MASA DEPAN PARTAI KEBANGKITAN BANGSA (PKB)
Peta Suara PKB pada Lumbung Suara Partai di Jawa Timur Pemilu 1999-2014
PEM ILIHAN UM UM LEGISLATIF - DPR RI DAPIL
KOTA/ KABUPATEN
% JATIM I
3 27.9 1 9.9 3 19.1 10 KURSI KOTA SURABAYA
KAB. SIDOARDJO
JATIM II
KAB.PASURUAN
7 KURSI
KAB.PROBOLINGGO
KOTA PASURUAN KOTA PROBOLINGGO
JATIM III KAB.BANYUWANGI 7 KURSI
KAB.BONDOWOSO
KAB.SITUBONDO JATIM IV KAB.JEMBER
8 KURSI
KAB.LUMAJANG
JATIM V
KAB.MALANG
8 KURSI
KOTA BATU
KOTA MALANG JATIM VI KAB.BLITAR 9 KURSI
KAB.KEDIRI KAB.TULUNGAGUNG
KOTA BLITAR KOTA KEDIRI
JATIM VII KAB.MAGETAN 8 KURSI
KAB.NGAWI KAB.PACITAN
KAB.PONOROGO KAB.TRENGGALEK
JATIM VIII KAB.JOMBANG 10 KURSI KAB.MADIUN
KAB.MOJOKERTO
KAB.NGANJUK KOTA MADIUN KOTA MOJOKERTO
JATIM IX KAB.BOJONEGORO 2 25.8 1 12.7 1 22 6 KURSI
KAB.TUBAN
JATIM X
2 43 1 15.7 1 19.6 6 KURSI
KAB.GRESIK
KAB.LAMONGAN JATIM XI KAB.BANGKALAN 8 KURSI
KAB.PAMEKASAN
KAB.SAMPANG KAB.SUMENEP
KURSI & RATA PERSEN PEM ILU 1999
KURSI & RATA PERSEN PEM ILU 2004
KURSI & RATA PERSEN PEM ILU 2009
KURSI & RATA PERSEN PEM ILU 2014 13 18%
Sumber : www.pemilu.asia.com
Dari perolehan suara Pemilu 1999-2014 di Provinsi Jawa Timur, terlihat adanya pergeseran suara pada basis atau lumbung suara Partai Kebangkitan bangsa pada jumlah kursi dan persentase yang di raih untuk Pemilu Legislatif DPR RI. Pemilu 1999 PKB mendapatkan total kursi 24 dengan persentase sebesar 36%. Pemilu 2004 total kursi 28 persentase 31%. Pemilu 2009 total kursi 11 persentase 12%. Pemilu 2014 total kursi 13 persentase 18%. Pada daerah Tapal Kuda yang merupakan basis PKB, secara jumlah kursi tidak terlalu jauh mempengaruhi, khususnya pada pemilu 2009 dan 2014 (jumlah raihan kursi terkait dengan perbedaan sistem pemilu). Namun, secara persentase terjadi pergeseran angka yang cukup signifikan. Penurunan persentase perolehan suara dari Pemilu 2004 ke Pemilu 2009 sebesar 23,83%, dan terjadi kenaikan pada Pemilu 2009 ke Pemilu 2014 sebesar 7,17%.
Mencermati perjalanan politik Partai Kebangkitan Bangsa, khususnya dan partai- partai Islam umum. Kita cermati memiliki pasang surut dinamika politik yang sama. Ada 2 (dua) hal yang perlu dicermati apakah penurunan dukungan pemilih terhadap partai-partai Islam itu disebabkan oleh persoalan internal parpol Islam atau penurunan itu disebabkan oleh kemajuan wawasan pemilih. Kemungkinan kedua-duanya menjadi faktor utama mengapa parpol Islam dalam pemilu era reformasi ini perolehan suaranya menurun secara relatif konsisten. Internal parpol Islam berkaitan dengan arah pengelolaan parpol Islam tersebut termasuk dalam cara parpol Islam mengemas ideologinya untuk diperkenalkan kepada
masyarakat. 53 Kemasan ideologi dan faktor dominan lainnya terkait dengan kejelasan platform partai, agenda partai, kepemimpinan dan kualitas kader, promosi dan marketing
politik, sumber dana dan kohesivitas partai. Sedangkan faktor eksternal terkait dengan kebijakan pemerintah (penetapan sistem pemilu, sistem kepartaian, sistem kampanye,
penyeragaman asas partai, pendanaan partai) dan perilaku politik pemilih. 54 Sisi lain, masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang berkembang dalam
beberapa tahun ini. Dan lima belas tahun terakhir ini mengindikasikan bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang terbuka untuk menerima pengaruh dari manapun, termasuk pengaruh modernisasi, ini menyangkut tidak saja cara hidup, tetapi juga cara berpikir dan juga penilaian terhadap partai-partai politik. Perkembangan ini memberikan pengaruh baik langsung maupun tidak langsung terhadap bagian masyarakat Indonesia yang mempunyai hak pilih dalam menentukan partainya pada saat pemilu. Sehingga langsung atau tidak langsung akan mempengaruhi penurunan suara partai-partai Islam.
