Metode Penelitian Fenomenologis

A. Metode Penelitian Fenomenologis

Metode dalam penelitian ini adalah menggunakan metode fenomenologi. Namun karena masalah penelitian ini memiliki aspek­aspek historis yang harus diungkap maka penelitian ini juga diperlengkapi dengan metode Historical Sociology of mentality (Sosiologi Sejarah Mentalitas).

1. Metode Fenomenologi Fenomenologi sebagai metode penelitian telah mengalami perkembangan yang sangat pesat, yang pada sisi yang lain juga telah memunculkan beberapa perspektif. Salah satu diantaranya adalah fenomenologi reflektif atau fenomenologi transendental 89 . Tentu membahas perkembangan aliran dan

perbedaan metode fenomonelogi adalah bukan menjadi maksud penelitian ini. Sebaliknya untuk kepentingan penelitian ini perlu ditegaskan bahwa metode fenomenologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah merujuk kepada fenomenologi yang digagas oleh Edmund Husserl (1859­1938) yang pada intinya, sebagaimana disimpulkan oleh J.J. Kockelmans dalam bagian pengantar bukunya ”The Philosophy of Edmund Husserl” dinyatakan bahwa gagasan pokok (mean idea) fenomenologi Husserl adalah memandang tugas ilmu­ilmu sosial itu berada pada bentangan garis (interval) yang memiliki dua kutub ekstrem. Di satu pihak, ilmu­ilmu sosial bertugas melukiskan realitas sosial setepat mungkin serta menjelaskannya sebagai obyek, di pihak lain bertugas untuk memahami realitas sosial sebagaimana adanya dalam subyek. Di antara dua kutub itu, fenomenologi bertindak sebagai ”jembatan” (bridging) yang menghubungkan realitas subyektif ”di sini” dengan realitas obyektif yang ada ”di luar sana”. Dengan peranannya sebagai jembatan itu ­­sebagaimana dikemukakan oleh Max Scheler,

89 Di samping fenomenologi transendental (transcendental phenomenology) juga ada dialogical phenomenology, existential phenomenology, hermeneutic phenomenology, dan empirical

phenomenology (lihat John W. Creswell, Qualitative Inquiry and Research Design, SAGE Publication, 1998, hal. 53).

fenomenologi menjadi jalan yang mengarah pada penyingkapan suatu hakekat atau esensi 90 . Jadi dalam perpektif fenomeologi realitas subyektif dan realitas

obyektif itu bukan ibarat dua sisi sebuah kepingan. Tugas ilmu­ilmu sosial juga bukan untuk memilih salah satu sisi dari seuatu kepingan itu.

Dengan bertitik tolak dari jalan pikiran Kockelmans dan Scheler di atas secara sederhana perlu dinyatakan di sini bahwa ”hakekat” yang akan disingkap dalam penelitian ini pada intinya adalah tentang ”bagaimana makna profesionalisme yang ada dalam alam kesadaran perwira menengah TNI Angkatan Darat”.

Untuk menuju kearah penyingkapan hakekat tersebut, di samping menetapkan metode­metode yang bisa berfungsi sebagai jembatan, langkah yang harus dilakukan adalah Bracketing atau tahap reduksi fenomenologi yang dalam metode Fenomenologi berarti ”menangguhkan lebih dulu” keyakinan, anggapan­ anggapan umum, dan prasangka­prasangka teoritik di sekitar fenomena yang akan diungkap sehingga fenomena tersebut terlepas dari penilaian­penilaian tertentu, sampai ditemukan landasannya berupa pengalaman­pengalaman murni dari

Subyek Penelitian. Penangguhan inilah yang oleh Husserl disebut epoche 91 . Di dalam penelitian ini bracketing akan dilakukan terhadap pandangan­

pandangan dan asumsi­asumsi teoritik yang berkaitan erat dengan masalah profesionalisme militer sebagaimana telah dibahas pada bagian terdahulu; yang telah terekonstruksi melalui kajian pustaka, yang dikelompokkan pada dua kategori yaitu: nomotetis dan ideografis. Yang bersifat nomotetis adalah postulat­ postulat teoritik yang dikemukakan para ahli militer terutama oleh Huntington mengenai profesionalisme militer yang di dalam khazanah studi militer disebut Old professionalism, apabila diderivasikan (diturunkan) untuk memberi penilaian (judgment) masalah profesionalisme TNI pernyataan akan berbunyi sbb:

1) Bahwa keahlian utama perwira adalah manajemen kekerasan, oleh sebab itu seorang perwira pada dasarnya adalah seorang manajer kekerasan.

2) Bahwa wilayah peran militer itu hanya di bidang keamanan militer dan berfungsi sebagai alat pertahanan.

90 J.J. Kockelmans (ed). The Philosophy of Edmund Huserl, New York, 1967. 91 John Creswell, Ibid., hal. 52.

3) Bahwa perwira itu dididik dan dilatih untuk memimpin pertempuran dalam perang (saja).

