Pendidikan Agama dan Guru Agama di Tengah Tantangan Radikalisme di Sekolah

II. Pendidikan Agama dan Guru Agama di Tengah Tantangan Radikalisme di Sekolah

A. Radikalisme

Radikalisme adalah sikap keagamaan yang ditandai oleh 4 hal: (1) sikap tidak toleran, tidak mau menghargai pendapat orang lain; (2) sikap fanatik, yaitu selalu merasa benar sendiri, menganggap orang lain salah; (3) sikap eksklusif, yaitu membedakan diri dari kebiasaan Islam kebanyakan dan mengklaim bahwa cara beragama merekalah yang paling benar, yang kaffah, dan cara beragama yang berbeda dari mereka sebagai salah, kafir dan sesat; (4) sikap revolusioner, yaitu cenderung menggunakan

kekerasan untuk mencapai tujuan. 2 Pada tingkatan yang ekstrem, pola keberagamaan yang seperti inilah yang memunculkan kelompok yang lebih dikenal dengan fundamentalisme yang melahirkan radikalisme. 3

Menurut Harun Nasution, mereka terjebak ke dalam cara pandang eksklusif seperti ini karena mereka tidak bisa membedakan antara agama dan keberagamaan. Agama (dalam arti nilai nilai agama) bersifat mutlak, sedangkan keberagamaan (yakni, bagaimana seseorang berproses mencapai nilai nilai agama) bersifat nisbi, artinya kebenaran dalam keberagamaan masih membuka peluang bagi hadirnya kebenaran yang lainnya. 4 Kultur keberagamaan yang muncul pada cara pandang eksklusif adalah tertutup, curiga, prasangka, stereotype, dan melakukan stigmatisasi terhadap kelompok agama yang berbeda dengan paham keberagamaan mereka.

Dalam konteks pendidikan agama, menurut Muhaimin, aksi kekerasan yang mengatasnamakan agama ditentukan oleh: (1) pandangan teologi agama dan doktrin ajarannya; (2) sikap dan perilaku pemeluknya; (3) lingkungan sosio kultural yang mengelilinginya (4) pengaruh dan pemuka agama, termasuk guru agama dalam mengarahkan pengikutnya/

anak didiknya. 5 Empat faktor ini akan terlihat ketika nilai dan norma

2 Rahimi Sabirin, Islam & Radikalisme, (Jakarta, Ar Rasyid: 2004) hlm. 5 3 Ibid 4 Harun Nasution, Theologi Islam, (jakarta, UII press, 1992) hlm.1-3

5 Muhaimin,” Urgensi Pendidikan Islam Multikultural untuk Menciptakan Toleransi dan Perdamaian di Indonesia (Kata Pengantar). (2011) dalam Ali Maksum, Pluralisme dan Multikulturalisme, Paradigma Baru Pendidikan agama Islam di Indonesia, (Yogyakarta, Aditya Media )

MAARIF Vol. 8, No. 1 — Juli 2013

Membangun Keberagamaan Inklusif-Dialogis di SMA PIRI I Yogyakarta

agama diajarkan kepada peserta didik agar mampu menjadi pandangan, sikap dan cara hidup (way of life) di tengah kemajemukan. Hal ini bisa menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi pendidikan agama berpotensi mengarah pada sikap toleran dan persatuan, tetapi juga dapat melahirkan intoleransi yang mengancam terjadinya disintegrasi. Hal ini tergantung pada pemahaman keagamaan guru, sikap dan metode yang digunakan guru dalam menanamkan nilai nilai keagamaan.

B. Peran Strategis Guru Agama

Keyakinan dan pemahaman keagamaan yang ditanamkan oleh guru kepada anak didiknya akan diekskpresikan di tengah kehidupan bermasyarakat.

