Tinjauan Hukum Terhadap Penyelesaian Kredit Macet Dengan Jaminan Fidusia (Studi Pada PT. Pegadaian (Persero) Kanwil I Medan)

(1)

TINJAUAN HUKUM TERHADAP PENYELESAIAN KREDIT MACET DENGAN JAMINAN FIDUSIA

(Studi Pada PT. Pegadaian (Persero) Kanwil I Medan)

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

Astry Meyland Samosir 090 200 122

Bagian Hukum Keperdataan

Program Kekhususan Hukum Perdata BW

PROGRAM REGULER FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2014


(2)

TINJAUAN HUKUM TERHADAP PENYELESAIAN KREDIT MACET DENGAN JAMINAN FIDUSIA

(Studi Pada PT. Pegadaian (Persero) Kanwil I Medan) SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH :

ASTRY MEYLAND SAMOSIR NIM : 090200122

Departemen Hukum Keperdataan Program Kekhususan Hukum Perdata BW

Disetujui,

Ketua Departemen Hukum Pidana

Dr. H. Hasim Purba, SH., M.Hum NIP 196603031985081001

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Prof. Dr. Tan Kamello, SH.,MS Zulfi Chairi, SH.,M.Hum

NIP :196204211988031004 NIP197108012001121004

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat-NYA kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk menempuh ujian Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini berjudul Tinjauan Hukum Terhadap Penyelesaian Kredit Macet Dengan Jaminan Fidusia (Studi Pada PT. Pegadaian (Persero) Kanwil I Medan)

Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis telah mendapatkan bantuan dari beberapa pihak, maka pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa hormat dan ucapan terima kasih yang setulusnya kepada :

1. Kedua orang tua yang sangat dihormati yang senantiasa membimbing, ,memperhatikan dan menyediakan segala apa yang diperlukan dalam segala hal sampai saat ini.

2. Bapak Prof. DR. Runtung, SH., M.H, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. DR. Budiman Ginting, SH., M.H, selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Prof. DR. Syafruddin Hasibuan, SH, MH. DFM, selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Prof. DR. O.K. Saidin, SH., MHum, selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Bapak Dr. H. Hasim Purba, SH., M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(4)

7. Bapak Prof. Tan Kamello, SH., MS, selaku Dosen Pembimbing I yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk penulis dalam membimbing dan mengarahkan serta memberikan masukan yang berguna pada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

8. Ibu Zulfi Chairi, SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II yang telah bersedia meluangkan waktunya dan selalu sabar dalam membimbing penulis dan mengarahkan serta memberi banyak masukan yang sangat membantu dan berguna bagi penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

9. Bapak Zulkifli, SH. MH, selaku Dosen Penasehat Akademik Penulis yang telah membimbing penulis selama penulis melaksanakan perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

10. Seluruh Dosen dan Staf Pengajar yang pernah mengajar penulis selama penulis menjalani pendidikan akademis di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

11. Seluruh Staf di bagian Pendidikan, yang telah membantu penulis dalam urusan administrasi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

12. Seluruh Staf Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah membantu penulis dalam menyediakan bahan-bahan yang dibutuhkan penulis dalam penyusunan skripsi ini.

13. Kepada Abang dan Adik penulis, Arthur Suryadharma Samosir, Alfred Dachnial Samosir, Angelica Marghareth Samosir, yang telah mendoakan, menyayangi, dan mendukung penulis sampai saat penulis menyelesaikan skripsi ini.


(5)

14. Kepada sahabat-sahabat sekaligus saudari yang dalam suka dan duka saling melengkapi yaitu Giovany Purba, Rahmaeni Zebua, Kristina Sitanggang, Mentari Hagayna Pelawi, Evi Lestari Situmorang, Emma Sijabat, Deni Yanti Sitinjak, dan Jelita Wati Panjaitan.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu penulis mohon maaf kepada pembaca skripsi ini karena keterbatasan pengetahuan oleh penulis. Besar harapan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan perkembangan hukum di Negara Republik Indonesia.

Medan, Juni 2014. Penulis,


(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

ABSTRAK ... vi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 8

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 8

D. Keaslian Penulisan ... 9

E. Metode Penelitian... 10

F. Sistematika Penulisan ... 13

BAB II PERJANJIAN KREDIT DAN KREDIT MACET A. Tinjauan Umum tentang Perjanjian Kredit ... 16

1. Pengertian Perjanjian ... 16

2. Asas-asas Perjanjian ... 17

3. Syarat Sah Perjanjian ... 19

4. Pengertian Kredit ... 22

5. Pengertian Perjanjian Kredit ... 24

B. Tinjauan Umum tentang Kredit Macet ... 27

1. Pengertian Kredit Macet ... 27

2. Faktor-faktor Penyebab Munculnya Kredit Macet ... 30

3. Penyelesaian Kredit Macet ... 33

BAB III JAMINAN FIDUSIA DAN EKSEKUSINYA A. Tinjauan Umum TentangJaminan Fidusia ... 35

1. Pengertian Fidusia dan Jaminan Fidusia ... 35

2. Asas-asas Jaminan Fidusia ... 38

3. Subjek dan Objek Jaminan Fidusia ... 43


(7)

5. Hapusnya Jaminan Fidusia ... 50

B. Tinjauan Umum Tentang Eksekusi Jaminan Fidusia ... 53

1. Pengertian Eksekusi ... 53

2. Asas-asasEksekusi... 56

3. Eksekusi Menurut HIR/Rbg ... 60

4. Eksekusi Jaminan Fidusia menurut Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 ... 62

BAB IV PENYELESAIAN KREDIT MACET DENGAN JAMINAN FIDUSIA(STUDIPT. PEGADAIAN (PERSERO) KANWIL I MEDAN) A. Keabsahan Eksekusi di Bawah Tangan Yang dilakukan PT. Pegadaian (Persero) Kanwil I Medan dalam Hal Terjadinya Kredit Macet ... 66

B. Pelaksanaan Eksekusi Objek Jaminan Fidusia oleh Pihak PT. Pegadaian (Persero) Kanwil I Medan dalam Hal Terjadinya Kredit Macet ... 70

C. Hambatan-hambatan dalam Eksekusi Objek Jaminan pada PT. Pegadaian (Persero) Kanwil I Medan dan Upaya Penyelesaiannya ... 81

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 85

B. Saran ... 86

DAFTAR PUSTAKA ... 88 LAMPIRAN


(8)

ABSTRAK

Pegadaian merupakan lembaga yang berperan untuk meningkatkan perekonomian dengan cara memberikan pinjaman berdasarkan hukum gadai kepada masyarakat kecil, agar terhindar dari praktek pinjaman dengan bunga yang tinggi. Seiring dengan perkembangan dunia usaha dan kebutuhan masyarakat yang semakin kompleks, pegadaian menambah bidang usaha antara lain pemberian kredit angsuran dengan sistem fidusia, karena dengan sistem fidusia ini dianggap bisa mengatasi kesulitan-kesulitan masyarakat khususnya pengusaha kecil dalam memperoleh kredit dengan jaminan benda tanpa menyerahkan benda jaminannya agar benda jaminan tersebut masih dapat digunakan guna mendukung usahanya.

Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah mengenai penyelesaian kredit macet dengan jaminan fidusia pada PT. Pegadaian (Persero) Kanwil I Medan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana keabsahan eksekusi di bawah tangan yang dilakukan pegadaian dalam hal terjadinya kredit macet serta untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan eksekusi objek jaminan fidusia oleh pihak pegadaian dalam hal terjadinya kredit macet juga hambatan dan penyelesaiannya dalam eksekusi objek jaminan tersebut. Penelitian ini menggunakan metode normatif dan empiris yaitu dengan menggunakan meneliti data primer dan data sekunder. Data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari lapangan dengan menggunakan wawancara, serta data sekunder adalah berupa studi kepustakaan. Analisis data dalam penulisan ini menggunakan analisis data kualitatif kemudian disimpulkan secara deskriptif.

Hasil penelitian yang diperoleh: 1) Penjualan di bawah tangan mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan eksekusi jaminan fidusia dimana sudah diatur dalam Undang-Undang Jaminan Fidusia Nomor 42 Tahun 1999 dan juga dengan dibuatnya akta pernyataan dan akta kuasa menjual oleh pihak pegadaian sehingga pihak pegadaian dapa tmenjual jaminan tanpa persetujuan dari debitur. 2) Berdasarkan hasil penelitian dalam menyelesaikan kredit macet apabila pemberi fidusia tersebut cidera janji, pihak Pegadaian kanwil I Medan cenderung melakukan penjualan di bawah tangan agar diperoleh harga yang tinggi. 3) Sehubungan dengan pelaksanaan eksekusi objek jaminan fidusia ditemui beberapa hambatan yaitu: memakan waktu yang cukup lama, barang jaminan dijual, nilai barang jaminan turun, barang jaminan tidak sesuai daya guna, debitur pindah alamat serta musnahnya barang jaminan. Upaya penyelesaiannya yaitu dengan melibatkan debitur untuk menunjuk kemana barang jaminan dialihkan serta melakukan pelaporan kepada kepolisian.


(9)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Negara Indonesia saat ini sedang giat-giatnya melaksanakan pembangunan Nasional demi mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur berdasarkan pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Dalam melanjutkan pembangunan baik pemerintah maupun masyarakat, baik perseorangan maupun badan hukum, pasti memerlukan dana besar. Di samping itu, kehidupan masyarakat pun tidak terlepas dari berbagai kebutuhan dan untuk memenuhi kebutuhan tersebut sifatnya terbatas, sehingga dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan tersebut dibutuhkan dana. Dana ini dapat berasal dari kekayaan sendiri maupun dari pinjaman yang bersumber dari lembaga keuangan baik lembaga keuangan bank maupun bukan bank. Lembaga keuangan tersebut diharapkan dapat memberikan kredit dengan syarat-syarat yang tidak memberatkan masyarakat dan jaminan ringan kepada masyarakat luas, khususnya kredit golongan ekonomi menengah ke bawah yang banyak menginginkan kredit untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, sedangkan digolongan ekonomi menengah ke atas dipergunakan untuk menambah modal usaha.1

Lembaga keuangan Bank (Bank Financial Institution) adalah badan usaha yang melakukan kegiatan dibidang keuangan dengan menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk

1

Rachmadi Usman, Aspek-aspek Hukum Perbankan di Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta: 2001, hlm. 156.


(10)

pinjaman. Lembaga keuangan bukan Bank (Nonbank Financial Institution) adalah badan usaha yang melakukan kegiatan dibidang keuangan yang secara langsung atau tidak langsung menghimpun dana dengan jalan mengeluarkan surat berharga dan menyalurkannya ke dalam masyarakat guna membiayai investasi perusahaan.2

Salah satu bentuk perusahaan lembaga keuangan bukan bank yang memberikan kredit pada masyarakat terutama golongan ekonomi menengah ke bawah dengan menggunakan jaminan berupa barang bergerak yaitu Pegadaian. Perusahaan Umum (Perum) pegadaian adalah Badan Usaha Milik Negara sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1969, yang bidang usahanya berada dalam lingkup tugas dan kewenangan Menteri Keuangan, di mana seluruh modalnya dimiliki Negara berupa kekayaan Negara yang dipisahkan dan tidak terbagi atas saham.

