Metabolisme dan interaksi zat besi
2. Metabolisme dan interaksi zat besi
a. Metabolisme zat besi
Zat besi merupakan komponen biologis yang esensial bagi organisme hidup. Walaupun didapati dalam jumlah berlimpah, namun bioavailabilitas zat besi sangat terbatas. Akibatnya, berbagai mekanisme seluler berevolusi untuk menangkap zat besi dari lingkungan dalam bentuk biologis yang bermanfaat. Zat besi menjadi bagian dari eritropoiesis dan metabolismenya dalam tubuh diatur secara ketat oleh berbagai regulasi internal maupun eksternal (Yun & Vincelette, 2015).
Dalam tubuh manusia, zat besi utamanya terdapat dalam bentuk kompleks yang terikat dengan protein (hemoprotein), sebagai senyawa heme (hemoglobin atau mioglobin), enzim heme, atau senyawa non-heme (enzim flavin-besi, transferin, dan feritin) (McDowell, 2003).
Hampir dua pertiga zat besi yang terdapat dalam tubuh ditemukan dalam bentuk hemoglobin pada eritrosit, 25% dalam bentuk simpanan besi yang siap dimobilisasi, dan 15% sisanya terikat pada mioglobin pada jaringan otot serta berbagai enzim yang terlibat dalam metabolisme oksidatif dan fungsi sel lainnya (Trumbo et al ., 2001).
Di dalam tubuh, zat besi mengalami serangkaian proses metabolisme sebagai berikut:
1. Penyerapan Zat Besi Penyerapan zat besi terjadi pada enterosit menggunakan Divalent Metal Transporter 1 yang merupakan salah satu kelompok dari protein transpor membran yang berperan membawa zat terlarut. Penyerapan zat besi terjadi terutama di jejunum dan duodenum bagian atas. Pada proses selanjutnya, zat besi akan ditransfer melalui mukosa duodenum ke dalam darah dan diangkut oleh transferin menuju sel-sel atau 1. Penyerapan Zat Besi Penyerapan zat besi terjadi pada enterosit menggunakan Divalent Metal Transporter 1 yang merupakan salah satu kelompok dari protein transpor membran yang berperan membawa zat terlarut. Penyerapan zat besi terjadi terutama di jejunum dan duodenum bagian atas. Pada proses selanjutnya, zat besi akan ditransfer melalui mukosa duodenum ke dalam darah dan diangkut oleh transferin menuju sel-sel atau
Dalam proses penyerapan zat besi terjadi mekanisme umpan balik untuk menjaga keadaan homeostasis. Pada individu yang kekurangan zat besi terjadi mekanisme untuk meningkatkan penyerapan zat besi. Sebaliknya pada keadaan kelebihan zat besi akan terjadi mekanisme penghambatan absorpsi yang diatur oleh hepcidin . Saat ini berkembang asumsi bahwa pengendalian penyerapan zat besi dikendalikan oleh ferroportin yang memungkinkan masuk tidaknya zat besi dari sel mukosa ke dalam plasma (Nadadur et al ., 2008).
Bentuk besi ketika memasuki duodenum sangat memengaruhi penyerapannya. Pada pH fisiologis, besi ferro (Fe 2+ ) dengan cepat
mengalami oksidasi menjadi bentuk besi ferri (Fe 3+ ). Asam lambung menurunkan pH dalam duodenum proksimal dan mereduksi Fe 3+
dalam lumen usus menggunakan enzim ferric reduktase . Proses ini memberikan kemungkinan terjadinya transportasi Fe 2+ melintasi
membran apikal enterosit dan meningkatkan kelarutan serta penyerapan besi ferri. Ketika produksi asam lambung terganggu, penyerapan zat besi akan mengalami penurunan (Abbaspour et al ., 2014).
Besi heme juga dapat diangkut melintasi membran apikal melalui mekanisme tertentu. Dalam mekanisme tersebut, heme akan dimetabolisme dalam enterosit oleh Heme Oxygenase 1 (HO-1) untuk
membebaskan Fe 2+ (Wang & Pantopoulos, 2011). Proses ini lebih mudah dibandingkan penyerapan zat besi anorganik dan tidak
bergantung pada kondisi pH duodenum. Hal ini mengindikasikan bahwa penyerapan besi heme tidak dipengaruhi oleh inhibitor seperti asam fitat dan polifenol. Oleh karena itu, daging merah yang kaya akan hemoglobin merupakan sumber zat besi yang sangat baik. Proses
internalisasi Fe 2+ diproses secara langsung oleh enterosit dan dibawa melintasi membran basolateral ke dalam aliran darah melalui +2 Fe internalisasi Fe 2+ diproses secara langsung oleh enterosit dan dibawa melintasi membran basolateral ke dalam aliran darah melalui +2 Fe
ferroxidase hephaestin (Yeh et al ., 2009). Besi yang diekspor kemudian diambil oleh transferin yang
redoks-inert dan mengirimkannya ke jaringan. Kandungan total transferin kurang lebih
mempertahankan +3 Fe dalam
keadaan
3 mg atau setara dengan <0,1% dari total zat besi dalam tubuh, tetapi sangat dinamis dan mengalami lebih dari sepuluh kali pergantian setiap hari untuk mempertahankan eritropoiesis. Cadangan besi transferin kebanyakan berasal dari zat besi hasil daur ulang sel darah merah dan dalam jumlah yang lebih sedikit dari zat besi yang baru diabsorpsi. Sel darah merah yang sudah tua dibersihkan oleh makrofag retikuloendotelial yang memetabolisme hemoglobin dan heme serta melepaskan besi ke dalam aliran darah (Theil et a l ., 2012).
