menurut Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999

Salah satu wujud dari pemberian kepastian hukum hak-hak kreditur adalah dengan mengadakan lembaga pendaftaran fidusia dan tujuan pendaftaran itu tidak

lain adalah untuk menjamin kepentingan dari pihak yang menerima fidusia.73

Sebagaimana yang diatur dalam UUJF, di dalam sertifikat jaminan fidusia mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Berdasarkan titel eksekutorial tersebut kreditur dapat langsung mengeksekusi melalui pelelangan umum atas objek jaminan fidusia tanpa melalui pengadilan, di samping itu Undang-Undang Fidusia juga memberikan kemudahan ekekusi kepada penerima fidusia (kreditur) melalui

lembaga parate executie.74

Apabila peraturan Undang-Undang Fidusia dibaca dengan seksama maka untuk eksekusi jaminan fidusia tampaknya undang-undang cenderung lebih mengedepankan pelaksanaannya dengan parate executie atau eksekusi yang dilakukan oleh pihak yang terlibat dalam fidusia. Hal ini terlihat dalam Pasal 29 UUJF yang mengatur lebih menonjol kewenangan pemegang fidusia untuk menjual objek fidusia daripada mengenai eksekusi melalui pengadilan. Padahal semua tujuannya sama yaitu untuk kepentingan pelunasan utang debitur.

73J. Satrio, Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan Fidusia, Citra Aditya Bakti, Bandung:

2002, hlm.143.


(32)

Model-model eksekusi jaminan fidusia menurut Undang-undang No. 42 Tahun 1999 adalah sebagai berikut:

a. Secara fiat eksekusi (eksekusi memakai titel eksekutorial), yakni lewat

suatu penetapan pengadilan.

Ada beberapa akta yang mempunyai titel eksekutorial, yakni yang disebut dengan istilah “grosse akta”, yaitu sebagai berikut:

1) Akta hipotik (berdasarkan Pasal 224)

2) Akta Pengakuan Hutang (berdasarkan Pasal 224 HIR)

3) Akta Hak Tanggungan (berdasarkan Undang-undang Hak Tanggungan

No. 4 Tahun 1996)

4) Akta Fidusia ( berdasarkan Undang-undang Fidusia No. 42 Tahun

1999)

Menurut kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata (HIR), setiap akta yang mempunyai titel eksekutorial dapat dilakukan fiat eksekusi. Pasal 224 HIR tersebut menyatakan bahwa Grosse dari akta hipotik dan surat utang yang dibuat di hadapan notaris di Indonesia dan yang kepalanya berbunyi “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” berkekuatan sama dengan kekuatan suatu keputusan hakim. Jika tidak dengan jalan damai, maka surat yang demikian dieksekusi dengan perintah dan di bawah pimpinan Ketua Pengadilan Negeri, yang dalam daerah hukumnya tempat diam atau tempat tinggal debitur itu atau tempat kedudukan yang dipilihnya, yaitu menurut cara yang dinyatakan dalam pasal-pasal sebelumnya dari Pasal 224 ini, tetapi dengan pengertian bahwa paksaan badan hanya boleh dilakukan jika sudah diizinkan dengan


(33)

keputusan hakim. Jika putusan hakim itu harus dilaksanakan seluruhnya atau sebagian di luar daerah hukum Pengadilan Negeri

b. Secara parate eksekusi, yakni dengan menjual (tanpa perlu penetapan

pengadilan) di depan pelelangan umum.

Penjualan yang dilakukan dengan cara lelang, pemegang fidusia mengajukan permohonan lelang kepada kantor lelang setempat dengan cara menunjukkan sertifikat fidusia karena pemegang fidusia yang berhak menentukan nilai limit barang yang akan dilelang. Hasil pelelangan akan diserahkan kepada pemegang fidusia dari kantor lelang setelah dipotong biaya lelang dan biaya-biaya lain yang diistimewakan.

c. Dijual di bawah tangan oleh pihak kreditur sendiri

Eksekusi fidusia dengan penjualan barang jaminan secara di bawah tangan wajib didasarkan atas kesepakatan pihak pemberi dan pemegang fidusia dengan tujuan dapat memperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak. Undang-undang tidak menentukan apakah kesepakatan tersebut secara tertulis atau tidak. Untuk kepentingan administrasi dan pembuktian, memang sebaiknya perjanjian dibuat secara tertulis sehingga ada bukti tentang dasar pelaksanaan eksekusi di bawah tangan. Hal yang penting adalah dalam perjanjian tersebut setidaknya tercantum semacam

“harga limit” objek tanggungan sehingga dapat dijadikan pegangan

sebagai harga yang menguntungkan pihak pemberi maupun pemegang fidusia.