53 Wawancara dengan Tommi Legowo, Peneliti Senior Formappi 54 Wawancara dengan Suswanta, Yogyakarta, 10 Juni 2015.
Dilihat dari sisi internal, persoalan partai Islam secara umum sama dengan persoalan yang dihadapi oleh partai-partai lain. Bisa dikatakan, bahwa secara terminologi partai Islam dewasa ini sesungguhnya problematik, setidaknya jika dilihat dari perspektif basis sosio kultural dan perilaku politik elitnya. Fakta pertama, Islam adalah agama mayoritas penduduk Indonesia, sehingga partai nasionalis basis massanya adalah juga muslim. Fakta kedua, reformasi memassifkan arus liberalisasi politik, sehingga melahirkan pragmatism politik yang membuat semua partai melakukan politik transaksional. Berdasarkan dua fakta tersebut, dikotomi partai Islam dan Non Islam (Nasionalis) menjadi tidak relevan atau hampir tidak ada, karena basis massanya sama-sama muslim, dan perilaku politik elitnya sama-sama
pragmatis. 55 Partai-partai pada umumnya di Indonesia adalah partai yang gagal mengelola sumber
dayanya. Di sini adalah sumber daya manusia maupun sumber daya material. Pada sumber daya manusia, partai-partai baik Islam maupun nasionalis tidak mampu mengembangkan diri secara internal memupuk keberdayaan anggotanya. Bayangkan saja menurut undang-undang, partai politik di Indonesia adalah partai yang mengelola keanggotaan. Jika ditelisik lebih jauh, benar tidaknya perintah undang-undang ini dijalankan oleh partai politik. Kalau partai politik mengelola daftar aggota dengan baik mereka tidak hanya mencatat nama. Tetapi memanfaatkan mereka, dan memanfaatkannya untuk membesarkan partai.
Dari segi pola cleavege, sebenarnya sudah mulai stabil. Dua payung identitas Islam dan nasional ini mulai stabil. Tetapi karena terbatasnya imajinasi dalam tokoh partai-partai Islam dalam hitungan satu dua tiga pemilu, Islam selalu diposisikan menjadi pemenang nomor dua. Ia belum muncul menjadi sebuah partai yang betul-betul diminati oleh para pemilih tengah, lalu menjadikan suara partai Islam di atas patai nasionalis. Ini belum terjadi. penggabungan di antara partai-partai Islampun, belum menunjukkan supremasinya. Yang menjadi masalah, mengapa partai Islam dalam tiga atau empat kali pemilu mendatang tetap
tidak bisa menyangi partai politik dengan basis nasionalis. 56 Padahal partai-partai Islam yang kini mendominasi dan menduduki peringkat partai
tengah yang ada seperti PPP, PKB,PKS dan PAN memiliki pangsa pasar pemilih tersendiri. PKB, PAN dan PKS sesungguhnya lebih memiliki kelabihan dibandingkan dengan PPP, karena memiliki basis massa yang jelas dan loyal yaitu Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dan aktifis da’wah kampus-kantor. PKB, loyalitas pemilih tradisional dan otoritas kiai menjadi faktor penentu kemenangan pemilu. PAN, pemilih lebih rasional dan kejelasan
55 Ibid 56 Wawancara dengan Ali Munhanif, Dosen FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta 55 Ibid 56 Wawancara dengan Ali Munhanif, Dosen FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta
berkontribusi terhadap perolehan suara partai. 57 Hingga kini kinerja elektoral partai Islam tetap tidak akan menjadi supremasi partai.