Sebagaimana dikatakan oleh Jenny Teichman 6 bahwa semua tindakan dan cara orang bertindak dipengaruhi oleh keyakinan keyakinan mengenai apa yang baik dan yang buruk. Demikian juga Gage, sebagaimana dikutip Muhaimin menjelaskan bahwa perilaku guru merupakan “sumber pengaruh” sedangkan tingkah laku pembelajar dipandang sebagai efek

dari berbagai proses, tingkah laku dan kegiatan interaktif pembelajaran. 7 Ini berarti pola keberagamaan guru yang diekspresikannya dalam proses interaksi pembelajaran bersama peserta didiknya akan berimplikasi pada watak keberagamaan yang dimiliki pada anak didiknya: apakah ramah atau kasar, apakah eksklusif ataukah inklusif. Pada level selanjutnya akan terlihat, apakah proses pembelajarannya mampu mengtisipasi radikalisme, atau justru sebaliknya; guru agama sendiri secara tidak sadar telah ikut menjadi bagian yang justru mendorong tumbuhnya benih radikalisme. Data hasil survei yang dilakukan oleh Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah,

Jakarta tahun 2008 silam mengkonfirmasikan fenomena tersebut. 8 Wajar kiranya jika ada penilaian bahwa menguatnya paham radikalisme

di kalangan remaja di sekolah merupakan indikasi kegagalan pendidikan agama. Hal ini didukung hasil survey yang menyuguhkan informasi yang cukup mengundang kontroversi. Sebuah survei tentang radikalisme

6 Jenny Teichman, Etika Sosial, terj. A. Sudiarja, Sj (Yogyakarta: Kanisius,2003) cet ke 7, h.3. 7 Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2004) h. 94 8 Sebuah survei yang dirilis di Jakarta, hari Selasa 25/11/2008 yang menyimpulkan: kebanyakan

guru agama Islam di sekolah umum dan swasta di pulau Jawa menentang pluralisme, dan memelihara keberadaan radikalisme dan konservatisme (http://www.thejakartapost.com)

114 MAARIF Vol. 8, No. 1 — Juli 2013

Anis Farikhatin

yang dilakukan oleh LAKIP di 100 sekolah menengah di Jakarta dan sekitarnya menunjukkan hampir 50% pelajar mendukung cara-cara

keras dalam menghadapi masalah moralitas dan konflik keagamaan. 9 Selain menyebarkan questioner kepada sekitar 1.000 pelajar, LaKIP juga melakukan jajak pendapat di kalangan para guru mata pelajaran agama Islam di sekolah-sekolah yang disurvei. Hasilnya menunjukkan adanya trend radikalisasi di kalangan guru agama, meski dalam proporsi lebih

kecil. 10 “Hasil penelitian ini menunjukan adanya kegagalan PAI (Pendidikan

Agama Islam) dalam menumbuhkan sikap kebhinekaan,” kata Direktur Pelaksana LaKIP Ahmad Baedowi 11 . “Seharusnya kurikulum PAI mampu mengajarkan kebersamaan dan mempersiapkan siswa hidup dalam kemajemukan. Ini problem mendasar pengajaran PAI kita. PAI mesti diperbarui, para guru harus pula dilatih pemahaman tentang kebinekaan,” lanjut Baedowi

C. Pola Keberagamaan Inklusif-Dialogis

Salah satu pendekatan yang digunakan untuk memahami agama dalam konteks kemajemukan adalah pendekatan teologis inklusif –dialogis. Di tengah pergaulan global mau tidak mau penganut suatu agama harus mampu mendefinisikan dirinya dan menjelaskan keimananaya di tengah pergaulan umat agama lain. Penjelasan inilah yang akan menunjukkan posisinya, apakah sebagai seorang musuh atau sebagai seorang sahabat. Tentu saja masih adanya anggapan satu agama dengan yang lain sebagai musuh, harus dibuang jauh-jauh. Oleh karena itu butuh pendekatan teologi yang inklusif dialogis untuk memperoleh pemahaman yang sejuk dan bisa menganggap orang lain sebagai ‘partner’ dalam menuju Tuhan.

Dalam konteks ini, tentu saja pengajaran agama Islam yang diajarkan

9 Survei ini dikerjakan sejak Oktober 2010 hingga Januari 2011 oleh Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP), yang dipimpin oleh Prof Dr Bambang Pranowo --yang juga guru besar sosiologi Islam di Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta. Survei ini menyimpulkan bahwa lebih 63% siswa sekolah menengah pertama dan menengah atas mau melibatkan diri dalam tindakan-tindakan untuk menyegel rumah ibadah umat agama-agama lain.