Caranya lebih lanjut adalah kesepakatan tersebut diberitahukan pemegang atau pemberi fidusia kepada pihak-pihak berkepentingan. Pihak-pihak


(34)

berkepentingan yang dimaksud antara lain adalah pemegang fidusia lainnya dan kantor pendaftaran fidusia agar mereka mengetahuinya. Selain pemberitahuan tersebut, kesepakatan juga wajib diumumkan dalam dua surat kabar yang ada di daerah bersangkutan. Pelaksanaan penjualan objek fidusia di bawah tangan dilakukan setelah 1 (satu) bulan dilakukan pemberitahuan dan pengumuman lewat surat kabar tersebut.

Eksekusi jaminan fidusia tersebut di atas masing-masing memiliki perbedaan dalam prosedur pelaksanaannya. Untuk eksekusi yang menggunakan titel eksekutorial berdasarkan sertifikat jaminan fidusia pelaksanaan penjualan benda jaminan tunduk dan patuh pada Hukum Acara Perdata sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 224 H.I.R/258 RBG, yang prosedur pelaksanaanya

memerlukan waktu yang lama.75 Berbeda dengan penjualan di bawah tangan

pelaksanaanya harus memenuhi beberapa persyaratan antara lain adanya kesepakatan antara pemberi fidusia (debitur) dan penerima fidusia (kreditur). Alasannya untuk memperoleh nilai penjualan yang lebih baik untuk memperoleh harga tertinggi.

Selanjutnya untuk pelaksanaan parate eksekusi merupakan cara termudah dan sederhana bagi kreditur untuk memperoleh kembali piutangnya, manakala debitur cidera janji dibandingkan dengan eksekusi yang melalui bantuan atau campur tangan Pengadilan Negeri.


(35)

BAB IV

PENYELESAIAN KREDIT MACET DENGAN JAMINAN FIDUSIA (STUDI PT. PEGADAIAN (PERSERO) KANWIL 1 MEDAN)

A. Keabsahan Eksekusi di Bawah Tangan yang dilakukan PT. Pegadaian (Persero) Kanwil I Medan dalam hal terjadinya Kredit Macet

Dalam konsepsi hukum pidana, eksekusi objek di bawah tangan masuk dalam tindak pidana Pasal 368 KUHPidana jika kreditur melakukan pemaksaan dan ancaman perampasan. Pasal ini menyebutkan:

1. Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang

lain secara melawan hukum, memaksa seorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya membuat hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena pemerasan dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan.

2. Ketentuan Pasal 365 ayat kedua, ketiga, dan keempat berlaku bagi

kejahatan ini.

Pasal tersebut di atas dapat diartikan bahwa apabila kreditur melakukan pemaksaan dan mengambil barang secara sepihak dalam hal melakukan eksekusi, padahal diketahui dalam barang tersebut sebagian atau seluruhnya milik orang lain, maka dapat dijatuhi hukum pidana. Begitu pula jika diketahui bahwa sebagian dari barang tersebut adalah milik kreditur yang mau mengeksekusi tetapi tidak didaftarkan di Kantor Pendaftaran Fidusia. Bahkan pengenaan pasal-pasal lain dapat terjadi mengingat bahwa dimana-mana eksekusi bukan merupakan hal yang mudah, sehingga dibutuhkan jaminan hukum dan dukungan aparat hukum secara legal. Inilah urgensi perlindungan hukum yang seimbang antara kreditur dan debitur.

Apabila debitur mengalihkan benda objek fidusia yang dilakukan di bawah tangan kepada pihak lain tidak dapat dijerat dengan UUJF, karena tidak sah atau


(36)

legalnya perjanjian kredit dengan jaminan fidusia yang dibuat. Sehingga dimungkinkan debitur yang mengalihkan barang objek jaminan fidusia tersebut dilaporkan atas tuduhan penggelapan oleh pihak kreditur.

Pada prinsipnya berdasarkan ketentuan dalam Pasal 11 UUJF terhadap benda jaminan fidusia yang tidak didaftarkan di Kantor Pendaftaran Fidusia, seharusnya eksekusi benda jaminan fidusia tidak dapat dilaksanakan, karena ketentuan-ketentuan tentang cara eksekusi jaminan fidusia sebagaimana diatur dalam Pasal 29 dan 31 UUJF bersifat mengikat (dwinged recht) yang tidak dapat dikesampingkan atas kemauan para pihak. Apabila terdapat penyimpangan dari ketentuan-ketentuan tersebut maka akan mengakibatkan perjanjian tersebut batal demi hukum.