Sedangkan yang tergolong ideografis adalah deskripsi sejarah dari perpektif sosiologis mengenai tradisi ketentaraan di Indonesia, berbagai pandangan dan pemikiran para pendiri dan perintis TNI, serta UU No 34 Th. 2004 mengenai TNI, yang antara lain dalam pasal 2 ayat (d) Bab II Undang­Undang RI no 34 tahun 2004, yang berbunyi:

”Tentara Profesional, yaitu tentara yang terlatih, terdidik, diperlengkapi secara baik, tidak berpolitik praktis, tidak berbisnis, dan dijamin kesejahteraannya, serta mengikuti kebijakan politik negara yang menganut prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia, ketentuan hukum nasional, dan hukum internasional

yang telah diratifikasi” 92 .

Kiranya perlu dijelaskan di sini Bracketing adalah tidak sama dengan hipotetis dalam tradisi penelitian kuantitatif positivistik dimana dalam pendekatan penelitian semacam itu hipotesis adalah menjadi sasaran pembuktian penelitian. Adapun Bracketing adalah lebih merupakan sebuah ”giro kompas” atau ”mercu suar”, yang memberi informasi mengenai ancar­ancar dimana posisi ”petualangan” penelitian fenomenologis dilakukan atau kemana haluan ”biduk” penelitian harus diarahkan. Jadi membuktikan benar tidaknya atau cocok tidaknya pandangan dan asumsi teoritik yang ditahan di dalam kurung dengan pemahaman Subyek Penelitian adalah bukan tujuan sejatinya dari penelitian ini.

Oleh sebab itu masalah jarak antara masa pendidikan militer pertama Subyek Penelitian dengan waktu disahkannya Undang Undang No 34 tahun 2004, misalnya, juga bisa dikesampingkan. Memang Subyek Penelitian adalah lulusan Akademi Militer paruh kedua tahun 80­an, sedangkan Undang­Undang tersebut baru disahkan pada tahun 2004, terpaut sekitar 15 tahun. Hal tersebut secara teoritik bisa berarti penyelengaran pendidikan yang dilaksanakan di akademi militer waktu itu belum dijiwai oleh semangat Undang­Undang tersebut. Namun demikian, rentang waktu antara saat Undang­Undang tersebut di sahkan (2004) dengan saat penelitian dilaksanakan (2006­2007) adalah waktu yang dipandang cukup bagi proses sosialisasi Undang­Undang tersebut bagi perwira Subyek Penelitian lagi pula selama dalam penugasan setamat dari akademi militer

92 Undang­Undang Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2004, Tentang Tentara Nasional Indonesia 92 Undang­Undang Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2004, Tentang Tentara Nasional Indonesia

Tahap selanjutnya adalah menggali dan mengumpulkan data dari para informan dengan melalui teknik­teknik yang relevan antara lain wawancara yang mendalam (indepht interview), angket terbuka, dan diskusi kelompok terfokus (focused group discussion). Dari data yang terkumpul dibuat kompilasi tematik. Data dipilah­pilah ke dalam sub­sub tema yang merupakan bagian­bagian dari tema umum penelitian. Termasuk pada tahap ini, peneliti berusaha keras melakukan ”penyelaman” kedalam alam kesadaran subyek (contemplating the content of mind) yang berupa aktivitas­aktivitas mengingati (remembering), meresapi (perceiving), dan mengingini (desiring) di mana ketiga jenis aktivitas kesadaran tersebut memiliki keterarahan (directedness) pada ”sesuatu” yang di dalam metode fenomenologi disebut intensionalitas (intentionality). Dan ”sesuatu” dalam penelitian ini itu adalah tema penelitian itu sendiri yaitu profesionalisme TNI.

Dengan mengikuti jalan pikiran tersebut di atas, maka yang dimaksud alam kesadaran subyek dalam penelitian ini adalah alam kesadaran para perwira menengah TNI yang menjadi Subyek Pelitian, yaitu aktivitas (1) kenangan atas pengalaman mereka, (2) kesan dan penghayatan atas yang dialami dan (3) keinginan serta harapan mereka yang mengarah kepada soal profesionalisme TNI.

Proses terakhir dari metode fenomenologi ini adalah transendensi fenomenologi yaitu mencari dan menemukan interelasi dan koherensi data dari lapangan yang digali dari Subyek Penelitian dengan keyakinan, pandangan­ pandangan dan prasangka­prasangka teoritik yang sebelumnya ditangguhkan (bracketed). Dari tahap ini, melalui pemikiran reflektif dan spekulatif diharapkan akan diketemukan nilai­nilai yang ada dibalik makna­makna (meanings) yang ditemukan di sekitar profesionalisme TNI.

2. Metode Sosiologi Sejarah Secara umum yang dimaksud Metode Sosiologi Sejarah (Historical Sociology) adalah suatu telaah sosiologis yang didasarkan pada sumber­sumber data sejarah. Baik itu menggunakan data dokumen orisinal dari arsip ataupun dari

tulisan­tulisan sejarah yang disusun oleh sejarawan 93 . Sedangkan Sejarah Mentalitas (History of Mentality) sebagaimana dinyatakan oleh Kuntowijoyo 94 adalah salah satu bentuk metode penelitian (sejarah) yang lebih memusatkan perhatian mengenai keadaan, perilaku, dan bawah sadar kolektif. Dengan demikian ia tidak sepenuhnya tergantung pada adanya peristiwa­peristiwa spektakular dan “orang besar” pembuat sejarah.

