Universitas Sumatera Utara
Althusser. Kedua orang yang berbeda generasi itu mempunyai minat yang sama: ideologi Sunardi, 2004:126. Baik Althusser maupun
Barthes sepakat bahwa ideologi menjadi tempat di mana orang mengalami subyektivitasnya. Hanya saja, Barthes telah menerapkan
teori subyektivitas yang berada di luar jangkauan analisis Althusser. Barthes dapat menjangkau teori subyektivitas melalui konsepnya
tentang sistem mitis, di mana dia dapat menjelaskan konsepnya secara lebih skematik. Dan boleh jadi Barthes akan menjadi lebih akrab
dengan kita karena apa yang diambilnya seringkali berasal dari dunia yang amat dekat dengan kehidupan kita sehari-hari. Ideologi menjadi
persoalan konsumsi, secara tidak sadar kita melahapnya dalam persoalan keseharian, dan konsumsi pun menjadi bermakna ideologis.
Ini yang membedakannya dengan Althusser yang terpancang pada Marxisme klasik dalam melihat hubungan antara negara dan masyarakat
sipil, sehingga dalam kerangka kerja Althusser, analisis Barthes mungkin berada di luar jangkauan Althusser tentang ideologi. Barthes
tidak seperti itu, apa yang dilihatnya seringkali kita rasakan sebagai sesuatu yang remeh-temeh, justru dapat dimaknai dengan begitu
mendalam. Pencarian makna oleh pembaca tidak mandeg, karena selalu saja ada hal-hal baru yang akan muncul dan bermakna. Barthes
sesungguhnya hanya memberi tongkat kecil bagi seorang yang rabun untuk dapat menyusuri jalan yang tak rata dan berlobang. Dan kita
acapkali menjadi orang rabun itu.
2.2.4.1 Makna
Dalam dua bagian terdahulu dialektika peristiwa dan makna telah dikembangkan sebagai suatu dialektika dalam dari makna wacana.
Memaknai kata adalah apa yang diinginkan dilakukan oleh pembicara. Namun memaknai kata adalah juga apa yang dimaksud oleh kalimat
tersebut. Makna ucapan dalam makna kandungan proposional- merupakan sisi “objektif’ pemaknaan ini. Makna pengucapan dalam tiga bentuk
Universitas Sumatera Utara
makna referensi diri kalimat, dimensi illokusioner perbuatan bicara, dan maksud pemahaman oleh pendengar- merupakan sisi subjektif pemaknaan.
Dialektika subjektif-objektif ini tidaklah menghentikan pemaknaan makna dan untuk itu tidaklah menghapuskan struktur objektif. Sisi objektif
wacana itu sendiri dapat diambil dalam dua cara. Kita dapat memakai apa wacana itu dan tentang apa wacana itu. Apa wacana itu adalah
“makna’nya dan tentang apa wacana itu adalah ‘referensi’nya. Perbedaan antara makna dan referensi telah diperkenalkan dalam filsafat moderen
oleh Gottlob Forge dalam makalahnya yang cukup terkenal “Ueber sinn und Bedeutung”yang telah diterjemahkan dalam bahasa Inggris menjadi
“on sense and reference”. Distingsi ini merupakan distingsi yang dapat secara langsung dihubungkan dengan distingsi antara semiotik dan
sematik. Hanya terhadap kalimatlah yang memungkinkan kita dapat membedakan antara apa yang dikatakan dan tentang apa yang dikatakan.
Dalam sistem bahasa, mengatakan sebagai suatu bentuk leksikon, tidak ada masalah dengan referensi; tanda hannya mengacu kepada tanda lain
dalam satu sistem. Namun begitu, dengan kalimat bahasa diarahkan kepada hal di balik dirinnya sendiri. Di mana makna bersifat objektif
dalam makna ideal, referensi justru mengekspresikan adanya pergerakan di mana bahasa mentransendesikan dirinya sendiri. Dengan kata lain makna
menghubungkan antara identifikasi fungsi dan fungsi predikat dalam kalimat, dan referensi menghubungkan bahasa dengan dunia. Inilah adalah
kata lain bagi klaim kebenaran wacana Ricoeur, 2012:53. Para ahli mengakui, istilah makna meaning memang merupakan
kata dan istilah yang membingungkan Sobur, 2004:255. Orang-orang sering menggunakan istiah pesan dan makna secara bergantian. Akan
tetapi, ini tidaklah benar jika dilihat dari sudut semantik. Dapat dikatakan, ‘pesan’ itu tidak sama dengan ‘makna’ pesan bisa memiliki lebih dari satu
makna, dan beberapa pesan bisa memiliki satu makna. Secara semiotika, pesan adalah penanda; dan maknanya adalah
petanda. Pesan adalah sesuatu yang dikirimkan secara fisik dari satu sumber ke penerimanya. Sedangkan makna dari pesan yang dikirimkan
Universitas Sumatera Utara
hanya bisa ditentukan dalam kerangka-kerangka makna lainnya. Tak perlu lagi kiranya dijelaskan bahwa hal ini juga akan menghasilkan pelbagai
masalah interpretasi dan pemahaman Danesi, 2010:22. Ada beberapa pandangan mengenai teori dan konsep makna.
Seperti yang diungkapkan oleh Wendell Johnson Sobur, 2004:258: 1.