Lain halnya dengan yang dilakukan PT. Pegadaian (persero) Kanwil I Medan. Pada pegadaian tersebut, tidak semua benda jaminan fidusia didaftarkan di kantor fidusia. Walaupun pihak pegadaian tidak mendaftarkan ke Kantor Pendaftaran Fidusia, dalam pelaksanaan pemberian kredit dengan konstruksi fidusia pihak pegadaian telah menggunakan perjanjian yang mana untuk melunasi kredit, nasabah telah memberi kuasa kepada pegadaian untuk menjual objek jaminan kredit yaitu dengan adanya Perjanjian Hutang-piutang Dengan Kuasa Menjual (PHDKM) sesuai yang diperjanjikan dengan pihak pegadaian. Maka

tindakan pegadaian bisa dibenarkan.76

Hal tersebut sesuai dengan Surat Edaran Nomor 51/ UL.4.00.22 4/2008 Tentang Prosedur Pengikatan Jaminan Fidusia Pada Kredit Kreasi yang mana

76Wawancara dengan Bapak Rendhi Prabowo. Legal Officer Cabang PT Pegadaian (persero)


(37)

memuat mengenai pembagian tingkatan pinjaman untuk didaftarkan ke Kantor Pendaftaran Fidusia, yakni sebagai berikut:

1. Uang pinjaman sampai dengan Rp 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah)

Pengikatan jaminan fidusia hanya dibuat dengan membuat dokumen Perjanjian Hutang Piutang Dengan Kuasa Menjual (PHDKM), tidak dibuat dengan akta jaminan fidusia dan tidak didaftarkan di kantor Fidusia, namun dibuat surat kuasa untuk membuat Akta Jaminan Fidusia di atas materai Rp 6.000,- dari nasabah. Surat kuasa tersebut digunakan apabila Kredit tersebut macet. Dalam hal ini jaminan Fidusia tidak dilakukan pendaftaran di awal pengikatan jaminan, pendaftaran dilakukan apabila adanya indikasi kredit macet. Jadi dengan adanya surat Kuasa, apabila kredit macet dapat dibuatkan Akta Jaminan Fidusia dan didaftarkan ke Kantor Pendaftaran Fidusia.

2. Uang pinjaman Rp 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) sampai dengan Rp

25.000.000,- (dua puluh juta rupiah)

Pengikatan jaminan fidusia dilakukan dengan membuat dokumen Perjanjian Hutang Piutang Dengan Kuasa Menjual (PHDKM), Akta Jaminan Fidusia (AJF) yang dibuat Notaris tetapi tidak didaftarkan ke kantor Pendaftaran Fidusia. Namun pendaftaran ke kantor Fidusia tetap akan dilakukan apabila terdapat indikasi kredit macet untuk memudahkan melakukan eksekusi.

3. Uang pinjaman diatas Rp 25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah)

Pengikatan jaminan fidusia dilakukan dengan membuat dokumen Perjanjian Hutang Piutang Dengan Kuasa Menjual (PHDKM), Akta Jaminan Fidusia (AJF) yang dibuat Notaris, serta Sertifikat Jaminan Fidusia yang dikeluarkan Kantor Pendaftran Fidusia.


(38)

Pembagian tersebut diatas dibuat adalah semata-mata untuk menghindari kerugian bagi nasabah yang apabila terjadi kredit macet, maka biaya eksekusi akan lebih mahal dibandingkan biaya yang dibutuhkan untuk melunasi utangnya. Telah diketahui sebelumnya pegadaian adalah lembaga pembiayaan yang mengutamakan kredit pada masyarakat golongan ekonomi menengah ke bawah. Jadi untuk menghindari pengeluaran yang besar, pihak pegadaian memilih untuk tidak mendaftarkan ke Kantor Pendaftaran Fidusia apabila jumlah kredit yang dipinjamkan tidak cukup besar.

Sementara untuk eksekusi terhadap objek yang dijaminkan fidusia secara di bawah tangan yang dilakukan PT. Pegadaian (persero) Kanwil I Medan terhadap objek jaminan yang didaftarkan ke Kantor Pendaftaran Fidusia juga dapat dibenarkan karena pemrosesan kredit untuk jumlah tertentu sebagaimana diatur dalam Surat EdaranNomor 51/ UL.4.00.22 4/2008 Tentang Prosedur Pengikatan Jaminan Fidusia Pada Kredit Kreasi telah diikat secara hukum fidusia sehingga pegadaian punya hak untuk menarik/menyita barang jaminan dan melakukan ekeskusi tanpa melalui keputusan pengadilan. Selain itu nasabah juga telah sepakat apabila sampai cidera janji sebagaimana telah diatur dalam perjanjian, maka untuk melunasi kredit, nasabah telah memberi kuasa kepada pegadaian untuk menjual barang jaminan kredit sesuai dengan yang diperjanjikan dan memberi kuasa kepada pegadaian untuk melakukan penjualan tersebut. Jadi upaya penarikan barang jaminan untuk eksekusi ini mempunyai dasar hukum yang kuat.