Perusahaan umum pegadaian merupakan satu-satunya badan usaha di Indonesia yang secara resmi mempunyai izin untuk melaksanakan kegiatan lembaga keuangan berupa pembiayaan dalam bentuk penyaluran dana kepada masyarakat atas dasar hukum gadai seperti dimaksud dalam Pasal 1150 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Perum Pegadaian berubah hukumnya menjadi PT Pegadaian (Persero) terhitung mulai tanggal 1 April 2012 dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) 51/2011 tanggal 13 Desember 2011.3

Pegadaian menyediakan pinjaman uang dengan jaminan berupa barang berharga. Meminjam uang ke Pegadaian bukan saja prosedurnya yang mudah dan cepat, biaya yang dibebankan pun lebih ringan apabila dibandingkan dengan

2

Muhammad Abdulkadir, Lembaga Keuangan dan Pembiayaan, Citra Aditya Bakti, Bandung: 2000, hlm.18.


(11)

pelepas uang lainnya. Hal ini dilakukan sesuai dengan salah satu tujuan dari Pegadaian dalam pemberian pinjaman kepada masyarakat dengan motto

Mengatasi Masalah Tanpa Masalah‟. Selain itu Pegadaian juga berperan untuk menghindarkan masyarakat dari rentenir dan bank gelap yang biasanya menetapkan suku bunga pinjaman yang sangat tinggi, yang nantinya hanya akan membuat mereka terjerat dalam masalah yang lebih rumit yaitu dalam hal pengembalian hutang.

Sejalan dengan semakin banyaknya kebutuhan masyarakat, semakin banyak pula muncul kasus seperti pihak debitur enggan menyerahkan kekuasaan atas barang tersebut kepada kreditur, sementara pihak kreditur tidak mempunyai kepentingan, bahkan kerepotan jika barang tersebut diserahkan kepadanya. Karena itulah dibutuhkan adanya satu bentuk jaminan hutang yang objeknya masih tergolong benda bergerak tetapi tanpa menyerahkan kekuasaan atas benda tersebut kepada pihak kreditur. Ada kalanya pihak kreditur dan pihak debitur sama-sama tidak berkeberatan agar diikatkan jaminan hutang berupa gadai atas hutang yang dibuatnya, tetapi barang yang dijaminkan karena sesuatu dan lain hal tidak dapat diserahkan kepemilikannya kepada hak kreditur.4

Pada akhirnya, muncullah bentuk jaminan baru yang objeknya benda bergerak, tetapi kekuasaan atas benda tersebut tidak beralih dari debitur kepada kreditur, inilah yang dinamakan jaminan fidusia. Terbentuknya lembaga fidusia yang tumbuh dalam praktek karena ada kebutuhan akan suatu lembaga jaminan kebendaan bagi benda bergerak berupa benda modal usaha dengan tidak perlu

4


(12)

melakukan penyerahan benda jaminannya dan cukup hanya menyerahkan hak miliknya secara kepercayaan.5

Salah satu kredit yang dijalankan sekarang oleh PT. Pegadaian (Persero) Kanwil I Medan adalah perjanjian kredit dengan jaminan fidusia yang dikenal dengan jasa Kreasi (Kredit Angsuran Fidusia) . Kebijakan tersebut diambil dalam rangka menyesuaikan perkembangan dunia usaha dan kebutuhan masyarakat yang semakin kompleks. Jaminan fidusia merupakan salah satu bentuk jaminan yang timbul untuk melengkapi kekurangan pada gadai. Nasabah PT Pegadaian terdiri dari masyarakat golongan ekonomi lemah yang kurang mendapat pelayanan dari lembaga keuangan atau perbankan, sehingga masyarakat menengah ke bawah memerlukan pinjaman secara mudah dan cepat.

Jasa kredit dengan jaminan fidusia ini dibentuk agar barang jaminan tersebut masih bisa digunakan oleh debitur guna mendukung usahanya meskipun telah dijadikan sebagai objek jaminan. PT. Pegadaian (Persero) Kanwil I Medan dalam memberikan pinjaman/kredit tersebut menerapkan jaminan fidusia untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di dunia, sehingga debitur dengan jaminan fidusia tersebut bisa diberikan pinjaman uang tanpa menyerahkan barang jaminannya kepada kreditur.

Pemberian kredit dengan jaminan fidusia ini terdapat dua pihak yang terlibat, yaitu kreditur sebagai pihak yang menerima fidusia disebut “pemegang

fidusia” dan debitur sebagai pihak yang menjaminkan barang disebut “pemberi

fidusia”. Setiap pemberian kredit harus diikuti dengan suatu penjaminan guna pengamanan kredit yang telah diberikan. Debitur menyerahkan benda fidusia

5

Djuhaendah Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lain yang Melekat Pada Tanah Dalam Konsepsi Penetapan Asas Pemisahan Horizontal, Citra Aditya Bakti, Bandung: 1996, hlm. 287.


(13)

sebagai jaminan atas pelunasan hutang-hutangnya terhadap kreditur dalam hal terjadi perjanjian kredit. Jaminan penting demi menjaga keamanan dan memberikan kepastian hukum bagi kreditur untuk mendapatkan kembali atau mendapatkan kepastian mengenai pengembalian uang pinjaman yang telah diberikan oleh kreditur kepada debitur sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan dan disepakati bersama. Barang yang menjadi objek fidusia tersebut tidak diserahkan oleh debitur (masyarakat) kepada kreditur (pegadaian), sehingga barang-barang yang dijaminkan berada di bawah kekuasaan debitur.

Pihak debitur dalam pelaksanaannya hanya dapat mengisi blangko setelah isi perjanjian tersebut sudah disepakati oleh pihak debitur dan pihak kreditur (pegadaian). Setiap orang baik individu maupun kelompok dalam melakukan perjanjian kredit dengan pihak pegadaian harus mengetahui hak dan kewajibannya, karena suatu perjanjian akan menimbulkan hak dan kewajiban manakala kedua belah pihak telah sepakat. Pasal 1338 KUH Perdata disebutkan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya dan perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat para pihak atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Syarat terpenting pula yaitu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik, maksudnya adalah si penerima kredit akan mengembalikan pinjaman yang diterimanya sesuai dengan jangka waktu dan syarat-syarat yang telah disetujui oleh kedua belah pihak.

Perjanjian biasanya memuat mengenai peminjam-pakai (pemilik asal) dapat mempergunakan benda fidusia sesuai dengan maksud dan tujuannya, dengan kewajiban untuk memelihara dan memperbaiki semua kerusakan benda fidusia


(14)

atas biaya dan tanggungan debitur atau peminjam sendiri. Peminjam-pakai dilarang untuk menyewakan benda fidusia kepada orang lain, tanpa izin dari penerima fidusia.6

Penerima fidusia memperjanjikan bahwa ia atau kuasanya sewaktu-waktu berhak untuk melihat adanya dan keadaan dari benda fidusia dan melakukan atau suruh melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan oleh pemberi fidusia. Apabila ia lalai untuk melakukannya, maka kesemuanya dibebankan dan menjadi tanggungan pemberi fidusia tersebut.7

Banyak dijumpai berbagai masalah dalam pemberian kredit dengan jaminan fidusia pada PT. Pegadaian (Persero) seperti debitur yang tidak melaksanakan kewajibannya membayar angsuran atau cidera janji. Apabila debitur tidak mampu lagi melunasi utangnya dalam perjanjian kredit dengan jaminan fidusia ini, maka pihak pegadaian berhak untuk melakukan eksekusi objek barang jaminan fidusia.

Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia memberikan kemudahan dalam pelaksanaan eksekusi. Eksekusi jaminan fidusia tersebut berbentuk penyitaan dan penjualan benda yang menjadi objek jaminan fidusia. Penyebab timbulnya eksekusi jaminan fidusia ini adalah karena debitur atau pemberi fidusia cidera janji atau tidak memenuhi prestasinya tepat pada waktunya kepada penerima fidusia, walaupun pemberi fidusia telah diberikan somasi.

6

Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Jaminan Fidusia, Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2003, hlm. 28.

7


(15)

Ada 3 (tiga) cara eksekusi benda jaminan fidusia yang diatur dalam Pasal 29 Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999, yaitu:

1. Apabila debitur atau pemberi fidusia cidera janji, eksekusi terhadap benda yang menjadi objek jaminan fidusia dapat dilakukan dengan cara:

a. Pelaksanaan titel eksekutorial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) oleh penerima fidusia;

b. Penjualan benda yang menjadi objek jaminan fidusia atas kekuasaan penerima fidusia sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan;

c. Penjualan di bawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan pemberi dan penerima fidusia jika dengan cara demikian dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan para pihak.

2. Pelaksanaan penjualan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c dilakukan setelah lewat waktu 1 (satu) bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh pemberi dan penerima fidusia kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan diumumkan sedikitnya dalam 2 (dua) surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan.

Berdasarkan pra penelitian yang dilakukan pada PT. Pegadaian (persero) Kanwil I Medan, bahwa menurut bagian Humas Pegadaian tersebut, tidak semua benda yang dibebani dengan jaminan fidusia didaftarkan pada Kantor Pendaftaran Fidusia. Praktik di lapangan membuktikan bahwa pihak pegadaian tetap melaksanakan eksekusi walaupun objek jaminan tersebut tidak didaftarkan yaitu dengan eksekusi di bawah tangan. Hal tersebut bertentangan dengan Undang-undang Jaminan Fidusia yang mewajibkan dilakukannya pendaftaran objek jaminan fidusia pada Kantor Pendaftaran Fidusia. Jadi pihak pegadaian seharusnya tidak dapat melakukan eksekusi terhadap objek jaminan fidusia yang tidak didaftarkan tersebut.

Pelaksanaan eksekusi objek jaminan fidusia yang telah didaftarkan juga tak luput dari berbagai hambatan. Hambatan yang muncul seringkali merugikan pihak pegadaian pada saat melakukan eksekusi karena benda yang menjadi objek jaminan fidusia tidak cukup melunasi utang debitur atau bahkan tidak jelas


(16)

keberadaannya. Hambatan tersebut juga tidak selamanya merupakan kesalahan debitur karena suatu hal yang diluar kuasa debitur, seperti terjadinya penurunan harga barang dan peristiwa alam yang mengakibatkan objek jaminan fidusia tersebut musnah.

Berdasarkan uraian di atas, maka dilakukanlah penelitian guna penyusunan penulisan hukum dengan mengambil judul ”Tinjauan Hukum Terhadap Penyelesaian Kredit Macet dengan Jaminan Fidusia (studi pada PT. Pegadaian (Persero) Kanwil I Medan)”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah tersebut di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana keabsahan eksekusi di bawah tangan yang dilakukan PT. Pegadaian (Persero) Kanwil I Medan dalam hal terjadinya kredit macet ? 2. Bagaimana pelaksanaan eksekusi objek jaminan fidusia oleh Pihak PT.

Pegadaian (Persero) Kanwil I Medan dalam hal terjadinya kredit macet? 3. Apa saja hambatan-hambatan dalam eksekusi objek jaminan Fidusia pada PT.