Makna ada dalam diri manusia. Makna tidak terletak pada kata- kata. Kita menggunakan kata-kata untuk mendekati makna yang
ingin kita komunikasikan. Komunikasi adalah proses yang kita gunakan untuk mereproduksi, di benak pendengar, apa yang ada di
benak kita. Reproduksi ini hanyalah sebuah proses parsial dan selalu bisa salah.
2. Makna berubah. Kata-kata relatif statis. Banyak dari kata-kata yang kita gunakan berumur 200 atau 300 tahun. Tapi makna dari kata-
kta tersebut mengalami perubahan yang dinamis, teruatama pada dimensi emosional dari makna. Seperti kata-kata hubungan di luar
nikah, obat, agama, hiburan, dan perkawinan Di Amerika Serikat, kata-kata ini diterima secara berbeda pada saat ini dan di masa-
masa yang lalu. 3. Makna membutuhkan acuan. Komunikasi hanya masuk akal
bilamana ia mempunyai kaitan dengan dunia atau lingkungan eksternal. Obsesi seorang paranoid yang selalu merasa diawasi dan
teraniaya merupakan contoh makna yang tidak mempunyai acuan yang memadai.
4. Penyingkatan yang berlebihan akan mengubah makna. Berkaitan erat dengan gagasan bahwa makna membutuhkan acuan adalah
masalah komunikasi yang timbul akibat penyingkatan berlebihan tanpa mengaitkannya dengan acuan yang konkret dan dapat
diamati. Bila kita berbicara tentang cinta, persahabatan, kebahagiaan, kebaikan, kejahatan, dan konsep-konsep lain yang
serupa tanpa mengaitkannya dengan sesuatu yang spesifik, kita tidak akan bisa berbagi makna dengan lawan bicara. Mengatakan
kepada seorang anak untuk “manis” dapat mempunyai banyak
Universitas Sumatera Utara
makna. Penyingkatan perlu dikaitkan dengan objek, kejadian, dan perilaku dalam dunia nyata: “Berlaku manislah dan bermain
sendirilah sementara ayah memasak.” Bila Anda telah membuat hubungan seperti ini, Anda akan bisa membagi apa yang Anda
maksudkan dan tidak. 5. Makna tidak terbatas jumlahnya. Pada suatu saat tertentu, jumlah
kata dalam suatu bahasa terbatas, tetapi maknanya tidak terbatas. Karena itu, kebanyakan kata mempunyai banyak makna. Ini bisa
menimbulkan masalah bila sebuah kata diartikan secara berbeda oleh dua orang yang sedang berkomunikasi. Bila ada keraguan,
sebaiknya Anda bertanya dan bukan membuat asumsi; ketidaksepakatan akan hilang bila makna yang diberikan masing-
masing pihak diketahui. 6. Makna dikomunikasikan hanya sebagian. Makna yang kita peroleh
dari suatu kejadian event bersifat multiaspek dan sangat kompleks, tetapi hanya sebagian saja dari makna-makna ini yang
benar-benar dapat dijelaskan. Banyak dari makna tersebut tetap tinggal dalam benak kita. Karenanya, pemahaman yang
sebenarnya–pertukaran makna secara sempurna–barangkali merupakan tujuan ideal yang ingin kita capai tetapi tidak pernah
tercapai. Menurut Saussure, tanda terdiri dari bunyi-bunyian dan gambar, disebut
signifier atau penanda dan konsep dari bunyi-bunyian atau gambar tersebut, disebut sebagai signified atau petanda. Hubungan antara
gambaran mental atau konsep tersebut dinamakan dengan signification atau pemaknaan.
Produksi konsensus perimplikasi kepada penyamaan masyarakat dengan makna budaya yang dibagun oleh praktik – praktik pemaknaan
teks hegomonik. Konsep tentang teks bukan hanya menunjuk kepada kata- kata tertulis, meski ini adalah salah satu indranya, melainkan semua
praktik yang memiliki makna. Ini termasuk pembentukan makna melalui berbagai citra, bunyi, objek seperti pakaian misalnya dan aktivitas.
Universitas Sumatera Utara
Karena citra, bunyi, objek dan aktivitas merupakan sistem tanda, yang memaknai dengan mekanisme yang sama dengan bahasa, maka kita dapat
menunjuknya sebagai teks budaya. Namun, makna yang dibaca kritikus dalam teks budaya niscaya
tidak sama dengan yang diproduksi oleh audien aktif atau pembaca. Benarlah, pembaca tidak akan berbagi makna yang sama antara yang satu
dengan yang lain. Dengan kata lain, kritikus hanya bagian dari pembaca. Lebih jauh lagi, teks, sebagai bentuk representasi, bersifat polisemis
memiliki banyak arti. Mereka mengandung kemungkinan adannya aneka makna yang harus direalisasikan oleh pembaca di dunia nyata yang
mengisahkan dan membayangkan kehidupannya. Meski kita dapat menelaah bekerjanya suatu teks, kita tidak bisa hanya ‘berhenti membaca’
produksi makna audien dari analisis tekstual. Yang sangat penting, makna diproduksi dalam interaksi antara teks dan pembacanya sehingga momen
konsumsi juga merupakan momen produksi yang penuh makna Barker, 2004:12.
2.2.4.2 Mitos