Metode ini menggunakan alat bantu teori­teori ilmu lain terutama sosiologi, dan antropologi sosial. Kuntowijoyo menyatakan, pendekatan sejarah mentalitas memandang sangat penting adanya sistem simbol. Karena sebagaimana pendapat Mary Douglas, sistem simbol yang terstruktur secara sosial adalah sebagai sumber pengalaman. Keterkaitan antara pendekatan Sejarah Mentalitas dengan pendekatan fenomenologi antara lain karena Sejarah Mentalitas memandang sangat penting penggunaan kerangka penjelas teori konstruksi sosial (Social Construction Theory) Peter L. Berger dan Thomas Luckmann. Menurut perspektif Sejarah Mentalitas, masyakat itu melihat realitas sosial ­­dengan disposisi mentalnya­­ adalah dengan tidak secara langsung melainkan melalui sebuah konstruksi sosial 95 .

Dalam kaitannya dengan manfaat pendekatan sejarah mentalitas, menguatkan pendapat Kuntowijoyo, J. Kadjat Hartojo menyatakan bahwa dengan

93 Gordon Marshal, Dictionary of Sociology, Oxford University Press, 1998, hal. 277­278.

94 Kuntowijoyo, Raja Priyayi dan Kawula, Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2006, hal. 1­2 dan 10. Perlu sedikit dijelaskan di sini, istilah “Sejarah Mentalitas” diperkenalkan oleh Fernand Braudel,

sejarawan Prancis yang bersama, antara lain, dengan Jacques Legoff, membentuk madzhab sejarawan Les Annales. Ia membagi tiga lapisan sejarah atas dasar ‘kecepatan’; yakni ‘Sejarah Peristiwa­Peristiwa’, ‘Sejarah Geologi’, dan ‘Sejarah Mentalitas’.

Sejarah Peristiwa berjalan paling cepat, sedangkan Sejarah Geologi berjalan lambat sekali. Kemudian Sejarah Mentalitas, berjalan lambat yang perubahannya kadang harus dihitung dengan ukuran abad.

Yang dimaksud mentalitas (mentalite) di sini adalah sesuatu yang tertanam dalam lubuk budaya suatu masyarakat yang bentuk keluarannya adalah reaksi otomatis terhadap masalah­ masalah sosisal, politik, dan ekonomi. Pemikiran Braudel antara lain, terdapat dalam bukunya (terjemahan dari Bahasa Prancis) The Mediterranea and the Mediterranean World in Age of Philip

II (1949 dan 1966). 95 Kunto Wijoyo, loc.cit.

pendekatan tersebut, sejarah masa lalu akan jauh lebih bisa dipahami dari pada sekedar sejarah serba peristiwa yang menjelaskan peristiwa dalam hubungan

kausal dengan peristiwa lain 96 . Penggunaan Historical Sociology of Mentality dalam penelitian ini adalah

sebagai penyempurna atas pendekatan fenomenologi. Fungsinya sangat vital sebab rasanya tidak mungkin mengungkap fenomen­fenomen yang berkenaaan dengan profesionalisme militer (TNI) tanpa mempertautkannya dengan dimensi ruang­waktu masa lalu. Lebih spesifik lagi, tidak mungkin menyingkap esensi pemahaman tentang profesionalisme TNI tanpa mengkaitkannya dengan sejarah mentalitas yang ada. Pentingnya pendekatan Historical Sociology dalam penelitian ini dapat diresapi dari substansi yang ada dalam pemaparan latar belakang masalah serta diskripsi wilayah penelitian.

Sedikit kembali ke Historical Sociology, memang penggunaan pendekatan ini masih mengundang kontroversi. Sejarawan Charles Wilson, guru besar sejarah dari University of Cambridge misalnya, menyebut sosiolog yang menggunakan pendekatan Historical Sociology sebagai ilmuwan yang tidak pernah yakin dengan caranya sendiri. Namun E.H. Carr, penulis buku ”What is History” menyatakan bahwa dari waktu ke waktu semakin dibutuhkan penggunaan pendekatan Sociological History dalam studi sejarah sebagaimana juga semakin dibutuhkan penggunaan pendekatan Historical Sociology dalam sosiologi. Katanya lebih

lanjut:”Let the frontier between them be kept open for two­way traffic” 97 . Malahan, Anthoni Giddens (dalam ”Central Problem in Social Theory”, 1979)

menyatakan bahwa tidak ada perbedaan logika bahkan metodologi antara ilmu­ ilmu sosial dengan sejarah. Praktisi dari ke dua disiplin ilmu tersebut mempunyai tujuan sama yaitu menganalisis tingkah laku yang bermakna dari individu ataupun kelompok, memahami secara tepat tentang proses, hubungan, dan perubahannya.