Pegadaian (Persero) Kanwil I Medan dan upaya penyelesaiannya?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penelitian

Bertitik tolak pada rumusan masalah yang telah diuraikan di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk :

a. Menjelaskan keabsahan eksekusi di bawah tangan yang dilakukan PT. Pegadaian (Persero) Kanwil I Medan dalam hal terjadinya kredit macet


(17)

b. Mengetahui dan mengkaji pelaksanaan eksekusi objek jaminan fidusia oleh Pihak PT. Pegadaian (Persero) Kanwil I Medan dalam hal terjadinya kredit macet

c. Mengetahui dan memberikan solusi hukum untuk mengatasi hambatan-hambatan dalam eksekusi objek jaminan fidusia pada PT. Pegadaian (Persero) Kanwil I Medan.

2. Manfaat Penelitian

Manfaat dalam penulisan ini yang akan dicapai, yaitu: a. Manfaat Teoretis

Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan hukum, khususnya hukum jaminan yang berkaitan dengan pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia dalam rangka penyelesaian kredit macet sesuai dengan Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.

b. Manfaat Praktis

1) Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi masyarakat untuk dapat dijadikan bahan masukan dalam rangka mengetahui pelaksanaan eksekusi menangani kredit macet dalam pemberian kredit dengan jaminan fidusia di PT. Pegadaian (Persero).

2) Hasil penelitian ini dapat menjadi sumber pengetahuan bagi para praktisi dalam upaya penyelesaian kredit macet dalam jaminan fidusia. D. Keaslian Penulisan

Karya ilmiah merupakan karya asli dari penulis. Menelusuri kepustakaan memang telah banyak karya ilmiah dan hasil penelitian tentang jaminan fidusia.


(18)

Namun berdasarkan pengamatan penulis, penelitian dengan fokus penyelesaian kredit macet dengan jaminan fidusia pada PT.Pegadaian (persero) Kanwil I Medan hingga saat ini belum pernah ada.

Pengujian tentang kesamaan dan keaslian judul yang diangkat di Perpustakaan Fakultas Hukum USU juga telah dilakukan dan dapat dilewati, maka ini juga dapat mendukung tentang keaslian penulisan.

Judul-judul yang telah ada di perpustakaan Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara yang mirip adalah “Penyelesaian Kredit Bermasalah melalui

Penjualan di Bawah Tangan atas Jaminan Fidusia di perum Pegadaian Cabang Tanjung Morawa (M. Syahril Ichlas 060200207) dan Penyelesaian Kredit Macet melalui Eksekusi atas Jaminan Fidusia (Tinjauan Yuridis dan Prektis pada PUPN Cabang Sumatera Utara / KP2LN Medan) (Hasintongan Pardede 990222019).

E. Metode Penelitian 1. Jenis dan sifat Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empiris, yang mengkaji pelaksanaan atau implementasi ketentuan hukum positif dan kontrak secara faktual pada setiap peristiwa hukum tertentu. Pengkajian tersebut bertujuan untuk memastikan apakah hasil penerapan pada peristiwa hukum itu sesuai atau tidak dengan ketentuan undang-undang atau kontrak. Metode penelitian ini menitikberatkan pada penelitian lapangan guna mendapatkan data primer dan untuk menunjangnya dilakukan penelitian kepustakaan guna memperoleh data sekunder.

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, untuk menggambarkan fakta-fakta empiris di lapangan dengan menggunakan analisa normatif sehingga fakta-fakta


(19)

tersebut mempunyai makna dan kaitan dengan permasalahan yang diteliti. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran secara rinci dan sistematis tentang permasalahan empiris di lapangan, kemudian dianalisis dengan bertitik tolak dari perundang-undangan dan pendapat para ahli, dan akhirnya didapatkan solusi hukum berdasarkan data yang diperoleh.

2. Objek Penelitian

Lokasi penelitian dilakukan di PT. Pegadaian (Persero) Kanwil I Medan

3. Alat Pengumpulan Data

Alat pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah studi dokumen yang merupakan langkah awal dari setiap penelitian hukum dengan menggunakan data sekunder dan pedoman wawancara. Pedoman wawancara tersebut tidak terstruktur karena hanya memuat garis besar tentang hal yang akan ditanyakan, selanjutnya dikembangkan sendiri oleh peneliti dengan teknik wawancara bebas guna mendapatkan data yang dibutuhkan. Wawancara dilakukan di PT. Pegadaian (Persero) Kanwil I Medan dengan Bapak Rendhi Prabowo, Legal Officer PT. Pegadaian (Persero) Kanwil I Medan.

4. Metode Pengumpulan Data

Kegiatan penelitian ini dilakukan dengan 2 (dua) metode pengumpulan data, yaitu dengan:

a. Penelitian Kepustakaan (Library Research)

Pada penelitian ini dilakukan pencarian dan pengumpulan bahan-bahan teori dari kepustakaan yang berhubungan dengan topik yang dibahas dari


(20)

berbagai buku dan literatur. Penelitian kepustakaan dilakukan dalam rangka memperoleh data sekunder, yaitu data yang sudah tersedia yang berasal dari8:

1) Bahan hukum primer yaitu dokumen peraturan yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak yang berwenang yang meliputi:

a) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

b) Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia c) Akta Perjanjian Kredit yang berlaku di PT. Pegadaian (Persero)

Kanwil I Medan

d) Memorandum-memorandum tentang jaminan kredit yang berlaku di PT. Pegadaian (Persero) Kanwil I Medan

2) Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer yang meliputi:

a) Literatur yang membahas mengenai masalah pegadaian b) Literatur yang membahas mengenai hukum perjanjian c) Literatur yang membahas mengenai hukum jaminan d) Literatur yang membahas mengenai hukum eksekusi

3) Bahan hukum tertier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus hukum, ensiklopedia, dan lain-lain.

b. Penelitian Lapangan (Field Research)

Penelitian lapangan dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh data primer, yaitu data yang langsung diperoleh dari sumbernya.

8

Soedikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta: 1988, hlm. 19.


(21)

5. Metode Analisis Data

Analisis data merupakan suatu cara pengolahan sumber atau informasi yang digunakan seseorang dalam memecahkan masalah sebelum mendapatkan jawaban yang tepat. Setelah pengumpulan data dilakukan dengan data primer dan data sekunder, data tersebut dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif, yakni dengan mengadakan pengamatan terhadap data maupun informasi yang diperoleh. 9 Penarikan kesimpulan pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode deduktif, yang diperoleh dalam penelitian baik data lapangan maupun data studi kepustakaan dihubungkan dengan ketentuan-ketentuan maupun asas-asas hukum yang terkait menyangkut permasalahan yang diteliti sehingga dihasilkan suatu kesimpulan umum.

F. Sistematika Penulisan

Guna memudahkan dan memahami isi dari skripsi ini, berikut disajikan sistematika penulisannya yang terbagi dalam beberapa bab dan masing-masing bab terbagi lagi dalam beberapa sub bab. Bab tersebut antara lain adalah :

BAB I PENDAHULUAN

Pada bab pendahuluan ini diuraikan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II PERJANJIAN KREDIT DAN KREDIT MACET

Pada bab ini diuraikan mengenai tinjauan umum tentang perjanjian kredit yang terdiri dari pengertian perjanjian, asas-asas perjanjian,

9


(22)

syarat sah perjanjian, pengertian kredit, dan pengertian perjanjian kredit, serta mengenai tinjauan umum tentang kredit macet yang terdiri dari pengertian kredit, faktor, faktor-faktor penyebab munculnya kredit macet, dan penyelesaian kredit macet.

BAB III TINJAUAN HUKUM TENTANG JAMINAN FIDUSIA DAN EKSEKUSINYA

Pada bab ini diuraikan mengenai tinjauan umum tentang jaminan fidusia yang terdiri dari pengertian fidusia dan jaminan fidusia, asas-asas jaminan fidusia, subjek dan objek jaminan fidusia, proses terjadinya jaminan fidusia, dan hapusnya jaminan fidusia, serta tinjauan umum tentang eksekusi jaminan fidusia yang terdiri dari pengertian eksekusi, asas-asas eksekusi, eksekusi menurut HIR/Rbg, dan eksekusi jaminan fidusia menurut Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999.

BAB IV PENYELESAIAN KREDIT MACET DENGAN JAMINAN FIDUSIA (STUDI PT. PEGADAIAN (PERSERO) KANWIL I MEDAN

Pada bab ini diuraikan mengenai keabsahan eksekusi di bawah tangan yang dilakukan PT. Pegadaian (Persero) Kanwil I Medan dalam hal terjadinya kredit macet, pelaksanaan eksekusi objek jaminan fidusia oleh pihak PT. Pegadaian (Persero) Kanwil I Medan dalam hal terjadinya kredit macet, serta hambatan-hambatan dalam eksekusi objek jaminan fidusia pada PT. Pegadaian (Persero) Kanwil I Medan dan upaya penyelesaiannya.


(23)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Pada bab ini dibuat kesimpulan dari uraian yang terdapat dalam bab-bab sebelumnya berdasarkan data-data yang diperoleh dan kemudian diakhiri dengan saran-saran yang diharapkan akan berguna bagi pembaca.


(24)

BAB II

PERJANJIAN KREDIT DAN KREDIT MACET

A. Tinjauan Umum tentang Perjanjian Kredit 1. Pengertian Perjanjian

Pasal 1313 KUHPerdata disebutkan mengenai pengertian persetujuan yaitu suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Rumusan tersebut digunakan istilah persetujuan dan bukan perjanjian, namun dengan kedua istilah yang berbeda ini kiranya tidak perlu dipertentangkan karena pada dasarnya apa yang dimaksudkan adalah sama, yaitu tercapainya kata sepakat dari kedua belah pihak.

Ketentuan pasal ini sebenarnya kurang lengkap karena pihak yang mengikatkan diri dalam perjanjian hanya satu pihak saja sementara sering kali dijumpai dalam perjanjian kedua belah pihak saling mengikatkan diri seperti perjanjian jual beli, sewa menyewa, tukar-menukar dimana para pihaknya saling mengikatkan diri sehingga keduanya mempunyai hak dan kewajiban yang timbal balik. Rumusan perjanjian seharusnya perlu ditambah dengan kata-kata “atau

saling mengikatkan diri satu sama lain”.10

Atas dasar kekurangan yang dikemukakan di atas maka perlu dirumuskan kembali apa yang dimaksud dengan perjanjian itu. Menurut M. Yahya Harahap perjanjian atau verbintennis mengandung pengertian suatu hubungan hukum kekayaan/harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak

10

Gatot Supramono, Perbankan dan Masalah Kredit Suatu tinjauan di Bidang Yuridis, Rineka Cipta, Jakarta: 2009, hlm. 163-164.


(25)

lain untuk menunaikan prestasinya.11 Menurut Tan Kamello perjanjian adalah suatu hubungan hukum antara dua orang atau lebih yang didasarkan pada kata sepakat mengenai objek tertentu dengan tujuan untuk menimbulkan akibat hukum.12

Berdasarkan pada beberapa pengertian perjanjian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa di dalam suatu perjanjian minimal harus ada dua pihak dimana kedua belah pihak saling bersepakat untuk menimbulkan suatu akibat hukum tertentu.