Mengingat bahwa jaminan fidusia adalah lembaga jaminan dan bahwa pengalihan hak kepemilikan dengan caraconstitutum possessorium dimaksudkan


(39)

untuk semata-mata memberi agunan dengan hak yang didahulukan kepada penerima fidusia, maka setiap janji yang memberi kewenangan kepada penerima fidusia untuk memiliki objek jaminan fidusia adalah batal demi hukum. Ketentuan tersebut dibuat untuk melindungi pemberi fidusia dan teristimewa dalam hal nilai objek jaminan fidusia melebihi besarnya utang yang dijaminkan. Ketentuan serupa dapat kita jumpai pula dalam Pasal 1154 KUHPerdata tentang lembaga gadai. Pasal 12 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan

dan Pasal 1178 ayat(1) KUH Perdata sehubungan dengan hipotik.

B. Pelaksanaan eksekusi Objek Jaminan Fidusia oleh Pihak PT. Pegadaian (Persero) Kanwil I Medan dalam hal terjadinya Kredit Macet

Sesuai dengan pembahasan bab sebelumnya, kredit macet terjadi karena debitur tidak melaksanakan prestasinya sebagaimana terdapat dalam perjanjian kredit, maka sebelum melakukan eksekusi barang jaminan, debitur harus terlebih dahulu dinyatakan wanprestasi, yang dilakukan melalui putusan pengadilan.

Pasal 7 Perjanjian Kredit Pegadaian Kreasi tentang cidera

janji/wanprestasi menyatakan bahwa, “Pihak kedua dinyatakan cidera janji atau terbukti lalai, yaitu apabila pihak kedua melakukan salah satu tindakan sebagai berikut:

1. Tidak melaksanakan pembayaran angsuran (menunggak) selama 3 (tiga) kali

berturut-turut atau berselang.

2. Sampai dengan tanggal jatuh tempo tidak melaksanakan pembayaran

pelunasan.


(40)

4. Tidak memenuhi kewajiban-kewajibannya atau melanggar ketentuan didalam perjanjian kredit, satu dan lain hal semata-mata menurut penetapan atau pertimbangan pihak pertama.

Sebelum melakukan eksekusi, Pegadaian mempunyai upaya-upaya yang dilakukan bila terjadi keterlambatan dalam pembayaran angsuran. Keterlambatan tersebut dapat diketahui berdasarkan tabel Rekapitulasi Kolektifitas Kredit Kreasi yakni yang termasuk kategori DPK (Dalam Perhatian Khusus). Upaya-upaya itu antara lain:77

1. Upaya persuasif

Setiap kali timbul angsuran yang tidak lancar pihak pegadaian akan melakukan upaya-upaya pengendalian. Setiap kali menghadapi persoalan kredit bermasalah pihak pegadaian akan mencari sumber permasalahannya, misalnya: karena usahanya sedang lesu, sengaja tidak mau bayar, benar- benar tidak mampu bayar, nasabahnya meninggal dunia, barang jaminan rusak berat/hilang. Bila ketidaklancaran angsuran merupakan akibat dari rusak atau hilangnya barang jaminan, maka nasabah diminta mengganti dengan barang jaminan baru dan tetap diingatkan untuk menyelesaikan kreditnya sampai lunas. Apabila ketidaklancaran kredit karena nasabah sedang sakit atau bahkan meninggal dunia, maka keadaan tersebut tidak menggugurkan kewajiban yang bersangkutan untuk tetap mengangsur hutang-hutangnya. Suami/istri atau ahli warisnya tetap diminta untuk menyelesaikan hutangnya atau kalau tidak mampu menjalankan kredit, akan diminta menyerahkan agunan kredit untuk dijual oleh pegadaian. Bagi nasabah yang tidak mau mengangsur atau tidak

77Surat Edaran . No : 11/US.2.00/2005 Tentang Pedoman Operasional Kredit Angsuran Sistem


(41)

mampu mengangsur, akan diproses penyelesaian kredit melalui mekanisme penjualan jaminan/eksekusi barang jaminan.

2. Upaya Somasi (peringatan)

Sebelum dilaksanakan penyitaan, terhadap nasabah yang sudah menunggak angsuran 3 (tiga) bulan berturut-turut atau menunggak sampai dengan jatuh tempo, Manajer Cabang harus memberikan surat peringatan terlebih dahulu kepada nasabah sebanyak 3 (tiga) kali, yaitu :

a. Surat peringatan I, 7 (tujuh) hari setelah tanggal jatuh tempo angsuran

terakhir atau setelah 3 (tiga) kali berturut-turut nasabah tidak melakukan angsuran.

b. Surat Peringatan II, 7 (tujuh) hari setelah surat peringatan I.

c. Surat Peringatan III, 7 (tujuh) hari setelah surat peringatan II.