2. Regulasi Homeostasis Zat Besi Zat besi diperlukan dalam berbagai fungsi seluler. Oleh karena itu, keseimbangan antara penyerapan, transportasi, penyimpanan, dan pemanfaatan zat besi diperlukan untuk mempertahankan kondisi homeostasis zat besi. Ketika tubuh tidak mempunyai mekanisme dalam proses ekskresi, keseimbangan zat besi utamanya diatur pada tingkat penyerapan (Finberg, 2011).
Hepcidin adalah hormon peptida yang disekresi oleh hati yang memainkan peran sentral dalam regulasi homeostasis besi dalam tubuh. Hepcidin menjadi regulator utama dalam homeostasis besi dan koordinasi penggunaan dan penyimpanan besi (Nemeth & Ganz, 2006). Hormon ini terutama diproduksi oleh hepatosit dan menjadi regulator negatif masuknya zat besi ke dalam plasma. Hepcidin bekerja dengan mengikat ferroportin , sebuah transporter besi yang terdapat pada sel-sel duodenum usus, makrofag, dan sel-sel plasenta (Nemeth et al ., 2004).
Hilangnya ferroportin dari permukaan sel mencegah masuknya zat besi ke dalam plasma. Rendahnya zat besi yang masuk ke dalam plasma mengakibatkan kejenuhan transferrin menurun. Selain itu, zat besi yang dibutuhkan untuk pembentukan eritroblast menjadi lebih rendah. Sebaliknya, penurunan hepcidin menyebabkan peningkatan ferroportin pada permukaan sel dan meningkatkan penyerapan zat besi. Dalam semua spesies, konsentrasi besi dalam cairan biologis diatur secara ketat untuk menyediakan zat besi yang diperlukan dan untuk menghindari toksisitas. Kelebihan zat besi dapat membentuk Reactive Oxygen Species (ROS). Homeostasis zat besi pada mamalia diatur pada tingkat penyerapan yang terjadi di usus sebab tidak ada mekanisme untuk mengekskresikan besi (De Domenico et al ., 2007).
3. Penyimpanan Zat Besi Konsentrasi feritin dan hemosiderin mencerminkan status simpanan besi dalam tubuh. Keduanya menyimpan besi dalam bentuk tidak larut dan tersimpan di dalam hati, limpa, dan sumsum tulang. Kebanyakan besi terdapat dalam bentuk besi berikatan protein dan feritin. Hemosiderin adalah kompleks penyimpanan besi yang sukar dibebaskan untuk memenuhi kebutuhan tubuh. Dalam kondisi stabil, konsentrasi feritin serum berkorelasi dengan dengan jumlah simpanan besi dalam tubuh. Oleh karena itu, serum feritin merupakan tes laboratorium yang paling sesuai untuk memperkirakan simpanan besi dalam tubuh (Nadadur et al ., 2008).
4. Ekskresi Zat Besi Selain kehilangan zat besi akibat menstruasi, perdarahan, dan kehamilan, zat besi dalam tubuh sangat sulit untuk dikeluarkan. Terdapat beberapa proses kehilangan zat besi yang lazim dari tubuh yang disebabkan oleh eksfoliasi fisiologis dari sel-sel pada permukaan epitel termasuk kulit, saluran kemih, dan saluran cerna. Namun kehilangan ini diperkirakan sangat kecil, hanya berkisar 1 mg dalam sehari. Kehilangan zat besi akibat perdarahan dan menstruasi yang 4. Ekskresi Zat Besi Selain kehilangan zat besi akibat menstruasi, perdarahan, dan kehamilan, zat besi dalam tubuh sangat sulit untuk dikeluarkan. Terdapat beberapa proses kehilangan zat besi yang lazim dari tubuh yang disebabkan oleh eksfoliasi fisiologis dari sel-sel pada permukaan epitel termasuk kulit, saluran kemih, dan saluran cerna. Namun kehilangan ini diperkirakan sangat kecil, hanya berkisar 1 mg dalam sehari. Kehilangan zat besi akibat perdarahan dan menstruasi yang
b. Enhancer zat besi
Zat besi terdapat dalam dua bentuk, yaitu heme dan non-heme. Sumber utama zat besi heme adalah hemoglobin dan mioglobin yang berasal dari daging, unggas, dan ikan. Sementara besi non-heme diperoleh dari sereal, kacang-kacangan, buah-buahan, dan sayuran. Besi heme memiliki bioavailabilitas yang tinggi berkisar 15%-35%. Pada besi heme faktor makanan memiliki efek yang rendah dalam proses penyerapan. Berbeda dengan penyerapan zat besi non-heme yang jauh lebih rendah, hanya sekitar 2%-20% dan sangat dipengaruhi oleh kehadiran komponen makanan lainnya. Meskipun bioavailabilitas besi non-heme lebih rendah, namun jumlahnya dalam makanan jauh lebih besar dibandingkan besi heme. Oleh karena itu, besi non-heme umumnya memberikan kontribusi yang lebih besar terhadap pemenuhan kebutuhan zat besi dibandingkan besi dari heme (Hurrell & Egli, 2010).