2. Asas-asas Perjanjian

Sebelum menguraikan lebih lanjut mengenai asas-asas perjanjian, perlu dijelaskan pengertian asas. Istilah asas merupakan terjemahan dari bahasa Latin

principium”, bahasa Inggris “principle” dan bahasa Belanda “beginsel”, yang

artinya dasar yaitu sesuatu yang menjadi tumpuan berpikir atau berpendapat.13 Paul Scholten menegaskan bahwa asas hukum merupakan pikiran-pikiran dasar yang terdapat di dalam dan di belakang sistem hukum, masing-masing dirumuskan dalam aturan-aturan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim yang berkenaan dengannya ketentuan-ketentuan dan keputusan-keputusan individual dapat dipandang sebagai penjabarannya. Sebagai kaidah penilaian, asas hukum itu mewujudkan kaidah hukum tertinggi dari suatu sistem hukum positif. Itu sebabnya asas hukum itu adalah pondasi dari sistem tersebut. Asas hukum

11

M. Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, Alumni, Jakarta: 1986, hlm. 6.

12

Hasil wawancara langsung dengan Prof. Dr. Tan Kamello S.H., M.S., Medan: 31 Mei 2014.

13

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta: 1990, hlm. 52.


(26)

mengemban fungsi ganda, yaitu sebagai fondasi dari sistem hukum positif dan sebagai batu uji kritis terhadap sistem hukum positif.14

Asas-asas dalam hukum perjanjian dikenal ada bermacam-macam, yaitu:15 a. Asas konsensualisme

Sesuai dengan artinya konsensualisme adalah kesepakatan, maka asas ini menetapkan bahwa terjadinya suatu perjanjian setelah terjadi kata sepakat dari kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian, dengan kesepakatan maka perjanjian menjadi sah dan mengikat kepada para pihak dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka. Asas ini dijumpai dalam Pasal 1320 KUHPerdata.

b. Asas kebebasan berkontrak

Asas ini menyebutkan bahwa setiap orang mempunyai kebebasan untuk mengadakan suatu perjanjian yang berisi apa saja dan macam apa saja, asalkan perjanjiannya tidak bertentangan dengan kepatutan, kebiasaan, dan undang-undang. Asas kebebasan berkontrak terdapat dalam Pasal 1339 KUHPerdata.

c. Asas kepribadian

Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seorang yang akan melakukan kontrak hanya untuk kepentingan perorangan. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUHPerdata. Konsekuensi dari asas kepribadian adalah pihak ketiga tidak dapat dimasukkan dalam perjanjian karena pihak tersebut berada di luar perjanjian dan tidak mungkin memberikan kata sepakat.

d. Asas itikad baik

Ketentuan tentang asas iktikad baik diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata yang menegaskan perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Apapun yang telah diperjanjikan oleh para pihak harus dilaksanakan dengan penuh kejujuran sesuai dengan maksud dan tujuannya. Asas itikad baik sesungguhnya tidak hanya ada pada waktu pelaksanaan perjanjian, akan tetapi pada waktu membuat perjanjian juga dilandasi dengan itikad baik, sehingga itikad baik antara pada waktu membuat perjanjian dengan pelaksanaan perjanjian sinkron.

e. Asas keadilan

Asas keadilan lebih tertuju pada isi dari perjanjian bahwa isi perjanjian harus mencerminkan adanya keadilan pada kedua belah pihak yang berjanji. Asas ini diatur pada Pasal 1320 KUHPerdata.

f. Asas kepatutan

Suatu perjanjian dibuat bukan hanya semata-mata memperhatikan ketentuan undang-undang, akan tetapi kedua belah pihak harus memperhatikan pula tentang kebiasaan, kesopanan, dan kepantasan yang berlaku di masyarakat sehingga perjanjian itu dibuat secara patut. Asas kepatutan diatur dalam Pasal 1337 KUHPerdata

14

Gunawan Widjaya dan Ahmad Yani, Op. Cit, hlm. 137.

15Ibid


(27)

g. Asas kepercayaan

Para pihak dalam melakukan perjanjian harus saling percaya satu sama lain. Kepercayaan itu menyangkut saling memenuhi kewajibannya seperti yang diperjanjikan.

3. Syarat Sah Perjanjian

Berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata, untuk sahnya suatu perjanjian para pihak harus memenuhi syarat-syarat tersebut di bawah ini :

a. Sepakat mereka yang mengikatkan diri

Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya mengandung makna bahwa para pihak yang membuat perjanjian telah sepakat atau ada persesuaian kemauan atau saling menyetujui kehendak masingmasing, yang dilahirkan oleh para pihak dengan tiada paksaan, kekeliruan dan penipuan. Persetujuan mana dapat dinyatakan secara tegas maupun secara diam-diam.16

b. Kecakapan untuk membuat perjanjian

Kecakapan adalah kemampuan para pihak bertindak membuat perjanjian. Pada prinsipnya semua orang mampu membuat perjanjian karena para pihak bebas menentukan bentuk perjanjian secara lisan atau tertulis. KUHPerdata tidak menentukan orang yang cakap bertindak secara hukum, namun sebaliknya menentukan orang-orang yang tidak memiliki kecakapan.

Pasal 1330 KUH Perdata disebutkan bahwa orang-orang yang tidak cakap untuk membuat perjanjian adalah :

1) Orang-orang yang belum dewasa.

16


(28)

2) Mereka yang ditaruh di bawah pengampunan.

3) Orang-orang perempuan dalam hal yang ditetapkan oleh undang-undang dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang-undang-undang telah melarang persetujuan tertentu.

Kemudian mengenai orang yang belum dewasa, siapakah yang termasuk orang-orang yang belum dewasa ternyata KUHPerdata tidak memberikan perinciannya oleh karena itu untuk mengetahui hal tersebut, perlu melihat beberapa ketentuan undang-undang untuk dapat dijadikan pedoman: 1) Pasal 6 Ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

disebutkan bahwa untuk melangsungkan perkawinan seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin dari kedua orang tuanya.

2) Pasal 1 angka 2 UU No.4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak disebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin.

Dari ketentuan-ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa orang yang berusia 21 tahun keatas disebut dewasa, kecuali di bawah umur tersebut yang bersangkutan pernah kawin. Orang yang umur belum genap 21 tahun sudah kawin dikatakan sudah dewasa, dengan perkawinan itu pasangan suami istri tersebut telah memiliki rumah tangga sendiri dan cakap bertindak sebagai orang dewasa.17

Pasal 433 KUHPerdata disebutkan mengenai orang-orang yang ditaruh di bawah pengampuan, yaitu setiap orang dewasa yang selalu berada dalam keadaan dungu, sakit otak, atau mata gelap. Selain itu juga orang yang karena perbuatannya boros dapat ditaruh di bawah pengampuan. Dalam perkembangan hukum, keadaan juga telah mengubah kedudukan wanita menjadi sama dengan kedudukan kaum pria. Di Negara Belanda sendiri

17


(29)

sejak tahun 1958 telah memiliki KUHPerdata yang baru, wanita telah cakap melakukan perbuatan hukum.18

c. Suatu hal tertentu

Berdasarkan Pasal 1333 KUH Perdata, suatu perjanjian harus mempunyai pokok suatu barang yang sedikit sudah ditentukan. Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak ditentukan/tertentu, asal saja jumlah itu kemudian dapat ditentukan/dihitung. Selanjutnya di dalam Pasal 1334 KUH Perdata dinyatakan pula bahwa barang-barang yang baru akan ada di kemudian hari dapat menjadi pokok suatu perjanjian. Dengan demikian jelas bahwa yang dapat menjadi pokok perjanjian ialah barang/benda yang sudah ada maupun barang/benda yang masih akan ada.

d. Suatu sebab yang halal

Kata “Causa” berasal dari bahasa latin artinya “Sebab”. Sebab adalah

suatu yang menyebabkan orang membuat perjanjian. Tetapi yang dimaksud dengan sebab dalam Pasal 1320 KUH Perdata bukanlah sebab dalam arti yang menyebabkan orang membuat perjanjian, melainkan sebab

dalam arti “isi perjanjian itu sendiri” yang menggambarkan tujuan yang akan dicapai oleh pihak-pihak. Akibat hukum perjanjian yang berisi sebab yang tidak halal ialah bahwa perjanjian itu batal demi hukum, dengan demikian tidak ada dasar untuk menuntut pemenuhan perjanjian di depan hakim, karena sejak semula dianggap tidak pernah ada perjanjian. Demikian juga apabila perjanjian yang dibuat itu tanpa sebab, ia dianggap tidak pernah ada.

18Ibid


(30)

Ilmu hukum mengenal empat unsur pokok yang harus ada agar suatu perbuatan hukum dapat disebut dengan perjanjian yang sah. Keempat unsur tersebut selanjutnya digolongkan ke dalam dua unsur pokok yang menyangkut subjek (pihak) yang mengadakan perjanjian (unsur subjektif) dan dua unsur pokok lainnya yang berhubungan langsung dengan objek perjanjian (unsur objektif). Unsur subjektif mencakup adanya unsur kesepakatan secara bebas dari para pihak yang berjanji, dan kecakapan dari pihak yang melaksanakan perjanjian. Unsur objektif meliputi keberadaan objek yang diperjanjikan dan objek tersebut harus sesuatu yang diperkenankan menurut hukum. Tidak dipenuhinya salah satu unsur dari keempat unsur tersebut menyebabkan cacat dalam perjanjian dan perjanjian tersebut diancam dengan kebatalan, baik dalam bentuk dapat dibatalkan (jika terdapat pelanggaran terhadap unsur subjektif), maupun batal demi hukum (dalam hal tidak terpenuhinya unsur objektif)

4. Pengertian Kredit

Istilah kredit bukan hal yang asing lagi dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat. Berbagai macam transaksi sudah banyak dijumpai seperti jual beli barang dengan cara kredit. Jual beli tersebut tidak dilakukan secara tunai, tetapi pembayaran harga barang dilakukan secara angsuran. Selain itu dijumpai pula banyak warga masyarakat yang menerima kredit dari lembaga perkreditan untuk kepentingan memenuhi kebutuhan hidupnya. Pada umumnya masyarakat mengartikan kredit sama dengan utang, karena setelah jangka waktu tertentu mereka wajib membayar dengan lunas.

Kata “kredit” berasal dari bahasa Yunani, yaitu Credere yang artinya adalah kepercayaan. Oleh karena itu dasar dari kredit adalah


(31)

kepercayaan.19Dengan demikian kredit menunjukkan hubungan kepercayaan antara pihak yang memberikan kredit (kreditur) dengan yang menerima kredit (debitur). Maksudnya adalah apabila seseorang memperoleh kredit maka mereka memperoleh kepercayaan, sedangkan bagi si pemberi kredit artinya memberikan kepercayaan kepada seseorang bahwa uang yang dipinjamkan pasti kembali. Seseorang atau semua badan usaha yang memberikan kredit percaya bahwa penerima kredit dimasa mendatang sanggup memenuhi segala sesuatu yang telah diperjanjikan itu meliputi waktu, syarat-syarat lainnya, prestasi dan kontraprestasinya. Kreditur percaya bahwa debitur dapat dipercaya kemampuannya untuk membayar lunas pinjaman setelah jangka waktu yang ditentukan.20

Kata “kredit” juga berasal dari bahasa Latin “creditus” yang berarti to trust. Kata “trust” itu sendiri berarti “kepercayaan”. Dengan demikian, walaupun

kata “kredit” telah berkembang, tetapi dalam tahap apapun dan kemanapun arah perkembangannya, kata “kredit” tetap mengandung usaha “kepercayaan”

walaupun sebenarnya kredit tidak hanya sekedar kepercayaan.