3. Upaya penarikan barang jaminan

Tujuan dilakukannya penarikan barang jaminan adalah untuk menarik kembali kredit yang telah disalurkan kepada nasabah berikut sewa modal dan dendanya yang menjadi hak perusahaan. Penarikan barang jaminan tetap harus dilakukan meskipun klaim asuransi telah diterima, karena masih ada hak pegadaian sebesar 20% yang masih harus diterima. Setelah dikirimi Surat Peringatan III dan sudah memenuhi syarat untuk diajukan klaim asuransi, maka bersamaan dengan pengajuan klaim asuransi, akan dilakukan proses penyitaan/sita/eksekusi terhadap barang jaminan dan penjualan sesuai dengan Pasal 29 UUJF untuk pinjaman yang didaftarkan ke Kantor Fidusia. Kredit dalam jumlah tertentu yang tidak didaftarkan ke Kantor Fidusia, penyitaan dilakukan karena nasabah telah memberi kuasa kepada pegadaian untuk


(42)

menjual agunan bila nasabah tidak menepati janji membayar kewajibannya sesuai yang tertera dalam perjanjian utang piutang. Pengambilan barang jaminan dilakukan oleh cabang penyelenggara kredit KREASI, dilakukan 7 (tujuh) hari setelah dikirimi Surat Peringatan III, atau 28 (dua puluh delapan) hari setelah tanggal jatuh tempo angsuran ke-3 yang macet/angsuran terakhir. Selambat-lambatnya dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari setelah Surat Peringatan III dikirimkan kepada nasabah, barang jaminan sudah harus berada dalam perusahaan cabang penyelenggara kredit KREASI. Proses penyitaan

dilakukan sebagai berikut :78

a. Manajer Cabang dan pengelola layanan Pegadaian akan mendatangi

langsung ke alamat nasabah;

b. Apabila barang jaminan masih ada, meskipun nasabah, misalnya telah

meninggal dunia, maka akan dilakukan pengambilan paksa barang jaminan secara persuasif dengan mengingatkan bahwa sesuai perjanjian kredit yang telah disepakati, maka nasabah/ahli waris nasabah wajib menyerahkan agunan untuk dijual oleh pihak pegadaian guna membayar hutang berikut, denda dan biaya-biaya lainnya;

c. Dalam proses eksekusi tersebut akan dijelaskan bahwa pemrosesan kredit

untuk jumlah tertentu sebagaimana diatur dalam Surat Edaran tersebut telah diikat secara hukum fidusia sehingga pegadaian punya hak untuk menarik/menyita barang jaminan dan melakukan ekeskusi tanpa melalui keputusan pengadilan. Kredit di bawah jumlah tertentu sebagaimana diatur dalam Surat Edaran tersebut, nasabah juga telah sepakat apabila sampai

78

Surat Edaran . No : 11/US.2.00/2005 Tentang Pedoman Operasional Kredit Angsuran Sistem Fidusia.


(43)

cidera janji sebagaimana telah diatur dalam perjanjian, maka untuk melunasi kredit, nasabah telah memberi kuasa kepada pegadaian untuk menjual agunan kredit sesuai dengan yang diperjanjikan dan memberi kuasa kepada pegadaian untuk melakukan penjualan tersebut. Jadi upaya penarikan agunan ini mempunyai dasar hukum yang kuat.

d. Apabila nasabah mengadakan perlawanan/menolak memberikan agunan,

pihak pegadaian akan mengingatkan bahwa perjanjian yang telah dibuat

bersama merupakan ”undang-undang” tertinggi bagi para pihak yang

membuatnya. Pegadaian hanya akan mengambil sisa pokok pinjaman yang belum kembali, sewa modal dengan tarif pelunasan sekaligus, denda dan biaya penarikan barang jaminan;

e. Apabila nasabah menggunakan bantuan lembaga hukum atau melapor

kepihak kepolisian, maka pihak pegadaian akan sedapat mungkin memberikan argumentasi yang kuat bahwa penarikan barang jaminan sudah sesuai dengan isi perjanjian yang dibuat kedua belah pihak. Kemudian dijelaskan bahwa pegadaian menjalankan usaha dengan peraturan pemerintah No. 51 tahun 2011 tentang Perubahan Bentuk Badan Hukum Perusahaan Umum (Perum) menjadi Perusahaan Perseroan (Persero) dan peraturan lainnya yang sah;

f. Apabila dengan penjelasan tersebut penarikan barang jaminan masih gagal,

maka kepada aparat cabang dibenarkan meminta bantuan aparat penegak hukum atas biaya perusahaan yang akan diperhitungkan dari hasil penjualan barang jaminan yang berhasil disita.