Karena pertama, sejauh ini belum ada partai Islam yang berhasil memunculkan figur nasional. Karena ketokohan yang karismatik tadi menjadi basis umum yang mengarahkan pemilih kita, sampai sekarang ini belum ada partai Islam yang melahirkan seorang tokoh yang bisa diterima tidak hanya di kalangan umat Islam tetapi di kalangan luar juga, kecuali Gus Dur yang gemilang menjadi ikon PKB. Gus Dur karena latar belakang intelektualnya, peran historisnya sebagai oposan Orde Baru, memayungi kelompok minoritas, menggalang kelompok-kelompok nasionalis sekuler dan seterusnya, menjadikan Gus Dur tampil sebagai tokoh yang relatif bisa diterima. Ini yang menjadikan kekuatan PKB saat itu.
Namun, pasca Gus Dur, belum menangkap seorang tokoh Muslim yang muncul di permukaan untuk bisa mengayomi minoritas, menggalang kekuatan dengan kelompok sekuler, menyerap banyak kelas sosial, ini menjadikan partai Islam untuk dua tiga kali pemilu belum tampil menjadi yang nomor satu. Yang berikutnya, imajinasi para politisi Muslim untuk menunjukkan diri sebagai orang yang mampu memerintah juga belum ada. Sejauh ini partai-partai Islam kurang mampu melahirkan politisi profesional dalam pengertian kecakapan dia untuk memerintah sehingga politisinya juga didera masalah-masalah ideologis sehingga tokoh ini tidak mampu menjadi tokoh nasional.
Sebaliknya partai-partai nasionalis sangat cakap untuk melahirkan tokoh yang bisa diterima, mampu memerintah, meskipun kemudian muncul sebagai strong men seperti yang terlihat pada SBY. Tetapi yang penting adalah mereka tampak bisa tampil mengayomi banyak kelompok, ini yang juga menjadi hal yang bisa merugikan partai-partai Islam dan di masa depan juga terus menerus ditantang untuk melahirkan ketokohan organisasi partai yang diterima semua orang. Ini merupakan tantangan, transformasi dari ideologis ke identitas,
partai islam yang inklusif semakin terdorong untuk menjawab tantangan ini. 58 Faktor-faktor penentu masa depan partai Islam dengan mendorong agenda untuk lebih
eksis dan kontributif seperti pertama, rasionalisasi jumlah partai ke titik minimal. Artinya, tidak harus tunggal, tetapi dua atau tiga agar fragmentasi partai Islam tidak terlalu banyak.
57 Wawancara dengan Suswanta, Yogyakarta, 10 Juni 2015. 58 Wawancara dengan Ali Munhanif, Dosen FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Kedua, platform dan agenda partai harus jelas dan kongkret. Ketiga, tidak terjebak pragmatisme politik yang melahirkan politik transaksional. Keempat, bekerja nyata untuk kepentingan umat dan bangsa secara berkelanjutan. Kelima, membangun pola kepemimpinan agar mampu melahirkan tokoh teladan. Keenam, membangun pelembagaan partai yang baik
(penguatan platform, kaderisasi, rekruitmen dan kohesivitas). 59 Saat ini sebenarnya banyak sekali segmen masyarakat Muslim yang berlatar belakang
santri. Itu mempunyai kecakapan yang baik untuk bisa direkrut sebagai calon pimpinan partai dan lalu kemudian diharapkan mampu mengubah wajah partai untuk tampil sebagai partai yang teknokratis. Tanpa memiliki karakter sebagai partai yang teknokratik, partai Islam akan terjerembab ke dalam stigma partai ideologis, dan ini merugikan. Sehingga dengan tampil sebagai partai teknokratis, memiliki program dan kebijakan, seperti kebijakan ekonomi yang jelas, tidak lagi mengandalkan jaringan-jaringan lama, tetapi lebih luas dan mulai merekrut berbagai kalangan. Akhirnya, transformasi dari partai yang sifatnya ideologis ke teknokratis memerlukan waktu yang lama dan strategi yang komprehensif.
59 Wawancara dengan Suswanta, Yogyakarta, 10 Juni 2015.
Daftar Pustaka
Anggaran Dasar Partai Kebangkitan Bangsa Pasal 3,4 dan 5 Barton, Greg, 1997 Indonesia’s Nurcholish Madjid and Abdurrahman Wahid as Intellectual
ulama: the meeting of Islamic traditionalism and Modernism in neo-Modernist thought, in: Islam and Christian-Muslim Relations, 8, 3, 1997.