Savelberg mengatakan bahwa kredit mempunyai arti antara lain :21

a. Sebagai dasar dari setiap perikatan (verbintenis) dimana seseorang berhak menuntut sesuatu dari orang lain.

b. Sebagai jaminan, dimana seseorang menyerahkan sesuatu kepada orang lain dengan tujuan untuk memperoleh kembali apa yang diserahkan itu.

19

Thomas Suyanto (dkk), Dasar-dasar Perkreditan, edisi keempat, cetakan kesebelas, Gramedia Pustaka Umum, Jakarta: 2007, hlm.12.

20

Gatot Supramono, Op.Cit, hlm. 44.

21

Mariam Darus Badrulzaman, Bab-bab Tentang Creditverband, Gadai dan Fidusia, Penerbit Alumni,Bandung: 2003, hlm. 57.


(32)

Sementara pengertian kredit menurut Pasal 1 angka 11 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (selanjutnya disebut Undang-undang Perbankan) adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam bank untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.

Kredit yang diberikan oleh lembaga kredit didasarkan atas kepercayaan. Dengan demikian pemberian kredit merupakan pemberian kepercayaan. Dapat disimpulkan bahwa unsur yang terdapat dalam kredit ialah:22

a. Kepercayaan, yaitu keyakinan dari pemberi kredit bahwa prestasi yang diberikannya baik dalam bentuk uang, barang atau jasa akan benar-benar diterimanya kembali dalam jangka waktu tertentu dimasa yang akan datang.

b. Waktu, yaitu suatu masa yang memisahkan antara pemberian prestasi dengan kontraprestasi yang akan diterimanya pada masa yang akan datang. c. Degree of Risk, yaitu suatu tingkat risiko yang akan dihadapi sebagai akibat dari adanya jangka waktu yang memisahkan pemberian prestasi dengan kontraprestasi yang akan diterimanya dikemudian hari. Semakin lama kredit diberikan, semakin tinggi pula tingkat risikonya, karena terdapat unsur ketidaktentuan yang tidak dapat diperhitungkan. Dengan adanya unsur risiko inilah maka timbul jaminan dalam pemberian kredit. d. Prestasi, atau objek kredit itu tidak saja diberikan dalam bentuk uang,

tetapi juga dapat dalam bentuk barang atau jasa, namun karena kehidupan modern sekarang ini didasarkan uang, maka transaksi kredit yang menyangkut uanglah yang sering dijumpai dalam praktek perkreditan. 5. Pengertian Perjanjian Kredit

Perjanjian kredit mengacu kepada KUHPerdata yang merupakan salah satu bentuk perjanjian pinjam-meminjam yang diatur dalam buku III, Pasal 1754 KUH Perdata, yang berbunyi:

22

Thomas Suyanto (dkk), Dasar-dasar Perkreditan, Gramedia Pustaka Utama,Jakarta: 1993, hlm. 14.


(33)

“Pinjam-meminjam adalah perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang menghabis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan

keadaan yang sama pula.”

Perjanjian pinjam-meminjam ini mengandung makna yang luas yaitu objeknya adalah benda yang menghabis jika verbruiklening termasuk didalamnya uang, karenanya perjanjian kredit merupakan perjanjian yang bersifat riil yaitu bahwa terjadinya perjanjian kredit ditentukan oleh penyerahan uang oleh pihak kesatu kepada pihak lain dan bukan mengikatkan diri untuk menyerahkan uang dari uraian tersebut dapat dibedakan 2 (dua) kelompok perjanjian kredit:23

a. Perjanjian kredit uang.

b. Perjanjian kredit barang, misalnya perjanjian sewa beli dan perjanjian sewa guna usaha.

Perjanjian kredit merupakan “Perjanjian Pendahuluan” dari penyerahan

uang. Perjanjian pendahuluan ini merupakan hasil pemufakatan antara pemberi dan penerima pinjaman mengenai hubungan hukum antara keduanya. Perjanjian ini bersifat konsensuil oligatoir, yang dikuasai oleh Undang-undang Perbankan dan Bagian Umum KUH Perdata.24 Perjanjian kredit dapat diartikan sebagai suatu kesepakatan atau persetujuan antara kreditur dan debitur dalam hal penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, yang mewajibkan pihak lain (khususnya debitur) untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu

23 Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti. Bandung: 2001, hlm. 111.


(34)

dengan pemberian bunga kepada kreditur (sesuai kesepakatan) berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.25

Perjanjian kredit mempunyai fungsi yang penting baik bagi kreditur maupun bagi debitur yaitu sebagai perjanjian pokok artinya perjanjian kredit merupakan sesuatu yang menentukan batal atau tidak perjanjian lain yang mengikutinya, misalnya perjanjian pengikatan jaminan. Fungsi kedua adalah alat bukti mengenai batasan-batasan hak dan kewajiban antara debitur dan kreditur. Fungsi yang ketiga adalah sebagai panduan dalam perencanaan, pelaksanaan, pengorganisasian dan pengawasan pemberian kredit.

Perjanjian kredit dalam prakteknya mempunyai 2 (dua) bentuk, yakni: a. Perjanjian dalam bentuk akta di bawah tangan (Pasal 1874 KUH Perdata)

Akta bawah tangan mempunyai kekuatan hukum pembuktian apabila tanda tangan yang ada dalam akta tersebut diakui oleh yang menandatangani. Pentingnya legalisasi oleh Notaris yang mengakibatkan akta bawah tangan tersebut mempunyai kekuatan pembuktian seperti akta otentik agar akta dibawah tangan tersebut tidak mudah dibantah.

b. Perjanjian dalam bentuk akta otentik (Pasal 1868 KUH Perdata)

Akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna yang artinya akta otentik dianggap sah dan benar tanpa perlu membuktikan atau menyelidiki keabsahan tanda tangan dari para pihak.

Perjanjian kredit berakhir mengacu pada Pasal 1381 KUHPerdata dan berbagai praktek hukum lainnya yang timbul dalam hal pengakhiran perjanjian kredit. Hal ini dilakukan melalui:

25

Handri Raharjo, Cara Pintar Memilih dan Mengajukan Kredit ,Pustaka Yustisia, Yogyakarta: 2010, hlm. 6.


(35)

a. Pembayaran

b. Subrograsi (Pasal 1400 KUHPerdata)

c. Pembaharuan utang/novasi (Pasal 1413 KUHPerdataDebitur yang telah) d. Perjumpaan utang/ kompensasi (Pasal 1425 KUHPerdata)

B. Tinjauan Umum tentang Kredit Macet 1. Pengertian Kredit Macet

Fasilitas kredit yang diperoleh dari pihak kreditur tidak seluruhnya dapat dikembalikan utangnya dengan lancar sesuai dengan waktu yang telah diperjanjikan. Pada kenyataannya di dalam praktik selalu ada sebagian debitur yang tidak dapat mengembalikan kredit kepada kreditur yang telah meminjamkannya. Apabila debitur tidak dapat membayar lunas utangnya, maka tergambar perjalanan kredit menjadi terhenti atau macet.

Keadaan yang demikian apabila ditinjau dari segi hukum perdata disebut wanprestasi atau ingkar janji. Sebagaimana telah diketahui bahwa pemberian kredit merupakan perbuatan pinjam-meminjam uang dan pengembalian kredit atau membayar angsuran kredit disebut sebagai prestasi. Apabila debitur tidak membayar lunas utangnya setelah jangka waktu pengembalian tersebut terlewati, maka perbuatannya disebut wanprestasi. Wanprestasi itu tergolong atas 3 (tiga) macam perbuatan jika dihubungkan dengan kredit macet, perbuatan tersebut yaitu:26

a. Nasabah (debitur) sama sekali tidak tepat membayar angsuran kredit (beserta bunganya);

b. Nasabah (debitur) membayar sebagian angsuran kredit (beserta bunganya). Pembayaran angsuran kredit tidak dipersoalkan apakah nasabah (debitur) kurang membayar satu kali angsuran, tetap tergolong kreditnya sebagai kredit macet.

26


(36)

c. Nasabah (debitur) membayar lunas kredit (beserta bunganya) setelah jangka waktu yang diperjanjikan berakhir. Hal ini tidak termasuk nasabah membayar lunas setelah perpanjangan jangka waktu kredit yang telah disetujui kreditur atas permohonan debitur.

Dengan kata lain, kredit macet diartikan bahwa debitur tidak mampu melaksanakan prestasinya sesuai jangka waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian.

Kredit macet merupakan salah satu dari penggolongan kredit bermasalah. Istilah penggolongan kredit bermasalah merupakan istilah yang dipakai untuk menunjukkan penggolongan kolektibilitas kredit yang menggambarkan kualitas dari kredit itu sendiri.27Jadi, untuk menentukan apakah suatu kredit dikatakan bermasalah didasarkan pada kolektibilitas kreditnya. Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia No.7/ 2/ PBI/ 2005 tentang kualitas aktiva Bank Umum Pasal 13 ayat 3, kolektibilitas kredit terdiri dari 5 (lima) golongan, yaitu:

a. Lancar (pass), kredit digolongkan lancar apabila memenuhi kriteria di bawah ini:

1) Pembayaran tepat waktu, perkembangan rekening baik dan tidak ada tunggakan serta sesuai dengan persyaratan kredit;

2) Hubungan debitur dengan kreditur baik dan debitur selalu menyampaikan informasi keuangan secara teratur dan akurat; 3) Dokumentasi kredit lengkap dan pengikatan agunan kuat.

b. Dalam perhatian khusus (special mention), kredit digolongkan dalam perhatian khusus apabila memenuhi kriteria di bawah ini:

1) Terdapat tunggakan pembayaran pokok dan atau bunga sampai 90 (Sembilan puluh) hari;

27

Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung: 1996, hlm. 427.