10 Di antara 590 guru agama yang menjadi responden, 28,2 persen menyatakan setuju atau sangat setuju atas aksi-aksi kekerasan berbaju agama

11 dalam perbincangan dengan detikcom di kantor LaKIP, Menara Era, Jalan Pasar Senen, Jakarta Pusat, Kamis (28/4/2011) yang dimuat dalam Sumber : www.swatt-online .com, 29 April 2011

MAARIF Vol. 8, No. 1 — Juli 2013

Membangun Keberagamaan Inklusif-Dialogis di SMA PIRI I Yogyakarta

di sekolah-sekolah harus memuat kurikulum berbasis keanekaragaman (multikultural) agar tidak menciptakan suatu pemahaman yang monolitik dan tertutup. Pendidikan agama berwawasan multikultural menurut Dawam Raharjo dapat dipahami dengan satu kata kunci yaitu

ta’arruf (saling memahami) 12 . Dengan memahami keanekaragaman ras, etnis budaya dan agama diharapkan stigma yang mungkin melekat pada mereka dapat dieliminir. Fakta sosial menunjukkan, bahwa beberapa kasus konflik yang terjadi disebabkan karena stigma, salah paham dan sikap tertutup.

Pendidikan agama yang berwawasan multikultural berorientasi pada realitas persoalan yang sedang dihadapi bangsa Indonesia dan umat manusia secara keseluruhan. Yakni, pendidikan untuk merespon dinamika masyarakat Islam khususnya dalam interaksi sosial dan antar

agama. 13 Oleh karena itu kurikulum yang ada harus dapat menunjang proses siswa menjadi manusia yang demokratis, pluralis dan menekankan penghayatan hidup serta refleksi untuk menjadi manusia yang utuh. Materi yang memuat tema seperti: toleransi, bahaya diskriminasi, kemanusiaan, keadilan dan materi lain yang relevan perlu diajarkan.

Pendekatan teologi agama melalui dialog masing masing agama dilakukan untuk mencoba memahami bagaimana Tuhan memiliki jalan penyelamatan. Dialog ini akan memperkaya pemahaman diantara

pemeluk agama yang ada. 14 Dialog dalam konteks ini lebih jauh lagi dapat diperluas menjadi percakapan antara dua pihak atau lebih yang mengandung unsur keterbukaan, sikap kritis dan upaya untuk saling mendengar, saling belajar dan memahami orang lain secara lebih

mendalam 15 . Dialog tidak terbatas pada percakapan atau komunikasi verbal, tetapi sampai kepada aksi konkrit yang mengarah pada perubahan, dari yang tidak baik, tidak benar menjadi baik dan benar; dari yang luluh- lantak menjadi hidup kembali

12. Dawam Raharjo dalam: Budhy MunawarRachman. Reorientasi Pembaharuan Islam, Sekularisme. Liberalisme dan Pluralisme Paradigma Baru Islam Indonesia. Jakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF) 2010, h. liv

13 Ali Maksum . Pluralisme dan Multikulturalisme, Paradigma Baru Pendidikan Islam di Indonesia, Yogyakarta: Aditya Media 2011 cet pertama, hal. 229

14 Ngainun Na’im & Achmad Sauqi, Pendidikan Multikultural, Konsep dan Aplikasi, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2010 h.159

15 TH. Sumartana, “Menuju Dialog Antar Iman” (pengantar) dalam Dialog: Kritik & Identitas Agama . Yogyakarta: Dian Interidei, 2004 hlm. xxiii

116 MAARIF Vol. 8, No. 1 — Juli 2013

Anis Farikhatin

Dialog yang dilakukan dapat berupa: (1) dialog sebagai sesama manusia dan sesama mahluk Tuhan (dialogue of heart); (2) dialog untuk menegakkan nilai nilai kehidupan kemanusiaan (dialogue of life); (3) dialog untuk memperbincangkan Tuhan dan manusia dalam kedamaian (dialogue of peace ); (4) dialog Tuhan yang berbicara manusia (dialogue of silence). 16