Bush, Robin, Nahdlatul Ulama and the Struggle for Power within Islam and Politics in Indonesia, Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2009. Choirie, A. Effendy, Islam-Nasionalisme UMNO-PKB Studi Komparasi dan Diplomasi, Jakarta: Pensil-234, 2008. Chusnunia. “Konflik Gus Dur-Muhaimin Iskandar Dalam Tubuh Partai Kebangkitan Bangsa Tahun 2008,” dalam Tesis diProgram Pascasarjana Universitas Nasional Jakarta Program Magister Ilmu Politik. Jakarta: Universitas Nasional, 2011.
Dhakiri, Muhammad Hanif dan kawan-kawan, PKB Masa Depan. Jakarta: DPP Partai Kebangkitan Bangsa, 2006. Dirdjosanjoto, Pradjarta, Memelihara Umat: Kiai Pesantren-Kiai Langgar di Jawa.
Yogyakarta: LKiS, 2013. Fachry Ali, Membangun Kekuatan Politik Umat, 1998 Firman Noor, “Institutionalising Islamic Political Parties in Indonesia: A Study of Internal
Fragmentation and Cohesion in the Post-Soeharto Era (1998-2008)”, Disertasi, (London: University of Exeter).
Firmanzah, Persaingan Legitimasi Kekuasaan dan Marketing Politik-Pembelajaran Politik Pemilu 2009, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2010
Firmanzah. Mengelola Partai Politik: Komunikasi dan Positioning Ideologi Politik di Era Demokrasi. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011
Halim, Abdul, Aswaja Politisi Nahdlatul Ulama: Perspektif Hermeneutika Gadamer. Jakarta: LP3ES, 2014.
Hamad, ibnu, Konstruksi realitas politik dalam media massa: sebuah study critical disourse analysis terhadap berita –berita politik ; pengantar. harsono suwardi – edisi 1, Jakarta: granit, 2004.
Hamayotsu, Kikue, The End of Political Islam? A Comparative Analysis of Religious Parties in the Muslim Democracy of Indonesia, in: Asian Journal of Current Southeast Affairs, 30, 3, 2011.
Hanif Dhakhiri dan TB Massa Djafar, Struktur Politik Partai Kebangkitan Bangsa¸Jurnal Kajian Politik dan Masalah Pembangunan, Volume 11 No 1, Universitas Nasional Jakarta, 2015
Horikoshi, Hiroko Kiai dan Perubahan Sosial. Jakarta: P3M, 1984. Jakarta Post, Chinese-Indonesians and NU pray for sick ‘father’ Gus Dur, 7 September, 2009 Kang Young Soon, Antara Tradisi dan Konflik: Kepolitikan Nahdlatul Ulama, Ph.D Thesis,
(Jakarta: Program Pasca Sarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2008), hlm. 400. Kholid Novianto, al Chaidar, Era Baru Indonesia : Sosialisasi Pemikiran Amien Rais,
Hamzah Haz, Nur mahmudi, Matori Abdul Djalil dan Yusril Ihza Mahendra, Cetakan
I, Jakarta : pt raja grafindo Persada, 1999. Kompas, 5 April 1999 Mabda Syiasi Partai Kebangkitan Bangsa. Jakarta; DPP PKB, 2004. Machmudi, Yon, From Cultural to Political Brokers: The Decline of Traditionalist Muslim
Party in Indonesia, paper presented at the Annual Meeting of the Association for Asian Studies, Honolulu, Hawaii, 1 April 2011.
Mahrus Irsyam, Ulama dan Partai Politik, Upaya Mengatasi Krisis, (Jakarta: Yayasan Perkhidamatan, 1984)
Muhaimin Iskandar, “Fundamental Politik Partai Kerja Modern: PKB Lima Tahun Ke Depan”, in A Muhaimin Iskandar, Melampaui Demokrasi Merawat Bangsa dengan Visi Ulama. Refleksi Sewindu Partai Kebangkitan Bangsa, Jogjakarta: Klik.R, 2006.
Nahrowi, Imam, Moralitas Politik PKB. Malang: Averroes, 2006 Sejarah berdirinya Partai Kebangkitan Bangsa, www.dpp.pkb.or.id Vicky Randall dan Lars Svasand.’Party Institutionalization In New Democracies’, Party
Politics, vol. 8, no.1, 2008 Wawancara dengan Ali Munhanif, Dosen FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta
Wawancara dengan Tommi Legowo, Peneliti Senior Formappi Wawancara dengan Suswanta, Yogyakarta, 10 Juni 2015. Zhuhairi Asmawi, Plurarisme Pasca Gus Dur, Tekno.kompas.com. diakses pada 21
September 2015 jam 02.24 WIB.