(37)

2) Jarang mengalami cerukan;

3) Hubungan debitur dengan kreditur baik dan debitur selalu menyampaikan informasi keuangan secara teratur dan masih akurat;

4) Dokumentasi kredit lengkap dan pengikatan agunan kuat; 5) Pelanggaran perjanjian kredit tidak prinsipil.

c. Kurang lancar (substandard), kredit digolongkan kurang lancar apabila memenuhi kriteria di bawah ini:

1) Terdapat tunggakan pembayaran pokok dan atau bunga yang telah melampaui 90 (Sembilan puluh) hari sampai dengan 180 (seratus delapan puluh) hari;

2) Terdapat cerukan yang berulang kali khususnya untuk menutupi kerugian operasional dan kekurangan arus kas;

3) Hubungan debitur dengan kreditur memburuk dan informasi keuangan tidak dapat dipercaya;

4) Dokumentasi kredit kurang lengkap dan pengikatan agunan lemah; 5) Pelanggaran terhadap persyaratan pokok kredit;

6) Perpanjangan kredit untuk menyembunyikan kesulitan keuangan. d. Diragukan (doubtful), kredit digolongkan diragukan apabila memenuhi

kriteria di bawah ini:

1) Terdapat tunggakan pembayaran pokok dan atau bunga yang telah melampaui 180 (seratus delapan puluh) hari sampai dengan 270 (dua ratus tujuh puluh) hari;


(38)

2) Terjadi cerukan yang bersifat permanen khususnya untuk menutupi kerugian operasional dan kekurangan arus kas;

3) Hubungan debitur dengan kreditur semakin memburuk dan informasi keuangan tidak bersedia atau tidak dapat dipercaya; 4) Dokumentasi kredit tidak lengkap dan pengikatan agunan lemah; 5) Pelanggaran yang prinsipil terhadap persyaratan pokok dalam

perjanjian kredit;

e. Macet (loss), kredit digolongkan macet apabila memenuhi kriteria di bawah ini:

1) Terdapat tunggakan pembayaran pokok dan atau bunga yang telah melampaui 270 (dua ratus tujuh puluh) hari;

2) Dokumentasi kredit dan atau pengikatan agunan tidak ada.

Berdasarkan kolektifitas kredit tesebut diatas, kredit macet ialah kredit yang telah jatuh tempo, namun belum dilunasi dan tunggakan angsuran lebih dari 270 hari atau 9 bulan. Kredit macet juga dapat dikatakan ketika debitur tidak mampu lagi untuk mengangsur utang pokoknya dan bunga dari hasil usaha yang dimodali dengan fasilitas kredit.28

2. Faktor-faktor Penyebab Munculnya Kredit Macet

Faktor yang menyebabkan nasabah tidak melaksanakan kewajibannya melunasi utangnya menurut Salim H.S adalah sebagai berikut:29

a. Kondisi ekonomi nasabah/debitur

Pada umumnya, yang meminjam uang pada lembaga perbankan / non bank adalah nasabah/debitur menengah ke bawah. Mereka pada umumnya adalah para petani tembakau, pengusaha kecil, dan menengah. Sehingga

28

Mantayborbir, S., dkk.,Hukum Piutang dan Lelang Negara di Indonesia, Pustaka Bangsa, Medan: 2002, hlm. 23.

29

Salim HS, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia,Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2005, hlm. 270-274.


(39)

dalam mengembangkan usahanya selalu tergantung pada harga pasar yang berlaku. Di dalam prinsip ekonomi, bahwa semakin banyak barang yang dijual dipasar, maka semakin rendah harga barang tersebut. Hal ini tampak dari kebijakan petani tembakau, dimana mereka semua menanam tembakau. Tembakau ini melimpah, sehingga harga anjlok, sementara kebutuhan perusahaan sangat terbatas. Maka dengan sangat terpaksa mereka menjual harga tembakau dengan harga yang rendah. Sehingga pada gilirannya mereka tidak mampu membayar utang kredit pada lembaga perbankan, sementara uang yang diterima hanya cukup untuk membayar biaya pengelolaannya;

b. Kemauan debitur untuk membayar hutangnya sangat rendah

Rendahnya kemauan debitur untuk membayar hutang – hutangnya ini disebabkan karena jaminan yang digunakan oleh mereka adalah tanah milik orang lain. Terjadinya penggunaan tanah milik orang lain adalah disebabkan pemilik tanah membutuhkan uang, misalnya Rp 5.000.000,- (lima juta rupiah). Untuk mendapatkan uang tersebut, maka yang bersangkutan menyuruh orang lain untuk memperoleh kredit tersebut. Di dalam mengajukan permohonan kredit, debitur ini meminjam kredit dalam jumlah yang besar, misalnya Rp50.000.000,- (lima puluh juta rupiah), sehingga pada gilirannya ia tidak mampu membayar pinjaman pokok dan bunga kreditnya.

c. Nilai jaminan lebih kecil dari jumlah hutang pokok dan bunga

Pada saat dilakukan penilaian oleh lembaga perbankan/ non bank, bahwa objek jaminan yang dimiliki oleh nasabah dianggap cukup untuk membayar hutang pokok dan bunga, manakala ia tidak mampu membayar hutang. Namun, dalam kenyataan ternyata pada saat dilakukan pelelangan nilai jaminan itu tidak cukup untuk membayar hutang –hutangnya.

d. Usaha nasabah bangkrut

Setiap nasabah yang mengembangkan bisnis tidak menginginkan usahanya bangkrut. Mereka tetap menginginkan supaya usaha dagangnya tetap berjalan dan mendapat keuntungan sebanyak – banyaknya. Bangkrutnya usaha debitur ini disebabkan bisnis yang dikembangkan sangat banyak dan adanya pengaruh krisis ekonomi dan moneter. Misalnya, usaha yang utama mereka berdagang, tetapi mereka juga mengembangkan usaha di bidang transportasi, perkayuan, dan lain – lain. Banyaknya usaha yang dikembangkan nasabah ini membuat biaya yang dikeluarkan untuk mengembangkan usaha tersebut menjadi bertambah. Setiap penambah sebuah kegiatan usaha, maka akan bertambah modal yang dibutuhkan untuk itu. Krisis ekonomi dan moneter yang berkepanjangan berdampak negatif terhadap pengembangan usaha dari debitur, dimana debitur tidak mampu bersaing untuk mengembangkan usahanya karena besarnya biaya yang dikeluarkan untuk itu, sedangkan daya beli masyarakat sangat kurang/rendah.

e. Kredit yang diterima nasabah disalahgunakan

Di dalam usulan yang disampaikan kepada bank/non bank, nasabah telah menentukan tujuan kredit yang diajukannya, misalnya untuk investasi usaha, pengembangan usaha, pembangunan sarana dan prasarana investasi, dan lain-lain. Namun, mereka tidak menggunakan uang itu sebagaimana


(40)

mestinya. Mereka menggunakan kredit yang diterima untuk membeli mobil mewah, rumah, dan lain-lain.

f. Manajemen usaha nasabah sangat lemah

Pengelolaan bisnis harus disertai dengan manajemen yang baik. Artinya, nasabah di dalam mengembangkan usahanya mempunyai pengetahuan dan

skill yang berkaitan dengan pengelolaan usaha. Tanpa adanya hal itu, maka usaha nasabah/debitur tidak dapat berkembang dengan baik. Suatu manajemen dikatakan baik, apabila nasabah tersebut mempunyai catatan yang berkaitan dengan debit dan kredit (pemasukan dan pengeluaran). Umumnya, pengusaha ekonomi lemah di dalam mengembangkan usahanya tidak mempunyai catatan-catatan seperti tersebut di atas, sehingga mereka tidak mampu menghitung berapa jumlah keuntungan dan kerugian yang dideritanya.

g. Pembinaan kreditur terhadap nasabah sangat kurang

Keberhasilan nasabah di dalam pengembangan usahanya tidaklah terlepas dari usaha pembinaan yang dilakukan oleh kreditur terhadap nasabahnya. Pembinaan nasabah ini mencakup pembinaan skill, pembinaan manajemen, marketing, negosiasi. Selama ini kita melihat bahwa pembinaan yang dilakukan oleh lembaga perbankan terhadap nasabahnya sangat kurang. Pembinaan baru dilakukan oleh kreditur setelah debitur mengalami masalah di dalam pengembalian kreditnya. Para nasabah seharusnya diberikan keterampilan, baik skill, manajemen, marketing dan negosiasi. Sedangkan Bagir Manan berpendapat bahwa faktor-faktor yang merupakan sumber-sumber munculnya kredit macet dapat dikategorikan sebagai berikut:30

a. Faktor debitur

Ada kemungkinan debitur tertentu memang tidak memperhitungkan dengan cermat kemungkinan pelunasan pinjaman dengan teratur dan tepat waktu. Pinjaman dilakukan sekadar memanfaatkan berbagai peluang yang tidak begitu terjamin atau tidak dapat diketahui secara tepat kelangsungannya. Bahkan untuk debitur semacam ini sejak semula ada unsur spekulasi berlebihan bahkan kemungkinan itikad kurang baik untuk memenuhi segala kewajiban yang diperjanjikan. Tetapi kesulitan pelunasan pinjaman tidak semata-mata pada debitur yang kurang cermat atau yang serba berspekulasi. Debitur yang beritikad baik juga dapat terperosok pada kesulitan pengembalian pinjaman karena berbagai kondisi, baik yang ditimbulkan oleh debitur itu sendiri atau faktor – faktor di luarnya seperti kelesuan ekonomi, dan lain sebagainya.

b. Faktor kreditur

30

Gatot Supramono, sebagaimana dikutip dari Bagir Manan, Sarana Penanggulangan Kredit Macet Perbankan (Makalah), disampaikan pada acara Diskusi Terbuka Penyelesaian Kredit Macet Perbankan, diselenggarakan oleh Bank Indonesia, Jakarta, 4 dan 5 Oktober 1993, hlm. 269-271.


(41)

Kekurangcermatan kreditur pada saat memberikan pinjaman juga dapat menjadi sumber kredit macet. Kekurangcermatan tersebut dapat terjadi karena didorong melakukan ekspansi kegiatan yang berlebihan atau dorongan persaingan antara kreditur. Dorongan – dorongan ini menimbulkan kebijaksanaan (beleid) yang memberikan berbagai kemudahan sehingga menjadi kurang cermat dalam menilai jaminan (agunan atau penjamin), prospek usaha dan lain sebagainya. Keadaan ini akan makin diperburuk apabila aparat kreditur tidak menjaga integritas

dengan baik sehingga mudah “dibelai” calon debitur.

c. Faktor pemerintah

Kemacetan pengembalian pinjaman dapat pula bersumber dari berbagai tindakan atau kebijaksanaan pemerintah. Kebijaksanaan uang ketat (tight money policy), atau berbagai kebijaksanaan yang mempengaruhi kegiatan ekonomi tidak jarang menjadi sebab kesulitan mengembalikan pinjaman. Dalam hal benar-benar terbukti kebijaksanaan pemerintah merupakan penyebab kesulitan debitur melunasi pinjamannya. Maka sudah semestinya pemerintah ikut bertanggung jawab dan wajib berupaya memberikan kebijaksanaan yang tidak akan lebih menekan debitur.

d. Faktor masyarakat-khususnya kegiatan ekonomi masyarakat

Piutang negara adalah kredit yang diberikan atau diperoleh untuk menjalankan berbagai kegiatan ekonomi-perdagangan, industri dan sebagainya. Krisis ekonomi, kelesuan ekonomi, baik yang bersifat nasional maupun internasional (global) akan berakibat pula pada kemampuan debitur untuk memenuhi kewajibannya.

Berdasarkan beberapa pendapat ahli tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa yang menjadi faktor munculnya kredit macet adalah faktor debitur itu sendiri yaitu para debitur kurang memiliki kesadaran dalam melaksanakan tanggung-jawabnya untuk melunasi utang kreditnya, faktor kreditur yaitu kurangnya ketelitian kreditur dalam memberikan pinjaman kepada calon debitur dan juga kurangnya pembinaan terhadap debitur dalam hal menjalankan usahanya, serta faktor pemerintah dalam berbagai kebijaksanaanya yang pada umumnya sering memberatkan masyarakat yang otomatis memberatkan debitur dalam hal pengembalian pinjaman kredit.