(44)

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di PT. Pegadaian (Persero) Kanwil I Medan, proses pelaksanaan penyitaan atau sita atau eksekusi terhadap barang jaminan dan penjualan dilakukan sesuai dengan Pasal 29 UUJF untuk pinjaman yang didaftarkan ke Kantor Fidusia. Penyitaan dilakukan menurut cara pihak pegadaian sendiri terhadap kredit dalam jumlah tertentu yang tidak didaftarkan di Kantor Fidusia, karena nasabah telah memberi kuasa kepada pegadaian untuk menjual agunan bila nasabah tidak menepati janji membayar kewajibannya sesuai yang tertera dalam perjanjian kredit yang menjadi perjanjian pokoknya. Menurut mereka nilai jaminan yang biasanya tidak didaftarkan ke Kantor Pendaftaran Fidusia adalah di bawah Rp25.000.000,00 (sepuluh juta

rupiah). Dengan pertimbangan nilainya kecil dan angsurannya tidak lama.79 Itu

berarti di pegadaian tersebut apabila debitur atau pemberi fidusia wanprestasi, maka akan diberlakukan Pasal 29 ayat (1) huruf c UUJF dengan pengecualian pelaksanaan penjualan tanpa pengumuman melalui surat kabar.

Setelah dilakukan upaya-upaya tersebut di atas, barulah dilaksanakan eksekusi terhadap objek jaminan fidusia tersebut. Mengingat di pegadaian tidak semua perjanjian kredit dengan jaminan fidusia tidak didaftarkan ke kantor fidusia, maka eksekusinya pun berbeda pula. Praktek pelaksanaan eksekusi benda jaminan fidusia yang dilakukan PT. Pegadaian (Persero) Kanwil I Medan adalah sebagai berikut :

1. Eksekusi terhadap objek jaminan fidusia yang tidak didaftarkan

Proses yang melatarbelakangi benda jaminan yang demikian adalah perjanjian di bawah tangan terhadap perjanjian jaminan fidusia yang tidak ditindaklanjuti

79

Wawancara dengan Bapak Rendhi Prabowo.Legal Officer Cabang PT Pegadaian (persero) Kanwil I Medan Yang dilakukan pada tanggal 24 Maret 2014.


(45)

dengan pendaftaran benda jaminan fidusia atau pembuatan perjanjian jaminan fidusia dengan akta notaris tetapi tidak ditindaklanjuti dengan pendaftaran di Kantor Pendaftaran Fidusia.

Tidak dilakukannya pendaftaran ke Kantor Pendaftaran Fidusia dengan pertimbangan bahwa nilai pinjaman yang diberikan tidak besar sehingga akan menghabiskan biaya administrasi bila dilakukan pendaftaran, selain itu jangka waktu yang akan dilewati juga tidak lama. Terhadap benda dengan jaminan fidusia demikian maka eksekusinya dilakukan sendiri oleh pegadaian, baik dengan cara melakukan pendekatan secara pribadi agar pemberi fidusia melunasi hutangnya atau angsuran hutang tersebut ditindaklanjuti dengan mengambil objek jaminan fidusia atas persetujuan pemberi fidusia karena pemberi fidusia sudah tidak mampu lagi melanjutkan membayar angsurannya. Terhadap tindakan yang demikian pegadaian mendasarkan pada perjanjian yang salah satu dokumennya adalah surat kuasa pengambil benda jaminan fidusia yang telah diberikan pemberi fidusia kepada pegadaian. Pasal 9 perjanjian kredit dengan jaminan fidusia oleh pegadaian juga menyebutkan bahwa pihak pegadaian sebagai pihak pertama berhak untuk mengambil alih atau menarik barang jaminan untuk selanjutnya menjual barang jaminan bilamana pihak kedua atau debitur dinyatakan cidera janji.

Tindakan demikian sah-sah saja dilakukan oleh pegadaian, namun apabila ada keberatan dari pemilik benda jaminan, dan menurut polisi memungkinkan untuk ditindaklanjuti sebagai suatu kasus perampasan, maka pegadaian dapat diancam dengan pidana atas tindakan tersebut. Apabila dapat dibuktikan bahwa surat kuasa dan perjanjian kredit sebagai pokok dari perjanjian jaminan


(46)

fidusia adalah benar ditandatangani yang bersangkutan serta memenuhi syarat-syarat sahnya suatu perjanjian maka hukum selain berpedoman pada fakta tidak didaftarkannya perjanjian fidusia oleh pegadaian sehingga jaminan fidusianya tidak diakui secara hukum, tetapi hakim menunculkan fakta baru bahwa benar telah terjadi tindakan peminjaman sejumlah uang dengan jaminan benda bergerak.