Beberapa vitamin dapat berperan sebagai enhancer dalam absorpsi zat besi. Vitamin C dapat meningkatkan penyerapan zat besi bila dikonsumsi pada waktu bersamaan. Hal ini karena vitamin C akan mengubah zat besi dari bentuk ferri menjadi bentuk ferro. Zat besi dalam bentuk ferro lebih mudah diserap. Selain itu vitamin C membentuk gugus zat besi-askorbat yang tetap larut pada pH lebih tinggi di dalam duodenum (Almatsier, 2010).
Vitamin lain yang dapat bertindak sebagai enhancer penyerapan zat besi adalah vitamin A. Interaksi vitamin A dengan zat besi bersifat sinergis. Apabila tubuh dalam keadaan kekurangan vitamin A, maka transportasi zat besi dari hati dan penggabungan zat besi ke dalam eritrosit akan terganggu (Lonnerdal, 1998).
Protein merupakan jenis enhancer zat besi yang lain. Protein yang berasal dari jaringan hewan dapat meningkatkan penyerapan zat besi non- Protein merupakan jenis enhancer zat besi yang lain. Protein yang berasal dari jaringan hewan dapat meningkatkan penyerapan zat besi non-
c. Inhibitor zat besi
Tanin, kalsium, zinc, polifenol, asam fitat, asam oksalat, dan serat memiliki efek sebagai penghambat dalam proses penyerapan zat besi. Mekanisme inhibisi penyerapan zat besi oleh kalsium telah dibuktikan. Pada awalnya berkembang asumsi bahwa kalsium memberikan efek pada lumen saluran pencernaan yang akan mengganggu penyerapan zat besi. Namun, studi terbaru menunjukkan bahwa penghambatan dapat terjadi baik pada membran apikal maupun membran basolateral enterosit (Wienk et al ., 1996). Mekanisme kalsium dalam menghambat penyerapan zat besi meliputi perubahan dalam keseimbangan ligan intraluminal, perubahan waktu transit pada gastrointestinal, gangguan transportasi zat besi dalam mukosa, dan kompetesi dengan transporter (Thompson et al ., 2010).
Zinc dalam jumlah berlebih dapat menghambat proses penyerapan zat besi. Zinc dan zat besi diabsorpsi oleh usus melalui mekanisme Divalent Metal Transporter-1 (DMT-1). Adanya kesamaan transporter antara zat besi dan zinc mengakibatkan absorpsi antara keduanya saling memengaruhi satu sama lain (Iyengar et al ., 2009).
Asam fitat dan polifenol adalah senyawa inhibitor zat besi yang lain. Asam fitat menjadi komponen utama dalam proses penghambatan penyerapan zat besi, bahkan dalam jumlah sedikit telah menunjukkan efek yang signifikan dalam menghambat penyerapan zat besi (Hurrell, 2004). Sementara itu, Polifenol menghambat penyerapan zat besi dengan cara mengikat ion Fe dalam gugus hidroksil sehingga menjadi bentuk yang tidak dapat larut. Hal ini akan menyebabkan zat besi menjadi sukar untuk diserap pada intestinal (Susilo, 2006).
Selain gugus hidroksil pada polifenol, gugus karboksil dalam senyawa pektin juga dapat menghambat penyerapan zat besi. Pektin merupakan senyawa yang mempunyai banyak gugus karboksil. Gugus karboksil tersebut memiliki reaktivitas tinggi dalam mengikat kation. Dengan demikian, pektin akan melakukan interaksi secara elektrostatis terhadap mineral bermuatan positif (Miyada et al ., 2012).
Serat memegang peranan penting dalam tubuh. Namun dari sekian banyak manfaat serat, ternyata dalam jumlah berlebih dapat menunjukkan efek inhibisi dalam penyerapan zat besi. Menurut Andrews et al . (2014), serat mempunyai efek negatif dalam menurunkan bioavailabilitas berbagai mineral esensial dan trace element , termasuk di dalamnya zat besi.