(42)

Apabila kredit macet terjadi karena debitur tidak melaksanakan prestasinya sebagaimana terdapat dalam perjanjian kredit, maka sebelum melakukan eksekusi barang jaminan, debitur harus terlebih dahulu dinyatakan wanprestasi yang dilakukan melalui putusan pengadilan, untuk itu kreditur harus menggugat debitur atas dasar wanprestasi. Namun, sebelum menggugat debitur, kreditur harus melakukan somasi terlebih dahulu yang isinya agar debitur memenuhi prestasinya. Apabila debitur tidak juga memenuhi prestasinya, maka kreditur dapat menggugat debitur atas dasar wanprestasi yang oleh pengadilan diputuskan bahwa kreditur dapat melakukan eksekusi atas barang jaminan yang diberikan oleh debitur.

Eksekusi barang jaminan tidak hanya bergantung pada jangka waktu pembayaran kredit telah lewat atau tidak. Apabila debitur melakukan prestasi yang tidak sesuai dengan yang diperjanjikan, hal ini juga merupakan bentuk wanprestasi (keliru berprestasi atau melakukan tidak sebagaimana yang diperjanjikan) sehingga kreditur berhak untuk melaksanakan haknya mengeksekusi barang jaminan. Namun, biasanya sebelum membawa perkara kredit yang bermasalah ke jalur hukum, dilakukan upaya-upaya secara administrasi terlebih dahulu.


(43)

BAB III

JAMINAN FIDUSIA DAN EKSEKUSINYA

A. Tinjauan Umum tentang Jaminan Fidusia 1. Pengertian Fidusia dan Jaminan Fidusia

Fidusia berasal dari kata fiduciair atau fides, yang artinya kepercayaan, yakni penyerahan hak milik atas benda secara kepercayaan sebagai jaminan (agunan) bagi pelunasan piutang kreditur. Pemberi fidusia percaya bahwa penerima fidusia mau mengembalikan hak milik barang yang telah diserahkan setelah dilunasi utangnya, sebaliknya penerima fidusia percaya bahwa pemberi fidusia tidak akan menyalahgunakan barang jaminan yang berada dalam kekuasaannya. Penyerahan hak milik atas benda ini dimaksudkan hanya sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yaitu memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia (kreditur) terhadap kreditur lainnya.31

Pranata jaminan fidusia sudah dikenal dan diberlakukan dalam masyarakat hukum Romawi. Ada dua bentuk jaminan fidusia, yaitu Fiducia cum creditoire

dan fiducia cum amico.32Keduanya timbul dari perjanjian yang disebut pactum fiduciae yang kemudian diikuti dengan penyerahan hak atau in iure cessio. Pada bentuk yang pertama atau lengkapnya Fiducia cum creditoirecontracta yang berarti janji kepercayaan yang dibuat dengan kreditur, dikatakan bahwa debitur akan mengalihkan kepemilikan atas suatu benda kepada kreditur sebagai jaminan

31

Rachmadi Usman, Hukum Jaminan Keperdataan, Sinar Grafika, Jakarta: 2008, hlm. 151.

32


(44)

atas utangnya dengan kesepakatan bahwa kreditur akan mengalihkan kembali kepemilikan tersebut kepada debitur apabila utangnya sudah dibayar lunas.33

Apabila dihubungkan dengan sifat yang ada pada setiap pemegang hak, maka dikatakan bahwa debitur mempercayakan kewenangan atas suatu barang kepada kreditur untuk kepentingan kreditur sendiri (sebagai jaminan pemenuhan perikatan oleh kreditur).

Fidusia lazim disebut dengan istilah Fiduciare Eigendom Overdract (FEO) dalam berbagai literatur yaitu penyerahan hak milik berdasarkan atas kepercayaan. Pasal 1 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia yang selanjutnya disingkat UUJF dijumpai pengertian sebagai berikut:

“Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar

kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya

dialihkan tetap dalam penguasaan pemilik benda.”

“Jaminan fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap Kreditur

lainnya.”

Berdasarkan rumusan di atas, dapat diketahui unsur-unsur fidusia itu, yaitu: a. Pengalihan hak kepemilikan suatu benda;

b. Dilakukan atas dasar kepercayaan;

c. Kebendaannya tetap dalam penguasaan pemilik benda.

Dengan demikian diartikan bahwa dalam fidusia telah terjadi penyerahan dan pemindahan dalam kepemilikan atas suatu benda yang dilakukan atas dasar

fiduciair dengan syarat bahwa benda yang hak kepemilikannya tersebut

33


(45)

diserahkan dan dipindahkan kepada penerima fidusia tetap dalam penguasaan pemilik benda (pemberi fidusia). Dalam hal ini yang diserahkan dan dipindahkan itu dari pemiliknya kepada kreditur (penerima fidusia) adalah hak kepemilikan atas suatu benda yang dijadikan sebagai jaminan, sehingga hak kepemilikan secara yuridis atas benda yang dijaminkan beralih kepada kreditur (penerima gadai). Sementara itu hak kepemilikannya secara ekonomis atas benda yang dijaminkan tersebut tetap berada di tangan atau dalam penguasaan pemiliknya.34

A. Hamzah Senjum Manulang mengartikan fidusia sebagai suatu cara pengoperan hak milik dari pemiliknya (debitur) berdasarkan adanya perjanjian pokok (perjanjian utang piutang) kepada kreditur, akan tetapi yang diserahkan hanya haknya saja secara yuridise-levering dan hanya dimiliki oleh debitur, juga bukan lagi sebagai eigenaar maupun bezitter, melainkan hanya sebagai debitur atau hounder dan atas nama kreditur – eigenaar.35

Berdasarkan definisi jaminan fidusia pada Pasal 1 angka 2 UUJF terkandung unsur – unsur jaminan fidusia sebagai berikut :

a. Adanya hak jaminan ;

b. Adanya objek, yaitu benda yang bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda bergerak, khususnya bangunan yang tidak dibebani dengan hak tanggungan ini berkaitan dengan pembebanan jaminan rumah susun;

c. Benda menjadi objek jaminan tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia; dan

d. memberikan kedudukan yang utama kepada kreditur.

34Ibid

, hlm. 152.

35


(46)

Definisi yang diberikan UUJF juga dapat dikatakan bahwa dalam jaminan fidusia terjadi pengalihan hak kepemilikan. Pengalihan itu terjadi atas dasar kepercayaan dengan janji benda yang hak kepemilikannya dialihkan tetap dalam penguasaan pemilik benda.36

2. Asas-asas Jaminan Fidusia

Salah satu unsur yuridis dalam sistem hukum jaminan adalah asas hukum. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya asas hukum dalam suatu undang-undang. Secara umum ada beberapa asas yang berlaku bagi Hak Jaminan, baik Gadai, Fidusia, Hak Tanggungan, dan Hipotik. Menurut Sutan Remy Sjahdeni, asas-asas tersebut adalah.37

a. Hak jaminan memberikan kedudukan yang didahulukan bagi kreditur pemegang hak jaminan terhadap para kreditur lainnya

b. Hak jaminan merupakan hak accessoir terhadap perjanjian pokok yang dijamin tersebut. Perjanjian pokok yang dijamin tersebut ialah perjanjian utang piutang antara kreditur dan debitur. Artinya apabila perjanjian pokoknya berakhir, maka perjanjian hak jaminan demi hukum berakhir pula.

c. Hak jaminan memberikan hak separatis bagi kreditur pemegang hak jaminan itu bukan merupakan harta pailit dalam hal debitur dinyatakan pailit oleh pengadilan.

d. Hak jaminan merupakan hak kebendaan. Artinya, hak jaminan itu akan selalu melekat di atas benda tersebut (atau selalu mengikuti benda tersebut) kepada siapapun juga benda beralih kepemilikannya. Sifat kebendaan dari hak jaminan diatur dalam Pasal 528 Kitab Undang-undang Hukum Perdata e. Kreditur pemegang hak jaminan mempunyai kewenangan penuh untuk melakukan eksekusi atas hak jaminannya. Artinya, kreditur pemegang hak jaminan itu berwenang untuk menjual sendiri, baik berdasarkan penetapan pengadilan maupun berdasarkan kekuasaan yang diberikan undang-undang, benda yang dibebani dengan hak jaminan tersebut untuk melunasi piutangnya kepada debitur.

f. Karena hak jaminan merupakan hak kebendaan, maka hak jaminan berlaku bagi pihak ketiga. Oleh karena hak jaminan berlaku asas publisitas. Artinya hak jaminan tersebut harus didaftarkan di kantor pendaftaran hak

36

Gunawan Widjaya, Jaminan Fidusia, Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2003, hlm. 136.

37

Riduan Syahrani, Op.Cit, dikutip dari Sutan Remy Sjahdeni, Hak Jaminan Dan Kepailitan, Makalah yang disampaikan dalam sosialisasi Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999, Jakarta: 9-10 Mei 2000, hlm. 7.


(47)

jaminan yang bersangkutan. Asas publisitas tersebut dikecualikan bagi hak jaminan gadai.

Asas-asas hukum jaminan fidusia yang terdapat dalam UUJF adalah: a. Asas preferensi, yaitu bahwa kreditur penerima fidusia berkedudukan

sebagai kreditur yang diutamakan dari kreditur-kreditur lainnya. Asas ini dapat ditemukan dalam Pasal 1 Angka 2 UUJF. Lebih lanjut UUJF tidak memberikan pengertian tentang apa yang dimaksud dengan kreditur yang diutamakan dari kreditur kreditur lainnya. Namun, di bagian lain yakni Pasal 27 UUJF dijelaskan pengertian tentang hak yang didahulukan terhadap kreditur-kreditur lainnya. Hak yang didahulukan adalah hak penerima fidusia untuk mengambil pelunasan piuatangnya atas hasil eksekusi benda yang menjadi objek fidusia.

b. Asas bahwa jaminan fidusia tetap mengikuti benda yang menjadi objek jaminan fidusia dalam tangan siapapun benda tersebut berada. Pengakuan asas ini dalam UUJF menunjukkan bahwa jaminan fidusia merupakan hak kebendaan (zakelijkrecht) dan bukan hak perorangan (persoonlijkrecht). Dengan demikian, hak jaminan fidusia dapat dipertahankan terhadap siapapun juga dan berhak untuk menuntut siapa saja yang mengganggu hak tersebut. Pengakuan asas bahwa hak jaminan fidusia mengikuti bendanya dalam tangan siapapun benda itu berada memberikan kepastian hukum bagi kreditur pemegang jaminan fidusia untuk memperoleh pelunasan utang dari hasil penjualan objek jaminan fidusia apabila debitur pemberi jaminan fidusia wanprestasi. Kepastian hukum atas hak tersebut bukan saja benda jaminan masih berada pada debitur pemberi jaminan


(48)

fidusia bahkan ketika benda jaminan fidusia itu telah berada pada pihak ketiga.