Apabila benda jaminan fidusia tidak didaftarkan di KantorPendaftaran Fidusia maka kedudukan kreditur sebagai kreditur konkuren, dimana kreditur tidak mempunyai hak yang didahulukan (preferen) terhadap kreditur lain, dimana pelunasan piutangnya seimbang dengan piutang kreditur lain, atau menurut asas umum yaitu adanya kesamaan hak para kreditur atas harta kekayaan debiturnya. Hak preferensi adalah hak dari kreditur pemegang jaminan tertentu untuk terlebih dahulu diberikan haknya (dibandingkan dengan kreditur lainnya) atas pelunasan hutangnya yang diambil dari hasil penjualan

barang jaminan hutang tersebut.80 Dalam hubungan dengan hak preferensi dari

penerima jaminan fidusia, maka Pasal 27 ayat (2) UUJF menjelaskan bahwa :”hak preferensi adalah hak penerima fidusia untuk mengambil pelunasan piutang-piutangnya atas hasil eksekusi benda yang menjadi objek

jaminan fidusia”.

Selain itu juga kewajiban pendaftaran jaminan fidusia ke Kantor Pendaftaran Fidusia merupakan salah satu perwujudan dari asas publisitas yang sangat penting karena semakin terpublikasi jaminan hutang, akan semakin baik sehingga kreditur/khalayak ramai dapat mengetahuinya atau punya akses


(47)

untuk mengetahui informasi-informasi penting di sekitar jaminan hutang tersebut.

Tujuan dari diwajibkannya benda yang dibebani dengan jaminan fidusia untuk didaftarkan menurut Pasal 11 UUJF adalah melahirkan jaminan fidusia bagi penerima fidusia, memberi kepastian kepada kreditur lain mengenai benda yang telah dibebani jaminan fidusia dan memberikan hak yang didahulukan terhadap kreditur dan untuk memenuhi asas publisitas karena kantor pendaftaran fidusia terbuka untuk umum.

Namun dalam beberapa kasus kejadian-kejadian seperti ini tidak diselesaikan di pengadilan, artinya para pihak menempuh penyelesaian hukum secara

kekeluargaan.81 Dengan pertimbangan penyelesaian hukum lewat pengadilan

akan memakan waktu, tenaga dan biaya yang tidak sedikit. Selain itu yang terpenting pihak pegadaian selalu mengutamakan agar selalu bisa menjadi sahabat masyarakat. Dengan kesabaran dan ketekunan mereka akan melakukan pendekatan-pendekatan kepada nasabah dan memberikan pilihan-pilihan atas solusi yang seharusnya bisa dilakukan berkaitan dengan tertunggaknya angsuran nasabah tersebut. Salah satu jalan keluar yang

ditawarkan adalah penjualan barang untuk menutup kekurangan angsuran.82

2. Eksekusi terhadap objek jaminan fidusia yang didaftarkan.

Terhadap benda jaminan yang dibebani dengan jaminan fidusia dan didaftarkan oleh pegadaian kepada Kantor Pendaftaran Fidusia, berarti sudah memenuhi Pasal 5 dan Pasal 11 UUJF terhadap benda jaminan fidusia yang

81

Wawancara dengan Bapak Rendhi Prabowo.Legal Officer Cabang PT Pegadaian (persero) Kanwil I Medan Yang dilakukan pada tanggal 24 Maret 2014.

82

Wawancara dengan Bapak Rendhi Prabowo.Legal Officer Cabang PT Pegadaian (persero) Kanwil I Medan Yang dilakukan pada tanggal 24 Maret 2014.


(1)

TINJAUAN HUKUM TERHADAP PENYELESAIAN KREDIT MACET DENGAN JAMINAN FIDUSIA

(Studi Pada PT. Pegadaian (Persero) Kanwil I Medan) SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH :

ASTRY MEYLAND SAMOSIR NIM : 090200122

Departemen Hukum Keperdataan Program Kekhususan Hukum Perdata BW

Disetujui,

Ketua Departemen Hukum Pidana

Dr. H. Hasim Purba, SH., M.Hum NIP 196603031985081001

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Prof. Dr. Tan Kamello, SH.,MS Zulfi Chairi, SH.,M.Hum NIP :196204211988031004 NIP197108012001121004

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat-NYA kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk menempuh ujian Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini berjudul Tinjauan Hukum Terhadap Penyelesaian Kredit Macet Dengan Jaminan Fidusia (Studi Pada PT. Pegadaian (Persero) Kanwil I Medan)

Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis telah mendapatkan bantuan dari beberapa pihak, maka pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa hormat dan ucapan terima kasih yang setulusnya kepada :

1. Kedua orang tua yang sangat dihormati yang senantiasa membimbing, ,memperhatikan dan menyediakan segala apa yang diperlukan dalam segala hal sampai saat ini.