c. Asas bahwa jaminan fidusia merupakan perjanjian ikutan yang lazim disebut asas asesoritas. Asas ini mengandung arti bahwa keberadaan jaminan fidusia ditentukan oleh perjanjian lain yakni perjanjian utama atau perjanjian principal. Perjanjian utama bagi jaminan fidusia adalah perjanjian utang piutang yang melahirkan utang yang dijamin dengan jaminan fidusia. Dalam UUJF Pasal 4, asas tersebut secara tegas dinyatakan bahwa jaminan fidusia merupakan perjanjian ikutan dari suatu perjanjian pokok. Pencantuman asas assesoritas adalah untuk menegaskan atau menghilangkan adanya keragu-raguan mengenai karakter jaminan fidusia apakah bersifat assessor atau merupakan perjanjian yang berdiri sendiri (zelfstandig). Asas assesoritas membawa konsekuensi hukum terhadap pengalihan hak atas piutang dari kreditur pemegang jaminan fidusia baru. Hal ini berarti terjadi pemindahan hak dan kewajiban dari kreditur pemegang jaminan fidusia lama kepada kreditur pemegang jaminan fidusia baru. Pihak yang menerima peralihan hak jaminan fidusia mendaftarkan perbuatan hukum (cessie) tersebut ke Kantor Pendaftaran Fidusia.38

d. Asas bahwa jaminan fidusia dapat diletakkan atas utang yang baru akan ada (kontinjen). Pasal 7 UUJF ditentukan bahwa objek jaminan fidusia dapat dibebankan kepada utang yang telah ada dan yang akan ada. Jaminan atas utang yang akan ada mengandung arti bahwa pada saat

38


(49)

dibuatnya akta jaminan fidusia, utang tersebut belum ada tetapi sudah diperjanjikan sebelumnya dalam jumlah tertentu.39

e. Asas bahwa jaminan fidusia dapat dibebankan terhadap benda yang akan ada. Pengaturan asas ini harus dilihat dalam kaitannya dengan sumber hukum jaminan yang diatur dalam Pasal 1131 KUH Perdata. Salah satu prinsip yang terkandung dalam pasal ini adalah bahwa benda yang akan ada milik debitur dapat dijadikan jaminan utang. Pengaturan asas ini adalah untuk mengantisipasi perkembangan dunia bisnis dan sekaligus dapat menjamin kelenturan objek jaminan fidusia yang terpaku pada benda yang sudah ada. Perwujudan asas tersebut merupakan penuangan cita-cita masyarakat dalam bidang hukum jaminan.

f. Asas bahwa jaminan fidusia dapat dibebankan terhadap bangunan/rumah yang terdapat di atas tanah milik orang lain. Dalam ilmu hukum asas ini disebut dengan asas pemisahan horizontal.40

g. Asas bahwa jaminan fidusia berisikan uraian secara detail terhadap subjek dan objek jaminan fidusia. Subjek jaminan fidusia yang dimaksud adalah identitas para pihak yakni pemberi dan penerima jaminan fidusia, sedangkan objek jaminan yang dimaksudkan adalah data perjanjian pokok yang dijaminan fidusia, uraian mengenai jaminan fidusia, nilai penjaminan dan nilai benda yang menjadi objek jaminan. Dalam ilmu hukum asas ini disebut asas spesialitas atau pertelaan.41

39

Tan Kamello, Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan yang didambakan, Alumni, Medan: 2004, hlm. 165.

40

Penjelasan Pasal 3 huruf a Undang-Undang Jaminan Fidusia 41Pasal 6 Undang-Undang Jaminan Fidusia


(1)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan

1. Keabsahan eksekusi di bawah tangan yang dilakukan PT. Pegadaian (Persero) Kanwil I Medan dalam hal terjadinya kredit macet mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan eksekusi jaminan fidusia atas dasar title eksekutorial ataupun melalui parate eksekusi, karena ketiga cara ini sudah diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia dalam Pasal 29 mengenai eksekusi jaminan fidusia. Adanya akta pernyataan dan akta kuasa menjual sebagaimana yang tertulis dalam perjanjian pokoknya semakin menguatkan sahnya dilakukan eksekusi di bawah tangan, sehingga penerima fidusia dapat menjual jaminan yang menjadi objek jaminan fidusia tersebut tanpa harus ada persetujuan lagi dari pemberi fidusia yang bertujuan untuk pelunasan utang.

2. Pelaksanaan eksekusi objek jaminan fidusia yang dilakukan oleh PT. Pegadaian (Persero) Kanwil I Medan dalam hal terjadinya kredit macet cenderung melakukan penjualan di bawah tangan dengan berdasar pada kesepakatan para pihak. Alasan ini untuk mencari pembeli yang tepat dengan harapan agar diperoleh harga yang tinggi. Selain itu cara ini dianggap tidak menghabiskan banyak biaya, tenaga dan waktu.

Eksekusi jaminan fidusia atas dasar title eksekutorial maupun melalui pelelangan umum akan memakan waktu yang lama dan biaya yang cukup mahal. Eksekusi jaminan fidusia dengan cara penjualan di bawah tangan lebih disukai oleh pihak pegadaian karena debitur dapat mencari sendiri pembeli


(2)

yang mau membeli barang jaminan berupa kendaraan bermotor baik roda dua maupun roda empat dengan harga yang tinggi / dikehendaki oleh pihak pegadaian. Dengan demikian eksekusi di bawah tangan akan memakan waktu yang singkat dan biaya yang murah.

3. Hambatan-hambatan dalam pelaksanaan eksekusi objek jaminan fidusia pada PT. Pegadaian (Persero) Kanwil I Medan apabila terjadi wanprestasi oleh debitur adalah; Memakan waktu yang cukup lama, barang jaminan dijual/dialihkan oleh debitur, nilai barang jaminan turun, barang jaminan tidak lagi sesuai daya guna, debitur pindah alamat tanpa pemberitahuan kepada kreditur, juga musnahnya objek jaminan fidusia.

Upaya penyelesaian yang dilakukan oleh PT. Pegadaian (Persero) Kanwil I Medan adalah meminta dan melibatkan penerima fasilitas (debitur) untuk menunjuk kemana barang jaminan dialihkan. Apabila upaya ini tidak berhasil maka langkah yang diambil adalah melakukan pelaporan adanya tindak pidana pengelapan kepada kepolisian.

B. Saran

Dalam hal penyadaran di bidang hukum, diperlukan adanya penegasan dalam Undang-undang Jaminan Fidusia yaitu dengan memberikan sanksi yang tegas dan jelas oleh para penegak hukum kepada mereka yang tidak mendaftarkan jaminan fidusianya.

Diharapkan eksekusi jaminan fidusia secara dasar title eksekutorial tidak terlalu lama prosesnya di Pengadilan. Ataupun jika melalui pelelangan umum tidak terlalu mahal biaya atas jasa kantor lelang. Apalagi nilai barang yang menjadi objek jaminan fidusia tidak sebanding dengan nilai jual dan biaya proses


(3)

melalui pelelangan umum dan berpekara di pengadilan sehingga para pihak tidak mengalami kerugian yang terlalu besar karena biaya yang mahal.

Sehubungan dengan tingkat pendidikan terutama pengetahuan masyarakat di bidang hukum dan pemahaman tentang jaminan fidusia yang belum terlalu dipahami oleh masyarakat, pihak pegadaian perlu kiranya mengadakan penyuluhan hukum kepada masyarakat untuk lebih meningkatkan kesadaran hukum mereka, terutama mengenai perjanjian kredit dengan konstruksi jaminan fidusia beserta segala dampak dan akibat yang ditimbulkannya.


(4)

DAFTAR PUSTAKA Buku

Abdulkadir, Muhammad , 2000. Lembaga Keuangan dan Pembiayaan, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Darus Badrulzaman, Mariam, 2001. Kompilasi Hukum Perikatan, Aditya Bakti, Bandung.

---, 2003. Bab-bab Tentang Creditverband, Gadai dan Fidusia, Alumni, Bandung.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta.

Djumhana, Muhammad, 1996. Hukum Perbankan di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Fuady, Munir, 2000. Hukum Perbankan Modern Berdasarkan Undang – Undang Tahun 1998, Buku Kesatu, Citra Aditya Bakti, Bandung.

---, 2000. Jaminan Fidusia, Citra Aditya Bakti, Bandung. Harahap, M. Yahya, 1986. Segi-segi Hukum Perjanjian, Alumni, Jakarta.

---, 1991. Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, cet.3, Gramedia, Jakarta.

Hasan, Djuhaendah, 1996.Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lain yang Melekat Pada Tanah Dalam Konsepsi Penetapan Asas Pemisahan Horizontal, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Kamello, Tan, 2004. Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan yang didambakan, Alumni, Medan.

Mertokusumo, Soedikno, 1988. Mengenal Hukum (SuatuPengantar), Liberty, Yogyakarta.

Moleong, Lexy, 2002Metode Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung.

Patrik, Purwahid dan Kashadi, 2005. Hukum Jaminan Edisi Revisi dengan UUHT, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang.

Raharjo, Handri, 2010. Cara Pintar Memilih dan Mengajukan Kredit, Pustaka Yustisia, Yogyakarta.


(5)

Salim, HS, 2005. Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, Raja Grafindo Persada,Jakarta.

Satrio, J, 1991. Hukum Jaminan, Hak-hak Kebendaan, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Soedewi Masjchun Sofwan, Sri, 1977. Beberapa Masalah Pelaksanaan Lembaga Jaminan Khususnya Fidusia di Dalam Praktek dan Pelaksanaannya di Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Bulaksmur, Yogyakarta.

Subekti, R dan R. Tjitrosudibio, 1989. Hukum Acara Perdata, cet. 3, Binacipta, Bandung.

---, 2004. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, cet. 34, Pradnya Paramita, Jakarta

Supramono, Gatot, 2009. Perbankan dan Masalah Kredit :Suatu Tinjauan, Djambatan, Jakarta.

Sutantio, Retnowulan dan Iskandar Oeripkartawinata, 1997. Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek, Mandar Maju, Bandung.

Suyanto, Thomas dkk, 1993. Dasar-dasar Perkreditan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

---, 2007. Dasar-dasar Perkreditan, edisi ke empat, cetakan ke sebelas, Gramedia Pustaka Umum, Jakarta.

Syahrani, Riduan, 2004. Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, Alumni, Bandung.

Usman, Rachmadi, 2001. Aspek-aspek Hukum Perbankan di Indonesia, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

---, 2008. Hukum Jaminan Keperdataan, Sinar Grafika.

Widjaja, Gunawan dan Ahmad Yani, 2003. Jaminan Fidusia, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Undang-Undang

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 1999 tanggal 30 September 1999 tentang Jaminan Fidusia.


(6)

Surat Edaran Nomor 11/US.2.00/2005 Tentang Pedoman Operasional Kredit Angsuran Sistem Fidusia.

Surat Edaran Nomor 51/ UL.4.00.22 4/2008 Tentang Prosedur Pengikatan Jaminan Fidusia Pada Kredit Kreasi.

Peraturan Bank Indonesia No.7/ 2/ PBI/ 2005 tentang Kualitas Aktiva Bank Umum.

Internet