2. Bapak Prof. DR. Runtung, SH., M.H, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. DR. Budiman Ginting, SH., M.H, selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Prof. DR. Syafruddin Hasibuan, SH, MH. DFM, selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Prof. DR. O.K. Saidin, SH., MHum, selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(3)

7. Bapak Prof. Tan Kamello, SH., MS, selaku Dosen Pembimbing I yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk penulis dalam membimbing dan mengarahkan serta memberikan masukan yang berguna pada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

8. Ibu Zulfi Chairi, SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II yang telah bersedia meluangkan waktunya dan selalu sabar dalam membimbing penulis dan mengarahkan serta memberi banyak masukan yang sangat membantu dan berguna bagi penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

9. Bapak Zulkifli, SH. MH, selaku Dosen Penasehat Akademik Penulis yang telah membimbing penulis selama penulis melaksanakan perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

10. Seluruh Dosen dan Staf Pengajar yang pernah mengajar penulis selama penulis menjalani pendidikan akademis di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

11. Seluruh Staf di bagian Pendidikan, yang telah membantu penulis dalam urusan administrasi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

12. Seluruh Staf Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah membantu penulis dalam menyediakan bahan-bahan yang dibutuhkan penulis dalam penyusunan skripsi ini.

13. Kepada Abang dan Adik penulis, Arthur Suryadharma Samosir, Alfred Dachnial Samosir, Angelica Marghareth Samosir, yang telah mendoakan, menyayangi, dan mendukung penulis sampai saat penulis menyelesaikan skripsi ini.


(4)

14. Kepada sahabat-sahabat sekaligus saudari yang dalam suka dan duka saling melengkapi yaitu Giovany Purba, Rahmaeni Zebua, Kristina Sitanggang, Mentari Hagayna Pelawi, Evi Lestari Situmorang, Emma Sijabat, Deni Yanti Sitinjak, dan Jelita Wati Panjaitan.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu penulis mohon maaf kepada pembaca skripsi ini karena keterbatasan pengetahuan oleh penulis. Besar harapan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan perkembangan hukum di Negara Republik Indonesia.

Medan, Juni 2014. Penulis,


(5)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

ABSTRAK ... vi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 8

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 8

D. Keaslian Penulisan ... 9

E. Metode Penelitian... 10

F. Sistematika Penulisan ... 13

BAB II PERJANJIAN KREDIT DAN KREDIT MACET A. Tinjauan Umum tentang Perjanjian Kredit ... 16

1. Pengertian Perjanjian ... 16

2. Asas-asas Perjanjian ... 17

3. Syarat Sah Perjanjian ... 19

4. Pengertian Kredit ... 22

5. Pengertian Perjanjian Kredit ... 24

B. Tinjauan Umum tentang Kredit Macet ... 27

1. Pengertian Kredit Macet ... 27

2. Faktor-faktor Penyebab Munculnya Kredit Macet ... 30

3. Penyelesaian Kredit Macet ... 33

BAB III JAMINAN FIDUSIA DAN EKSEKUSINYA A. Tinjauan Umum TentangJaminan Fidusia ... 35

1. Pengertian Fidusia dan Jaminan Fidusia ... 35

2. Asas-asas Jaminan Fidusia ... 38

3. Subjek dan Objek Jaminan Fidusia ... 43


(6)

5. Hapusnya Jaminan Fidusia ... 50

B. Tinjauan Umum Tentang Eksekusi Jaminan Fidusia ... 53

1. Pengertian Eksekusi ... 53

2. Asas-asasEksekusi... 56

3. Eksekusi Menurut HIR/Rbg ... 60

4. Eksekusi Jaminan Fidusia menurut Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 ... 62

BAB IV PENYELESAIAN KREDIT MACET DENGAN JAMINAN FIDUSIA(STUDIPT. PEGADAIAN (PERSERO) KANWIL I MEDAN) A. Keabsahan Eksekusi di Bawah Tangan Yang dilakukan PT. Pegadaian (Persero) Kanwil I Medan dalam Hal Terjadinya Kredit Macet ... 66

B. Pelaksanaan Eksekusi Objek Jaminan Fidusia oleh Pihak PT. Pegadaian (Persero) Kanwil I Medan dalam Hal Terjadinya Kredit Macet ... 70

C. Hambatan-hambatan dalam Eksekusi Objek Jaminan pada PT. Pegadaian (Persero) Kanwil I Medan dan Upaya Penyelesaiannya ... 81

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 85

B. Saran ... 86

DAFTAR PUSTAKA ... 88 LAMPIRAN